Anda di halaman 1dari 65

TEOLOGI AGAMA-AGAMA

DIKTAT PERKULIAHAN

DOSEN
Jeni Isak Lele, M.Th.

Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri


Kupang (STAKN)

2019

1
Daftar Isi

SILLABY
PENDAHULUAN
BAB I MEMAHAMI TEOLOGI AGAMA-AGAMA
A. Perbedaan Teologi Agama-Agama dan Studi Agama-Agama
1. Teologi agama-agama dan Sosiologi Agama
2. Teologi agama-agama dan Filsafat Agama
3. Teologi agama-agama dan Fenomenologi Agama-agama
B. Apa itu Teologi Agama-Agama?
C. Mengapa diperlukan Teologi Agama-Agama?
D. Bagaimana Berteologi Dalam Konteks Agama yang Plural?
BAB II BENTUK-BENTUK PENDEKATAN DALAM TEOLOGI AGAMA-AGAMA
A. Eksklusivisme
1. Pengertian Eksklusivisme
2. Latar Belakang Munculnya Eksklusivisme
3. Dasar Teologis dan Pandangan
4. Ciri Khas
5. Tokoh-Tokoh Utama
6. Evaluasi Kritis terhadap Pendekatan Eksklusivisme
B. Inklusivisme
1. Latar Belakang Munculnya Pendekatan Inklusivisme
2. Kepentingan Pendekatan Inklusivisme
3. Filosofi Inklusivisme: The Widness of God
4. “Agama-agama merupakan Jalan Keselamatan”
5. Kristen anonim
6. Evaluasi Kritis Terhadap Inklusivisme
a. Kristus yang “tergadaikan”
b. Soteriologis : Sinkritisme Keselamatan
7. Tokoh-tokoh Utama
C. Pluralisme
1. Memahami Pendekatan Pluralisme
2. Pandangan Tokoh-tokoh Pluralisme
D. Evaluasi Kritis Terhadap Ketiga Model Pendekatan
BAB III MODEL-MODEL TEOLOGI AGAMA-AGAMA
A. Model Penggantian
B. Model Pemenuhan
C. Model Mutualitas
D. Model Penerimaan
BAB IV MASALAH DAN HAMBATAN DALAM TEOLOGI AGAMA-AGAMA
A. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
C. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
D. Masalah Mayoritas dan Minoritas Agama
BAB V MENGEMBANGKAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
A. Kepentingan Dialog
B. Batasan Dialog
C. Sikap Dalam Dialog
D. Saran Praktis Untuk Dialog
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

2
SILLABY

STAKN
Mata Kuliah : Teologi Agama-Agama
Kode : PAK-5005
Bobot : 2 SKS
Semester : 2
Waktu Pertemuan : 16 X (2 X 50 Menit)

Deskripsi Mata Kuliah:


Agama-agama di dunia ini mengajarkan iman akan Tuhan sebagai yang Maha Kasih dan
pemberi rahmat kepada manusia. Namun, dalam perkembangannya, agama justru menjadi
media untuk menciptakan konflik dan permusuhan antar sesama umat manusia. Jika demikian,
maka tidak salah apabila kemudian muncul pertanyaan; apakah agama yang menjadi sumber
adanya konflik dan permusuhan itu? atau sebenarnya model beragama manusia yang menjadi
sumber adanya konflik dan permusuhan dengan mengatasnamakan Tuhan?
Indonesia sebagai negara yang majemuk mau tidak mau masuk dalam kenyataan pluralitas
berada. Kenyataan pluralitas dari kemajemukan Indonesia sangat penting untuk dilihat dalam
bingkai kesatuan yang beda. Menyikapi ide sebelumnya maka peran agama di Indonesia
seharusnya dapat mengawal pluralitas beragama sebagai suatu perekat sebagai kekuatan dan
kekayaan bangsa. Jika perwakilan dari agama-agama lebih cenderung mengajak umatnya
berprasangka dengan penuh kebencian kepada mereka yang berbeda keyakian, keindonesiaan
juga akan terancam. Berulang kali kita melihat para pemimpin dan jemaat agama menghasut
agresi, fanatisme, kebencian bahkan menginspirasi dan melegitimasi konflik kekerasan
berdarah. Karena itu, peran agama menjadi sangat sentral dalam menentukan masa depan
kehidupan bangsa Indonesia. Mata Kuliah ini dirancang untuk memberikan tentang bagaimana
merumuskan suatu teologi agama-agama yang didasarkan pada dinamika interaksi antar umat
beragama dalam konteks masyarakat yang pluralis.
Standar Kompetensi:
Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Teologi agama-agama dan membedakan antara
teologi agama-agama dengan studi agama-agama. Selanjutnya bertolak dari latar belakang
munculnya teologi agama-agama, mahasiswa juga diharapkan dapat mengenal pendekatan-
pendekatan dan model-model dalam teologi agama-agama sebagai kerangka berpikir secara
konseptual untuk mendialogkan secara efektif sisi iman Kristiani dalam konteks masyarakat
Indonesia yang plural.
Kompetensi Dasar :
1. Menjelaskan pengertian teologi agama-agama (why, what and how)
2. Mengemukakan bentuk-bentuk pendekatan dalam teologi agama-agama
(Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme)
3. Menjelaskan tentang model-model dalam teologi agama-agama (Model Pengantian,
Model Pemenuhan, Model Mutualitas dan Model Penerimaan)
4. Memahami Masalah dan Hambatan dalam Teologi Agama-agama
5. Mengembangkan Teologi Agama-agama dalam Konteks Masyarakat Indonesia
6. Pancasila sebagai model teologi agama-agama yang kontekstual
Urutan dan Rincian Materi:
1. Pengertian Teologi Agama-Agama
2. Bentuk-bentuk pendekatan dalam Teologi Agama-Agama
3. Model-model Teologi Agama-Agama
4. Masalah dan Hambatan dalam Teologi Agama-Agama
5. Mengembangkan Teologi Agama-Agama Dalam Konteks Indonesia
6. Pancasila sebagai model teologi agama-agama yang kontekstual
Indokator Hasil Belajar:
1. Menjelaskan pengertian Teologi Agama-Agama

3
2. Menjelaskan bentuk-bentuk pendekatan dalam teologi agama-agama
3. Menjelaskan model-model teologi agama-agama
4. Mendeskripsikan masalah dan hambatan dalam teologi agama-agama
5. Mengemukakan pola dan metode dalam mengembangkan teologi agama-agama
6. Mendiskusikan secara kritis tentang Pancasila sebagai model teologi agama-agama
yang kontekstual
STANDAR PROSES PEMBELAJARAN
PENDEKATAN : Kolektif partisipatoris
PENGALAMAN BELAJAR : 1. Mahasiswa mendengarkan kuliah yang disampaikan
dosen
2. Mahasiswa mendiskusikan
3. Mahasiswa mempraktekan pendekatan teologi agama-
agama dalam interaksi sosial dengan penganut agama
yang lain.
METODA : Ceramah, diskusi, simulasi, observasi dan isyarat
TUGAS : Review buku yang berhubungan dengan Teologi Agama-
agama
STANDAR PENILAIAN : 1. Partisipasi dan kehadiran (Pengamatan Dosen) : 15 %
2. Tugas-tugas : 20 %
a. Ringkasan buku
b. Laporan Baca
c. Kelompok Kerja
3. Tes Kecil : 10 %
4. UTS : 25 %
5. UAS : 30 %
TEKNIK : TERTULIS
BENTUK SOAL : Tes Tertulis, Tes Sikap, Portofolio, Proyek, Unjuk Kerja
MEDIA : Papan Tulis/White board, LCD, dll

Sumber Belajar

1. Keluarga
2. Media Elektronik (Internet)
3. Narasumber
4. Lingkungan Alam
5. Lingkungan Sosial
6. Teman di Kampus
7. Teman di Masyarakat Setempat
8. Komunitas Gereja
9. Literatur :
a) Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000
b) Sumartana Th, Dialog, Kritik dan Identitas Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996
c) Lumintang Stevri I, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, Malang: Gandum Mas,
2004
d) Knitter Paul F, Satu Bumi Banyak Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
e) Ucko Hans, Akar Bersama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998.
f) Darmaputra Eka, Pancasila, Identitas dan Modernitas, BPK Gunung Mulia, 1987.
g) SP Soetarman dkk, Fundamentaslime Agama-Agama dan Teknologi, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997.

4
PENDAHULUAN

“Bertemu dengan sesama menjadikan kita melihat diri sendiri dengan cara baru.
Dalam suatu perjumpaan yang sejati seseorang dapat belajar sama banyaknya tentang
dirinya sendiri dan juga tentang sesama”
(Hans Ucko)

“Malapetaka dapat terjadi bukan saja karena umat beragama tidak memahami  agama
orang lain, tetapi juga karena ketidakmampuan untuk mengerti agamanya sendiri”
(Quraish Shihab)

Tantangan kontemporer dan mendasar bagi agama-agama di Indonesia


adalah pluralisme. Dengan pluralisme, kenyataan kemajemukan agama-agama
tersebut tidak saja dilihat sebagai kenyataan sosiologis belaka. Ada pengalaman yang
sungguh baru dirasakan setiap agam a. Dalam konteks pluralitas sekarang
ini, pemahaman diri sebagai “anak tunggal” diperhadapkan dengan agama-agama lain
yang juga punya kesadaran sama. Dampak dari perjumpaan semacam ini ialah
timbulnya “plural shock” atau “cognitive dissonance”, yaitu suatu kebingungan yang
mendekati kekacauan yang terjadi dalam diri penganutnya. Itu disebabkan karena
para pemeluk agama kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa apa yang
semula diyakini sebagai yang sungguh benar dan diterima begitu saja, kini
diperhadapkan dengan sikap yang sama dalam agama yang berbeda. Ternyata umat
beragama lain juga memiliki kepercayaan, klaim, dan keyakinan yang utuh. Dengan
demikian, agama-agama diperhadapkan dengan krisis.
Menghadapi krisis semacam itu dalam beberapa tahun belakangan, agama-
agama telah mengembangkan apa yang disebut dengan teologi religionum atau
teologi agama-agama.
Teologi ini mencoba menempatkan pluralitas keagamaan sebagai pusat
persoalan dan pusat perhatian. Dalam teologi religionum  pluralitas agama tidak
dilihat hanya sebagai fakta kehidupan yang mau tidak mau harus diterima. Pluralitas
agama ingin dilihat maknanya.
Agama-agama di dunia ini mengajarkan iman akan Tuhan sebagai yang Maha
Kasih dan pemberi rahmat kepada manusia. Namun, dalam perkembangannya, agama
justru menjadi media untuk menciptakan konflik dan permusuhan antar sesama umat

5
manusia. Jika demikian, maka tidak salah apabila kemudian muncul pertanyaan;
apakah agama yang menjadi sumber adanya konflik dan permusuhan itu? atau
sebenarnya model beragama manusia yang menjadi sumber adanya konflik dan
permusuhan dengan mengatasnamakan Tuhan?
Kemajemukan adalah kenyataan yang tidak dapat dielakkan lagi dalam
kehidupan. Indonesia adalah negara yang sangat majemuk. Kemajemukan itu
seharusnya diterima sebagai anugerah bagi bangsa Indonesia. Minimal ada delapan
aspek sebagai kenyataan Indonesia yang serba majemuk, salah satunya adalah
kemajemukan beragama. Kemajemukan beragama merupakan kenyataan dimana ada
enam agama besar yang diakui negara, beserta begitu banyak agama asli Indonesia
yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masalah serba majemuk dalam beragama
tidak berhenti hanya disitu saja. Tetapi dalam agama-agama yang begitu banyak di
dalam agama itu sendiri terdapat banyak aliran-aliran atau denominasi-denominasi.
Kenyataan ini benar menegaskan bahwa kehidupan beragama di Indonesia sangat
majemuk.
Jika hanya melihat sajian kenyataan bahwa kehidupan beragama di Indonesia
adalah kenyataan yang sangat majemuk, hal tersebut belumlah cukup untuk
menjelaskan bagaimana wajah beragama di Indonesia. Kenyataan hidup beragama
yang majemuk tersebut harus juga dilihat bagaimana pola relasi dan interaksi antar
agama-agama yang majemuk itu. Berbicara mengenai relasi dan interaksi, secara
langsung akan menyinggung bagaimana kehidupan sehari-hari antar elemen-elemen
agama. Elemen-elemen itu mencakup ajaran, ritus, dan yang terpenting adalah
pemeluk.
Suatu hal yang sangat menyedihkan ialah kenyataan lapangan menunjukan
hubungan sehari-hari antar elemen agama itu masih jauh dari kata harmonis. Agama
kembali lagi menjadi sumber masalah bagi manusia dalam kehidupan bersama.
Bahkan yang paling parah agama di Indonesia juga menjadi sumber konflik antar
golongan. Golongan terbentuk dari personal-personal, sehingga tentu masalah agama
bagi golongan juga menjadi masalah kemanusiaan. Misalnya kasus kerusuhan 1998-
2006 yang dibungkus dalam kasus konflik antar penganut agama Kristen dan agama
Islam, kini menyisahkan trauma yang mendalam didalam masyarakat. Masyarakat
antar kedua golongan agama tersebut hidup dalam kecurigaan satu sama lain. Salah
satu, takut untuk hidup berdampingan dengan yang lain, trauma akibat jatuhnya
korban materi bahkan nyawa yang melayang sia-sia. Bencana kemanusiaan ini

6
berimplikasi pada disharmoni kehidupan komunal. Jika masyarakat hidup terus
menerus hidup dalam rasa saling curiga dan ketakutan maka masa sistem masyarakat
itu tidak akan lama lagi bertahan. Salah satu pihak yang butuh akan ketenangan hidup
dan keamanan hidup tentu dapat berpindah (tidak lagi memilih untuk tinggal dengan
pihak yang dianggap melukai diri mereka).
Berdasarkan contoh, penyebab konflik agama oleh karena tiap agama seolah-
olah menawarkan semangat persaingan dari pada kerukunan. Esklusivitas beragama
menjadi tembok pemisah kedamaian antar agama. Contoh sumber masalah di atas
dapat muncul tidak lepas dari klaim kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam setiap
kitab suci. Klaim kebenaran tersebut diinterpretasi tidak lepas dari siapa penafsirnya.
Bisa saja yang terjadi bukan kebenaran kitab suci yang menerangi kepentingan-
kepentingan penafsir tetapi justru kepentingan-kepentingan penafsir yang memperalat
kebenaran kitab suci sebagai sumber legitimasi kepentingannya. Bagaimana seseorang
memahami kebenaran-kebenaran dalam kitab-kitab suci dapat menjadi sumber konflik
dan permusuhan atas nama Tuhan di antara sesama umat manusia.
Indonesia sebagai negara yang majemuk mau tidak mau masuk dalam
kenyataan pluralitas berada. Kenyataan pluralitas dari kemajemukan Indonesia sangat
penting untuk dilihat dalam bingkai kesatuan yang beda. Menyikapi ide sebelumnya
maka peran agama di Indonesia seharusnya dapat mengawal pluralitas beragama
sebagai suatu perekat sebagai kekuatan dan kekayaan bangsa. Jika perwakilan dari
agama-agama lebih cenderung mengajak umatnya berprasangka dengan penuh
kebencian kepada mereka yang berbeda keyakian, keindonesiaan juga akan terancam.
Sebagaimana yang dinyatakan Parlemen Agama-Agama Dunia tahun 1993 dalam
Deklarasi Etika Global: “berulang kali kita melihat para pemimpin dan jemaat agama
menghasut agresi, fanatisme, kebencian bahkan menginspirasi dan melegitimasi
konflik kekerasan berdarah”. Karena itu, peran agama menjadi sangat sentral dalam
menentukan masa depan kehidupan bangsa Indonesia.

7
BAB I
MEMAHAMI TEOLOGI AGAMA-AGAMA

Teologi Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology of Religions,


dalam bahasa Latin Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu teologi yang
membahas bagaimana kekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan
adanya pluralitas agama di luar dirinya. Fokus studi teologi agama-agama adalah
bagaimana umat Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana
hubungan yang positif antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang
dikonstruksi. Salah satu pionir didalam teologi agama-agama adalah
teolog Inggris yang bernama Alan Race.
Alan Race adalah seorang teolog Gereja Anglikan yang terkenal di dalam
studi teologi agama-agama. Di dalam studi teologi agama-agama, Race dikenal
sebagai teolog yang pertama kali memopulerkan penggunaan tipologi
tripolar eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme. Tipologi tersebut digunakan
sebagai standar di dalam studi teologi agama-agama, dan hingga kini masih banyak
digunakan di dalam diskursus teologi agama-agama. Salah satu karyanya yang
terkenal adalah "Orang-orang Kristen dan Pluralisme Religius" ( Christians and
Religious Pluralism) yang ditulisnya pada tahun 1983 menjadi salah satu literatur klasik
di dalam studi teologi agama-agama Kristen. Di dalam buku tersebut, Race
menggunakan tipologi untuk memetakan beragam pendekatan para teolog dan non-
teolog Kristen mengenai relasi kekristenan dengan agama-agama lain. Race
memasukkan pendekatan-pendekatan yang ada ke dalam tiga kategori, yaitu
eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme yang secara khusus akan dibahas pada Bab
berikutnya.

A. Perbedaan Teologi Agama-Agama dan Studi Agama-Agama

Teologi agama-agama merupakan bidang ilmu yang berbeda dengan studi


agama-agama pada umumnya. Untuk menggambarkan perbedaan tersebut
dengan lebih jelas, maka perlu membandingkan fokusnya masing-masing.

1. Teologi Agama-Agama dan Sosiologi Agama

8
Studi sosiologi agama-agama merupakan studi tentang hubungan-
hubungan antara agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk hubungan yang
terjadi. Hal-hal yang menjadi perhatian dari studi ini adalah bagaimana
kepercayaan-kepercayaan agama tertentu mempengaruhi suatu masyarakat,
atau bagaimana kepercayaan agama tertentu mempengaruhi pola hubungan
dengan umat beragama lain. Dalam bidang ini, yang menjadi obyek penelitian
adalah aspek manusiawi (imanen), yang mana aspek Ilahi (transendensi)
diwujudkan di dalam perilaku manusia sehari-hari. Akan tetapi, hal-hal yang
transenden tidak terlalu diperhatikan atau dikesampingkan di dalam studi ini.

Teologi agama-agama juga mempelajari aspek manusiawi dan aspek Ilahi


di dalam agama-agama. Akan tetapi, teologi agama-agama justru lebih tertarik
untuk mempelajari aspek Ilahi yang memengaruhi perilaku sehari-hari, dalam
hal ini antara umat Kristen terhadap umat beragama yang lain.

2. Teologi Agama-Agama dan Filsafat Agama

Filsafat agama merupakan refleksi filosofis mengenai agama dengan


menggunakan metode filsafat secara sistematis dalam menganalisis isi pokok
suatu agama, seperti konsep Tuhan Yang Suci, keselamatan,
ibadah, kurban, doa, dan sebagainya. Filsafat agama berupaya mencari
pembenaran rasional dari gerakan agama tertentu, serta memberi penilaian
terhadapnya sehingga bersifat normatif.

Teologi agama- agama juga memberikan penilaian seperti filsafat,


tetapi didalam terang iman Kristen yang berupaya menilai agama-agama yang
lain, bukan berdasarkan rasionalitas seperti filsafat agama melainkan
penyataan Allah.

3. Teologi Agama-Agama dan Fenomenologi Agama

Fenomenologi Agama adalah bidang studi yang berupaya melihat


kepelbagaian agama secara fenomenologis. Fenomenologis artinya bagaimana
pemeluk agama-agama berbicara tentang apa yang mereka yakini dan percayai
sejauh dapat diamati (fenomena). Di sini, penilaian oleh pengamat dihindari
dan keunikan tiap agama berusaha dipertahankan. Gejala-gejala yang
diperbandingkan hanya untuk memperdalam pengertian dari gejala-
gejala religius yang dipelajari.

9
Di dalam teologi agama-agama, penilaian terhadap agama lain dari
perspektif kekristenan tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi, semangat yang
mendasarinya bukan semangat konfrontatif, melainkan justru bagaimana umat
Kristen dan umat beragama lainnya dapat hidup bersama secara harmonis di
dalam konteks kemajemukan agama.

B. Apa itu Teologi Agama-Agama?

1. Wesley Ariarajah
Teologi agama-agama pada dasarnya merupakan upaya dari dalam
komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang
runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon
terhadap persoalan pluralisme. Teologi agama-agama tak lain adalah upaya
refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan
pusat persoalan.  
Teologi agama-agama harus mempunyai pijakan pada realitas. Teologi
agama-agama merupakan upaya untuk mencari makna teologis dari
pluralisme agama-agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama adalah
membuat dirinya relevan dengan keadaan, teologi agama merupakan respon
terhadap keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-agama. Masa
depan menjadi masa depan bersama.
Dalam teologi agama-agama diarahkan pada bagaimana tetap menjaga
identitas keagamaan sendiri tanpa meremehkan dan bahkan bisa menghargai
identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain. Perumusan
teologi agama dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut
dalam proses bukan menganggap orang lain tersebut absent atau bahkan
non-exist. Jadi ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal. Teologi agama
harus benar-benar berpijak pada kenyataan, dikontrol, dan diawasi sehingga
bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan hasil yang
positif.

2. John Titaley
Tantangan bagi masyarakat Indonesia sekarang adalah mengenai
pluralisme. Pluralisme telah menjadi ciri esensial dari dunia dan masyarakat

10
sekarang.  Pluralisme bukan sekadar multiplikasi kepelbagaian, bukan hanya
ekstentif melainkan kualitatif. Pluralisme sekarang dapat dikatakan sangat
aktif karena setiap kelompok sudah mengalami emansipasi sedemikian rupa
sehingga tiap bagian itu melakukan emansipasi bersama.  Pluralisme pada
zaman sekarang tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap
kelompok yang ada di masyarakat.
 Pluralisme juga menjadi tantangan kontemporer dan mendasar bagi
agama-agama di Indonesia.  Dengan pluralisme kenyataan kemajemukan
agama-agama tidak saja dilihat sebagai kenyataan sosiologis
belaka.  Ada pengalaman baru di mana setiap agama harus dapat memahami
agama lainnya.  Setiap agama tidak lagi menjadi anak tunggal atau
sulung.  Ia kini harus berbagi dengan agama lainnya.  Ini berarti setiap
agama dalam kesaksian kehadirannya tidak lagi merendahkan agama lain
atau merasa diri paling benar.  Sebaliknya, setiap agama harus mengajak
agama lain untuk berkarya dalam kehidupan ini.
Respons agama terhadap tantangan pluralisme ini terlihat
dalam theologia religionum (teologi agama-agama).  Teologi agama-agama
berbeda dengan ilmu agama-agama.  Di mana ilmu agama-agama dapat
dijalankan siapa saja yang ingin meneliti kenyataan agama-agama secara
ilmiah.  Orang beragama yang satu dapat meneliti agama yang lain.  Berbeda
dengan teologi, di mana teologi hanya dapat dijalankan oleh orang dari
perspektif iman tertentu yaitu imannya sendiri.
Teologi agama-agama tak lain adalah sebuah upaya refleksi teologis
untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat
persoalan.  Teologi agama-agama ini juga dipahami sebagai usaha umat
beriman dan atau beragama tertentu untuk mempertanggungjawabkan
pilihan serta keterlibatan iman dan atau beragama lain. Teologi agama-agama
tidak dimaksudkan untuk menjadi suatu  universal theology, yang dihimbau
ialah agar setiap agama memiliki teologi agama-agama-nya sendiri-sendiri.
Teologi agama-agama pada tataran intern gerejawi, ini merupakan
wujud dari apa yang selama ini disebut teologi kontekstual, yang menyangkut
kehadiran agama tertentu di masyarakat.  Pada tataran eksternal bisa
dikatakan bahwa teologi agama merupakan respons terhadap keseluruhan
masa depan masyarakat maupun agama-agama.  Teologi agama ini juga

11
merupakan upaya untuk mengoreksi hubungan-hubungan yang telah terjadi
antar-agama di masa lalu.  Basis spiritual dan intelektual dari tugas kerja
sama itulah yang hendak dirumuskan dalam teologi agama.
3. Martin L. Sinaga
Jikalau Agama mau tetap survive, dalam konteks plural, ia harus
memberi respons terhadap pluralisme, seperti seorang penari yang tidak
boleh menari sendirian lagi, tetapi harus bergerak seturut dengan irama
bersama dan mampu memberi jawaban terhadap gerak (bahkan kreatifitas)
teman menarinya, agar ia tidak tersandung jatuh ataupun menginjak kaki
penari lainnya, lalu terpaksa dikeluarkan dari arena tersebut karena
mendesakkan gaya tertentu dan terkesan sewenang-wenang.
Metafora penari dan tarian yang dikemukakan Martin L Sinaga di atas
dapat membantu; memahami keadaan baru tempat agama-agama hidup di
masa kini. Theologia religionum adalah cara untuk memperluas cakrawala
dan langit-langit berpikir kita lebih luas dan lebih tinggi .  Dengan kata lain,
upaya pembaruan teologi itu sendiri, yang tentunya nanti ada implikasi dalam
seluruh kehidupan gereja.  Ini dikarenakan konteks yang paling menantang
dari kehadiran Kristen adalah pluralisme dan pertemuan antar-
agama.  Theologia religionum menjadi ujung tombak dari pembaruan gereja
dan agama pada masa sekarang ini.

4. Eka Darmaputra
Theologia religionum  pada dasarnya merupakan upaya dari dalam
komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang
runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon
terhadap persoalan pluralisme. Theologia religionum tak lain adalah upaya
refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan
pusat persoalan.  
Theologia religionum harus mempunyai pijakan pada realitas, Theologia
religionum merupakan untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-
agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama adalah membuat dirinya
relevan dengan keadaan, theologia religionum merupakan respon terhadap
keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-agama. Masa depan
menjadi masa depan bersama. Dalam  theologia religionum  diarahkan pada

12
bagaimana tetap menjaga identitas keagamaan tanpa meremehkan dan
bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama
orang lain.
Theologia religionum bertujuan untuk membangun suatu jembatan
kerjasama, perspektifnya adalah mengarah pada kesimpulan yang bukan
hanya prinsipal dan teoritis, melainkan menyangkut langkah nyata.
Jadi theologia religionum bermuara pada dua cabang yaitu dialog dan
kolaborasi antar agama. Theologia religionum bukan dimaksudkan untuk
mengatasi perbedaan antar agama, melainkan hanya memberi makna positif
terhadap agama-agama tersebut sehingga keperbedaan tersebut benar-benar
secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan. Jadi theologia
religionum di Indonesia bertujuan agar gereja-gereja secara teologis
merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya dan rasa senasib
sepenanggungan untuk mengahadapi persoalan bersama pada masa depan
serta bisa menjalin kerjasama yang erat antara semua orang beriman dan
membentuk kerjasama yang produktif.

C. Megapa Diperlukan Teologi Agama-Agama?

1. Eka Darmaputra

Eka Darmaputera berpendapat bahwa sesungguhnyalah, pemikiran


baru mengenai Theologia Religionum ini akan mempunyai konsekuensi
terhadap seluruh bangunan teologi: antropologi, kosmologi, soteriologi,
kristologi, misiologi, ekklesiologi.., ya semuanya! Selanjutnya menurut Eka
Darmaputra: “Sekarang ini dibutuhkan teologia agama-agama (Theologia
Religionum) sebagai upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme
sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan. Kenapa?
Ada empat jawabnya:
a. Apresiasi Aktif
Perlu memulai dengan kesadaran tentang kekurangan dan
keterbatasan yang ada pada diri dalam seluruh tradisi yang dikenal selama
ini guna merumuskan makna teologis dari agama-agama dan agama
sendiri.
b. Titik tolak Trinitas

13
Didasarkan pada totalitas ajaran keimanan Kristen. Meletakkan
tekanan yang besar pada aspek universal, tanpa melupakan segi-segi
keunikannya. Kata lain, keunikan agama tidak disanggah, akan tetapi ia
dilihat dalam perspektif universalnya - ajaran mengenai universal
agamanya.
Trinitas - Tuhan Bapa, Anak, dan Tuhan Roh Kudus. Dalam teologi
agama-agama, sementara sisihkan dulu Roh Kudus. Kristologi tidak
dirumuskan dalam konteks pluralisme. Di sini dibutuhkan teologi pluralisme
bukan kristologi.
c. Soteorologi
Keselamatan ada pada agama-agama. Tidak berbicara tentang
teologi atau kristologi agama-agama, tetapi pneumatologi agama-agama,
di\ di dalamnya dan melalui pengakuan itu, menerima agama-agama
selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan.
d. Self understanding (Pemahaman diri)
Teologi agama-agama terbuka untuk semua agama. Semua agama
perlu membuat versi theologia religionum sendiri yang terbuka dan positif.

2. Olaf Schuman

Mengutip John Lyden, seorang ahli agama-agama, Schuman berkata:


“What should one think about religions other than one’s own?”  (apa yang
seseorang pikirkan mengenai agama lain, dibandingkan agama sendiri?).
Bertolak dari semakin berkembangnya pemahaman mengenai
pluralisme dan teologi agama-agama berkembanglah suatu paham “teologi
religionum”  (teologi agama-agama) yang menekankan semakin pentingnya
dewasa ini untuk dapat “berteologi dalam konteks agama-agama”.
Jadi tujuan berteologi dalam konteks agama-agama yaitu untuk
memasuki dialog antar agama, dan dengan demikian mencoba memahami
cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan
penyelamatan.
Pada tingkat pribadi, sebenarnya hubungan antar tokoh-tokoh agama
di Indonesia suasananya semakin akrab, penuh toleransi dengan keterlibatan
yang sungguh-sungguh dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan

14
hubungan antaragama yang ada dalam masyarakat. Tetapi pada tingkat
teologis yang merupakan dasar dari agama itu muncul kebingungan-
kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana harus mendefinisikan diri di
tengah-tengah agama lain yang juga eksis, dan punya keabsahan.
Dalam persoalan ini didiskusikanlah apakah ada kebenaran dalam
agama lain yang di implikasikan?, apakah ada keselamatan dalam agama lain?
Pertanyaan ini sebelumnya berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat
mendasar: Apakah yang disembah Tuhan yang sama? Dan repotnya, justru
ketika mencoba memahami konsep ketuhanan antar agama  dan
menganggap bahwa yang disembah Tuhan yang sama, karena rupanya setiap
agama mempunyai konsep ketuhanan yang berbeda.

3. John Titaley
Dalam pandangan sekular, berbagai kompleksitas hubungan antar
umat beragama dengan berbagai standar ganda, klaim kebenaran dan janji
penyelamatannya ini sering dianggap bukan hanya sebagai tanda ketidak
kritisan dan cara berfikir agama, bahkan merupakan penyebab konflik antar
agama. Dalam Alkitab dikatakan bahwa “cinta uang adalah akar segala
kejahatan”, mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan “cinta Tuhan adalah
akar segala kejahatan”.
Agama adalah tragedi umat manusia, ia mengajak kepada yang paling
luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia. Namun hampir tidak
ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai
peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Karl Marks menggambarkan
agama sebagai candu,agama mendorong untuk mengagungkan perasaan dan
pendapat mereka sendiri, dan untuk mengklaim diri mereka sendiri sebagai
pemilik kebenaran.

4. E. O. Wilson
Wilson dalam buku “Agains Religions, Why We Should Try to Live
Without It “ menunjukkan dilema dalam konflik-konflik antar negara, yang jika
diringkas kira-kira seperti berikut: `Jika seseorang ada dalam sebuah agama,
konflik dalam agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan kebenaran
melawan kezaliman”. Sedang jika orang itu ada di agama lain yang dilawan

15
itu, maka ia akan menggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar,
melawan agama lawannya itu sebagai yang salah (dzalim). Tetapi jika
seseorang berada diluar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat
keduanya ada da lam kesalahan, dan ia akan menganggap bahwa konflik
yang sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan, karena
jelas keduanya salah.
Tetapi, walaupun agama tetap kukuh di tengah kritik sains modern
yang begitu keras, hikmah yang dapat diambil dari perjalanan kritik sains
terhadap agama ini, Adalah kebutuhan untuk lebih memperjelas apa yang
disebut The Meaning and the Purpose of Life  (makna dan tujuan hidup)
manusia itu yang dalam agama terbungkus dalam segi-segi spiritualnya yang
ternyata dari sudut pandang perennial philosophy  (filsafat abadi) yang
menjadi alasan mengapa diturunkannya sebuah agama.

D. Bagaimana Berteologi dalam Konteks Agama yang Plural?

Apakah teologi agama-agama dapat diterapkan di Indonesia? Pada umat


Kristen terdapat hambatan teologis dalam melakukan teologi agama-
agama.  Misalnya ayat-ayat yang dapat dikatakan bersifat eksklusif yaitu Yoh 14:6
dan Mat 28:19.  ayat-ayat ini sering dijadikan landasan untuk meng-kristen-kan
orang dan menganggap orang-orang dari agama lain membutuhkan pertobatan
untuk masuk ke Surga.  Warisan teologi dari Belanda ini menyulitkan
berkembangnya teologi agama-agama dalam konteks Indonesia.
Teologi agama-agama juga mendapat hambatan didalam pengaruh teologi
revivalisme yang berorientasi pada pertambahan atau perbanyakan
jiwa.  Ironisnya, generasi muda diberi ayat-ayat parsial (berhubungan) yang
dipahami secara mentah untuk menjadi ayat-ayat suci.  Akibatnya, muncul
kehidupan rohani yang dangkal, tidak utuh, anti-dialog, dan serba instant, yang
sebenarnya mandul dalam menghadapi kompleksitas dunia modern yang memang
niscaya/ sudah pasti sekuler (bersifat duniawi atau kebendaan bukan bersifat

keagamaan atau kerohanian) ini.


Hambatan-hambatan dalam perkembangan teologi agama-agama bukan
hanya dari masalah teologis saja melainkan juga dalam hal non-
teologis.  Seringkali kekristenan dianggap sebagai agama barat atau agama

16
Kristen adalah agama penjajah.  Selain itu peran Islam sebagai mayoritas
menganggap bahwa Islam harus dijadikan sebagai agama negara .  Ini juga
menyulitkan perkembangan theologia religionum dalam konteks Indonesia.  Di
saat ada satu agama merasa berhak untuk diperlakukan istimewa maka akan
terjadi clash (bentrokan) antar-agama. 
Akan tetapi menurut Frans Magniz-Suseno, masih terdapat harapan
teologi agama-agama berkembang di Indonesia.  Menurutnya masih banyak
budaya yang bersikap inklusif dan positif salah satunya adalah budaya
jawa.  Orang Jawa membenci dogmatisme, eksklusivisme, fanatisme, kepicikan
agama, kesombongan.  Bagi orang jawa yang penting adalah tahu diri.  Dan itu
berarti, menyadari dan menghormati bahwa Tuhan bebas bergerak dalam hati
orang.  Dalam budaya Jawa, otonomi orang untuk menemukan sendiri di dasar
jiwanya koordinasi Tuhan sangat dihormati.  Budaya Jawa dapat membantu agar
agama-agama di bumi Indonesia dapat mengembangkan kepositivan yang ada
pada mereka, saling bekerja sama, dan dengan demikian memberikan sumbangan
yang penting dan positif pada pembangunan masyarakat Indonesia yang adil
makmur berdasarkan Pancasila. Inilah yang dapat memayungi teologi agama-
agama di dalam konteks Indonesia.  
Melalui Pancasila, di mana kebebasan beragama dijunjung tinggi membuat
perkembangan teologi agama-agama dapat berkembang di Indonesia.  Bukan
Muslim atau Kristen yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia melainkan
bersama-sama.  Inilah yang dapat menjadi benih agar setiap umat beragama
di Indonesia dapat saling memahami agama lain.  Pancasila merupakan payung
yang tepat dalam konteks beragama di Indonesia. 
Upaya untuk saling memahami dilakukan melalui dialog. Pertanyaannya
adalah, apakah dialog yang sering dilakukan antar-agama di Indonesia
menemukan titik temu atau titik singgung? Bisa dikatakan “ya” dan
“tidak”.  Terkadang untuk menemukan sebuah titik temu antar agama sulit
dilakukan, tetapi kalau tidak ditemukan jangan sampai menghalangi rasa
menghargai antar agama.
Dapat dikatakan bahwa titik temu antar-agama yang memungkinkan
adalah mengenai masalah kemanusiaan.  Dimana setiap agama wajib membela
hak-hak dasar manusia yaitu hak untuk hidup, beragama, memperoleh
pendidikan, dan sebagainya. Kemanusiaan akan selamat kalau dijalani bersama

17
manusia-manusia konkret lainnya: mengakui otonomi dan kesamaan semua
orang, mengakui hak-hak asasinya, mengakui kebebasan berpikir dan beragama.
Titik temu agama dapat dikatakan adalah mengenai masalah
kemanusiaan. Setiap agama diharapkan untuk menemukan peran etiknya di
tengah masyarakat majemuk.  Dengan demikian kredibilitas agama dapat
dikembalikan dan dakwaan bahwa kebangkitan agama justru melahirkan
keruntuhan etika dapat dilawan melalui peran aktif agama-agama dengan
menawarkan landasan moral dan etik bagi masyarakat luas.
Melalui titik temu ini (kemanusiaan) dapat dikatakan bahwa theologia
religionum termasuk salah satu jalan yang mampu membongkar impasse (jalan
buntu)  yang terjadi pada agama-agama.  Theologia religionum mengajak umat
untuk menoleh ke luar dirinya dan menjalin hubungan yang akan memperkaya
dirinya sendiri.  Ia memberi orientasi hidup beragama, sambil menawarkan
wacana baru dalam hidupnya.
Satu perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan gereja-gereja
yang paling ditentang oleh para penganut fundamentalisme Kristen adalah makin
terbukanya gereja-gereja pada realitas kemajemukan agama dan budaya di tanah
air dan di dunia ini. Keterbukaan ini nampak dalam cukup banyak dialog dan
kerjasama dengan umat beragama lain yang diadakan dan diprakarsai gereja-
gereja. Panggilan yang datang dari Allah yakni memberitakan dan meneruskan
keyakinan yang unik itu, bukan hak yang melekat pada diri. Dialog dan kerjasama
denga agama lain yang banyak dilakukan oleh gereja tidaklah meniadakan
panggilan ini, tetapi meniadakan cara-cara reaktif, militant yang menafasi
gerakan-gerakan keagamaan Kristen yang fundamentalistik. Lagi pula, iklim
kebudayaan yang menjunjung tinggi perikehidupan komunal, kegotong royongan
dan keserasian, yang berbeda dengan kehidupan yang individualistik dan diwarnai
dengan konflik-konflik tidak dapat menerima cara-cara yang reaktif dan militan itu.
Dialog umat beragama adalah dialog teologis yang berdasar pada imannya
masing-masing. Dialog beranjak dari pemahaman religius masing-masing yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Dialog yang dilakukan dengan menghilangkan
keyakinannya, pada dasarnya bukan dialog agama karena akan ada ketimpangan
dalam interaksi dengan umat yang lain yang mendasarkan pada keyakinannya.
Dialog yang dimaksud di sini bukan saja dialog agama, tetapi lebih kepada dialog
antar umat beragama. Ketika umat yang berdialog telah kehilangan jati dirinya,

18
tidak ada makna dari diaolog tersebut. Orang yang berdialog adalah orang yang
mengetahui apa yang ia dialogkan, sehingga dialog agama mensyaratkan adanya
umat yang benar-benar beriman, yang bertemu dalam konteks riil, yakni dunia.
Dialog bukan hanya sekedar sebuah percakapan, melainkan sebuah gaya
hidup yang terbuka dan kesediaan menerima kehadiran sesama yang berbeda.
Keterbukaan sikap itu juga mengandung makna keterbukaan untuk belajar dari
kekayaan rohani sesama yang berbeda agama. Dalam dan melalui dialog, orang
belajar untuk tidak selalu harus sama tetapi juga belajar untuk menerima
kenyataan bahwa dalam banyak hal bisa berbeda. Menerima dan hidup dalam
perbedaan berarti juga menerima dan mengakui bahwa di dalam agama-agama
lain terdapat hal-hal yang unik.
Dialog sebagai gaya hidup dalam masyarakat yang pluralistic bukanlah
basa-basi atau sekedar tata krama sosial, melainkan sikap iman yang timbul dari
kesadaran dan pengakuan bahwa Allah mengasihi dan akan terus mengasihi
semua orang. Sebab panggilan dari semua agama adalah mewujudkan kasih
Allah. Inilah hakikat agama dan sekaligus menjadi makna beragama. Kasih dan
keprihatinan Allah akan senasib dan masa depan kehidupan umat manusia inilah
yang mempertemukan agama-agama. Dialog antar agama terwujud dalam upaya
bersama mewujudkan kasih Allah, dalam upaya bersama memerangi sesuatu yang
menjadi musuh kemanusiaan.
Alkitab tidak pernah mengajarkan atau mendorong umat Kristen ke arah
sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab juga menganjurkan sikap
yang terbuka dan toleran. Dialog akan membuka perspektif baru dalam
menjalankan komitmen dalam keagamaan. Kepercayaan kepada Allah kiranya
melahirkan beberapa sikap seperti:
a. Setiap umat beragama mengakui dengan rendah hati bahwa pluralitas
masyarakat termasuk pluralitas agama merupakan karunia Tuhan sehingga
perlu dikembangkan semaksimal mungkin melalui dialog.
b. Jikalau agama-agama ingin tetap berperan di dalam memberi arah terhadap
pembangunan bangsa, maka dialog adalah cara yang tepat untuk
menggalang potensi, karena jika tidak ada dialog maka kehidupan akan
semakin terfragmentasi dan pada gilirannya akan diabaikan oleh masyarakat.

19
c. Perlunya diupayakan dialog bagi semua umat, termasuk pemuda sebagai
potensi besar untuk membangun masa depan bersama yang lebih dinamis
dan terbuka.
d. Dialog kiranya bukan hanya sebagai sarana untuk saling mengenal antar
agama, melainkan membuat masing-masing agama semakin mengenal jati
diri dan identitasnya masing-masing.

20
BAB II
BENTUK-BENTUK PENDEKATAN DALAM TEOLOGI AGAMA-AGAMA

Nurcholish Madjid, salah seorang tokoh Islam yang pluralis menyatakan


bahwa sikap dalam dialog agama atau teologi agama yaitu ada tiga. Pertama sikap
ekslusif dalam melihat agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi

pengikutnya. Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implisit


agamanya sendiri). Ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam
rumusan, misalnya “ Agama-agama lain adalah klan yang sama-sama sah untuk
mencapai kebenaran yang sama”.
Sementara menurut Peter L. Berger, menyatakan bahwa sikap dan perilaku
seseorang terhadap agama-agama lain sangat dipengaruhi oleh pemahamannya.
Dalam penelitian agama-agama, paling tidak terdapat tiga pandangan keberagaman
yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya teori-teori pluralisme, yakni
ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme-paralelisme.
Pertama, pandangan ekslusivisme menyatakan bahwa agamanya adalah satu-
satunya paling benar dan menawarkan keselamatan. Dengan kata lain ekslusivisme
merupakan sebuah pandangan yang berprinsip keselamatan tunggal sedemikian rupa,
sehingga agama-agama selainnya dipandang sesat dan salah.
Kedua, pandangan inklusivisme yang bertolak belakang dengan pandangan
ekslusivisme. Menjadi inklusif berarti percaya bahwa kebenaran tidak menjadi
monopoli agama tertentu, tetapi juga ditemukan dalam agama-agama lain. Ketiga,
pandangan paralelisme yang kemudian dielaborasi menjadi pendukung teologi
pluralisme, berpandangan bahwa setiap agama secara paralel adalah sama.
Pada bagian ini akan membahas secara khusus mengenai ketiga bentuk
pendekatan yang dikemukakan di atas.

A. Eksklusivisme
1. Pengertian Ekskluvisme
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata eksklusivisme terdiri dari dua
kata, yaitu: “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang lain, khusus, dan “isme”

21
yang berarti paham. Sedangkan KBBI mengatakan bahwa eksklusivisme berasal
dari kata “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang lain atau dapat juga
diartikan sebagai paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan
diri dari masyarakat.
Berkaitan dengan bentuk pendekatan ini, Th. Sumartana, berpendapat
bahwa eksklusivisme merupakan suatu sikap menutup diri dari pengaruh
agama lain, ingin mempertahankan keaslian dan kemurnian
pribadinya. Sementara Th. Kobong mengatakan bahwa eksklusivisme
merupakan suatu sikap yang arogan terhadap agama yang lain, yang
membatasi kasih Allah yang tidak terbatas itu, mengurung Allah dalam sistem
nilai-nilai yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
eksklusivisme merupakan suatu sikap menutup diri sebuah agama dari agama
lainnya yang dalam artian bahwa ada suatu pemahaman bahwa satu agama
tersebut menganggap dirinya benar dan mempertahankan keaslian dan
kemurnian pribadinya, dengan kata lain bahwa sifat eksklusivisme ini memiliki
sifat yang fanatis terhadap agama lain.

2. Latar Belakang Munculnya Eksklusivisme


Pandangan Eksklusivisme berawal sejak Gereja mula-mula yang di
mana pada dasarnya Gereja mula-mula sampai masa Bapa-bapa Gereja
menganut teologi tradisional, di mana perjanjian baru ditafsirkan dalam terang
panggilan untuk menerima Kristus sebagai penyataan Allah yang tertinggi dan
final. Karena itu gereja memberitakan keselamatan dalam Yesus dan menolak
kebenaran di luar keKristenan. Dan kemudian pada abad pertengahan
kelompok eksklusivisme dimotori oleh Roma Katolik yang berpendapat bahwa
di luar Gereja tidak ada keselamatan ( eklesiocentrisme atau extra ecclesiam
nulla salus), pandangan ini dikukuhkan pada konsili orange pada tahun 1442.
Eksklusivisme gerakan misi abad 19 dipelopori oleh kaum Protestan.
Sikap eksklusif juga dipengaruhi oleh pewaris teologi oleh para penginjil dan
pengaruh perkembangan teologi fundamentalis dinegara-negara Barat. Warisan
teologi para Zendeling mempersulit teologi baru karena menganggap dunia luar
sebagai dunia kafir yang harus ditobatkan. Kemudian juga ada ungkapan yang
selalu menjadi kutipan yaitu bahwa keselamatan tidak ada di dalam siapa pun

22
juga selain di dalam Kristus sebab di bawah kolong langit ini tidak ada yang
mampu memberi keselamatan maka terkenallah istilah no other name (tidak
ada nama lain) yang menjadi simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar
Kristus.
Eksklusivisme bertolak dari keyakinan bahwa Yesus Kristus merupakan
penyataan final, Yesus sebagai satu-satunya kebenaran dan keselamatan
mutlak bagi manusia di dunia tanpa mengenal latar belakang apa pun.
Kelompok Eksklusivisme memegang kuat universalitas dan patrikularitas; pada
umumnya dianut oleh kelompok injili yang menyatakan bahwa Tuhan Yesus
adalah satu-satunya jalan keselamatan yang berimplikasi pada pengakuan
bahwa tidak ada keselamatan di luar Tuhan Yesus serta menolak jalan
keselamatan apa pun. Untuk mempertegas pandangan ini kelompok
eksklusivisme berpijak pada premis Aristoteles yang mengatakan bahwa
kebenaran itu hanya satu bukan banyak atau plural. Kemudian kelompok
ekskulusivisme mempertajam perbedaan antara penyataan umun dan
penyataan khusus di mana penyataan umum atau teologi natural tidak bisa
menghasilkan pengenalan Allah yang menyelamatkan sedangkan penyataan
khusus merupakan penyataan Allah dalam dan melalui Yesus Kristus untuk
menyelamatkan manusia.

3. Dasar Theologis dan Pandangan Eksklusivisme


Paradigma eksklusivisme berangkat dari dua buah ide pokok yang
bertolak belakang, di satu sisi agama lain tak lepas dari keberdosaan manusia
yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran, di sisi lain hanya
Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan.
Kristus bagi pemikiran ini bersifat unik, normatif dan hakiki bagi
keselamatan. Eksklusivisme ini mengambil sikap tegas ketika menyinggung
kekristenan dan agama-agama lain. Pemahaman teologis yang menempatkan
Kristus sebagai satu-satunya jalan kepada keselamatan, mengambil dasar biblis
yaitu:
a. Yohanes 14:6 “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang
pun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
b. Kisah Para Rasul 4:12 “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun
juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama

23
lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan.”
c. 1 Tim. 2:5 “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi
pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”
Jadi tidak ada keselamatan di luar Yesus. Alkitab adalah kebenaran
mutlak, diluar kekristenan tidak ada kebenaran mutlak dan tidak ada
keselamatan. Jadi bagi penganut eksklusivisme, pengakuan terhadap
kebenaran atau kuasa penyelamatan dari agama atau tokoh agama lain
merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah, suatu pencemaran terhadap
apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus. Walaupun gereja-gereja
eksklusivif mau berdialog dengan umat percaya lainnya, namun dialog
semacam ini sering dimengerti hanya sebagai alat untuk membuat orang
bertobat.
Dalam hal ini juga berdasarkan dasar eksklusivisme yang menekankan
bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruslamat dan menempatkan gereja
selaku pusat keselamatan yang tergurat jelas dengan kalimat extra ecclesiam
nulla salus  (di luar gereja tidak ada keselamatan), maka ada dua bagian model
Eksklusivisme, yaitu:
1) Evangelikal Konservatif
Model ini menjelaskan bahwa Agama Kristen adalah satu-satunya
agama yang benar. Tokoh dari model eksklusivisme ini adalah Karl Barth,
ia memutuskan bahwa semua manusia hanya dapat mengenal Yesus
Kristus melalui wahyu dan satu-satunya wahyu adalah Yesus Kristus.
Kristen adalah sebagai agama yang benar, wahyu dan keselamatan tidak
ada dalam agama lain.
Dalam hal ini dinyatakan bahwa jika seseorang yang bukan Kristen
meninggal tanpa pengetahuan tentang Yesus Kristus, maka mereka binasa.
2) Protestan Arus Utama
Model ini menjelaskan bahwa agama-agama lain mengandung
penyataan, namun tidak ada keselamatan. Tokoh dari model ini adalah
Hendrik Kraemer yang mempunyai sikap menerima kebaikan,
kebenaran, ideologi budaya lain, walaupun tujuannya adalah untuk
mengubah mereka menjadi Kristen. Wahyu ada namun tidak ada
keselamatan, model ini menggunakan kearifan lokal walaupun tujuannya

24
adalah untuk mengubah agama lain inilah yang disebut kontekstualisasi,
mencoba memandang  apa yang positif dari agama lain. Kraemer
berpendapat bahwa Allah telah memberi penyataan umun kepada semua
agama tetapi penyataan khusus hanya diberikan bagi orang Kristen.

4. Ciri khas Eksklusivisme


Dalam hal ini dikenal istilah no other name,  yang mana istilah ini menjadi
simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus. Ada beberapa
ciri khas dari eksklusivisme, yaitu:
a. Tidak ada Allah lain kecuali Allah Tritunggal
b. Seluruh Alkitab dan hanya itulah kebenaran yang mutlak
c. Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia satu-satunya
d. Setiap manusia di dunia adalah berdosa, terpisah dari Allah dan menuju
kebinasaan
e. Keselamatan merupakan pemberian anugerah Allah dan tidak dapat
dikerjakan sendiri
f. Keselamatan hanya diterima oleh pribadi yang bertobat dan percaya
kepada Tuhan Yesus Kristus
g. Barang siapa yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus Kristus akan
dihakimi oleh kedatangan-Nya yang kedua dan akan menderita kebinasaan
kekal
h. Tugas utama dalam dunia untuk Gereja adalah memanggil orang agar
bertobat, percaya dan menjadi murid Tuhan Yesus Kristus.

5. Tokoh-Tokoh Eksklusivisme
a. Karl Barth
Pemahaman Karl Barth mengenai agama-agama dalam kaitannya
dengan penyataan kristiani ditulis sekitar tahun 1930-an yang ketika ia
berada di puncak penyerangannya atas gelombang teologi liberal yang
melanda Eropa waktu itu. Barth menegaskan posisi teologisnya atas agama-
agama lain dengan mengatakan bahwa agama adalah bentuk
ketidakpercayaan (Religion as  Unbelief). Penyataan adalah pemberian diri
dan manifestasi dari Allah sendiri manusia dapat mengenal Allah bukan
berdasar kemampuannya sendiri, melainkan karena Allah menyediakan diri

25
untuk dikenal dan disapa. Upaya manusia untuk mengenal Allah dari sudut
pandangnya sendiri merupakan suatu upaya yang sia-sia, sehingga dapat
dikatakan juga bahwa upaya ini menunjukkan suatu ketidakpercayaan.
Pandangan Karl Barth bertolak dari pandangan bahwa Yesus Kristus
adalah kepenuhan wahyu Allah. Dalam diri Kristus, penyataan diri Allah
kepada manusia menjadi konkret, final, dan definitif. Karena itu satu-
satunya perbedaan agama Kristen dan agama-agama lain ialah bahwa
agama Kristen berdiri di tempat terang, sementara agama-agama lain dalam
bayang-bayang.
Barth menganalogikan Kristus bagai matahari yang menerpa bumi,
satu bagian terkena (agama Kristen) dan bagian yang lain ada dalam
bayang-bayang (agama-agama lain) bahkan dalam kegelapan. Barth
menegaskan bahwa rahmat itu hanya dalam kaitannya dengan Yesus
Kristus, rahmat bagi manusia mengalir dari Salib Kristus. Karena rahmat
yang dianugerahkan kepada manusia tidak terlepas dari Kristus. Barth yakin,
hanya dalam Yesus Kristus manusia mengalami Rahmat yang pendamaian
dengan Allah.
Dalam hal ini dikatakan bahwa Barth berada dalam tradisi
rasionalisme yang mengutamakan pendekatan a priori  yang di mana terlalu
berat sebelah memandang agama lain, bahkan cenderung bersikap tak adil
kepada mereka. Pendekatan ini juga membuat Barth terkesan arogan dan
tak adil terhadap umat beragama lain.

b. Hendrik Kraemer
Hendrik Kraemer menyatakan bahwa penekanan Barth yang amat
negatif terhadap klaim ketidakpercayaan agama-agama amat berbahaya dan
tidak adil. Maka ia adalah penganut eksklusivisme, yang lebih
memperhitungkan keberadaan agama-agama non-kristen. Kraemer tidak
terlalu ekstrim untuk menilai agama lain, ia masih memberi perhatian pada
kenyataan hidup agama lain. Jika dibandingkan dengan Barth yang
menekankan sikap a priori terhadap agama-agama lain, sedangkan
Kraemer menggunakan pendekatan a posteriori sebelum mengajukan
penilaian teologis atas mereka.

26
Di mana dalam hal ini Kraemer membela suatu sikap perjumpaan
dengan agama-agama lain. Sikap Kramer ini juga terlihat menunjukkan
kedekatannya pada teologi Emil Brunner, di mana Kraemer mengutip kalimat
tegas Brunner yang ditulis dalam Revelation and Reason,  tesis Alkitab
mengenai ‘penyataan asali’ (Original Revelation). Mereka memandang
agama-agama lain, sekalipun tetap dalam terang Yesus Kristus. Dengan kata
lain ia membuka diri dengan agama-agama lain, bahwa setiap agama harus
dinilai dan dianalisis dalam terang pemahaman totalitas keberadaan agama-
agama lain.

6. Evaluasi Kritis Terhadap Pendekatan Eksklusivisme


Kelebihan dari sifat eksklusivisme ini adalah keteguhan dalam
mempertahankan keyakinan dan iman, di mana ada anggapan bahwa keyakinan
yang dianut adalah yang paling benar, dengan kata lain pendirian dari kelompok
eksklusif tetap teguh.
Bahaya eksklusivisme adalah adanya potensi mendiskriminasikan
sesama manusia lainnya. Ini terjadi ketika suatu agama hanya menganggap
dirinya benar sendiri dan yang lainnya tidak, sehingga hubungan dengan sesama
menjadi hubungan yang tidak setara. Sikap seperti ini pada gilirannya nanti akan
menghasilkan hubungan yang bersifat diskriminatif dari satu terhadap yang lain.
Akibatnya berbagai kekerasan yang bisa terjadi di mana atas nama Tuhan.
Diakibatkan sikap ketertutupan dan kefanatikan dari eksklusivisme maka ini akan
dapat menghilangkan kebenaran-kebenaran agama lain bahkan hilanglah juga
kerukunan dan kedamaian antara umat beragama.

B. Inklusivisme
Secara umum, berbicara mengenai inklusivisme, istilah yang dikemukakan
oleh Karl Rahner tentang “ Anonymous Christian, merepresentasikan bentuk
pendekatan ini. Menurut Rahner, keselamatan yang ada di dalam agama-agama
non-Kristen diberikan juga atau dipenuhi oleh Yesus Kristus. Rahner mengatakan,
“Agama saya benar, sedangkan agama-agama yang lain sebenarnya menjalankan
nilai-nilai Kekristenan, tetapi menggunaan nama-nama yang lain”.
1. Latar Belakang munculnya Pendekatan Inklusifisme

27
Keberagamaan merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan
manusia (semen religio) sebagai ciptaan Allah. Sebagai makhluk homo religio,
setiap orang pasti memeluk agama-agama tertentu. Keberagaman
keagamaan manusia tersebut pada dasarnya memiliki sifat fanatik di dalam
dirinya sendiri yang dalam interaksinya dengan agama-agama lain berakibat
timbulnya konflik dengan agama-agama yang lain yang sama memiliki
kefanatikan didalam ajaran dan praktek keagamaannya. Maka, dengan situasi
masyarakat agama-agama yang homo homini lupus membuahkan kekerasan
atas ‘nama agama’.
Dalam hal ini, kekristenan tidak hidup dalam kesendirian melainkan
selalu berinteraksi dengan agama-agama yang lain, yang jika tidak
mempunyai sikap yang baik dan toleransi, tentunya konflik akan menjadi
tantangan yang sangat serius. Oleh sebab itu, khususnya kekristenan perlu
melakukan suatu pendekatan-pendekatan yang tepat, guna kepentingan
keharmonisan dan sikap saling menghargai diantara agama-agama, sehingga
bisa meminimalkan konflik antar agama. Dalam hal ini, kekristenan  telah
berupaya melakukan pendekatan-pendekatan yang pada akhirnya jatuh di
dalam sisi keekstriman (pendekatan ekslusivisme) yang terlalu tertutup; juga
pendekatanya lainnya yang terlalu terbuka yang meniadakan keunikan
kekristenan sama sekali (pendekatan pluralisme). sebagai jalan keluar dari
dua kutup ekstrim ini, maka muncullah pendekatan yang dikenal dengan
istilahinklusivisme, yang dalam pendekatannya selalu berusaha mencari jalan
tengah tetapi juga memiliki kejatuhannya sendiri yaitu dalam pendekatannya
telah“menggadaikan kristus”, demi keharmonisan.  

2. Kepentingan Pendekatan Inklusivisme Dalam Teologi Agama-agama


Dalam hal meminimalisasi konflik diantara agama-agama,
pendekataninklusivisme menjadi suatu solusi yang dianggap cukup baik dan
efisien bagi tercapainya keharmonisan diantara agama-agama. Pendekatan ini
umumnya lebih diterima ketimbang pendekatan eksklusivisme maupun
pluralisme, karena posisi inklusivis merupakan suatu posisi keterbukaan
terhadap sesuatu dari luar atau yang berlainan dan mempersilahkan yang
berlawanan mendapat bagian di dalam dirinya. 

28
Sikap inklusif ini akan nampak pada saat menghadapi kontradiksi yang
nyata, misalnya suatu pembedaan yang perlu pun dapat dibuat antara
tataran-tataran berbeda sehingga dimungkinkan untuk mengatasi kontradiksi
tersebut. Sikap penerimaan yang toleran akan adanya tataran-tataran yang
berbeda, akan lebih mudah tercapai. Sikap ini menerima ekspresi ‘kebenaran’
yang beraneka ragam sehingga dapat merengkuh sistem-sistem pemikiran
yang paling berlainan sekalipun, ia terpaksa membuat kebenaran bersifat
relatif murni. Dalam hal ini kebenaran doktrinal hampir tidak bisa diterima
sebagai yang universal.
Dalam hal ini, inklusivisme berarti semua agama lain memiliki
otentisitas masing-masing, tetapi hanya jika mereka masuk ( to be
included/inclusive) ke dalam bingkai kekristenan—yakni jika agama-agama itu
masuk untuk berjumpa Yesus Kristus di dalam kekristenan, maka serentak
dengan itu, mereka mendapat kepenuhan/kegenapan kesempurnaannya.
Hanya dengan gerak sentripetal (masuk ke pusat, yakni Yesus Kristus), maka
agama-agama lain itu tiba pada, atau ditransformasi pada kesempurnaan.
Hanya dengan bertemu Yesus, agama-agama lain berubah dari bulan sabit
menjadi bulan purnama, dari samar-samar menjadi terang benderang.
Walaupun terbuka, inklusivisme masih berdiri atas presaposisi keutamaan/
supremasi/ keunggulan Yesus Kristus dibandingkan para tokoh-tokoh suci
pendiri agama lainnya.

3. Filosofi Inklusivisme: The Wideness of God


Dalam pendekatan inklusivisme, salah-satu titik acuan penerimaan
secara toleransi kepada agama-agama lain adalah pemahaman mereka akan
kasih Allah yang sifatnya universal, dimana penekanan kaum inklusif terletak
pada kehendak Allah yang universal yang menginginkan semua manusia
diselamatkan. Seorang yang berpandangan inklusivisme secara eksplisit dan
komprehensif mempertahankan pandangan bahwa pada akhirnya sebagian
benar manusia akan diselamatkan karena universalitas kasih-Nya. Hal ini tidak
berarti menyetujui universalisme atau pandangan liberal-pluralistik yang
menolak keontetikan, keunikan, finalitas inkarnasi Kristus.
Konsep The Wideness of God berusaha memahami universalitas Allah
dari sisi sifat jangkauan anugrah-Nya yang luas. Ini berarti Allah

29
memperhatikan, membuka diri-Nya, dan berusaha menetapkan jangkauan
keselamatan secara luas kepada semua orang dalam segala bangsa, termasuk
kepada mereka yang berada dalam agama-agama lain. Aspek keterbukaan
Allah ini didasarkan pada sifat dasar “Allah yang adalah kasih”, yang
mengkomunikasikan diri-Nya secara universal kepada semua manusia lewat
aksi dan reaksinya di hadapan mereka. Kasih Allah yang universal inilah
merupakan komitmen Allah untuk menyelamatkan semua manusia. Dalam hal
ini, Rahner dalam pendekatannya menekankan ajaran yang sama bahwa
Tuhan itu kasih adanya. Dengan membentangkan lebih jauh akan makna dari
Tuhan yang kasih itu, ia menjelaskan demikian, kalau Tuhan itu kasih di
dalam 1 Yohanes 3:8, maka artinya bahwa Tuhan itu mau menjangkau dan
merangkul semua orang dan makhluk hidup. Baginya, Allah itu
mengaruniakan rahmat keselamatan kepada tiap-tiap orang. Sebab kalau
tidak, berarti Tuhan itu tidak mengasihi tiap-tiap orang.
 Intinya, karya keselamatan atau penebusan dilakukan dengan dua
saluran anugrah: pertama: anugerah yang menyelamatkan (saving grace),
yaitu melalui universalitas penebusan Kristus yang ditawarkan dengan luasnya
kepada semua orang (Yoh 3:16); kedua, penebusan kosmis aktifitas Roh
Kudus dapat menolong untuk mengkonseptualisasi dan mengimplementasi
anugerah (kasih) Allah. Karena anugrah Allah bekerja secara tidak terbatas
dan secara berganda, maka ada harapan yang besar bahwa semua manusia
dapat diselamatkan. Implikasi dari universlitas atau pelebaran Kasih Allah ini
menegasakan bahwa Allah berkeinginan menyelamatkan semua orang dalam
anugrahnya, dan Allah Anak membuat keselamatan ini menjadi mungkin
melalui pekerjaan penebusan-Nya, dan Allah Roh Kudus menjangkau secara
universal orang-orang yang terhilang dan berdosa; kemudian, karya
keselamatan universal beroperasi secara tidak terbatas. Artinya anugrah
keselamatan juga dinyatakan di luar konteks gereja, sebab Allah melalui karya
Roh Kudus bekerja.

4. Agama-Agama Merupakan “Jalan Keselamatan”


Karl Rahner yang Inklusif menegaskan pandangan yang mengejutkan
dengan pengatakan bahwa: rahmat Allah bekerja di dalam agama-agama.
Allah menawarkan pengorbanan diri-Nya di dalam dan melalui kepercayaan,

30
perbuatan, dan ritual agama-agama lain. Tuhan menghimpun semua orang
bagi dirinya di dalam dan melalui kepercayaan dan perbuatan agama-agama
Hindu, Budha, Islam dan agama-agama pribumi.
Jadi, agama-agama non-Kristiani bisa menjadi “jalan positif untuk
menemukan hubungan yang benar dengan Tuhan dan karena itu memperoleh
keselamatan, suatu jalan yang secara positif masuk dalam rencana
keselamatan Tuhan”, yang “secara positif” dikehendaki Tuhan. Teologi Rahner
ini berusaha membangun suatu kemungkinan kehadiran ilahi di dalam agama-
agama lain. Jadi, Pendekatan inklusiv hampir sama dengan pluralisme yang
menjadikan memungkinkan keselamatan bisa terjadi di dalam agama-agama
lain. Namun, penekanan pada kasih Allah melalui penebusan Kristus menjadi
bagian dalam agama-agama lainnya karena penebusan Kristus menjadi
pemenuhan final bagi agama-agama lain,  atau Kristus menjadi norma di atas
segala norma yang ada dalam agama-agama lain, juga mencirikan akan
keeksklusivan di dalam pandangan Kritologinya. Sehingga agama-agama lain
dipandang sebagai sarana-sarana untuk menolong manusia mengenal Kristus
secara anonim, yang membawa mereka pada keselamatan.

5. Kristen Anonim
Rahner menambahkan satu keyakinan kristianinya yang esensial ke
teologi agama-agama, yang menyatakan “semua rahmat adalah anugrah
Kristus”. Rahner menegaskan akan kebutuhan akan Kristus dalam
keselamatan hanya sebagai kebutuhan “final” bukan dalam pengertian
“efesiensi”. Baginya, Yesus bukan alasan efisien bagi keselamatan , tetapi
alasan yang final. Artinya bisa komit secara penuh untuk menjalani satu
kehidupan penuh kasih dan keadilan seperti Tuhan, perlu diketahui, jelas dan
yakin bahwa Tuhan telah memberikan diri-Nya kepada semua, keyakinan ini
disediakan Tuhan di dalam Yesus. Inilah apa yang diartikan sebagai “sebab
final dan “juruslamat absolut”.
Bagi Rahner, kebutuhan itu merupakan sebab final dalam artian
bahwa mereka yang tidak mengenal Yesus masih bisa merasakan kasih Allah
yang menyelamatkan, namun mereka belum mampu melihat secara jelas
kemana arahnya, apa tujuannya benar dan apa kemungkinan-
kemungkinannya. Jadi setiap pemeluk agama Budha, Hindu, Islam yang

31
mengalami rahmat kasih Allah di dalam agama mereka masing-masing sudah
terhubung dengan dan terorientasi ke gerekan Kristiani. Mereka bisa
dikatakan sudah menjadi Kristiani tanpa nama Kristiani, atau Kristiani anonim.
6. Evaluasi Kritis Terhadap Pendekatan Inklusivisme
a. Kristus Yang “Tergadaikan”
Kristus adalah untuk semua agama, dan melingkupi semua agama
apapun! Faham universalitas tersebut menekankan kepercayaan bahwa
anugrah Allah di dalam Kristus bersifat universal. Pemahaman ini jelas
mengaburkan muatan iman Kristen yang bertumpu pada kebenaran
fundamental yang normatif menjadi relatif dan cenderung disamakan
dengan apa yang ada di dalam agama lain. Model “pemenuhan” menurut
konsep Rahner telah merendahkan sisi eksklusivitas kekristenan dalam hal
“finalitas Kristus” yang sejati, berubah menjadi sesuatu yang relatif bagi
kepercayaan-kepercayaan yang lain.
Kemutlakkan finalitas Kristus ‘diperlunak’ hingga hanya menjadi
sebagai “penyempurna” atau “pemenuhan” bagi agama-agama lain.
Sebenarnya walaupun mereka mengakui akan finalitas Kristus dalam hal
keselamatan, namun sebenarnya keunikan Kristus itu hampir pudar dan
tidak ada signifikannya bagi keselamatan.
Keunikan Kristus “digadaikan”, dalam hal ini maksudnya
adalah“keunikan” digantikan dengan “superioritas Kristus” terhadap
agama-agama lain. Superioritas meletakkan Kristus di atas agama, dalam
pengertian bahwa semua agama dapat menyelamatkan (di dalam Kristus);
juga konsep yang menegaskan bahwa semua agama berada di bawah
pengaruh Kristus. Dalam pendekatan ini, memaksakan Kekristenan untuk
membagikan Kristus pada agama-agama tanpa perlu menjadi Kristen,
berkonsekuensi akan adanya yang dinamakan dengan orang-orang Kristen
Anomim, yaitu Kristen yang bukan Kristen (masih memeluk agama lain,
tatapi percaya Yesus).
Dengan demikian, ada banyak kegagalan-kegagalan dalam
pendekatan ini, pertama-tama, finalitas Kristus dalam keselamatan,
diperlunak hingga sekedar pengaruh saja. Kedua, konsep keselamatan
universal, meletakkan kekristenan sebagai sesuatu yang setara di dalam
keselamatan yang menuju pada satu kesatuan di dalam Kristus. Ketiga,

32
konsep Kristen anonim menyiratkan bahwa pendekatan ini lebih condong
menegaskan gagasan kaum pluralisme, sekaligus dibumbui dengan konsep
“Kristus” yang sudah tidak alkitabiah lagi.
b. Soteriologis: Sinkritisme Keselamatan
Sinkritisme merupakan suatu tindakan pemaksaan mencampurkan
suatu hal atau kepercayaan tertentu yang sebenarnya merupakan hal yang
tidak bisa dicampurkan. Pendekatan inklusifisme telah jatuh pada hal yang
seperti ini. Konsep Kekristenan adalah penggenapan Agama-agama lain
atau jalan keselamatan dari agama-agama, menegaskan akan sikap
sinkritisme kaum inklusif di dalam mencapai suatu keharmonisan dengan
ajaran-ajaran agama lain.  Hingga pada akhirnya memunculkan sikap
“merelatifkan keunikan jalan keselamatan” di dalam ajaran Kekristenan,
dalam hal ini kaum inklusif memandang bahwa apapun kebaikan dan
kebenaran yang terdapat diantara agama-agama harus dianggap oleh
gereja sebagai persiapan untuk menerima Injil, agama-agama hanya bisa
mencapai pemenuhannya di dalam Kristus.
Sinkritisme ajaran keselamatan itu, lebih jauh bisa teramati melalui
usaha dialog yang tulus yang mendasarinya dengan keterbukaan
keselamatan bagi agama-agama diluar kekristenan, bahkan ada
kemungkinan bagi orang Kristen untuk belajar atau diisi oleh ajaran
kebaikan atau kebenaran-kebenaran dari ajaran agama-agama lainya.
Kemudian, ada suatu kecenderungan lain yang timbul yaitu merendahkan
otoritas Alkitab, yaitu dengan mendorong umat Tuhan belajar mengenai
kebaikan di dalam agama lain sebagai “penyempurna” bagi pemahaman
Kristiani akan makna kebaikan, kebenaran secara lebih mendalam. Hal ini
terlihat di dalam praktek dialog yang dilakukan yang memahami ajaran
agama lain sebagai “harta yang melimpah bagi Injil”.
Keunikan keselamatan di dalam agama wahyu [Kristen] diturunkan
pada tataran kebaikan dan kebenaran ajaran agama-agama lain. Sehingga
ukuran seseorang selamat atau tidaknya ditentukan oleh kebaikan dan
kebenaran ajarannya agamanya diperhitungkan benar karena memiliki
kesamaan dengan ajaran kekristenan artinya, di dalam ajaran agama lain
juga, pengaruh kebenaran Kristus secara implisit tersalurkan, sehingga

33
walaupun orang yang belum menjadi Kristen, ada kemungkinan untuk
diselamatkan.
Motivasi kristenisasi juga menjadi suatu kecenderungan yang
mungkin timbul, dengan memahami konsep keselamatan Allah itu hanya di
tataran imanensi Allah, sehingga Allah dianggap bisa saja berubah pikiran
sewaktu-waktu, jika pemeluk agama lain bertobat dari agamanya semula
dan mau memeluk agama Kristen. Dalam hal ini, Lesslei Newbigin, setuju
pemikiran Rahner yang menekankan bahwa adalah tugas teolog-teolog
Kristen untuk mengatakan kepada penganut yang setia dari agama bukan
Kristen bahwa ia dapat diselamatkan tetapi ia akan mempunyai
kesempatan yang lebih baik untuk diselamatkan itu bila menjadi seorang
Kristen dan tidak ada kesempatan sama sekali bila ia menolak undangan
ini. Jadi, keselamatan itu dipahami sebagai usaha manusia
mendapatkannya dengan cara mengubah agamanya kenjadi Kristen, maka
ada kemungkinan Ia diterima kembali oleh Tuhan sebagai umat-Nya.
Sebenarnya Konsep Karl Rahner mengenai Kristen-Kristen anonim,
merupakan cita-cita yang mulia yang ia lakukan dengan tujuan mencoba
menampilkan kekristenan yang simpatik kepada agama-agama lain. Tetapi
masalah dari pendekatan ini adalah pendekatan ini telah mereduksi,
bersifat kompromistik, dan membuka peluang sinkretisme. Sehingga
walaupun baik, namun tetap tidak benar menurut sistem kepercayaan
Kristen.

7. Tokoh-Tokoh Inklusivisme
a. Clark H. Pinnock
Polarisasi universalitas dan partikularitas secara ekstrim
berdampak negatif bagi kekristenan dan bagi hubungan antar agama.
Universalitas yang ketat berusaha mencari nilai-nilai universal dengan
cara merelativikasikan yang normatif dan partikularitas yang ketat
berusaha menekankan nilai-nilai yang final dengan jalan meniadakan
nilai-nilai universal. Keduanya tidak pernah dapat bertemu. Namun
demikian, Clark H. Pinnock, mencoba merekonsiliasi kedua kutub
(contradictive poles) tersebut. Dengan menjelaskan pemahaman
terhadap masing-masing kutub, Pinnock membuktikan bahwa keduanya
tidak bertolak belakang dan dapat dipertemukan secara dialektis.

34
Keleluasaan universalitas anugerah Allah ( The Widennes of God) dapat
berjalan bersama partikularitas keunikan (dan finalitas) Kristus ( The
Uniqueness of Christ) sedemikian rupa, sehingga polarisasi sikap dan
pandangan yang ekstrem, terekonsiliasi lewat model inklusivisme ini.
Namun demikian, inklusivisme Pinnock ingin mengatakan bahwa
anugerah keselamatan yang universal hanya dapat diakses hanya
melalui yang partikular (dalam Kristus) dan yang partikular ini memiliki
pengaruh dan dampak yang bersifat universal (bagi dunia). Pendekatan
inklusif Pinnock berusaha mengakomodasi hal-hal positif dari kedua
kutub, sambil tetap mengeliminasi hal-hal yang negatif dari keduanya.
Pendekatan ini sangat positif karena mampu menekankan keobyektifan
dan kejujuran terhadap isu yang ada. Kedua kutub diakui sebagai
pengalaman yang sama-sama obyektif. Inklusivisme Pinnock juga
berusaha menjawab masalah kontinuitas dan diskontinuitas wahyu Allah
secara umum dan khusus: dan universalitasnya membawa pengharapan
keselamatan di dalam Allah. Walau demikian, perlu menimbang sisi
negatifnya, sebab ada pendekatan inklusif yang sangat spekulatif,
misalnya postmortem encounter, yang tidak kuat basis Alkitabnya.
Pendekatan ini juga tidak memberikan proporsi yang jelas tentang
keseimbangan ideal kedua kutub itu sehingga anugerah Allah dapat
diterima oleh manusia.
Inklusivisme Pinnock juga memberi sumbangan positif bagi
teologi agama-agama, sebab sistemnya yang integratif dapat
menjembatani kedua posisi yang bertentangan pluralis dan eksklusif,
dan sikapnya yang positif terhadap agama-agama lain dapat
memungkinkan terjadinya dialog, toleransi, bahkan pemberitaan Kabar
Baik yang relevan dengan konteksnya. Walau masih perlu diuji secara
lebih ketat, inklusivisme dapat menjadi sikap alternatif gereja dalam
berkiprah di tengah konteks kemajemukan agama. Dengan pendekatan
inklusif ini, diharapkan gereja benar-benar dapat lebih efektif menjadi
terang dan garam dunia.
Inklusivisme, menurut pemahaman Clark H. Pinnock,
didefinisikan sebagai suatu pandangan yang mempertahankan finalitas
Kristus sebagai Juruselamat manusia sekaligus menekankan kehadiran

35
Allah yang menyelamatkan di dalam dunia secara lebih luas dan di
dalam agama-agama lain. Definisi ini jelas memiliki dua komponen yang
sejajar, partikularitas kepercayaan kepada keunikan dan finalitas Yesus
Kristus sebagai Juruselamat, dan universalitas jangkauan keselamatan
yang ditawarkan kepada manusia. Bagi beberapa pandangan, sikap
partikularis eksklusif dan sikap universalis pluralis, kedua komponen ini
saling bertolak belakang, tidak ada titik singgung, namun Pinnock yang
mewakili sikap inklusif mencoba mendekatkan kedua ekstrim tersebut
dalam definisi inklusivismenya.
Usaha rekonsiliasi yang sulit dan beresiko ini ditempuh Pinnock
dengan cara memformulasikan pandangannya. yang menurutnya
berbasis Alkitab, dengan mengatakan bahwa Allah menyediakan
keselamatan bagi dunia melalui karya seorang mediator, Yesus Kristus.
Ini berarti bahwa universalitas (keselamatan bagi seluruh dunia) dapat
dijangkau atau direkonsiliasi dengan menekankan partikularitas
(keselamatan melalui Yesus) dalam kekristenan.
Dengan demikian, pandangan inklusivis mencoba meyakinkan
bahwa anugerah keselamatan dapat diakses secara universal melalui
yang partikular, sebab walaupun metode yang dipakai bersifat
partikular, dalam Yesus, namun pengaruh atau dampaknya universal,
bagi dunia. Inklusivisme adalah jalan tengah yang berusaha
menjembatani partikularisme, yang terlalu sempit menafsirkan
partikularitas dan universalitas karya Kristus, dengan universalisme,
yang mengeksploitasi universalitas dengan mengabaikan pentingnya
partikularitas. Karya Allah secara universal dan partikular harus
dimengerti sebagai jalan kembar atau misi yang saling bergantungan.
Dengan demikian, ketegangan antara universalitas dan partikularitas
dikurangi dan keduanya adalah saling melengkapi (complementary)
bukan saling bertentangan (contradictory). al.

b. Weinata Sairin
Weinata lahir tanggal 23 Agustus 1948 di Jakarta. S-1 STT
Jakarta (1973), M.Th. STT Jakarta (1989) dengan tesis "Muhammadiyah
dan Asas Pancasila: Pemahaman mengenai Gerakan Islam yang Besar di

36
Indonesia dan Upaya Pengkajian Analitis Sekitar Respons
Muhammadiyah terhadap Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan". Ia pendeta GKI. Pasundan di Jemaat
Cimahi, Bandung, Sekretaris Umum Sinode Gereja Kristus Pasundan
(1978), dan Wakil Sekretaris Umum PGI (1989-1994, 1994-1999).
Melihat dari beberapa pemikirannya. Weinata menempatkan diri
sebagai seorang inklusif tapi masih "meragukan". Ia berpendapat:
Kerukunan antara umat beragama adalah satu-satunya pilihan, maka
gereja-gereja beserta dengan seluruh warganya harus teras bertekad
untuk mengusahakan, memelihara dan mengembangkan kerukunan
antara umat beragama di Indonesia. Kerukunan dicita-citakan bukanlah
sekadar rukun, asal rukun, rukun sesaat dan temporer, melainkan suatu
kerukunan yang benar-benar otentik dan dinamis. Dengan kerukunan
yang otentik, dimaksudkan bukanlah kerukunan yang
diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan praktis, pragmatis
dan situasional, tetapi semangat kerukunan yang benar-benar
keluar dari hati yang tulus dan murni, yang didorong dan
merupakan refleksi dari keimanan yang dalam, sebagai wujud
serta aktualisasi dari ajaran agama yang diyakini. Dengan
kerukunan yang dinamis, dimaksudkan bukan sekadar kerukunan yang
berdasarkan kesediaan untuk menerima eksistensi yang lain dalam
suasana hidup bersama tetapi tanpa saling menyapa, melainkan
kerukunan yang didorong oleh kesadaran bahwa walaupun berdoa
semua kelompok agama mempunyai tugas dan tanggung jawab
bersama yang satu: mengusahakan kesejahteraan lahir batin sebesar-
besarnya bagi semua orang (bukan hanya umatnya sendiri), dan oleh
karena itu mesti bekerja sama, bukan hanya sama-sama bekerja.
Weinata melihat agama yang menganut doktrin eksklusif perlu
membuka diri untuk menjadi inklusif, alasannya sebagai berikut:
Pertama, agama-agama dibebaskan dari belenggu kesendiriannya, dari
sikapnya yang eksklusif yang selama ini mungkin lekat dengan
kesendiriannya. Agama-agama tidak boleh berhenti pada pementingan
diri sendiri, pada egoisme kelompok. Ada permasalahan yang jauh lebih
penting dan mengasarkan dari sekadar pementingan diri, dan

37
eksklusivisme itu. Masalah yang penting dan mendasar itu adalah
bagaimana pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia,
yaitu pembangunan yang merupakan penjabaran semua sila dari
Pancasila tetap memiliki landasan moral, etik dan spiritual, sehingga
pembangunan tersebut tidak mengerdilkan kepribadian dan identitas
bangsa.
Kedua, dialog tidak berarti merelatifkan kebenaran Injil atau
menuju ke sinkretisme. Dialog bukanlah pengganti atau identik dari
misi, namun melalui dialog kesaksian Kristiani bisa diungkapkan.
Ketiga, paskah, kebangkitan Yesus dari kematian adalah tanda
yang menunjuk akan kepedulian Yesus terhadap ratapan manusia yang
terkapar tanpa harapan dalam keterbelengguan dosa. Paskah, sebab itu
tidak boleh hanya dikurung dalam kekristenan yang eksklusif. Paskah
harus menjadi perayaan yang inklusif, yang punya bias terhadap
kehidupan masyarakat luas. Kedalaman penghayatan akan makna
Paskah harus bisa dikonfirmasikan dalam kepedulian terhadap mereka
yang menderita, mereka yang miskin, mereka yang tercecer dan
tersingkir. Paskah adalah juga berita pembebasan yang Allah gelar
dalam keterbelengguan manusia oleh rantai dosa.

c. Eka Darmaputera
Eka Darmaputera lahir 16 November 1942 di Mertoyudan,
Magelang. Emiretus pendeta Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, dan
mempunyai latar belakang Calvinis. S-1 di STT Jakarta (1966), Ia
memperoleh gelar Doktor (1982), di Boston College and Andover
Newton Theological School (AS) dengan disertasi Pancasila and The
Search for Identity and Modernity in Indonesian Society.
Menurut Eka Darmaputera: Dialog tidaklah berarti
menyembunyikan kebenaran. Tidak pula mengkompromikan kebenaran.
Tetapi mencari kebenaran bersama. Bersama-sama mencari yang paling
benar, paling baik dan paling tepat. Bersedia memberi, tanpa
memaksa. Bersedia menerima, tanpa terpaksa. Bukankah ini
sesuatu keadaan yang paling dapat dipertanggungjawabkan secara etis?
Jadi, ada pandangan bahwa etika Kristen hanya berlaku untuk orang

38
Kristen, atau Etika Islam hanya berlaku untuk orang Islam, secara
fundamental harus ditolak, oleh karena menjurus pada relativisme dan
subyektivisme. Di mana masing-masing kelompok berjalan sendiri-
sendiri menurut prinsip, norma dan aturan permainannya masing-
masing.
Tetapi, Eka lebih tajam dan jelas untuk kedetailan gerakan
pluralisme yang berbicara mengenai Alkitab dan berteologia
kontekstualisasi. Dia cukup tegas dalam bersikapnya sebagai seorang
partikular Calvinis yang mendekati inklusif, sebagai berikut: Saya
percaya Alkitab adalah Firman Allah, sesungguhnya baru menyentuh
sebagian saja dari seluruh kebenaran! Belum berbicara mengenal
seluruh kebenaran! Belum berbicara mengenai seluruh kenyataan yang
menyangkut Alkitab! Oleh karena itu, anjuran saya: jangan buru-buru
menguras emosi dan energi hanya untuk mempertahankan kebenaran
yang sepotong ini! Alkitab adalah firman Allah. itu sama sekali tidak
berarti bahwa Alkitab adalah identik dengan firman Allah, atau bahwa
firman Allah adalah identik dengan Alkitab! TIDAK!.
Di sini Eka terpengaruh terhadap Karl Barth. Bahkan lebih jelas
lagi ia mengingatkan bahwa Alkitab dan Firman Allah adalah dua
pengertian yang berbeda. Tidak identik. Eka percaya dengan segenap
hati bahwa Alkitab adalah firman Allah. namun itu tidak berarti bahwa ia
percaya "firman Allah identik dengan Alkitab." Alkitab adalah firman
Allah dalam pengertian bahwa Alkitab memberi kesaksian tentang
FIRMAN ALLAH yang sesungguhnya, yaitu Logos, Yesus Kristus. Alkitab
itu diwahyukan oleh Allah sendiri, maka Alkitab menjadi sumber
legitimasi. Firman Allah secara teologis adalah Yesus Kristus, bukan
Alkitab. Jadi, orang Kristen bukanlah menggumuli apa yang Alkitab
katakan, tetapi menggumuli apa yang Allah mau katakan melalui Alkitab
kepada manusia, kini dan di sini. Ada firman di dalam firman. Ada kanon
di dalam kanon. Seluruh Alkitab adalah firman Allah. namun tidak
semua yang tertulis di dalam Alkitab adalah firman Allah yang mengikat
semua orang percaya di sepanjang zaman.
Sedangkan untuk "Teologi Kontektualisasi", Eka berpendapat
bahwa teologi kontekstualisasi adalah teologi itu sendiri. Artinya, teologi

39
hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual.
Mengapa demikian? Oleh karena pada hakekatnya, teologi tidak lain dan
tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis,
kreatif serta eksistensial antara "teks" dengan "konteks": antara
"kerygma" yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual.
Secara lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa teologi adalah upaya
untuk merumuskan penghayatan imam Kristen pada konteks ruang dan
waktu yang tertentu.
Teologi juga harus memperhatikan tradisi karena tradisi adalah
sumber kesaksian tentang upaya umat Kristen untuk memahami
kehendak Allah di sepanjang zaman. Di sini, Eka berpendapat bahwa
Allah tidak berhenti berfirman setelah Ia menyatakan kehendak-Nya
melalui Alkitab. Eka mengatakan: “Di sinilah. menurut keyakinan saya,
kesalahan fatal dari fundamentalisme. Kesalahannya tidak terletak pada
sikapnya yang amat memperhatikan Alkitab, melainkan pada sikapnya
seolah-olah Allah berhenti berfirman disitu. Kerumitan didalam teologi
kontekstualisasi adalah bagaimana menghubungkan yang universal dan
yang partikular. Di sini saya tidak mungkin dan tidak mampu
memberikan jawaban. ... Tapi, yang jelas-jelas salah ialah mereka [para
dogmatikus] tidak mau mengakui bahwa ada masalah di sini. Pada satu
pihak. adalah mereka yang hanya mau memperhitungkan yang
universal dan kemudian secara semena-mena mencangkokkan pada
yang partikular. Salah, oleh karena pada hakekatnya yang universal itu
selalu ada dalam bentuk partikular. Pada pihak lain, adalah mereka yang
dengan semangat menggebu-gebu hanya memperhatikan yang
partikular dan mengabaikan dimensi yang universal. Ia salah, oleh
karena Allah yang berfirman pada zaman ini tidak lain dan tidak bukan
adalah Allah yang sama yang telah berfirman sepanjang zaman.

C. Pluralisme
1. Memahami Pendekatan Pluralisme
Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum
Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu
kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia

40
berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara
satu dan lainnya. Pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan itu sebagai
sebuah realitas yang pasti ada di mana saja. Justru, dengan pluralisme itu
akan tergali berbagai komitmen bersama untuk memperjuangkan sesuatu
yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya. Kepentingan itu
antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan
kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. Maka, pluralisme sendiri mengakui
adanya tradisi iman dan keberagamaan yang berbeda antara satu agama
dengan agama lainnya.
2. Pandangan Tokoh-Tokoh Pluralisme
a. Joh Hick
John Harwood Hick adalah seorang filosof agama kontemporer
yang concern terhadap masalah hubungan antar agama. Dalam
pengertian dan pemaknaan Hick, pluralisme agama mesti didefinisikan
dengan cara menghindari klaim kebenaran satu agama atas agama lain
secara normatif.
Berbeda dengan Rahner, Hick tidak setuju dengan penryataan
bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang “lebih” dibanding
kebenaran agama lain. Oleh karena itu, menurut Hick, harus dihindari
penggunaan istilah terhadap penganut agama lain sebagai orang Kristen
Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Buddha Anonim dan sejenisnya.
Cara yang lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah
dengan menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak
jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran
dan keselamatan. Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh
mengklaim lebih benar daripada yang lain karena kita (semua agama)
sama dekat dan sama jauhnya dari realitas tunggal tersebut. Realitas
tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama)
sedang mencari-nya.
Dalam menjelaskan realitas tunggal yang sama itu, Hick
menggunakan dualisme Immanuel Kant tentang the Real in-it-self (an
sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced . The Real in it
self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh kita (semua
agama). Sementara, karena realitas tunggal itu bersifat maha baik, maha

41
besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas dan sebagainya, maka
manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenalnya
secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada
gambaran the Real as humanly thought-and-experienced  (realitas tunggal
yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan
dan cultural factors-lah yang kemudian menyebabkan respon orang
tentang gambaran realitas tunggal itu menjadi berbeda-beda.Konsep
pluralisme agama secara filosofis merujuk kepada suatu teori tentang
hubungan antar tradisi-tradisi yang berbeda, dengan klaim-klaim mereka
yang berbeda dan bersaing. Teori ini dapat didekati dengan
mempertentangkan antara eksklusifisme dan inklusifisme.
b. John Cobb Jr.
Cobb membangun konsep yang agak berbeda dengan konsep
pluralisme agama menurut Hick. Melalui keterlibatannya yang luas dalam
dialog Kristen dan Buddha, Cobb Jr sampai pada kesimpulan bahwa
seseorang tidak dapat mengklaim bahwa agama Kristen, Buddha, Islam,
Hindu dan sebagainya adalah berbicara atau menuju realitas tunggal
yang sama seperti yang dinyatakan Hick.
Selain itu, Cobb Jr juga menolak jika dikatakan bahwa kebenaran
satu agama sama validnya dengan kebenaran yang dimiliki agama lain.
Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh agama lain,
harus mendengarkan apa yang mereka katakan dan mengevaluasinya
tanpa berasumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah benar-benar
tentang hal atau the Real yang sama.
c. Raimundo Pannikar dan W.C. Smith
Panikkar menolak semua definisi pluralisme agama yang
menyimpulkan bahwa agama-agama men- share common essence (hal-
hal esensial yang sama). Sejarah kehidupan keagamaan dan intelektual
Pannikar dapat dikatakan sangatlah kompleks. Sedangkan Wilfred
Cantwell Smith berpendapat bahwa pluralisme agama merupakan
tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut
agama. Syarat utama tahapan ini ialah semua diminta untuk memahami
tradisi-tradisi keagamaan lain disamping tradisi keagamaan sendiri.

42
Membangun teologi didalam benteng satu agama sudah tidak memadai
lagi.
Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme
agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi
konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah
menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara,
pada taraf konseptual wahyu Smith mulai dengan menyatakan bahwa
setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup
suatu doktrin mengenai agama lain.
Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam
analisis mengenai cara menggunakan istilah agama. Dalam karya
klasiknya yang berjudul The Meaning and End of Religion. Smith
menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan
agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan
menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith
mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang
menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan
suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai
kristus adalah suatu berhala.
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan
jikalau ingin berlaku adil terhadap dunia tempat hidup dan terhadap
Tuhan sebagaimana diwahyukan oleh agama yang dianut. Semua agama,
entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya
harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-
ubah antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith
mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-
beda tersebut.
d. Paul Knitter
Paul Knitter adalah seorang profesor teologi di Universitas Xavier,
Cincinnati. Karya-karyanya berdasarkan penelitian yang ia terbitkan
berkisar di seputar masalah pluralisme agama dan dialog antar agama.
Karyanya yang terkenal adalah No Other Name?, yang menantang Kristen
untuk berkomitmen dalam dialog yang lebih efektif dengan orang-orang
dari agama lain.

43
Dalam bagian awal dari tulisannya, Paul Knitter memulainya
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang umum diajukan dalam
konteks agama-agama di dunia ini,"Masalah banyak agama ini begitu
menyakitkan, karena kuantitas dan kualitas pengetahuan tentang banyak
agama dan agama-agama lain sekarang telah mematikan serangkaian
pertanyaan-pertanyaan yang para agamawan tanyakan sejak dulu kala,
dan mereka hanya ambil langkah aman dalam kamp-kamp agamawi
mereka sendiri yang terisolasi, dan tidak pernah menghadapi pertanyaan-
pertanyaan seperti: Mengapa ada begitu banyak agama-agama yang
berbeda? Jika Allah satu, bukankah seharusnya hanya ada satu agama?
Apakah agama-agama itu sama-sama benar dan sama-sama salah?
Apakah mereka itu mau membagikan sesuatu yang sama? Bagaimana
mereka berelasi satu dengan lainnya? Apakah banyak agama itu
sesungguhnya hanya satu adanya? Dan lebih spesifik lagi, bagaimana
sebaiknya agama saya berelasi dengan yang lainnya? Dapatkah saya
belajar dari agama yang lain? Dapatkah saya belajar dari mereka lebih
dalam dari apa yang saya pelajari dari agama saya sendiri? Mengapa saya
beragama ini dan orang lain beragama yang lain? Pertanyaan-pertanyaan
ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, khususnya bagi
mereka yang memandang agama mereka dengan serius."
Dalam upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka
Knitter memberikan tiga pertimbangan yang mendasari pembahasannya:
pertama, realitas pluralisme agamawi di dunia masa kini. Kedua, visi
baru dari kesatuan agama sehingga realita ini menjadi saran bagi banyak
pemikir. Ketiga, masalah-masalah bahwa semua ini dimunculkan bagi
Kristen-Kristen yang berintelijen dan prihatin.
Dari pertimbangannya inilah, Knitter mulai mengekspos perihal
pluralisme agama dengan memandangnya dari sudut pandang yang baru,
sehingga ia menamakan pluralisme agama itu sebagai suatu realita yang
dialami dengan cara yang baru ( a newly experienced reality ). Maksudnya
adalah bukan sekedar suatu pengetahuan tentang sistem-sistem atau
gagasan-gagasan agama yang lain, tetapi juga pengetahuan tentang
pribadi-pribadi yang beragama lain itu yang kompleks, sehingga bisa
saling belajar dari bahasa mereka, pengalaman mereka, dan kehidupan

44
mereka sehari-hari. Selain itu perlu adanya perspektif baru dalam
memandang pluralisme agama itu, yaitu mengarahkan kesadaran kultural
sendiri kepada pemahaman yang sederhana tetapi penting, yaitu bahwa
'tidak ada yang satu dan satu-satunya' (there is no one and only way)
dan kesadaran ini bukan saja diterapkan pada agama-agama, tetapi juga
pada budaya, filsafat, dan sistem ekonomi.Prinsip ini sebenarnya
berkaitan dengan pandangan dari Nicholas Lash yang mengatakan bahwa
"hari ini, jagad raya pengertian tidak memiliki pusat.
Setelah memaparkan tantangan yang mengajak para pembacanya
untuk memiliki kesadaran yang kuat tentang tantangan pluralisme
sebagai suatu masalah eksistensial manusia, Knitter menawarkan jalan
keluar untuk menghadapi tantangan ini yaitu dengan memperkenalkan
satu jenis kesatuan di antara banyak agama-agama yang ada di
dunia ini, yaitu pluralisme yang unitif. Titik awal yang menjadi dasar
gagasan ini adalah berangkat dari pemikiran bidang ilmu filsafat, sosiologi
psikologi, dan politik ekonomi."
Berangkat dari tiga kelompok disiplin ilmu yang dipakai oleh
Knitter sebagai acuannya, maka ia memaparkan argumen-argumennya
tentang kepentingan pluralisme agama yang unitif. Pertama, Knitter
mengamati bidang filsafat, mengenai pandangan yang prosesif dan
relasional tentang realita (The Processive Relational View of Reality).
Knitter mengatakan bahwa dunia ini dan segala sesuatu yang ada di
dalamnya bersifat evolusioner atau sedang berada di dalam proses,
sehingga tidak ada di dalam suatu kondisi keberadaan (being), tetapi
dalam kondisi menjadi (becoming)."
Ia memberikan begitu banyak contoh tentang gagasan mengenai
hal-hal yang prosesif dalam realita kehidupan manusia sejak zaman dulu,
misalnya Heraclitus yang pada 2.500 tahun yang lalu menyelidiki bahwa
'segala sesuatu mengalir' dan semua tidak dapat melangkah pada sungai
yang sama untuk kedua kalinya. Lalu pandangan ini didukung oleh Alfred
North Whitehead dan Charles Hartshorne tentang visi dari sebuah dunia
yang berada di dalam sebuah petualangan kreatifitas melalui proses,
Teilhard de Chardin yang memandang alam semesta ini yang sedang
berevolusi dengan penuh kesakitan tetapi stabil dari biosphere (dunia

45
yang berisi kehidupan) kepada noosphere (dunia kesadaran manusia dan
aktivitas mental yang berpengaruh kepada biosphere itu dan berkaitan
dengan evolusi) dan menuju kepada kesatuan titik omega.
Dari banyak contoh lainnya, khususnya dari dunia filsafat Knitter
lalu merumuskan tentang pluralisme unitif ini semacam suatu pergerakan
yang bukan menuju pada kesatuan yang monistik atau absolut, tetapi
menuju suatu pluralitas yang mengukuhkan unitas (kesatuan).Setelah itu,
ia memaparkan definisi yang lengkap mengenai pluralisme yang unitif,
yaitu:
"...sebuah pengertian baru tentang kesatuan agamawi dan sama
sekali berbeda dengan yang gagasan yang lama dan rasionalistik
tentang 'satu agama dunia'.... Visi baru ini bukan sinkretisme yang
menggabungkan semua perbedaan historis di antara agama-
agama dalam rangka melembagakan inti mereka yang sama, juga
bukan imperialisme yang percaya bahwa ada satu agama yang
memiliki kuasa untuk memurnikan dan dengan demikian
merendahkan semua yang lain. Juga bukan satu bentuk toleransi
yang malas yang membawa semua agama pada tahap saling
menyadari validitas yang lain dan kemudian saling meremehkan
dan masing-masing pergi menuju jalan yang memuaskan diri
masing-masing....

Pluralisme yang unitif adalah suatu kesatuan di mana tiap-tiap


agama, meskipun kehilangan individualismenya (ego pemisahnya), akan
mengintensifkan personalitasnya (kesadaran diri sendiri melalui relasi).
Setiap agama akan memelihara keunikannya sendiri, tetapi keunikan ini
akan berkembang dan akan terus mengambil kedalaman-kedalaman yang
baru dengan cara berelasi dengan agama-agama lain dalam
kebergantungan yang mutual.
Kedua, Knitter membahas bidang sosiologi dan psikologi sosial
dengan menjelaskan bahwa setiap Kristen perlu memiliki jati diri pribadi
melalui kewarganegaraan dunia (personal identity through world
citizenship). Knitter menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh
Lawrence Kohlberg tentang pentingnya pergerakan dari pemahaman
yang konvensional kepada pasca konvensional tentang identitas dan
moralitas. Dari pendekatan inilah, Knitter menjelaskan mengenai jati diri
personal yang universalistik atau yang menyadari diri sebagai
warganegara dunia ini.

46
Pendekatan ini diterapkan oleh Knitter dalam kehidupan
beragama, sehingga dihasilkan suatu jati diri agama yang
universalistik, yaitu sekalipun ia adalah milik sebuah tradisi agama, ia
tidak terikat pada bentuknya yang kaku, tetapi ia bebas menjadi pribadi
yang otonomi dalam suatu proses komunikasi yang tidak ketat dan kaku
dengan orang lain dari tradisi yang sama maupun tradisi lain dengan
tujuan untuk adanya persetujuan, dan bukan kompromi. 1640 Hal inilah
yang mendukung terwujudnya pluralisme unitif, yaitu sebuah bentuk baru
dari kesatuan agamawi di mana didalamnya setiap agama memelihara
dan menemukan hal yang memperbarui jati diri mereka sendiri didalam
dan bersama agama-agama yang lain.
Ketiga, Knitter berbicara tentang bidang politik dan ekonomi
dengan mengatakan bahwa adanya kebutuhan akan sebuah tatanan
internasional yang baru (the need for a new international order).
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi politik dan ekonomi, Knitter
menyadari bahwa perlu adanya tatanan internasional yang baru untuk
mengatasi masalah-masalah yang ada dalam kedua bidang tersebut.
Maksudnya tatanan dunia yang baru adalah sebuah dunia yang mana di
dalamnya bumi adalah milik semua, yaitu sebuah dunia di mana bangsa-
bangsanya akan menetapkan nilai-nilai dan struktur-struktur yang dapat
mengubah ekonomi kerakusan menjadi ekonomi komunitas. Sebuah
dunia di mana tiap-tiap bangsanya akan menyadari bahwa ekonomi
komunitas itu dapat terjadi hanya bila ada respek dan dukungan
kemakmuran bagi bangsa lain. Ini akan menjadi sebuah dunia yang mana
komunitas bangsa-bangsa individualnya sungguh-sungguh membentuk
sebuah komunitas dari komunitas-komunitas (the community of
communities), di mana di dalamnya kata 'kami' mempunyai arti baru
dalam relasi dan rasa sebagai keseluruhan umat manusia di dunia ini.
Untuk mencapai tatanan dunia yang baru ini, maka kontribusi
agama dalam hal ini sangatlah penting. Hal ini dikarenakan semua
agama-agama utama di dunia ini meninggikan nilai kasih yang rela
berkorban bagi orang lain dan mengandung simbol-simbol kesatuan
universal dari umat manusia. Oleh karena itu, untuk menuju sebuah
kolaborasi yang baru antara agama-agama harus diawali dengan

47
pengakuan yang rendah hati bahwa memang agama-agama dunia telah
mengakibatkan perpecahan umat manusia. Selanjutnya mereka harus
menghargai satu dengan yang lainnya, belajar dari yang lain dan saling
berdialog.
Sampai di sini dapat sedikit disimpulkan bahwa Knitter
memberikan visinya yang menjadi tantangan bagi Kristen. Dalam
penguraiannya, Knitter beberapa kali menyebutkan, apakah pluralisme
yang unitif ini hanya sebuah mimpi saja dan ia menjawab bahwa mimpi
ini perlu diwujudkan menjadi kenyataan.
e. Iones Rakhmat
Ioanes Rakhmat lahir 13 Mei 1959, pendeta Gereja Kristen
Indonesia Jawa Barat, dosen bidang PB dan Bahasa Yunani di STT
Jakarta. Mulai tahun 1992 menempuh S-2 di STT Jakarta. Anggota Komisi
Teologi BPK Gunung Mulia. Kini, ia sedang studi S-3 di Kampen, Belanda.
Tidak berlebihan bila disebut Ioanes banyak terpengaruh oleh
konsep Knitter. Ia banyak mengembangkan dasar pemikiran Knitter.
Contohnya Ioanes setuju dengan pendapat Knitter bahwa pluralistik -
yang disebut model teosentris atau liberal: Semua agama mempunyai
nilai yang sama. Tidak ada satu agama pun yang memuat seluruh
pernyataan Allah atau Ilahi. Semua agama ambil bagian dalam
keterbatasan manusiawi. Ada banyak jalan menuju keselamatan. Sesama
manusia semestinya membuka diri dalam dialog untuk sesama manusia.
Tidak mungkin mencari kebenaran dan tidak mungkin mengenal diri atau
agama diri sendiri, kecuali jika mengenal agama sesama manusia juga.
Bisa berbicara tentang keunikan Yesus Kristus, tetapi keunikan yang
dimaksudkan adalah sesuatu yang relatif: sama seperti isteri bersifat unik
buat suami, sama seperti Buddha bersifat unik buat seorang Budhist,
begitu juga Kristus bersifat unik buat mereka yang percaya kepada-Nya.
Tidak hanya berpikir jalan keselamatan ada dalam agama-agama,
tetapi Ioanes juga berpendapat firman Allah di luar Alkitab. Di sini jelas,
Ioanes mengambil posisi sebagai seorang pluralis. Lebih-lebih ketika
berpendapat mengenai Firman Allah. Ioanes mengatakan bahwa ada
firman Allah dan kasih karunia-Nya di luar tradisi dan sejarah Yahudi -
Kristen dan di luar Alkitab. Kasih karuniaNya inilah yang menggerakkan

48
setiap orang yang mau mengenal-Nya untuk melakukan kehendak-Nya,
untuk berbuat baik. Firman dan kasih karunia-Nya yang menjangkau
semesta alam inilah yang mendorong manusia untuk memberi tanggapan
historis kepada Allah. Wujud sosial historis tanggapan manusia ini berupa
agama-agama dan kitab-kitab suci.
Lebih lanjut dikatakan: Apa bentuk sarana penerimaan dan
penyampaian firman Allah di luar Alkitab ini? Bisa bermacam-macam.
Selain sarana tulisan yang berupa kitab-kitab suci keagamaan, bisa juga
sarana-sarana lainnya. Bisa berupa alam ciptaan dan segala sesuatu yang
berlangsung di dalamnya. Bisa berupa hati nurani. Bisa berupa tradisi-
tradisi suci keagamaan lain. Dan, taat asas dengan itu, bisa melalui nabi-
nabi dan tokoh-tokoh keagamaan lain yang pernah dan akan lahir di
dunia ini, yang memulai tradisi-tradisi keagamaan dunia ini dengan
memberitakan keakbaran dan rahmat Allah. Dan, jangan dilupakan, bisa
melalui ilmu pengetahuan yang juga merupakan bentuk kasih karunia dan
kiprah penyelenggaraan Allah kepada manusia untuk memelihara dan
mempertahankan ciptaan-Nya, manusia dan alam semesta.
Bagi Ioanes bahwa apapun jenis tulisan dalam Alkitab, semua
kitab di dalamnya hanya punya satu kebenaran, yaitu kebenaran
pewahyuan dari Allah sendiri, sebagai kitab yang "dinafasi oleh Allah"
sendiri adalah sesuatu yang menyesatkan. Karena, meskipun diakui
bahwa yang menulis Alkitab itu manusia di dalam dunia dan
kebudayaannya, tetapi sama sekali manusia, dunia dan kebudayaannya
itu tidak mempengaruhi isi wahyu Allah yang diterimanya.
Ioanes sependapat dengan Panikkar bahwa kalau
mempertahankan Kristus Yesus sebagai "Kebenaran akhir" dan tidaklah
dapat digantikan dengan totalitas kebenaran atau pendapat-pendapat
yang menjiwai agama-agama lain, timbul persoalan, maka dialog
diperlukan sekali. Tanpa dialog, kekristenan hanya akan menjadi
semacam "ideologi" bagi sekelompok eksklusif orang-orang yang
menamakan dirinya sebagai orang Kristen.
Jadi, bagi Ioanes, berteologi adalah tidak bisa dilakukan oleh
gereja sendiri. Karena krisis keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan
dewasa ini adalah masalah, tantangan dan ancaman sejagat, maka dalam

49
rangka gereja berteologi, ia harus berteologi secara oikumenis dan dalam
dialog dengan segenap orang yang mencari dan melaksanakan kehendak
Allah, dan yang menaruh keprihatinan yang sama atas permasalahan,
penderitaan dan keterhilangan dunia ini. Memikul panggilan ini membuat
gereja harus memahami ulang siapa dirinya di tengah pluralitas
keagamaan dalam dunia masa kini. Parokhialisme dan institusionalisme
gereja sebagai yang Allah harus digantikan oleh oikumenisme dan
universalisme. "Umat Perjanjian yang membawa terang bagi bangsa-
bangsa" harus sudah dipahami dengan lebih terbuka dan inklusif. "Umat
Perjanjian" di sini tidak monolitik.

D. Evaluasi Kritis Terhadap Ketiga Model Pendekatan


Sejauh ini dikenal tiga pandangan klasik berkaitan dengan relasi
kekristenan dengan agama-agama lain: ekslusivisme, inclusivisme, dan pluralisme
agama. Sudah bukan hal yang baru lagi bila fakta menunjukkan bahwa posisi
ekslusivisme adalah yang paling banyak dipegang oleh kalangan Injili. Bahkan
boleh dikatakan bahwa mayoritas kalangan Injili memegang teguh type
ekslusivisme yang terlalu ketat (strict) dan kaku (rigid).
Kalau dicermati lebih kritis terhadap aplikasi penggolongan di atas, acapkali
yang terjadi adalah kecenderungan praktik pelabelan terhadap seseorang ke
dalam salah satu type. Hal ini dalam kenyataannya tidak kondusif terhadap
kehidupan bergereja dan berjemaat yang sehat, yang mempromosikan persatuan
dan persaudaraan Kristen. Sebaliknya, yang marak terjadi adalah pelebaran jurang
persaudaraan Kristen. Polarisasi antara "kita" dan "mereka" semakin tajam.
Kalangan Injili, dengan ekslusivismenya, menganggap diri sebagai pihak yang
memiliki kebenaran biblikal (baca: Injil) sejati; yang ujung-ujungnya mengklaim
diri "paling mumi" dan "paling benar'. Kelompok Kristen lain dianggap sebagai
kaum yang mengkompromikan kemurnian Injil dan klaim absolut ekslusif "Yesus
adalah satu-satunya Juruselamat" yang menyingkirkan posibilitas keselamatan di
luar pengakuan percaya terhadap Yesus dari Nazareth secara verbal eksplisit.
Bahkan ada kalangan Injili tertentu (biasanya yang radikal dan fundamentalis)
yang sampai harus memvonis kelompok Kristen lain -- yang memiliki perbedaan
doktrin minor (sekunder) -- sebagai "bidat."

50
Klasifikasi klasik di atas juga tidak akurat dalam menggolongkan seorang
teolog ke dalam salah satu type. Kalau dimasukkan Karl Barth ke dalam
ekslusivisme atau Karl Rahner ke dalam inklusivisme atau John Hick ke dalam
pluralisme, hal ini masih dapat ditolerir mengingat mereka mengekspresikan posisi
teologinya secara gamblang.
Karena itulah maka perlu penggolongan yang lebih memadai dan fleksibel
yang mampu mengidentifikasikan posisi teologia seseorang secara lebih tepat dan
obyektif. Luther E. Copeland seorang veteran misionari Baptis Injili yang moderat
telah mengusulkan suatu sistem klasifikasi yang menurut hematnya lebih fleksibel
dan mengurangi kecenderungan pelabelan yang apriori. Copeland membagi relasi
Kristen terhadap agama-agama lain ke dalam beberapa type atau kategori, yaitu:
1. Negativism yaitu pandangan yang tidak atau hampir tidak melihat adanya
kebaikan-kebaikan atau hal-hal afirmatif dalam agama-agama lain. Dengan
demikian tidak memungkinkan adanya keselamatan bagi para penganutnya;
kecuali untuk kasus-kasus yang sangat langka.
2. Dialecticism yaitu memandang agama-agama lain beserta para penganutnya
pada saat yang bersamaan secara negatif dan positif. Pandangan ini
menganggap dalam semua agama terkandung unsur-unsur kebaikan dan
kejahatan; kebenaran dan kesalahan; keagungan dan kenistaan.
3. Confessionalism, yaitu meyakini bahwa iman kepercayaan tidak perlu dogmatik.
Para penganutnya cuma mau percaya kepada Yesus serta ajaran-ajaran-Nya
dan menyaksikan hal itu kepada orang lain tanpa memperdulikan aspek-aspek
akademik teologisnya. Mereka juga tidak mau merendahkan agama-agama
lain, bahkan mempertahankan keterbukaan terhadap hal-hal positif mereka.
4. Christocentric pluralism, yaitu meyakini Kristus sebagai the Absolute. Para
pendukungnya meyakini bahwa ekspresi-ekspresi yang berbeda terhadap the
Absolute ini dalam berbagai agama merupakan manifestasi-manifestasi dari
Kristus Kosmik. Inkarnasi Kristus Kosmik atau Logos dalam diri Yesus dari
Nazareth cuma salah satu dari manifestasi-manifestasi yang ada dan cuma
valid bagi orang Kristen.
5. Theocentric pluralism. Pandangan ini meyakini bahwa the Absolute tidak boleh
diidentifikasi sebagai Kristus. Klaim-klaim Kristen cuma punya keabsahan bagi
kalangan Kristen sendiri dan tidak berlaku bagi penganut agama-agama lain.

51
The Absolute ini bukan Kristus dan mengatasi segala bentuk ekspresi dalam
agama-agama lain.
6. Regnocentric atau Soteriocentric Pluralism , yaitu pandangan yang menyatakan
bahwa Kerajaan Allah harus dipahami sebagai keselamatan umat manusia dari
kehidupan sosial dan manifestasi keadilan dan kasih di dalam dunia yang
mengatasinya serta segala ekspresi-ekspresi ultimate lainnya. Dengan demikian
cuma ada keabsolutan yang relatif (a relative absoluteness).
7. Non-relativistic pluralism. Pandangan ini dapat disebut pluralisme dalam arti
bahwa pandangan ini mengakui adanya nilai-nilai positif dalam fenomena
pluralisme agama-agama; yaitu bahwa Allah menyatakan ke-Allahan-Nya dalam
beraneka ragam agama. Dengan demikian, interaksi antar agama-agama
dibutuhkan untuk mencapai pemahaman kebenaran secara memadai. Kristus
tidak boleh direlatifkan ataupun dimutlakkan, namun harus dipahami dalam
pengertian biblikal sebagai Tuhan dan Juruselamat yang universal.
8. Pre-eschatological agnosticism. Pandangan ini meyakini bahwa penyingkapan
kebenaran final berkaitan dengan klaim-klaim keagamaan harus menunggu
sampai zaman akhir (the eschaton). Penyataan akhir tentang apa yang benar
tidak akan diketahui sampai akhir sejarah.

52
BAB III
MODEL-MODEL TEOLOGI AGAMA-AGAMA

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan tentang bentuk-bentuk


pendekatan dalam teologi agama-agama dengan kekurangan dan kelebihannya
masing-masing. Persoalannya adalah bagaimana menentukan model-model teologi
agama-agama dalam konteks pendekatan yang telah dikemuakan? Salah satu contoh
adalah Partikularitas Yesus Kristus. Namun dalam iman Kristen, kasih Allah yang
universal tersebut telah dinyatakan secara khusus di dalam diri Yesus Kristus.
Beberapa ayat yang mendukung pernyataan ini antara lain: Yoh 14:6; Kis 4:12, dan
lain-lain. Bahwa mereka yang percaya kepada Yesuslah yang diselamatkan. Bagaimana
dengan mereka yang tidak percaya?
Dari hal ini timbul permasalahan, bagaimana memandang agama lain bila
diperhadapkan dengan iman kristen? Kalau menekankan universalitas kasih Allah,
maka harus menerima adanya keselamatan di luar Yesus. Tetapi kalau menekankan
partikularitas Yesus, bagaimana dengan keselamatan orang yang beragama lain yang
memiliki kehidupan lebih baik dari hidup orang-orang yang percaya kepada Yesus?
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dalam bagian ini akan membahas
beberapa model pendekatan yang dikemukakan oleh Paul F. Knitter. Ia menawarkan
beberapa model pendekatan teologi agama-agama yang akan dikritisi secara singkat,
dan kemudian ambil mana model yang paling cocok untuk konteks Indonesia.

A. Model Penggantian
Pokok utama model ini adalah adanya keyakinan bahwa keselamatan
hanya ada di dalam Yesus. Knitter menuliskan “Pada akhirnya – atau, sesegera
mungkin – Allah menghendaki hanya satu agama, agama Allah: agama Kristiani.”
Kasih Allah memang universal, namun kasih itu diwujudkan melalui Yesus Kristus
yang partikular dan singular. Ada empat pilar utama dalam teologi model ini,
yaitu: Alkitab adalah petunjuk utama bagi perilaku pengikut Kristus, kehidupan
Kristen adalah suatu keputusan mengikut Yesus, Yesuslah yang membawa

53
perbedaaan dalam kehidupan, karena itu mereka memiliki komitmen untuk
berbagi rahmat kepada sesama.
Model ini menganggap agama-agama lain tidak berarti dan tidak memiliki
sesuatu yang penting untuk dipertahankan. Karena itu tidak ada dialog dalam
pandangan model ini. Dialog yang dimungkinkan adalah hanya untuk
memberitakan kebenaran satu-satunya: Keselamatan di dalam Yesus.
B. Model Pemenuhan
”Model ini menawarkan satu teologi yang dapat memberikan bobot yang
sama kepada dua keyakinan dasar Kristiani…bahwa kasih Allah itu universal,
diberikan kepada semua bangsa, namun kasih itu juga pertikular, diberikan secara
nyata di dalam Kristus Yesus”. Bagi model ini, agama-agama memiliki nilai yang
tidak mungkin diabaikan. Karena itu umat Kristiani perlu berdialog dengan
mereka. Dalam dialog ini, umat Kristiani bukan hanya sekedar memberitakan Injil.
Beberapa pokok penting dari model ini adalah:
a. Agama Merupakan Jalan Keselamatan.
Rahmat Allah bekerja di dalam agama-agama. Allah menawarkan
pengorbanan diriNya di dalam dan melalui kepercayaan, perbuatan, dan ritual
agama-agama lain. Kehadiran Tuhan dapat dirasakan dalam agama. Karena itu,
agama bisa menjadi ”jalan keselamatan”.
Agama-agama non Kristen dapat menjadi jalan positif untuk
menemukan hubungan yang benar dengan Tuhan dan karena itu memperoleh
keselamatan, suatu jalan yang positif masuk dalam rencana keselamatan
Tuhan .
b. Kristen Anonim.
Semua rahmat adalah anugerah Kristus. Jika rahmat Tuhan, yaitu
kehadiran Tuhan yang penuh kasih, memenuhi kodrat dan sejarah, itu karena
Yesus Kristus. Setiap pemeluk agama yang mengalami rahmat kasih Allah di
dalam agama mereka masing-masing, sudah terhubung dengan dan
berorientasi kepada Yesus, yang adalah representasi dari tujuan rahmat kasih
Allah yang maha sempurna.
Mereka yang dianugerahi di dalam dan melalui agama mereka sendiri
sudah menjadi Kristiani tanpa nama Kristiani. Mereka adalah umat Kristiani
anonim.
c. Keterbatasan Gereja dan Agama-Agama Lain.

54
Pemahaman tentang karya penyelamatan Allah melalui Yesus membuka
berbagai wawasan baru maupun berbagai keterbatasan baru. Gereja bukanlah
satu-satunya ’pulau’ keselamatan dan kebenaran di tengah-tengah lautan
kehancuran dan dosa.
Gereja harus mewujudkan dan memperjelas secara nyata apa yang
sudah ada di dalam agama-agama. Artinya, tujuan gereja bukanlah menolong
manusia dan meletakkan mereka di jalan baru (walaupun sering diperlukan)
tetapi menghilangkan kabut sehingga memampukan manusia melihat lebih
jelas dan merasa lebih aman dalam perjalanan.
Oleh karena itu, agama-agama lain, dengan semua kebenaran dan
kebaikan yang mungkin mereka miliki, harus menjalankan peran: menyiapkan
jalan, mendorong manusia agar mempersiapkan diri untuk melangkah masuk
dan bergabung dengan komunitas Kristiani! Saat agama-agama lain berjumpa
dengan agama Kristiani, maka semua agama itu harus ’minggir’ dan
menyediakan jalan bagi Yesus. Di hadapan Yesus, semua agama kehilangan
validitas mereka – atau, menyempurnakan validitas itu.

C. Model Mutualitas
Model Mutualitas memiliki pokok pandangan utama yaitu bahwa kasih
Allah yang universal itu membawa konsekwensi semua agama adalah benar.
Dengan demikian, dialog dimungkinkan untuk mendapatkan manfaat bersama.
Untuk dapat melakukan dialog dengan baik, model ini menawarkan jembatan
yang dapat dipakai: jembatan filosofis historis, jembatan religius mistik, dan
jembatan etika praktis.
Model ini menafikan keyakinan dasar partikularitas Yesus yang
membawa konsekwensi bahwa tidak ada jalan lain. Bila menggunakan model ini,
maka tidak bisa tidak kehilangan ciri Kristiani dan menganggap semua sama.

D. Model Penerimaan
Model ini menekankan keseimbangan dan kesetaraan antar agama. Bahwa
masing-masing memiliki kebenaran yang setara, namun tidak absolut. Kebenaran
absolut hanya ada pada Tuhan saja. Memang ada perbedaan-perbedaan. Justru
karena perbedaan-perbedaan itu tidak mungkin disatukan, harus menerima satu
sama lain.

55
Model ini membawa dampak yang baik bagi hubungan antar agama,
namun dampak yang buruk bagi pengembangan dan pelaksanaan tugas Kristen
yang secara jelas dinyatakan dalam Alkitab: “… jadikan semua bangsa muridKu”
(Matius 28:19-20).
BAB IV
MASALAH DAN HAMBATAN DALAM TEOLOGI AGAMA-AGAMA

Dalam konteks pluralitas yang dikemukakan pada bagian pendahuluan, bagi


umat Kristen, ternyata telah menimbulkan cognitive dissonance, suatu kebingungan
(yang mendekati kekacauan) yang terjadi dalam diri penganutnya. Sebab apa yang
selama ini begitu jelas dan gamblang diyakininya diperhadapkan dengan, dan
ditantang oleh, relaitas kepercayaan yang berbeda dengan apa yang diyakininya.
Secara faktual, telah hadir di hadapannya umat lain yang memiliki komitmen
yang sama kukuh seperti dirinya terhadap iman yang berbeda. Akibatnya, ketika
berhadapan dengan masalah di atas, umat Kristen memberi respons yang berbeda.
Pertama, ada golonga Kristen yang memilih memisahkan diri, menutup pintu hatinya,
dan asyik berkutat dengan dogmanya sendiri. Tetapi, ada juga yang kedua yang pergi
ke dunia lain itu, dan melakukan reconquista, menaklukan orang lain, baik dengan
cara halus ataupun kasar untuk kemudian “merekrut” mereka ke dalam kelompoknya.
Dan yang ketiga, sikap yang terbuka pada dialog, dan berkeyakinan bahwa pluralisme
yang ditanggapi secara sungguh-sungguh akan memperkaya kekristenan itu sendiri.
Dan sikap yang ketiga ini dapat menjadi “tanah yang subur” bagi upaya teologi
agama-agama. Sayangnya, upaya teologi agama-agama dalam penerapannya
menghadapi banyak kendala dan hambatan.

A. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental


Sepanjang sejarah agama dapat me;mberi sumbangsih positif bagi
masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar
anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu
konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam
mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di
Indonesia. Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar
masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam perspektif
sosiologi agama.

56
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi
penyebab dari benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai
gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama
lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam
skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan,
sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.
Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi
(revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki
rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Di beberapa tempat
terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri.
Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan
dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping
agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum
dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat,
sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang
pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu
agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.
Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat
Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.

B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama


Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar
jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan
antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku
Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan
Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam
ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan
ketentraman dan keamanan.
Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo,
Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk
setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat.

57
Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang
yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya
perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.

C. Perbedaan Tingkat Kebudayaan


Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan
membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara
sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya
tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam
- Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang
konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau
tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau
modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang
mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di
suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut
mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.

D. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama


Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam
masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan
minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah
beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan
dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di
Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa
atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen.
Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering
mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung
ibadat.

58
BAB V
MENGEMBANGKAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA DI INDONESIA

Pada bagian ini akan diuraikan peranan dialog sebagai salah satu alternatif
pemecahan dan pencegahan konflik antar kelompok agama di Indonesia.

A. Kepentingan Dialog
Dialog menjadi suatu kebutuhan dan keharusan dalam kehidupan
kebersamaan dari segenap warga dunia ini disebabkan oleh pelbagai faktor yang
dapat ditemukan baik dalam perkembangan dunia sendiri maupun dalam
perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pandangan agama-
agama sendiri.
Ada berbagai faktor kepentingan dari dialog, antara lain: pertama,
kenyataan dunia ini semakin menjadi majemuk dalam kawasan keagamaan dewasa
ini. Serentak dengan itu, dalam diri agama-agama dunia sendiri telah tumbuh dan
berkembang pemahamannya tentang dunia ini sebagai keseluruhan, bersamaan
dengan itu telah timbul semangat misioner dari masing-masing agama dunia.
Kedua, dalam konteks Indonesia, agama Islam dan agama Kristen menghadapi
tantangan yang sama saat ini yaitu materialisme dot sekularisme. Sehingga wajar
jika saling memperkuat satu sama lain dan mengadakan pendekatan suka damai
dan suka membangun. Ketiga, kenyataan konflik yang terjadi di Indonesia antara
Islam Kristen banyak disebabkan diantaranya adalah karena salah pengertian dan
miskomunikasi, perasaan curiga, dan cemburu antar kelompok dalam masyarakat.

B. Batasan Dialog
Dialog adalah suatu percakapan yang bertolak pada upaya untuk mengerti
mitra percakapan dengan baik, saling mendengar pendapat masing-masing. Karena
itu, dialog merupakan pertukaran pikiran yang didalamnya peserta mengungkapkan

59
pendapat atau keyakinannya, mempertimbangkannya, dan berusaha memahami
pendapat orang lain.
Dialog dapat dibedakan dalam dua kategori: pertama: Dialog Formal, yaitu
suatu dialog yang membahas suatu tema tertentu dalam suatu pertemuan, yang
pembahasannya bertolak dari visi teologis masing-masing. Kedua: Dialog Informal,
yaitu suatu dialog yang terjadi dalam bentuk-bentuk pergaulan, kerjasama, dan
hubungan sosial antar umat yang berbeda agama. Melalui kesempatan itu, mereka
saling mengenal satu sama lain.
C. Sikap dalam Dialog
Yang menentukan dalam hubungan antar agama adalah sikap dasar manusia
dihadapan Tuhan. Karena sikap mendasar dalam dialog adalah sikap rendah hati di
hadapan Tuhan dan keterbukaan hati. Orang Kristen mengambil bagian di dalam
dialog dengan orang Islam dengan sikap:
pertama, ambil bagian dalam dialog dengan Islam dalam keyakinan bahwa
semua memiliki sifat umum (common nature) sebagai yang diciptakan oleh Allah
yang satu, yang adalah Bapa bagi semuanya. Semua hidup dari anugerah-Nya, dan
semua bertanggung jawab kepada-Nya.
Kedua, berdialog dengan keyakinan bahwa anggota tubuh Kristus yang diutus
Allah Bapa untuk melanjutkan misi Kristus. Dialog merupakan panggilan misi
kristiani. Karena Allah datang ke dalam dunia melalui Kristus yang menjadi manusia
dan berdialog dengan bahasa manusia. Ketiga, ambil bagian dalam dialog dengan
Islam, dalam keyakinan dan pengharapan bahwa Roh Kudus dapat dan akan
menggunakan dialog ini untuk melakukan karya-Nya.

D. Saran Praktis untuk Dialog


Ada hal-hal praktis yang perlu diperhatikan dalam dialog antara lain: pertama,
diperlukan pendalaman tentang isi kepercayaan atau agama sendiri. Mesti mampu
menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman sendiri, tradisi gereja, dan lain-lain
yang berkaitan dengan gereja sendiri. Kedua, diperlukan pemahaman tentang
agama mereka (Islam). Ketiga, harus bersikap saling menghormati tanpa
memandang latar belakang, mayoritas atau minoritas, dan lain-lain. Keempat,
dialog tidak berarti merelatifkan kebenaran Injil atau menuju sinkretisme. Dialog
bukanlah pengganti atau identik dari misi namun melalui dialog kesaksian kristiani
bisa diungkapkan.

60
Dalam dialog informal, selain kaidah-kaidah agama secara umum, maka nilai-
nilai budaya, sikap etis, dan penampilan, akan sangat menentukan kualitas dan
hasil dari dialog yang dilakukan.

PENUTUP

Jika diteliti lebih mendalam, dalam intern umat beragama tertentu dijumpai
berbagai paham atau sekte keagamaan, seperti teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen-
Protestan dan lain sebagainya. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai
beragama teologi. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologi yang seringkali sulit
untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah “teologi” di sini, tapi
menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham
ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah
juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru. 
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam
pemahaman kagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk form atau
simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk form atau simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang
lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa
pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang
paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham
yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh bahwa lawannya sebagai yang
sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-
kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan
aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah
keterpurukan (eksklusivisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-
kotak.
Pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial
pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih lagi kenyataan demikian harus
ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri
sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang

61
mendukung keberadaannya. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas
institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah
peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi
dan pranata sosial kemasyarakatan dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang
kemudian menjadai bahan subur bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul
terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam
“budaya” tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empirik faktual, serta
pranata-prana sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Berkenaan dengan hal di atas, saat ini muncul apa yang disebut dengan istilah
teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya
atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan
tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara
dua kutub: teks dan situasi; masa lampau dan masa kini. Hal demikian mesti ada
dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan fungsinya yang berbeda-beda.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini
ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan
kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Teologi sebagai kritik agama berarti
antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan dalam institusi agama yang
menghambat panggilannya; menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. 
Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya terjadi
kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan memanfaatkan ilmu tersebut
bagi pengembangan teologinya. Teologi ini bukan hanya berhenti pada pemahaman
mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transformasi sosial. Maka
beberapa kalangan menyebut teologi agama-agama itu sebagai teologi
transformatif.
Dengan memperhatikan uraian dalam keseluruhan pembahasan, terlihat bahwa
pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada
dialog, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi
perkotakan-perkotakan umat, tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya
kepedulian sosial. Dengan pendekatan demikian, agama cenderung hanya merupakan
keyakinan dan pembentuk sikap keras dan tampak asosial. Melalui pendekatan teologi
ini agama menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi
lambang atau identitas yang tidak memiliki makna.

62
Uraian di atas bukan berarti tidak memerlukan pendekatan teologi dalam
memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologi, keagamaan seseorang
akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan
perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat
dalam teologi jelas diperlukan. Antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran
agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka
membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir
deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan
mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga
tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang
selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Namun pendekatan teologis
ini menunjukkan adanya kekurangan antara lain berfiat eksklusif, dogmatis, tidak mau
mengakui kebenaran agama lain, dan sebagainya. Kekurangan ini dapat diatasi
dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis.
Pendekatan teologis agama-agama selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan
normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang
pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran
manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak
dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan
ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk bidang
sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.
Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran,
dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil
mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-
tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk
bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama
tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam
ajaran agama yang bersangkutan.

63
DAFTAR PUSTAKA

1. Achmad, Nur (ed), Pluralitas Agama. Kerukunan Dalam Keragaman,  Jakarta:


Penerbit Buku Kompas, 2001
2. Darmaputera, Eka, Pancasila Identitas dan Moderenitas, Jakarta: BPK-GM,
1987
3. Darmaputera, Eka, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, Jakarta: BPK-
GM, 2005
4. Darmaputera, Eka, Pergumulan dan Peran Gereja Dalam Masyarakat dan
Negara Pancasila, dalam J.M. Pattiasina dan Weinata Sairin (peny.), Tegar
Mekar di Bumi Pancasila, Jakarta: BPK-GM, 1990
5. Dubut, Darius, Agama-agama Dalam Masyarakat Bangsa Indonesia Yang
Majemuk, dalam,  Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H.
Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog,  Jakarta: BPK-GM, 1999
6. Dubut Darius, Cara Beragama Dalam Masyarakat Majemuk, dalam Weinata
Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru,  Jakarta: BPK-GM, 2002
7. Effendi, Djohan, Pluralitas Keagamaan Di Indonesia, dalam, Panitia Penerbitan
Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama
Dalam Dialog,  Jakarta: BPK-GM, 1999
8. Lumintang, Stevri I., Teologia Abu-Abu, Malang: Gandum Mas, 2004
9. Nainggolan, Binsar, Pandangan Kritis Terhadap Kerukunan Antar Umat
Beragama Di Indonesia, dalam N.M. Simanjuntak, dkk (Peny), Kritis Berpikir
Santun Berkarya, Bunga Rampai Ucapan Syukur 50 Tahun Pdt. Midian Sirait,
M.Th,  HKBP Distrik X Medan-Aceh
10. Qadir Djaelani, Abdul, Sekitar Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Media Da’wah,
1994
11. Saragih, John Renis, Masa Depan Agama-agama Dalam Dialog, dalam Jurnal
Teologi Tabernakel (edisi XV Pluralisme), Medan: STT Abdi Sabda, 2006
12. Sinaga, Martin L., Meretas Jalan Teologi Agama-agama Di Indonesia,
dalam,  Tim Balitbang PGI (Peny.),Meretas Jalan Teologia Agama-Agama di
Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007
13.   Sitompul, Einar, Gereja Menyikapi Perubahan, Jakarta: BPK-GM, 2004

64
14. SP, Soetarman, dkk, Fundamentalisme Agama-agama dan Teknologi, Jakarta:
BPK-GM, 1996
15. Yewangoe, A.A., “Kerukunan Umat Beragama Sebagai Tantangan dan
Persoalan: Menyimak Bingkai Teologi Kerukunan Departemen Agama RI”,
dalam Tim Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 2003
16. Yewangoe, A.A., Agama dan Kerukunan, Jakarta; BPK-GM, 2002

65

Anda mungkin juga menyukai