Anda di halaman 1dari 4

Energi ramah lingkungan (energi hijau) merupakan istilah untuk energi yang berasal dari sumber

energi dan tenaga yang ramah terhadap lingkungan (tidak memiliki dampak negatif akibat
pemakaiannya) dan atau sumber-sumber energy yang dapat diperbaharui dan tidak mencemari
lingkungan, misalnya; air, sinar matahari, angina, panas bumi, dll. Terdapat pula energi ramah
lingkungan yang berasal dari makhluk hidup atau biasa disebut biomassa dimana materi
tumbuhan yang dipelihara dipergunakan sebagai biofuel Istilah lain dari energi ramah
lingkungan adalah energi terbaharui, dimana sumber-sumber energi tersebut berbeda dengan
energi yang berasal dari fosil yang tidak (mudah) untuk diperbaharui.

Saat ini, kondisi lingkungan akibat penggunaan energi fosil yang masif sejak era industri dimulai
di Inggris Raya yang kemudian menyebar ke Eropa dan Amerika yang akhirnya ke seluruh
dunia, sudah semakin memprihatinkan. Dampak pemanasan global sudah dirasakan di tingkat
lokal. Musim tanam yang sudah berubah, musim tangkap ikan pun demikian, banjir dan berbagai
akibat lainnya telah dirasakan oleh penduduk dunia.

Kondisi memprihatinkan tersebut menyadarkan manusia bahwa mereka hanya memiliki satu
planet yaitu bumi, tempat mereka hidup dan mewujudkan berbagai harapan dan mimpi-
mimpinya,

yang saat ini telah mengalami tekanan yang begitu besar akibat Oleh karena itu, kesadaran kita
memperbaiki keadaan menjadi sangat penting. Segala tindakan atau perbuatan manusia akan
memberi dampak terhadap kondisi bumi, jadi jika belum mampu melakukan perbaikan maka
paling tidak berhentilah turut membuat kondisi bumi semakin parah.

Beberapa teknologi energi ramah lingkungan yang sudah banyak digunakan antara lain; tenaga
angin, geotermal, pembangkit listrik tenaga air, energi matahari, bioenergy. Istilah lain dari
energi ramah lingkungan adalah energi berkelanjutan (sustainable energy) dimana energi
berkelanjutan ini memiliki dua pilar yaitu efisiensi energi dan energi terbarukan. energi
berkelanjutan ini dapat dipisahkan dengan istilah energi alternatif dengan memfokuskannya pada
kemampuan dari sebuah sumber energi untuk terus menyediakan energi.

Keuntungan dari penggunaan energi terbarukan beberapa diantaranya adalah; emisi GRK yang
dihasilkan sangat sedikit, jika gas alam dapat menghasilkan emisi antara 0,3 – 0,9 kg emisi setara
CO2 per kWh, batubara mengeluarkan 0,6 – 1,6 kg emisi setara CO2 per kWh bandingkan
dengan emisi pembangkit tenaga angin yang hanya mengeluarkan antara 0,009 – 0,018 kg emisi
setara CO2 per kWh, atau geothermal yang hanya mengeluarkan antara 0,04 – 0,09 kg emisi
setara CO2 per kWh dan hidroelektrik mengeluarkan 00,4 – 0,22 kg emisi setara CO2 perkWh.
Dengan rendahnya tingkat emisi yang dihasilkan maka tentu akan membawa dampak positif bagi
kesehatan manusia serta kualitas lingkungan.

Selain dampak positif tersebut, energi terbarukan juga akan memberi dampak keuntungan lain
baik langsung maupun tidak langsung. Energi terbarukan akan memberi kesempatan kerja yang
lebih besar, juga tentu harga yang lebih murah dan relatif lebih stabil.

Target pemerintah untuk mewujudkan bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025
disebut-sebut terlalu ambisius. Banyak pihak pun meragukan bahwa target tersebut dapat
tercapai.

Penetapan target tersebut, selain untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi
CO2 sesuai dengan Kesepakatan Paris, juga untuk mendorong percepatan rasio eletrifikasi
nasional.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), rasio elektrifikasi
nasional sampai dengan 2017 baru mencapai 95,35%. Masih terdapat 2.519 desa atau 256.114
rumah yang belum terlistriki. Kebanyakan rumah yang belum terlistriki berada di wilayah
terpencil.

Solusi yang memungkinkan untuk percepatan penyediaan listrik di wilayah tersebut, tak bisa
dipungkiri adalah dengan mengembangkan pembangkit energi terbarukan. Berharap pada
jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pun nampaknya masih sulit untuk
beberapa tahun ke depan.

Dengan ini pemerintah sepertinya tak punya pilihan lain selain menggenjot pemanfaatan energi
terbarukan. Namun, percepatan pemanfaatan energi terbarukan juga bukan perkara mudah.
Untuk mewujudkan program energi berkeadilan, pemerintah memiliki tugas memastikan harga
listrik terjangkau bagi seluruh masyarakat, sedangkan di sisi lain produksi listrik dari pembangkit
energi terbarukan masih cukup mahal.

Oleh karena itu, Menteri ESDM Igansius Jonan selalu menekankan kepada pengembang yang
berminat dalam pengembangan energi terbarukan untuk bagaimana pun caranya agar produksi
listrik dari pembangkit yang dikembangkan harus menghasilkan listrik yang terjangkau bagi
masyarakat.
Pemerintah kemudian mengatur melalui Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan
Energi Terbarukan untuk Pembangkit Listrik, tarif listrik pembangkit ‘hijau’ ditetapkan 85% dari
biaya pokok produksi (BPP) listrik di masing-masing wilayah.

Di mata pengembang, ketetapan tersebut membuat pengembangan energi terbarukan tidak dapat
mencapai skala keekonomian. Pasalnya, tidak banyak daerah yang memiliki BPP tinggi sehingga
tarif yang ditawarkan PLN juga tidak terlalu tinggi. Misalnya, di daerah Lampung berdasarkan
data Kementerian ESDM, tercatat BPP sebesar US$7,77 per kWh sehingga bila mengacu Permen
ESDM 50/2017, tarif yag ditawarkan hanya sebesar US$6,60/kWh.

Anda mungkin juga menyukai