Disusun Oleh :
PENDAHULUAN
Dipandang dari hukum Islam diantara bahan kimia tersebut ada yang tidak
halal dikonsumsi atau najis untuk dikenakan atau keduanya, haram dikonsumsi
dan najis dikenakan. Diantarnya mungkin sudah sangat jelas status hukumnya
seperti khamr atau minuman yang memabukan (seperti minuman beralkohol).
ISI
1. Informasi bahwa khamr itu ada manfaat tetapi (mudhorat)nya lebih besar
dibanding manfaatnya. (Al-Baqarah : 219).
2. Larangan melakukan shalat sewaktu mabuk (An-Nisa : 43)
3. Perintah meninggalkan khamr karena ia kotor (Rijsun) dan merupakan
perbuatan syaitan (Al-Maidah : 90)
Pengharaman khamr di pertegas dengan pernyataan Nabi “Setiap yang
memabukkan itu khamr dan setiap khamr itu haram” (HR. Muslim). Kalau
diperhatikan jenis khamr (minuman keras) jaman Rasulullah (dan sebelumnya)
pastilah relative masih sederhana, dilakukan dengan fermentasi biasa. Dengan
demikian kandungan alkohol pasti dibawah 13%. Kalau khamr dengan
kandungan alkohol sebesar 13% saja haram karena memabukkan, maka dapat
dipastikan kalau khamr atau minuman keras dengan kandungan alkohol diatas
13% , haram meminumnya karena pasti memabukkan. Rasulullah SAW
pernah bersabda bahwa “(minuman) apapun kalau banyaknya memabukkan,
maka sedikinya pun haram”. Sabda ini mengisyaratkan bahwa kalau
seseorang meminum minuman yang haram karena memabukkan, sekalipun
tidak mabuk (karena hanya sedikit) tetap haram. Oleh karena itu, sebaiknya
kita sebagai seorang muslim perlu berhati-hati dalam penggunaan alkohol
pada pengobatan agar kiranya kita terhindar dari dosa yang jelas-jelas sudah
dilarang oleh Allah SWT.
Berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan
haram. Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol meskipun najis
dalam rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya makruh. Namun,
perlu sekali dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan
yang makruh, mendapat pahala dari Allah SWT. Misalnya, menggunakan alkohol
sebagai desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum diinjeksi, sebagai
pelarut bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini, segala macam
benda najis lainnya di luar alkohol. Namun karena ada pendapat lain dari umat
Islam yang mengharamkan penggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya
sebisa mungkin kita hanya menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia
obat-obatan. Kalaupun kita mengikuti pendapat yang memakruhkan, kita
disunnahkan menggunakan bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk
menghindarkan diri dari perselisihan.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1990. Halal dan Haram Dalam Islam (Al-Halal wa Al-
Haram fi Al-Islam). Terjemahan oleh Muammal Hamidy. Surabaya : PT
Bina Ilmu.
Mursyidi, Achmad. 2002. Alkohol dalam Obat dan Kosmetika. Jurnal Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam ISSN 1410-332X, Juli 2002. Yogyakarta :
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan LPPI UMY
Sugiyanto, 2002. Pemakaian Alkohol dan Zat Kimia Lain dalam Obat-Obatan,
Kosmetika dan Makanan. Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam ISSN 1410-332X, Juli 2002, Yogyakarta : Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam dan LPPI UMY