Anda di halaman 1dari 7

Muslimah Ketika Safar

Islam memuliakan wanita. Diantara bentuk pemuliaan kepada wanita adalah,


Islam melarang semua hal yang bisa membahayakan wanita atau membuatnya
menjadi fitnah bagi lelaki. Dan diantara hal yang bisa membahayakan seorang
wanita adalah ketika ia bersafar tanpa disertai mahramnya.

Bagimana si Hukumnya Melakukan Perjalanan Jauh Bagi Wanita Tanpa


Mahram?

Berikut beberapa dalil-dalil larangan bersafar tanpa mahram bagi wanita :

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’ahu, Nabi Shallallahu’alaihi


wasallam bersabda: “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama
mahramnya. Dan lelaki tidak boleh masuk ke rumahnya kecuali ada mahramnya”.
Maka seorang sahabat berkata: “wahai Rasulullah, aku berniat untuk berangkat
(jihad) perang ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji”. Nabi bersabda:
“temanilah istrimu berhaji” (HR. Bukhari no. 1862, Muslim no. 1341).

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah, radhiallahu’anhu: “Tidak boleh


seorang wanita bersafar yang jaraknya 1 barid, kecuali bersama mahram” (HR. Al
Bazzar no.8426, dinilai lemah oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah no.
5727, ia berkata: “syadz dengan lafadz ‘1 barid‘”).

Dan dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi


wasallam bersabda: “Seorang wanita tidak boleh bersafar selama tiga hari kecuali
bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086).

Jika terpaksa ada hal darurat yang kita harus melakukan safar tanpa mahram,
ada hal hal yang harus diperhatikan karena Islam telah mengatur mengenai adab-
adab keluar bagi seorang wanita, yaitu:

1.Berhijab (memakai hijab yang syar’i)

2.Tidak memakai wewangian

3.Pelan-pelan dalam berjalan, agar tidak terdengar suara sendalnya.

4. Hendaklah meminta izin kepada suaminya, jika ia telah berkeluarga.


5. Jangan berdesak-desakan dengan pria.

6. Hendaknya ia menundukan pandangannya.

7.Janganlah menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya, jika bermaksud


untuk tampil cantik (berhias) dengan perbuatan itu.
Seorang muslimah yang melakukan safar, gimana si tata cara wudhu yang
benar?

Kondisi paling aman bagi Muslimah adalah berwudhu di ruangan tertutup,


sehingga ketika Muslimah hendak menyempurnakan mengusap atau membasuh
anggota tubuh yang wajib dikenakan air wudhu, auratnya tidak terlihat oleh orang-
orang yang bukan mahramnya. Sayangnya, tidak semua masjid menyediakan
tempat wudhu yang berada di ruangan tertutup.

Lalu, bagaimana cara berwudhu jika kita berada di tempat umum yang
terbuka?  Berdasarkan riwayat dari ‘Amru bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, dari
bapaknya, beliau berkata: “Aku pernah melihat Nabi ‫ ﷺ‬mengusap
bagian atas surbannya dan kedua khufnya.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari
(1/308 no. 205) dan lainnya]

Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Ummu Salamah (istri Nabi
‫)ﷺ‬, bahwa beliau berwudhu dan mengusap kerudungnya. [Disebutkan
oleh Ibnu Qudamah dari Ibnu Al-Mundzir]. Karena itu, wanita yang berwudhu di
tempat umum TIDAK BOLEH melepas jilbabnya, namun cukup mengusap bagian
atas jilbabnya.Dijelaskan oleh ulama bahwa tutup kepala boleh diusap, jika
memenuhi dua syarat:

1. Menutupi seluruh bagian kepala.

2. Terdapat kesulitan untuk melepaskannya.

Alternatif lain adalah dengan wudhu di kamar mandi. Sebagian orang


merasa khawatir dan ragu-ragu, bila wudhu di kamar mandi wudhunya tidak sah,
karena kamar mandi merupakan tempat yang biasa digunakan untuk buang hajat,
sehingga kemungkinan besar terdapat najis di dalamnya. Wudhu di kamar mandi
hukumnya boleh, asalkan tidak dikhawatirkan terkena/ terpercik najis yang
mungkin ada di kamar mandi.

Kita ingat kaidah yang menyebutkan: “Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang
dengan keraguan.” Keragu-raguan atau kekhawatiran kita terkena najis TIDAK
BISA dijadikan dasar tidak bolehnya wudhu di kamar mandi, kecuali setelah kita
benar-benar yakin, bahwa jika wudhu di kamar mandi kita akan terkena/ terpeciki
najis. Jika kita telah memastikan bahwa lantai kamar mandi bersih dari najis, dan
kita yakin tidak akan terkena/ terperciki najis, maka insya Allah tak mengapa
wudhu di kamar mandi.

Sedangkan pelafalan “Bismillah” di kamar mandi, menurut pendapat yang


lebih tepat adalah BOLEH melafalkannya di kamar mandi. Hal ini dikarenakan
membaca Bismillah pada saat wudhu hukumnya wajib, sedangkan menyebut nama
Allah di kamar mandi hukumnya makruh. Kaidah mengatakan, bahwa “Makruh itu
berubah menjadi mubah jika ada hajat. Dan melaksanakan kewajiban adalah
hajat.”

Bagaimana bila kita yakin bahwa bila wudhu di kamar mandi kita akan
terkena/ terperciki najis?

1. Dengan alasan terkena najis, maka sebaiknya tidak wudhu di kamar mandi
atau disiram dulu sampai bersih.
2. Alternatif lainnya adalah dengan cara mengusap jilbab tanpa harus
membukanya.Tentu timbul pertanyaan lain, bagaimana dengan tangan? Jika
jilbab kita sesuai dengan syariat, insya Allah hal ini bisa diatasi. Karena
bagian tangan yang perlu dibasuh bisa dilakukan di balik jilbab kita yang
terulur panjang. Sehingga tangan kita tidak akan terlihat oleh umum, insya
Allah.

Permasalahan selanjutnya yaitu saat melakukan sholat jama pada saat


melakukan safar

Secara bahasa jama’ diartikan dengan mengumpulkan, sedangkan secara istilah


diartikan mengumpulkan dua sholat lima waktu yang dilakukan dalam satu waktu.
Semisal menggabungkan dzuhur dan ashar, magrib dan isya berdasarkan ketentuan
yang akan kami bahas pada paragraf-paragraf selanjutnya
Shalat jama’ terdiri dari dua macam, yaitu jamak taqdiem dan jamak ta’khir. Jama’
taqdiem adalah menggabungkan shalat antara shalat Dluhur dan Asar yang
dilakukan pada waktu Dhuhur dan shalat Maghrib dan Isya’ yang dilakukan pada
waktu Maghrib (baca: tuntunan sholat lengkap). Sedangkan jama’ ta’khir adalah
menggabungkan shalat antara shalat Zhuhur dan Asar yang dilakukan pada waktu
Ashar dan shalat Maghrib dan Isya’ yang dilakukan pada waktu Isya’.

Menurut Jumhur ulama’ selain Hanafiah berpendapat bahwa boleh menjama’


shalat dluhur dengan ’Ashar secara taqdiem pada waktu pertama (dluhur) dan
ta’khir pada waktu yang kedua (ashar), shalat Maghrib dengan shalat Isya’ didalam
safar yang panjang. Shalat Jum’at sama halnya dengan shalat Dluhur dalam jama’
taqdiem.

Tata Cara Menjamak Sholat Secara Taqdim dan Takhir sesuai Sunnah Nabi
Muhammad SAW

1. Cara Jamak Taqdim


- Berniat shalat jama’, artinya berniat jama’ taqdiem pada shalat yang
pertama.
- Tertib. Dimulai pada shalat yang pertama (Maghrib atau Dluhur) sebagai
shahibul wakt
Dilakukan secara beruntun artinya, tidak dipisah oleh apapun dalam waktu
yang lama dan seandainya dipisah oleh waktu yang lama walaupun ada uzur
seperti pingsan atau lupa maka jama’nya tetap batal dan wajib mengakhirkan
shalat Ashar atau Isya pada waktunya. Tapi apabila pemisahnya tidak terlalu
lama, seperti adzan, iqamat atau bersuci, maka tidak mengapa. Sebagaimana
terdapat dalam riwayat shahahaini, dari Usamah bahwa Nabi tatkala
menjama’ shalat di Namirah beliau menyelingi dua shalat dengan Iqamat.
2. Syarat Jamak Takhir
- Niat jama’ ta’khir sebelum memasuki shalat Dhuhur atau Maghrib.
- Safar masih berlangsung sampai memasuki waktu shalat Ashar atau
Isya’.
Tata Cara Mengqhosor Sholat sesuai Sunnah Nabi SAW

Shalat qashar adalah shalat yang diringkas bilangan rakaatnya pada shalat
fardlu yang mestinya empat rakaat dikerjakan dua rakaat saja. Shalat fardlu yang
boleh diqashar hanya Dluhur, Ashar, dan ’Isya. Sedangkan Maghrib dan subuh
tetap dikerjakan sebagaimana biasanya dan tidak boleh diqashar.

Sebab-Sebab Dibolehkannya Menjamak Sholat Lima Waktu

Orang-orang yang membolehkan jama’ baik secara taqdiem maupun ta’khir


sepakat tentang akan adanya jama’ dalam tiga hal yaitu, safar, sakit, hujan, dan
semisalnya seperti dingin, berembun, dan berlumpur yang tebal.

1. Sholat dijamak karena Safar

Safar secara bahasa berarti: Melakukan perjalanan, lawan dari iqomah.


Orangnya dinamakan musafir lawan dari muqim. Sedangkan secara istilah, safar
adalah: Seseorang keluar dari daerahnya dengan maksud ke tempat lain yang
ditempuh dalam jarak tertentu.

Jadi seseorang disebut musafir jika memenuhi tiga syarat, yaitu: Niat, keluar
dari daerahnya dan memenuhi jarak tertentu. Jika seseorang keluar dari daerahnya
tetapi tidak berniat safar maka tidak dianggap musafir.

Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat musafir tetapi tidak keluar dari
daerahnya maka tidak dianggap musafir. Begitu juga jarak yang ditempuh
menentukan apakah seseorang dianggap musafir atau belum, karena kata safar
biasanya digunakan untuk perjalanan jauh.

Jama’ antara dua shalat, pada waktu safar dibolehkan. Shalat yang boleh
dijama’ adalah shalat Dluhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan
Isya.Mengqhasar Sholat bagi Musafir

Hikmah adanya shalat qashar bagi musafir adalah untuk menolak atau
menghindari kesulitan yang terkadang dihadapi musafir di perjalanan. Dan sebab
disyariatkannya qashar adalah karena dalam perjalanan yang panjang menurut
Jumhur selain Hanafiyah.
bnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4
burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 M sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Waktu yang dibolehkan dalam Mengqoshor Sholat adalah 4 hari, selain hari masuk
kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah melewati 4 hari ia harus melakukan
shalat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia
senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.

3. Sholat Dijamak Karena Sakit


Sebagaian ulama membolehkan jama’ tanpa uzur kalau ada keperluan penting
sepanjang tidak dibiasakan terus menerus. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Sirin,
Asyhab dari mazhab Maliki, al-Qaffal dan as-Syasyi al-Kabiri dari mahzab Syafi’i,
dan segolongan ahli hadis dan ini dipilih oleh Ibnu al-Munzir.
Ibnu mundzir mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mentakwil hadis Ibnu
Abbas itu dengan uzur tertentu, karena Ibnu Abbas sendiri menegaskan maksud
Rasulullah melakukan yang demikian, yaitu untuk memberikan kelapangan pada
umatnya.
Bahwa hadis tentang jamak shalat bukan dalam perjalanan itu tidak dilakukan
dengan qasar, jadi hanya jama’ saja. (Tanya Jawab Tim Tarjih) Adapun orang
sakit, seperti sakit perut atau semisalnya boleh melakukan jama’, tidak denagn
qasar (ringkas). Sebagai pilihan boleh melakukan shalat yang pertama (Dhuhur
atau Maghrib) diakhir waktu, kemudian kemudian melakukan shalat yang kedua
(Ashar atau Isya’) di awal waktu. Untuk menghilangkan kesusahan.
Barang siapa takut akan pingsan, pusing, demam, pada waktu shalat yang kedua
(Ashar atau Isya’) maka shalat yang kedua itu dimajukan ke shalat yang pertama
(Dhuhur atau Maghrib), jama’ taqdiem.
Sebagai kongklusi dari jama’ bagi orang yang sakit itu sesungguhnya shalat
yang dijama’ disebabkan takut akan tidak sadar (hilang akal), atau apabila jama’
itu lebih menolong dan memudahkan dan waktunya pada shalat yang pertama atau
secara taqdiem. (Fiqh Islam wa Adillatuhu).

4. Sholat Dijama Karena Hujan atau Dingin, Berembun, berlumpur


Orang yang menghadapi hal di atas boleh melakun jama’ taqdiem saja tentunya
hanya bagi orang yang melakukan shalat Maghrib dan Isya’ secara jama’ah di
masjid. Walaupun hujan berhenti setelah adanya rukhsah boleh melanjutkan jama’.
Setelah jama’ telah dilakukan jama’ah pulang ke rumah masing-masing tanpa
melakukan shalat nawafil (rawatib) karena pada saat itu dimakruhkan, sehingga
tidak ada nawafil setelah jama’ di masjid.
Tidak boleh melakukan jama’ ini bagi orang yang bertetangga dengan mesjid
(dekat dengan masjid) jika tidak melakukan shalat jama’ah, walau disebabkan
karena sakit atau perempuan perempuan yang tidak takut fitnah apabila keluar
untuk jama’ah. Tidak pula bagi orang yang shalat di masjid sendirian kecuali
apabila ia seorang imam shalat. (Fiqh Islam wa Adillatuhu)
Melakukan shalat jama’ karena hujan, bukan karena sebab ada hujan turun kita
dapat melakukan shalat jama’, tetapi merupakan hukum rukhsoh. Artinya
kemurahan bagi orang yang bisa melakukan shalat berjama’ah di masjid. Tidak
untuk orang yang shalat di rumah..

5. . Sholat dijamak Karena Ada Hajat

Anda mungkin juga menyukai