Anda di halaman 1dari 6

Karena Aku, Shuracmin

Awan kelabu menaungi Kampung Semanggi di pagi yang dingin. Daun-


daun merunduk terbebani oleh air hujan. Angin berhembus menggoyangkan
pohon-pohon rindang, menemani tangisan cakrawala yang menjajah bumi.

Prang!

Betapa terkejutnya Ibu ketika sebuah gelas pecah karena tersenggol


olehnya. Ayah yang mendengar suara buru-buru menengok ke dapur.

“Ada apa?”tanya Ayah sambil memandang raut panik Ibu. Ayah geleng-
geleng kepala melihat serpihan-serpihan gelas yang berserakan di lantai. Ibu
termenung sejenak saat Ayah membersihkan pecahan gelas kaca. Rasa gundah
gulana mengusiknya, membuat ayah ikut bertanya-tanya dengan sikap Ibu yang
aneh.

Akhirnya Ibu angkat bicara,“Aku merasakan firasat buruk pagi ini. Lebih
baik kalian berdua tidak usah berangkat,”Ayah tergelak karena itulah yang selama
ini bersarang di pikiran Ibu.

“Kenapa kau berpikir seperti itu?”tanya Ayah penuh selidik.

“Karena jika ada gelas pecah secara tidak sengaja itu berarti pertanda
buruk, Ayah,”kini bendungan tawa Ayah sudah jebol.

“Ada-ada saja kau. Gelas pecah karena terbuat dari kaca, jika gelas plastik
walaupun jatuh berkali-kalipun tidak apa-apa. Jangan pikirkan hal aneh-aneh.
Ingat, ucapan adalah doa,”Ayah mulai berceramah. Ibu menghampiri Cahya
sambil memikirkan perkataan Ayah.

“Di luar hujan, Nak. Kamu mau nekad berangkat sekolah?” Ibu mengelus
pundak Cahya, sementara dia sibuk melahap sarapannya.
“Jangan cemas, Bu. Hari ini akan berjalan seperti biasanya. Coba Ibu
berpikir positif!”Cahya mencuci piring dan gelasnya sembari bersenandung ria.
Ibu agak kesal karena tanggapan Cahya dan Ayahnya sama saja.

“Jangan lupa botol minummu, Cahya! Ayah akan mengantarmu,”kata


Ayah seraya menyiapkan payung, kemudian pergi ke luar rumah. Cahya
bercermin sebelum dia berangkat. Ia memaut diri sambil mengamati dari ujung
kepala hingga ujung kaki.

“Rambutku sudah aku ikat, topi sudah di kepala, seragam juga sudah
kupakai dengan benar. Dasi dan ikat pinggang sudah betul. Sepatu hitam dan kaos
kaki putih, cek!”Cahya terus berceloteh kepada dirinya sendiri. Setelah dirasanya
siap, Cahya merangkul tas ranselnya, kemudian menghampiri Ibu yang sudah
menunggu di depan rumah.

“Hari ini ada ulangan, dan aku tidak ingin melewatkannya. Doakan aku ya,
Bu!”Cahya mencium tangan Ibunya. Ibu tersenyum melihat semangat putrinya
yang tidak akan mudah runtuh.

Kami berangkat!”Cahya dan Ayah melambaikan tangan pada ibu yang


bersandar di pintu rumah.

“Ya Tuhan...tolong berkatilah Cahya dan berikan ilmu yang bermanfaat


untuknya. Agar dia dapat meraih impian dan membanggakan dirinya suatu hari
nanti...”Ibu berdoa dalam hati sembari melepas kepergian anak satu-satunya.
Sejenak beliau memandang langit. Awan hitam bergelayut tebal. Ada rasa cemas
menghantui hati Sang Ibu. Ibu segera membuang jauh prasangka buruk. Ia yakin
dengan kata hatinya, Cahya pasti akan sampai di sekolah dengan selamat.

Terjangan hujan tak menyurutkan semangat Cahya untuk pergi ke sekolah.


Kabut putih menyamarkan pesona pagi, tetapi Cahya tetap berteguh hati. Cahya
berjalan berjinjit seraya menjinjing roknya, berhati-hati agar sepatu satu-satunya
tidak kotor terkena lumpur. Begitu pula dengan Ayah, mengarahkan senter ke
arah jalan yang sedang mereka tempuh.
Dengan bersenjata arit, mereka berdua menerobos semak-semak tinggi.
Berada di daerah pedalaman memang sulit. Sekolah hanya bisa ditempuh dengan
berjalan kaki, belum juga pohon-pohon yang cukup lebat.

“Hati-hati dengan semak berduri dan baun jelatang. Di sini ada banyak
sekali,”Ayah memperingatkan sambil menyabet-nyabetkan arit sepanjang jalan
menembus hutan. Beberapa kali Ayah terbatuk dan menggigil kedinginan.

Ada banyak sekali rintangan yang mereka temui selama perjalanan. Tidak
jarang Cahya hampir terperosok ke dalam lubang. Pernah sekali mereka bertemu
dengan ular pohon atau hewan-hewan berbahaya lainnya.

Cahya terpaksa melepas sepatu beserta kaos kakinya, kemudian


memasukkannya ke dalam kresek besar yang sudah disiapkan Ayah. Rumput-
rumput menggelitiki kakinya, sementara dia berjalan tanpa alas kaki.

Kabut putih mulai memudar, memperlihatkan aliran sungai yang cukup


deras, menggoda Cahya untuk kembali pulang. Ayah memandang hulu sungai.
Sepertinya sebentar lagi air sungai akan meluap, batinnya

“Cahya, ayo kita menyeberang,”kata Ayah sambil terbatuk-batuk,


menambah kerisauan Cahya.

“Ayah, arusnya deras sekali,”rupanya Cahya khawatir dengan keselamatan


mereka. Ayah berusaha menguatkan dengan tatapan teguhnya.

“Jangan khawatir, Cahya. Ayah pasti akan menyeberangkanmu dengan


selamat!”

“Ta, tapi Ayah sekarang batuk flu...bagaimana jika nanti tambah


parah?”tanya Cahya dengan tatapan sendu.

“Cuma batuk biasa, nanti juga sembuh. Sekarang, pegang payungnya erat-
erat. Kita harus segera menyeberang,”

Ayah mengendong Cahya di punggungnya, kemudian mulai melawan arus


air dan tiupan angin. Cahya termenung melihat perjuangan Ayah. Sudah setahun
Ayah selalu menggendongnya ketika berangkat dan pulang sekolah. Dulu terdapat
sebuah jembatan yang menghubungkan kedua sisi sungai, namun jembatan itu
runtuh karena banjir bandang.

“Cahya, sepertinya badanmu bertambah berat ya...”Cahya memasang


wajah cemberut sementara Ayah tertawa renyah. Di bawah hujan mereka bersenda
gurau sambil sesekali terkekeh, mengabaikan arus deras yang sedang mereka
hadapi.

Arus air menghantam batu-batu, menimbulkan suara gemuruh yang


berpadu dengan bunyi hujan. Deburan yang menentramkan jiwa berkumandang di
sekitar alam. Walaupun hujan terus merajalela, namun keindahan sungai masih
terasa.

“Ayah, lihat itu! Air sungainya naik!”Cahya berseru panik. Memang, air
sungai perlahan mulai naik hingga sebetis, memaksa Ayah untuk berjalan lebih
cepat meskipun arus bertambah ganas. Cahya menatap hulu sungai dengan
jantung berdegup kencang, berdoa dalam lubuk hati agar mereka diberi
keselamatan.

“Hah...hah...”napas Ayah tampak memburu setelah mereka mencapai tepi


sungai. Cepat-cepat mereka menjauh supaya tidak terkena luapan air.

“Ayah tidak apa-apa?”tanya Cahya khawatir. Ayah memberi isyarat jika


dia baik-baik saja. Betapa bersyukurnya Cahya ketika dia dan Ayahnya sampai di
jalan raya.

“Sekarang masih jam enam pagi, Ayah. Sebaiknya kita berteduh


dulu,”Cahya mengajak Ayahnya mampir di warung kecil tepi jalan. Mereka
melepas lelah sambil memesan dua gelas teh hangat.

“Ayah tidak apa-apa? Maaf, gara-gara Cahya Ayah jadi seperti ini,”Cahya
menundukkan kepala, merasa bersalah.

“Apa kau ingat, ketika hari dimana jembatan di sungai runtuh?”Ayah


mengalihkan topik pembicaraan.
“Kau menangis karena tidak bisa pergi sekolah, meski pada akhirnya kau
tetap pergi diam-diam walau Ibu dan Ayah sudah mencegahmu. Ketika itu juga
seperti ini, hujan deras dan air sungai meluap. Kau hampir terhanyut di
sungai,”Ayah menerawang, mencoba menelusuri masa lalu yang suram itu.

Cahya masih teringat, ketika Ibu menangis sambil merengkuh tubuh


kecilnya. Dia masih ingat, bagaimana sensasi dada sesak dipenuhi air. Dia tidak
akan pernah lupa hari itu, hari dimana kebulatan tekad hampir merengut
nyawanya.

“Sudah cukup, Cahya! Ibu tidak ingin kehilangan dirimu! Tidak apa-apa
kau tidak sekolah, Nak. Asalkan kau tetap bersamaku!”isakan Ibu menggema di
telinga Cahya. Walaupun dia masih lemas, Cahya berusaha bangun.

“Aku harus pergi sekolah...aku ingin membahagiakan kalian...”ucapnya


lemah. Ibu menggeleng tegas, sementara bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi
Cahya. Tangan Cahya meremas pasir sungai, tak rela melihat Ibunya bersedih.

“Aku sudah bersikeras, Ibu. Tidak ada yang bisa mencegahku. Walaupun
bencana alam menghadang, meskipun kolonial kembali bertakhta di tanah air
kita,...”

“...aku akan tetap mencari Ilmu. Seluruh dunia kan kujelajahi, demi
memuaskan rasa ingin tahuku,”Cahya berkaca-kaca ketika menuturkan kembali
perkataannya di hari itu. Dengan alam sebagai saksi, sebuah janji telah terbentuk.

“Lebih baik kau masuk sekarang,”Ayah bangkit berdiri sambil terbatuk


kecil.

“Ayah...hati-hati di perjalanan pulang,”hanya itu yang bisa dikatakan oleh


Cahya. Dia membisu ketika Ayah meninggalkannya sendirian, ditemani dua
cangkir teh kosong dan keheningan pagi. Hati kecilnya ingin berkata, tetapi apa
daya mulutnya kelu. Benaknya mulai menelusuri rak-rak memori, mengenang
perjuangan Cahya beserta kedua orangtuanya selama ini. Menatap masa depan
dan masa lalu secara bersamaan, membuat air mata Cahya menetes tanpa suara.
Burung mulai berkicau, menyambut sinar matahari yang kembali bersemi
di langit. Suara deru sepeda motor mengiringi langkah kaki. Cahya menatap lurus
ke depan, meramal masa depan akan seperti apa, sembari mengingat janji yang
telah dia tanamkan.

Gadis itu bernama Cahya Shuracmin, yang telah berjanji dengan sungai
dan hutan sebagai saksinya. Seorang gadis cahaya yang gemar bertekad, hanya
bisa dihentikan oleh dirinya sendiri dan Tuhan.

****

Anda mungkin juga menyukai