Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PROFESIONALISME ISLAM

“PERMASALAHAN OBAT DALAM TINJAUAN SYARIAH”

Disusun Oleh :

Rossy Faizah Nur Utami 1608020106

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Kemajuan Ilmu dan teknologi di bidang obat-obatan dan kosmetika


memungkinkan penggunaan obat dan kosmetika semakin luas dan beragam. Satu
sisi kenyataan ini sangat menggembirakan disisi lain umat Islam harus waspada
karena bukan mustahil dalam obat dan kosmetika yang digunakan terdapat bahan
yang menurut syariat agama Islam tergolong haram atau kurang diragukan
kehalalannya. Terlebih pada produk obat yang diproduksi oleh produsen yang
tidak mempersoalkan halal-haram. Bahan yang dimaksud adalah alkohol. Masalah
ini harus dicermati oleh setiap muslim karena Nabi pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, menjadikan bagi
kamu setiap penyakit ada obatnya. Oleh karena itu berobatlah, tetapi jangan
berobat dengan yang haram” (HR. Abu Daud).

Obat-obatan, kosmetika dan makanan (termasuk didalamnya minuman),


pada hakekatnya adalah bahan kimia. Kesemuanya dapat digolongkan menjadi
dua golongan besar yaitu, pertama yang secara normal dibutuhkan oleh sel
makhluk hidup, seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, ddl. Kedua yang
secara tidak normal, disebut xenobiotika, seperti obat-obatan, sebagian besar
kosmetika, bahan pewarna, bahan penyedap atau bahan pengawet dalam makanan.

Dipandang dari hukum Islam diantara bahan kimia tersebut ada yang tidak
halal dikonsumsi atau najis untuk dikenakan atau keduanya, haram dikonsumsi
dan najis dikenakan. Diantarnya mungkin sudah sangat jelas status hukumnya
seperti khamr atau minuman yang memabukan (seperti minuman beralkohol).

Dalam Hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Al


Turmudzi “Rasulullah SAW melarang berobat dengan obat yang khubuts”.
Sebagai contoh Khamr. Pada umumnya para ulama memperluas pengertian khamr
yakni semua jenis minuman yang berkadar alkohol. Mereka berkesimpulan bahwa
unsur khamr yang memabukkan adalah adanya kandungan alkohol di dalamnya.
Dalam kaitannya dengan penggunaan alcohol untuk obat, golongan terbesar
mutjahidin khamr tetap mengharamkan meminumnya, demikian juga seluruh
barang najis dan yang haram lainnya meskipun tidak najis. Ibn Qayyim Al
Jauziyah (691-751 / 1292-1350) memilih dan menguatkan Madhzab Jumhur,
demikian juga sebagian fuqaha madzhab hanafi mendukung pendapat tersebut.
Permasalahan alkohol biasa dikaitkan dengan khamr yang nyata-nyata
diharamkan meminummnya (Al-Maidah, 90). Pengharaman khamr dipertegas
oleh Nabi dengan sabdanya : “Setiap yang memabukan itu khamr dan setiap
khamr itu haram”. Pengkaitan tersebut cukup beralasan karena pengharaman
khamr yang secara kronologis disebutkan dalam Al-Qur’an berkaitan dengan sifat
“memabukan” (intoksikasi) jika diminum sedangkan zat penyebab mabuk yang
terdapat dalam khamr adalah alkohol yang dalam bahasa ilmu kimia disebut
etanol atau atil-alkohol.
BAB II

ISI

A. ALKOHOL DALAM OBAT


Dalam Ilmu Kimia yang dimaksud dengan Alkohol adalah senyawa
organic yang dalam struktur molekulnya memiliki gugus hidroksi (OH).
Namun yang dimaksud dengan alcohol dalam kehidupan keseharian adalah
etanol atau etil alcohol dengan rumus kimia C2H5OH.

