Anda di halaman 1dari 20

KEADILAN DAN KESETARAAN DALAM

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PENGIDAP


DISLEKSIA
Oleh: Retno Susilowati *)

ABSTRACT: Dyslexia means difficulty associated with


words or symbols written. So dyslexia is a learning disability
on a person’s condition caused by the child’s difficulties
in performing activities of reading and writing. Dyslexia
is a difficulty learning or learning difficulties syndrome
components in words and sentences and learn everything
related to time, direction, and time. This can be seen when the
child is asked to read the letter and number of the child having
difficulty. For people with dyslexia when he was ignored
then they will feel marginalized, hopeless and have no ideals.
With the birth of inclusive education it is helping people with
dyslexia to overcome the shortcomings, so they can help their
parents and teachers to be able to read and write. Patience
and perseverance are also needed for psychologists where they
become meaningless. They facilitated par with other children,
and treated equality. Equality in words and deeds. Thus,
equality and justice for people with dyslexia sufferers for both
boys and girls are treated fairly as possible so that the purpose
of forming a qualified child will be realized.
Keyword: Equality, Dyslexia, inclusion

A. Pendahuluan
Kebijakan pemerintah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun disemangati oleh seruan International Education
For All (EFA) atau yang diterjemahkan dengan Pendidikan untuk
Semua (PUS) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan
global di Dakkar, Senegal tahun 2000. PUS pada dasarnya sangat
relevan dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak
setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32
UUSPN No 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan dan Layanan Khusus.
*) Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 249

Sedangkan pemerataan kesempatan belajar bagi anak


berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan Salamanca tahun 1994.
Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan sekolah-sekolah reguler
dapat melayani semua anak terutama anak-anak yang memiliki
kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia melalui SK Mendiknas
NO.002 /U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah regular yang
melayani penuntasan wajib belajar bagi anak berkebutuhan khusus.
Anak Berkebutuhan khusus menurut SK Mendiknas di atas adalah
anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya secara
signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan baik
itu dari segi fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional dibanding
dengan anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan
pendidikan secara khusus.
Sekolah merupakan suatu wadah atau tempat bagi setiap
anak belajar secara formal untuk mendapatkan layanan pendidikan
sebagai bekal bagi mereka dalam menghadapi masa depannya. Setiap
anak menginginkan mereka dapat diterima dan menjadi bagian dari
komunitas sekolah baik itu di kelas, dengan guru, dan teman sebaya.
Penerimaan yang baik di lingkungan sekolah akan membantu anak
untuk dapat bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas yakni
dalam lingkungan masyarakat. Hal ini juga berlaku pada anak-anak
yang memiliki kebutuhan khusus.
Dewasa ini, sebagian anak yang berkebutuhan khusus sudah
ada yang mengikuti pendidikan di sekolah regular, namun karena
ketiadaan pelayan khusus bagi mereka, akibatnya mereka berpotensi
tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah. Akibat lebih
lanjut, program wajib belajar pendidikan 9 tahun akan sulit tercapai.
Untuk itu, perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan
dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh
pendidikan di sekolah regular yang disebut dengan istilah “pendidikan
terpadu menuju pendidikan inklusi”.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua pesarta
didik baik yang normal maupun berkelainan di kelas yang sama.
Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan
menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta
didik. Sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak untuk dapat
250 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu


dengan guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar
kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Setelah kurikulum pendidikan inklusi ini selesai dikembangkan
dan dimodifikasi sesuai dengan jenis kelainan peserta didik, maka
langkah pokok berikutnya adalah menyiapkan atau mengadakan
serta mengelola sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
mengembangkan potensi anak. Agar tidak terlalu memberatkan maka
setiap kelas sekolah inklusi hanya menampung peserta didik yang
mengalami kelainan jenis.
Pengadaan dan pengelolaan sarana dan prasarana dapat menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,
orang tua dan masyarakat, serta pihak-pihak terkait yang sifatnya
tidak mengikat dengan melibatkan komite sekolah.
Untuk kepentingan pendidikan inklusi, peserta didik yang
memiliki kelainan dapat dikelompokkan menjadi: tunanetra atau
gangguan penglihatan; tunarungu atau gangguan pendengaran;
tunawicara atau gangguan komunikasi; tunagrahita atau gangguan
kecerdasan; tunadaksa atau gangguan fisik dan kesehatan; tunalaras
atau gangguan perilaku dan emosi; anak kesulitan belajar; dan autis.
Kemudian, berdasar tingkat kecerdasan peserta didik terdapat
peserta didik yang memiliki kecerdasan di bawah normal, di atas
normal, dan kesulitan belajar. Anak yang memiliki kecerdasan di
bawah normal yaitu peserta didik yang lamban belajar (Slow leaner)
dan tunagrahita, sehingga untuk menyelesaikan materi pelajaran
tertentu membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding peserta
didik seusianya. Peserta didik yang memiliki kecerdasan di bawah
normal diantaranya: tunanetra, tunarungu termasuk peserta didik
yang mengalami gangguan komunikasi, tunadaksa, tunalaras.
Adapun anak berkesulitan belajar diantaranya: berkesulitan
belajar dalam membaca (Disleksia); berkesulitan belajar dalam menulis
(Disgrafia); berkesulitan belajar dalam berhitung (Diskalkulia).
Peserta didik yang memiliki kecerdasan di atas normal
yaitu peserta didik yang memiliki kondisi sebagai berikut: tidak
mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah; kesulitan bergaul atau
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 251

bersosialisasi dengan teman; kemampuan membaca yang rendah;


tidak mampu memusatkan perhatian; prestasi belajar jauh dibawah
teman-teman sekelasnya; gangguan mobilitas atau gangguan kondisi
fisik dan lain-lain.

B. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang
ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan
belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-
sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai
dengan potensi dan usaha yang dilakukan.
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam
berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara
langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat
berbagai tahap belajar siswa. Tidak seperti cacat lainnya, sebagaimana
kelumpuhan atau kebutuhan gangguan belajar (learning disorder) adalah
kekurangan yang tidak tampak secara lahiriah. Ketidakmampuan
dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda
dengan orang normal lainnya.
Kesulitan belajar adalah keterbelakangan yang mempengaruhi
kemampuan individu untuk menafsirkan apa yang mereka lihat dan
dengar. Kesulitan belajar juga merupakan ketidakmampuan dalam
menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai
bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal,
seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi,
pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak
ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat
proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya
mereka lakukan.
Kesulitan belajar dapat berlangsung dalam waktu yang lama.
Bebarapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini memengaruhi
banyak bagian dalam kehidupan individu, baik itu di sekolah,
pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan
terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain. Beberapa
penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh pada
252 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

kebahagiaan mereka. Sementara itu, penderita lainnya menyatakan


bahwa gangguan ini mengahambat proses belajar mereka, sehingga
tentu saja pada gilirannya juga akan berdampak pada aspek lain dari
kehidupan mereka. Dari sejumlah pendapat tersebut, kesulitan belajar
mempunyai pengertian yang luas dan terjabarkan dalam istilah-istilah,
seperti:
a) Learning Disorder (ketergantungan belajar), adalah keadaan di mana
proses belajar siswa terganggu, karena timbulnya respons yang
bertentangan. Pada dasarnya siswa, yang mengalami gangguan
belajar seperti ini, prestasi belajarnya tidak terganggu, akan tetapi
proses belajarnya yang terlambat, oleh adanya respon-respon yang
bertentangan. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai akan
lebih rendah dari potensi yang dimiliki;
b) Learning Disabelities (ketidakmampuan belajar), adalah
ketidakmampuan seorang siswa, yang mengacu kepada gejala di
mana siswa tidak mampu belajar (menghindari belajar), sehingga
hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya.
c) Learning Disfunction (ketidakfungsian belajar), adalah gejala di
mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik, meskipun pada
dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan
alat indra atau gangguan-gangguan psikologis yang lainnya.
d) Under Achiever (pencapaian randah), yang mengacu kepada anak-
anak atau siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual di atas
normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Terbukti, pada
hasil belajar (sekolah) yang buruk.
e) Slow Learner (lambat belajar), adalah siswa yang lambat dalam
proses balajarnya, sehingga membutuhkan waktu lebih lama,
dibandingkan dengan anak-anak yang lain memilih taraf potensial
intelektual yang sama.
Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnosis
penyakit cacar air atau campak. Cacar air dan campak tergolong penyakit
dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda dengan
kesulitan belajar (learning disorder) yang sangat rumit dan meliputi
begitu banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan,
serta penanganan. Kesulitan belajar yang memiliki beragam gejala ini,
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 253

sangatlah sulit untuk didiagnosis dan dicari penyebab secara pasti.


Hingga saat ini belum ditemukan obat atau perawatan yang sanggup
menyembuhkan mereka sepenuhnya.
Faktor hereditas (genetik) dan lingkungan (environmental) siswa,
sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Artinya,
potensi intelligensi, bakat, minat, motivasi, kurikulum, kualitas dan
model pembelajaran guru, turut memberikan andil bagi keberhasilan
anak didiknya di sekolah.

C. Macam-Macam Kesulitan Belajar Siswa


Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut
learning disorder. Sebagian anak atau siswa mungkin hanya mengalami
kesulitan dalam mengembangkan bakatnya. Kadang-kadang,
seseorang memperlihatkan ketidakwajaran dalam perkembangan
alaminya, sehingga tampak seperti penderita berkesulitan belajar,
namun ternyata hanyalah keterlambatan dalam proses pendewasaan
diri saja. Sebenarnya, para ahli telah menentukan kriteria-kriteria
pasti dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai penderita kesulitan
belajar.
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum seseorang dinyatakan
menderita kesulitan belajar, tertuang dalam sebuah buku petunjuk
yang berjudul DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder).
Diagnosis yang didasarkan pada DSM umumnya dilakukan ketika
individu mengajukan perlindungan asuransi kesehatan dan layanan
perawatan. Wood (2005), menyebutkan kesulitan belajar dapat dibagi
menjadi tiga kategori besar, diantaranya:
a) Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa;
b) Permasalahan dalam hal kemampuan akademik;
c) Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengordinasi
gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum
dicakup oleh kedua kategori di atas.
Masing-masing kategori itu mencakup pula kesulitan-kesulitan
lainnya yang lebih spesifik, dan pada makalah ini akan dipaparkan
tentang kesulitan belajar membaca (disleksia).
254 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

D. Pengertian Disleksia
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang
berarti sulit dalam dan lex berasal dari legein, yang artinya berbicara.
Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan
dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh
ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis,
atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara
tertulis.
Jadi disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan
belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak
tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan
ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada
masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak
mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut.
Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia
sekolah untuk beberapa waktu menulis pada anak disleksia. Bryan &
Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai
suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen
kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan
kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan
waktu, arah dan masa. Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip
oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca
sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan
fungsi otak.
Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8 persen
anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, di mana ketika anak atau siswa
tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca, membaca tanpa irama
(monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan,
penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan
membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf
atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan yang terkait dengan
bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak.
Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca,
yaitu kebiasaan membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan
pemahaman, dan gejala-gejala serba aneka (Mercer, 1983).
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 255

Kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajar


membaca sering tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampakkan
ketegangannya seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara
meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga merasakan perasaan
yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku
menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru. Pada saat
mereka membaca sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi
pengulangan atau ada baris yang terlompat tidak terbaca. Dalam
kekeliruan mengenal kata ini memcakup penghilangan, penyisipan,
penggantian, pembalikan, salah ucap, perubahan tempat, tidak
mengenal kata, dan tersentak-sentak ketika membaca.
Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya
kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan,
tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca, dan tidak mampu
memahami tema bacaan yang telah dibaca. Gejalanya tampak seperti
membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan, dan
membaca dengan penekanan yang tidak tepat.
Gejala disleksia, anak memiliki kemampuan membaca di bawah
kemampuan yang seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan
pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan otak mengolah dan
memproses informasi tersebut. Disleksia merupakan kesalahan pada
proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku
atau tulisan. Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah
muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya
dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih
belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak
memasuki bangku sekolah dasar. Disleksia dapat diamati dengan
timbulnya beberapa gejala berikut:
 Sulit mengeja dengan benar, satu kata bisa berulangkali diucapkan
dengan bermacam ucapan;
 Sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, misal:
b-d, u-n, atau m-n;
 Ketika membaca anak sering salah melanjutkan ke paragraph
berikutnya atau tidak berurutan;
 Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata;
256 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

 Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata


pelajaran diucapkan menjadi perjalanan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain
genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga
mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya.
Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat disembuhkan.
Hal paling penting adalah anak disleksia harus memiliki metode
belajar yang sesuai. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki
metode yang berbeda-beda, begitupun anak disleksia.
Solusi bagi gangguan belajar yang dialami oleh penderita
disleksia dalam kegiatan pemelajarn di kelas diawali dengan adanya
komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia
antara orang tua dan guru.
 Anak duduk di barisan paling depan di kelas;
 Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan
tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak
tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50;
 Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat
menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu
lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan
soal dalam bentuk tertulis di kertas);
 Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk
berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai
dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang
cukup;
 Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak
duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan
murid membedakan antara huruf yang hampir sama;
 Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf
sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu
saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid
harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali.
Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: g, c, o, d, a, s, q, bentuk
zig zag: k, v, x, z, bentuk linear:j, t, l, u, bentuk hampir serupa: r, n,
m, h;
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 257

 Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda


ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan
mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.
Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif,
terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-
temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya.
Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian
buruk akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan
membawa anak menjadi individu dengan self-esteem yang rendah
dan tidak percaya diri. Jika hal ini tidak segera diatasi akan terus
bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang
tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat
membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung
setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-
sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan
saudaranya yang tidak disleksia. Ketika belajar menulis, anak-anak
disleksia melakukan hal-hal berikut:
1. Menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah
kata;
2. Tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang
ingin ia tulis;
3. Menambahkan huruf-huruf pada kata yang ingin ia tulis;
4. Mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi
huruf-huruf tersebut tidak sama;
5. Menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama
sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan;
6. Mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks
yang sedang ia baca.

E. Faktor Penyebab Disleksia


1. Faktor keturunan
Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan
indikasi bahwa 80% dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya
mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang
mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya
anggota keluarga yang kidal. Tim peneliti Jerman dan Swedia
258 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

menernukan gen DCDC2 di daerah kromosom 6. Diduga, faktor


penting penyebab disleksia, karena mempengaruhi migrasi sel
saraf pada otak Selama beberapa tahun, psikolog anak dan remaja
di Universitas Marburg dan Wurzburg mencari keluarga dengan
keluarga (setidaknya satu orang anak) yang mengalami disleksia.
Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan
Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti
Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal
di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman,
yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal
tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2.
2. Memiliki masalah pendengaran sejak usia dini
Problem pendengaran sejak usia dini, Jika kesulitan
pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang
sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara
yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal,
perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan
kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan
kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera
ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli
amatlah diperlukan. Apabila dalam lima tahun pertama, seorang
anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi
ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya
dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi
ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail
dari dokter ahli.
3. Faktor kombinasi kedua faktor di atas
Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan
gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu
penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya
berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Ada dua faktor lingkungan lingkungan yang telah dikaji
pengaruhnya terhadap gangguan belajar pada anak, yaitu timbal
dan cahaya udara. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Para
peneliti telah mempelajari tiga faktor secara khusus, yaitu: ruangan
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 259

kelas yang terbuka, pencahayaan dan kualitas udara. Sekalipun


demikian, sampai saat ini belum ada riset yang memiliki bukti
kuat yang membenarkan faktor pencahayaan atau pemasangan
generator ion di dalam kelas benar-benar bisa mempengaruhi
prestasi belajar siswa.

F. Macam-macam Disleksia
Macam-macam disleksia adalah sebagai berikut:
1. Disleksia Murni, yang meliputi: 1) Disleksia visual, Disebabkan
oleh gangguan memori visual (penglihatan yang berat). Anak
dengan gangguan ini ditandai dengan sama sekali tidak dapat
membaca huruf atau hanya dapat membaca huruf demi huruf
saja. Membaca atau menulis huruf yang mirip bentuknya sering
terbalik, misalnya: b dengan p, p dengan q.
2. Disleksia auditorik, Disebabkan gangguan pada lintasan visual
(penglihatan), auditorik (pendengaran), dalam hal ini bentuk-
bentuk tulisan secara visual tidak mampu membangkitkan imajinasi
bunyi atau pengucapan kata-kata apapun atau sebaliknya dimana
bunyi kata tidak mampu membangkitkan bayangan huruf/kata
tertulis.
3. Disleksia Tidak Murni. Sebagai akibat dari gangguan aspek bahasa
(difasia). Disleksia tipe tersebut dinamakan disleksia verbal, yang
ditandai dengan terganggunya kemampuan membaca secara cepat
dan benar, serta kurangnya pemahaman arti yang telah dibacanya,
sehingga tampak disamping kurang lancar dalam membaca,
banyak tanda baca yang diabaikan begitu saja, hal ini juga sebagai
isyarat bahwa sebenarnya dia kurang memahami apa yang tengah
dibacanya.
Menurut kategori lain macam-macam disleksia adalah sebagai
berikut:
a. Disleksia Primer, ada kesukaran membaca terutama dalam
mengintegrasikan simbol-simbol huruf atau kata-kata, disebabkan
kelainan biologis, 10 persen dari anak berintelegensi normal
menderita disleksia primer, perbandingan anak laki-laki dan
perempuan adalah 5:1.
260 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

b. Disleksia Sekunder, kemampuan membaca terganggu karena


dipengaruhi oleh kecemasan, depresi, menolak membaca, kurang
motivasi belajar, gangguan penyesuaian diri atau gangguan
kepribadian. Dasar teknik membaca masih baik, tetapi kemampuan
membaca tersebut digunakan secara kurang efektif karena
dipengaruhi faktor emosi.
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tersebut
diduga menderita kesukaran belajar dalam bahasa tertulis (menulis
dan membaca) yang disebut disleksia. Disleksia yaitu kesukaran
belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang
berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat
ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak
mengalami kesulitan.Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia.
Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu
begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang
betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia.
“Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan
mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya
justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang
baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog)
sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat, antara
lain melakukan serangkaian tahapan sebagai berikut:
1. Mengelaborasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan seputar
kemungkinan bahwa anak pernah mengalami keterlambatan-
keterlambatan perkembangan ketika masih kanak-kanak yang
mana hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah sang
anak;
2. Menguji kemampuan membaca anak untuk mengetahui pada
tingkat berapa sebenarnya ia berada;
3. Memberikan tes matematika tertulis. Jika permasalahannya pada
membaca soal, tidak terhadap materi dan isi soal matematika itu,
berarti ia mengalami gangguan dalam membaca;
4. Melihat catatan dan laporan dari pihak sekolah. Ketika setiap mata
pelajaran yang melibatkan kemampuan membaca secara individu,
bukan lagi membaca dalam sebuah kelompok atau lainnya,
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 261

penderita disleksia mulai mengalami kesulitan menyelesaikan


pekerjaannya;
5. Menemukan kemungkinan riwayat keluarga si anak. Bisa jadi ada
kaitannya dengan faktor keturunan;
6. Mengetahui lebih jauh mengenai kapasitas anak dalam memberikan
perhatian kepada aktivitas-aktivitas yang ia senangi, seperti hobi
seni, kerajinan tangan, dan game.

Aneka Keterlambatan yang Mengarah ke Disleksia


Peristiwa pada anak yang dapat memperkuat dugaan disleksia
ini adalah:
1. Lambat bicara jika dibandingkan kebanyakan anak seusianya.
2. Lambat mengenali alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna,
bentuk dan informasi mendasar lainnya.
3. Sulit menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar.
4. Menunjukkan keterlambatan ataupun hambatan lain dalam proses
perkembangannya.
5. Ada anggota keluarga yang juga mengalami masalah serupa, atau
hampir sama.
6. Perhatian mudah teralihkan dan sulit berkonsentrasi.
7. Mengalami hambatan pendengaran.
8. Rancu dalam memahami konsep kiri kanan, atas-bawah, utara-
selatan, timur-barat.
9. Memegang alat tulis terlalu kuat/keras
10. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya
tanda +, -, x, dan sebagainya.
11. Mengalami kesulitan dalam mengatakan waktu.
12. Sulit mengikat tali sepatu.
13. Sulit menyalin tulisan yang sudah dicontohkan kepadanya.
14. Mempunyai masalah dengan kemampuan mengingat jangka
pendek berkaitan dengan kata-kata maupun instruksi tertulis.
15. Sulit mengikuti lebih dari sebuah instruksi dalam satu waktu yang
sama.
16. Tidak dapat menggunakan kamus atau pun buku petunjuk
telepon.
262 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

G. Ciri-Ciri Anak Disleksia


Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak
memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu. Sebelumnya, di TK,
kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa
gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan
proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya
kata “saya” urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya
menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan
mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata
tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi
anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan
huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang
mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga
rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi,
seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di
halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin
bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang
dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata,
misalnya “hal” menjadi “lah” atau “Kucing duduk di atas kursi”
menjadi “Kursi duduk di atas kucing.”
9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan,
jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana
untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada
tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru,
tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 263

13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak
dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil,
tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.

H. Keadilan dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi


Pengidap Disleksia
Pendidikan terpadu saat ini diarahkan menuju Pendidikan
Inklusif sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat
mengakomodasikan pendidikan bagi semua anak terutama anak-anak
yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus, yang selama ini masih
belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya
anak-anak lain. Sebagai wadah yang ideal, Pendidikan inklusif
memiliki 4 karakteristik makna yaitu:
a. Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam
usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman anak.
b. Pendidikan inklusif berarti memperdulikan cara-cara untuk
meruntuhkan hambatan-hambatan dalam anak belajar.
c. Pendidikan Inklusif membawa makna bahwa anak kecil yang hadir
(di sekolah) berpartisipasi dan mendapatkan hasil yang bermakna
dalam hidupnya.
d. Pendidikan inklusif diperuntukkan utamanya bagi anak-anak
yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan pelayan
pendidikan khusus dalam belajar.
Bagi pengidap disleksia pendidikan inklusif sangat diperlukan.
Beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak
hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali,
tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan)
serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan
huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin
(plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas.
Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara
264 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah


otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
b. Membangun rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami
atau diketahui lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri.
Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam
belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar
seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering
dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif,
sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan. Alangkah
baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak.
Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor
penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa
diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari
proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga
permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana.
Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses
yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan
rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para
penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan
membaca dan menulis.
Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin
melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini.
Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam
hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk
membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi
dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan
yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif
dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan
gangguan disleksia.
Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua
kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu
demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang
mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia
adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang
yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 265

benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang
suka padanya.
Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar
bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat
ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang
terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan
sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
Cara yang paling sederhana dan efektif untuk membantu anak-
anak yang mengalami gangguan disleksia adalah dengan memberikan
pelajaran membaca dengan menggunakan metode phonic. Hal ini
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gittelman & Feingold
memberikan kesimpulan sebagai berikut. Intervensi terhadap pelajaran
membaca dalam bentuk phonic benar-benar terbukti membantu anak-
anak yang memiliki masalah dengan membaca.
Cara yang dilakukan oleh orang tua. Orang tua dapat melakukan
program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Membuat jadwal harian untuk membiasakan anak membaca;
2. Istirahat sejenak apabila terlihat kelelahan, lapar atau mulai jenuh;
3. Memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketika baru pertama
kali melakukannya;
4. Membuat target-target yang ingin dicapai;
5. Memberi reward & punishment pada anak setiap melakukan
kemajuan dan kesalahan.
6. Membuat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika
dibacakan, anak tidak berarti harus mengulang kata.
7. Mulai dengan membaca beberapa halaman atau paragraf pertama
dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak anda terpancing
untuk menyimak.
8. Membuat aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan
beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf di
samping aktivitas membaca.
9. Membaca dengan suara keras di hadapan anak. Berdasarkan
bukti-bukti yang ada, pendekatan yang paling baik adalah dengan
menggunakan guru kelas regular untuk anak-anak tersebut.
Namun, apabila masih kesulitan, guru tersebut bisa dibantu oleh
seorang spesialis, yang akan memberikan pelajaran membaca.
266 PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012

Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog) bisa memberikan terapi


apabila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini:
1) Setres karena takut belajar membaca; dan 2) Permasalahan
membaca pada anak tersebut memancing terjadinya konflik dalam
sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa terisolir dari
lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan membaca
yang mereka alami.

I. SIMPULAN
Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami
gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi
sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan
dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan
penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir,
menulis, berhitung, atau ketrampilan sosial.
Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab
keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya,
atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan. Disleksia yaitu
kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari
komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala
sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut
dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka
sang anak mengalami kesulitan.
Bagi pengidap disleksia ini apabila dia diabaikan maka mereka
akan merasa termarginalkan, putus asa dan tidak punya cita-cita.
Dengan lahirnya pendidikan inklusi maka sangat menolong pengidap
disleksia untuk bisa mengatasi kekurangannya, sehingga mereka
dapat dibantu orang tuanya dan gurunya untuk bisa membaca dan
menulis. Kesabaran dan ketekunan para psikolog juga diperlukan
agar keberadaan mereka menjadi berarti. Mereka difasilitasi setara
dengan anak-anak lain, dan diperlakukan adil. Adil dalam tutur
kata dan perbuatan. Dengan demikian, kesetaraan dan keadilan bagi
pengidap disleksia baik itu pengidap untuk anak laki-laki maupun
anak perempuan menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan, sehingga
tujuan membentuk anak yang berkualitas akan terwujud.
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia
( Retno Susilowati ) 267

SUMBER RUJUKAN

Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan


Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Clark, Barbara. 1983. Growing up Gifted. London: Charles E. Merril.
Gunarsa, Singgih D. 1981. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, Singgih D dan Gunarsa, Yulia Singgih D. 1986). Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hornsby, Beve. 1984. Overcoming Dyslexia. Singapore: PG Publising
Pte.Ltd.
Lerner, Janet W. 1988. Learning disabilities: Theories, Diagnosis, and
Teaching Strategies. New Jersey: Houghton Mifflin Company.
Suryabrata, Sumadi. 1991. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.
------------------------. 1991. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Winkel, W.S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai