Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

KMB II

DOSEN PENGAMPU: ISTIANAH, S.KEP., Ns., M.KEP


DISUSUN OLEH KELOMPOK 4

ANNISA MUZRIAH 002STYC18

DITA ARDIANA 010STYC18

DWI DARMAYANTI 012STYC18

FENI FERNIANSYAH 017STYC18

HAIRUL AZMI 022STYC18

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Salawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam nabi
besar muhammad SAW, seorang nabi yang telah membawa kita dari jaman
kegelapan menuju jaman yang terang benerang seperti yang kita rasakan seperti
saat sekarang ini.
Ucapan terimakasih juga kami haturkan kepada Ibu dosen yang telah ikut serta
dalam memberikan tugas makalah “BPH”. Makalah ini kami susun berdasarkan
beberapa sumber buku dan jurnal yang telah kami peroleh. Kami berusaha
menyajikan makalah ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah


memberikan sumbang dan sarannya untuk menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan pengetahuan dan
pengalaman yang kami miliki. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua. Aamiin.

Mataram, 3 Maret 2020

Kelompok 4
Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

2.1 Konsep Dasar Penyakit BPH

2.1.1 Definisi BPH

2.1.2 Etiologi BPH

2.1.3 Manifestasi Klinis BPH

2.1.4 Patofisiologi BPH

2.1.5 Pathway BPH

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang BPH

2.1.7 Penatalaksanaan BPH

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

2.2.3 Intervensi Keperawatan

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah penduduk Indonesia terutama jumlah lansia semakin lama
semakin meningkat, berdasarkan data yang diperoleh dari departemen
kesehatan tahun 2010 Jumlah populasi pria diatas usia 65 di Indonesia
pada tahun 2010 di menempati urutan ke-4 dengan 6,1% dari jumlah umur
lebih dari 65 tahun di negara-negara asia tenggara. Tentunya hal tersebut
akan menimbulkan persoalan-persoalan baru, tidak saja di bidang sosial-
ekonomi, tetapi juga di bidang kesehatan. Salah satu masalah kesehatan
yang sering dijumpai pada pria diatas 60 tahun adalah Benigna Prostatic
Hyperplasia atau BPH, keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia
60 tahun, dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam dan
Fransisca, 2009).
Benign Prostatic Hyperplasia atau BPH adalah masalah umum
pada sistem genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan dengan
adanya peningkatan jumlah sel-sel epitel dan jaringan stroma di dalam
kelenjar prostat. Menurut kejadiannya pembesaran prostat disebabkan oleh
dua faktor penting yaitu ketidakseimbangan hormon estrogen dan
androgen, serta faktor umur atau proses penuaan sehingga obstruksi
saluran kemih dapat terjadi. Adanya obstruksi ini akan menyebabkan,
respon nyeri pada saat buang air kecil dan dapat menyebabkan komplikasi
yang lebih parah seperti gagal ginjal akibat terjadi aliran balik ke ginjal
selain itu dapat juga menyebabkan peritonitis atau radang perut akibat
terjadinya infeksi pada kandung kemih (Andre, Terrence & Eugene, 2011).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian BPH ?
1.2.2 Apa etiologi BPH ?
1.2.3 Apa saja Manifestasi Klinis BPH ?
1.2.4 Bagaimana Patofisiologi BPH ?
1.2.5 Bagaimana Pathway BPH ?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang BPH ?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan BPH ?
1.2.8 Bagaimana Asuhan Keperawatan BPH ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB II.
1.3.2 Untuk mengetahui pengertian BPH.
1.3.3 Untuk mengetahui apa etiologi BPH.
1.3.4 Untuk mengetahui apa saja Manifestasi Klinis BPH.
1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana Patofisiologi BPH.
1.3.6 Untuk mengetahui bagaimana Pathway BPH.
1.3.7 Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang BPH.
1.3.8 Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan BPH.
1.3.9 Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan BPH.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Konsep Dasar Penyakit BPH
2.1.1 Definisi BPH
Benigna prostat hyperplasia (BPH) merupakan penyakit
yang sangat sering mengakibatkan masalah pada pria. Selain dapat
meningkatkan morbiditas, juga mengganggu kualitas hidup pria.
(Riselena Alyssa Amadea, dkk. 2019 : 172)
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah masalah umum
pada sistem genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan
dengan adanya penigkatan jumlah sel-sel epitel dan jaringan
stroma di dalam kelenjar prostat (Andre, Terrence & Eugene,
2011).
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah suatu penyakit
perbesaran atau hipertrofi dari prostat. Kata kata hipertrofi sering
kali menimbulkan kontroversi dikalangan klinik karena sering
rancu dengan hyperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi
kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah
(kualitas). Namun, hiperplsia merupakan pembesaran ukuran sel
(kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH
sering kali menyebabkan gangguan dalam eliminasi urine karena
pembesaran prostat yang cenderung kearah depan/menekan vesika
urinaria.
Hiperplasia noduler ditemukan pada sekitar 20 % laki-laki
dengan usia 40 tahun, meningkat 70% pada usia 60 tahun dan
menjadi 90 % pada usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan
merupakan kanker prostat, karena konsep BPH dan karsinoma
prostat berbeda. Secara anatomis, sebenarnya kelenjar prostat
merupakan kelenjar ejakulat yang membantu menyemprotkan
sperma dari saluran (ductus). Pada waktu melakukan ejakulasi,
secara fisiologis prostat membesar untuk mencegah urine dari
vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang
terus menerus akan berdampak pada obstruksi saluran kencing
(meatus urinarius internus). (Eko Prabowo, Andi Eka Pranata,
2014:130)
2.1.2 Etiologi BPH
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari
hyperplasia prostat, namun faktor usia dan hormonal menjadi
predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hyperplasia prostat sangan erat kaitannya dengan. (Eko
Prabowo, Andi Eka Pranata, 2014:131)
1. Peningkatan DHT (Dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat
mengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada
proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormone
estrogen dan penurunan hormone testosteron. Hal ini yang
memicu terjadinya hyperplasia stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth faktor atau fibroblast
growth faktor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hyperplasia stroma dan epitel, sehingga akan
terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama
hidup storma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel
transit dan memicu terjadi benigna prostat hyperplasia.
2.1.3 Klasifikasi
Derajat berat BPH menurut Tanto (2014) adalah sebagai berikut:
1. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine, walaupun tidak sampai hais masih tersisa kira-kira 60-
150 cc. Ada rasa tidak enak saat BAK atau disuria atau menjadi
nocturia.
3. Stadium III
Saat BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan.
Urine menetes secara periodik.
2.1.4 Manifestasi Klinis BPH
BPH merupakan yang di derita oleh klien laki-laki dengan
usia rata-rata lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH
sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran kencing,
sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut ini adalah beberapa
gambaran klinis pada klien BPH. (Eko Prabowo, Andi Eka Pranata,
2014:131)
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh Karena
otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakirnya
miksi.
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir
kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui
tekanan di uretra
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan
terasa belum puas.
2. Gejala iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya
dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
2.1.5 Patofisiologi BPH
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma
dan sel epitel berinteraksi. Sel-sel ini pertumbuhannya dipengaruhi
oleh hormone seks dan respon sitokin. Di dalam prostat,
testosterone diubah menjadi dehidrotestosteron (DHT), DHT
merupakan androgen dianggap sebagai mediator utama munculnya
BPH ini. Pada penderita ini hormone DHT sangat tinggi dalam
jaringan prostat. Sitokin berpengaruh pada pembesaran prostat
dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan
uretra yang mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala
obstruksi yaitu : hiperaktif kandung kemih, inflamai, pancaran
miksi lemah. (Skinder et al, 2016)
2.1.6 Pathway BPH
Degeneratif

Peingkatan
Epidermal growth
Dehidrotestosteron factor
Estrogen meningkat Testosteron
meningkat
turun
Penurunan
Transforming Growth
Peningkatan sel stem Hiperproksia epitel & Factor beta
stroma prostat

Proliferasi sel
BPH

Obstruksi sal. Kronis Secondary


Kencing bawah
effect

Residual urine
tinggi Iritabilitas N. Urinarius Fungsi seksual turun

Tekanan intraveska Kehilangan kontrol miksi Disfungsional


meningkat

Refleks berkemih meningkat Inkontenensia


Urinarius Fungsional
Urgensi Sensitifitas
meningkat
Hambatan
Retensi urine
Nyeri Akut
Dekonmpensasi vesika
urinaria

Aliran fistula urine

Kerusakan Integritas
Kulit
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang BPH
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mengetahui apakah
pembesaran prostat ini bersifat benigna atau maligna dan untuk
memastikan tidak adanya penyakit lainnya. Berikut pemeriksaanya
(Eko Prabowo, Andi Eka Pranata, 2014:134)
1. Urinalisis dan Kultur Urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan
RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan
adanya perdarahan/hematuria.
2. DPL (deepperitoneallavage)
Pemeriksaan pendukun ini untuk melihat ada tidaknya
perdarahan internal dalam abdomen titik sampel yang diambil
adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah
merahnya.
3. Ureum, Elektrolik dan Serum Kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini
sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi
dari BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali
menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan
memperberat fungsi ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal
ginjal.
4. PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca
operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna
atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment
selanjutnya.
5. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine sehingga akan
terlihat bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini
menjadi bekal untuk membandingkan dengan pola eliminasi
urine yang normal.
6. Uroflowmetri
Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur
pancaran. Pada obstruksi dini seringkali pancaran melemah
bahkan meningkat hal ini disebabkan obstruksi dari kelenjar
prostat pada traktus urinarius selain itu volume residu juga
harus diukur titik normalnya residual urine <100 ml. namun,
residual yang tinggi membuktikan bahwa vesikaurinaria tidak
mampu mengeluarkan urine secara baik karena adanya
obstruksi.
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif
b. Flow rate maksimal 10 -15 ml / dtk = border line
c. Flow rate maksimal < 15 ml / dtk = obstruktif
7. USG Ginjal dan VesikaUrinaria
USG digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urin.
ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi. (Riselena
Alyssa Amadea, dkk. 2019 : 175)
2.1.8 Penatalaksanaan BPH
1. Penatalaksanaan Medis
a. TUR-P (Transuretral Resection Prostatectomy)
Tindakan ini menjadi salah satu pilihan tindakan
pembedahan yang paling umum dan sering dilakukan untuk
mengatasi pembesaran prostat. Prosedur yang dilakukan
dengan bantuan alat yang disebut resektoskop ini bertujuan
untuk menurunkan tekanan pada kandung kemih dengan
cara menghilangkan kelebihan jaringan prostat. TURP
menjadi pilihan utama pembedahan karena lebih efektif
untuk menghilangkan gejala dengan cepat dibandingkan
dengan penggunaan obat-obatan. Tindakan ini memiliki
banyak keuntungan, yaitu meminimalisir tindakan
pembedahan terbuka sehingga masa penyembuhan lebih
cepat dan tingkat resiko infeksi bisa ditekan. (Riselena
Alyssa Amadea, dkk. 2019 : 173)
b. Pembedahan terbuka (Prostatectomy)
Tindakan ini dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti oleh
penyakit penyerta lainnya. Misalnya tumor vesikaurinaria,
vesikolitiasis, dan adanya adenoma yang besar.
1. Penatalaksanaan keperawatan
a. Terapi medikamentosa adalah untuk:
1) Pemberian obat golongan reseptor Alfa-adrenergik
inhibitor mampu merelaksasikan otot polos prostat dan
saluran kemih akan lebih terbuka.
2) Obat golongan 5-Alfa-reduktase se inhibitor mampu
menurunkan kadar dihidrotestosteron intraprostat,
sehingga dengan turunnya kadar testosteron dalam
plasma maka prostat akan mengecil. (Riselena Alyssa
Amadea, dkk. 2019 : 173)
2. 2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
b. Keluhan Utama Klien
c. Riwayat Kesehatan Sekarang, Dahulu, Keluarga
2. Pemeriksaan fisik
a. Adanya peningkatan nadi dan tekanan darah (tidak
signifikan, kecuali ada penyakit penyerta). hal ini
merupakan bentuk kompensasi dari nyeri yang timbul
akibat obstruksi meatus uretra dan adanya distensibladder
titik-titik jika retensi urine berlangsung lama sering
ditemukan adanya tanda gejalaurosepsis (peningkatan suhu
tubuh) sampai pada syok septik.
b. Obstruksi kronis pada saluran kemih akibat BPH
menimbulkan retensi urin pada bladder. hal ini memicu
terjadinya repluks urine dan terjadi hidronefrosis dan
pyelonefrosis. Sehingga pada palpasi bimanual ditemukan
adanya rabaan pada ginjal. Pada palpasi suprasimfisis akan
teraba distensibladder (ballotemen).
c. Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak
ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya penyakit
penyerta seperti stenosismeatus, struktur uretralis,
uretharalithiasis, Ca penis, maupunepididimitis.
d. Pemeriksaan RC (Rectal Touncher) adalah pemeriksaan
sederhana yang paling mudah untuk menegakkan BPH.
Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi sistem
persyarafan unit vesiko ureter dan besarnya prostat.
1) Derajat I = beratnya +/- 20 gram
2) Derajat II = beratnya antara 20-40 gram
3) Derajat III = beratnya > 40 gram
3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukkan
adanya kelainan, kecuali disertai dengan urosepsi yaitu adanya
peningkatan leukosit. selain itu, pada pemeriksaan urine
lengkap akan ditemukan adanya bakteri patogen pada kultur
jika ada infeksi dan adanya eritrosit jika terjadi ruptur pada
jaringan prostat.
Pada kondisi post operasi, pemeriksaan PA dilakukan untuk
menentukan keganasan/jinak dari jaringan prostat yang
hyperplasia.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan penunjang lainnya yang bisa membantu
penegakan diagnosis BPH adalah USG ginjal (melihat
komplikasi) dan vesika urinaria (tampak pembesaran jaringan
prostat). Pemeriksaan uroflowmetri sangat penting dengan
melihat pancaran urine. Berikut penilaian dari pemeriksaan
uroflowmetri:
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif
b. Flow rate maksimal 10 -15 ml / dtk = border line
c. Flow rate maksimal < 15 ml / dtk = obstruktif
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operasi
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi
kandung kemih.
b. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status
kesehatan kemungkinan prosedur bedah/malignasi.
c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi
2. Post operasi
a. Nyeri (akut berhubungan dengan insisi pembedahan)
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah
vaskuier kesulitan mengontrol perdarahan.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan presedur invasive : alat
selama pembedahan, catheter, iritasi kandung kemih serta
trauma insisi bedah.
d. Defisit self care berhubungan dengan kelemahan fisik.
2.2.3 Intervensi Keperawatan
A. Pre Operasi

N Diagnosa NOC NIC


o
1. Nyeri (akut) NOC : NIC :
 Pain Level,
berhubungan dengan
 Pain control,
iritasi mukosa,  Comfort level Pain Management
Kriteria Hasil :  Lakukan pengkajian
distensi kandung nyeri secara
 Mampu mengontrol
kemih. nyeri (tahu penyebab komprehensif termasuk
nyeri, mampu lokasi, karakteristik,
menggunakan tehnik durasi, frekuensi, kualitas
nonfarmakologi dan faktor presipitasi
untuk mengurangi  Observasi reaksi
nyeri, mencari nonverbal dari
bantuan) ketidaknyamanan
 Melaporkan bahwa  Gunakan teknik
nyeri berkurang komunikasi terapeutik
dengan menggunakan untuk mengetahui
manajemen nyeri pengalaman nyeri pasien
 Mampu mengenali  Kaji kultur yang
nyeri (skala, mempengaruhi respon
intensitas, frekuensi nyeri
dan tanda nyeri)  Evaluasi pengalaman
 Menyatakan rasa nyeri masa lampau
nyaman setelah nyeri  Evaluasi bersama
berkurang pasien dan tim kesehatan
 Tanda vital dalam lain tentang
rentang normal ketidakefektifan kontrol
nyeri masa lampau
 Bantu pasien dan
keluarga untuk mencari
dan menemukan
dukungan
 Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor
presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
 Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi
 Ajarkan tentang teknik
non farmakologi
 Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil
 Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic Administration
 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih
dari satu
 Tentukan pilihan
analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
 Berikan analgesik
tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)

2. Kecemasan NOC : NIC :


 Anxiety control Anxiety Reduction
berhubungan dengan
 Coping (penurunan kecemasan)
perubahan status Kriteria Hasil :  Gunakan pendekatan
 Klien mampu yang menenangkan
kesehatan
mengidentifikasi  Nyatakan dengan jelas
kemungkinan dan harapan terhadap pelaku
mengungkapkan pasien
prosedur
gejala cemas  Jelaskan semua
bedah/malignasi.  Mengidentifikasi, prosedur dan apa yang
mengungkapkan dirasakan selama
dan menunjukkan prosedur
tehnik untuk  Temani pasien untuk
mengontol cemas memberikan keamanan
 Vital sign dalam dan mengurangi takut
batas normal  Berikan informasi
 Postur tubuh, faktual mengenai
ekspresi wajah, diagnosis, tindakan
bahasa tubuh dan prognosis
tingkat aktivitas  Dorong keluarga untuk
menunjukkan menemani anak
berkurangnya
 Lakukan back / neck
kecemasan
rub
 Dengarkan dengan
penuh perhatian
 Identifikasi tingkat
kecemasan
 Bantu pasien
mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi
 Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
Barikan obat untuk
mengurangi kecemasan
3. Kurang pengetahuan NOC : NIC :
 Kowlwdge : disease Teaching : disease Process
berhubungan dengan
process 1. Berikan penilaian
kurangnya informasi  Kowledge : health tentang tingkat
Behavior pengetahuan pasien
Kriteria Hasil : tentang proses penyakit
 Pasien dan keluarga yang spesifik
menyatakan 2. Jelaskan patofisiologi
pemahaman tentang dari penyakit dan
penyakit, kondisi, bagaimana hal ini
prognosis dan program berhubungan dengan
pengobatan anatomi dan fisiologi,
 Pasien dan keluarga dengan cara yang tepat.
mampu melaksanakan 3. Gambarkan tanda dan
prosedur yang gejala yang biasa muncul
dijelaskan secara benar pada penyakit, dengan
Pasien dan cara yang tepat
keluarga mampu 4. Gambarkan proses
menjelaskan penyakit, dengan cara
kembali apa yang yang tepat
dijelaskan 5. Identifikasi
perawat/tim kemungkinan penyebab,
kesehatan lainnya dengna cara yang tepat
6. Sediakan informasi
pada pasien tentang
kondisi, dengan cara yang
tepat
7. Hindari harapan yang
kosong
8. Sediakan bagi
keluarga informasi
tentang kemajuan pasien
dengan cara yang tepat
9. Diskusikan perubahan
gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk
mencegah komplikasi di
masa yang akan datang
dan atau proses
pengontrolan penyakit
10. Diskusikan pilihan
terapi atau penanganan
11. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
12. Eksplorasi
kemungkinan sumber
atau dukungan, dengan
cara yang tepat
13. Rujuk pasien pada
grup atau agensi di
komunitas lokal, dengan
cara yang tepat
14. Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala untuk melaporkan
pada pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat

B. Post Operasi

No Diagnosa NOC NIC


1. Nyeri (akut) NOC : NIC :
berhubungan dengan  Pain Level,
insisi pembedahan  Pain control, Pain Management
 Comfort level  Lakukan pengkajian
Kriteria Hasil : nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi,
 Mampu mengontrol karakteristik, durasi,
nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas dan
nyeri, mampu faktor presipitasi
menggunakan tehnik  Observasi reaksi
nonfarmakologi untuk nonverbal dari
mengurangi nyeri, ketidaknyamanan
mencari bantuan)  Gunakan teknik
 Melaporkan bahwa komunikasi terapeutik
nyeri berkurang untuk mengetahui
dengan menggunakan pengalaman nyeri pasien
manajemen nyeri  Kaji kultur yang
 Mampu mengenali mempengaruhi respon
nyeri (skala, intensitas, nyeri
frekuensi dan tanda
nyeri)  Evaluasi pengalaman
 Menyatakan rasa nyeri masa lampau
nyaman setelah nyeri  Evaluasi bersama
berkurang pasien dan tim kesehatan
 Tanda vital dalam lain tentang
rentang normal ketidakefektifan kontrol
nyeri masa lampau
 Bantu pasien dan
keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
 Kontrol lingkungan
yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor
presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
 Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi
 Ajarkan tentang teknik
non farmakologi
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil
 Monitor penerimaan
pasien tentang manajemen
nyeri

Analgesic Administration

 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan
analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
 Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala
(efek samping)

2. Kekurangan volume NOC: Fluid management


 Timbang
cairan berhubungan  Fluid balance popok/pembalut jika
dengan area bedah  Hydration diperlukan
Nutritional Status :  Pertahankan catatan
vaskuIer kesulitan Food and Fluid Intake intake dan output yang
mengontrol Kriteria Hasil : akurat
perdarahan  Monitor status hidrasi (
 Mempertahankan urine
kelembaban membran
output sesuai dengan
mukosa, nadi adekuat,
usia dan BB, BJ urine
tekanan darah ortostatik ),
normal, HT normal
jika diperlukan
 Tekanan darah, nadi,
 Monitor vital sign
suhu tubuh dalam batas
normal  Monitor masukan
 Tidak ada tanda tanda makanan / cairan dan
dehidrasi, Elastisitas hitung intake kalori harian
turgor kulit baik,  Lakukan terapi IV
membran mukosa  Monitor status nutrisi
lembab, tidak ada rasa  Berikan cairan
haus yang berlebihan  Berikan cairan IV pada
suhu ruangan
 Dorong masukan oral
 Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
 Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
 Tawarkan snack ( jus
buah, buah segar )
 Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul meburuk
 Atur kemungkinan
tranfusi
 Persiapan untuk
tranfusi

3. Resiko infeksi NOC : NIC :


berhubungan dengan  Immune Status Infection Control (Kontrol
presedur invasive : alat  Risk control infeksi)
selama pembedahan,
 Bersihkan lingkungan
catheter, iritasi Kriteria Hasil : setelah dipakai pasien lain
 Pertahankan teknik
kandung kemih serta  Klien bebas dari tanda isolasi
dan gejala infeksi
trauma insisi bedah.  Batasi pengunjung bila
 Menunjukkan
perlu
kemampuan untuk
 Instruksikan pada
mencegah timbulnya
pengunjung untuk
infeksi
mencuci tangan saat
 Jumlah leukosit dalam
berkunjung dan setelah
batas normal
berkunjung meninggalkan
 Menunjukkan perilaku
pasien
hidup sehat
 Gunakan sabun
antimikrobia untuk cuci
tangan
 Cuci tangan setiap
sebelum dan sesudah
tindakan kperawtan
 Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
 Pertahankan
lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
 Ganti letak IV perifer
dan line central dan
dressing sesuai dengan
petunjuk umum
 Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
 Tingktkan intake nutrisi
 Berikan terapi
antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi


terhadap infeksi)

 Monitor tanda dan


gejala infeksi sistemik dan
lokal
 Monitor hitung
granulosit, WBC
 Monitor kerentanan
terhadap infeksi
 Batasi pengunjung
 Saring pengunjung
terhadap penyakit menular
 Partahankan teknik
aspesis pada pasien yang
beresiko
 Pertahankan teknik
isolasi k/p
 Berikan perawatan
kuliat pada area epidema
 Inspeksi kulit dan
membran mukosa terhadap
kemerahan, panas,
drainase
 Ispeksi kondisi luka /
insisi bedah
 Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien
untuk minum antibiotik
sesuai resep
 Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara
menghindari infeksi
 Laporkan kecurigaan
infeksi
Laporkan kultur positif
4. Defisit self care NOC : NIC :
berhubungan dengan  Self care : Activity of Self Care assistance : ADLs
kelemahan fisik. Daily Living (ADLs)  Monitor kemempuan
Kriteria Hasil : klien untuk perawatan diri
yang mandiri.
 Klien terbebas  Monitor kebutuhan
dari bau badan klien untuk alat-alat bantu
 Menyatakan untuk kebersihan diri,
kenyamanan terhadap berpakaian, berhias,
kemampuan untuk toileting dan makan.
melakukan ADLs  Sediakan bantuan
Dapat melakukan sampai klien mampu
ADLS dengan bantuan secara utuh untuk
melakukan self-care.
 Dorong klien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang
dimiliki.
 Dorong untuk
melakukan secara mandiri,
tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu
melakukannya.
 Ajarkan klien/ keluarga
untuk mendorong
kemandirian, untuk
memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak
mampu untuk
melakukannya.
 Berikan aktivitas rutin
sehari- hari sesuai
kemampuan.
 Pertimbangkan usia
klien jika mendorong
pelaksanaan aktivitas
sehari-hari.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah masalah umum pada
sistem genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan dengan adanya
penigkatan jumlah sel-sel epitel dan jaringan stroma di dalam kelenjar
prostat (Andre, Terrence & Eugene, 2011).
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hyperplasia
prostat, namun faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya
BPH. BPH merupakan yang di derita oleh klien laki-laki dengan usia rata-
rata lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder
dari dampak obstruksi saluran kencing, sehingga klien kesulitan untuk
miksi.
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mengetahui apakah
pembesaran prostat ini bersifat benigna atau maligna dan untuk
memastikan tidak adanya penyakit lainnya seperti pemeriksaan
Uroflowmetri, USG Ginjal, DPL, PA (Patologi Anatomi), dll. Penyakit
bph merupakan penyakit bedah, sehingga tetap bersifat simptomatis untuk
mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh obstruksi pada saluran
kemih. Terapi simptomatis ditujukan untuk merelaksasi otot polos prostat
atau dengan menurunkan kadar hormon yang mempengaruhi pembesaran
prostat, sehingga obstruksi akan berkurang.

DAFTAR PUSTAKA
Prabowo, Eko & Pranata, Andi Eka. 2014. BUKU AJAR KEPERAWATAN
SISTEM PERKEMIHAN. Yogyakarta : Nuha Medika
Wijaya, Andra Saferi & Putri, Yessie Mariza. 2013. KMB 1 KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH KEPERAWATAN DEWASA TEORI DAN CONTOH
ASKEP. Yogyakarta : Nuha Medika
Amadea, Riselena Alyssa, dkk. 2019. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA
(BPH). Medical Profession (MedPro), 1(2), 172-176.
Kemalasari, Dewita Wahyu, dkk. 2015. Korelasi Disfungsi Sosial dengan Usia
dan Terapi pada Banign Prostatc Hyperplasia. Global Medical and
Health Communication, 3(2), 61-64.
Arifianto, dkk. 2019. The Effect of Benson Relaxation Technique on a Scale Of
Postoperative Pain in Patients with Benign Prostat Hyperplasia at RSUD
dr. H Soewondo Kendal. Media Keperawatan Indonesia, 2(1), 1-9.

Anda mungkin juga menyukai