Anda di halaman 1dari 45

Komunikasi LINTAS Budaya dan Komunikasi ANTAR Budaya

BAB I

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan
sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia
sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam
kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dan untuk mewujudkan itu
semua diperlukan komunikasi yang baik.

Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan
budaya di kalangan masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah indonesia
hingga Indonesia disebut – sebut sebagai negara seribu pulau. Hal ini patutlah membuat kita
sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. Akan tetapi
pada Kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri
dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah
perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal
daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma-norma) yang
berlaku dari suatu daerah.

Oleh karena itu, disini manfaatnya kita perlu belajar mengenai bagaimana cara
berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan lintas
bangsa, lintas bangsa disini yang dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara
indonesia misalnya (Cina, Jepang, Inggris, Amerika, dan negara lainya). Dalam makalah ini
akan dibahasnya mengenai: perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dengan Komunikasi Antar
Budaya, Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya, serta Komunikasi Verbal dan
Non Verbal.

BAB II

ISI
Perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunikasi Antar Budaya

Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu


pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (E. B Taylor). Budaya dan
komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara
dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang tersebut menyandi pessan, makna yang ia
miliki untuk pesan, serta kondisi – kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan
pesan.[1]

Komunikasi Antar Budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran


pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya.  Ketika komunikasi terjadi antara
orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut
disebut komunikasi antar budaya (selanjutnya disingkat KAB). Jadi pada dasarnya komunikasi
antar budaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa
makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak
dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya
melalu verbal ataupun nonverbal.[2]

Sementara itu Komunikasi lintas budaya / KLB (cross-cultural communication) secara


tradisional membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-budaya berbeda. Contoh
bagaimana gaya komunikasi pria dalam budaya Amerika dan budaya Indonesia. Tetapi lambat
laun KAB dan KLB sering dipertukarkan. Secara konvensional KAB lebih luas dan lebih
komprehensif daripada KLB.[3]

Berikut perbedaan – perbedaan Komunikasi Antar Budaya dan Komunikasi Lintas


Budaya.

No. Komunikasi Lintas Budaya Komunikasi Antar Budaya

1 Awalnya diartikan sebagai proses Komunikiasi antarpribadi yang dilakukan


mempelajari komunikasi di antara oleh pribadi-pribadi dalam suku bangsa
individu maupun kelompok suku bangsa yang sama.
dan ras yang berbeda negara. Karena
pasti beda negara pasti beda
kebudayaan.
2 Menekankan perbandingan kebudayaan Menekankan interaksi yang terjadi antar
pribadi yang berbeda latar belakang
kebudayaan

Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya

            Pada dasarnya pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah symbol
dan sign (tanda). Kita berbicara sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna
terhadap objek. Keunikan kualitas tanda terletak pada hubungan ‘satu persatu’, hubungan itu
dapat diartikan bahwa tanda memberikan makna yang sama bagi semua orang yang
menggunakannya. Jadi, setiap tanda berhubungan langsung dengan objeknya, apalagi semua
orang memberikan makna yang sama atas tanda tersebut sebagai hasil konvensi. Tanda,
langsung mewakili sebuah realitas.  Kalau Anda mengendarai mobil dan berhadapan dengan
tanda lalu lintas maka tanda itu berfungsi memerintah atau mewajibkan, melarang, dan
memberikan informasi kepada anda dan setelah melihat tanda itu anda langsung mengetahui
apa yang harus dilakukan.

            Simbol berasal dari bahasa Latin symbolycum (semula dari bahasa Yunani sumbolon,
yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah symbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri
atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh symbol. Cincin merupakan
symbol perkawinan, bendera merupakan simbol suatu Negara, jilbab adalah simbol bagi wanita
muslim dan sebagainya.[4]

Bahasa adalah alat yang dapat mengembangkan cara manusia hidup, berfikir,
bepengetahuan, menyusun konsep tentang duniannya dengan menungkapkannya secara lisan
maupu tulisan (Alo Liliweri).[5]

            Simbol dan bahasa memiliki peran yang amat penting dalam komunikasi antar budaya
yakni sebagai cerminan budaya itu sendiri dan dapat kita jadikan sebagai karakterisktik budaya
tersebut. Dengan simbol dan bahasa pula kita dapat memahami budaya tersebut dan kita dapat
berkomunikasi antar budaya dengan tepat, akan tetapi karena disetiap daerah memilik simbol
dan bahasa yang berbeda membuat kita menjadi bingung jika sebelumnya kita belum pernah
mengenal bahkan mengetahui simbol dan bahasa dalam budaya tersebut, hal ini akan menjadi
hambatan bagi kita yang baru memasuki wilayah tersebut. Jadi ada baiknya sebelum kita
memasuki suatu daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, lakukan lah riset
pada kebiasaan – kebiasaan apa saja yang ada didaerah tersebut, bagaimana cara masyarakat
menyimbolkan sesuatu hal, dan bahasa apa yang masyarakat pergunakan. Itu akan
memudahkan kita untuk dapat berinteraksi dengan mudah di suatu daerah baru.
Komunikasi Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi Antar Budaya

Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan


penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. keduanya yakni,
bahasa verbal dan non verbal memiliki sifat yang holistic( masing-masing tidak dapat
dipisahkan). Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa non verbal menjadi komplemen atau
pelengkap bahasa verbal atau dengan kata lain bahsa non verbal sebagai penjelas dari bahasa
verbal.

Komunikasi Verbal

Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata).
Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang
digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’
yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri
berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau
‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk
menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada
tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata
dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang
dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa.

Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip


ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Kemungkinan adanya hubungan
antara bahasa dan budaya telah dirumuskan ke dalam suatu hipotesis oleh dua ahli linguistic
Amerika, Edward Sapir dan Benjamin L. Whorf yang kemudian dikenal dengan Hipotesis Sapir-
Whorf yang sering disebut juga Tesis Whorfian. Menurut Sapir, manusia tidak hidup di pusat
keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan oleh bahasanya.
Menurut Sapir, “sangat bergantung pada bahasa tertentu yang menjadi medium ekspresi” bagi
kelompoknya. Oleh karena itu, dunia riilnya “sebagian besar secara tidak disadari dibangun
atas kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok….Dunia-dunia di mana masyarakat-masyarakat
hidup adalah dunia berlainan..” Bagi Sapir dan Whorf, bahasa menyediakan suatu jaringan jalan
yang berbeda bagi setiap masyarakat yang sebagai akibatnya, memusatkan diri pada aspek-
aspek tertentu realitas.
Dalam hipotesis tersebut, perbedaan-perbedaan antara bahasa-bahasa jauh lebih besar
daripada sekedar hambatan-hambatan untuk berkomunikasi. Perbedaan-perbedaan itu
menyangkut perbedaan-perbedaan dasar dalam pandangan dunia (world view) berbagai
bangsa dan dalam apa yang mereka pahami tentang lingkungan. Bahasa juga dapat digunakan
untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan
menekankan, mempertajam, dan memperlembut.

Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia dengan melekatkan label terhadap apa
yang penting atau ada di luar sana. Dan mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-
kategori yang mereka anggap tidak penting. Contohnya, orang-orang Eskimo dapat
menggunakan kira-kira dua puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan
(karena sebagian besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat membedakan salju
yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es (karena mereka memiliki empat
musim yang berlainan). Orang Indonesia atau negara-negara lain mungkin hanya mengenal
satu atau dua kata saja untuk melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat
mengidentifikasi nuansa salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi
budaya-budaya lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo.

Dalam konteks komunikasi antarbudaya, terdapat hambatan - hambatan dalam interaksi


bahasa verbal, yaitu :

a.    Polarisasi
Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan
menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit,
pandai atau bodoh. kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim
dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian. Sementara itu banyak juga orang-orang
berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut. Seandainya komunikator maupun
komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan
terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan
harus bersikap netral.

b.    Orientasi Intensional


Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai dengan
ciri yang melekat pada mereka. Misalnya, seorang presenter yang berbicara di layar tv, dan
kebetulan wajah presenter tersebut kurang menarik, maka biasanya komunikan akan
intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengar apa yang dikatakannya.
Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada
orangnya sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional adalah kecenderungan untuk terlebih
dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan cirinya.

c.    Kekacauan karena keliru menyimpulkan fakta


Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat
pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau struktur,
pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan mereka dengan
analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti
juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur,
kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang
sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat
“tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan
pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan
hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan.

d.    Potong kompas


Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan
makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola salah
komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalah-artikan makna
pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki
makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang
sama, mereka memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang
berbeda mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna makna
ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang
berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan
eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual.

e.    Kesemuan
Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau
mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan.
Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu
kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin
membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada
kekeliruan di masa datang.

f.      Evaluasi Statis


Bila kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau seseorang, atau kita merumuskan
pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang, pernyataan ringkas itu bersifat statis
dan tidak berubah. Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi
komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun
tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak
berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar
komunikator tersebut berbicara. Sebuah kesalahan pada saat proses komunikasi tidak dapat di
balik atau di kembalikan seperti semula dengan kata lain seperti yang dikatakan dalam prinsip
komunikasi bersifat irreversible. Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang
yang kita bicarakan itu dapat sangat berubah.

g.    Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau
kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu
diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari
apakah stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini
sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu
dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam
kategori-kategori tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan
bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan
selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari suku
Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter keras. Atau
bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran
komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang
digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap
karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang
lain.[6]
Selain itu bahasa dalam proses komunikasi antar budayanya juga memiliki fungsi –
fungsi sebagai berikut:

a.    Bahasa digunakan untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu. Kata “Dhalem”  yang
diucapkan oleh sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi orang Indonesia pada umumnya
tahu bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa jawa.

b.    Bahasa berfungsi sebagai sarana interaksi sosial. Kita dalam berinteraksi harus tahu bahwa
siapa lawan interaksi kita (komunikan), dari tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat
memilih menggunakan low contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas
memberikan penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa kedokteran. Apa
yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan tersampaikan karena bahasa
yang digunakan terlalu canggih.

c.    Bahasa berfungsi sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi. Bila kita sedang merasakan
kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata – kata yang diucapkan akan mengandung
makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore, dan sebagainya adalah pelampiasan dari
perasaan yang sedang kita alami.

d.    Bahasa sebagai sarana manipulatif. Bahasa digunakan untuk mengubah tingkah laku
seseorang  yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang salah.[7]

Komunikasi Non Verbal

Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya namun juga melalui
perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase,
”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya,
kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.

Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup
semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan
penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau
penerima, jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai
bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan kita mengirim banyak pesan nonverbal
tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.    

Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga
aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan
penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan
perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini
biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan
bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita
seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial, di Amerika Serikat
kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan
(berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang
merupakan suatu pelanggaran sosial.

Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk
mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak
penting. Dan beberapa suku Indian Amerika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata
dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurang sopanan. Seorang guru sekolah kulit
putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-
muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat
kepadanya.

Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan
dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan
sebagai bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang
ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya – apa yang
diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena
orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan
mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi
dan mengarahkan kita bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non
verbal tersebut.

Dari penjelasan diatas tentang prilaku komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan
beberapa hal penting yang menjadi yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal.
Ciri – ciri tersebut penting untuk diketahui dan dipahami terutama dalam kaitanya
dengan komunikasi antar budaya. Beberapa hal tersebut adalah:

a.    Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna berbeda diperlihatkan pada situasi
dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya mencubit bisa berarti ungkapan rasa sayang dan
berarti pula bisa sebagai ungkapan kesal dalam situasi dan kondisi yang berbeda.

b.    Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu
masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat dari bangsa yang lainnya. Contohnya,
pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala berarti menandakan “tidak”, sedangkan untuk
bangsa India menggelengkan kepala berarti menandakan setuju “iya”.

c.    Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya.
Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan berbeda artinya jika pesan verbal yang
dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan seseorang menggarukkan kepalanya disertai dengan
kata “aduh gatal sekali kepala ini” berarti itu menandakan bahwa ia memang benar sedang
merasakan kepalanya gatal. Akan tetapi jika disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu
kan diartikan seperti ia sedang bingung.

d.    Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebgai
kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikan. Misalnya, jika
seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita harus melihat apakah prilaku nonverbal yang
diperlihatkanya mendukung pesan – pesan verbalnya atau tidak. Seperti, ekspresi wajah,
gerakan tubuh, dan lain – lainya.

e.    Pesan nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi dalam
pesan komunikasi ditemui adanya ketidak sesuaian antara pesan verbal dan pesan nonverbal.
Misalnya, seseorang mengatkan bahwa dirinya sedang bahagia tetapi rasa bahagia itu tidak
diekspresikan dengan prilaku nonverbal untuk mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi
wajah yang sendu atau gerakan tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi tersebut
dan biasanya dalam kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada prilaku nonverbal yang
diperlihatkan oleh lawan bicara kita.
f.     Pesan nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh seluruh tubuh manusia untuk
mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya, rasa bahagia tidak hanya diungkapkan
oleh ekspresi wajah saja tetapi juga dengan sorotan mata, gerakan tangan, dan sikap tubuh,
jadi pemahaman prilaku nonverbal harus dilihat secara menyeluruh.

g.    Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan pada nilai atau norma yang
berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Misalnya di Indonesia memegang kepala
anak berarti sebagai tanda menyayanginya, sebaliknya di Muangthai itu dianggap sebagai
pelanggaran sosial.[8]

Dalam proses komunikasinya, Komunikasi non verbal dapat menjalankan sejumlah


fungsi penting, yakni :

a.    Repetisi atau mengulangi prilaku verbal


Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan dalam pesan verbal. Perilaku
nonverbal di sini berfungsi untuk memperkuat pemaknaan dari pesan verbal. Misalnya, kepala
digelengkan ketika mengatakan ”tidak” atau menganggukkan kepala berbarengan dengan
mengatakan “iya”.

b.    Memperteguh, menekankan atau melengkapi prilaku verbal


Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa
bagian dari pesan verbal, serta juga menggunakan nya untuk memperkuat warna atau
pelengkap yang sudah dinyatakan oleh pesan verbal. Misalnya, ketika kita mendeskripsikan
tinggi maka tangan kita di gerakan dengan mengangkat tangan kira-kira setinggi yang
maksudkan. Atau saat kita berpidato melakukkan geraka – gerakan tangan serta bahasa tubuh
lainya.

c.    Nonverbal dapat menggantikan prilaku verbal.


Menggoyangkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke depan (sebagai pengganti kata
“tidak”). Atau menunjuk dengan jari telunjuk ke arah ruang depan untuk menjawab pertanyaan 
dari seorang yang bertanya “dimana si Ali?”.
d.    Regulasi (mengatur) prilaku verbal
Ketika kita berada didalam ruang kuliah lalu anda mengenakan jaket, membereskan buku, dan
melihat jam tangan anda ketika waktu kuliah hampir habis, sehingga doesen segera menutup
kuliahnya.

e.    Membantah atau kontradiksi dengan prilaku verbal.


Saat istri menanyakan komentar mengenai baju baru yang dibelinya ke pada suami dan si
suami mengatakan “bagus!. Bagus!” tetapi seraya membaca koran. Adakalanya seseorang
mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi tidak diikuti oleh perilaku nonverbal yang
mendukung pesan verbalnya.[9]
Bab III

Kesimpulan

Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan


masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga
lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan
mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi
nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk
menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan.

Sementara itu peranan simbol dan bahasa dalam komunikasi antar budaya sangat
penting, karena tanpa simbol dan bahasa kita akan sulit untuk berkomunikasi bahkan tidak
dapat berkomunikasi. Budaya lah yang membentuk simbol dan bahasanya sendiri – sendiri,
setiap kelompok memiliki makna dari tiap – tiap simbol dan bahasa yang mereka gunakan. Jika
kita ingin efekif dalam berkomunikasi antar budaya maka haruslah menggunakan simbol –
simbol serta bahasa – bahasa yang telah disepakati dalam daerah tersebut, dengan kata lain
untuk meminimalkan kesalahan berkomunikasi kita harus dapat mempelajari kebudayaan
setempat sebelum masuk dalam suatu budaya baru.
Daftar Pustaka

Mulyana.Deddy dan Jalaludin Rakhmat.2006.Komunikasi Antar

Budaya.Bandung:Rosdakarya

Niken.Restaty SM.Modul Komunikasi Antar Budaya.Universitas

Mercu buana

Purwitasari.Ita.Modul Komunikasi Antar Budaya.Universitas

Mercu Buana

Rumondor.Alex H. Modul Komunikasi Antar Budaya.Universitas

Mercu Buana

Riswandi.2009.Ilmu Komunikasi.Yagyakarta:Graha Ilmu

[1] Deddy Mulyana & Jalaludin Rakhmat.Komunikasi Antar Budaya.(Bandung:Rosdakarya.2006).19

[2] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).3

[3] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4

[4] Ira Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4

[5] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.20


[6] Ita Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).9

[7] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.21

[8] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).6.8

[9] Riswandi.Ilmu Komunikasi.(Yogyakarta:Graha Ilmu.2009).70


PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami
berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena
permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curtural materialisme yang
mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana
pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan
dan hubungan sosial tertentu.
Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak) dan
heterogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya
berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan
yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas
merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Adapun dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali
menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya.
Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma
masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu
saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu
dengan lainnya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti
dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada
gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau
mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah
budaya dan budaya adalah komunikasi. Yang kesemuanya dapat diarahkan untuk
mewujudkan terciptanya integrasi nasional atau pembangunan nasional.
Pembangunan Nasional tidak lepas dari aspek sosial budaya. Masyarakat Indonesia
yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata
khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan
integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial,
agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang
dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional,
bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan
sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Berangkat dari pemaparan di atas, maka saya akan mencoba menelusuri tentang:
“Bagaimana peran komunikasi lintas budaya dalam pembangunan?”

A. Komunikasi Lintas Budaya


Sebelum terlalu jauh membahas topik ini, ada baiknya dikemukakan bahwa dalam
makalah ini ada kalanya bahkan terlalu sering dipersamakan antara “komunikasi lintas
budaya” dan “komunikasi antar budaya”. Pernyataan ini perlu agar tidak terjebak
terhadap munculnya pertanyaan: “apakah kedua istilah tersebut sama atau tidak?”.
Saya tidak ingin mempertentangkan keduanya, sekalipun hal itu memang debatable”,
hanya untuk tujuan agar tidak terjadi kekeliruan pembahasan dalam makalah ini.
Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk
jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri
diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang
merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari
kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan
kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang
kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan
manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai
kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan
dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan
dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau
pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Komunikasi antar budaya pada dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan
pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya
proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya juga mengakui dan
mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik
kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap
terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda
kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata
uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya
komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan
budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’
dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu
mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara
horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal
dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-
norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-konsep
tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi bahwa pengertian
tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-
konsep komunikaasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya.
Saling ketergantungan ini terbukti, apabila disadari bahwa pola-pola komunikasi yang
khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus
tertentu. Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya
hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith
(1966), seperti yang ditulis oleh Lusiana, menerangkan hubungan yang tidak
terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut:
“Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan
dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi,
sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus
dipelajari dan dimiliki bersama.” Hubungan antara individu dan kebudayaan saling
mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan
melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku
mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan
harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa
antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat: Di satu pihak,
jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak
dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan
dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasi-
organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi
tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi
kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga
merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri
dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya.
Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan
daan dipelajari melalui komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku,
kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil
penyesuaian diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial
dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara
dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung,
tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang
dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat
dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu
terutama tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Alo Liliweri, bahwa
kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia, dan perilaku itu merupakan hasil
persepsi manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola
karena tampilannya berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi.
Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang
berbeda pula.

