DISUSUN OLEH :
ANANDA BELA YUSTISIA (17308141038)
RESTUNINGRUM YENI P. (17308141066)
ELLYZA YOHANA PUTRI P. (17308144007)
LANI RIZKI NUGRAHENI (17308144014)
KELOMPOK 9
BIOLOGI B 2017
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman secara
vegetatif untuk mengisolasi bagian tanaman seperti sel, jaringan dan organ serta
menumbuhkannya menjadi tanaman utuh dalam kondisi lingkungan yang aseptik (in
vitro). Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (tissue culture) bertujuan untuk
mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak dan seragam pertumbuhannya.
Keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh media yang digunakan seperti sumber
eksplan, pemberian zat pengatur tumbuh, unsur hara makro dan mikro, bahan organik,
karbohidrat, asam amino, vitamin, bahan pemadat media dan kondisi bahan, peralatan
dan ruangan yang steril. Respon pertumbuhan planlet pada kultur jaringan juga
tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkannya (Narayaswamy, 1994).
Pada praktikum dilakukan penanaman biji kacang, induksi tunas dan kalus
secara in vitro dengan menggunakan biji kacang panjang.
B. Tujuan
1. Mengetahui penanaman biji kacang secara kultur in vitro
2. Mengetahui kultur induksi kalus
3. Mengetahui kultur induksi tunas
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman
seperti sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya menjadi tanaman utuh dalam
kondisi lingkungan yang aseptik (in vitro). Keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh
media yang digunakan seperti sumber eksplan, pemberian zat pengatur tumbuh, unsur
hara makro dan mikro, bahan organik, karbohidrat, asam amino, vitamin, bahan
pemadat media dan kondisi bahan, peralatan dan ruangan yang steril. Respon
pertumbuhan planlet pada kultur jaringan juga tergantung pada jenis tanaman yang
dikulturkannya (Narayaswamy, 1994).
Teknik kultur jaringan melalui biji atau embrio (seksual) dilakukan dengan
alasan biji tidak mempunyai endosperm (cadangan makanan) atau biji berukuran
sangat kecil. Selain itu, teknik kultur jaringan juga bertujuan untuk mendapatkan
keseragaman bibit dalam jumlah besar dan waktu yang relatif singkat. Dari kultur
jaringan ini diharapkan pula memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul
(Widiastoety, 2003).
Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan, secara lebih spesifik terdapat
beberapa tipe kultur, yaitu kultur halus, kultur suspensi sel, kultur akar, kultur pucuk
tunas, kultur embrio, kultur ovul, kultur anter, kultur kuncup bunga. Pelaksanaan
teknik kultur jaringan ini berdasarkan atas teori sel seperti yang dikemukakan oleh
Schleiden dan Scwann, yaitu sel mempunyai kemampuan autonomi, bahkan
mempunyai kemampuan totipotensi. Kemampuan totipotensi adalah kemampuan tiap
sel untuk tumbuh menjadi tanaman yang sempurna bila diletakkan di lingkungan yang
sesuai (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Perbanyakan secara in vitro tanaman dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
dengan organogenesis dan embriogenesis somatik. Perbanyakan melalui kultur in
vitro dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi
tunas lateral, dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan
dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang
mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh
penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan
sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang
banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Keberhasilan perbanyakan tanaman
secara in vitro baik melalui penggandaan tunas, organogenesis maupun embriogenesis
somatik sangat dipengaruhi oleh genotip dan eksplan, jenis media dasar, serta jenis
dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Kosmiatin et al, 2014)
Medium yang digunakan dalam kultur in vitro tanaman dapat berupa medium
padat atau cair. Untuk memudahkan pembuatan medium kultur sebagian besar
komponen disiapkan dalam bentuk larutan beku. Bahan seperti sukrosa, agar, dan
beberapa komponen tertentu tidak dibuat larutan baku, tetapi langsung ditambahkan
ke dalam campuran untuk pembuatan medium. Medium padat umumnya digunakan
untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi membentuk tanamanyang
lengkap (planlet), sedangkan medium cair biasanya digunkan untuk kultur sel. Media
tumbuh dapat mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik (unsur
makro dan unsur mikro), zat pengatur tumbuh, sumber karbon, vitamin, dan suplemen
organik. Terdapat 13 komposisi media dalam kultur jaringan, antara lain: Murashige
dan Skoog (MS), Woody Plant Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson dan
sebagainya. Media yang sering digunakan secara luas adalah MS (Yuwono, 2008).
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae (Papilionaceae)
Genus : Vigna
Spesies : Vigna sinensis L. (Hutapea et al., 1994).
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu tanaman
kacang-kacangan yang memiliki potensi bagus untuk dikembangkan setelah kedelai
dan kacang tanah. Budidaya kacang panjang umumnya masih dilakukan secara
tradisional dan kurang intensif. Kacang panjang berasal dari Afrika, tetapi belum
dapat dipastikan di mana tanaman ini untuk pertama kali didomestikasi, tampaknya
muncul dua pusat keanekaragaman untuk jenis ini, yang terdiri dari varietas liar dan
varietas budidaya, satu pusat di Afrika Barat (untuk kelompok kv. Unguiculata) dan
yang lainnya di India dan Asia Tenggara (untuk kelompok kv. Biflora dan kelompok
kv. Sesquipedalis). Kacang panjang terutama dibudidayakan di India, Bangladesh,
dan Asia Tenggara serta Oseania, tetapi kemudian tersebar meluas ke seluruh daerah
tropik, sebagai sayur-mayur tambahan (minor vegetable crop) (Rukmana, 1995).
Kacang panjang adalah tanaman hortikultura yang telah banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia. Kacang panjang merupakan anggota famili Fabaceae yang
termasuk ke dalam golongan sayuran. Tanaman kacang panjang merupakan tanaman
semak, menjalar, semusim dengan tinggi kurang lebih mencapai 2,5 m. Batang
tanaman ini tegak, silindris, lunak, berwarna hijau dengan permukaan licin. Daunnya
yang majemuk, lonjong, berseling, bagian tepi rata, pangkal membulat, ujung yang
lancip, pertulangan menyirip, tangkai silindris, dan berwarna hijau. Buah tanaman ini
berbentuk polong, berwarna hijau, dan panjang 15-25 cm. Bijinya lonjong, pipih,
berwarna coklat muda. Akarnya tunggang berwarna coklat muda (Hutapea et al.,
1994).
Kacang panjang mengandung zat gizi cukup banyak. Kacang panjang adalah
sumber protein yang baik, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C, thiamin,
riboflavin, besi, fosfor, kalium, folat, magnesium, mangan, karbohidrat, lemak, serat,
kalsium, potasium, sodium, dan niasin (Handri and Rafira, 2003).
Secara umum terdapat empat sumber yang digunakan dalam perbanyakan mikro
(micropropagation) untuk menghasilkan plantlet, yaitu (1) meristem, (2) apex, (3)
nodus (node) dan (4) bermacam-macam eksplan. Meristem, apex dan nodus dapat
dikulturkan menjadi tunas. Tunas yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan
sebagai sumber untuk menghasilkan tunas-tunas baru dengan menggunakan
percabangan axilari. Tunas-tunas tersebut kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut
sehingga terbentuk perakaran dan akhirnya menjadi plantlet (Yuwono, 2006 ; Fitriani,
2008). Menurut Debergh dan Zimmerman (1991) banyak mikropropagasi
menggunakan eksplan dari tunas apikal dan aksilar. Hanya dalam jumlah terbatas dari
bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan lain, seperti daun dan bunga
(Purwanto, 2008). Eksplan yang biasa digunakan dalam kultur jaringan berupa mata
tunas yang diambil dari jaringan muda bibit tanaman/seedling melalui biji yang
dikultur secara aseptik (Janarthanam, 2011). Penggunaan mata tunas aksiler karena
bagian ini termasuk bagian yang juvenil dan sel-selnya masih aktif membelah
sehingga diharapkan eksplan lebih mudah diinduksi (Gunawan, 1998).
Hormon yang biasa digunakan dalam penelitian kultur jaringan adalah kelompok
sitokinin dan auksin. Pembentukan tunas lebih dipengaruhi oleh hormon sitokinin.
Hormon BAP termasuk hormon sintetik dan memiliki sifat lebih stabil dan kuat
dibandingkan jenis hormon sitokinin lainnya seperti kinetin dan zeatin. Secara umum,
BAP memiliki pengaruh utama dalam perkembangan eksplan yaitu dalam
pembentukan tunas, multiplikasi tunas, dan memacu pembelahan sel dalam
metabolisme tanaman untuk membentuk bagian/organ yang diperlukan (Ashraf, et al.,
2014). Harahap et al. (2014) menyatakan bahwa konsentrasi BAP yang sesuai akan
bekerja dengan optimal pada tanaman tertentu dalam hal induksi tunas. Pertumbuhan
perakaran pada eksplan dapat dikontrol dengan pemberian zat pengatur tumbuh
golongan auksin.
B. Cara kerja
a) Sterilisasi Biji Kacang pada Medium MS-0
Alat dan bahan disiapkan diatas keranjang. Biji kacang yang baik dipilih
sebanyak ± 40 biji. Biji yang sudah dipilih kemudian dicuci dengan detergen
sampai kotoran terlepas dari biji. Biji dibilas dengan air sampai sisa detergen
hilang. Biji dibawa ke Laminar Air Flow dan dipindahkan ke wadah steril.
kondisi lingkungan yang steril diciptakan dengan cara dilakukan sterilisasi LAF
dan alat bahan sebelum digunakan. Biji dicuci dengan 10% klorox / bayclean, lalu
digojok 10 menit (Pencucian 1). Larutan pencuci pada pencucian 1 dibuang.
Pencucian 1 diulang kembali dengan penggojokan selama 5 menit. Biji dibilas
dengan akuades steril sebanyak 3x. Biji direndam dengan 1 mg/L larutan
fungisida selama 30 menit (Pencucian 2). Larutan pencuci dibuang dan biji
dibilas dengan akuades steril sebanyak 3x. Biji dicuci dengan alcohol 70%, lalu
digojog 1 menit (Pencucian 3). Alkohol dibuang dan biji dibilas dengan akuades
steril 1x. Biji ditiriskan di atas kertas saring steril. Biji ditanam pada medium MS-
0 yang sudah disiapkan. Biji yang sudah ditanam disimpan pada rak penyimpanan
kemudian diamati secara berkala dan didokumentasikan.
b) Induksi Kalus pada Medium CIM (MS + 1 ppm 2,4-D) dan Induksi Tunas
SIM (MS + 2 ppm BAP)
Alat dan bahan yang diperlukan disiapkan dalam keranjang dan
dimasukkan ke dalam Clean Bench (di Laminar Air Flow) yang telah disterilkan
terlebih dahulu. Sterilisasi dengan cara bagian luar dibasahi dengan kain yang
telah direndam dengan alcohol 70%. Sarung tangan yang akan dipakai disterilkan
dengan alcohol 70%. Tanaman kacang (dalam kultur in vitro hasil dari kultur biji
kacang) dimasukkan ke dalam LAF. Tanaman dari botol dikeluarkan (pada
kondisi steril), kemudian hipokotil / epikotil tanaman kacang dipotong dengan
ukuran 1 cm (eksplan). Eksplan ditanam pada medium induksi kalus CIM (MS
+ 1 ppm 2,4-D) dan ditanam juga pada medium induksi tunas SIM (MS + 2 ppm
BAP), masing-masing medium ditanam sebanyak 4 eksplan (1 petridish media
berisi 2 eksplan). Eksplan yang sudah ditanam disimpan pada rak penyimpanan
kemudian diamati secara berkala dan didokumentasikan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Penanaman Biji Kacang Panjang
No Gambar Pengamata Keterangan
n hari ke
1 Ulangan 1 4 Pada masing- masing biji terlihat
terdapat pertumbuhan epikotil,
kemudian pada media mengalami
browning ditunjukkan dengan
perubahan warna media dibawah
kacang menjadi kecoklatan.
2 4 Pada masing- masing biji terlihat
terdapat pertumbuhan epikotil,
kemudian pada media masih steril
ditunjukkan dengan tidak terdapat
jamur atau bakteri.
Ulangan 2
3 6 Pada masing- masing biji terlihat
terdapat pertumbuhan epikotil yang
bertambah panjang dan ada hipokotil
yang akan menjadi akar, kemudian
pada media mengalami browning
ditunjukkan dengan perubahan warna
media dibawah kacang menjadi
Ulangan 1 kecoklatan.
4 Ulangan 2 6 Pada masing- masing biji terlihat
terdapat pertumbuhan epikotil yang
bertambah panjang dan terdapat
hipokotil yang akan menjadi akar
kemudian pada media masih steril
ditunjukkan dengan tidak terdapat
jamur atau bakteri.
5 12 Pada masing- masing biji terlihat
terdapat pertumbuhan epikotil yang
bertambah panjang dan muncul daun
dan ada hipokotil yang menjadi akar,
kemudian pada media mengalami
browning ditunjukkan dengan
perubahan warna media dibawah
kacang menjadi kecoklatan yang mana
terdapat kontaminasi dari jamur atau
Ulangan 1
bakteri.
6 12 Pada masing- masing biji terlihat
terdapat pertumbuhan epikotil yang
bertambah panjang dan terdapat daun
dan terdapat hipokotil yang menjadi
akar, kemudian pada media masih
steril ditunjukkan dengan tidak
terdapat jamur atau bakteri.
Ulangan 2
2. Induksi Kalus dan Tunas
B. Pembahasan
1. Penanaman Biji Kacang
Berdasarkan praktikum Kultur Jaringan, kegiatan yang telah dilakukan ini, telah
dilaksanakan 2 kegiatan diantaranya penanaman biji kacang, induksi kalus dan
induksi tunas secara in vitro. Praktikum penanaman biji kacang, induksi tunas dan
kalus secara kultur in vitro dilakukan dengan menggunakan biji kacang panjang.
Praktikum ini memiliki tujuan yaitu mengetahui penanaman biji kacang secara kultur
in vitro, mengetahui kultur induksi tunas, dan mengetahui kultur induksi tunas.
Semua kegiatan dalam kultur jaringan, termasuk penanaman biji kacang dilakukan
di tempat yang steril yaitu Laminar Air Flow (LAF). Sterilisasi dilakukan pada LAF
dan juga pada peralatan yang akan digunakan dengan menggunakan alkohol 70%
yang digunakan untuk membasahi kain, kemudian kain tersebut digunakan untuk
mebasahi peralatan yang digunakan. Dalam praktikum ini, sebelum ditanam pada
media biji kacang panjang terlebih dahulu disterilisasikan. Mula – mula biji dicuci
menggunakan detergen, digojok selama 5 menit di dalam gelas beaker sampai kotoran
terlepas dari biji. Setelah itu, dibilas menggunakan aquadest dan dipindahkan ke gelas
beaker baru. Sambil menunggu biji kering, larutan klorox 10% dan 1 mg/L fungisida
dibuat. Larutan klorox 10% dibuat dari bayclean sebanyak 5 ml dan aquadest
sebanyak 35 ml, dimasukkan ke dalam beaker gelas. Larutan fungisida 1 mg/L dibuat
dengan campuran 0,05 ml fungi dan 49,5 ml aquadest. Kemudian, biji kacang hijau,
alat, dan bahan dimasukkan ke LAF. Biji dicuci dengan klorox 10% dan digojok
selama 10 menit (pencucian 1). Larutan klorox pada pencucian 1 dibuang lalu
diulangi pencucian dengan klorox 10% dan digojok selama 5 menit. Larutan klorox
10% pada pencucian 2 dibuang lalu dibilas dengan aquadest steril sebanyak 3x. Biji
direndam dengan 1 mg/L fungisida dan digojok selama 30 menit (pencucian 2).
Kemudian larutan fungisida dibuang dan biji dibilas dengan aquadest steril sebanyak
3x. Biji dicuci dengan alkohol dan dibilas dengan aquadest steril. Lalu biji ditiriskan
di atas kertas saring steril pada cawan petri dan dilakukan penanaman pada media MS
0 dalam 2 botol jam. Masing-masing botol jam berisi 3-4 biji kacang hijau.
Browning atau pencoklatan pada media muncul akibat senyawa fenolik yang
teroksidasi menjadi warna kecoklatan pada media. Senyawa fenolik menyebabkan
aktifasi enzim Polyphenol oxidase (PPO), enzim oksidatif sehingga terjadi oksidasi
senyawa fenolik menyebabkan kematian jaringan. Oksidasi senyawa fenolik
menghasilkan senyawa Quinon yang sangat reaktif dan beracun bagi tanaman.
Menurut Fitriani (2003), warna coklat menandakan sintesis senyawa fenolik karena
teroksidasi. Dalam penelitian ini, sel mengalami cekaman luka pada jaringan, selain
cekaman dari medium. Kemudian Menurut Vickery & Vickery (1981) menyatakan
bahwa sintesis senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel
tanaman. Browning pada media juga dapat disebabkan karena proses pemanasan
tinggi selama sterilisasi.
Kemudian pengamatan yang terakhir dilakukan pada hari ke dua belas. Pada
ulangan 1, biji menunjukan pertumbuhan daun, terbentuk batang, dan akar semakin
panjang, tetapi pada medianya, selain mengalami browning juga terdapat kontaminasi
jamur. Pada ulangan 2, pertumbuhan yang ditunjukkan sama dengan ulangan 1, tetapi
pada media tidak terjadi kontaminasi jamur maupun bakteri. Kontaminasi ini dapat
terjadi karena sterilisasi maupun penanaman biji yang kurang sempurna sehingga
mikroba yang ada di sekitar eksplan berkembang biak di dalam media. Kontaminasi
dan browning pada media ini dapat menghambat pertumbuhan, akibatnya pada
kacang ulangan 1 tidak mengalami pertumbuhan yang baik seperti pada ulangan 2.
Praktikum yang dilakukan selanjutnya adalah induksi kalus dan induksi tunas.
Media yang digunakan untuk induksi kalus yaitu CIM (Callus Induction Medium)
sedangkan media yang digunakan untuk induksi tunas yaitu SIM (Shoot Induction
Medium). Pembentukan kalus diawali dengan pembengkakan pada eksplan (Katuuk,
1989). Pada praktikum ini menggunakan media kalus dengan komposisi MS + 2,4-D
dan media tunas dengan komposisi MS + BAP. Media CIM dipakai pada
pertumbuhan induksi kalus, hal ini karena pada media CIM 2,4 - D lebih dominan
sehingga rasio perbandingan antara sitokinin dan auksin sama.
Keberadaan 2,4 - D dalam kultur merupakan agen pemicu stress, bagi tanaman.
Ketika tanaman terpapar stres, maka tanaman akan memberikan respon stres dan
sistem dalam jaringan akan melakukan reprogramming diferensiasi sel melalui
aktivitas metilasi DNA menuju program dediferensiasi. Dengan kata lain kalus
dibentuk oleh tanaman sebagai upaya perlindungan terhadap perlukaan yang berguna
sebagai jaringan penutup luka. Keberadaan 2,4 - D berpengaruh terhadap kemunculan
kalus. Munculnya kalus pada eksplan merupakan salah satu indikator adanya
pertumbuhan dalam kultur in vitro. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang
terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Pertumbuhan
kalus akan terus meningkat seiring dengan pertambahan konsentrasi 2,4-D dalam
media (Gaba,2005).
Pada pengamatan hari ke 3, pada salah satu eksplan yang ditaman pada media
CIM, pertumbuhan dari kalus mulai berlangsung. Seperti yang terlihat pada gambar
pada bagian lingkaran merah terjadi perubahan warna pada eksplan A menjadi
berwarna putih, hal tersebut menandakan bahwa pada eksplan kalus mulai muncul.
Sedangkan pada eksplan B belum terjadi perumbuhan kalus yang signifikan, dilihat
dari ujung eksplan yang hanya sedikit mengalami perubahan warna. Selanjutnya pada
hari ke 6, perubahan pada ujung eksplan semakin terlihat dan semakin luas daerah
yang berubah warna, baik pada eksplan A maupun eksplan B. Pada eksplan B
ujungnya juga terjadi pengelupasan pada kulit eksplan tersebut.
AA
B
B
Hari Ke 3 Hari ke 6
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan, ketika kemunculan kalus terdapat
perbedaan antara warna dan tekstur yang berbeda- beda, sesuai dengan komposisi
selnya. Variasi tekstur kalus ini antara kompak hingga remah, sedangkan warnanya
dari putih hingga hijau. Kalus kompak mempunyai tekstur padat dan keras, yang
tersusun dari sel-sel kecil yang sangat rapat, sedangkan kalus remah mempunyai
tekstur lunak dan tersusun dari sel-sel dengan ruang antar sel yang banyak (Sugiyarto
dan Paramita 2014). Tekstur kalus pada tanaman sangat tergantung dengan komposisi
nutrien media, ZPT, dan kondisi lingkungan kultur. Kalus yang terbentuk pada media
tanam yang ditambah 2,4-D, rata-rata berwarna putih dan kompak. Kalus kompak
pada media induksi dengan penambahan auksin 2,4-D tersusun padat dan susah
dipisahkan sedangkan kalus remah tersusun renggang, rapuh dan minim kandungan
air. Menurut Evan et al, penggunaan media MS akan menumbuhkan kalus yang
remah, berwarna hijau sedikit buram dan kandungan air tinggi.
B
A B
A
Hari ke 3 Hari ke 6
Seperti yang diperlihatkan pada gambar, pada pengamatan hari ke-3 salah satu
ekplan (A) yang ditanam pada media SIM sudah menunjukkan adanya perkembangan,
yakni munculnya daun sedangkan pada ujung eksplan yang lain juga mengalami
perubahan yaitu mulai mengembang. Daun tersebut semakin berkembang sering
waktu seperti yang di tunjukkan pada pengamatan hari ke 6, ujung eksplan yang lain
semakin memperlihatkan perubahan seperti terbelah. Berdasarkan literatur
menyatakan bahwa, daun tersebut merupakan pemanjangan dari tunas aksiler yang
mengalami perkembangan. Proses perkembangan ini dibantu dengan ZPT yang
terdapat dalam sistem pertumbuhan atau yang ditambahkan dari luar. BAP biasanya
digunakan oleh tanaman untuk proliferasi tunas aksiler, namun hal ini juga
mengakibatkan terhambatnya pemanjangan pada pucuk. Hal ini terjadi karena bagian
pucuk menyerap energi sangat besar, untuk proliferasi. Energi lebih digunakan untuk
merangsang perakaran. Zat pengatur tumbuh BAP mempunyai efek fisiologis yang
sama seperti zat pengatur tumbuh alami pada berbagai proses metabolisme tanaman
(Mamun et al, 2004). Kemudian pada eksplan (B) pada hari ke 3, masih sedikit
menunjukkan perubahan yaitu pada ujung eksplan telah terliat berkembang. Setelah
pengamatan hari ke 6, eksplan mulai semakin berkembang terlihat dari kedua ujung
eksplan sudah mengalami perkembangan.
Baik pada induksi kalus dengan menggunakan media CIM dan induksi kalus
dengan media SIM, keseluruhan tidak menunjukkan adanya kontaminasi. Sebab tidak
terjadi perubahan warna pada kedua media, tidak ada pertumbuhan jamur maupun
bakteri pada media dan eksplan. Dikarenakan tidak terjadi komtaminasi eksplan dapat
berkembang dengan baik. Berdasarkan teori menyatakan bahwa, kontaminasi dapat
terjadi dari eksplan baik eksternal maupun internal, mikroorganisme yang masuk
kedalam media, botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril, ruang kerja dan
kultur yang kotor (mengandung spora di udara ruangan laboratorium) dan
kecerobohan dalam pelaksanaan (Pandiangan, 2003).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Praktikum penanaman biji kacang panjang secara in vitro pada media MS.0
yang dilaksanakan berhasil, hal ini ditandai dengan biji kacang yang tumbuh
dengan baik dan tidak terjadinya kontaminasi.
2. Praktikum induksi kalus secara in vitro pada media CIM berhasil dilakukan,
hal ini ditandai dengan tidak terjadinya kontaminasi dan terlihat adanya
pertumbuhan kalus pada ujung eksplan.
3. Praktikum induksi tunas secara in vitro pada media SIM berhasil dilakukan,
hal ini ditandai dengan tidak terjadinya kontaminasi dan terlihat adanya
pertumbuhan tunas yaitu munculnya daun yang merupakan pemanjangan dari
tunas aksiler.
B. Saran
1. Dalam pelaksanaan praktikum kultur jaringan secara in vitro, sebaiknya
praktikan lebih menjaga agar tetap dalam kondisi aseptic.
2. Dalam pelaksanaan praktikum, praktikan telah menyiapkan masker dan lateks
secara pribadi, sehingga semua praktikan selalu untuk melakukan kegiatan
praktikum didalam LAF.
3. Dalam pelaksanaan praktikum, sebaiknya praktikan telah memahami prosedur
kegiatan yang akan dilakukan, sehingga kegiatan praktikum dapat terlaksana
dengan lancar dan cepat selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Ashraf, M.F., Aziz, M.A., Kemat, N. & Ismail, I. (2014). Effect of cytokinin types,
concentrations and their interactions on in vitro shoot regeneration of Chlorophytum
borivilianum Sant. & Fernandez. Electronic Journal of Biotechnology, 17, 275-279.
Evans, D. E., Coleman, J. O. D., Kearns, A. (2003). Plant Cell Culture. New York: Bios
Scientific.
Fitriani, A. (2003). Kandungan Ajmalisin pada Kultur Kalus Cathrathus roseus (L) g. Don
setelah Dietilisasi Homogenal Jamur Pythium aphanidermatum Edson Fitzp. Makalah
Pengantar Falsafah Sains. Bogor : Program Pascasarjana IPB.
Gaba VP. (2005). Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture and Development. 87-99.
In: RN Trigiano and DJ Gray (Eds.). Plant Development and Biotecnology. CRC Press.
United States of America.
Genta. (1997). Budidaya Tanaman Pangan. Surabaya : Agritec.
George, E.F and P.D Sherington. (1984). Plant Propagation by Tissue Culture : Hand Book
and Directory of Comercial Laboratorius. England: Exegenetics Ltd.
Gunawan, L.W. (l988). Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman.
PAU Bioteknologi IPB. Bogor . 303 hal.
Hartmann, H.T., Kester, D. E., & Davies, F.T. (1990). Plant Propagation: Principles and
Practices (5th ed.). New Jersey: PrenticeHall International Inc.
Hendaryono DPS & A Wijayani. (1994). Teknik Kutur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk
Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Ibrahim, M.S.D., N. Nova K., Nurliani B. (2004). Studi Pendahuluan : Induksi Kalus
Embriogenik Dari Eksplan Daun Echinaceae purpurea. Buletin TRO Vol. XV No. 2.
Janarthanam, I., (2011). Perbanyakan Vegetatif Tanaman Melalui Kultur In Vitro. Jurnal
Litbang Pertanian. 20(1): 1-7.
Katuuk, J.R.P. (1989). Teknik Kultur Jaringan Tanaman Dalam Mikropogasi Tanaman.
Manado: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan.
Lestari, E. G. (2011). Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman Melalui
Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen. 7(1), 63-68.
Madhusudanan, K & Rohiman, BA. (2000). The effect of activated charcoal suplemented
media to browning of in vitro cultures of piper species. Biol. Plants, vol. 43, no. 2, pp.
297-99.
Mamun, A. N. K., Matin, M. A., Bari., N. A., Siddique., R. S., Sultana., Rahman, M. H., &
Musa, A. S. M. (2004). Micropropagation of woody legume (Albizia lebbeck) through
tissue culture. Pak J Biol Sci. 7(7): 1099-1103.
Narayaswamy, S. (1994). Plant Cell and Tissue Culture. New Delhi: Tata Mc Graw Hill
Publishing Company Ltd.
Pandiangan, Dingse. (2003). Deskripsi Jenis-Jenis Kontaminan Dari Kultur Kalus
Catharanthus roseus (L.) G. Donn. Manado : UNSRAT.
Purwanto, A.W. (2008). Sansievera Flora Cantik Penyerap Racun. Yogyakarta: Kanisius.
Rahardja PC. (2005). Kultur Jaringan, Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern.
Jakarta : Penebar swadaya.
Rahayu, Bekti Solichatun, dan Endang Anggarwulan. (2003). “Pengaruh Asam 2,4
Diklorofenoksiasetat (2,4-D) terhadap Pembentukan dan Pertumbuhan Kalus serta
Kandungan Flavonoid Kultur Kalus Acalypha indica L”. Jurnal Biofarmasi.
Srilestari R. (2006). Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah Pada Berbagai Macam Vitamin
Dan Sukrosa. Jurnal Ilmu Pertanian 12(1):43-50.
Struik, P.C. (1991). Plant tissue culture. In Biotol (Ed). Biotechnological Innovations in
Crop Improvement. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd.