Prang!
“Ada apa?”tanya Ayah sambil memandang raut panik Ibu. Ayah geleng-
geleng kepala melihat serpihan-serpihan gelas yang berserakan di lantai. Ibu
termenung sejenak saat Ayah membersihkan pecahan gelas kaca. Rasa gundah
gulana mengusiknya, membuat ayah ikut bertanya-tanya dengan sikap Ibu yang
aneh.
Akhirnya Ibu angkat bicara,“Aku merasakan firasat buruk pagi ini. Lebih
baik kalian berdua tidak usah berangkat,”Ayah tergelak karena itulah yang selama
ini bersarang di pikiran Ibu.
“Karena jika ada gelas pecah secara tidak sengaja itu berarti pertanda
buruk, Ayah,”kini bendungan tawa Ayah sudah jebol.
“Ada-ada saja kau. Gelas pecah karena terbuat dari kaca, jika gelas plastik
walaupun jatuh berkali-kalipun tidak apa-apa. Jangan pikirkan hal aneh-aneh.
Ingat, ucapan adalah doa,”Ayah mulai berceramah. Ibu menghampiri Cahya
sambil memikirkan perkataan Ayah.
“Di luar hujan, Nak. Kamu mau nekad berangkat sekolah?” Ibu mengelus
pundak Cahya, sementara dia sibuk melahap sarapannya.
“Jangan cemas, Bu. Hari ini akan berjalan seperti biasanya. Coba Ibu
berpikir positif!”Cahya mencuci piring dan gelasnya sembari bersenandung ria.
Ibu agak kesal karena tanggapan Cahya dan Ayahnya sama saja.
“Rambutku sudah aku ikat, topi sudah di kepala, seragam juga sudah
kupakai dengan benar. Dasi dan ikat pinggang sudah betul. Sepatu hitam dan kaos
kaki putih, cek!”Cahya terus berceloteh kepada dirinya sendiri. Setelah dirasanya
siap, Cahya merangkul tas ranselnya, kemudian menghampiri Ibu yang sudah
menunggu di depan rumah.
“Hari ini ada ulangan, dan aku tidak ingin melewatkannya. Doakan aku ya,
Bu!”Cahya mencium tangan Ibunya. Ibu tersenyum melihat semangat putrinya
yang tidak akan mudah runtuh.
“Hati-hati dengan semak berduri dan baun jelatang. Di sini ada banyak
sekali,”Ayah memperingatkan sambil menyabet-nyabetkan arit sepanjang jalan
menembus hutan. Beberapa kali Ayah terbatuk dan menggigil kedinginan.
Ada banyak sekali rintangan yang mereka temui selama perjalanan. Tidak
jarang Cahya hampir terperosok ke dalam lubang. Pernah sekali mereka bertemu
dengan ular pohon atau hewan-hewan berbahaya lainnya.
“Cuma batuk biasa, nanti juga sembuh. Sekarang, pegang payungnya erat-
erat. Kita harus segera menyeberang,”
“Ayah, lihat itu! Air sungainya naik!”Cahya berseru panik. Memang, air
sungai perlahan mulai naik hingga sebetis, memaksa Ayah untuk berjalan lebih
cepat meskipun arus bertambah ganas. Cahya menatap hulu sungai dengan
jantung berdegup kencang, berdoa dalam lubuk hati agar mereka diberi
keselamatan.
“Ayah tidak apa-apa? Maaf, gara-gara Cahya Ayah jadi seperti ini,”Cahya
menundukkan kepala, merasa bersalah.
“Sudah cukup, Cahya! Ibu tidak ingin kehilangan dirimu! Tidak apa-apa
kau tidak sekolah, Nak. Asalkan kau tetap bersamaku!”isakan Ibu menggema di
telinga Cahya. Walaupun dia masih lemas, Cahya berusaha bangun.
“Aku sudah bersikeras, Ibu. Tidak ada yang bisa mencegahku. Walaupun
bencana alam menghadang, meskipun kolonial kembali bertakhta di tanah air
kita,...”
“...aku akan tetap mencari Ilmu. Seluruh dunia kan kujelajahi, demi
memuaskan rasa ingin tahuku,”Cahya berkaca-kaca ketika menuturkan kembali
perkataannya di hari itu. Dengan alam sebagai saksi, sebuah janji telah terbentuk.
Gadis itu bernama Cahya Shuracmin, yang telah berjanji dengan sungai
dan hutan sebagai saksinya. Seorang gadis cahaya yang gemar bertekad, hanya
bisa dihentikan oleh dirinya sendiri dan Tuhan.
****