Anda di halaman 1dari 20

Sifat dan Karakteristik Hukum Islam, Prinsip-Prinsip

Hukum Islam, dan Tujuan Hukum Islam


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh/Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ahmad Zuhri Rangkuti

KELOMPOK 4

Wanda Fadilah (0704171004)


Sylvia Yarashima (0704172036)
Gusmita Enda Lorenza P. (0704173077)
Fauziah Arbi (0704173079)

PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TA. 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt. Karena hanya dengan ridhaNya kita
selalu berada dalam keadaan sehat walafiat, dan karenaNya pula lah kami dapat menyusun
makalah ini. Shalawat beriringkan salam tak lupa pula kami sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa umat manusia menuju jalan kemenangan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh/Ushul Fiqh
mengenai Sifat dan Karakteristik Hukum Islam, Prinsip-Prinsip Hukum Islam, dan Tujuan
Hukum Islam, yang mana akan membahas bagaimana sifat dan karakteristik, prinsip, serta
tujuan adanya hukum Islam.
Seperti pepatah lama tak ada gading yang tak retak, demikian juga dalam hal
penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Untuk itu,
kami mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Semoga dengan dibuatnya makalah ini, dapat bermanfaat bagi siapapun yang membaca
nya, dan dapat menambah wawasan para pembaca.

Medan, September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................1
BAB II: PEMBAHASAN.........................................................................................................2
A. SIFAT DAN KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM..............................................2
1. Sempurna..............................................................................................................2
2. Elastis....................................................................................................................2
3. Hukum yang Ditetapkan oleh Al-Quran Tidak Memberatkan.............................3
4. Universal...............................................................................................................3
5. Dinamis.................................................................................................................4
6. Sistematis..............................................................................................................5
7. Ta’abbudi dan Ta’aqquli......................................................................................5
B. PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM.....................................................................6
1. Meniadakan Kesempitan dan Kesukaran..............................................6
2. Sedikit Pembebanan.....................................................................................7
3. Mewujudkan Keadilan...................................................................................8
4. Bertahap Dalam Menetapkan Hukum....................................................9
5. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia.............................................10
C. TUJUAN HUKUM ISLAM....................................................................................11
1. Memelihara Agama (Hifz al-Din).......................................................................11
2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs).......................................................................12
3. Memelihara Akal (Hifz al-‘Aql).........................................................................12
4. Memelihara Keturunan (Hifz al-Nas).................................................................13
5. Memelihara Harta (Hifz al-Mal).........................................................................13
BAB III: PENUTUP...............................................................................................................15
A. KESIMPULAN........................................................................................................15
B. SARAN......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia.1 Ada dua pengertian hukum Islam, yaitu hukum Islam
yang disebut dengan syari’ah, yaitu hukum-hukum Islam yang dijelaskan dalam Al-Quran
dan Sunnah, baik dalam bentuk garis-garis besar maupun dalam bentuk terperinci. Hukum
dalam pengertian yang pertama ini tidak akan pernah berubah. Di samping itu hukum Islam
yang disebut dengan ijtihad (fiqh), yaitu hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad para
fuqaha’ semenjak masa sahabat Nabi hingga waktu ini. Hukum Islam dalam bentuk kedua ini
berbentuk pendapat hukum atau fatwa dari para fuqaha’ dalam rangka menjelaskan,
menguraikan, memperinci aturan-aturan yang bersifat global. Syari’ah dapat ditemukan
langsung dalam Al-Quran dan Sunnah, sedangkan hasil ijtihad, yang disebut fiqh, berada
pada karya para fuqaha’ maupun kumpulan-kumpulan fatwa mereka.2

Hukum Islam memiliki ciri khas sifat dan karakteristik tersendiri, dalam kaitan ini
dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqh adalah sekelompok
dengan syari’ah-syari’ah yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari
nash Al-Quran dan Sunnah. Hukum Islam dapat berkembang untuk menanggulangi semua
persoalan yang berkembang dan yang berubah terus mengikuti zaman.3

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja sifat dan karakteristik hukum Islam.
2. Apa arti dari setiap sifat dan karakteristik hukum Islam.
3. Apa saja prinsip-prinsip dari hukum Islam.
4. Apa tujuan dari adanya hukum Islam.

1
Musnad Rozin, Karakteristik Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial, (Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2, 2016),
hal. 303
2
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Laksita Indonesia, 2015), hal. 62
3
Ibid., hal. 74

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SIFAT DAN KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM


1. Sempurna
Sempurna artinya utuh, lengkap segalanya. Kesempurnaan hukum Islam (Syari’at)
dapat dilihat dengan diturunkannya syari’at Islam dalam bentuk yang umum dan mengglobal
permasalahannya, kecuali hal-hal yang bersifat selamanya, memuat prinsip-prinsip hukum
terperinci, konkret dan teknis. Misalnya masalah-masalah peribadatan, perkawinan,
perceraian, dan warisan diterangkan secara terperinci. Hal in mencegah bid’ah dan
pembaharuan yang menyesatkan. Bentuk yang umum dan mengglobal dalam penetapan Al-
Quran untuk hukum-hukum yang rinci dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
para ulama untuk berijtihad sesuai dengan panggilan, tuntutan dan kebutuhan situasi dan
kondisi.

Dengan adanya bentuk yang umum dan global tersebut, syari’at Islam dapat benar-
benar menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di semua tempat dan setiap saat, juga
diharapkan hukum Islam dapat berlaku sepanjang masa.4

2. Elastis
Sifat dan karakteristik hukum Islam yang kedua yakni elastis (mudah diubah
bentuknya, dan mudah kembali ke bentuk asal, lentur, luwes). Keelastisannya mencakup
disegala bidang kehidupan manusia baik jasmani maupun rohani, baik mengenai hubungan
manusia dengan Tuhannya, maupun hubungan interaksi sesama manusia. Juga tuntutan
kehidupan mengenai kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Hukum Islam memperlihatkan segala aspek kehidupan manusia, baik dibidang
muamalah, ibadah, jinayah, siyasah dan di bidang-bidang lainnya. Namun segala aturan yang
diatur oleh hukum Islam tidak berarti pula menjadikan hukum Islam memiliki dogma/aturan
yang kaku (beku), keras dan memaksa.

Tuhan tidak mengkehendaki syari’at yang diturunkannya menjadi petunjuk pelaksanaan


tugas yang terperinci. Tuhan mengkehendaki nash menjadi petunjuk. Nash hanya
mencantumkan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan pelaksanaan kewajiban secara garis besar.

4
Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2007), hal. 113

2
Kecuali untuk masalah dan kaitan tertentu, nash tidak memuat cara dan pengaturan
pelaksanaan kewajiban. Dengan demikian, nash membuka peluang untuk memanfaatkan akal
guna berijtihad dan memilih cara-cara yang paling sesuai bagi pelaksana dan sesuai dengan
keadaan. Berijtihad bukan saja hak para imam-imam mujtahid, ia merupakan hak setiap
muslim yang dituntut untuk terus berusaha meningkatkan kualitas dirinya untuk mencapai
jenjang mujtahid.5

3. Hukum yang Ditetapkan oleh Al-Quran Tidak Memberatkan

Di dalam Al-Quran tidak satupun perintah Allah yang memberatkan hambaNya. Jika
Tuhan melarang manusia mengerjakan sesuatu, maka dibalik larangan itu akan ada
hikmahnya. Walaupun demikian manusia masih diberi kelonggaran dalam hal-hal tertentu
(darurat). Contohnya memakan bangkai adalah hal yang terlarang, namun dalam keadaan
terpaksa, yaitu ketika tidak ada makanan lain, dan jiwa akan terancam, maka tindakan seperti
itu diperbolehkan sebatas hanya memenuhi kebutuhan saat itu. Hal ini berarti bahwa hukum
Islam bersifat tidak memberatkan dan dapat berubah sesuai dengan persoalan waktu dan
tempat.6

4. Universal
Universal (‘Alamy) berarti umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh
dunia), bersifat mencakup (melingkupi) seluruh dunia. Ini berarti hukum Islam itu tidak
dibatasi oleh lautan maupun batasan suatu negara.7 Hukum Islam ditujukan bukan hanya
untuk satu golongan atau suatu bangsa tertentu saja, tetapi hukum Islam ditujukan kepada
seluruh umat manusia. Dengan tanpa mengenal batas-batas warna kulit, suku, bangsa, darah
keturunan ataupun daerah.8
Banyak ayat dalam Al-Quran yang menyinggung tentang keuniversalan hukum Islam.
Diantaranta seperti dinyatakan pada QS. Al-Anbiya’: 107 dan QS. Saba’: 28) yang berbunyi:

Artinya: “Dan Tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’: 107)

5
Nasution, M. Syukri Albani, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 40-41
6
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat, hal. 78
7
Faisar, Filsafat, hal. 117
8
Musnad, Karakteristik, hal. 317

3
Artinya: “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Saba’:28)

Kedua ayat Al-Quran diatas menyatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Muhammad
bukanlah dikhususkan untuk orang Arab saja namun berlaku bagi seluruh umat manusia yang
ada diseluruh dunia.9 Agama Islam dari sisi manfaat atau kegunaan dapat dinikmati bukan
bagi segolongan saja, akan tetapi bagi seluruh alam ini tanpa batas, baik yang berkulit putih
maupun yang berkulit hitam.10

5. Dinamis
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan makna dari kata dinamis adalah
penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dalam
keadaan dsb.
Kedinamisan hukum Islam terletak pada dasar-dasar yang menjadi dasar dan tiang
pokok bagi hukum. Dasar-dasar dan pokok-pokok itulah yang menjadi sumber kekuatan,
kelemahan, kemudahan dan kesukaran dalam menetapkan hukum Islam. Sesuai dengan tabiat
manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya sehingga manusia
memperhatikan bebanan hukum dengan sangat berhati-hati.
Syari’at Islam dapat menarik manusia dengan sangat cepat dan manusia dapat
menerimanya dengan ketetapan hati, karena Islam menghadapkan pembicaraannya kepada
akar dan mendesak manusia bergerak dan berusaha serta memenuhi kehendak fitrah yang
sejahtera, sebagaimana hukum Islam menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan,
menyuruh untuk berbuat ma’ruf, dan mencegah yang munkar. Sendi-sendi dari kedinamisan
hukum Islam adalah:
a. Meniadakan kepicikan.
b. Menyedikitkan tugas.
c. Mensyari’atkam hukum dengan cara berangsur-angsur.
d. Memperhatikan kemashlahatan manusia.

9
Faisar, Filsafat, hal. 117
10
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Laksita Indonesia, 2015), hal. 75

4
e. Mewujudkan kadilan yang merata.11

6. Sistematis
Syari’at Islam bersifat sistematis artinya ia mencerminkan sejumlah doktrinnya
bertalian dan berhubungan di antara satu dengan lainnya secara logis. Beberapa lembaganya
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah sholat di dalam Al-Quran selalu
diiringi dengan perintah menunaikan zakat. Perintah untuk makan dan minum, diiringi
dengan kalimat “Tetapi jangan berlebih-lebihan”.
Demikian pula dengan lembaganya, pengadilan dalam Islam tidak akan memberikan
hukum potong tangan bagi pencuri bila keadaan masyarakat sedang kacau dan terjadi
kelaparan, tidak akan memberikan hukuman razam bagi pezina dan kebiasaan berpakaian
yang belum diterapkan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Islam itu sendiri.

Dengan demikian hukum Islam dengan lembaganya saling berhubungan satu sama
lainnya. Hukum islam tidak akan dapat dilaksanakan apabila diterapkan sebagian dan
ditinggalkan sebagaian lainnya.12

7. Ta’abbudi dan Ta’aqquli


Ta’abbudi/ghairu ma’qulah al-ma’na (irasional) adalah suatu bentuk ibadah yang
tujuannya utamanya untuk mendekati diri kepada Allah, yakni beriman kepada-Nya dan
segala konsekuensinya berupa ibadah yang mengundang siffat ta’abbudi murni, artinya
manusia harus menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh syariat.13
Sebagai contohnya, jika ada seseorang yang terkena najis mugholadzoh (najis berat)
seperti terkena air liur anjing, maka membersihkannya harus disamak dengan tanah. Padahal
saat sekarang ini sudah ada deterjen atau sabun pembersih pakaian, namun deterjen tersebut
tidak bisa menggantikan tanah sebagai alat untuk bersuci, maka ini berlaku ta’abbudi. Dalam
bidang ini tidak ada ijtihad bagi manusia.14

Ta’aqquli berbentuk dalam bidang muamalah. Ta’aqquli ini bersifat duniawi yang
maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qulah alma’na) atau rasional, maka manusia dapat
melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. ‘Illat dari muamalah yang
bersifat ta’aqquli dapat dirasionalkan dengan melihat nashl ahat atau mudharat terkandung di

11
Faisar, Filsafat, hal. 118-120
12
Ibid., hal. 120-121
13
Ibid., hal. 121
14
Suparman Usman, dan Itang, Filsafat, hal. 82

5
dalamnya. Sesuatu dilarang karena ada kemudharatan di dalamnya, dan diperintahkan karena
ada mashlahat di dalamnya.15

B. PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM

Kata prinsip berarti asas, yakni kebenaran yang menjadi kebenaran


pokok dasar orang berpikir, bertindak dan sebagainya. Adapun yang
dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum Islam ialah cita-cita yang menjadi
pokok dasar dan landasan ataupun tumpuan hukum Islam. Adapun
prinsip-prinsip dalam hukum Islam itu antara lain sebagai berikut.

1. Meniadakan Kesempitan dan Kesukaran


Pada dasarnya manusia tidak suka akan pembebanan yang
membatasi kemerdekaannya, baik secara fisik maupun mental. Manusia
tidak akan tertarik dengan sesuatu perintah ataupun larangan (peraturan)
kecuali peraturan itu tidak memberatkan baginya, dan hal tu merupakan
fitrah manusia.16 Sebenarnya Allah telah mengisyaratkan akan tabi’at
manusia ini dalam QS. Al-Baqarah: 286.

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan


kesanggupannya”

Oleh karena itu Allah menetapkan hukum Islam sesuai dengan kadar
kemampuan seseorang. Bahkan lebih jauh, jika ada yang tidak sanggup
dengan hukum yang telah ditetapkan itu, Allah juga memberikan
kelonggaran atau kemudahan (dispensasi) dalam keadaan tertentu.
Adapun contoh dalam prinsip ini, yaitu:
a. Orang yang sedang bepergian, sakit, dalam keadaan hamil, atau
menyusui, boleh tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah
dalam surah al-Baqarah yang artinya “Bagi siapa yang dalam
keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya”.
15
Faisar, Filsafat, hal. 122
16
Busyro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam, (Ponorogo: WAGE, 2016), hal. 91

6
b. Orang yang tidak kuat berdiri untuk mendirikan shalat, maka ia
dapat melakukannya dengan duduk. Bahkan boleh melakukannya
sesuai dengan kondisi kesehatan seseorang. Hal ini sesuai dengan
hadits Nabi SAW yang artinya: “Shalat lah kamu dengan berdiri,
maka jika kamu tidak mampu berdiri duduklah”.

Adapun landasan hukum bagi prinsip ini adalah firman Allah QS. Al-
Baqarah.

Artinya: “Allah menghendaki keringanan untukmu dan bukan pula


menghendaki kesukaran”.17

2. Sedikit Pembebanan
Dalam prinsip ini diisyaratkan bahwa pembebanan syariat atas
manusia itu memang ada, akan tetapi, syariat yang diturunkan atau
dibebankan itu diterima apa adanya tanpa mempermasalahkan atau
mempertanyakan yang dapat menimbulkan kesukaran dan pemberatan
atas pundak mukallaf terhadap kewajiban agama yang di embannya.

Prinsip ini dilandasi oleh firman Allah dalam surah Al-Maidah: 101.

Artinya: “Hai orang-


orang yang
beriman janganlah kamu bertanya-tanya tentang
sesuatu yang kalau diterangkan kepadamu akan meyusahkanmu,
tetapi kalau kamu tanyakan (tentang ayat-ayat itu) pada waktu
17
Nasution, Filsafat, hal. 40-41

7
turunnya, akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkanmu dan
Allah maha pengampun lagi maha penyabar”.

Ayat inilah yang menginstruksikan kepada manusia agar dapat


menahan diri daripada mempertanyakan masalah yang tidak ada
ketetapan hukumnya, misalnya pada waktu peraturan perundang-
undangan belum diketahui dan agar permasalahannya untuk sementara
dibiarkan, dan kemudian permasalahan itu dapat dipecahkan melalui
kaidah-kaidah umum demi memberikan kelonggaran kepada manusia.
Anjuran itu sesuai dengan hadits Nabi SAW. Yang artinya:

”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka


janganlah kamu sia-siakan dan telah membuat batas-batas, maka
janganlah kamu melampaui batas-batasnya dan Ia telah pula
mengharamkan beberapa hal, maka jangan lah kamu
melannggarnya. Dan Allah mendiamkan beberapa hal karena
Rahmat untukmu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu
membahasnya” (Riwayat Daruquthni, dihasankan oleh An-Nawawi).18

3. Mewujudkan Keadilan

Keadilan adalah dambaan semua umat manusia. Mereka semua ingin


diperlakukan adil oleh agama dan juga penguasanya. Dalam hal ini Islam
datang sebagai agama yang tidak memihak kepada golongan tertentu,
akan tetapi menentukan bahwa semua orang sama kedudukannya di sisi
Tuhan dan hukum.19 Prinsip ini pada zaman Rasulullah telah ditunjukan
dalam riwayat yang menceritakan pada suatu ketika ada seorang wanita
bangsawan yang telah mencuri, dan kaum Quraisy meminta Usamah Bin
Zaid untuk memohonkan ampunan kepada Rasul untuk si wanita itu.
Seketika itu pula Rasul marah dan berkata “Apakah engkau memberikan
syafa’at bagi seseorang dalam menjalankan suatu had Allah?
Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kamu lantaran kamu
mencuri diantara mereka orang yang berpangkat, mereka dibiarkan dan

18
Faisar, Filsafat, hal. 83-83
19
Busyro, Dasar-Dasar, hal. 99

8
jika yang mencurI itu orang rendah maka mereka akan melaksanakan had
itu demi Allah! Andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, pastikanlah
aku akan memotong tangannya”.

Adapun landasan hukun dalam prinsip ini adalah firman Allah yang
tertuang dalam QS. Al-Maidah: 8, yaitu:

Artinya: “Dan janganlah suatu kebencianmu terhadap suatu kaum,


mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah,
karena belaku adil itu lebih dekat kepada taqwa”.

Kemudian ada juga firman Allah dalan QS. An-Nisa: 135 yaitu:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah maha
mengetahi kemaslahatannya”.20

4. Bertahap Dalam Menetapkan Hukum


Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, bukan sekaligus.
Sebab mengingat potensi manusia yang sangat terbatas, sehingga ketika
ada ayat yang diturunkan kemudian dipahami, barulah ayat yang lain
diturunkan. Berkaitan dengan hukum Islam, ayat-ayat Al-Qur-an yang
mengandung hukum taklif diturunkan secara bertahap. Hal ini terjadi atas
pertimbangan dan kebiasaan manusia yang telah mendarah daging dalam
kehidupannya dan sangat susah untuk dihilangkan.

20
Faisar, Filsafat, hal. 88-89

9
Secara psikologi manusia tidak akan menerima sesuatu yang baru
dan asing, sehingga harus dipahami setahap demi setahap terlebih dahulu
agar tidak menimbukan konflik, kesulitan dan ketegangan batin. Begitulah
yang terjadi pada bangsa Arab terdahulu. Ketika Islam datang, adat
istiadat mereka begitu kental sehingga sulit untuk dirubah.21
Sebagai contoh adalah ditetapkannya hukum keharaman minuman
khamr secara total sampai tiga tahap. Tahap pertama diturunkannya QS.
Al-Baqarah: 219.

Artinya: “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya yang terdapat dosa yang
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya’ ”.

Dari ayat ini terlihat bahwa Allah mengisyaratkan bahwa khamar dan
judi itu ada dosa dan manfaatnya, tapi dosa (bahaya)nya lebih besar dari
manfaat yang diharapkan darinya. Ayat ini baru berupa berita dan belum
merupakan titah yang harus ditaati. Tapi, isyaratnya sebenarnya
menunjukkan bahawa sebaiknya khamar dan judi itu dijauhi.22

Tahap kedua, diturunkannya surah An-Nisa: 43.

21
Ibid., hal. 84
22
Busyro, Dasar-Dasar, hal. 99

10
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan”.

Dalam ayat ini Allah melarang dengan tegas orang-orang mendirikan


sholat dalam keadaan mabuk. Ayat ini juga belum mengharamkan khamar
secara total melainkan hanya mengaitkannya dengan sholat.

Tahap ketiga, diturunkannya surat Al-Maidah: 90.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)


khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaiton. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan
keberuntungan”.

Ayat diatas secara jelas mengharamkan khamar. Ayat ini diturunkan


ketika orang-orang Arab pada waktu itu telah siap mental untuk
menerima ketetapan hukum khamr ini. Begitu juga dengan perbuatan
zina. Para wanita melakukan praktek perzinaan pada mulanya hanya
diolok-olok, dihina dan diberi tahanan rumah23.

5. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia


Penetapan hukum islam atas manusia senantiasa
mempertimbangkan kemaslatahan manusia. Hal ini terjadi sesuai dengan
23
Faisar, Filsafat, hal. 85-87

11
situasi dan kondisi suatu masyarakat. Oleh karena itu hukum yang
ditetapkan akan dapat diterima dengan lapang dada, dikarenakan
kesesuaian akal dengan kenyataan yang ada. Maka dalam penetapan
hukum itu selalu didasarkan kepada tiga sendi pokok, yaitu:
a. Hukum ditetapkan setelah masyarakat membutuhkan hukum-
hukum itu.
b. Hukum ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak
menetapkan hukum dan memudahkan masyarakat ke bawah
ketetapannya.
c. Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Ibnu Qayyim berkata: “Sesunggunya syariat itu pondasi dan asasnya
adalah hikmah dan kemaslatan hamba, baik dalam kehidupan dunia
maupun akhirat”.

Sebagai contoh, kiblat pada mulanya di Bairul Maqdis, namun setelah


16 bulan lamanya diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram.
Begitu juga mengenai hukum wasiat. Pada mulanya hukum wasiat adalah
wajib. Kemudian dinasakhkan dengan ayat-ayat tentang faraidh yang
terdapat dalam surah An-Nisa: 11-12, 176 juga dinasakhkan oleh hadist
Nabi SAW. “Tiada wasiat bagi ahli waris”.24

C. TUJUAN HUKUM ISLAM

Tujuan Allah swt mensyari’atkan hukumNya adalah untuk memelihara kemaslahatan


manusia sekaligus untuk menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan
tersebut hendaknya dicapai melalui taklif (pembebanan hukum) yang pelaksanaannya
tergantung kepada pemahaman sumber hukum utama, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli
ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok
tersebut adalah agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-
nas), dan harta (hifz al-mal).

1. Memelihara Agama (Hifz al-Din)

24
Ibid., hal. 87-88

12
Untuk mewujudkan dan menegakkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
agama Islam telah mensyari’atkan iman dan berbagai hukum pokok yang lima yang menjadi
dasar agama Islam, yaitu: persaksian bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasannya
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.
Menjaga atau memelihara agama berdasarkan kepetingannya dapat dibedakan menjadi
tiga tingkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat dharuriyat, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti
melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat diabaikan maka terancamlah
eksistensi agama
b. Memelihara agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama
dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi
orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak kan mengancameksistensi
agama, tetapi hanya akan mempersulit bagi orang yang akan melaksanakannya.

c. Memelihara agama dalam perangkat tahsiniyat yaitu melengkapi pelaksanaan


kewajiban kepada Tuhan. Sebagai contoh adalah menutup aurat dengan pakaian
yang bagus dan indah baik dalam shalat maupun di luar shalat, membersihkan
badam, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji.
Kalau hal ini tidak mungkin dilakukan maka tidak akan mengancam eksistensi
agama dan tidak pula menyebabkan kesulitan bagi orang yang melaksanakannya.
Maksudnya jika seseorang tidak dapat menggunakan penutup aurat dengan pakaian
yang bagus dan sempurna, maka shalat tetap dilaksanakan sebagai dharuriyat
sekalipun dengan pakaian yang minim.

2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)


Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
a. Memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok
berupa makanan atau mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini
diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi manusia.
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyat, seperti diperbolehkan memburu binatan
untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan

13
maka tidak akan menyebabkan eksistensi manusia terancam tetapi hanya akan
menimbulkan kesulitan hidup.

c. Memelihara jiwa dalam peringkat thasiniyat, seperti ditetapkannya tata cara


makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika
yang tidak akan mengancam eksistensi hidup manusia dan tidak pula
mempersulitnya jika tidak dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan pemeliharaan
jiwa pada peringkat di atas.

3. Memelihara Akal (Hifz al-‘Aql)


Untuk memelihara akal, agama Islam mensyar’atkan pengharaman meminum khamar
dan segala yang memabukkan dan mengenakan hukuman terhadap orang yang meminumnya
dan mempergunakan segala yang memabukkan. Memelihara akal dilihat dari kepentingannya
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal dalam dharuriyat, menjaganya dari hal yang merusak seperti
minuman keras, narkoba, dan jenis lainnya.
b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyat, seperti dianjurkannya enuntu ilmu
pengetahuan. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan menyebabkan eksistensi
akal manusia hilang tetapi akan menimbulkan kesulitan hidup karena kebodohan.

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyat seperti menghindarkan dari


mengkhayal atau memikirkan sesatu yang tidak bermanfaat.

4. Memelihara Keturunan (Hifz al-Nas)


Memelihara keturunan dilihat dari segi tingkat kebutuhannya akan dibedakan menjadi
tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat dharuriyat seperti disyari’atkan nikah dan
dilarang berzina. Kalau ketentuan ini dilanggar maka eksistensi keturunan akan
terancam sebab tidak akan dikenali nasib dan hilangnya tanggung jawab tentang
hak-hak yang harus dipenuhi terhadap anak.
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat seperti ditetapkannya ketentuan
menyebutkan mahar dalam akad nikah dan diberikan hak talak kepadanya. Jika
mahar tidak disebutkan pada waktu akad maka akan menyulitkan bagi suami karena
harus membayar mits. Maka jika suami tidak memiliki hak talak, maka akan

14
menyulitkan dirinya sebab situasi rumah tangga yang tidak harmonis tidak
mendapatkan jalan keluar.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyat seperti disyari’atkan khitbah atau


walimah perkawinan. Hal ini dilakukan merupakan pelengkap kegiatan perkawinan.
Jika ini tidak dilakukan maka tidak akan mengancam keturunan dan tidak akan
menimbulkan kesulitan dalam keturunan itu.

5. Memelihara Harta (Hifz al-Mal)


Untuk menghasilkan dan memperoleh harta kekayaan, agama Islam mensyari’atkan
kewajiban berusaha mendapat rezeki, memperbolehkan berbagai mu’amalah, pertukaran,
perdagangan, dan kerjasama dalam usaha. Sedangkan untuk memelihara harta kekayaan itu,
agama Islam mensyari’atkan pengharaman pencurian, menghukum had terhadap laki-laki
maupun wanita yang mencuri, pengharaman penipuan dan pengkhiantan serta merusakkan
harta orang lain. Dilihat dari kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
a. Memelihara harta dalam peringkat dharuriyat, seperti syari’at tentang tata cara
pemilkan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak
sah. Apabila ketentuan ini dilanggar maka akan mengancam eksistensi harta
manusia.
b. Memelihara dalam peringkat hajiyat, seperti syari’at tentang jual beli saham.
Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta tetapi
akan menyebabkan kesulitan bagi manusia untuk memiliki harta melalui transaksi
jual beli.
c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyat seperti ketentuan tentang
menghidarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika muamalah
atau bisnis.25

25
Ibid., hal. 103-108

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan yang bersumber pada Al-Quran dan
Sunnah yang mengatur segala aspek kehidupan manusia di dunia manupin di akhirat. Hukum
Islam memiliki sifat dan karakteristik tersendiri, selain itu hukum Islam juga memiliki
prinsip-prinsip dan tujuan.

B. SARAN
Semoga makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat
memberikan pengetahuan tentang Sifat dan Karakteristik, Prinsip, dan Tujuan dari Hukum
Islam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangatlah dibutuhkan penyusun, mengingat masih banyak
kekurangan dari karya ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Arfa, Faisar Ananda. 2007. Filsafat Hukum Islam. Medan: Citapustaka Media Perintis

Busyro. 2016. Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam. Ponorogo: WAGE

Nasution, M. Syukri A. 2014. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Rozin, Musnad. 2016. Karakteristik Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial. Jurnal Hukum.
Vol. 13, No. 2

Usman, Suparman. 2015. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Laksita Indonesia

17

Anda mungkin juga menyukai