Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya suatu penyakit dapat diobati oleh satu obat. Obat tersebut
ditetapkan dosis dan frekuensi pemakaiannya dalam sehari karena pada umumnya
obat digunakan untuk pemakaian ganda (berulang). Frekuensi pemakaian
ditetapkan berdasarkan parameter farmakokinetiknya seperti tetapan kecepatan
eliminasi. Semakin kecil tetapan kecepatan eliminasi, maka semakin berkurang
frekuensi pemakaiannya dibandingkan dengan obat yang mempunyai tetapan
kecepatan eliminasi yang lebih besar. Oleh karenanya, jika seseorang
mendapatkan dua jenis obat atau lebih yang mempunyai waktu paruh biologis
berbeda maka frekuensi pemakaiannya seharusnya berlainan. Aspek-aspek
tersebut di atas dipelajari di dalam ilmu farmakokinetik.
Dewasa ini, banyak obat yang dibuat oleh industri farmasi berupa obat
kombinasi tetap dalam satu bentuk sediaan farmasi (misalnya tablet atau kapsul)
yang mengandung dua zat berkhasiat atau lebih yang diberikan dengan frekuensi
pemakaian yang sama. Tampaknya pertimbangan utama yang dipakai oleh
industri farmasi tersebut lebih didasarkan pada pertimbangan logic
pharmacodynamic, dan masih kurang memperhatikan aspek farmakokinetik dari
obat-obat tersebut. Oleh karena itu dapat terjadi dalam suatu kombinasi obat
terdapat komponen-komponen zat aktif yang berlainan parameter
farmakokinetiknya, khususnya waktu paruh eliminasi, sehingga apabila
dikonsumsi secara bersamaan dan dengan pemberian berulang yang sama, dapat
mengakibatkan terjadinya akumulasi pada salah satu obat atau keduanya.
Kombinasi obat semacam ini banyak terdapat dalam obat flu atau obat batuk, obat
hipertensi, obat diabetes, dan obat jantung yang sering diresepkan oleh dokter
dokter diapotek maupun dirumah sakit, sehingga terjadi interaksi beberapa
interaksi obat.
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
(drug-related problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Menurut
Harttshorn interaksi obat adalah peristiwa dimana efek obat dipengaruhi, baik
secara langsung maupun tidak langsung, oleh obat lain yang diberikan bersamaan
atau sebelumnya. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, diantaranya meliputi
interaksi farmakodinamik dan farmakokinetika. Interaksi farmakokinetika terjadi
bila salah satu obat dapat mempengaruhi absorpsi, distribusi dan eliminasi
(metabolism dan ekskresi obat lain, sehingga kadar obat yang terpengaruh itu
akan meningkat atau menurun. Interaksi farmakodinamika adalah interaksi obat
yang terjadi pada ikatan obat dan rerseptor sehingga akan mempengaruhi efek
kerja obat yang ditimbulkannya. Pentingnya pengetahuan mengenai interaksi obat
akan membantu dokter dan farmasis untuk mengidentifikasi dan mencegah
terjadinya interaksi obat pada pasien. Pengetahuan mengenai interaksi obat dapat
mencegah morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan keamanan dari pasien.
Farmasis mempunyai peran penting dalam melakukan kontrol untuk mencegah
potensi efek samping merugikan dari interaksi obat yang tidak diharapkan. Oleh
karena itu penulis tertarik meniliti interaksi obat pada fase farmakokinetiknya
khususnya dibagian fase ekskresi

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi, penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan
interaksi obat
2. Mengetahui jenis-jenis interaksi obat pada fase farmakokinetik
3. Mengetahui dampak klinis interaksi obat pada fase ekskresi
4. Mengetahui mekanisme penanganan interaksi obat pada fase ekskresi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Interaksi Obat


Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang
diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah. Menurut Stockley, interaksi obat terjadi
ketika efek suatu obat berubah dengan kehadiran obat lain, obat tradisional,
makanan, minuman atau oleh suatu zat kimia. Interaksi obat bisa juga terjadi di
luar tubuh misalnya reaksi fisiko-kimia yang terjadi pada obat yang dicampur
dengan cairan intravena yang menyebabkan obat tersebut mengendap atau
mengalami inaktivasi.
