Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TENTANG RUANG LINGKUP

FARMASI KOMUNITAS

DISUSUN OLEH :

NAMA : SULIS INDAH

NIM :51704090

PRODI : S1 FARMASI VIB

TUGAS : FARMASI KOMUNITAS

DOSEN : DENI PURI APRIYANSYAH ,MARS,.Apt

TAHUN AJARAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadiran Allah SWT.Yang mana dengan rahmat dan
hidayahnya saya mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini berjudul “RUANG LINGKUP FARMASI KOMUNITAS”uraian materi yang saya sajikan dapat
dari internet dan bahasa dari makalah ini sangat jelas dan mudah dipahim pembaca.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu pernilaian mata kuliah farmasi komunitas yang
meliputi nilai tugas individu.

Saya sebagai peyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karna itu
demi kesempurnaan makalah ini kritik dan saran dari pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan.

Palembang ,11 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………………..4


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………………….4
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………………………………5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi farmasi komunitas…………………………………………………………………….5

2.2 Cara praktik farmasi komunitas………………………………………………………………6

2.3 Bagaimana cara pendekatan sosiologis profesiolisasi………………………………7

2.4 Perkembangan pendidikan tinggi farmasi ………………………………………………..8

2.5 Jelaskan organisasi profesi………………………………………………………………………..8

2.6 Standar profesi farmasi ……………………………………………………………………………9

BAB III PENUTUPAN

KESIMPULAN ………………………………………………………………………………………………11

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

.   t Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari
sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan
pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan (selection),
aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan
sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat
yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan,
maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada
pemakai .

Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan,
umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di
dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko, kegemaran
dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti
"kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua
atau banyak".

1.2 Rumusan masalah

1. 1.Definisi farmasi komunitas ?


2. Cara praktik farmasi komunitas ?
3. Bagaimana cara pendekatan sosiologis profesiolisasi ?
4. Perkembangan pendidikan tinggi farmasi ?
5. Jelaskan organisasi profesi ?
6. Standar profesi farmasi ?
1.3 tujuan penulisan
1. mengetahui tentang farmasi komunitas
2. mengetahui perkembangan farmasi di Indonesia
3. mengetahui organisasi profesi

r Belakang

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI FARMASI KOMUNITAS

Farmasi Komunitas adalah area praktik farmasi di mana obat dan produk kesehatan lainnya dijual
atau disediakan langsung kepada masyarakat secara eceran, baik melalui resep dokter maupun tanpa
resep dokter (FIP, 1998). Di Indonesia dikenal dengan nama Apotek, merupakan tempat menjual dan
kadangkadang membuat atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan
praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel (Anonim, 2011a). Sejalan dengan perkembangan bidang
kefarmasian, definisi apotek mengalami beberapa kali perubahan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP)
No. 26 tahun 1965 yang dimaksud dengan apotek adalah tempat tertentu, di mana dilakukan
usahausaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2
huruf e dan pasal 3 huruf b Undang-undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi (Presiden RI, 1965).
Selanjutnya PP No. 26 tahun 1965 diubah melalui PP No. 25 tahun 1980 dan definisi apotek berubah
menjadi suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada
masyarakat (Presiden RI, 1980). Terakhir dengan diterbitkannya PP No. 51 tahun 2009 definisi apotek
berubah menjadi sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker
(Presiden RI, 2009).

2.2 PRAKTIK FARMASI KOMUNITAS

Praktik Farmasi Komunitas merupakan salah satu wujud pengabdian profesi apoteker. Untuk
penjaminan mutu penyelenggaraan praktik farmasi komunitas, WHO dan FIP menerbitkan dokumen
Cara Praktik Farmasi yang Baik di Farmasi Komunitas dan Farmasi Rumah Sakit atau Good Pharmacy
Practice (GPP) In Community and Hospital Pharmacy Settings (WHO, 1996) dan Standar Kualitas
Pelayanan Kefarmasian atau Standard for Quality of Pharmacy Services (FIP, 1997). Dengan maksud
yang sama, Indonesia menetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik (Menkes RI, 2004)
Sebagai pedoman bagi para apoteker dalam menjalankan profesi, dengan tujuan melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional. Penetapan standar pelayanan ini merupakan
konsekuensi perubahan fundamental dari pelayanan berorientasi produk ke pelayanan berorientasi
pasien yang mengacu pada filosofi asuhan kefarmasian (pharmaceutical care), yaitu pelayanan
komprehensif di mana apoteker mengambil tanggung jawab mengoptimalkan terapi obat, untuk
mencapai hasil yang lebih baik dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien (Cipolle, dkk.,

1998).

Asuhan kefarmasian didefinisikan pertamakali oleh Hepler dan Strand (1990), melibatkan apoteker
untuk memikul tanggung jawab atas hasil-hasil terapi obat, di samping distribusi produk farmasi yang
aman, akurat, dan efisien. Sebuah komponen penting akibat pergeseran paradigma ini adalah peran
profesional yang terbarukan bagi para apoteker dalam proses pelayanan kepada pasien. Paul Pierpaoli
(1992), seorang pendidik dan praktisi farmasi menyatakan bahwa konsep asuhan kefarmasian
mengharuskan para apoteker menjadi profesional sejati, menjadi advokat pasien yang bertanggung
jawab penuh, memiliki komitmen untuk mencapai hasil terapi yang optimal. Sebagaimana layanan
kesehatan modern yang mengharuskan apoteker memiliki pengetahuan dan keterampilan klinis tingkat
lanjut, asuhan kefarmasian membutuhkan pengembangan lebih lanjut karakteristik-karakteristik yang
membuat apoteker menjadi sebuah profesi, bukan sekadar sebuah pekerjaan (Benner dan Beardsley,
2000). Ibnu Gholib Ganjar (2004), ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI),
berpendapat bahwa asuhan kefarmasian adalah pola pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien,
merupakan ekspansi kebutuhan yang meningkat dan tuntutan pelayanan farmasi yang lebih baik demi
kepentingan dan kesejahteraan pasien.

Masyarakat dan profesi lain akan menilai bagaimana apoteker mewujudkan komitmen ini ke dalam
praktik. Lebih lanjut untuk mewujudkan pelayanan kefarmasian yang baik dibutuhkan 4 syarat:

A. Perhatian utama apoteker adalah kebaikan/kesejahteraan pasien.


B. Inti kegiatan adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya dengan kualitas terjamin,
pemberian informasi dan saran yang tepat bagi pasien, dan melakukan pemantauan dampak
penggunaan obat.
C. Kontribusi peran apoteker adalah promosi peresepan yang rasional dan ekonomis, serta
penggunaan obat secara tepat.
D. Tujuan setiap elemen pelayanan kefarmasian harus relevan bagi setiap pasien, terdefinisikan secara
jelas dan dikomunikasikan secara efektif kepada semua pihak yang terlibat.
2.3 CARA PENDEKATAN SOSIOLOGIS PROFESIONALISASI

Apakah farmasi dianggap sebuah profesi perlu dilakukan analisis secara mendalam. Berbagai
literatur secara luas memperdebatkan sosiologi profesi, apa sebenarnya profesi itu, atribut apa dari
suatu pekerjaan yang umumnya diterima sebagai pembeda sebuah profesi. Pertanyaan seperti mengapa
beberapa pekerjaan naik ke status profesi sedangkan yang lain tidak adalah teka-teki sosiologis yang
membutuhkan penjelasan. Sejak Parsons (1939), menerbitkan makalahnya berjudul Profesi dan Struktur
Sosial, banyak teori telah dipostulasikan. Sampai tahun 1970-an, kebanyakan penulis mencoba untuk
menjelaskan profesi sebagai posisi unik dalam masyarakat dengan cara memberikan definisi. Mereka
mencoba mengidentifikasi atau mendefinisikan karakteristik dari suatu pekerjaan yang khusus atau khas
dengan status profesional. Ini mengakibatkan berkembangnya atribut profesi, yang di antaranya
dikemukakan oleh Goode (1960) yaitu 10 atribut ideal sebagai ciri yang paling sering dikutip sebagai
berikut:

1. Profesi menentukan sendiri standar pendidikan dan pelatihan.


2. Mahasiswa profesional mengalami proses pelatihan ekstensif dan sosialisasi.
3. Praktik profesional diakui secara legal dalam bentuk lisensi.
4. Pemberian lisensi dan proses masuk sebagai profesional diatur oleh anggota profesi.
5. Kebanyakan undang-undang yang mengatur profesi dibentuk oleh profesi.
6. Profesi memiliki pendapatan, kekuatan, dan status yang tinggi, dan dapat menuntut pendatang
baru berkemampuan lebih tinggi.
7. Profesional relatif bebas dari evaluasi secara awam.
8. Norma-norma praktik ditegakkan oleh profesi seringkali lebih ketat daripada kontrol hukum.
9. Anggota profesi memiliki rasa identifikasi dan afiliasi yang kuat dengan kelompok kerja mereka.
10. Sebuah profesi menjadi pekerjaan seumur hidup.

Beberapa sosiolog menyatakan bahwa profesi tertentu telah mencapai statusnya, karena profesi
tersebut melakukan fungsi-fungsi penting untuk kerja masyarakat industri modern. Sosiolog melihat hal
tersebut sebagai penjelasan struktural-fungsional. Pandangan struktural-fungsional masyarakat analog
dengan organ ketika semua bagian organ berfungsi menjamin kesejahteraan organ itu. Analogi ini dapat
diibaratkan dengan sistem fisiologis tubuh manusia. Semua lembaga sosial menggunakannya, jika tidak,
mereka akan berhenti memiliki fungsi dan dengan cepat akan menghilang.

Masyarakat industri yang kompleks membutuhkan pengetahuan pakar, dan profesi melaksanakan
fungsi menerapkan keahlian mereka untuk kepentingan masyarakat. Pendekatan baik sifat maupun
fungsional telah dikalahkan oleh analisis yang lebih kritis dan realistis, profesi dapat dikatakan memiliki
karakteristik inti atau sifat tertentu, dan memenuhi fungsi sosial yang penting.

2.4 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI FARMASI


Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak berdirinya perguruan tinggi farmasi yang
pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8 pendidikan tinggi Farmasi negeri dan belasan
perguruan tinggi swasta. Menurut catatan tahun 1983 jumlah lulusan Farmasis (Apoteker) di Indonesia
3552 orang, yang merupakan peningkatan sebesar 350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi
jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1 Apoteker untuk 30.000 jiwa,
hanya untuk bidang pelayanan saja. (Rasio yang ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang
lazim diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan ialah 1 : 15.000). Saat ini jumlah Apoteker
diperkirakan sebanyak 10.000 orang.

Tantangan pembangunan di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang yang merupakan tantangan
bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ialah menghasilkan produk pendidikan tinggi yang memenui
Standar Profesi Apoteker (Standard Operating Procedure = SOP) sebagai berikut :

- turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan
penderitaan akibat penyakit.
- memberikan sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal dan
fungsi abnormal organisme.
- mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi penyakit;
memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
- mengupayakan obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain (bukan
obat) dalam upaya kesehatan.
- menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada manusia.
- menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat diperbaharui atau pun tidak
dapat diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
- menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya dalam
organisme.
- mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk meningkatkan
secara menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan komoditi farmasi, maupun keamanan
lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk kepentingan kehidupannya.
- membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi farmasi yang efisien
dan efektif selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan lingkungan Indonesia.

2.5 ORGANISASI PROFESI

Organisasi profesi atau organisasi profesional adalah organisasi yang biasanya bersifat nirlaba,
ditujukan untuk suatu profesi tertentu dan bertujuan melindungi kepentingan publik maupun
kepentingan profesional pada bidang tersebut. Organisasi profesional dapat memelihara atau
menerapkan suatu standar pelatihan dan etika pada profesi mereka untuk melindungi kepentingan
publik. Banyak organisasi memberikan sertifikasi profesional untuk menunjukkan bahwa seseorang
memiliki kualifikasi pada suatu bidang tertentu. Walaupun tidak selalu, terkadang keanggotaan pada
suatu organisasi sinonim dengan sertifikasi. (Anonim, 2011c).
Di Indonesia organisasi profesional apoteker adalah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), merupakan satu-
satunya Organisasi Profesi Apoteker yang merupakan perwujudan dari hasrat murni dan keinginan luhur
para anggotanya, untuk menyatukan diri dalam upaya mengembangkan profesi luhur kefarmasian di
ndonesia pada umumnya dan martabat anggota pada khususnya. Adapun Visi dan Misi organisasi IAI
adalah sebagai berikut (ISFI, 2009a).

Visi: Terwujudnya profesi apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat
bagi setiap manusia.

Misi: a. Menyiapkan apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi, dan
inovatif, serta berorientasi ke masa depan;

b. Membina, menjaga dan meningkatkan profesionalisme apoteker sehingga mampu menjalankan


praktik kefarmasian secara bertanggung jawab;

c. Memperjuangkan dan melindungi kepentingan anggota dalam menjalankan praktik profesinya; dan

d. Mengembangkan kerjasama dengan organisasi profesi lainnya baik nasional maupun internasional.

2.6 STANDAR PROFESI FARMASI

Salah satu hasil kajian dari Satuan Tugas Pendidikan Farmasi ialah mengenai Standar Profesi
Farmsis (Professional Standards of Practice = SOP) yang rumusan terakhirnya berbunyi sebagai
berikut :
1. Seorang Farmasis hendaknya mampu bertukar pikiran dengan dokter dan praktisi perawatan
kesehatan lain, yang menyangkut perawatan dan perlakuan terhadap pasien, dan senantisa
mempertebal kepercayaan pasien akan perawatannya. Farmasis hendaknya dapat menghargai
esensi diagnosis klinis dan memahami pengelolaan medis untuk pasien. Farmasis hendaknya
memiliki pengetahuan tentang obat yang akan digunakan terhadap pengobatan status sakit pasien;
mekanisme aksinya, bentuk sediaan dan kombinasi obat dalam perdagangan; nasib dan disposisi
obat; faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemanfaatan fisiologis dan aktivitas biologis obat
dalam bentuk sediaannya; pengaruh umur, seks atau status sakit sekunder yang dapat
mempengaruhi lancarnya pengobatan; dan kemungkinan interaksi dengan obat lain, makanan dan
prosedur diagnostik yang dapat memodifikasi aktivitas obat.
2. Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya menghasilkan terapi obat secara maksimum. Farmasis
hendaknya memahami penggunaan yang sesuai dan regimen takaran dari terapi obat yang
dilakukan, kontraindikasi dan kemungkinan reaksi tak diinginkan yang diakibatkan oleh terapi obat.
Farmasis hendaknya mempunyai cukup informasi mengenai kemungkinan obat paten mana yang
interaksinya berlawanan dengan terapi atau mungkin berguna sebagai tambahan dalam
memperbaiki pemberian obat atau perawatan secara keseluruhan.
3. Farmasis harus mengetahui aksi terapi obat paten sesuai penegasan (claim) yang dikemukakan,
komposisinya dan keunikan maupun keterbatasan bentuk sediaan tersebut. Farmasis hendaknya
mampu menilai secara obyektif kemampuan suatu produk sesuai iklannya. Jika diminta oleh pasien,
Farmasis hendaknya mampu menegaskan kemungkinan kegunaan terapetik suatu obat paten
sehubungan dengan keluhan pasien.
4. Farmasis hendaknya mampu mereviuw publikasi ilmiah dan mampu mencari implikasi praktis suatu
hasil penelitian yang berkaitan dengan kegunaan klinis suatu obat. Farmasis harus mampu
menganalisis suatu laporan pustaka percobaan klinis mengenai kesesuaian desain penelitian dan
analisis statistik yang dibuat dari data. Farmasis hendaknya mampu menyiapkan suatu abstrak yang
obyektif mengenai kebermaknaan data dan kesimpulan si penulis.
5. Farmasis hendaknya merupakan seorang spesialis mengenai karakteristik kestabilan dan
persyaratan penyimpanan obat dan bahan obat, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari bentuk sediaannya, bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di
sekitar tempat itu pada tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk sediaan yang
diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk mempengaruhi aksi awal (onset),
intensitas, atau lamanya (duration) aksi terapetik.
6. Farmasis hendaknya paham benar akan pengaturan legal tentang pengadaan, penyimpanan, dan
distribusi obat. Farmasis hendaknya mengetahui tentang penggunaan obat yang diizinkan seperti
yang terperinci oleh pejabat negara dan daerah, praktek medis yang benar, dan tanggung jawab
legalnya terhadap pasien dalam penggunaan obat pada prosedur terapetik eksperimental.
7. Farmasis hendaknya mampu, dengan terdapatnya bahan sumber yang sesuai, untuk
merekomendasi produk obat atau bentuk sediaan mana yang mungkin secara potensial berguna
untuk kebutuhan terapetik tertentu, dan Farmasis hendaknya secara obyektif mampu mendukung
pilihan yang diambil. Farmasis hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi produk obat
berdasarkan bentuk dan warna yang dirinci, dan mungkin penggunaannya yang dianjurkan dengan
menggunakan bahan sumber yang sesuai.
8. Farmasis akan tanggap, berdasarkan gejala yang akan diuraikan dalam wawancara dengan pasien,
tentang informasi tambahan yang masih perlu diusahakan diperoleh dari pasien mengenai kondisi
pasien itu. Berdasarkan informasi ini Farmasis hendaknya dapat merujuk pasien itu kepada praktisi
medis yang sesuai, spesialis, atau badan yang paling berkompeten untuk membantu pasien dalam
kasus spesifik. Farmasis hendaknya memperoleh dan menyimpan kartu data sakit (profil) pasien
untuk digunakan dalam melakukan keputusan farmatesis yang menyangkut perawatan pasien.
Melalui pemanfaatan profil demikian dan materi pembantu yang sesuai, Farmasis hendaknya
melaksanakan program reviuw pemanfaatan obat dalam lingkungan daerah praktek. Farmasis
hendaknya memantapkan dan melaksanakan program untuk memastikan tidak lalainya pasien
menggunakan obat dengan tujuan terapetik.
9. Farmasis hendaknya mempunyai pengetahuan tentang manifestasi toksis dari obat dan tindakan
yang diperlukan yang merupakan cara terbaik untuk pengobatan gejala keracunan ini.
10. Farmasis hendaknya mampu berkomunikasi secara efektif dengan pasien mengenai petunjuk
mengenai penanganan yang sesuai dari resep dan obat paten. Farmasis hendaknya mengetahui
tentang pembatasan yang perlu ditekankan pada konsumsi makanan, pengobatan lain dan aktivitas
fisik.
BAB III

PENUTUPAN
KESIMPULAN

Farmasi Komunitas adalah area praktik farmasi di mana obat dan produk kesehatan lainnya dijual atau
disediakan langsung kepada masyarakat secara eceran, baik melalui resep dokter maupun tanpa resep
dokter (FIP, 1998).

Praktik Farmasi Komunitas merupakan salah satu wujud pengabdian profesi apoteker. Untuk
penjaminan mutu penyelenggaraan praktik farmasi komunitas, WHO dan FIP menerbitkan dokumen
Cara Praktik Farmasi yang Baik di Farmasi Komunitas dan Farmasi Rumah Sakit atau Good Pharmacy
Practice (GPP) In Community and Hospital Pharmacy Settings (WHO, 1996) dan Standar Kualitas
Pelayanan Kefarmasian atau Standard for Quality of Pharmacy Services (FIP, 1997). Dengan maksud
yang sama, Indonesia menetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik (Menkes RI, 2004)

DAFTAR PUSTAKA

1. Gennaro, A.R. [Ed.] (1990) “ Remington’s Pharmaceutical Sciences”, Mack Publishing Co, Easton,
Pennsylvania.
2. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989
tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.
3. University of Minnesota , (2001) “College of Pharmacy Catalog”, the Regents of the University of
Minnesota, Catalog On Line.

Anda mungkin juga menyukai