Fungsi alcohol dalam obat, yaitu :


1. Alkohol sebagai bahan Berhasiat, contohnya Alkohol dapat digunakan
untuk menurunkan suhu badan, mencegah biang keringat, desinfektan,
mencegah infeksi, membersihkan kulit dan mencegah luka akibat berbaring
terlalu lama bagi pasien di RS, menghilangkan rasa nyeri.
2. Alkohol sebagai pelarut, contohnya pada sediaan tablet, alkohol digunakan
untuk melarutkan zat aktif dan berbagai bahan tambahan, misalnya bahan
pengikatndan bahan penyalut (coating), meningkatkan kelarutan obat,
pelarut larutan injeksi, menyari zat aktif dari tumbuhan hingga diperoleh
ekstrak.
3. Alkohol sebagai pengawet
4. Alkohol sebagai Flavourant (Penyegar rasa), contohnya pada obat batuk
dan obat influenza seperti Benadryl, sanflu.
5. Alkohol sebagai khamr.

Sebagaimana dimaklumi ummat Islam, pengharaman khamr melalui


tiga tahap yaitu:

1. Informasi bahwa khamr itu ada manfaat tetapi (mudhorat)nya lebih besar
dibanding manfaatnya. (Al-Baqarah : 219).
2. Larangan melakukan shalat sewaktu mabuk (An-Nisa : 43)
3. Perintah meninggalkan khamr karena ia kotor (Rijsun) dan merupakan
perbuatan syaitan (Al-Maidah : 90)
Pengharaman khamr di pertegas dengan pernyataan Nabi “Setiap yang
memabukkan itu khamr dan setiap khamr itu haram” (HR. Muslim). Kalau
diperhatikan jenis khamr (minuman keras) jaman Rasulullah (dan sebelumnya)
pastilah relative masih sederhana, dilakukan dengan fermentasi biasa. Dengan
demikian kandungan alkohol pasti dibawah 13%. Kalau khamr dengan
kandungan alkohol sebesar 13% saja haram karena memabukkan, maka dapat
dipastikan kalau khamr atau minuman keras dengan kandungan alkohol diatas
13% , haram meminumnya karena pasti memabukkan. Rasulullah SAW
pernah bersabda bahwa “(minuman) apapun kalau banyaknya memabukkan,
maka sedikinya pun haram”. Sabda ini mengisyaratkan bahwa kalau
seseorang meminum minuman yang haram karena memabukkan, sekalipun
tidak mabuk (karena hanya sedikit) tetap haram. Oleh karena itu, sebaiknya
kita sebagai seorang muslim perlu berhati-hati dalam penggunaan alkohol
pada pengobatan agar kiranya kita terhindar dari dosa yang jelas-jelas sudah
dilarang oleh Allah SWT.

B. EFEK ALKOHOL DALAM TUBUH

Allah yang maha bijaksana telah mengisyaratkan bahwa khamr


(alkohol) ada gunanya bagi manusia tetapi mudhorot (dosa)-nya lebih besar
dibanding manfaatnya. Secara farmakologis alkohol berpengaruh buruk bagi
manusia secara menyeluruh kalau masuk tubuh. Hampir semua organ utama
terpengaruh oleh alkohol, utamanya susunan saraf sentral (otak). Oleh
pengaruh alkohol, secara bertahap bergantung kadar alkohol dalam darah,
mulai dari berkurangnya keseimbangan, menurunnya kontrol refleks dan
motorik, penglihatan menjadi kabur, jalan sempoyongan, bicara ngelantur tak
terkendali.

Sekalipun alkohol memberi manfaat bagi manusia kalau digunkan


diluar tubuh, tetapi kemanfaatan itu tidak sepadan bila dibanding hilangnya
martabat kemanusiaan sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Selain itu
sudah luas diketahui bahwa alkohol menimbulkan ketergantungan psikis.

Selain itu alkohol juga diketahui berpengaruh buruk pada :


1. Hati, menyebabkan penimbunan lemak, peradangan dan sirosis
2. Jantung, mengurangi kontraktilitas otot jantung, menurunkan tekanan
darah
3. Janin, menyebabkan pertumbuhan tak normal
4. Nutrisi, berkurangnya nafsu makan
5. Interaksi dengan obat. Hampir semua obat berinteraksi dengan alkohol
dan dapat terjadi potensiasi. Ini sangat bahaya kalau diminum bersama
dengan obat penekan saraf pusat (obat tidur, penenang, dsb) dengan
akibat kematian.
6. Anak, sangat peka terhadap alkohol, oleh karenanya harus sangat hati-
hati penggunaan obat beralkohol bagi anak

Kenyataan di atas membuktikan kebenaran Nabi yang menyatakan bahwa


“Khamr (alokohol) itu bukan obat, teatpi penyakit.” (HR Muslim, Ahmad, Abu
Daud, Trimidzi).

Bahkan Nabi juga menegaskan bahwa “Khamr (alokoh) itu induknya


perbuatan keji dan dosa terbesar.” (HR Ahmad, Muslim, Ath-Thabaroni)

C. PERMASALAHAN ALKOHOL DALAM OBAT

Berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh,


bukan haram. Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol
meskipun najis dalam rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya
makruh. Namun, perlu sekali dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan.
Orang yang meninggalkan yang makruh, mendapat pahala dari Allah SWT.
Tapi jika ia mengerjakannya, tidak mengapa dan tidak berdosa. Atas dasar
itu, maka penggunaan berbagai bahan yang najis dan haram, tidaklah
mengapa. Hukumnya makruh. Misalnya, menggunakan alkohol sebagai
desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum diinjeksi, sebagai pelarut
bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini, segala macam
benda najis lainnya di luar alkohol. Misalnya penggunaan selongsong kapsul
dari bahan babi, penggunaan urine sebagai sarana terapi, dan sebagainya.
Namun karena ada pendapat lain dari umat Islam yang mengharamkan
penggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya sebisa mungkin kita hanya
menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia obat-obatan. Kalaupun
kita mengikuti pendapat yang memakruhkan, kita disunnahkan menggunakan
bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari
perselisihan. Kaidah fiqih menyatakan : Al-Khuruj minal Khilaaf mustahab
(Menghindarkan diri dari perselisihan pendapat, adalah disunnahkan). (Abdul
Hamid Hakim, As-Sulam , hal. 68)

Persoalan pokok ummat islam dalam banyak hal khususnya di


Indonesia, juga tentang alkohol dalam obat dan kosmetika adalah
ketergantungan ummat islam kepada ummat lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam kurun waktu cukup lama ummat islam selalu menjadi
konsumen dan kurang mampu menentukan jenis dan kualitas komoditi yang
di kehendaki utamanya yang terkait dengan ketentuan halal-haram.
Akibatnya, tidak jarang terjadi pembenturan kepentingan kepentingan antara
kehendak mentaati aturan syariat agama dengan keinginan memenuhi
kebutuhan hidup keseharian.

Dalam konteks alkohol dalam obat, ummat islam utamanya farmasis


muslim, mesti melakukan upaya sistematis yang berkesinambungan. Adalah
kewajiban farmasis muslim mempelajari, memahami, bahkan turut terlibat
dalam produksi obat beralkohol dan berikhtiar sekuat tenaga mencari solusi
terbaik agar kondisi darurat penggunaan alkohol untuk obat minum dapat
segera berakhir. Sementara itu hendaknya ditumbuhkan investor muslim
dibidang industry farmasi sehingga obat dapat diproduksi sesuai dengan
ketentuan syariat agama islam.

Keberadaan alkohol dalam obat minum sedapat mungkindihindari


karena haram atau sekurang-kurang diragukan kehalalannya. Sementara itu
obat luar keberadaan alcohol masih dapat di terima, sekalipun akan lebih baik
kalau dihindari demi keselamatan beragama. Satu hal yang mesti dicatat ialah
ummat islam hendaknya berikhtiar untuk dpat menjadi produsen dalam
rangka memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai dengan syariat agama.
Pembolehan pemakaian alkohol dalam obat dengan alasan “darurat”
hendaknya dimaknai benar-benar sementara disertai ikhtiar maksimal
sehingga kondisi darurat segera berakhir.

D. LANGKAH-LANGKAH FARMASIS MUSLIM DI INDONESIA

Melakukan kajian intensif dalam rangka mendapatkan kepastian


hukum masalah alkohol dalam obat dan kosmetika dengan melibatkan para
ulama ahli hukum Islam bersama para pakar di bidang kefarmasian,
kedokteran, dan pihak lain yang terkait.
Menginformasikan dan mensosialisasikan hasil kajian kepada
produsen dan kepada ummat. Kepada produsen dihimbau agar bersedia
memproduksi formula non alkohol karena semacam itu yang sebenarnya
diinginkan konsumen muslim dan produk semacam itu akan tetapi aman
dikalangan mayorits muslim. Sekurang-kurangnya, produsen mencantumkan
bahan obat, termasuk adanya alkohol, dalam formulanya. Kepada para dokter
muslim dihimbau untuk tidak menuliskan resep obat beralkohol, sementara
farmasis muslim diminta untk lebih aktif menginformasikan produk-produk
non alkoholkepada pasien dan ummat secara umum. Kepada masyarakat
muslim diingatkan agar senantiasa mengkonsumsi produk obat yang jelas
kehalannya karena hal itu dipesankan Rasulullah.

Mengusulkan kepada pemerintah, departemen kesehatan untuk


mewajibkan para produsen agar tidak menggunakan bahan haram dalam
formula obat dan kosmetika yang diproduksinya lebih lanjut pemerintah
diminta mewajibkan para produsen mencantumkan secara rinci komposisi
bahan yang terdapat dalam formula obat dan kosmetika yang diproduksi.

Menyadarkan para farmasis muslim akan tanggung jawabnya untuk


menghindarkan ummat dari menggunakan obat haram atau subhat. Untuk itu
para farmasis muslim mesti bekerja keras melakukan kajian dan penelitian
dalam rangka menyusun formula non-alkohol yang dapat direkomendasikan
kepada para produsen .
KESIMPULAN

Berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan
haram. Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol meskipun najis
dalam rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya makruh. Namun,
perlu sekali dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan
yang makruh, mendapat pahala dari Allah SWT. Misalnya, menggunakan alkohol
sebagai desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum diinjeksi, sebagai
pelarut bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini, segala macam
benda najis lainnya di luar alkohol. Namun karena ada pendapat lain dari umat
Islam yang mengharamkan penggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya
sebisa mungkin kita hanya menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia
obat-obatan. Kalaupun kita mengikuti pendapat yang memakruhkan, kita
disunnahkan menggunakan bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk
menghindarkan diri dari perselisihan.

Dalam konteks alkohol dalam obat, ummat islam utamanya farmasis


muslim, mesti melakukan upaya sistematis yang berkesinambungan. Adalah
kewajiban farmasis muslim mempelajari, memahami, bahkan turut terlibat dalam
produksi obat beralkohol dan berikhtiar sekuat tenaga mencari solusi terbaik agar
kondisi darurat penggunaan alkohol untuk obat minum dapat segera berakhir.
Sementara itu hendaknya ditumbuhkan investor muslim dibidang industry
farmasi sehingga obat dapat diproduksi sesuai dengan ketentuan syariat agama
islam.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. 1990. Halal dan Haram Dalam Islam (Al-Halal wa Al-
Haram fi Al-Islam). Terjemahan oleh Muammal Hamidy. Surabaya : PT
Bina Ilmu.
Mursyidi, Achmad. 2002. Alkohol dalam Obat dan Kosmetika. Jurnal Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam ISSN 1410-332X, Juli 2002. Yogyakarta :
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan LPPI UMY
Sugiyanto, 2002. Pemakaian Alkohol dan Zat Kimia Lain dalam Obat-Obatan,
Kosmetika dan Makanan. Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam ISSN 1410-332X, Juli 2002, Yogyakarta : Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam dan LPPI UMY

Anda mungkin juga menyukai