Efek dari interaksi obat bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau
menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki obat tersebut sebelumnya.
Penurunan efek obat karena interaksi dapat berbahaya bagi pasien misalnya
pemberian warfarin dengan rifampisin dapat menurunkan kadar warfarin dalam
darah sehingga dosis warfarin harus ditingkatkan. Namun ada juga interaksi
obat yang meningkatkan efek suatu obat dan memberi efek menguntungkan.
Misalnya pemberian obat antihipertensi bersama dengan diuretik.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi obat


Tingkat keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien satu
dengan yang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan pasien
terhadap interaksi obat antara lain :
1. Faktor yang berkaitan dengan Pasien (​Patient-Related Factor​)
Faktor yang berkaitan dengan pasien termasuk klirens obat pada pasien
tertentu, usia, faktor genetic, jenis kelamin, penyakit yang diderita, faktor
lingkungan dan makanan. Interaksi obat menjadi sangat penting pada
pasien dengan usia lanjut atau usia yang sangat muda seperti bayi dan
anak-anak, pasien dengan sistem imunitas yang lemah, pasien yang
menerima pengobatan yang berkaitan atau untuk mempengaruhi sistem
kardiovaskular atau sistem saraf pusat, dan juga pasien dengan penyakit
kronis, banyak penyakit dan juga pasien yang mengalami kegagalan ginjal
atau hati. Pasien yang baru saja mengalami transplantasi, pasien dengan
penyakit yang parah, dan penyakit yang berhubungan dengan AIDS juga
lebih rentan untuk terjadinya interaksi obat.
Pada usia lanjut, adanya perubahan pada fase disposisi obat, penyakit yang
banyak dan penggunaan obat yang bermacam-macam meningkatkan resiko
interaksi obat. Demikian juga sulit untuk mengingat waktu penggunaan
obat yang banyak pada waktu yang berbeda. Hal-hal ini cenderung
menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai. Situasi ini diperparah
jika obat-obat OTC (​over the counter)​ juga digunakan oleh pasien. Secara
umum angka kejadian efek samping obat akibat interaksi obat pada usia
lanjut mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa.
Pada sebuah studi yang melibatkan sebanyak 287.074 veteran, obat-obat
yang umumnya berpotensial menyebabkan interaksi obat yang merugikan
adalah verapamil, metrotrexat, amiodaron, litium, warfarin, siklosporin
dan itrakonazol. Manifestasi interaksi obat pada usia lanjut termasuk
halusinasi dan gejolak psikomotor yang disebabkan oleh interaksi antara
venlafaksin dan propafenon, gangguan psikis akibat interaksi antara
natrium valproat dan levetiracetam dan terjadinya ​blood d​ yscrasia akibat
pemberian bersama fenobarbital dan lamotrigin pada pasien epilepsi.
Usia yang rentan juga terhadap interaksi obat adalah anak-anak. Pada
pasien yang berusia di bawah 5 tahun interaksi obat juga berpotensi terjadi
akibat sistem enzimatik metabolik yang belum sempurna sehingga dapat
menyebabkan akumulasi obat. Klirens obat pada anak-anak umumnya
lebih cepat sehingga jika proses metabolism obat berubah maka
meningkatkan resiko toksisitas. Resiko toksisitas teofilin akibat inhibisi
metabolismenya oleh makrolida lebih tinggi pada anak-anak dibanding
orang dewasa. Penyakit mempunyai akibat pada interaksi obat, karena
sitokin, transporter obat dan enzim bisa mengalami perubahan selama
proses infeksi dan proses lainnya. Sebagai contoh, aktivitas transporter
P-glikoprotein menurun pada pasien yang mengalami operasi usus kecil,
dan enzim mikrosomal hepatic CYP3A4 bisa dipengaruhi jika pasien
menderitas sirosis hati
2. Faktor Khusus dari Obat (Drug-Specific Factors)
Termasuk di dalamnya sifat kinetic dan dinamik yang khusus dari
obat, jumlah obat yang diresepkan, dosis, waktu, formulasi dan rute
pemberian. Konsultasi atau pemeriksaan pada beberapa dokter,
penggunaan bebas dari obat alternative dan penggunaan obat yang
termasuk kelompok yang menyebabkan interaksi obat menyebabkan
peningkatan kemungkinan interaksi obat. Angka kejadian interaksi obat
meningkat dengan jumlah obat yang diterima oleh pasien. Telah
dilaporkan bahwa resiko interaksi obat meningkat cukup pesat ketika obat
yang diberikan melebihi empat, dan angka kejadian interaksi obat yang
signifikan secara klinis mencapai lebih dari 20 % ketika jumlah obat yang
diberikan 10 sampai 20 obat.
Peresepan dan pencampuran bisa menyebabkan pasangan obat
berpotensial berinteraksi yang merugikan. Sebuah studi menemukan
bahwa obat presipitan yang umum diresepkan di sarana pelayanan
kesehatan primer adalah golongan AINS dan antibiotic, khususnya
rifampisin. Obat dengan indeks terapi sempit atau rendah lebih mudah
menjadi objek interaksi obat yang serius. Obat objek yang sering
digunakan yang menyebabkan interaksi obat termasuk warfarin,
fluorokuinolon, antiepilepsi, antikontrasepsi, cisaprid, dan 3 hidroksi-3
dimana obat-obat ini terlibat pada interaksi obat harus diberikan ‘bendera
merah” termasuk warfarin, siklosporin, eritomisin, antifungi azol, PI
(inhibitor protease HIV) dan inhibitor HMG CoA- reduktase (statin).
Penelitian sebelumnya, sebagai tambahan, mengatakan bahwa
interaksi obat, secara klinis relevan dengan obat-obat yang mempengaruhi
fungsi tubuh (antihipertensi, antidiabetes dan antikoalgulan) dan obat
memiliki kinetika jenuh, metabolisme lintas pertama tinggi atau memiliki
rute eliminasi tunggal yang dapat dihambat. Beberapa faktor
farmakokinetik juga dapat menjadi penyebab interaksi obat. Obat dengan
ikatan protein plasma yang tinggi, obat yang sebagian dimetabolisme oleh
isoform CYP3A4 dan obat yang mana menjadi penginduksi atau
penghambat sistem enzim CYP450 pada umumnya cenderung
menyebabkan interaksi obat.

C.  Mekanisme Interaksi Obat


Terdapat beberapa mekanisme bagaimana obat bisa berinteraksi, tetapi
sebagian besar dapat dikelompokkan menjadi interaksi farmasetik,
farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolism, eksresi), interaksi
farmakodinamik atau interaksi gabungan. Pengetahuan tentang mekanisme
interaksi obat terjadi berguna secara klinis, karena mekanisme dapat
mempengaruhi baik waktu dan metode mencegah atau mengatasi interaksi.
Beberapa interaksi obat muncul sebagai hasil dari dua atau lebih mekanisme.
1. Interaksi farmasetik
Interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan/disiapkan
sebelum obat di gunakan oleh penderita. Misalnya, interaksi antara obat
dan larutan infus IV yang dicampur bersamaan dapat menyebabkan
pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan. Contoh lain : dua obat yang
dicampur pada larutan yang sama dapat terjadi reaksi kimia atau terjadi
pengendapan salah satu senyawa, atau terjadi pengkristalan salah satu
senyawa dan lain-lain. Ada beberapa bentuk interaksi antara lain :
a.Interaksi secara fisik
Misalnya :
-Terjadi perubahan kelarutan
-Terjadinya turun titik beku
b.Interaksi secara khemis
Misalnya :
Terjadinya reaksi satu dengan yang lain atau terhidrolisisnya suatu obat
selama dalam proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan.
