Anda di halaman 1dari 4

Kelompok 8

1. Indrawan Prasetyo 201710070311056


2. Lista Ayu M 201710070311064
3. Iin Indah Prasetya W 201710070311072
4. Indah Permatasari 201710070311076
5. Nilna Himawati N 201710070311080
BAB 4
HABITAT DAN RELUNG EKOLOGI
A. HABITAT
1. Pengertian Habitat
Secara umum habitat menunjang corak lingkungan yang ditempati populasi itu
dlam kaitan hubungan dengan faktor-faktor lingkungan biotik dan abiotik. Habitat
suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat kemana seseorang
harus pergi untuk menemukan organisme tersebut. Istilah habitat banyak digunakan ,
tidak saja dalam ekologi tetapi dimana saja. Tetapi pada umumnya istilah ini diartikan
sebagai tempat hidup suatu makhluk hidup.
Contohnya habitat Notonecta (sejenis binatang air) adalah daerah-daerah
kolam, danau dan perairan yang dangkal yang penuh ditumbuhi vegetasi. Habitat ikan
mas (Cyprinus carpio) adalah di perairan tawar, habitat pohon durian (Durio
zibhetinus) adalah di tanah darat dataran rendah. Pohon enau tumbuh di tanah darat
dataran rendah sampai pegunungan, dan habitat eceng gondok di perairan terbuka.
Menurut Sambas Wirakusumah dalam Dasar-Dasar Ekologi, habitat adalah
toleransi dalam orbit dimana suatu spesies hiduptermasuk faktor lingkungan yang
cocok dengan syarat hidupnya. Orbit adalah ruang kehidupan spesies lingkungan
geografi yang luas, sedangkan habitat menyatakan ruang kehidupan lingkungan
lokasinya. Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi
yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat
merupakan organism-specific: ini menghubungkan kehadiran species, populasi, atau
idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik
biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau struktur vegetasi; merupakan
jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species. Dimanapun suatu organisme
diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan hidup, itulah
yang disebut dengan habitat.
Habitat tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat merupakan sebuah istilah
yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya berkenaan dengan tipe
asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu
tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan vegetasi (seperti hutan
pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa digunakan ketika mendiskusikan hubungan antara
satwa liar dan habitatnya. Ketika kita ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan
oleh satwa liar, kita dapat mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya.
Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen fisik dan biologi
yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya
menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat
tersebut (Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis
sumberdaya yang tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir
tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut pandang satwa
(Litvaitis et al., 1994). Kita dapat menghitung kelimpahan species prey untuk suatu
predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua prey yang ada di
dalam habitat dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan, seperti ketersediaan
cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas predator untuk memangsa prey. Hal
yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di luar jangkauan suatu satwa
sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi itu merupakan kesukaan satwa
tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber daya aktual merupakan hal yang
penting untuk memahami hubungan antara satwa liar dan habitatnya, dalam praktek
jarang dilakukan karena sulitnya dalam menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan
apa yang tidak tersedia (Wiens 1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi
ketersediaan sumberdaya biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan
sumberdaya sebelum dan sesudah digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan,
daripada ketersediaan aktual. Ketika aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan
terhadap suatu satwa, analisis untuk menaksir kesukaan habitat dengan
membandingkan penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang penting.
2. Makrohabitat dan Mikrohabitat
Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya
tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan terhadap satwa
menjadi pertanyaan. (Johnson, 1980). Dengan demikian makrohabitat dan
mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang berkenaan dengan
spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala
yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan, 1993) yang biasanya
disamakan dengan level pertama seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat
biasanya menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, yang merupakan faktor penting
pada level 2-4 dalam hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat
untuk menggunakan istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah pandangan
relatif, dan pada skala penerapan yang ditetapkan secara eksplisit.
Batas antara mikrohabitat yang satu dengan mikrohabitat yang lain tidaklah
nyata, namun demikian mikrohabitat memegang peranan penting dalam menentukan
keanekaragaman jenis yang mempengaruhi habitat itu. Contoh makrohabitat dan
mikrohabitat : Organisme penghancur (pembusuk) daun hanya hidup pada lingkungan
sel-sel daun lapisan atas fotosintesis, sedangkan spesies organisme penghancur
lainnya hidup pada sel-sel daun bawah pada lembar daun yang sama hingga mereka
hidup bebas tidak saling mengganggu. Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di
atas disebut mikrohabitat sedangkan keseluruhan daun dalam lingkungan makro
disebut makrohabitat.
Habitat dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan makhluk hidup yang
menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas
atas disebut titik maksimum. Antara dua kisaran itu terdapat titik optimum. Ketiga
titik itu yaitu titik minimum, titik maksimum dan titik optimum disebut titik cardinal.
Apabila sifat habitat berubah sampai diluar titik minimum atau maksimum, makhluk
hidup itu akan mati atau harus pindah ke tempat lain. Misalnya jika terjadi arus terus-
menerus di pantai habitat bakau, dapat dipastikan bakau tersebut tidak akan bertahan
hidup . Apabila perubahannya lambat, misalnya terjadi selama beberapa generasi,
makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru di luar batas
semula.Melalui proses adaptasi itu sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang
mempunyai sifat lain yang disebut varietas baru atau ras baru bahkan dapat terbentuk
jenis baru.
Berdasarkan variasi habitat menurut waktu dibagi menjadi 4 macam
(Kramadibrata,1996) yaitu :
1. Habitat yang konstan Yaitu habitat yang kondisinya terus-menerus relatif baik
atau kurang baik.
2. Habitat yang bersifat memusim Yaitu habitat yang kondisinya relatif teratur
berganti-ganti antara baik dan kurang baik.
3. Habitat yang tidak menentu Yaitu habitat yang mengalami suatu periode dengan
kondisi baik yang lamanya bervariasi diselang-selingi oleh periode dengan kondisi
kurang baik yang lamanya juga bervariasi sehingga kondisinya tidak dapat
diramal.
4. Habitat yang ephemeral Yaitu habitat yang mengalami periode dengan kondisi
baik yang berlangsung relatif singkat diikuti oleh suatu periode dengan kondisi
yang kurang baik yang berlangsungnya lama sekali ( Kramadibrata, 1996).

Habitat sebagai fungsi dari ruang dapat dikenal dengan :


1. Habitat yang berkesinambungan : meliputi area dengan kondisi baik luas sekali,
melebihi daerah yang dapat dijelajahi hewan.
2. Habitat yang terputus-putus : menunjukan area yang berkodisi baik dan tidak
berselang seling serta hewan dengan mudah dapat menyebar dari area baik yang
satu ke yang lainnya.
3. Habitat yang terisolasi : merupakan suatu habitat yang mengandung area
berkondisi baik yang terbatas luasnya dan letaknya terpisah jauh dan area
berkondisi baik yang lain, sehingga hewan-hewan tidak dapat menyebar untuk mencapainya,
kecuali bila didukung oleh faktor kebetulan. Misal suatu pulau kecil yang dihuni
oleh populasi rusa.Jika makanan habis rusa tersebut tidak dapat pindah ke pulau
lain.Pulau keciltersebut bukan merupakan habitat terisolasi bagi suatu populasi
burung yang dapat dengan mudah pindah ke pulau lainnya, tetapi lebih cocok disebut habitat
yang terputus.
Habitat makhluk hidup dapat lebih dari satu, misalnya burung pipit, habitat
untuk mencari makannya adalah di sawah dan habitat untuk bertelur adalah pohon-
pohonan di kampung. Ikan salem yang terkenal di Eropa dan Amerika utara, waktu
dewasa mempunyai habitat di laut. Waktu akan bertelur ikan itu berenang ke sungai
sampai ke hulu. Di daerah hulu ikan bertelur. Anak ikan untuk beberapa tahun tinggal
di sungai. Kemudian pergi ke laut untuk menjadi dewasa sampai saatnya ikan akan
bertelur. Istilah habitat dapat dipakai untuk menunjukkan tempat tumbuh sekelompok
organisme dari berbagai jenis yang membentuk suatu komunitas. Misalnya, kita boleh
mengunakan istilah habitat padang rumput, habitat hutan mangrove, dan sebagainya.
Dalam hal ini habitat sekelompok organisme mencakup lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik.
3. mm
B. RELUNG EKOLOGI (NICHE)
Relung ekologi suatu hewan ( individu, populasi) adalah status fungsional hewan itu
dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologi,
structural dan pola prilakunya. ( Sukarsono, 2009). Konsep relung (niche) dikembangkan
oleh Charles Elton (1927) ilmuwan Inggris, dengan pengertian relung adalah “status
fungsional suatu organisme dalam komunitas tertentu”. Dalam penelaahan suatu
organisme, kita harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai sumber nutrisi dan
energi, kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme lain bila
berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh organisme yang kita selidiki
itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam ekosistem.
Berdasarkan uraian diatas relung ekologi merupakan istilah lebih inklusif yang
meliputi tidak saja ruang secara fisik yang didiami oleh suatu makhluk, tetapi juga
peranan fungsional dalam komunitas serta kedudukan makhluk itu di dalam kondisi
lingkungan yang berbeda (Odum, 1993). Relung ekologi merupakan gabungan khusus
antara faktor fisik (mikrohabitat) dan kaitan biotik (peranan) yang diperlukan oleh suatu
jenis untuk aktivitas hidup dan eksistensi yang berkesinambungan dalam komunitas
(Soetjipto, 1992).
Niche (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang didudukI organisme , peranan
fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi
lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu. Ketiga aspek
relung ekologi itu dapat dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan
relung multidimensi atau hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme
tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat
(bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan
mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala
baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental niche)
dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok didefinisikan sebagai
sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan populasi masih dapat hidup.
Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik
yang ditempati oleh organisme-organisme tertentu secara bersamaan.
Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang menyebabkan
organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan atau
arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah
kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari
interaksi diantara populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan
simbiosis.
Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme
dan simbiosis harusnya ada tumpang tindih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau
semua partisipan mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran
kritis dari kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan
mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi
antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi. Menurut Odum (1993) tidak ada dua
spesies yang adaptasinya identik sama antara satu dengan yang lainnya, dan spesies yang
memperlihatkan adaptasi yang lebih baik dan lebih agresif akan memenangkan
persaingan. Spesies yang menang dalam persaingan akan dapat memanfaatkan sumber
dayanya secara optimal sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dengan baik.
Spesies yang kalah dalam persaingan bila tidak berhasil mendapatkan tempat lain yang
menyediakan sumber daya yang diperlukannya dapat mengalami kepunahan local.
Berjenis makhluk hidup dapat hidup bersama dalam satu habitat. Akan tetapi apabila
dua jenis makhluk hidup mempunyai relung yang sama, akan terjadi persaingan. Makin
besar tumpang tindih relung kedua jenis makhluk hidup, makin intensif persaingannya.
Dalam keadaan itu masing-masing jenis akan mempertinggi efisiensi cara hidup atau
profesinya.Masing-masing akan menjadi lebih spesialis, yaitu relungnya menyempit. Jadi
efek persaingan antar jenis adalah menyempitnya relung jenis makhluk hidup yang
bersaing, sehingga terjadi spesialisasi. Akan tetapi bila populasi semakin meningkat,
maka persaingan antar individu di dalam jenis tersebut akan terjadi pula. Dalam
persaingan ini individu yang lemah akan terdesak ke bagian niche yang marginal. Sebagai
efeknya ialah melebarnya relung, dan jenis tersebut akan menjadi lebih generalis. Ini
berarti jenis tersebut semakin lemah atau kuat. Makin spesialis suatu jenis semakin rentan
makhluk tersebut.

Anda mungkin juga menyukai