Anda di halaman 1dari 2

Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus

memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia. Standardisasi simplisia mengacu


pada tiga konsep antara lain sebagai berikut:

 Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum (nonspesifik)
suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan penstabilan (wadah,
penyimpanan, distribusi)
 Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-
Efficacy
 Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon
biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan (Depkes RI, 1985).

Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses standardisasi suatu
simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan spesifik.
Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia
sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman.

A. Parameter Non Spesifik

Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang disebabkan oleh
pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan kadar abu, kadar air, dan penetapan susut
pengeringan.

1) Susut Pengeringan dan Bobot Jenis

Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur
105°C selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam porsen. Dalam hal
khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik)
identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara
terbuka (Depkes RI, 2000).

Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan spesifikasi


ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah
serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000).
2) Kadar Air

Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau banyaknya air yang diserap
dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000).

3) Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen organik atau mineral yang terdapat pada
suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan
sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau
kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan.
Bahan-bahan organic dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen
anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Parameter kadar abu
merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh
unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang diperoleh dari sisa pemijaran
(Depkes RI, 2000).

Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk
menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang
digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penggilingan
gandum, misalnya, apabila masih banyak lembaga dan endosperm maka kadar abu yang
dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan endosperm pada gandum menandakan
proses pengolahan kurang baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor yang
menyebabkan hasil analisis kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat
digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar
abu sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam yang
cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada makanan
tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengabuan cara
langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara basah).

Anda mungkin juga menyukai