B. Komunikasi Dalam Pembangunan


Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat
erat. Kedudukan komunikasi dalam konteks pembangunan sebagaimana disebutkan
Roy dalam Jayaweera dan Anumagama (1987) adalah “as an integral part of
development, and communication as a set of variables instrumental in bringing about
development “. Siebert, Peterson dan Schramm (1956) menyatakan bahwa dalam
mempelajari sistem komunikasi manusia, seseorang harus memperhatikan beberapa
kepercayaan dan asumsi dasar yang dianut suatu masyarakat tentang asal usul
manusia, masyarakat dan negara.
Strategi pembangunan menentukan strategi komunikasi, maka makna komunikasi
pembangunan pun bergantung pada modal atau paradigma pembangunan yang dipilih
oleh suatu negara. Peranan komunikasi pembangunan telah banyak dibicarakan oleh
para ahli, pada umumnya mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting
dalam pembangunan. Everett M. Rogers (1985) menyatakan bahwa, secara sederhana
pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan
ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa. Pada bagian lain Rogers
menyatakan bahwa komunikasi merupakan dasar dari perubahan sosial.
Perubahan yang dikehendaki dalam pembangunan tentunya perubahan ke arah yang
lebih baik atau lebih maju keadaan sebelumnya. Oleh karena itu peranan komunikasi
dalam pembangunan harus dikaitkan dengan arah perubahan tersebut. Artinya
kegiatan komunikasi harus mampu mengantisipasi gerak pembangunan.
Dari sekian banyak ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan,
Hedebro sebagaimana dikutip Zulkarimen Nasution mendaftar 12 peran yang dapat
dilakukan komunikasi dalam pembangunan, yakni:
1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-
nilai, sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi.
2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-
tulis ke pertanian, hingga ke keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil
(Schram,1967).
3. Media massa dapat bertindak sebagai pengganda sumber-sumber daya
pengetahuan.
4. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah
dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan
kepribadian yang mobile.
5. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk
bertindak nyata.
6. Komunikasi dapat membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan
keharmonisan dari masa transisi (Rao,1966).
7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat.
8. Komunikasi dapat mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan
tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh
informasi akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan
tertantang oleh kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai
kelebihan dalam hal memiliki informasi.
9. Komunikasi dapat menciptakan rasa kebangsaan sebagai sesuatu yang mengatasi
kesetiaan-kesetiaan lokal.
10. Komunikasi dapat membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti
mereka sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas
politik (Rao, 1966)
11. Komunikasi memudahkan perencanaan dan implementasi program-program
pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk
Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu
proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating).
Berdasarkan hal di atas dapat dipertegas bahwa point 8 dan 9 terkait langsung dengan
peranan komunikasi lintas budaya. Bahkan pada kedua point tersebut tidak boleh
meninggalkan peranserta komunikasi lintas budaya dalam pembangunan nasional.
C. Peran Komunikasi Antar Budaya dalam Pembangunan
Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat
Indonesia yang rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya
berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di
antaranya, yaitu:
1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian
masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing
yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai
baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap
mengancam eksistensinya.
2. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai
mediator dan korektor informasi.
3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan
mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan
penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis,
yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga
seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.
4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian
dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang
ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan
pluralitas budaya sekaligus menunjukkan peran komunikasi antar budaya dalam
terwujudnya pembangunan nasional, yakni dapat dilakukan dengan:
1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan
toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat
pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model
pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti
pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.
2. Peningkatan peran media komunikasi, terutama untuk melakukan sensor secara
substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang
dominan. Salah satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap
subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal
atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan
kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan
sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran
maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam
masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk
dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya
masyarakat lain.
3. Strategi pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan
berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor
utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam
setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat
terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan
formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya
paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat
menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar pembelajar dapat melihat
manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya. Di mana
mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan
globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan
manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas
kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola
konflik, menghargai kemajemukan, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan.
Caranya tidak lain, yakni dengan mempertajam sense of belonging, self of integrity,
sense of participation dan sense of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh
faktor eksternal tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan,
jadi hal ini bukanlah merupakan revolusi yang dipaksakan.

PENUTUP
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan
masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan,
melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang
menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya
yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi
kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan
sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai
semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang
manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari
kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman
budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang
sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional
tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam
mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling
menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan
perundang-undangan yang adil dan demokratis.

DAFTAR BACAAN
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo.
Jakarta

Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta

Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. LkiS. Yogyakarta.

Sitompul, Mukti. Konsep – Konsep Komunikasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial Dan
Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara dalam
http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-mukti.pdf

Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan. PT RajaGrafindo Persada.


Jakarta

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang melimpahkan
rahmatnya kepada kita serta sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita pada jalan kebenaran yakni agama Islam.
Makalah yang berjudul “Prinsip-prinsip Komunikasi dalam penerapan pada konteks
lintas budaya” ini merupakan sebuah tugas untuk memenuhi tugas mata kuliah. Yang mana
dengan tugas ini beliau dapat mengetahui seberapa besar kemampuan para mahasiswa dalam
memahami mata kuliah yang beliau ajarkan.
Agar kami lebih mudah dalam menulis makalah ini, kami berusaha semaksimal mungkin
mencari beberapa referensi baik dari buku maupun internet serta mempelajarinya untuk
mempermudah dalam penyelesaian makalah ini.
Kami harap makalah ini dapat mengganti semua kekurangan kami saat kuliah dan juga
dapat menambah pengetahuan kami walaupun hanya sedikit karena memang itulah batas
kemampuan kami. Selain itu kami harap makalah ini juga bermanfaat dan dapat meningkatkan
pengetahuan belajar kita tentang Komunikasi Lintas Budaya.
Kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis untuk mengetahui kekurangan dari
makalah ini karena penulis masih dalam taraf belajar dan bukanlah manusia yang sempurna.

Surabaya, 10 April 2011

penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang


Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek,
seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adatistiadat dan sebagainya. Di lain
pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saatini dengan mobilitas dan dinamika yang
sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah desa dunia´ (global village) yang hampir
tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh
karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam
konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula
berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama
sekali berjumpa apalagi berkenalan. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman
kebudayaan kerapkali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan
sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-
norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja
harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya.
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya
menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya Budaya adalah komunikasi. Pada satu
sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat,
baik secara horizontal´ dari suatu masyarakat kepada masyarakatlainnya, ataupun secara vertikal
dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma .Pentingnya
peranan komunikasi dan budayamaupun sebaliknya.
Dari hal tersebutlah pemakalah dapat merumuskan beberapa permasalahan untuk lebih detail di kaji, adapun
rumusanya adalah sebagai berikut
2.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Hakikat komunikasi lintas budaya ?
2.      Sepertiapa Prinsip-prinsip komunikasi pada konteks Lintas Budaya ?
3.      Apa maksud dari Prinsip homofili dan heterofili ?
3.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui Hakikat komunikasi
2.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip komunikasi pada konteks lintas budaya
3.      Untuk memahami maksud dari prinsip homofili dan heterofili
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Hakikat Komunikasi lintas budaya


Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu
pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya,
komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua
belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi
masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu,
misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut
komunikasi dengan bahasa nonverbal.
Sedangkan Kata budaya´ berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang
merupakanbentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti ³budi´ atau ³kaal´. Kebudayaan itusendiri
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal´. Istilahculture, yang merupakan
istilah bahasa asing yang sama artinya dengankebudayaan, berasal dari kata colere´ yang artinya
adalah ³mengolah ataumengerjakan´, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan
mengerjakantanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam
´(Soekanto,1996:188). Seorang Antropolog yang bernama E.B.Taylor (1871),memberikan defenisi
mengenai kebudayaan yaitu kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiada,lain kemampuan kemampuan dan kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan olehmanusia sebagai anggota masyarakat.
Komunikasi lintas budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari
semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi lintas budaya adalah komunikasi
antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan
sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok
orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi lintas budaya sebagai human flow across
national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-
bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E.
Jandt mengartikan komunikasi lintas budaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang
yang berbeda budayanya.