2.  Interaksi Farmakokinetik
Interaksi obat farmakokinetik terjadi ketika terdapat perubahan pada absorpsi,
 distribusi, biotransformasi atau eliminasi satu atau lebih obat. Absorpsi
obat di saluran cerna bisa dipengaruhi oleh penggunaan bersamaan zat lain
yang :
● Memiliki luas permukaan yang luas dimana obat bisa diserap
● Mengikat atau khelat
● Mengubah pH lambung
● Mengubah motilitas saluran cerna
● Mempengaruhi protein transport seperti P-glikoprotein
Kita harus membedakan antara efek pada kecepatan absorpsi dan efek pada
jumlah yang diabsorpsi. Pengurangan pada kecepatan absorpsi obat jarang
penting bagi klinis, sedangkan pengurangan jumlah yang diabsorpsi akan
penting secara klinis jika hal tersebut menghasilkan kadar serum yang
dibawah kadar yang menghasikan efek terapeutik.
Mekanisme yang mempengaruhi distribusi obat termasuk :
● Kompetisi pengikatan protein plasma
● Pemindahan dari ikatan jaringan tempat aksi
● Perubahan pada penghalang jaringan local, contohnya : penghambatan
P-glikoprotein pada sawar darah-otak.
Meskipun kompetisi ikatan protein plasma dapat meningkatkan
konsentrasi bebas dari obat yang dipindahkan dalam plasma, peningkatan
itu hanya terjadi sementara saja karena peningkatan ini akan seimbang
pada fase disposisi obat. Pentingnya pemindahan ikatan protein telah
dilebih-lebihkan; penelitian terbaru menyatakan bahwa interaksi tersebut
tidak menghasilkan efek samping. Penggantian dari ikatan jaringan akan
 menyeimbangkan konsentrasi darah.
Metabolisme obat bisa distimulasi atau dihambat oleh terapi obat yang
sedang diterima. Induksi isozim sitokrom CYP450 pada hati dan usus kecil
dapat disebabkan oleh obat-obat seperti barbiturat, bosentan,
karbamazepin, efavirenz, nevirapin, fenitoin, primidon, rifampisin,
rifabutin. Penginduksi enzim juga bisa meningkatkan aktivitas metabolism
fase II seperti glukoronidasi. Induksi enzim tidak terjadi secara cepat,
maksimal efek akan terjadi setelah 7-10 hari dan membutuhkan waktu
yang sama atau lebih panjang untuk menghilangkannya setelah
penginduksi enzim dihentikan. Rifampisin contohnya, bisa menginduksi
enzim setelah pemberian beberapa dosis. Inhibisi metabolisme umumnya
terjadi lebih cepat dari induksi enzim dan bisa terjadi segera setelah
konsentrasi inhibitor dalam jaringan yang cukup tercapai. Bagaimanapun,
jika waktu paruh dari obat yang dipengaruhi panjang, waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tunak serum yang baru bisa satu
minggu atau lebih. Obat-obatan yang bisa menghambat metabolism
CYP450 dari obat lain termasuk amiodaron, androgen, atazanavir,
kloramfenikol, simetidin, siprofloksasin, klaritromisin, siklosporin,
delavirdin, diltiazem, difenhidramin, disulfiram, enoksasin, eritromisin,
flukonazol, fluvoksamin, senyawa dalam sari buah anggur, indinavir,
isoniazid, itrakonazol, ketokonazol, metronidazol, meksiletin, mikonazol,
nefazodon, omeprazol, paroksetin, propoksifen, kuinidin, ritonavir,
sulfametizol, verapamil, vorikonazol, zafirlukas, dan zileuton.
Ekskresi renal dari obat aktif bisa dipengaruhi oleh terapi obat yang
sedang digunakan. Ekskresi renal obat-obat tertentu yang merupakan asam
lemah atau basa lemah bisa dipengaruhi oleh obat lain yang menyebabkan
perubahan pH urin. Hal ini disebabkan oleh perubahan ionisasi obat.
Untuk beberapa obat, sekresi aktif ke dalam tubula renal merupakan rute
eliminasi yang penting. ABC P-glikoprotein transporter berperan dalam
sekresi aktif tubular untuk beberapa obat dan penghambatan terhadap
transporter ini bisa menghambat eliminasi renal yang berakibat
peningkatan konsentrasi obat dalam serum.
3. Interaksi Farmakodinamik
Ketika dua obat atau lebih yang memiliki efek farmakologik yang
sama diberikan secara bersamaan, respon aditif atau sinergistik biasanya
terlihat. Dua obat bisa saja atau tidak memberi aksi pada reseptor yang
sama untuk menghasilkan efek tersebut. Sebaliknya, obat-obat dengan
efek farmakologik berlawanan bisa menurunkan respon salah satu atau
kedua obat. Interaksi obat farmakodinamik merupakan hal yang umum
dalam praktek klinis, tetapi efek samping yang terjadi umumnya bisa
diminimalkan jika kita mengerti farmakologi setiap obat yang digunakan.
Dengan cara demikian interaksi-interaksi bisa diantisipasi dan pengukuran
yang sesuai bisa diambil
a. Interaksi Aditif atau Sinergis
Ketika aksi suatu obat difasilitasi atau ditingkatkan oleh obat yang lain
fenomena in disebut sinergisme dan kombinasi ini disebut kombinasi
sinergis. Sinergisme antara dua obat bisa terjadi dengan cara yang
berbeda-beda.
Ketika dua obat dengan efek sama digunakan bersamaan terjadi efek
adisi, penambahan efek dari dua obat. Contoh yang umum terjadi
termasuk penambahan efek analgesik dari dua obat analgesic, adisi
depresi sistem saraf pusat pada penggunaan bersamaan dua obat atau
lebih depresan sistem saraf pusat atau penambahan efek blockade
neuromuscular dari relaksan otot rangka dan antibiotic
aminoglikosida. Istilah “efek supra-aditif” biasanya digunakan ketika
efek kombinasi menjadi lebih besar daripada jumlah efek obat ketika
ditambahkan. Contohnya adalah kotrimoksazol, kombinasi
trimetoprim dan sulfametoksazol. Dua obat ini berkhasiat sebagai
bakteriostatik tetapi kombinasi keduanya menghasilkan efek
bakterisidal dengan blockade dari dua tahap sintesi asam folat pada
mikroorganisme.
Contoh lain dari kombinasi sinergis termasuk kombinasi kontrasepsi
oral estrogen-progestin, kombinasi nitrat-propanolol untuk profilaksi
angna atau kombinasi antihipertensi dari hidroklorotiazida-enalapril.
Pada situasi seperti ini, dua obat yang dikombinasi biasanya memiliki
efek yang sama atau mekanisme yang bervariasi tetapi memiliki
tujuan yang sama.
Selain itu ada juga contoh interaksi dari obat yang tidak memiliki
peran langsung dalam memberikan efek, tetapi dapat meningkatkan
atau memfasilitasi aksi atau efek dari obat lain, yaitu obat utama untuk
tujuan yang spesifik. Contohnya kombinasi levodopa-karbidopa,
dimana karbidopa bukan obat antiparkinson tetapi memfasilitasi dan
menolong aksi dari levodopa. Carbidopa adalah inhibitor
dekarboksilase dopa peripheral dan mencegah kegagalan peripheral
levodopa sehingga lebih banyak levodopa yang mencapai otak.
Penggunaan sulbaktam atau asam klavulanat (inhibitor beta
laktamase) untuk mencegah rusaknya ampisilin atau amoksisilin
merupakan contoh lain dimana inhibitor beta-laktamase tidak
memiliki aksi antimikroba tetapi memfasilitasi efek dari antibiotic
β-laktam. Contoh-contoh di atas merupakan sinergisme obat atau
potensiasi. Jadi istilah sinergisme dan potensiasi dipertimbangkan
dengan implikasi umum dari efek menguntungkan yang dihasilkan
ketika dua zat atau obat digunakan sebagai kombinasi, tidak
tergantung apakan kedua komponen tersebut memiliki efek yang sama
atau tidak.
b. Interaksi obat antagonistic Antagonistic drug interactions
Interaksi obat antagonis bisa bersifat farmakologi seperti antagonis
kompetitif atau non-kompetitif dan jenis lain dari interaksi obat
antagonis bisa antagonis non-farmakologi atau antagonis non-reseptor,
dimana interaksi antara dua obat tidak terjadi pada tingkat reseptor,
tetapi dua obat tersebut menghasilkan efek yang berlawanan dengan
cara antagonis fisik, kimia atau fisiologik.
