Komunikasi LINTAS Budaya Dan Komunikasi
Komunikasi LINTAS Budaya Dan Komunikasi
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan
sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia
sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam
kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dan untuk mewujudkan itu
semua diperlukan komunikasi yang baik.
Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan
budaya di kalangan masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah indonesia
hingga Indonesia disebut – sebut sebagai negara seribu pulau. Hal ini patutlah membuat kita
sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. Akan tetapi
pada Kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri
dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah
perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal
daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma-norma) yang
berlaku dari suatu daerah.
Oleh karena itu, disini manfaatnya kita perlu belajar mengenai bagaimana cara
berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan lintas
bangsa, lintas bangsa disini yang dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara
indonesia misalnya (Cina, Jepang, Inggris, Amerika, dan negara lainya). Dalam makalah ini
akan dibahasnya mengenai: perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dengan Komunikasi Antar
Budaya, Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya, serta Komunikasi Verbal dan
Non Verbal.
BAB II
ISI
Perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunikasi Antar Budaya
Pada dasarnya pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah symbol
dan sign (tanda). Kita berbicara sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna
terhadap objek. Keunikan kualitas tanda terletak pada hubungan ‘satu persatu’, hubungan itu
dapat diartikan bahwa tanda memberikan makna yang sama bagi semua orang yang
menggunakannya. Jadi, setiap tanda berhubungan langsung dengan objeknya, apalagi semua
orang memberikan makna yang sama atas tanda tersebut sebagai hasil konvensi. Tanda,
langsung mewakili sebuah realitas. Kalau Anda mengendarai mobil dan berhadapan dengan
tanda lalu lintas maka tanda itu berfungsi memerintah atau mewajibkan, melarang, dan
memberikan informasi kepada anda dan setelah melihat tanda itu anda langsung mengetahui
apa yang harus dilakukan.
Simbol berasal dari bahasa Latin symbolycum (semula dari bahasa Yunani sumbolon,
yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah symbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri
atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh symbol. Cincin merupakan
symbol perkawinan, bendera merupakan simbol suatu Negara, jilbab adalah simbol bagi wanita
muslim dan sebagainya.[4]
Bahasa adalah alat yang dapat mengembangkan cara manusia hidup, berfikir,
bepengetahuan, menyusun konsep tentang duniannya dengan menungkapkannya secara lisan
maupu tulisan (Alo Liliweri).[5]
Simbol dan bahasa memiliki peran yang amat penting dalam komunikasi antar budaya
yakni sebagai cerminan budaya itu sendiri dan dapat kita jadikan sebagai karakterisktik budaya
tersebut. Dengan simbol dan bahasa pula kita dapat memahami budaya tersebut dan kita dapat
berkomunikasi antar budaya dengan tepat, akan tetapi karena disetiap daerah memilik simbol
dan bahasa yang berbeda membuat kita menjadi bingung jika sebelumnya kita belum pernah
mengenal bahkan mengetahui simbol dan bahasa dalam budaya tersebut, hal ini akan menjadi
hambatan bagi kita yang baru memasuki wilayah tersebut. Jadi ada baiknya sebelum kita
memasuki suatu daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, lakukan lah riset
pada kebiasaan – kebiasaan apa saja yang ada didaerah tersebut, bagaimana cara masyarakat
menyimbolkan sesuatu hal, dan bahasa apa yang masyarakat pergunakan. Itu akan
memudahkan kita untuk dapat berinteraksi dengan mudah di suatu daerah baru.
Komunikasi Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi Verbal
Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata).
Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang
digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’
yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri
berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau
‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk
menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada
tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata
dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang
dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa.
Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia dengan melekatkan label terhadap apa
yang penting atau ada di luar sana. Dan mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-
kategori yang mereka anggap tidak penting. Contohnya, orang-orang Eskimo dapat
menggunakan kira-kira dua puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan
(karena sebagian besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat membedakan salju
yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es (karena mereka memiliki empat
musim yang berlainan). Orang Indonesia atau negara-negara lain mungkin hanya mengenal
satu atau dua kata saja untuk melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat
mengidentifikasi nuansa salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi
budaya-budaya lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo.
a. Polarisasi
Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan
menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit,
pandai atau bodoh. kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim
dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian. Sementara itu banyak juga orang-orang
berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut. Seandainya komunikator maupun
komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan
terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan
harus bersikap netral.
e. Kesemuan
Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau
mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan.
Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu
kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin
membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada
kekeliruan di masa datang.
g. Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau
kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu
diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari
apakah stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini
sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu
dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam
kategori-kategori tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan
bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan
selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari suku
Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter keras. Atau
bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran
komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang
digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap
karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang
lain.[6]
Selain itu bahasa dalam proses komunikasi antar budayanya juga memiliki fungsi –
fungsi sebagai berikut:
a. Bahasa digunakan untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu. Kata “Dhalem” yang
diucapkan oleh sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi orang Indonesia pada umumnya
tahu bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa jawa.
b. Bahasa berfungsi sebagai sarana interaksi sosial. Kita dalam berinteraksi harus tahu bahwa
siapa lawan interaksi kita (komunikan), dari tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat
memilih menggunakan low contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas
memberikan penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa kedokteran. Apa
yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan tersampaikan karena bahasa
yang digunakan terlalu canggih.
c. Bahasa berfungsi sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi. Bila kita sedang merasakan
kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata – kata yang diucapkan akan mengandung
makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore, dan sebagainya adalah pelampiasan dari
perasaan yang sedang kita alami.
d. Bahasa sebagai sarana manipulatif. Bahasa digunakan untuk mengubah tingkah laku
seseorang yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang salah.[7]
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya namun juga melalui
perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase,
”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya,
kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup
semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan
penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau
penerima, jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai
bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan kita mengirim banyak pesan nonverbal
tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.
Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga
aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan
penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan
perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini
biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan
bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita
seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial, di Amerika Serikat
kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan
(berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang
merupakan suatu pelanggaran sosial.
Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk
mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak
penting. Dan beberapa suku Indian Amerika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata
dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurang sopanan. Seorang guru sekolah kulit
putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-
muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat
kepadanya.
Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan
dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan
sebagai bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang
ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya – apa yang
diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena
orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan
mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi
dan mengarahkan kita bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non
verbal tersebut.
Dari penjelasan diatas tentang prilaku komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan
beberapa hal penting yang menjadi yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal.
Ciri – ciri tersebut penting untuk diketahui dan dipahami terutama dalam kaitanya
dengan komunikasi antar budaya. Beberapa hal tersebut adalah:
a. Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna berbeda diperlihatkan pada situasi
dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya mencubit bisa berarti ungkapan rasa sayang dan
berarti pula bisa sebagai ungkapan kesal dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
b. Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu
masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat dari bangsa yang lainnya. Contohnya,
pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala berarti menandakan “tidak”, sedangkan untuk
bangsa India menggelengkan kepala berarti menandakan setuju “iya”.
c. Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya.
Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan berbeda artinya jika pesan verbal yang
dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan seseorang menggarukkan kepalanya disertai dengan
kata “aduh gatal sekali kepala ini” berarti itu menandakan bahwa ia memang benar sedang
merasakan kepalanya gatal. Akan tetapi jika disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu
kan diartikan seperti ia sedang bingung.
d. Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebgai
kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikan. Misalnya, jika
seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita harus melihat apakah prilaku nonverbal yang
diperlihatkanya mendukung pesan – pesan verbalnya atau tidak. Seperti, ekspresi wajah,
gerakan tubuh, dan lain – lainya.
e. Pesan nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi dalam
pesan komunikasi ditemui adanya ketidak sesuaian antara pesan verbal dan pesan nonverbal.
Misalnya, seseorang mengatkan bahwa dirinya sedang bahagia tetapi rasa bahagia itu tidak
diekspresikan dengan prilaku nonverbal untuk mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi
wajah yang sendu atau gerakan tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi tersebut
dan biasanya dalam kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada prilaku nonverbal yang
diperlihatkan oleh lawan bicara kita.
f. Pesan nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh seluruh tubuh manusia untuk
mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya, rasa bahagia tidak hanya diungkapkan
oleh ekspresi wajah saja tetapi juga dengan sorotan mata, gerakan tangan, dan sikap tubuh,
jadi pemahaman prilaku nonverbal harus dilihat secara menyeluruh.
g. Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan pada nilai atau norma yang
berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Misalnya di Indonesia memegang kepala
anak berarti sebagai tanda menyayanginya, sebaliknya di Muangthai itu dianggap sebagai
pelanggaran sosial.[8]
Kesimpulan
Sementara itu peranan simbol dan bahasa dalam komunikasi antar budaya sangat
penting, karena tanpa simbol dan bahasa kita akan sulit untuk berkomunikasi bahkan tidak
dapat berkomunikasi. Budaya lah yang membentuk simbol dan bahasanya sendiri – sendiri,
setiap kelompok memiliki makna dari tiap – tiap simbol dan bahasa yang mereka gunakan. Jika
kita ingin efekif dalam berkomunikasi antar budaya maka haruslah menggunakan simbol –
simbol serta bahasa – bahasa yang telah disepakati dalam daerah tersebut, dengan kata lain
untuk meminimalkan kesalahan berkomunikasi kita harus dapat mempelajari kebudayaan
setempat sebelum masuk dalam suatu budaya baru.
Daftar Pustaka
Budaya.Bandung:Rosdakarya
Mercu buana
Mercu Buana
Mercu Buana
[2] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).3
[3] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4
PENUTUP
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan
masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan,
melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang
menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya
yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi
kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan
sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai
semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang
manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari
kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman
budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang
sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional
tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam
mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling
menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan
perundang-undangan yang adil dan demokratis.
DAFTAR BACAAN
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo.
Jakarta
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. LkiS. Yogyakarta.
Sitompul, Mukti. Konsep – Konsep Komunikasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial Dan
Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara dalam
http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-mukti.pdf
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang melimpahkan
rahmatnya kepada kita serta sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita pada jalan kebenaran yakni agama Islam.
Makalah yang berjudul “Prinsip-prinsip Komunikasi dalam penerapan pada konteks
lintas budaya” ini merupakan sebuah tugas untuk memenuhi tugas mata kuliah. Yang mana
dengan tugas ini beliau dapat mengetahui seberapa besar kemampuan para mahasiswa dalam
memahami mata kuliah yang beliau ajarkan.
Agar kami lebih mudah dalam menulis makalah ini, kami berusaha semaksimal mungkin
mencari beberapa referensi baik dari buku maupun internet serta mempelajarinya untuk
mempermudah dalam penyelesaian makalah ini.
Kami harap makalah ini dapat mengganti semua kekurangan kami saat kuliah dan juga
dapat menambah pengetahuan kami walaupun hanya sedikit karena memang itulah batas
kemampuan kami. Selain itu kami harap makalah ini juga bermanfaat dan dapat meningkatkan
pengetahuan belajar kita tentang Komunikasi Lintas Budaya.
Kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis untuk mengetahui kekurangan dari
makalah ini karena penulis masih dalam taraf belajar dan bukanlah manusia yang sempurna.
penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
B. Saran
Ungkapan terima kasih kepada pembaca dan pendengar makalah ini , dan partisipasi dari
kalian sangat pemakalah harapkan, Karen makalah ini masih dari yang namanya sempurna. Dan
terutama bagi bapak prihananto selaku pengampuh materi kuliyah beribu terima kasih dan maaf.
Karena apa jadinya kami kalau tanpa bimbingannya, dan untuk kesabarannya dalam mendidik
kami.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama,
adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Pada kenyataanya seringkali kita
tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang
terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda
dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa,
tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain. Dari sebuah
hubungan interaksi sosial itu menimbulkan suatu budaya baru yang berawal dari sebuah proses
akulturasi budaya.
Beraneka ragam dan corak pada setiap kebudayaan daerah menjadikan sebuah ciri khas tersendiri
bagi setiap manusia dimuka bumi ini, berbagai macam perbedaan budaya tersebut antara lain
dapat dilihat dari bentuk pakaian, bahasa, postur tubuh, aneka macam makanan, adat istiadat
yang mengatur pada suatu daerah tertentu dan masih banyak lagi. Terkadang kita dihadapkan
pada sebuah realitas yang sedikit berbeda dengan budaya kita, sehingga kita merasa asing ketika
berada pada suatu wilayah tertentu. Pada mulanya ketika seseorang dihadapkan pada posisi
demikian, ia akan beranggapan bahwa ia merasa dikucilkan oleh orang-orang yang tinggal
dilingkungannya. Namun seiring berjalannya waktu, dan seringnya intensitas seseorang
berinteraksi dengan orang-orang baru dilingkungannya, maka ia akan menemukan sebuah
kenyamanan dan bahkan bisa mengadopsi budaya baru yang ada dilingkungan baru tersebut.
Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar. Apa yang
kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Dari semua
aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita
banyak belajar dari respons-respons komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan sekitar.
Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan dengan cara itu sehingga pesan-pesan
tersebut akan dikenali, diterima,dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi dengan
kita. Bila dilakukan, kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
lingkungan fisik dan sosial kita. Komunikasi merupakan alat utama untuk memanfaatkan
berbagai sumber daya lingkungan dalam pelayanan kemanusiaan. Lewat komunikasi kita
menyesuaikan diri dan berhubungan dengan lingkungan kita, serta mendapat keanggotaan dan
rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi kita.
Bagaimana proses gegar budaya dan masalah penyesuaian diri dalam lingkungan baru?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau
jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke suatu
daerah tertentu. Sebagaimana kebanyakan penyakit lainnya, gegar budaya juga mempunyai
gejala-gejala dan pengobatan secara tersendiri.
Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang
kita lakukan dalam dalam mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari:
kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan
bagaimana memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menerima dan menolak undangan,
kapan membuat pernyataan-pernyataan dengan sengguh-sungguh dan kapan sebaliknya.
Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah,
kebiasan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil.
Begitu pula aspek-aspek budaya kita lainnya, seperti bahasa dan kepercayaan yang kita anut.
Demi ketentraman hidup kita semua bergantung pada beratus-ratus petunjuk ini, petunjuk-
petunjuk yang kebanyakannya tidak kita bawa dengan sadar.
Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Ia
bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun anda berpikiran luas dan beritikad baik, anda akan
kehilangan pegangan. Lalu anda akan mengalami frustasi dan kecemasan. Biasanya orang-orang
menghadapi frustasi dengan cara yang hampir sama. Pertama-tama mereka menolak lingkungan
yang menyebabkan ketidak nyamanan. (Mulyana & Rahmat,2001;174)
Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu
kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan. Dalam
menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang
berbeda dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana dalam buku komunikasi antar budaya
mengatakan bahwa Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan
tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial.
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, mempercayai dan
mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan,
praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan tekhnologi.
Semua itu berlandaskan pola-pola budaya . ada orang-orang yang berbicara bahasa tagalog,
memakan ular, menghindari minuman keras yang terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang
yang mati, berbicara melalui telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena mereka
telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mengandung
unsur-unsur tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana
mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi dari
budaya mereka.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan
sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan diri, nilai, sikap, hirarki, agama, waktu,
peranan, hubungan ruang, makna, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi kegenerasi melalui usaha individu dan
kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk
kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian
diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat
disuatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada
suatu saat tertentu.
Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan
penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan
dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu
landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana,
budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama periode kehidupan. Budaya
juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi
hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin
suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkan dengan komputer
elektronik: kita memprogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memprogram
kita agar melakukan sesuatu yang menjadikan kita apa adanya. Budaya kita secara pasti
mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati-dan bahkan setelah matipun kita
dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan
siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang yang menyandi pesan, maka
yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan dan
menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada
budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi, bila
budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.
Ketakutan merupakan faktor terbesar yang mendorong timbulnya kecemasan ketika individu
mengetahui akan menempati tempat yang berbeda dalam jangka waktu yang tidak singkat.
Ketakutan ini akan menimbulkan sebuah kecemasan dan akan menjalar kepada rasa percaya diri
yang kurang. Dengan rasa percaya diri yang kurang tersebut individu akan cenderung
memperoleh hasil yang kurang maksimal dalam berinteraksi atau berusaha menyesuaikan diri
dengan lingkungan barunya. Inilah yang kemudian harus segera diatasi agar tidak menjadi
berkelanjutan.
Menurut pendapat Parrillo (2008) yang diperoleh dari situs menyatakan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi culture shock yaitu:
Pada faktor ini, individu cenderung mengalami ketakutan akan perbedaan pergaulan disetiap
tempat yang baru. Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam menghadapi
situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman
mengenai pergaulan ini, individu juga akan merasa terasing dengan orang-orang disekelilingnya
yang dirasa baru baginya.
Dewasa ini perkembangan teknologi semakin melaju pesat. Perkembangan teknologi yang
semakin mutakhir ini menyebabkan masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk mengikuti
perkembangan teknologi agar mampu bersaing di dunia global. Teknologi juga merupakan faktor
penting dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture shock. Individu merasa takut tidak bisa
mengikuti perkembangan teknologi di tempat tinggal barunya sehingga individu cenderung akan
merasakan ketakutan. Individu disini dituntut untuk berpikir keras bagaimana caranya untuk
dapat mengikuti perkembangan teknologi serta mampu mengaplikasikannya dikehidupannya.
Faktor geografis identik dengan keadaan geografis di daerah tersebut. Faktor geografis ini
merupakan faktor lingkungan secara fisik, misalnya perbedaan cuaca, perbedaan letak wilayah
seperti daerah pantai dengan daerah pegunungan. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut
mengalami gangguan kesehatan.
Bahasa merupakan cerminan dari sebuah kebudayaan yang beradab. Bahasa tidak bisa dianggap
dengan sebelah mata dewasa ini. Individu yang mengalami kekagetan terhadap budaya baru
sering kali dihubungkan dengan faktor bahasa sebagai salah satu ketakutan yang cukup besar
ketika akan menetap ditempat yang baru. Tidak menguasai atau bahkan tidak mengerti sama
sekali bahasa merupakan suatu hal yang wajar yang menyebabkan timbulnya culture shock.
5) Faktor ekonomi
Ketakutan terhadap biaya hidup yang berbeda yang memiliki kemungkinan lebih tinggi
merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya culture shock. Ini merupakan hal umum yang
terjadi bahwa setiap daerah di negara Indonesia memiliki kemampuan konsumsi yang berbeda-
beda. Perbedaan inilah yang menyebabkan individu guncang ketika dihadapkan pada
permasalahan tempat tinggal yang baru. Individu harus mulai berusaha, bersiap serta berwaspada
mengantisipasi agar mampu bertahan hidup ditempat tinggal yang baru.
Faktor ini merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah
yang notebene memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Untuk itu individu
harus mampu beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang baru. Namun beradaptasi
dengan adat istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang pendatang, maka individu
cenderung mengalami kekagetan budaya terutama dalam hal adat istiadat tersebut.
Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam usahanya menyesuaikan di
tempat tinggal yang baru. Individu mengalami ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi
perbedaan yang sangat rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya.
Dari bebrapa faktor penyebab terjadinya culture shock, kelompok merumuskan solusi untuk
mengatasinya. Antara lain yaitu :
1. Faktor pergaulan
Individu harus belajar membiasakan diri beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan
barunya, dengan pembiasaan ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dari individu tersebut
dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan barunya tersebut. Pergaulan yang baik
akan membuat seseorang lebih mudah menjalani kehidupan sosialnya.
1. Faktor teknologi
Dewasa ini teknologi semakin berkembang pesat dikalangan orang banyak, semakin pesat
teknologi berkembang maka orang-orang dituntut untuk semakin keras mempelajari dan
mengaplikasikan teknologi yang ada dalam kehidupannya. Seorang individu yang berada di
lingkungan baru baginya pasti akan merasakan perbedaan teknologi yang berkembang di
lingkungan tersebut, terlebih lagi apabila individu yang berasal dari daerah pelosok kemudian
datang ke daerah yang cukup pesat perkembangan teknologinya.
1. Faktor geografis
Karena faktor geografis ini berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan maka hal ini dapat
diatasi dengan cara individu lebih menjaga kesehatan yang cenderung menurun ketika individu
tersebut tinggal di suatu tempat tinggal yang baru, yang tentunya jauh berbeda dengan tempat
tinggal semula. Pencegahan yang baik perlu dilakukan secara terus menerus agar individu tetap
berada di kondisi yang prima dalam menjalani aktifitas sehari-hari.
1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi ini dapat diatasi dengan cara pengelolaan keuangan yang baik sesuai dengan
kebutuhan masing-masing individu, agar individu dapat menyesuaikan pemasukan keuangan
dengan pengeluarannya. Pada saat proses pendidikan alan lebih baiknya individu juga melakukan
program saving money, untuk mengatasi kebutuhan tidak terduga.
Pada dasarnya melekatnya kebudayaan terhadap seorang individu membutuhkan proses dan
waktu, semua tidak terjadi begitu saja. Solusi menurut kelompok adalah individu harus lebih
membuka dirinya terhadap adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang umumnya terjadi
dimasyarakat. Dengan cara tersebut diharapkan individu dapat lebih menghindari terjadinya
culture shock/gegar budaya.
1. Faktor agama
Solusinya yaitu individu harus lebih meningkatkan sikap toleransinya antar umat beragama.
Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah
perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan
lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut dapat diberikan batasan bahwa kemampuan
manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia
dengan lingkungannya.
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu primer terhadap penyesuaian
diri. Penentu berarti faktor yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada
proses penyesuaian diri. Penentu penyesuaian diri identik dengan faktor-faktor yang mengatur
perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap. Penentu-penentu itu dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Contoh :
Penyesuaian diri remaja dengan kehidupan disekolah. Permasalahan penyesuaian diri di sekolah
mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki jenjang sekolah yang baru, baik sekolah
lanjutan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin mengalami permasalahan
penyesuaian diri dengan guru- guru, teman, dan mata pelajaran. Sebagai akibat antara lain adalah
prestasi belajar menjadi menurun dibanding dengan prestasi disekolah sebelumnya.
Persoalan-persoalan umum yang seringkali dihadapi remaja antara lain memilih sekolah. Jika
kita mengharapkan remaja mempunyai penyesuaian diri yang baik, seyogyanya kita tidak
mendikte mereka agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginan kita. Orangtua / pendidik
hendaknya mengarahkan pilihan sekolah sesuai dengan kemampuan, bakat, dan sifat-sifat
pribadinya. Tidak jarang terjadi anak tidak mau sekolah, tidak mau belajar, suka membolos, dan
sebagainya karena ia dipaksa oleh orangtuanya untuk masuk sekolah yang tidak ia sukai.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja
khususnya di sekolah adalah:
1. Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “ betah” (at home) bagi anak-
anak didik , baik secara social , fisik maupun akademis.
2. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3. Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, social , maupun
seluruh aspek pribadinya.
4. Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
5. Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
6. Ruang kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
7. Peraturan / tata tertib yamg jelas dan dapat dipahami oleh siswa.
8. Teladan dari para guru dalam segi pendidikan.
9. Kerja sama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan di sekolah.
10. Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.
11. Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan tanggung jawab baik pada murid
maupun pada guru.
12. Hubungan yang baik dan penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua siswa dan
masyarakat.
Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di luat negeri,
walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya banyak orang
asing di sekitarnya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa
lingkungan di sekitarnya telah berubah.
Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka
dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena
dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di
sekitarnya. Maka, .ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk
dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi.
Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan
dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan: “lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan
dimana kita tidak tahu respon yang tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil
yang dikehendaki.” Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai
masalah yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan sebelumnya yang
mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan, perubahan sumber daya secara
material dan teknis, kekurangan informasi tentang rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya.
Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan
psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ culture
shock.
Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke
lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh
kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat
tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana kita
memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-
petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-
kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila
seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia
bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan
kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan
ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih
baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul
bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan
emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif. Misalnya, “Orang-orang Amerika Latin
yang malas” “Orang Indonesia yang anarkis”, dsb. Pernah ada seorang Belanda dan beberapa
orang Jepang yang mengalami kasus serupa ketika berkunjung ke Indonesia, mereka sama-sama
mengalami diare akibat memakan masakan Indonesia. Mereka hanya bisa menerima makanan
dari restorant-restorant berlisensi barat seperti Hartz, Pizza Huts, dll, atau restorant Jepang.
Orang Belanda tersebut langsung melakukan stereotip bahwa makanan di Indonesia kurang
higenis.
Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang mengambil
tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner:
karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbweda, maka reaksi
mereka pun berbeda. Settlers berada daalm proses membuat komitmen tetap pada masyarakat
barunya, sedangkan sojourneys berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya
bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai pelajar asing dalam beberapa tahun.
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg.
Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari
kehilangan semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk
didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya:
bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak
perlu merespon.
Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami
menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka
penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan
nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya
sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor
internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan
baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk
pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang Australia
yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk
sementara waktu, dia terkejut seputar kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan
sempit dengan makuk besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya
berupa ruang kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut
mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan
shower serta air hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa
kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar
di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan pasangan homogen di Indonesia karena komunitas
marginal tersebut lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di
Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen
dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu perbuatan
memalukan.
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan
dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:
Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka
waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4
tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u,
sehingga disebut u-curve.
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase
ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang,
misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya
ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock.
Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah
tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak
kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap
ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan
tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari
budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk
hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati.
Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang
akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang
W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.
Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala
dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan
dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang
kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk
sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele,
dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.
Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang
tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasi menyesuaikan diri dengan
lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang
terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama
yang disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan dimana
kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat dan beritikad baik
dalam menjalin persahabatan antarbangsa. Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi
kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif
terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri.
Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak
menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan
teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan orang-
orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap positif
terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai
salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya,
“ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap keempat, penyesuaian diri hampir
lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul
dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan
sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya
pendatang telah memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika
pulang ke kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan
dirindukan.
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh tokoh antropologis Oberg. Menurutnya,
culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan
semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu
satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi
perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon. Deddy
Mulyana lebih mendasarkan cultural shock sebagai benturan persepsi yang diakibatkan
penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari
orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum
ia pahami. Di indonesia cultural shock sering disebut dengan istilah gegar budaya di mana
seseorang mengalami goncangan perasaan (kecemasan) yang diakibatkan oleh perbedaan nilai
kebudayaan baru yang tidak sesuai dengan pola nilai kebudayaan yang sudah di anutnya sejak
lama.
Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu
penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4
tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u,
sehingga disebut u-curve.
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase
ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang,
misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya
ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock.
Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah
tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak
kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap
ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan
tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari
budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk
hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati.
Namun beberapa ahli menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang
akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang
W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.
Manusia secara alamiah memang merupakan mahluk yang paling pandai dan cepat untuk
menyesuaikan dirinya pada suatu keadaan yang baru di bandingkan mahluk yang lain. Akan
tetapi manuasia memerlukan rentang waktu yang cukup untuk memposisikan dirinya dengan
segala hal yang baru tersebut. Contoh dari hal sederhana, bagi seseorang yang sudah terbiasa
tidur dengan waktu ideal 8 jam perhari akan merasakan pusing ataupun lemas ketika sehari saja
ia hanya tidur selama 5 jam. Orang yang menjalankan ibadah puasa, ketika berbuka tidak lantas
makan besar karena akan menyababkan gangguan lambung ia setidaknya minum air hangat agar
memberi kesempatan bagi tubuhnya untuk menyesuaikan. Jika dari hal sederhana saja tubuh
manusia memerlukan waktu untuk mengadaptasiakan dirinya apalagi dengan lingkungan sosial.