2.      Prinsip-prinsip Komunikasi pada Konteks Lintas Budaya


Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang
dijadikan oleh seseorang/ kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak.
Sebuah prinsip merupakan roh dari sebuah perkembangan ataupun perubahan, dan merupakan
akumulasi dari pengalaman ataupun pemaknaan oleh sebuah obyek atau subyek tertentu. Prinsip
juga dapat di sebut sebagai karakteristik untuk hal-hal tertentu. Namun dalam tersebut
komunikasi juga mempunyai karakteristik atau prinsip tersendiri, sebuah prinsip yang berguna
untuk membedakan komunikasi lintas budaya dengan komunikasi yang lainya. Adapun prinsip
tersebut adalah sebagai berikut :
a)      Relativitas Bahasa
Gagasan umum bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan
oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an,
dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-
bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya,
tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda
juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.
b)      Bahasa Sebagai Cermin Budaya
Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi
baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara
budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi
dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi,
lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah
persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
c)      Mengurangi Ketidak-pastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam
komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita
dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena
ketidak-pastian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya
untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.
d)     Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan
selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini
barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin
terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak
spontan, dan kurang percaya diri.
e)      Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang
tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi
kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar
dalam situasi komunikasi antarbudaya.
f)       Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha
memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989)
mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang
akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif.
Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian,
misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan
anda ketimbang orang yang sangat berbeda.
Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan
komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi
komunikasi.
Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil
positif. dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik,
posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya. Anda
kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak
melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif.

3.      Prinsip Homofili dan Heterofili


Satu prinsip pokok komunikasi manusia adalah bahwa pemindahan ide-ide sering kali
terjadi antara orang-orang sepadan, atau homofilus. Homofili adalah sejauh mana pasangann
yang berinteraksi itu mirip dalam ciri-ciri tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial,
dan semacamnya. Sedangkan heterofili adalah sebaliknya yaitu pasanagan yang mempunyai
minim kemiripan dan lebih banyak perbedaan dalam ciri-ciri tertentu. Walaupun satu label
konseptual --homofi-li—diberikan terhadap gejala ini baru dipakai dalam beberapa tahun
belakangan ini oleh Lazarfeld dan Merton (1964:23) keberadaan perilaku homofili telah dicatat
setengah abad yang lalu oleh Tarde (1903:64): ‘’Hubungan sosial , saya ulang, lebih erat antara
orang-orang yang serupa satu sama lain dalam pekerjaan dan pendidikannya’’.
Homofili terjadi begitu sering karena komunikasi itu lebih efktif bila sumber dan
penerima sepadan. Komunikasi yang efektif seperti itu menyenangkan orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Bila dua orang bertukar makna, kepercayaan yang sama dan bahasa yang mereka
pergunakan sama, komunikasi antar mereka cenderung lebih lancar.
Kebanyakan orang meyukai kenikmatan berinteraksi dengan orang lain yang sangat mirip
dengannya. Berbincang dengan orang yang sangat berbada dengan diri kita sendiri memerlukan
usaha keras agar komunikasi itu lancar. Komunikasi yang heterofilus bisa menyebabkan
ketakserasian pandangan karena seseorang dihadapkan pada pesan yang pesan yang tidak cocok
dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada, menyebabkan keadaan psikolgis yang tidak
mengenakkan. Homofili dan komunikasi yang efektif itu saling mendukung. semakin sering
terjadi komunikasi antara anggota suatu pasangan, semakin cenderung mereka menjadi
homofilus,
semakin homofilus mereka semakin besar kemungkinan komunikasi mereka efektif.
Orang-Orang yang menerobos batas batas homofili dan berusah
BerkomunikasiTetapi komunikasi heterofilus punya kelebihan berupa kesanggupan informasonal
khusus, merentang dua kumpulan orang-orang yang secara sosial tidak sama. Mata rantai antar
pribadi terutama penting dalam membawa informasi mengenai inofasi.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Komunikasi lintas budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari
semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi lintas budaya adalah komunikasi
antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan
sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok
orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Satu prinsip pokok komunikasi manusia adalah bahwa pemindahan ide-ide sering kali terjadi
antara orang-orang sepadan, atau homofilus. Homofili adalah sejauh mana pasangann yang
berinteraksi itu mirip dalam ciri-ciri tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan
semacamnya. Sedangkan heterofili adalah sebaliknya yaitu pasanagan yang mempunyai minim
kemiripan dan lebih banyak perbedaan dalam ciri-ciri tertentu.

B.     Saran
Ungkapan terima kasih kepada pembaca dan pendengar makalah ini , dan partisipasi dari
kalian sangat pemakalah harapkan, Karen makalah ini masih dari yang namanya sempurna. Dan
terutama bagi bapak prihananto selaku pengampuh materi kuliyah beribu terima kasih dan maaf.
Karena apa jadinya kami kalau tanpa bimbingannya, dan untuk kesabarannya dalam mendidik
kami.
DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.2003.


file:///D:/%20IV/kom%20lintas%20budaya-%20senin/lintasbudaya/ketokohan-dan-jaringan-
difusi%20hom%20het.htm . rabu.27.
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook

BAB I PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama,
adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Pada kenyataanya seringkali kita
tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang
terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda
dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa,
tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain. Dari sebuah
hubungan interaksi sosial itu menimbulkan suatu budaya baru yang berawal dari sebuah proses
akulturasi budaya.

Beraneka ragam dan corak pada setiap kebudayaan daerah menjadikan sebuah ciri khas tersendiri
bagi setiap manusia dimuka bumi ini, berbagai macam perbedaan budaya tersebut antara lain
dapat dilihat dari bentuk pakaian, bahasa, postur tubuh, aneka macam makanan, adat istiadat
yang mengatur pada suatu daerah tertentu dan masih banyak lagi. Terkadang kita dihadapkan
pada sebuah realitas yang sedikit berbeda dengan budaya kita, sehingga kita merasa asing ketika
berada pada suatu wilayah tertentu. Pada mulanya ketika seseorang dihadapkan pada posisi
demikian, ia akan beranggapan bahwa ia merasa dikucilkan oleh orang-orang yang tinggal
dilingkungannya. Namun seiring berjalannya waktu, dan seringnya intensitas seseorang
berinteraksi dengan orang-orang baru dilingkungannya, maka ia akan menemukan sebuah
kenyamanan dan bahkan bisa mengadopsi budaya baru yang ada dilingkungan baru tersebut.

Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar. Apa yang
kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Dari semua
aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita
banyak belajar dari respons-respons komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan sekitar.
Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan dengan cara itu sehingga pesan-pesan
tersebut akan dikenali, diterima,dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi dengan
kita. Bila dilakukan, kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
lingkungan fisik dan sosial kita. Komunikasi merupakan alat utama untuk memanfaatkan
berbagai sumber daya lingkungan dalam pelayanan kemanusiaan. Lewat komunikasi kita
menyesuaikan diri dan berhubungan dengan lingkungan kita, serta mendapat keanggotaan dan
rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi kita.

B.   Rumusan Masalah

Bagaimana proses gegar budaya dan masalah penyesuaian diri dalam lingkungan baru?

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau
jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke suatu
daerah tertentu. Sebagaimana kebanyakan penyakit lainnya, gegar budaya juga mempunyai
gejala-gejala dan pengobatan secara tersendiri.

Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang
kita lakukan dalam dalam mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari:
kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan
bagaimana memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menerima dan menolak undangan,
kapan membuat pernyataan-pernyataan dengan sengguh-sungguh dan kapan sebaliknya.
Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah,
kebiasan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil.
Begitu pula aspek-aspek budaya kita lainnya, seperti bahasa dan kepercayaan yang kita anut.
Demi ketentraman hidup kita semua bergantung pada beratus-ratus petunjuk ini, petunjuk-
petunjuk yang kebanyakannya tidak kita bawa dengan sadar.

Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Ia
bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun anda berpikiran luas dan beritikad baik, anda akan
kehilangan pegangan. Lalu anda akan mengalami frustasi dan kecemasan. Biasanya orang-orang
menghadapi frustasi dengan cara yang hampir sama. Pertama-tama mereka menolak lingkungan
yang menyebabkan ketidak nyamanan. (Mulyana & Rahmat,2001;174)

Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu
kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan. Dalam
menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang
berbeda dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana dalam buku komunikasi antar budaya
mengatakan bahwa Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan
tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial.
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, mempercayai dan
mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan,
praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan tekhnologi.
Semua itu berlandaskan pola-pola budaya . ada orang-orang yang berbicara bahasa tagalog,
memakan ular, menghindari minuman keras yang terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang
yang mati, berbicara melalui telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena mereka
telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mengandung
unsur-unsur tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana
mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi dari
budaya mereka.

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan
sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan diri, nilai, sikap, hirarki, agama, waktu,
peranan, hubungan ruang, makna, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi kegenerasi melalui usaha individu dan
kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk
kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian
diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat
disuatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada
suatu saat tertentu.

Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan
penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan
dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu
landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana,
budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama periode kehidupan. Budaya
juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi
hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin
suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkan dengan komputer
elektronik: kita memprogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memprogram
kita agar melakukan sesuatu yang menjadikan kita apa adanya. Budaya kita secara pasti
mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati-dan bahkan setelah matipun kita
dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan
siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang yang menyandi pesan, maka
yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan dan
menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada
budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi, bila
budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.

B.    Faktor penyebab culture shock

Fenomena culture shock bersifat kontekstual dan dialami dengan berbeda-beda dari generasi ke


generasi berikutnya. Faktor yang mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan
sangat spesifik tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di daerah mana
individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat bervariasi.

Ketakutan merupakan faktor terbesar yang mendorong timbulnya kecemasan ketika individu
mengetahui akan menempati tempat yang berbeda dalam jangka waktu yang tidak singkat.
Ketakutan ini akan menimbulkan sebuah kecemasan dan akan menjalar kepada rasa percaya diri
yang kurang. Dengan rasa percaya diri yang kurang tersebut individu akan cenderung
memperoleh hasil yang kurang maksimal dalam berinteraksi atau berusaha menyesuaikan diri
dengan lingkungan barunya. Inilah yang kemudian harus segera diatasi agar tidak menjadi
berkelanjutan.

Menurut pendapat Parrillo (2008) yang diperoleh dari situs menyatakan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi culture shock yaitu:

1)      Faktor pergaulan

Pada faktor ini, individu cenderung mengalami ketakutan akan perbedaan pergaulan disetiap
tempat yang baru. Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam menghadapi
situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman
mengenai pergaulan ini, individu juga akan merasa terasing dengan orang-orang disekelilingnya
yang dirasa baru baginya.

2)      Faktor teknologi

Dewasa ini perkembangan teknologi semakin melaju pesat. Perkembangan teknologi yang
semakin mutakhir ini menyebabkan masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk mengikuti
perkembangan teknologi agar mampu bersaing di dunia global. Teknologi juga merupakan faktor
penting dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture shock. Individu merasa takut tidak bisa
mengikuti perkembangan teknologi di tempat tinggal barunya sehingga individu cenderung akan
merasakan ketakutan. Individu disini dituntut untuk berpikir keras bagaimana caranya untuk
dapat mengikuti perkembangan teknologi serta mampu mengaplikasikannya dikehidupannya.

3)      Faktor geografis

Faktor geografis identik dengan keadaan geografis di daerah tersebut. Faktor geografis ini
merupakan faktor lingkungan secara fisik, misalnya perbedaan cuaca, perbedaan letak wilayah
seperti daerah pantai dengan daerah pegunungan. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut
mengalami gangguan kesehatan.

4)      Faktor bahasa keseharian

Bahasa merupakan cerminan dari sebuah kebudayaan yang beradab. Bahasa tidak bisa dianggap
dengan sebelah mata dewasa ini. Individu yang mengalami kekagetan terhadap budaya baru
sering kali dihubungkan dengan faktor bahasa sebagai salah satu ketakutan yang cukup besar
ketika akan menetap ditempat yang baru. Tidak menguasai atau bahkan tidak mengerti sama
sekali bahasa merupakan suatu hal yang wajar yang menyebabkan timbulnya culture shock.
5)      Faktor ekonomi

Ketakutan terhadap biaya hidup yang berbeda yang memiliki kemungkinan lebih tinggi
merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya culture shock. Ini merupakan hal umum yang
terjadi bahwa setiap daerah di negara Indonesia memiliki kemampuan konsumsi yang berbeda-
beda. Perbedaan inilah yang menyebabkan individu guncang ketika dihadapkan pada
permasalahan tempat tinggal yang baru. Individu harus mulai berusaha, bersiap serta berwaspada
mengantisipasi agar mampu bertahan hidup ditempat tinggal yang baru.

6)      Faktor adat istiadat

Faktor ini merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah
yang notebene memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Untuk itu individu
harus mampu beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang baru. Namun beradaptasi
dengan adat istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang pendatang, maka individu
cenderung mengalami kekagetan budaya terutama dalam hal adat istiadat tersebut.

7)      Faktor agama

Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam usahanya menyesuaikan di
tempat tinggal yang baru. Individu mengalami ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi
perbedaan yang sangat rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya.

 C.     Solusi Pemecahan Masalah Culture shock

Dari bebrapa faktor penyebab terjadinya culture shock,  kelompok merumuskan solusi untuk
mengatasinya. Antara lain yaitu :

1. Faktor pergaulan

Individu harus belajar membiasakan diri beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan
barunya, dengan pembiasaan ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dari individu tersebut
dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan barunya tersebut. Pergaulan yang baik
akan membuat seseorang lebih mudah menjalani kehidupan sosialnya.

1. Faktor teknologi

Dewasa ini teknologi semakin berkembang pesat dikalangan orang banyak, semakin pesat
teknologi berkembang maka orang-orang dituntut untuk semakin keras mempelajari dan
mengaplikasikan teknologi yang ada dalam kehidupannya. Seorang individu yang berada di
lingkungan baru baginya pasti akan merasakan perbedaan teknologi yang berkembang di
lingkungan tersebut, terlebih lagi apabila individu yang berasal dari daerah pelosok kemudian
datang ke daerah yang cukup pesat perkembangan teknologinya.

 
1. Faktor geografis

Karena faktor geografis ini berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan maka hal ini dapat
diatasi dengan cara individu lebih menjaga kesehatan yang cenderung menurun ketika individu
tersebut tinggal di suatu tempat tinggal yang baru, yang tentunya jauh berbeda dengan tempat
tinggal semula. Pencegahan yang baik perlu dilakukan secara terus menerus agar individu tetap
berada di kondisi yang prima dalam menjalani aktifitas sehari-hari.

1. Faktor bahasa keseharian

Untuk mengatasinya kelompok memberikan solusi diantaranya yaitu dengan menumbuhkan


kemauan belajar bahasa kepada setiap individu ketika tinggal ditempat yang baru. Kemauan
belajar bahasa tersebut bisa dilakukan dengan cara meminta bantuan kepada teman yang
memang berasal dari daerah tersebut untuk mengajarkan bahasa keseharian di daerah tersebut.

1. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi ini dapat diatasi dengan cara pengelolaan keuangan yang baik sesuai dengan
kebutuhan masing-masing individu, agar individu dapat menyesuaikan pemasukan keuangan
dengan pengeluarannya. Pada saat proses pendidikan alan lebih baiknya individu juga melakukan
program saving money, untuk mengatasi kebutuhan tidak terduga.

1. Faktor adat istiadat

Pada dasarnya melekatnya kebudayaan terhadap seorang individu membutuhkan proses dan
waktu, semua tidak terjadi begitu saja. Solusi menurut kelompok adalah individu harus lebih
membuka dirinya terhadap adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang umumnya terjadi
dimasyarakat. Dengan cara tersebut diharapkan individu dapat lebih menghindari terjadinya
culture shock/gegar budaya.

1. Faktor agama

Solusinya yaitu individu harus lebih meningkatkan sikap toleransinya antar umat beragama.

D.    Masalah Penyesuaian Diri Dalam Lingkungan Budaya

          Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah
perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan
lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut  dapat diberikan batasan bahwa kemampuan
manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia
dengan lingkungannya.

E.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri.

Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu primer terhadap penyesuaian
diri. Penentu berarti faktor yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada
proses penyesuaian diri. Penentu penyesuaian diri identik dengan faktor-faktor yang mengatur
perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap. Penentu-penentu itu dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kondisi-kondisi fisik, termasuk didalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf,


kelenjar, dan system otot, kesehatan, penyakit, dsb.
2. Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, social, moral, dan
emosional.
3. Penentuan psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajarnya, pengkondisian,
penentuan diri, frustasi, dan konflik.
4. Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.
5. Penentuan cultural termasuk agama..

1. F.     Permasalahan-Permasalahan Penyesuaian Diri Remaja.

            Contoh :

Penyesuaian diri remaja dengan kehidupan disekolah. Permasalahan penyesuaian diri di sekolah
mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki jenjang sekolah yang baru, baik sekolah
lanjutan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin mengalami permasalahan
penyesuaian diri dengan guru- guru, teman, dan mata pelajaran. Sebagai akibat antara lain adalah
prestasi belajar menjadi menurun dibanding dengan prestasi disekolah sebelumnya.

Persoalan-persoalan umum yang seringkali dihadapi remaja antara lain memilih sekolah. Jika
kita mengharapkan remaja mempunyai penyesuaian diri yang baik, seyogyanya kita tidak
mendikte mereka agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginan kita. Orangtua / pendidik
hendaknya mengarahkan pilihan sekolah sesuai dengan kemampuan, bakat, dan sifat-sifat
pribadinya. Tidak jarang terjadi anak tidak mau sekolah, tidak mau belajar, suka membolos, dan
sebagainya karena ia dipaksa oleh orangtuanya untuk masuk sekolah yang tidak ia sukai.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja
khususnya di sekolah adalah:

1. Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “ betah” (at home) bagi anak-
anak didik , baik secara social , fisik maupun akademis.
2. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3. Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, social , maupun
seluruh aspek pribadinya.
4. Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
5. Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
6. Ruang kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
7. Peraturan / tata tertib yamg jelas dan dapat dipahami oleh siswa.
8. Teladan dari para guru dalam segi pendidikan.
9. Kerja sama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan di sekolah.
10. Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.
11. Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan tanggung jawab baik pada murid
maupun pada guru.
12. Hubungan yang baik dan penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua siswa dan
masyarakat.

Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di luat negeri,
walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya banyak orang
asing di sekitarnya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa
lingkungan di sekitarnya telah berubah.

Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka
dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena
dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di
sekitarnya. Maka, .ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk
dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi.

Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan
dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan: “lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan
dimana kita tidak tahu respon yang tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil
yang dikehendaki.” Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai
masalah yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan sebelumnya yang
mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan, perubahan sumber daya secara
material dan teknis, kekurangan informasi tentang rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya.

Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan
psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ culture
shock.

Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke
lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh
kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat
tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana kita
memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-
petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-
kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila
seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia
bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan
kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan
ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih
baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul
bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan
emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif. Misalnya, “Orang-orang Amerika Latin
yang malas” “Orang Indonesia yang anarkis”, dsb. Pernah ada seorang Belanda dan beberapa
orang Jepang yang mengalami kasus serupa ketika berkunjung ke Indonesia, mereka sama-sama
mengalami diare akibat memakan masakan Indonesia. Mereka hanya bisa menerima makanan
dari restorant-restorant berlisensi barat seperti Hartz, Pizza Huts, dll, atau restorant Jepang.
Orang Belanda tersebut langsung melakukan stereotip bahwa makanan di Indonesia kurang
higenis.

Sojourneys dan Settlers

Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang mengambil
tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner:
karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbweda, maka reaksi
mereka pun berbeda. Settlers berada daalm proses membuat komitmen tetap pada masyarakat
barunya, sedangkan sojourneys berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya
bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai pelajar asing dalam beberapa tahun.

Definisi Culture Shock

Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg.
Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari
kehilangan semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk
didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya:
bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak
perlu merespon.

Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami
menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka
penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan
nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya
sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor
internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan
baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk
pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang Australia
yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk
sementara waktu, dia terkejut seputar kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan
sempit dengan makuk besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya
berupa ruang kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut
mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan
shower serta air hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa
kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar
di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan pasangan homogen di Indonesia karena komunitas
marginal tersebut lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di
Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen
dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu perbuatan
memalukan.

Reaksi pada culture shock

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan
dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.


2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka

Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)

Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka
waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4
tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u,
sehingga disebut u-curve.

Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase
ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru

Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang,
misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya
ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock.
Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah
tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak
kompeten.

Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap
ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan
tidak terlalu menekan.

Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari
budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk
hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati.
Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang
akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang
W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.
Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala
dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan
dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang
kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk
sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele,
dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.

Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang
tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasi menyesuaikan diri dengan
lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang
terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama
yang disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan dimana
kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat dan beritikad baik
dalam menjalin persahabatan antarbangsa. Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi
kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif
terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri.
Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak
menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan
teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan orang-
orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap positif
terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai
salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya,
“ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap keempat, penyesuaian diri hampir
lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul
dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan
sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya
pendatang telah memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika
pulang ke kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan
dirindukan.
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh tokoh antropologis Oberg. Menurutnya,
culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan
semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu
satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi
perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon. Deddy
Mulyana lebih mendasarkan cultural shock sebagai benturan persepsi yang diakibatkan
penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari
orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum
ia pahami. Di indonesia cultural shock sering disebut dengan istilah gegar budaya di mana
seseorang mengalami goncangan perasaan (kecemasan) yang diakibatkan oleh perbedaan nilai
kebudayaan baru yang tidak sesuai dengan pola nilai kebudayaan yang sudah di anutnya sejak
lama.

Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)

Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu
penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4
tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u,
sehingga disebut u-curve.

Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase
ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum
memasuki budaya baru

Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang,
misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya
ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock.
Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah
tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak
kompeten.

Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap
ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan
tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari
budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk
hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati.
Namun beberapa ahli menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang
akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang
W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.

Manusia secara alamiah memang merupakan mahluk yang paling pandai dan cepat untuk
menyesuaikan dirinya pada suatu keadaan yang baru di bandingkan mahluk yang lain. Akan
tetapi manuasia memerlukan rentang waktu yang cukup untuk memposisikan dirinya dengan
segala hal yang baru tersebut. Contoh dari hal sederhana, bagi seseorang yang sudah terbiasa
tidur dengan waktu ideal 8 jam perhari akan merasakan pusing ataupun lemas ketika sehari saja
ia hanya tidur selama 5 jam. Orang yang menjalankan ibadah puasa, ketika berbuka tidak lantas
makan besar karena akan menyababkan gangguan lambung ia setidaknya minum air hangat agar
memberi kesempatan bagi tubuhnya untuk menyesuaikan. Jika dari hal sederhana saja tubuh
manusia memerlukan waktu untuk mengadaptasiakan dirinya apalagi dengan lingkungan sosial.

Manusia yang disebut sebagai zone politikon tidak akan mampu bertahan hidup tanpa bantuan
dari orang di sekitarnya. Bahkan manusia sangat memerlukan pengakuan dari orang disekitarnya
atas eksistensinya. Dalam pola hubungan masyarakat tetulah akan ada sistem tata nilai
kebudayaan yang dianut. Dimana kebudayaan tersebut dijadikan dasar bagi masyarakat tertentu
untuk menjalin keakraban dan mencapai kerukunan bersama. Goncangan kebudayaan atau
cultural shock sebagai salah satu fenomena sosial dapat di alami oleh siapapun saat orang
tersebut tidak mampu memposisikan dirinya dengan kebudayaan baru di sekitarnya.

Pengalaman Goncangan kebudayaan atau dalam bahasa kerennya sering disebut dengan istilah
cultural shock saya alami ketika awal masuk kuliah. Ketika awal masuk universitas yang amat
pekat dengan nuasa agama Islam. Karena pendidikan saya dari SD.SMP,hingga SMA saya
tempuh di umum saya kurang terbiasa dengan pelajaran agama secara mendalam sedangkan di
universitas mau tidak mau saya harus menjalaninya karena merupakan mata kuliah wajib yang
harus di tempuh. Diawali dengan mata kuliah sejarah kebudayaan islam, hadist, tauhid, dan
tasawuf di semester pertama cukup membuat saya kelimpungan untuk memahami dan mengerti
mata kuliah tersebut. Ditambah pada semester dua ada mata kuliah bahasa Arab yang belum saya
pelajari, karena belum pernah ada di mata pelajaran ketika jenjang pendidikan saya sebelumnya,
alhasil dalam minggu-minggu awal masuk kuliah semester dua saya sering tidak masuk kuliah
karena biasanya dosen meminta mahasiswa untuk membaca teks bahasa arab yang tidak ada
harokatnya.
Pengalaman lain saya yang lain, ketika saya harus tinggal di Jogja dan satu kos dengan teman
yang dari beberapa daerah yaitu Pati, Pondowoso, Bogor, Wonogiri, dan Solo. Meski kami sama-
sama orang Jawa namun ternyata bahasa yang kami gunakan berbeda. Meski katanya sama
namun berbeda makna yang menyebabkan kami harus mnyesuaikan satu dengan yang lain.

Suatu ketika saat hari minggu saya dan teman satu kos untuk makan bersama, ketika itu kami
membeli mie ayam dan bakso di pedagang kaki lima dekat kos. Saat sedang asyik menikmati
makanan tiba-tiba teman saya Riza dari Pati berkata “ hawane kok anyep banget ya” saya yang
tepat di sampingnya sejenak bingung, istilah “anyep” yang saya ketahui biasanya untuk
menunjukkan mkanan yang hambar bukan untuk cuaca, untuk itulah saya putuskan untuk
bertanya apa makna kata tersebut. Ternyata di daerah Pati kata “anyep” bermakna dingin.
Kejadian lain yang agak konyol yaitu saat saya meminta tolong teman sekamar saya Nurul yang
berasal dari Bogor untuk membelikan buah pisang di warung depan kos untuk makan tablet
vitamin. Tanpa berfikir panjang dengan logat jawa yang melekat saya mengatakan “ Nurul, aku
nitip gedhang neng warung ngarep ya” . Ketika ia pulang alngkah terkejutnya saya ketika yang ia
belikan bukanlah buah yang saya maksud. Dengan santai ia berkata “ini gedhangnya” sambil
menyerahkan buah itu. Namun yang ia berikan bukanlah “gedhang” yang saya maksud pisang
melainkan pepaya. Singkatnya ternyata di Bogor menyebut buah pisang bukanlah “gedhang”
melainkan pepaya atau kalau orang jawa menyebutnya “gandul”.

Untuk itulah ketrampilan memahami kebudayaan masyarakat lain sangat perlu dilakukan agar
kita mampu menjalin komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif akan
memudahkan kita bersosialisasi dengan pola nilai kebudayaan masyarakat yang baru. Apalagi
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai ragam adat istiadat, bahasa, dan
kebiasaan. Sehingga goncangan kebudayaan atau cultural shock dapat kita minimalisir dan yang
paling penting untuk menghindari adanya bentrokan dan permusuhan karena adanya
miskomunikasi antar kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai