Jika terpaksa ada hal darurat yang kita harus melakukan safar tanpa mahram,
ada hal hal yang harus diperhatikan karena Islam telah mengatur mengenai adab-
adab keluar bagi seorang wanita, yaitu:
Lalu, bagaimana cara berwudhu jika kita berada di tempat umum yang
terbuka? Berdasarkan riwayat dari ‘Amru bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, dari
bapaknya, beliau berkata: “Aku pernah melihat Nabi ﷺmengusap
bagian atas surbannya dan kedua khufnya.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari
(1/308 no. 205) dan lainnya]
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Ummu Salamah (istri Nabi
)ﷺ, bahwa beliau berwudhu dan mengusap kerudungnya. [Disebutkan
oleh Ibnu Qudamah dari Ibnu Al-Mundzir]. Karena itu, wanita yang berwudhu di
tempat umum TIDAK BOLEH melepas jilbabnya, namun cukup mengusap bagian
atas jilbabnya.Dijelaskan oleh ulama bahwa tutup kepala boleh diusap, jika
memenuhi dua syarat:
Kita ingat kaidah yang menyebutkan: “Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang
dengan keraguan.” Keragu-raguan atau kekhawatiran kita terkena najis TIDAK
BISA dijadikan dasar tidak bolehnya wudhu di kamar mandi, kecuali setelah kita
benar-benar yakin, bahwa jika wudhu di kamar mandi kita akan terkena/ terpeciki
najis. Jika kita telah memastikan bahwa lantai kamar mandi bersih dari najis, dan
kita yakin tidak akan terkena/ terperciki najis, maka insya Allah tak mengapa
wudhu di kamar mandi.
Bagaimana bila kita yakin bahwa bila wudhu di kamar mandi kita akan
terkena/ terperciki najis?
1. Dengan alasan terkena najis, maka sebaiknya tidak wudhu di kamar mandi
atau disiram dulu sampai bersih.
2. Alternatif lainnya adalah dengan cara mengusap jilbab tanpa harus
membukanya.Tentu timbul pertanyaan lain, bagaimana dengan tangan? Jika
jilbab kita sesuai dengan syariat, insya Allah hal ini bisa diatasi. Karena
bagian tangan yang perlu dibasuh bisa dilakukan di balik jilbab kita yang
terulur panjang. Sehingga tangan kita tidak akan terlihat oleh umum, insya
Allah.
Tata Cara Menjamak Sholat Secara Taqdim dan Takhir sesuai Sunnah Nabi
Muhammad SAW
Shalat qashar adalah shalat yang diringkas bilangan rakaatnya pada shalat
fardlu yang mestinya empat rakaat dikerjakan dua rakaat saja. Shalat fardlu yang
boleh diqashar hanya Dluhur, Ashar, dan ’Isya. Sedangkan Maghrib dan subuh
tetap dikerjakan sebagaimana biasanya dan tidak boleh diqashar.
Jadi seseorang disebut musafir jika memenuhi tiga syarat, yaitu: Niat, keluar
dari daerahnya dan memenuhi jarak tertentu. Jika seseorang keluar dari daerahnya
tetapi tidak berniat safar maka tidak dianggap musafir.
Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat musafir tetapi tidak keluar dari
daerahnya maka tidak dianggap musafir. Begitu juga jarak yang ditempuh
menentukan apakah seseorang dianggap musafir atau belum, karena kata safar
biasanya digunakan untuk perjalanan jauh.
Jama’ antara dua shalat, pada waktu safar dibolehkan. Shalat yang boleh
dijama’ adalah shalat Dluhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan
Isya.Mengqhasar Sholat bagi Musafir
Hikmah adanya shalat qashar bagi musafir adalah untuk menolak atau
menghindari kesulitan yang terkadang dihadapi musafir di perjalanan. Dan sebab
disyariatkannya qashar adalah karena dalam perjalanan yang panjang menurut
Jumhur selain Hanafiyah.
bnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4
burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 M sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Waktu yang dibolehkan dalam Mengqoshor Sholat adalah 4 hari, selain hari masuk
kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah melewati 4 hari ia harus melakukan
shalat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia
senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.