Anda di halaman 1dari 14

BAB I

LAPORAN KASUS
I. Identitas pasien
Nama : Tn. C
No. RM : 0501129
Tanggal lahir : Makassar, 01 November 1996
Umur : 23 tahun
Suku :-
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Jl. Rahmatullah 3
Tanggal masuk : Jumat, 15 November 2019
II. Subjektif
Keluhan utama : Demam
Anamnesis terpimpin
Keluhan demam dirasakan sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu. Demam
dirasakan terutama di sore dan malam hari. Keluhan disertai dengan lemas
serta pusing. Keluhan kadang disertai dengan nyeri ulu hati.
- Riwayat penyakit lain tidak ada
- Riwayat kebiasaan merokok ada
- Riwayat keluhan dan penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada
- Riawayat pengobatan tidak ada
III. Objektif
Tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Pernafasan : 20 x/ menit
Suhu : 36 C
Status gizi
BB : 65
TB : 159
IMT : 25,7 ( obes 1 )
Pemeriksaan fisik
1. Mata
Anemia : (-)
Pupil : isokor
Ikterus : (-)
Udem palpebra : (-)
2. THT
Tonsil : dalam batas normal
Fharing : dalam batas normal
Lidah kotor (+)
3. Leher
Pembesaran kelenjar : dalam batas normal
4. Thorax
Simetris/ asimetris : simetris
BJ I/II : reguler
Paru : dalam batas normal
Suara nafas : ronchi (-), wheezing (-)
5. Abdomen
Nyeri tekan : (-)
Peristaltic : dalam batas normal
Acites : (-)
6. Ekstremitas : hangat (+), edema (-)
7. Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan
8. Kulit
Warna : dalam batas normal
Tugor : dalam batas normal
Pemeriksaan neurologi : tidak dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan penunjang
Tes widal : O 1/320 , H 1/60
IV. Resume
Seorang laki-laki berusia 23 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
demam yang dirasakan sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu. Demam
dirasakan pada sore dan malam hari.
Tidak didapatkan riwayat keluhan dan penyakit yang sama pada keluarga
serta riwayat pengobatan. Didapatkan tanda vital: Tekanan Darah (100/70
mmHg), Nadi (80x/menit), Pernafasan (20x/menit), Suhu (36C). Pemeriksaan
auskultasi pada lapang paru tidak ada wheezing dan ronchi yang didapatkan.
Dari hasil pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam batas normal,
pasien tampak anemis (-), bibir kering (+), lidah kotor (+) , peristaltic (+)
kesan menurun.

V. Assessment
Diagnosis kerja : Typhoid fever
Diagnosis banding :-

VI. Terapi/tindakan
Non medikamentosa
Edukasi istirahat cukup
Edukasi makanan lunak
Medikamentosa
Thiamphenicol 3 x 500 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Ambroxol 3 x 30 mg
Antasida syrup
Caviplex

VII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indoneia. Penyakit
ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. 1

II. EPIDEMIOLOGI
Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan
Eropa, hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan
yang baik, dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembanG.
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah,
Asia Selatan, Asia Tenggara dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens >100
kasus per 100.000 per tahun). Insidens Demam Tifoid yang tergolong sedang
(10-10.000 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika,
Amerik Latin dan Oceania, serta yang termasuk rendah (>10 kasus per
100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.1
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi
yang berua 3-19 tahun serta berkaitan dnegan rumah tangga. Ditjen Bina
Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2010,
melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081 kasus).1

III. PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella
paratyphi (S. Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi sebagai kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya bekembang biak. Bila respons
imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel – sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. 1
Selanjutnya, melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke suluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. di organ organ ini, kuman
meninggalkan sel sel fagosit dan kemudian berkembang biak di liar sel dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalibya dengan disertai tanda tanda dan dengan gejala penyakit
sistemik.1
Sebagian kuman dikeluarkan melalui fases dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi darah menembus usus. proses yang sama terulang kembali,
sehingga terjadi fagositosis kuman Salmonella typhi yang menyebabkan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik. Pada plaque peyeri, makrofagh hiperaktif
menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sakitar plaque peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di
dinding usus. 1

IV. GAMBARAN KLINIS


Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala
klinis ringan-berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama ditemukan
keluhan dan gejala yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan
epistaksis.1
Pada pemeriksaan fisis hanya di dapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hari hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala berupa demam, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, sopor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan
pada orang Indonesia.19

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mendeteksi
demam tifoid1 :
1. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi.
Pada Uji Widal terjadi suatu aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibody yang disebut agglutinin. Uji Widal adalah untuk
mennetukan adanya aglutin dalam serum penderita tersangka dalam
tifoid yaitu: a.) Aglutinin O dari tubuh kuman), b.) Aglutinin H flagella
kuman ) dan c.) Aglutinin Vi. Dari ketiga agglutinin tersebut hanya
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
2. Uji Typhidot
Dapat mendeteksi antibody Ig G dan Ig M yang terdapat pada protein
membrane luar Salmonella Typhi. Hail positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara
spesifik antibody Ig M dan Ig G terhadap antigen S.typhi seberat 0 kD,
yang terdapat pada strip nitroselulosa.
3. Uji Ig M Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody Ig M spesifik terhadap S.typhi
pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida S.typhi dan anti Ig M, reagen
deteksi yang mengandung antibody anti Ig M yang dilekati dengan
lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan
reagen dan serum pasien, tabung uji.
4. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh beberapa hal seperti berikut ‘: 1.) telah mendapatkan
terapi antibiotic, 2.) Volume darah yang kurang , 3.) Riwayat Vaksinasi,
4.) Waktu pengambilan darah setelah 2 minggu pertama, pada saat
aglutinasi semakin meningkat.

VI. PENATALAKSANAAN
Trilogi penatalaksanaan Demam Tifoid 1;
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan seperti dengan tirah baring. tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat, seperti : makan, minum,
mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan serta sangan diperlukan untuk
menjaga kebersihan selama perawatan.
2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. diet merupakan hal yang
cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoif,
karena maknan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi
penderita akan semakin turun sehingga proses penyembuhan akan
semakin lama.
3. Pemberian antibiotic, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Obat – obat anti mikroba yang digunakan untuk
mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut ;
a) Kloramfenikol.
Dosis yang diberikan adalah 4  500 mgper hari dapat diberikan
secara per oral atau intravena.diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas. Pada penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan, oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. pada penelitian yang dilakukan selama 2002
hingga 2008 oleh Moehario LH dkk didapatkan 90% kuman masih
memiliki kepekaan terhadap antibiotic ini.
b) Ampicilin dan Amoksisili
Efektivitas obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara
50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
c) Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis yang digunakan adalah 2  2 tablet ( 1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetroprim) diberikan selama
2 minggu.
d) Tiamfenikol.
Komoplikasi tiamfenikol menyebabkan hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloromfenikol. Dosis yang digunakan adalag 4  500 mg,
demam rata –rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
e) Sefalosporin generasi ketiga.
Golongan yang terbukti untuk demam tifoid adalah seftriaskson,
dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100
cc diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan
selama 3 hingga 5 hari.
f) Azitromisin.
Azitromisin 2  500 mg menunujukkan bahwa penggunaan obat ini
secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat
inap. Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan
Azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu
menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal
untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S.typhi yang
merupakan kuman intraseluler.
VII. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada sekitar 10-15% pasien terutama dalam minggu ke-
2 atau lebih . Komplikasi utama adalah perdarahan saluran cerna, perforasi
usus, dan ensefalopati tifoid. Relaps dialami oleh 5 – 10% pasien dan
terjadi 2 – 3 minggu steralah demam turun. Komplikasi demam tifoid 2,3 :
 Abdomen : Perforasi usus terutama ileum, perdarahan saluran cerna,
Hepatitis, kholestitis
 Kardiovaskuler : Miokarditis Syok
 Neuropskiatri: ensefalopati, delirium, psikotik, meningitis, gangguan
koordinasi
 Respirasi : Bronchitis, Pneumonia
 Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID
 Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis
 Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis
Lain – lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik

VIII. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat
diperlukan karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan
kesakitan dan kematian akibat demam tifoid, menurunkan anggaran
pengobatan pribadi maupun Negara, mendatangkan devisa Negara yang
bersal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat
Negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi
terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. 3
Preventing dan control penularan, tindakan preventif sebagai upaya
penularan dan peledakan kasus luar biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup
banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen
penyakit dan factor penjamu ( host ) serta lingkungan. Secara garis besar
ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid yaitu3 :
1. Identifikasi dan eredikasi salmonella typhi baik pada kasus demam
tifoid maupun kasus karier tifoid.
2. pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut
maupun karier
3. Proteksi pada orang yang beseiko terinfeksi

Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik,


karier dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman
S.typhi ini cukup sulit dan memerlukan biaya yang cukup besar baik
ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaanya dapat
secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada
penerimaan pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi –populasi tertentu seperti pengelola sarana
makanan – minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel
sampai pabrik serta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait
dengan pelayanan pelayanan masyarakat yaitu petugas kesehatan, guru,
petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya. 3
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut
maupun karier dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah
dan lingkingan sekita orang yang telah diketahui mengidap kuman S.
typhi. 3
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.Sarana
proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya
endemis atau non endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan
tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan
individu beresiko yaitu golongan imunokompromais maupun golongan
rentan. 3
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu3 :
Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
 Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
 Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan –
minuman
 Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemic tifoid


 Pencarian dan eliminasi sumber penularan
 Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus
 Penyuluhan higien dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

Daerah endemic
 Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan
 Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar

IX. EDUKASI
Pasien tifoid harus diedukasi mengenai perjalanan penyakit, penularan, dan
kemungkinan komplikasi yang akan timbul. Pengobatan antibiotika harus
ditekankan kepada pasien, agar pasien menyelesaikan terapi antibiotika untuk
menghindari terjadinya resistensi. Selain itu, pasien diminta untuk istirahat yang
cukup dan mengonsumsi makanan yang lunak dan mudah dicerna. Pasien juga
diminta untuk minum air yang cukup untuk menjaga hidrasi dan keseimbangan
elektrolit. Pasien diminta untuk berhati-hati saat buang air dan mempersiapkan
makanan untuk orang lain, karena penyakit ini menular melalui rute fekal-oral.
Cara paling mudah melakukan hal ini adalah dengan mencuci tangan
menggunakan sabun.4
BAB III
PEMBAHASAN
csnkcmsmcccccccccccccccccccccccccccccccccccccccccccccccmcmmcmcmc
mcmc
Daftar Pustaka
1. Siti Setiati, Idrus Alwi, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing; 549-553.
2. Nasronudin.Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini &
Mendatang, edisi 1. Surabaya:Airangga University Press; 2011.h. 187 – 198
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam .Interna Publishing. Jakarta.2010 hal 2797-
2805
4. Litbang Depkes RI. Program Pengendalian Demam Tifoid
di Indonesia: tantangan dan peluang. 2016.

Anda mungkin juga menyukai