Anda di halaman 1dari 5

Faringitis Streptococcal Akut

Lais Martins Moreira Anjos [1], Mariana Barros Marcondes [1], Mariana Ferreira Lima
[1], Alessandro Lia Mondelli [1] and Marina Politi Okoshi [1]

[1]. Departamento de Clínica Médica, Faculdade de Medicina de Botucatu, Universidade


Estadual Paulista, Botucatu, SP.

ABSTRAK

Faringitis Akut / Tonsilitis, yang ditandai dengan inflamasi pada tonsil dan
faring posterior merupakan penyakit yang umum ditemukan. Berbagai macam
virus dan bakteri penyebab faringitis akut, hanya Streptococcus pyogenes
(Streptococcus b hemoliticus) yang memerlukan pengobatan yang spes komplik
virus, corona virus, coxsackievirus, HSV. EBV. CMV dan HIV. Sebagai
tambahan Bakteri Streptococcus grup A dan bakteri strain lain dapat menyebakan
faringitis akut, seperti group C streptococci and group G streptococci,
Fusobacterium necrophorum, Arcanobacterium haemolyticum, Neisseria
gonorrhoeae, Treponema pallidum, Francisella tularensis, Corynebacterium
diphtheriae, Yersinia enterocolitica, Yersinia pestis, Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydophila psittaci, and mixed anaerobes.
Gejala klinis yang sering dijumpai pada faringitis akut adalah demam dan
sakit tenggorokan dengan atau tanpa eritema tonsil, Gejala pada infeksi
streptococcus muncul mendadak disertai nyeri tenggorokan yang hebat, demam,
menggigil, malaise, sakit kepala, pembesarak limfonodi cervical anterior dan
terdapat eksudat pada tonsil/faring. Palatal Ptekie dan rash makulopapular jarang
ditemukan. Batuk, konjungtivitis dan diare hebat merupakan tanda dari infeksi
vius.

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis faringitis didukung oleh riwayat penyakit pasien dan


pemeriksaan fisik. Paparan streptococcus atau virus terdahulu perlu di periksa.
Namun infeksi penyebab lain sering tidak dapat dibedakan dengan faringitis
karena streptococcus.
Penegakan diagnosis pasti untuk mengetaui etiologi berdasarkan tes
laborat. Kultur merupakan gold standar untuk mendiagnosa faringitis karena
memiliki sensitivitas 90-95 %. Sampel diperoleh dari swab pada tonsil dan faring
posterior. Jika hasil negative maka tidak diperlukan terapi antibiotic. Tetapi jika
hasil positive tidak menutup kemungkinan proses kronik. Di Brazil, kultur
tenggorok kurang dimanfaatkan karena kurangnya fasilitas.
Deteksi Rapid Antigen digunakan untuk mendeteksi S.Pyogens secara
langsung dari swab tenggorok dalam beberapa menit. Tes ini memiliki spesifitas
tinggi (89.7%- 99 %) dan sensitivitas ( 55 %-99 % ). Jika hasil positive, maka
dilanjutkan dengan kultur tenggorok, Namun jika hasil negative maka klinisi
perlu memustuskan apakah perlu kultur atau infeksi streptococcus diabaikan,
berdasarkan bukti klinis dan pedoaman penatalaksanaan di pelayanan kesehatan.
European Guideline yang terbaru memaparkan bahwa negative rapid test
membuktikan tidak adanya infeksi oleh streptococcus. Pada anak anak, hasil rapid
test yang negative dapat dikonfirmasi dengan kultur tenggorok jika kecurigaan
penyebaran faringitis streptococcus tinggi. Test ini dapat dialkukan dengan cepat,
namun beberapa klinisi jarang menggunakannya. Penelitian French baru baru ini
memperlihatkan bahwa 3 alasan utama tidak mengunakan rapid test diantaranya :
1. Waktu 2. Keinginan pasien dalam memperoleh terapi antibiotic 3. Anggapan
bahwa pemeriksaan fisik sudah cukup untuk meresepkan antibiotic. Oleh karena
itu rapid test tidak tersedia di semua fasilitas kesehatan ,
Anti streptococcal antibody titer tidak berguna pada diagnose infeksi akut
karena meningkat setelahnya. Sebagai contoh pengguanaan tes antibody
streptococcal, anti streptolisin, mulai meningkat dari hari ke 7 hingga hari ke 15
dan mencapai puncaknya 3-6 minggu setelah infeksi dimulai. Level C Reactive
Protein dan hitung leukosit tidak direkomendasikan untuk mendiagnosa faringitis
streptococcus meskipun test ini dapat digunakan sebagai monitoring
perkembangan infeksi dan hasil terapi.
Meskpun diagnosis etiologi faringitis streptococcal bergantung pada tes
laboratorium, clinical scoring system sudah dikembangkan dalam memprediksi
resiko infeksi S.Pyogens.
Penggunaan scoring system centor score yang dikenalkan pada 1981 san
dimodifiksai tahun 2004 untuk memasukkan umur sebagai salah satu resiko
( Tabel 1 ). Autor memperkirakan resiko infeksi faringitis streptococcal dengan
menggunakan demam, batuk, adenopati cervicalis anterior, pembengkakan tonsil ,
eksudat dan usia pasien ( tabel 2 ). Centor score divalidasi terbaru pada analisis
data yang terkumpul mulai 206.870 pasien yang nyeri tenggorokan selam 3 tahun
atau lebih. Beberapa guideline merekomendasikan score sebagai metode triage.
Meskipun digunakan centor score dalam mengklasifikasi resiko faringitis
streptococcal, pengunaanya secara klinik masih kontroversi. Pada pasien dengan
score 1 atau kurang, score 4 atau lebih besar, terlihat disetujui secara umum pada
banyak guideline.
Pasien dengan skore 1 atau kurang tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium dan terapi antibiotic kecuali pasien yang tercatat terpapar
S.Pyogenes terdahulu 2 minggu atau dengan riwayat demam rematik akut atau
penjakut jantung rematik. Pasien dengan skor 4 atau lebih perlu menerima terapi
antibiotic pada initial clinical evaluation.
Akan tetapi pada pasein dengan skore 2 atau 3, terdapat kontroversi pada
Negara berkembang , Di US dan beberapa Negara Eropa yang insiden demam
rematik rendah, klinisi hanya boleh memberikan antibiotic jika kultur tenggorok
dan atau rapid test positive. Sebaliknya, di beberapa Negara yang lain di Eropa
pemeriksaan rutin ini tidak dilakukan.
Di Brazil dan Negara yang kurang berkembang, insidensi demam rematik
akut meningkat, Sekitar 282.000 kasus penjakit jantung rematik baru terjadi setiap
tahun, utamanya pada Negara miskin. Oleh karena itu skor 2 pada pasien
meskipun insiden S.Pyohgens rendah dan demam rematik akut tetap harus
diberikan terapi antiobiotik
.
\\’

TERAPI

Terdapat ketidaksesuaian rekomendasi antara European dan North


America Guideline terhadap penanganan faringitis akut, keduanya menekankan
pentingnya menekan penguanaan antibiotik untuk mencegah resisten antibiotic.
Namun, beberapa klinisi tetap meresepkan antibiotic pada pasien faringitis akut
tanpa infeksi S.Pyogens. Oleh karena paling banyak faringitis akut disebabkan
oleh virus, penggunaan antibiotic tidak diperlukan, Penelitian baru baru ini
memperlihatkan bahwa antibiotic diresepkan hingga 73 % pada pasien dengan
faringitis akut. Faktanya, faringitis akut merupakan penyebab utama tidak
tepatnya penggunaan antibiotic pada praktik klinik.
Faringitis S.Pyogenes akut sering sembuh sendiri. Demam biasanya
mereda dalam 3-5 hari dan nyeri tenggorok menghilang pada 1 minggu.
Antibiotik membantu mengurangi berat dan lamanya gejala, membatasi
penyebaran penyakit dan mencegah supurasi ( peritonsilar atau retropharyngeal
absess, limfadenitis servikal, otitis media dan mastoiditis ) dan komplikasi lain
seperti demam rematik akut. Muncul sedikit keraguan apakah glomerulonefritis
dapat dicegah dengan antibiotic pada faringitis streptococcal. Antibiotik kurang
efisien meningkatkan gejala saat 2 hari setelah inisisasi penyakit. Namun setelah
1-2 hari gejala muncul, antibiotic sama efektifnya dalam mencegah demam
rematik akut.
Penisilin merupakan pilihan utama karena jarang ada laporan mengenai
resistensi group a streptococcus selama pengobatan faringitis dan karena biaya
yang terjangkau. Literatur terbaru gagal menunjukkan perbedaan antibiotic dalam
penanganan faringitis streptococcal.
Bentuk sediaan oral yang direkomendasikan adalah penisilin V. Untuk
melengkapi eradikasi agen penyebab, penting ditekankan bahwa penicillin oral
harus diminum selama 10 hari meskipun gejala berkurang dalam beberapa hari.
Sulit untuk mengedukasi pasien untuk tetap minum antibiotic tersebut selam 10
hari karena obat yang tidak enak, memerlukan beberapa kali minum dalam seharri
dan cepatnya gejala mereda. Oleh karena amoksilin dilaporkan sama efektifnya
dan memiliki rasa yang lebih enak, maka dapt diberikan juga pada anak anak.
Brazilian guideline untuk mencegah demam rematik akut merekomendasikan
dosisi tunggal Penisilin Benzatin IM sebagai drug of choice untuk mengobati
faringitis streptococcal, Pengobatan ini memiliki efek samping yang sedikit dan
memiliki daya eradikasi yang kuat. Tabel 3 memperlihatkan regimen dosis
antibiotic. Pada pasien yang alergi penisilin, cephalosporin dapat digunakan
sebagai alternative pengganti, meskipun hypersensitive juga dapat terjadi. Atau
pilihan lain dapat menggunakan makrolida. Resistensi S.Pyogens pada eritromisin
meningkat dengan meningkatnya penggunaan makrolida.
Literature terbaru menunjukkan bahwa antibiotic generasi baru seperti
azitromisin selama 3-6 hari sama dengan penisilin oral dalam 10 hari. Tetapi
author menyarankan hasil ini harus dijelaskan dengan peringatan pada daerah
dengan insidensi rheumatic heart disease yang tinggi.
Anti inflammatory agent seperti ibuprofen, ketoprofen dan diclofenac atau
agen analgesic seperti paracetamol dapat mengurangi gejala dan demam tinggi.
Kortikosteroid sistemik tidak boleh diresepkan rutin pada faringitis akut. Kecuali
pada pasien yang memperlihatkan gejala berat ( memiliki skore 3-4 pada criteria
centor.
Pada faringitis rekuren, culture swab tenggorok atau rapid antigen
detection harus dilakukan. Jika hasil positive pasen harus diterapi lagi. Pada kasus
ini juga direkomendasikan untuk mendeteksi dan mengobati karier di daerah yang
sama.

PERSPEKTIF KEDEPAN

Pandangan kedepan adalah mencegah faringitis streptococcus serta


komplikasi sistemik dan mengembangkan vaksin anti Streptococcus pyogenes.
Beberapa decade lalu telah diupayakan pembuatan vaksin. Sekarang ini sedang
dilkukan uji prekilinik. Penelitian experiment baru baru ini menunjukkan bahwa
55 residu peptide yakni StreptInCor merupakan vaksin yang efektif dan aman
dalam mencegah infeksi S.Pyogenes.
Kesimpulaanya faringitis akut/ tonsillitis akut merupakan penyakit yang
umum disebakan oleh virus dan bakteri, S.Pyogenes memerlukan pengobatan
spesifik karena dapat menjadi pemicu munculnya komplikasi sitemik. Diagnosa
faringitis didukung dengan riwayat penyakit serta hasil pemeriksaan fisik.
Clinical centor score telah digunakan untuk memperkirakan resiko infeksi
S.Pyogens. Kultur tenggorok merupakan gold standar untuk mendiagnosa
S.Pyogens. Rapid antigen detection telah digunakan untuk mendeteksi langusng
S.Pyogens dari swab tengorok dalam beberapa menit. Penisilin tetap merupakan
pilihan utama dalam penanganan faringitis dan mencegah demam rematik akut.

Anda mungkin juga menyukai