Manusia yang disebut sebagai zone politikon tidak akan mampu bertahan hidup tanpa bantuan
dari orang di sekitarnya. Bahkan manusia sangat memerlukan pengakuan dari orang disekitarnya
atas eksistensinya. Dalam pola hubungan masyarakat tetulah akan ada sistem tata nilai
kebudayaan yang dianut. Dimana kebudayaan tersebut dijadikan dasar bagi masyarakat tertentu
untuk menjalin keakraban dan mencapai kerukunan bersama. Goncangan kebudayaan atau
cultural shock sebagai salah satu fenomena sosial dapat di alami oleh siapapun saat orang
tersebut tidak mampu memposisikan dirinya dengan kebudayaan baru di sekitarnya.
Pengalaman Goncangan kebudayaan atau dalam bahasa kerennya sering disebut dengan istilah
cultural shock saya alami ketika awal masuk kuliah. Ketika awal masuk universitas yang amat
pekat dengan nuasa agama Islam. Karena pendidikan saya dari SD.SMP,hingga SMA saya
tempuh di umum saya kurang terbiasa dengan pelajaran agama secara mendalam sedangkan di
universitas mau tidak mau saya harus menjalaninya karena merupakan mata kuliah wajib yang
harus di tempuh. Diawali dengan mata kuliah sejarah kebudayaan islam, hadist, tauhid, dan
tasawuf di semester pertama cukup membuat saya kelimpungan untuk memahami dan mengerti
mata kuliah tersebut. Ditambah pada semester dua ada mata kuliah bahasa Arab yang belum saya
pelajari, karena belum pernah ada di mata pelajaran ketika jenjang pendidikan saya sebelumnya,
alhasil dalam minggu-minggu awal masuk kuliah semester dua saya sering tidak masuk kuliah
karena biasanya dosen meminta mahasiswa untuk membaca teks bahasa arab yang tidak ada
harokatnya.
Pengalaman lain saya yang lain, ketika saya harus tinggal di Jogja dan satu kos dengan teman
yang dari beberapa daerah yaitu Pati, Pondowoso, Bogor, Wonogiri, dan Solo. Meski kami sama-
sama orang Jawa namun ternyata bahasa yang kami gunakan berbeda. Meski katanya sama
namun berbeda makna yang menyebabkan kami harus mnyesuaikan satu dengan yang lain.
Suatu ketika saat hari minggu saya dan teman satu kos untuk makan bersama, ketika itu kami
membeli mie ayam dan bakso di pedagang kaki lima dekat kos. Saat sedang asyik menikmati
makanan tiba-tiba teman saya Riza dari Pati berkata “ hawane kok anyep banget ya” saya yang
tepat di sampingnya sejenak bingung, istilah “anyep” yang saya ketahui biasanya untuk
menunjukkan mkanan yang hambar bukan untuk cuaca, untuk itulah saya putuskan untuk
bertanya apa makna kata tersebut. Ternyata di daerah Pati kata “anyep” bermakna dingin.
Kejadian lain yang agak konyol yaitu saat saya meminta tolong teman sekamar saya Nurul yang
berasal dari Bogor untuk membelikan buah pisang di warung depan kos untuk makan tablet
vitamin. Tanpa berfikir panjang dengan logat jawa yang melekat saya mengatakan “ Nurul, aku
nitip gedhang neng warung ngarep ya” . Ketika ia pulang alngkah terkejutnya saya ketika yang ia
belikan bukanlah buah yang saya maksud. Dengan santai ia berkata “ini gedhangnya” sambil
menyerahkan buah itu. Namun yang ia berikan bukanlah “gedhang” yang saya maksud pisang
melainkan pepaya. Singkatnya ternyata di Bogor menyebut buah pisang bukanlah “gedhang”
melainkan pepaya atau kalau orang jawa menyebutnya “gandul”.
Untuk itulah ketrampilan memahami kebudayaan masyarakat lain sangat perlu dilakukan agar
kita mampu menjalin komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif akan
memudahkan kita bersosialisasi dengan pola nilai kebudayaan masyarakat yang baru. Apalagi
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai ragam adat istiadat, bahasa, dan
kebiasaan. Sehingga goncangan kebudayaan atau cultural shock dapat kita minimalisir dan yang
paling penting untuk menghindari adanya bentrokan dan permusuhan karena adanya
miskomunikasi antar kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain.