Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FARMAKOGNOSI

KELOMPOK 8

TENTANG ETNOFARMASI LAMPUNG

Dosen Pengampu : Galih Samodra M.Farm.,Apt

Disusun Oleh :

 ESI RISKIYAH 180105029


 FAAIZANI PUTRI 180105030
 FITRIA KUSUMANINGSIH 180105035
 GUNAWAN LATURAMA 180105036
 HANIF ZUFRIALDI BAGASKARA 180105037

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasamemberikan berkat dan rahmat-Nyasehingga dapat menulis paper
dengan judul “ETNOFARMASI LAMPUNG “ ini dapat diselesaikan. Paper ini
merupakan salah satu syarat tugas dari mata kuliah Farmakognosi. Diharapkan
juga dengan paper ini dapat menambahkan wawasan tentang etnofarmasi lampung
.Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada bapak Galih Samodra M. Farm.,Apt
selaku dosen pengampu mata kuliah Farmakologi Dasar.

Dalam pengerjaan dan pembuatan paper ini, saya sadari masih banyak


kekuranganya, dan untuk itu segalasaran dan kritik yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan. Sebagai akhir kata, semoga paper ini bermanfaat bagi kita
semua.

Purwokerto, 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.............................................................................1


1.2. Rumusan Masalah.......................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan.........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Etnofarmasi...............................................................3


2.2. Etnofarmasi Lampung.................................................................3
2.3. REVIEW JURNAL.....................................................................9

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan..................................................................................16
3.2. Saran............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai suku


bangsa yang masing masing sukunya memiliki kebudayaan serta adat
istiadat yang berbeda-beda. setiap adat dan budaya memiliki ciri khas
sehingga membedakan budaya yang satu dengan yang lain. Indonesia
merupakan wilayah kekayaan biodiversitas dunia terbesar kedua,
termasuk kekayaan ragam tumbuhan obat dan ribuan spesies sudah
digunakan masyarakat. Berbagai suku memanfaatkan tumbuhan sebagai
bahan etnomedisin dengan keunikan ramuan dan cara penyajian yang
menunjukkan tingginya pengetahuan etnis lokal tentang tumbuhan obat.
(H.R. Dewoto,2007).
Pengetahuan tentang tumbuhan obat merupakan warisan budaya
bangsa turun temurun yang pewarisannya perlu mendapat perhatian.
Pengumpulan pengetahuan etnobotani tradisional tidak saja penting untuk
mencatat tradisi endogenus dan kekayaan warisan, tetapi juga memberi
informasi penting untuk keberlanjutan industri tanaman obat dan
konservasi habitat sumberdaya hutan. serta pemanfaatannya untuk riset
farmasi dan penemuan obat baru.
Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata tidak mampu
begitu saja menghilangkan arti pengobatan tradisional. Oleh karena itu
salah satu pengobatan alternatif yang dilakukan adalah meningkatkan
penggunaan tumbuhan berkhasiat obat di kalangan masyarakat. Kearifan
lokal, pengobatan tradisonal, dan pengetahuan etnobotani perlu dipelajari
dan dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi
tumbuhan obat dan bagian yang digunakan untuk ramuan dan
menginventarisasi ramuan tumbuhan obat cara penggunaannya oleh etnis
lokal di Lampung.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Etnofarmasi ?
b. Bagaimana Etnofarmasi di Lampung?
1.3 Tujuan
a. Dapat mengetahui definisi Etnofarmasi.
b. Dapat mengetahui tentang Etnofarmasi Lampung.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etnofarmasi

Etnofarmasi adalah kajian ilmu interdispliner mengenai aspek-


aspek farmasi yang terdapat pada suatu komunitas etnis masyarakat pada
suatu daerah tertentu. Etnofarmasi melibatkan kajian pengenalan,
pengelompokan, dan pengetahuan darimana obat tersebut dihasilkan
(etnobiologi ), preparasi sediaan obat (etnofarmasetik), aplikasi sediaan
obat (etnofarmakologi), dan aspek sosial dari penggunaan pengetahuan
perobatan dalam etnis tersebut (etnomedisin). Dalam penelitian
etnofarmasi, yang mejadi objek utama penelitian adalah sebuah komunitas
yang terisolasi untuk menemukan kembali resep tradisional komunitas
tersebut dan mencoba melakukan evaluasi secara biologis maupun kultural
(pieroni et al., 2002).

Menurut moektiwardoyo (2014) etnofarmasi adalah bagian dari


ilmu farmasi yang mempelajari penggunaan obat dan cara pengobatan
yang dilakukan oleh etnik dan suku bangsa tertentu. Etnofarmasi
merupakan bagian dari ilmu pengobatan masyarakat tradisional yang
seringkali terbukti secara empiris dan setelah melalui pembuktian-
pembuktian ilmiah dapat ditemukan atau dikembangkan oleh senyawa
obat baru.

2.2 Etnofarmasi Lampung

Etnik lampung adalah etnik yang bermukim di Provinsi Lampung


pulau Sumatera. Seperti etnik-etnik lain di Indonesia, etnik Lampung juga
mempunyai warisan kearifan local nenek moyangnya, termasuk dalam hal
sakit, obat dan cara pengobatan. Pengetahuan masyarakat etnik Lampung
tentang penyakit dan cara pengobatannya diperoleh secara turun temurun
dari nenek moyangnya, berguru pada dukun dan berdasarkan pengalaman
tetangga, termasuk meniru tindakan orang yang dianggap memiliki

3
pengetahuan lebih seperti kyai, ketua adat, dan sebagainya. Menurut
masyarakat etnik Lampung, sakit atau disebut mahuyuh atau makhing dan
bahaban adalah keadaan tubuh yang seluruh atau sebagian anggotanya
mengalami perubahan dari keadaan normal menjadi tidak normal karena
terjadi penurunan tingkat kesehatan. Apabila seluruh badan mengalami
penurunan tingkat kesehatannya tidak signifikasikan, penderita dianggap
tidak sakit atau sakit ringan, yang disebut makhing, misalnya luka,
muntah, selesma, batuk, sakit mata, tertusuk duri, dan sejenisnya.
Masyarakat etnik Lampung umumnya beragama isla, namun
diantara mereka masih banyak yang percaya akan adaya kekuatan gaib,
seperti adanya makhluk halus yang oleh mereka disebutnya sihalus yang
mendiami tempat-tempat yang dianggap keramat. Mereka masih percaya
akan kesaktian benda-benda tertentu yang disebut jimat dan benda-benda
lain yang dipakai di badan untuk penolak bala, misalnya ibu hamil
diharuskan membawa banglai dan jaringau yang dilekatkan dipakaian atau
pada konde rambut.
Masyarakat etnik Lampung mengenal beberapa macam cara pengobatan,
yaitu:
a. Melalui dukun
Masyarakat etnik Lampun mengenal tiga tipe dukun. Dukun balak,
adalah sebutan masyarakat etnik Lampung begi seorang dukun yang
mempunyai pengetahuan luas tentang obat dengan pengobatan.
Kecuali mengetahui jenis-jenis penyakit, dukun balak juga sangat
paham tentang penyebab penyakit, serta mampu melakukan berbagai
cara pengobatan seperti melalui jampi-jampi, urut, pijat, sebur atau
toreh. Kemampuan dukun balak tidak terbatas pada pengobatan sakit
biasa , tetapi juga dapat mengobati gangguan-gangguan lain seperti
gangguan sihalus. Selain itu dukun balak juga mampu bertindak
sebagai dukun nganak. Selain dukun balak dikenal juga dukun biasa,
yaitu dukun yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan mengobati
penyakit, tetapi tidak setenat dukun balak, Karena pengetahuannya
terbatas pada beberapa pengobatan penyakit saja, misalnya dukun

4
patah tulang. Dukun nganak atau dukun bayi adalah sebutan
masyarakat etnik Lampung untuk seorang ahli tentang pengobatan dan
perawatan, baik kepada ilmu hamil ataupun orok (bayi), yaitu
mempunyai kemampuan meramu berbagai tumbuhan untuk
kepentingan kesehatan ibu mulai dari kehamilan bualan pertama
hingga melahirkan dan merawat bayi hingga berumur sekitar satu
tahun.
b. Menggunakan tumbuhan atau ramuan tumbuhan
Pengobatan menggunakan tumbuhan atau ramuan tumbuhan dibagi
menjadi dua kategori, yaitu untuk penyakit luar dan untuk penyakit
dalam, diantaranya untuk mengobati luka (katana atau balus),
digunakan ubat katan diobati denngan ramuan yang terdiri atas
kecubung (Datur sp) dan kapur sirih. Untuk luka bakar yang disebut
tutug atau katan kena apuy yang diobati dengan diolesi dan diluluri
getah jarak (Ricinus communis), untuk luka iris, yang oleh etnik
Lampung disebut katankena hikhis diobati dengan getah kates ( Carica
papaya). Bila digigit ular atau digigit oalay, diobati dengan ramuan
yang terbuat dari umbut pisang. Pengobatan penyakit dalam ,
masyarakat etnik Lampung mengenal tumbuhan sebagai obat,
diantaranya untuk obat sakik tullan atau sakik tolang, yang dikenal
luas sebagai encok.
2.3.1 Tinjauan Etnik Lampung
Masyarakat Lampung sendiri terdiri dari dua turunan atau terbagi
dalam dua lingkungan masyarakat adat yaitu, masyarakat adat Sai Batin
dan masyarakat adat Pepadun. Perbedaan yang mendasar dari dua adat
istiadat tersebut adalah mengenai status dan gelar seorang Raja adat. Bagi
adat Sai Batin dalam setiap generasi (masa/periode) kepemimpinan
hanya mengenal satu orang raja adat yang bergelar Sultan, hal tersebut
sesuai dengan istilahnya yaitu Sai Batin artinya Satu Batin (satu orang
junjungan). Didalam budaya masyarakat adat Pepadun sendiri juga
dikenal kepala-kepala adat yang disebut Penyimbang dengan gelar Sultan
(Suttan), tetapi Sultan ini dapat juga memberikan gelar Suttan kepada

5
siapa saja dalam masyarakat adat asalkan dapat memenuhi syarat-syarat,
terutama pada saat penyelenggaraan pesta adat “Cakak Pepadun”
(Sabaruddin, 2010).
Identitas etnik Lampung berasal dari falsafah atau semboyan dari
kepribadian hidup orang Lampung yaitu Piil-Pesenggiri yang berarti
malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri
(Sabaruddin 2010: 24- 25).
Dalam falsafah hidup orang Lampung tersebut terdapat beberapa
unsur penting lainnya yang menjadi identitas etnik Lampung, yaitu:
a) Piil Pesenggiri ( Rasa Harga Diri )
Segala sesuatu yang menyangkut harga diri, perilaku, dan sikap
yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik martabat secara
pribadi maupun kelompok. Selain itu melalui Piil Pesenggiri,
seseorang dapat berbuat atau tidak berbuat sesuatu, kendati
merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Piil Pesenggiri adalah
tatanan moral, pedoman bersikap dan berperilaku masyarakat adat
Lampung, dalam segala aktivitas hidupnya. Piil pesenggiri
merupakan potensi sosial budaya daerah, memiliki makna sebagai
sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha
memperjuangkan nilai-nilai positif, hidup terhormat dan dihargai di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Piil pesenggiri sebagai
tatanan moral memberikan pedoman bagi perilaku pribadi dan
masyarakat adat Lampung untuk membangun karya-karyanya. Piil
pesenggiri merupakan suatu keutuhan dari unsur-unsur yang
mencakup.
b) Juluk Adok ( Bernama dan Bergelar)
Secara etimologis Juluk-adok (gelar adat) terdiri dari kata juluk
dan adok, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama
panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu
mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adok
bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah
menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan

6
ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga
untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh
pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama
panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari
pihak keluarga isteri. Juluk-adok merupakan hak bagi anggota
masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adok merupakan identitas
utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya
penobatan juluk-adok ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai
media peresmiannya. Juluk adok ini biasanya mengikuti tatanan yang
telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur
kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin,
Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing
kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada
adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Juluk-adok melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat
Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya
dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adok
merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota
masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya,
kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya
c) Nemui Nyimah ( Terbuka Tangan)
Nemui berasal dari kata benda “temui” yang berarti “tamu”,
kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau
mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda “simah”,
kemudian menjadi kata kerja “nyimah” yang berarti suka memberi
(pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai
sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima
dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah
merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap
keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan
kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya
untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara

7
genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan
kewajaran.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan
masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap
kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki
keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan
luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan
orang lain.
d) Nengah Nyappur ( Hidup Bermasyarakat )
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah
untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang
harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi
yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh
tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada
umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada
posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan
santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap
mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi
dengan tertib dan bermakna.
e) Sakai Sambayan ( Tolong Menolong/ Gotong Royong )
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau
sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis
yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan
sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok
orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa
tanpa mengharapkan balasan. Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan
gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-
sambayan.
Pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas
yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan
pada umumnya. Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang
terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan

8
kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan,
sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila
pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat
lain yang membutuhkan. Status sosial seorang anggota masyarakat dapat
dikenali antara lain dari juluk- adoknya yang mencerminkan strata golongan
kepenyimbangan. Di samping itu dapat juga ketahui dari garis lurus status
kepenyimbangannya, yaitu penyimbang buwai/marga, tiyuh/anek atau
penyimbang suku. Seseorang yang berstatus sebagai penyimbang buwai,
berarti ia memiliki tanggungjawabnya yang jauh lebih besar dari pada
golongan penyimbang-penyimbang lainnya.

2.3 REVIEW JURNAL

2.3.1 JUDUL : TRADISI BULANGEKH DALAM MASA KEHAMILAN


PADA MASYARAKAT LAMPUNG SAIBATIN DI PEKON
SUMBERAGUNG KECAMATAN NGAMBUR
KABUPATENPESISIR BARAT.
2.3.2 OLEH : Yuresti, Ali Imron dan Maskun FKIP Unila Jalan. Prof. Dr.
SoemantriBrojonegoro No. 1 Bandar Lampung.
2.3.3. TUJUAN : Untuk mengetahui Proses pelaksanaan Bulangekh dalam masa
kehamilan pada masyarakat Lampung Saibatin di Pekon Sumber
Agung Kecamatan Ngambur Kabupaten Pesisir Barat.

2.3.4. ISI :
Identitas etnik Lampung, yang memiliki dua masyarakat adat yaitu
“Pepadun dan Saibatin”, berasal dari falsafah hidup orang Lampung
yang disebut Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri adalah tatanan moral,
pedoman bersikap dan berperilaku masyarakat adat Lampung, dalam
segala aktivitas hidupnya Piil pesenggiri merupakan potensi sosial
budaya daerah, memiliki makna sebagai sumber motivasi agar setiap
orang dinamis dalam usaha memperjuangkan nilai- nilai positif, hidup
terhormat dan dihargai di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Piil

9
pesenggiri terdapat unsur-unsur yang mencakup Juluk-adok, Nemui
nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakai-Sambaiyan. Piil-pesenggiri pada
hakekatnya merupakan nilai dasar, intinya terletak pada keharusan
mempunyai hati nurani positif (bermoral tinggi atau berjiwa besar),
sehingga senantiasa dapat hidup secara logis, etis dan estetis
(Sabaruddin, 2010).
Dari beberapa aspek identitas Lampung Juluk-adok merupakan hal
yang mulai ditinggalkan pada etnik Lampung. Juluk-adok merupakan
asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat
Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan
perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya, semakin tinggi
gelarnya semakin tinggi pula kehormatannya. Juluk-Adok merupakan
identitas dasar dari etnik Lampung sendiri yang diberikan pada upacara
adat besar (begawi). Juluk adok pada masyarakat etnik Lampung dapat
berupa Suttan, Raja, Pangeran, Dalom, dan lain-lain (Sabaruddin,
2010).
Lampung Saibatin adalah sebutan bagi orang-orang yang berada
di sepanjang Pesisir Pantai Selatan Lampung. sedangkan, Lampung
Pepadun adalah sebutan bagi Orang Lampung yang berasal dari Sekala
Berak di Punggung Bukit Barisan (sebelah Barat Lampung Utara) dan
menyebar ke utara, ke timur dan tengah Provinsi Lampung.
(Hadikusuma, 1989).
Penduduk asli Lampung terdiri dari dua masyarakat adat atau (gh)
ruwa jurai, yakni JuraiPepadun dan JuraiSaibatin. Dapat dilihat
perbedaannya dalam bertutur orang Saibatin berdialek A, sedangkan
orang Pepadun berdialek O (Ali Imron, 2005:1).Kedua kelompok
masyarakat ini memiliki adat istiadat yang khas sesuai dengan
kebiasaan masing-masing. Namun pada dasarnya kedua kelompok adat
ini memiliki persamaan unsur budaya tertentu.
Masyarakat Pepadun mendiami daerah pedalaman, seperti daerah
Abung, Way Kanan atau Sungkai, Tulang Bawang, dan Pubian.
Masyarakat Lampung beradat Saibatin disebut juga masyarakat

10
peminggir karena pada umumnya mereka berdiam di daerah-daerah
pantai atau pesisir, berbeda dengan masyarakat Pepadun yang
umumnya berdiam didaerah pedalaman. Masyarakat Lampung
Saibatin di Pekon Sumber Agung berada pada Kecamatan Ngambur
Kabupaten Pesisir Barat mempunyai tradisi dan cara tersendiri dalam
melestarikan budaya Lampung. Pada masyarakat Lampung yang ada di
Pekon Sumber Agung mengenal tradisi Bulangekh yang artinya
“pengobatan dan juga tolak bala”. Pengobatan tersebut dilakukan
dengan syarat tertentu. Salah satu tradisi Bulangekh ini dilaksanakan
pada masa kehamilan. Bulangekh bukan hanya dilakukan pada masa
kehamilan saja, tetapi ini juga dilakukan untuk pengobatan pada orang
gila, orang kerasukan, sanakinangan, dan orang yang terkena guna-
guna. Setiap pelaksanaan ataupun upacara selalu mempunyai arti,
begitu juga dalam pelaksanaan tradisi Bulangekh pada masa kehamilan.
Bulangekh tidak hanya dilakukan begitu saja, tetapi ada beberapa
persiapan, perlengkapan dan syarat yang harus disiapkan terlebih
dahulu.
Upacara dalam masa kehamilan merupakan upacara yang
dilakukan untuk merayakan saat seorang calon ibu yang mengandung
tua atau masa kehamilan pertama dan dilakukan untuk pengobatan rutin
seorang ibu yang sedang hamil. Bulangekh ini telah ada sejak dahulu,
yaitu sebuah acara ritual dengan memandikan seorang calon ibu pada
waktu-waktu tertentu dalam masa kehamilannya pada masyarakat
Lampung Saibatin dengan tujuan untuk melindungi si ibu dan janinnya
dari segala kemungkinan penyakit dan gangguan dari makhluk halus.
Bulangekh dalam Bahasa Lampung berarti “pengobatan dan juga tolak
bala”.
Istilah Bulangekh dalam masa kehamilan, jika merujuk pada
makna yang digunakan oleh masyarakat setempat, dapat diartikan
sebagai sebuah acara ritual dengan tujuan untuk melindungi diri
seorang ibu dan janin yang ada dalam kandungannya tersebut dari
segala penyakit dan gangguan-gangguan makhluk halus,dengan cara

11
dimandikan oleh seorang dukun yang telah dipercaya
keluarganya.Ritual ini dilaksanakan pada waktu kandungan berumur
lima bulan dan tujuh bulan. Setiap kebudayaan tentunya memiliki
makna, fungsi, tujuan dan proses pelaksanaannya. Kita dapat
mengetahui suatu kebudayaan secara jelas jika kita mengetahui proses
pelaksanaannya, makna, fungsi dan tujuannya, setelah itu kita dapat
mengetahui manfaat dari tradisi tersebut bagi masyarakat sekitar
maupun masyarakat pada umumnya.
Menurut Bapak A. Bazwar wawancara penulis pada tanggal 5
Febuari 2013 bahwa ada kepuasan tersendiri bagi suatu keluarga yang
mengadakan tradisi Bulangekh dalam masa kehamilan, karena dalam
melaksanakan tradisi Bulangekh itu adalah salah satu cara untuk
memohon perlindungan agar janin yang dalam kandungan serta si ibu
dalam keadaan sehat sekaligus mensyukuri rizki yang Allah
berikan.Pelaksanaan tradisi Bulangekh dilaksanakan pada saat orang
hamil, ketika usia kandungan memasuki usia 5 dan 7 bulan. Hasil
wawancara dengan Bapak Rianda pada tanggal 5 Febuari 2013,
pelaksanaan Bulangekh dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penutup.
Tahap persiapan merupakan tahap memepersiapkan perlengkapan
dan bahan yang akan digunakan pada saat melaksanakan Bulangekh.
Tradisi Bulangekh dalam masa kehamilan ini dilakukan ketika usia
kandungan seorang ibu hamil ini memasuki umur lima bulan dan tujuh
bulan. Tahap persiapan tata cara pelaksanaan Bulangekh adalah
menentukan waktu dan tempat pelaksanaan acara bulangekh, biasanya
dilaksanakan pada malam hari berkisar antara pukul 19.00-21.00 WIB
atau setelah Isya yang malam itu disyaratkan malam bulan purnama
atau akan menjelang bulan purnama.Mempersiapkan acara diawali
pemberitahuan kepada dukun dari pihak mertua dengan mengutus
anaknya atau sang suami dari ibu hamil bahwa pada malam yang telah
ditentukanakan diadakan acara ritual/Bulangekh. Pemberitahuan pada
dukun dengan persiapan yang telah disiapkan seperti beras, gula, teh,

12
kopi, rokok dan juga uang seikhlasnya. Keluarga dan bapak dukun
mempersiapkan peralatan-peralatan dan bahan yang akan digunakan
pada saat Bulangekh dilaksanakan adalah :
a. Kekambangan atau bunga tujuh macam (bunga tujuh macam
yaitu cempaka, tali, ratus, kekelapa, ganda suli, melokh, dan
sepatu)
b. Way ulok mulang (air,dimana pertemuan air dari berbagai arah
yang membentuk lingkaran ditengah-tengah karena mengalami
perputaran arah)
c. Bayit ambon (rotan)
d. Limau kunci (jeruk purut)
e. Cumbung capah sebuah mangkokm putih yang masih mulus
atau mangkok yang masih baru
f. Pengkhecak (alat yang digunakan oleh dukun untuk
memercikkan air)
g. Berlai jerangau (rumput gajah sebangsa kunyit)
h. Perasapan atau pedaporan (bara api di dalam dupa).
Tahap pelaksanaan Bulangekh ini dilakukan setelah semua
persiapan usai. Malam harinya upacara Bulangekh dilakukan, diawali
dengan membakar kemenyan oleh bapak dukun diiringi mantera dukun
bercampur baur dengan do’a lantunan ayat Suci Al-Qur’an. Dengan
disertai bacaan do’a yaitu “Ya Allah ya Tuhanku, lindungilah, jauhkanlah
dari bala, gangguan rohani dan jasmani dan beri kesehatan juga
keselamatan bagi ibu dan bayi. Berkat Lailahaillallah
Muhammadarrasulallah”. Sambil berdo’a dukun berputar mengelilingi ibu
yang duduk bersimpuh bersamaan dengan berkeliling dukun menyiramkan
air bunga-bunga bercampur air jeruk, setelah selesai kemudian ibu hamil
disuruh memakai kalung dengan biji kalung dari berlai jerangau,
kemudian si dukun pun memberikan nasehat dan peringatan yang harus
diperhatikan oleh si ibu hamil. Pantangan-pantangan yang harus dihindari
si ibu , antara lain:
1. Si ibu hamil tidak diperbolehkan tidur pada siang hari.

13
2. Tidak diperkenankan makan buah kayu yang bergetah, seperti
nangka (Lampung: melasa, menaso, kemunduk), cempedak
(Lampung: nenakan, nakan-nakan), keluih, sukun.
3. Tidak boleh berjalan-jalan keluar rumah pada waktu Zuhur dan
Magrib.
4. Tidak diperkenankan makan tebu.
5. Tidak boleh duduk di tanah
6. Tidak boleh makan makanan yang pernah di makan binatang
7. Tidak boleh mempergunjingkan orang apalagi memaki-maki
8. Tidak diperkenankan memakan buah pisang yang dempet
(Lampung : punti rampit)
Masyarakat juga mengenal dua jenis binatang tunggangan
makhluk halus, yaitu :
1. Puntianak atau kuntilanak, sebagai makhluk jahat yang akan selalu
menghisap darah si ibu bila melahirkan, dengan tunggangan
musang serta burung.
2. Kenui kecuping atau elang bertelinga (burung hantu). Burung ini
menjadi tunggangan makhluk halus untuk mengambil bayi dari
dalam kandungan. Biasanya burung ini hinggap di atas bubungan
rumah di mana ada wanita yang sedang hamil.
Bila ada burung Kenui kecupingini, selalu saja akan terjadi
kelainan-kelainan pada letak dan keadaan janin di dalam kandungan,
bahkan ada kemungkinan meninggal sebelum lahir. Untuk mengusir
burung ini, biasanya dipergunakan kayu bekas memasak nasi
(Lampung : Puntung) yang dilemparkan ke burung itu. Pada waktu
hamil, ibu selalu memakai gelang berlai jerangau, sebangsa kunyit
yaitu rumput gajah yang baunya sangat menyengat, selalu hidup di
daerah yang berair.Ibu hamil harus selalu memakai tusuk konde
(Lampung : cucuk gunjung), terbuat dari besi atau setidak-tidaknya
paku, dapat juga peniti yang dicantelkan di baju bagian dada. Maksud
dari kesemua ini adalah untuk penangkal makhluk halus yang akan
mengganggu wanita yang sedang hamil. (Departemen Pendidikan dan

14
Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Lampung. Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Lampung 1981/1982).
Setiap pekerjaan yang telah selesai sebaiknya tak lupa kita
mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, mengucap terimakasih
kepada orang-orang yang telah membantu dan terlibat dalam pekerjaan
kita. Hal ini terlihat dalam acara akhir Bulangekh atau dalam
penutupan acara Bulangekh. Acara Bulangekh selesai, maka diadakan
penutupan (Lampung : ngebok langekh). Keesokan hari setelah acara
Bulangekh selesai, maka pihak keluarga pergi ke rumah bapak dukun
dengan membawa persiapan atau oleh-oleh sebagai tanda ucapan
terimakasih telah membantu menjalankan acara Bulangekh tersebut.
Kemudian pada malam harinya keluarga dari si ibu hamil mengadakan
syukuran dengan do’a bersama mengundang tetangga dan kerabat
dikampung untuk memanjatkan do’a kepada tuhan atas rasa syukur
karena acara Bulangekh telah selesai dilaksanakan dan berjalan lancar.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Etnofarmasi adalah kajian ilmu interdispliner mengenai aspek-aspek


farmasi yang terdapat pada suatu komunitas etnis masyarakat pada suatu
daerah tertentu. Etnofarmasi melibatkan kajian pengenalan,
pengelompokan, dan pengetahuan darimana obat tersebut dihasilkan
(etnobiologi ), preparasi sediaan obat (etnofarmasetik), aplikasi sediaan
obat (etnofarmakologi), dan aspek sosial dari penggunaan pengetahuan
perobatan dalam etnis tersebut (etnomedisin).
b. Etnik lampung adalah etnik yang bermukim di Provinsi Lampung pulau
Sumatera. Seperti etnik-etnik lain di Indonesia, etnik Lampung juga
mempunyai warisan kearifan local nenek moyangnya, termasuk dalam hal
sakit, obat dan cara pengobatan.
c. Masyarakat Lampung sendiri terdiri dari dua turunan atau terbagi dalam
dua lingkungan masyarakat adat yaitu, masyarakat adat Sai Batin dan
masyarakat adat Pepadun.
d. Bulangekh merupakan budaya dan adat istiadat orang Lampung
khususnya yang beradat Saibatin yang sedang dalam keadaan hamil.Ibu
hamil biasanya melakukan tradisi Bulangekh.
.

3.2 Saran

16
Mengingat makalah ini masih jauh dari kata sempurna,penulis
mengharapkan adanya kritik serta saran dari pembaca untuk menjadikan
makalah dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah pengetahuan bagi
yang membaca.

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Mandar


Maju : Bandar Lampung. Halaman 105
H.R. Dewoto. (2007). Pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi
fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 57, No. 7, p. 205-211.
Imron, Ali. 2005. Pola Perkawinan Saibatin. Universitas Lampung : Bandar
Lampung. Halaman 102
Sabarudin Sa. 2013. Sai Bumi Ruwa Jurai Lampung. Jakarta: Buletin Way Lima
Manjau.

17

Anda mungkin juga menyukai