- Antagonis reseptor kompetitif :
Dua obat dikombinasikan dan bersaing untuk berikatan pada reseptor
yang sama. Salah satu obat merupakan agonis yang memiliki
aktivitas intrinsic, dan yang lain merupakan antagonis yang
memiliki aktivitas intrinsic yang lemah. Keduanya bersaing untuk
menempati reseptor yang sama dan menggantikan salah satu dari
reseptor tersebut. Interaksi berdasarkan antagonis kompetitif
secara luas digunakan untuk penanganan overdosis atau
keracunan senyawa tertentu, yang spesifik untuk reseptor tertentu
sehingga aksinya dapat dibalikkan dengan menggunakan
antagonis kompetitif untuk reseptor yang sama. Salah satunya
adalah penggunaan nalokson pada overdosis akut opiate,
flumazenil pada overdosis akut benzodiazepine atau atropine pada
keracunan senyawa organofosfat. Senyawa organofosfat adalah
senyawa antikolinesterase yang mengkumulasikan asetilkolin
sehingga atropin digunakan sebagai antagonis kompetitif pada
reseptor kolinergik muskarinik.
- Nonkompetitif antagonis reseptor :
Kombinasi diazepam-bikukulin atau norepinefrin-fenoksibenzamin
adalah contoh dari nonkompetitif antagonis.
- Antagonis non-reseptor atau non-farmakologi :
Antagonis fisiologik, fisika dan kimia adalah berbagai jenis dari
antagonis tipe ini. Dua obat berinteraksi tidak pada tingkat
reseptor yang sama tetapi dengan mekanisme yang lain seperti
yang dijelaskan di bawah ini. Antagonis fisiologis : Ketika dua
obat menghasilkan efek berlawanan pada sistem atau jaringan
atau fungsi fisiologis yang sama. Hidroklorotiazida dan triamteren
walaupun tidak saling berkompetisi pada reseptor yang sama,
tetapi dengan mekanismenya masing-masing menghasilkan efek
yang berlawanan pada eksresi kalium urin. Sama halnya dengan
glucagon dan insulin memiliki efek yang berlawanan pada kadar
gula darah. Antagonis kimia : Dua obat berinteraksi satu sama
lain melalui reaksi kimia. Kalium permanganate digunakan pada
kasus keracunan alkaloid karena mengoksidasi alkaloid yang
tidak terserap di lambung. Hal yang sama juga terjadi ketika
tannin digunakan pada kasus tersebut. Tanin menyebabkan reaksi
kimia dan membentuk tanat-alkaloid yang tidak larut sehingga
mencegah absorpsi dari alkaloid. Dimerkaprol membentuk khelat
dengan logam berat arsen dan berguna untuk keracunan arsen.
Pada overdosis akut besi, desferioksamin digunakan untuk
mengkhelat besi. Nitrat bereaksi secara kimia dengan radikal
sianida untuk membentuk methemoglobin, dan berguna untuk
penanganan keracunan sianida.
Walaupun terjadi di luar tubuh, antagonis antara
heparin-penisilin, heparin-tetrasiklin dan lainnya bisa disebut
sebagai antagonis kimia karena terjadi reaksi kimia antara dua
obat tersebut. Antagonis fisika : Pada antagonis ini, terjadi
fenomena fisika atau reaksi fisika antara dua obat atau zat. Reaksi
fisika termasuk pengikatan atau adsorpsi. Adsorpsi alkaloid di
lambung oleh karbon aktif adalah contoh antagonis fisika
sehingga karbon aktif digunakan untuk cuci lambung ketika
terjadi keracunan alkaloid.
4. Interaksi Farmakokinetik dan farmakodinamik
Ada dua obat yang berinteraksi baik dengan mekanisme farmakokinetika
dan farmakodinamika. Aspirin menggantikan warfarin dari ikatan
protein plasma dan menaikkan kadar warfarin yang meningkatkan
efeknya, yang merupakan efek farmakokinetik. Sebagai tambahan, efek
antiplatelet dari aspirin dan efek antikoagulan dari warfarin
berpotensiasi satu sama lain pada tingkat farmakodinamika.

