Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil
aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain yang dekat seperti M.
bovis dan M. africanum. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat pula
menyerang susunan saraf pusat, sistem limfatik, sistem pernapasan, sistem genitourinaria,
tulang, persendian, bahkan kulit.2

2.2 Etiologi
Bakteri utama penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis.
M. tuberculosis berbentuk basil atau batang ramping lurus yang berukuran kira-kira 0,2-0,4 x
2-10 µm, dan termasuk gram positif. Mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama beberapa
tahun.3
Pada medium kultur, koloni bakteri ini berbentuk kokus dan filamen. Identifikasi
terhadap bakteri ini dapat dilakukan melalui pewarnaan tahan asam metode ziehl-neelsen
maupun tanzil, yang mana tampak sebagai basil berwarna merah di bawah mikroskop.3-4

Gambar 2.1 Basil tuberkel (merah) di bawah mikroskop dengan pewarnaan tahan asam

Pada umumnya, genus mycobacterium kaya akan lipid, mencakup asam mikolat
(asam lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfatida. Lipid dalam batas-batas tertentu
bertanggung jawab terhadap sifat tahan-asam bakteri. Selain lipid, mycobacterium juga

1
mengandung beberapa protein yang dapat memicu reaksi tuberkulin, dan mengandung
berbagai polisakarida.3
Mycobacterium tidak menghasilkan toksin, tetapi termasuk organisme yang virulen
sehingga bila masuk dan menetap dalam jaringan tubuh manusia dapat menimbulkan
penyakit. Bakteri ini terutama akan tinggal secara intrasel dalam monosit, sel
retikuloendotelial, dan sel-sel raksasa.3

2.3 Epidemiologi
Penyebaran kasus TB di dunia memang tidak merata dan justru 86% dari total kasus
TB global ditanggung oleh negara berkembang. Sekitar 55% dari seluruh kasus global
tersebut terdapat pada negara-negara di benua Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang
dalam proporsi kecil tersebar di berbagai negara di benua lainnya. Melihat hal ini, maka
WHO telah menetapkan 22 negara yang dianggap sebagai high-burden countries dalam
permasalahan TB untuk mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam hal
penanggulangannya. Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk di dalamnya.5

Angka Epidemi TB lebih besar dari perkiraan sebelumnya, hal ini diperoleh dari data

surveilans TB di India .Namun, jumlah angka kesakitan dan kematian akibat TB terus turun

secara global . Pada 2015, diperkirakan ada 10,4 juta Insidens kasus baru TB di seluruh

dunia, 5,9 juta (56%) laki-laki , 3,5 juta (34%) perempuan dan 1,0 juta (10%) anak-anak.

1,2 juta (11%)orang dari semua kasus TB baru menderita HIV. Enam negara tertinggi

penyumbang 60% dari kasus baru adalah : India,Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan dan

Selatan Afrika.1

Kemajuan Global tergantung pada kemajuan pencegahan dan penanganan TB di

negara-negara tersebut. Di seluruh dunia, tingkat penurunan kasusTB hanya 1,5% pada

2014-2015. Hal ini perlu ditingkatkan sampai 4-5% pada tahun 2020 untuk mencapai tonggak

pertama dari TB End Strategi .

Pada 2015, diperkirakan ada 480 000 kasus baru multidrug-resistant TB (MDR-TB)

dan tambahan 100 000 orang dengan TB resistan terhadap rifampisin (RR-TB) yang juga

dapat menerima terapi. MDR-TB India, China dan Rusia menyumbang 45% dari total

gabungan 580 000 kasus. Diperkirakan ada 1,4 juta kematian akibat TB di 2015, dan

tambahan 0,4 juta kematian akibat Penyakit TB di antara orang yang hidup dengan HIV.

2
Walaupun jumlah kematian TB turun 22% antara tahun 2000 dan 2015, TB tetap

merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia pada tahun

2015. Berdasarkan laporan WHO dalam Global Report 2015, pada tahun 2015 Indonesia

berada pada peringkat 2 dunia penderita TB terbanyak setelah India,. Peringkat ini naik

dibandingkan tahun 2008 yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-5 kasus TB

terbanyak.1

Grafik 2.1 Daftar lima besar negara dengan jumlah kasus baru TB terbanyak tahun 2015.1

2.4 Cara Penularan


Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif, pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentukdroplet (percikan dahak). Droplet ini
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar UV,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Seseorang dapat tertular bila droplet itu terhirup ke
dalam saluran pernapasan.6
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita itu dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.6

2.5 Patofisiologi
 Tuberkulosis Primer5

3
Bila droplet terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer.
Selanjutnya kuman akan dihadapi oleh neutrofil, lalu oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini
akan mati atau dibersihkan keluar oleh makrofag bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, maka akan berkembangbiak dalam sitoplasma
makrofag, bersarang di jaringan paru akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul
di bagian mana saja dalam paru. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
 Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya.
Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
 Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imunitasyang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

4
- Meninggal.
 Tuberkulosis Pasca-Primer5
Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun
lobus inferior. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Nasib kavitas ini :
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru lalu mengikuti
pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
 Memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
 Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).

5
Gambar 2. 2. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya

2.6 Faktor Risiko


Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis7 :
 Usia
Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
 Jenis Kelamin
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996
jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlahpenderita
TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. TB paru
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki
sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB
paru dimana Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak
2,2 kali.
 Penyakit Penyerta
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg
atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara berat badan

6
yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB adalah 14 kali
lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran
bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan
resiko TB menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan
hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan,
tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang
mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini mempunyai
status gizi yang buruk.
Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan
salah satu faktor risiko. Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non
DM dan aktivitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM
ringan.
Penderita Tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV
merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi. Tuberkulosis diketahui merupakan
infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif.
Apabila seseorang dengan seropositif tertular kuman ini maka karena kekebalannya
rendah, besar sekali kemungkinannya akan langsung menderita Tuberkulosis.
 Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah
dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif.
Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah.
Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan,
panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan. Di
daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penderita TB lebih besar. Sebaliknya di
daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya.
Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Ventilasi
yang baik juga menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini dapat
diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Mycobacterium tuberculosis
tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat

7
membunuh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap,
sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap.
 Status Sosial Ekonomi Kleuarga
WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial
ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan penyakit terbanyak
yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang
rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya
lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan
sosial ekonomi rendah.
 Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB
Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan
berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat
menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya.

2.7 Klasifikasi Penyakit


Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe pada penyakit tuberculosis adalah2 :
1. Menentukan panduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu : organ tubuh yang sakit, hasil
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, tingkat keparahan penyakit, dan riwayat
pengobatan sebelumnya6.
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :

Gambar 2.3. Klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh yang terkena

8
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru :
1. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberculosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1. TB Paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan pasien yang buruk.
2. TB ekstra-paru
Dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
a. TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudatifa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih, dan alat
kelamin.
9
Catatan :
- Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
- Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.

2.8 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis di Indonesia


Masa tunas (masa inkubasi) penyakit tuberkulosis paru adalah mulai dari terinfeksi
sampai pada lesi primer muncul, waktunya berkisar 4-12 minggu untuk tuberkulosis
paru.1Gejala klinis pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan, yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut
10
di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru lain seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,
asma, kangker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut di atas dianggap
sebagai seorang tersangka pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.6
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam (subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun, konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia. Pada pemeriksaan
paru kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.6 Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan
paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior,
serta daerah apeks lobus inferior.2-3Bila terdapat infiltrate yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang agak redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara
napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi apabila infiltrate diliputi oleh
penebalan pleura, suara napas akan menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan
suara amforik. Pada tuberkulosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal.3
Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan salah satu cara yang paling efisien untuk
mengidentifikasi penderita TBC. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Kriteria BTA positif apabila ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum.8
Penderita dengan sediaan positif sepuluh kali lebih infeksius dibandingkan dengan
penderita sediaan negatif. Tujuan pemeriksaan mikroskopis dahak adalah menegakkan
diagnosis TBC, menentukan tingkat penularan, memantau kemajuan pengobatan,
menentukan terjadinya kegagalan pada akhir pengobatan.8
Pengumpulan dahak dilakukan tiga kali, yaitu sewaktu hari-1, pagi hari-2, dan
sewaktu hari-2 (SPS).6
 Sewaktu hari-1 (S): dahak dikumpulkan pada saat penderita datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, penderita membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.

11
 Pagi hari-2 (P): penderita mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
 Sewaktu hari-2 (S): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Selain pengumpulan dahak dapat juga dilakukan pemeriksaan biakan untuk
identifikasi M. Tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah
pasien yang bersangkutan masih peka terhadap obat anti tuberkulosis yang digunakan.
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes
resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi, yaitu pasien TB yang masuk dalam tipe
pasien kronis, pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak, petugas kesehatan yang menangani
pasien dengan kekebalan ganda. Adapun pemeriksaan tes resistensi hanya dilakukan di
laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai
standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu oleh laboratorium
supranasional TB. 6
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopik dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan. Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Indikasi
pemeriksaan foto toraks pada pasien TB adalah sebagai berikut:6
 Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto thoraks diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti pneumothoraks dan pleuritis eksudativa) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat.
Selain pemeriksaan diatas, terdapat juga mantoux test/ tuberculin test. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membantu menegakan diagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak
(balita). Uji tuberkulin menggunakan 0,1 cc tuberkulin P.P.D intrakutan berkekuatan 5 T.U.
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.
Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG, dan mycobakterium patogen lainnya. Setelah 48-72
jam tuberkulin disuntikan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari
infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin.1

12
Gambar 2.4. uji mantoux test

Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi6:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada
infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena
kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : ≥ 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau
pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Hal yang menyebabkan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:4
a. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis
b. Anergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, SLE)
c. Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air, poliomyelitis
d. Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgin)
e. Pemberian kortikosteroid lama, pemberian obat imunosupresi lainnya
f. Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan
g. Untuk pasien HIV positif, test mantoux ± 5 mm dinilai positif

13
Skema2.1 Alur Diagnosis TB Paru6
Terapi
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT6,9.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut6,9:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.

14
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi dalam 2 bulan).
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia6,9:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.6,9
Paduan OAT dan peruntukannya6,9:
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

15
 Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 16,9
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel 2.2 Dosis panduan OAT-Kombipak untuk Kategori 16

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 26


Berat Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali
Badan (150/75/400/275) seminggu RH (150/150)
+ E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tab 4 KDT + 2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT +
500mg Streptomisin inj 2 tab Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4 KDT + 3 tab 4 KDT 3 tab 2 KDT +
750mg Streptomisin inj 3 tab Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4 KDT + 4 tab 4 KDT 4 tab 2 KDT +
1000mg Streptomisin inj 4 tab Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4 KDT + 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT +
1000mg Streptomisin inj 5 tab Etambutol

Tabel 2.4. Dosis panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


16
Efek Samping OAT :
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek
samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan6,9.

Tabel 2.5. Efek samping ringan OAT dan Penatalaksanaannya3


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum
sakit perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x
terbakar di kaki 100 mg perhari
Warna kemerahan pada Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
air seni diberi apaapa

Tabel 2.6. Efek samping berat OAT dan Penatalaksanaannya6

17
Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin &
kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Dihentikan
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik / Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik menghilang
disingkirkan) dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &
(suspected drug-induced lakukan uji fungsi hati
pre-icteric hepatitis)
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

2.9 Pemantauan Hasil Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasadilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan denganpemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
LajuEndap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuanpengobatan karena tidak
spesifik untuk TB.Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakannegatif bila ke 2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimenpositif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.6
Tabel 2.7. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak9

18
2.10 Tuberkulosis dengan Multidrug-Resistant (TB-MDR)
TB-MDR adalah keadaan penyakit tuberkulosis yang bakteri penyebabnya telah
menjadi resisten sekurang-kurangnya terhadap dua jenis OAT yang paling efektif yaitu
isoniazid dan rifampicin.9 Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT
termasuk jenis MDR-TB, yaitu:
 penggunaan obat yang tidak adekuat,
 pemberian obat yang tidak teratur,
 evaluasi dan cakupan yang tidak adekuat,
 penyediaan obat yang tidak reguler, dan
 program yang belum berjalan serta kurangnya tata organisasi di program.9
Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) diobati
dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti-tuberkulosis lini-2, misalnya
golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon. Pengobatan untuk
pasien ini setidaknya menggunakan empat obat yang masih efektif dan pengobatan harus
diberikan paling sedikit 18 bulan. Menurut WHO, pengobatan TB-MDR diberikan selama
18-24 bulan setelah sputum konversi.9, Dibandingkan dengan OAT lini-1, OAT lini-2 ini
jumlahnya terbatas, efektivitasnya belum jelas, dan tidak tersedia secara gratis untuk pasien
TB-MDR. Sampai saat ini, belum ada data atau penelitian yang memberikan bukti tentang
keberhasilan pengobatan TB-MDR dengan OAT lini-2. Lebih jauh lagi, rejimen obat, dosis,

19
dan lama pengobatan OAT lini-2 untuk TB-MDR yang tidak sesuai dapat mengakibatkan
TB-XDR (extensively drug-resistant TB). TB-XDR ini ditandai dengan resistensi bakteri
terhadap isoniazid dan rifampicin, ditambah dengan resistensi satu obat apapun dari golongan
fluoroquinolone, dan salah satu dari OAT jenis injeksi (amikasin, kanamisin, atau
capreomisin).9

2.11 Situasi TB di Indonesia

Indonesia sekarang berada pada ranking kedua negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 330729 Keberhasilan pengobatan
mencapai 84 % dari data pada tahun 2014.5
Angka MDR-TB diperkirakan mencapai 1519 kasus MDR TB setiap tahunnya. Dan
TB XDR Mencapai 22 kasus.5
Usaha keras yang dilakukan berhasil membawa Indonesia sebagai negara pertama di
Regional Asia Tenggara yang mencapai target TB global yang dicanangkan waktu itu yaitu
Angka Penemuan Kasus (Crude Detection Rate/CDR) diatas 70% dan Angka Keberhasilan
Pengobatan (Treatment Success Rate/ TSR) diatas 85% pada tahun 2006. Dalam RPJMN
2015 - 2019, Indonesia tetap memakai prevalensi TB, yaitu 272 per 100.000 penduduk secara
absolut (680.000 penderita) dan hasil survey prevalensi TB 2013 - 2014 yang bertujuan untuk
menghitung prevalensi TB paru dengan konfirmasi bakteriologis pada populasi yang berusia
15 tahun ke atas di Indonesia menghasilkan : 1). Prevalensi TB paru smear positif per
100.000 penduduk umur 15 tahun ke atas adalah 257 (dengan tingkat kepercayaan 95% 210 -
303) 2). Prevalensi TB paru dengan konfirmasi bakteriologis per 100.000 penduduk umur 15
tahun ke atas adalah 759 (dengan interval tingkat kepercayaan 95% 590 - 961) 3). Prevalensi
TB paru dengan konfirmasi bakteriologis pada semua umur per 100.000 penduduk adalah
601 (dengan interval tingkat kepercayaan 95% 466 - 758); dan 4). Prevalensi TB semua
bentuk untuk semua umur per 100.000 penduduk adalah 660 ( dengan interval tingkat
kepercayaan 95% 523 - 813), diperkirakan terdapat 1.600.000 (dengan interval tingkat
kepercayaan 1.300.000 - 2.000.000) orang dengan TB di Indonesia.

Saat ini Angka Prevalensi TB BTA Positif pada daerah Jakarta timur dari Suku Dinas
Kesehatan adalah 399/100.000 Penduduk.10

20
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam
penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan
disparitas antar wilayah.
Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus
(CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.

Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA
positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%. Angka-angka ini
merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya mengingat
tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan
rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.10

2.11 Program TB Global

21
Program TB global WHO bertujuan untuk meningkatkan akses pencegahan penyakit
TB, perawatan serta kontrol penyakit TB.

FUNGSI INTI
1. Memberikan arahan secara menyeluruh pada hal-hal penting mengenai TB;
2. Mengembangkan kebijakan berbasis bukti, strategi dan standar untuk pencegahan TB,
perawatan dan kontrol, serta memantau pelaksanaannya;
3. Bersama dengan WHO regional dan negara, memberikan dukungan teknis kepada
negara anggota, mempercepat perubahan, dan membangun kapasitas berkelanjutan;
4. Memantau situasi TB global, serta mengukur kemajuan perawatan pasien TB dan
pembiayaannya
5. Membentuk agenda penelitian TB
6. Memfasilitasi dan terlibat dalam kemitraan untuk tindakan TB

Visi dari strategi pemberantasan TB tahun 2015 adalah “ dunia bebas tuberculosis”,
yang ditunjukkan dengan cara “tidak ditemukannya angka kejadian dan kematian akibat TB”.
Tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri epidemi TB, Target dari Millenium Development
Goal untuk “menghentikan dan mulai menurunkan angka kejadian TB tahun 2015” sudah
tercapai.
Terdapat dua pencapaian penting yang harus dilaksanakan untuk menurunkan angka
kejadian TB sebanyak 75% pada tahun 2025 dibandingkan tahun 2015. Pertama penurunan
tingkat insiden TB global yang harus dipercepat dari rata-rata 2% per tahun pada tahun 2015
menjadi 10% per tahun pada tahun 2025. Kedua, proporsi kejadian kasus kematian akibat
tuberkulosis (kasus fatalitas rasio) harus menurun dari 15%pada tahun 2015 menjadi 6,5%
pada tahun 2025.
Vaksin yang dapat bekerja efektif sebelum dan setelah paparan, penegakan diagnosis
yang lebih baik, serta pengobatan yang lebih aman untuk TB laten akan sangat dibutuhkan.
Perlengkapan yang sudah ada sekarang ditambah dengan jaminan kesehatan dan
perlindungan sosial merupakan permulaan yang baik, namun tidak akan cukup untuk
mencapai taget 2035. Untuk itu persedian alat- alat baru dalam penelitian dan pembangunan
akan diperlukan. Gambar dibawah menunjukkan percepatan penurunan angka kejadian TB

22
secara global dengan optimasi alat baru serta dikombinasikan dengan kemajuan jaminan
kesehatan dan perlindungan sosial.

Gambar: Target akselerasi proyeksi penurunan tingkat kejadian TB secara global

VISI Dunia bebas TB

- Tidak ada angka kematian,tidak ada angka penemuan


penyakit dan terbebas dari TB
TUJUAN Berakhirnya epidemi TB

MILESTON Penurunan angka kematian akibat TB sebanyak 75%


ES 2025 (dibandingkan 2015)

Penurunan angka kejadian TB sebanyak 50% (kurang dari


55 kasus TB per 100.000 penduduk.)

TARGET Penurunan angka kematian akibat TB sebanyak 95%


2035 (dibandingkan 2015)

Peurunan angka kejadian TB sebanyak 90 % ( kurang dari


10 kasus TB per 100.000 penduduk)

PRINSIP

23
1. Tanggung jawab pemerintah dengan cara mengawasi dan mengevaluasi

2. Bekerjasama dengan organisasi setempat dan masyarakat

3. Perlindungan dan promosi hak asasi manusia, etika dan keadilan

4. Adaptasi dari strategi dan target di tingkat negara dan berkolaborasi secara
menyeluruh

PILAR DAN KOMPONEN

1. INTEGRASI, PERAWATAN PASIEN, PENCEGAHAN

a. diagnosis awal tuberculosis termasuk tes resistensi obat, dan penyaringan


terhadap kontak serta kelompok resiko tinggi.

b. Pengobatan terhadap semua penderita tuberculosis termasuk MDR dan dukungan


terhadap pasien

c. Kolaborasi kegiatan TB/HIV dan pengelolaan komorbiditas

d. Pengobatan pencegahan pada kelompok resiko tinggi, dan vaksinasi

2. KEBIJAKAN YANG TEGAS DAN SISTEM YANG MENDUKUNG

a. Komitmen politik dengan sumber daya yang adekuat untuk penyembuhan dan
pencegahan TB

b. Kesepakatan dari masyarakat, organisasi setempat, dan petugas kesehatan


pemerintah maupun swasta

c. Jaminan kesehatan secara menyeluruh, pengaturan alur pelaporan kasus,


penggunaan obat yang rasional dan pengendalian infeksi.

d. Perlindungan sosial, pemberantasan kemiskinan, dan tindakan pada faktor-faktor


penentu tuberkulosis lainnya

3. PENELITIAN DAN INOVASI

a. Penemuan , pengembangan dan perkembangan alat-alat baru, intervensi dan


strategi

24
b. Penelitian untuk mengoptimalkan pelaksanaan dan dampak, serta
mempromosikan inovasi

Program Penanggulangan TB di Indonesia


Pada tahun 1995, program penanggulangan TB nasional mulai menerapkan strategi
DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. DOTS adalah strategi penyembuhan
TB Paru jangka pendek dengan pengawasan secara langsung.Sejak tahun 2000 strategi DOTS
dilaksanakan secara nasional di seluruh Unit Pelayanan Puskesmas terutama Puskesmas yang
diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) terdiri 5 kunci:6
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus
yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Visi penanggulangan TB di Indonesia adalah masyarakat yang mandiri dalam hidup sehat
dimana tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Sedangkan misinya
adalah menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan yang
bermutu, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB, menurunkan resiko
penularan TB dan mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB. Target program
penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit
70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta
mempertahankanya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian
akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan
Millennium Development Goals (MDG’s) pada tahun 2015.6
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakanbeberapa
indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu :
• Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dandiobati
dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.

25
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada
wilayah tersebut.
Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam
TB.07 X 100%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA Positif

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan


angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case
Detection Rate Program Penanggulangan TuberkulosisNasional minimal 70%.
• Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Adalah angka yang menunjukkan prosentase pasienbaru TB paru BTA positif yang
menyelesaikan pengobatan (baik yangsembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien
baru TB paru BTA positif yang tercatat.Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan
dari angkakesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Cara menghitung angka keberhasilan
pengobatan :
Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan
lengkap) X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati

Sedangkan Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien


baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru
TB paru BTA positif yang tercatat.Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Cara
menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif :
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg
sembuh X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg
diobati

Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus
retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan
dari pengendalian Tuberkulosis. Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas
penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 %
dalam beberapa tahun.
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan
menggunakan strategi DOTS. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari

26
surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan
sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas
yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.5
Adapun strategi penemuan pasien TB adalah sebagai berikut:
 Dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan
di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat.
 Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada
keluarga anak yang menderita TB yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.

Pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara administrative berada di


bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan, yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan
P2PL (Subdit Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan Puskesmas
berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan merupakan tulang punggung layanan TB
dengan arahan dari subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah sakit berada di bawah
Ditjen Bina Upaya Kesehatan.
Sasaran strategi nasional pengendalian TB mengacu pada rencana strategis kementerian
kesehatan dari 2010 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per
100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah: (1)
meningkatkan persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73%
menjadi 90%; (2) meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru
(BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan persentase provinsi dengan CDR di atas 70%
mencapai 50%; (4) meningkatkan persentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas
85% dari 80% menjadi 88%.

27
Guna mencapai sasaran-sasaran di atas maka strategi-strategi yang akan dilaksanakan
adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu
2) Menangani TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan masyarakat miskin serta rentan lainnya
3) Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat dan swasta
mengikuti International Standards of TB Care
4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB
5) Memperkuat sistem kesehatan, termasuk pengembangan SDM dan manajemen program
pengendalian TB
6) Meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7) Meningkatkan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi stratejik

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam
sistem informasi penanggulangan TBC. Untuk itu pencatatan & pelaporan perlu dibakukan
berdasar klasifikasi dan tipe penderita. Semua unit pelaksana program penanggulangan TBC
harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.Formulir pencatatan
dan laporan yang digunakan dalam penanggulangan TBC Nasional adalah:

TB 1. Kartu pengobatan TB

TB 2. Kartu identitas penderita

TB 3. Register TB kabupaten

TB 4. Register Laboratorium TB

TB 5. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak

28
TB 6. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS

TB 7. Laporan Triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh

TB 8. Laporan Triwulan Hasil Pengobatan Penderita TB Paru yang terdaftar 12 -


15bulan lalu

TB 9. Formulir rujukan/pindah penderita

TB 10. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan

TB 11. Laporan Triwulan Hasil Pemeriksaan Dahak Akhir Tahap Intensif untuk
penderita terdaftar 3 - 6 bulan lalu

TB 12. Formulir Pengiriman Sediaan Untuk Cross Check

TB 13. Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di kabupaten

Indikator keberhasilan program TB dinilai dari 10 indikator di bawah ini:

 Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
 Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
 Angka Penjaringan Suspek
 Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa
dahaknya
 Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
 Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
 Angka Notifikasi Kasus (CNR)
 Angka Konversi
 Angka Kesembuhan
 Angka Kesalahan Laboratorium

DAFTAR PUSTAKA

29
1. WHO Global Tuberculosis Report 2016. Available :
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/ (Akses : 20 Desember 2016)
2. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Jakarta 2002.
3. Daniel TM. Tuberculosis. In: Isselbacher, et al (Eds). Horrison’s Principles of internal
Medicine. Vol 1.13rd ed. 2004. 710-717
4. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
3. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009.
5. Pusat Komunikasi Publik Depkes RI. 2011. TBCMasalah Kesehatan Dunia.
Available: http://www.depkes.go.id/article/view/1444/tbc-masalah-kesehatan-
dunia.html (Akses: 20 Desember 2016)
6. Manaf A, Pranoto A, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Cetakan pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2007.
7. Amrullah A. 2011. Faktor-Faktor Resiko Tuberkulosis (TB Paru - TBC). Available :
http://blogkesmas.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-resiko-tuberkulosis-tb.html
8. Nawas MA. Pemeriksaan sputum BTA pada diagnostik tuberculosis paru. J Respir
Indo 2003;23:16
9. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta 2014
10. Dinas Kesehatan?????

30

Anda mungkin juga menyukai