D.   Interaksi Obat yang dikehendaki secara Klinis


Interaksi obat yang dihendaki adalah efek obat yang menguntungkan yang
meningkat atau efek obat merugikan yang dihilangkan oleh penggunaan
bersama-sama obat lain. Interaksi obat ini dengan sengaja digunakan untuk
memperoleh efek menguntungkan dalam praktek klinis.
Kombinasi seperti sulfametoksazol-trimetoprim atau
sulfadoksin-pirimetamin adalah contoh klasik dari interaksi obat yang
dikehendaki secara klinis. Penisilin atau sefalosporin digunakan bersama
aminoglikosida menyediakan kentungan dari dua obat yang mekanisme aksinya
berbeda. Kombinasi ini menghasilkan spectrum aktivitas yang lebih luas
dibandingkan dengan pemberian satu komponen saja.
E. Interaksi Obat yang Berbahaya
Beberapa interaksi obat yang tidak diinginkan bisa saja menjadi serius
dan/ atau fatal. Efek warfarin yang berlebihan bisa memicu perdarahan dengan
penggunaan bersama ciprofloksasin, klaritromisin, metronidazol,
kotrimoksazol, lovastatin, asetaminofen dan AINS termasuk aspirin.
Peningkatan kadar memicu toksisitas serius dari pengobatan antiepilepsi
(karbamazepin, fenitoin, fenobarbiton) diketahui disebabkan oleh penggunaan
bersama dengan simetidin, eritromisin, klaritromisin dan flukonazol,
sedangkan rifampin diketahun secara signifikan menurunkan efek dari
antiepilepsi. Penggunaan bersamaan AINS atau diuretic memicu peningkatan
yang signifikan kadar litium dan toksisitasnya.

F. Interaksi Obat yang Signifikan secara Klinis


Tidak semua interaksi obat signifikan secara klinis. Signifikansi dari
interaksi obat bisa dari rentang teoritis dan tidak berefek hingga membahayakan
jiwa. Interaksi disebut signifikan ketika terjadi antara dua atau lebih zat yang
diberikan bersama dan menghasilkan kebutuhan untuk penyesuaian dosis salah
satu zat atau intevensi medis lainnya.
Prevalensi interaksi obat yang signifikan secara klinis antara 2 % hingga
16 %. Pemberian bersama-sama obat yang kurang hati-hati dari pasangan obat
sinergis atau antagonis bisa memicu efek yang tidak diinginkan. Beberapa jenis
obat yang umumnya menimbulkan interaksi obat yang signifikan secara klinis
antara lain depresan SSP, antikoagulan oral, antidiabetes, glikosida jantung,
antihipertensi, antihistamin non-sedatif, benzodiazepine, antiepilepsi,
imunosupresan dan pengobatan sitotoksik. Pasien yang sakit parah, memiliki
penyakit kronis dan lanjut usia memiliki resiko terkena interaksi obat ini.
Pemberian kombinasi obat diketahui berpotensi menimbulkan interaksi obat
pada manusia bisa saja tidak menghasilkan interaksi obat pada semua pasien.
G. Manajemen Klinis Interaksi Obat
Setelah menilai tingkat dokumentasi di literature dan tingkat signifikansi
interaksi, pertimbangan harus diberikan pada onset dan offset kejadian,
mekanismenya, perubahan pada hasil, anjuran manajemen dan diskusi pada
literature yang tersedia berkaitan dengan interaksi tersebut. Ketikan seorang
pasien telah diidentifikasi beresiko mengalami interaksi obat yang relevan
secara klinis, langkah-langkah harus diambil untuk mencegah atau
meminimalkan kejadian yang potensial ini. Jika memungkinkan kombinasi
tersebut dihindari atau salah satu atau lebih obat dihentikan. Pengobatan
mungkin bisa diganti dengan pengobatan yang tidak berinteraksi yang ekivalen
secara terapeutik, dosis mungkin bisa disesuaikan, kekuatan dosis atau interval
dimodifikasi, atau rute pemberian diubah.

BAB III
PEMBAHASAN

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat meningkat atau berubah. Selain interaksi obat
dengan obat, interaksi obat dengan makanan, asap rokok, etanol, bahan-bahan
kimia lingkungan dan produk herbal juga dapat terjadi dan mempengaruhi efek
dari obat. Ketika kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak
diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut
digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis.
Interaksi obat kini menjadi perhatian di dunia klinis karena banyak kasus
yang terjadi, ADR yang tinggi, dan untuk menjaga keamanan pasien dalam
pengobatan maka banyak sekali penelitian mengenai interaksi obat. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan di beberapa negara diketahui banyak kombinasi obat
yang digunakan menyebabkan interaksi obat pada fase farmakokinetika
khususnya pada fase ekskresi. Proses ekskresi sangat penting, karena proses ini
bertangung jawab atas durasi atau lama kerja obat berefek dengan cara
mengusahakan agar obat dapat segera dikeluarkan dari tubuh, termasuk kedalam
alat ekskresi seperti ginjal, hati, dan paru. Obat dikeluarkan dari tubuh melalui
berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam
bentuk asalnya. Obata tau metabolit yang polar diekskresikan lebih cepat daripada
obat yang larut baik dalam lemak. Tabel di bawah ini mengambil contoh 10
(sepuluh) kombinasi obat yang secara klinis menyebabkan interaksi yang
membahayakan bagi pasien yang menggunakan kombinasi obat tersebut.
N Obat Objek Obat Mekanisme Efek yan
o. Presipitan Interaksi ditimbulkan
1 Metformin Ranitidin Ranitidine Mengurangi Pasien bisa pingsa
. pembersihan ginjal, menghambat karena meningkatka
sekresi metformin ditubular efek hipoglikem
ginjal, sehingga kadar plasma sehingga tubuh pasie
metformin meningkat mengalami shock akut
2 Metformin Cefadroxil Peningkatan efek metformin
. yang disebabkan sekresi
metformin berkurang oleh
adanya cefadroxil
3 Salbutamol Aminophyll Peningkatan ekskresi theop
. in
4
.
5
.
6 Digoxin Spironolakt Spironolakton menghambat Toksisitas digoxi
. on ekskresi digoksin di ginjal (nausea, munta
sehingga spironolakton aritmia jantung)
meningkatkan kadar digoxin
sebesar 25 %
7
.
8
.
9 Lamotrigin Asam Asam valproat menurunkan Ruam dan reak
. valproat glukuronidaasi lamotrigin kulit serius termasu
dengan inhibisi kompetitif sindrom
sehingga menurunkan klirens Stevens-Johnson.
lamotrigin.
Interaksi farmakodinamik Tremor
menyebabkan tremor
1
0.

A multiplicity of outcomes is possible when people use drugs. Most commonly


the
patient benefits from drug therapy; however, adverse events, ranging from
minor side
effects to death, may occur.One of the consequences of multiple drug use is the
risk
of one drug influencing the activity, the availability or the effect of a second
drug. This
so-called drug interaction can be desired
1
or result in adverseeffects like reduced
effectiveness or increased toxicity of the involved drugs.
2
There are a number of
mechanisms by which drugs interact with each other, and most of them can be
divided in two general categories: pharmacokinetic and pharmacodynamic
interactions. Pharmacokinetic drug interactions occur when one drug affects
the
absorption, distribution, metabolism, or excretion of another.
Pharmacodynamic drug
interactions occur when two drugs have additive or antagonistic
pharmacologic
effects.
3
- Semakin banyak obat/zat terapeutik yang ditemukan, interaksi obat
menjadi semakin penting untuk diteliti
- Data kasus interaksi obat pada pasien
- Contoh obat misalnya statin, penyakit gagal ginjal kronis (hasil penelitian
di jurnal)
- Polifarmasi dalam peresepan
- Peran farmasis dalam menangani interaksi obat
- Interaksi obat lebih rentan efeknya terjadi pada pasien geriatric, bayi dan
wanita
- Manajemen interaksi obat

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai