Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

HEMODIALISA DAN DIALISIS PERITONEAL

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 3

DIANA NOVITA 009 STYC 18


EFA FORIA PRASTINA DINA .H. 013 STYC 18
EMMA MAULINA 016 STYC 18
GUNAWAN FEBRIANTO 021 STYC 18
HIKMAH NURUL SLAMIAH 025 STYC 18
HUSNUL CHATIMAH 027 STYC 18
INDRAWAN PRAYUDA 031 STYC 18
JULIA NINGSIH 033 STYC 18

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PRODI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR

i
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya.
Salawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam
nabi besar muhammad SAW, seorang nabi yang telah membawa kita dari jaman
kegelapan menuju jaman yang terang benerang seperti yang kita rasakan seperti
saat sekarang ini.
Ucapan terimakasih juga kami haturkan kepada Ibu dosen yang telah ikut
serta dalam memberikan tugas makalah “Hemodialisa dan Dialisis
Peritoneal”.Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber buku yang
telah kami peroleh.Kami berusaha menyajikan makalah ini dengan bahasa yang
sederhana dan mudah dimengerti.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah


memberikan sumbang dan sarannya untuk menyelesaikan makalah ini.Kami
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan pengetahuan dan
pengalaman yang kami miliki.Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.Aamiin.

Mataram, 4 Maret 2020

Kelompok 3
Penyusun

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 LatarBelakang....................................................................................... 1
1.2 RumusanMasalah.................................................................................. 1
1.3 Tujuan masalah..................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
2.1 Hemodialisa.......................................................................................... 3
2.2 Dialisis Peritoneal................................................................................. 11
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 17
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan suatu masalah kesehatan yang penting,
mengingat selain prevalensi dan angka kejadian semakin meningkat juga
pengobatan pengganti ginjal yang harus dialami oleh penderita gagal ginjal
merupakan pengobatan yang mahal, butuh waktu dan kesabaran yang harus
ditanggung oleh penderita gagal ginjal dan keluarganya (Harrison, 2013).
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization
(WHO) memperlihatkan yang menderita gagal ginjal baik akut maupun kronik
mencapai 50% sedangkan yang diketahui dan mendapatkan pengobatan hanya
25% dan 12,5 % yang terobati dengan baik (Indrasari, 2015).
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis
berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di
Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara
masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing-
masing 0,3%. Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,2% (Riskesdes, 2013).
Penderita gagal ginjal kronik harus melakukan terapi hemodialisa untuk
memperpanjang usia harapan hidup. Kegiatan ini akan berlangsung terus
menerus sepanjang hidupnya (Smeltzer & Bare, 2002). Oleh karena itu
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan
interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif (Dhina, 2015).
Terapi pengganti ginjal, berupa dialisis dan transplantasi ginjal merupakan
satu-satunya cara untuk mempertahankan fungsi tubuh pada kondisi penyakit
ginjal kronik. Dialisis dapat dilakukan dengan hemodialisa dan peritoneal
dialisis [ CITATION Hut17 \l 1057 ].

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah hemodialisa itu?
2.2.1 Apakah dialisis peritoneal?

1.3 Tujuan
1.3.1. Untuk lebih memahami dan mengetahui apa hemodialisa
1.3.2. Untuk lebih memahami dan mengetahui dialisis peritoneal

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Cuci Darah (Hemodialisa)


2.1.1. Pengertian
Terdapat dua jenis dialysis, yaitu hemodialisis dan dialysis peritoneal. Pada
jenis pertama, darah dialirkan melalui suatu mesin dialysis yang berfungsi sebagai
ginjal tiruan. Pada dialysis kedua, proses penyaringan yang dilakukan menyerupai
hemodialisis, tetapi darah dibersihkan dalam tubuh sendiri dan bukan dalam
mesin [ CITATION Ago \l 1057 ].
Hemodialisis (HD) atau cuci darah melalui mesin sudah dilakukan sejak tahun
1960-an. Di Indonesia, hemodialisis telah dijumpai pada beberapa rumah sakit,
baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Tren pengguna hemodialisis
menunjukan peningkatan sehingga menambah daftar tunggu pelaksanaannya.
Data statistic terkini menunjukan bahwa setiap harinya tidak kurang dari 3700
orang menjalani cici darah. Walapun hemodialisis berfungsi serupa layaknya
kerja ginjal, tindakan ini hanya mampu menggantikan sekitar 10% kapasitas
ginjal [ CITATION Ago \l 1057 ].
Hemodialisa adalah suatu teknologi tingkat tinggi sebagai pengganti fungsi
ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran
darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat,
dan zat lainnya melalui membran semi permiable sebagai pemisah darah dan
cairan dialisis pada ginjal buatan, dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultra
filtrasi. Hemodialisis terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa
metabolisme tubuh, dan terutama pada penyakit GGK tahap akhir atau stadium 5.
Jika tidak dilakukan terapi pengganti ginjal maka pasien akan meninggal
(Sasmita & Hasanah, 2015) [ CITATION Wak19 \l 1057 ].
HD merupakan terapi untuk pasien gagal ginjal tahap akhir. Metode ini
menggantikan kerja yang biasanya dijalankan ginjal, yaitu pembersihan darah

3
dari sisa metabolisme, zat toksik, dan pengeluaran timbunan air dalam tubuh.
Pilihan terapi lainnya adalah transplantasi ginjal.
Dokter ahli nefrologi akan menganjurkan pasien menjalani cuci darah jika
kerusakan ginjal sudah pada stadium akhir atau stadium lima, yaitu ketika
kemampuan ginjal membersihkan darah sudah sangat rendah (10%). Akibatnya
sisa metabolisme, cairan dan berbagai elektrolit menumpuk sehingga kondisi
darah menjadi asam (asidosis), yang menimbulkan keluhan sesak napas, batuk-
batuk, lemas, mual, dan penurunan kadar hemoglobin darah (anemia).
HD dianjurkan dilakukan 2 kali seminggu. Satu sesi hemodialisis memakan
waktu sekitar 4-5 jam. Selama ginjal tidak berfungsi, selama itu pula
hemodialisis harus dilakukan, kecuali ginjal yang rusak diganti ginjal yang baru
dari seorang pendonor. Namun, proses pencangkokan ginjal cukup rumit dan
membutuhkan biaya besar.
Pada proses hemodialisis, darah dari pembuluhnya disalurkan melalui selang
kecil ke mesin yang di sebut dializer. Setelah itu, darah yang telah bersih di
kembalikan ke tubuh. Di dalam dializer, darah akan melewati suatu perangkat
yang berfungsi sebagai saringan. Sisa metabolisme yang telah disaring akan
dimasukkan kedalam cairan yang disebut larutan dialisat. Selanjutnya, dialisat
yang telah tercampur dengan sisa metabolisme yang telah disaring akan dipompa
keluar, dan kemudian diganti dengan larutan dialisat yang baru.
Penarikan cairan tubuh saat hemodialisis dilakukan sampai tercapai berat
badan kering. Berat badan kering berarti berat badan saat sudah tidak terdapat
lagi kelebihan cairan dalam tubuh. Hal ini dilihat dari tanda-tanda seperti
hilangnya bengkak pada tubuh atau berkurangnya sesak akibat penumpukan
cairan di paru-paru (edema paru). Biasanya perawat menimbang tubuh pasien
sebelum dialysis (berat kering). Umumnya perbedaan antara kedua keadaan
tersebut mencapai 2,5-3 kg. Setelah pasien menjalani cuci darah. Misalnya pada
hari senin, kadar sisa metabolisme dan zat toksik lain akan menurun. Namun,
karena zat-zat tersebut terus diproduksi seiring berjalannya waktu, kadarnya akan
meningkat kembali sehingga pasien harus menjalani cuci darah kembali,

4
misalnya pada hari kamis untuk menurunkan kadar zat-zat tersebut. Dan
demikian seterusnya. Cuci darah juga dapat dilakukan dengan dialysis peritoneal,
yaitu cuci darah melalui rongga perut.misalnya CAPD (Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis). Pada pengidap diabetes, HD dilakukan lebih dini [ CITATION
Ago \l 1057 ].

2.1.2. Tujuan dilakukan hemodialisa


a. Membuang sisa produk metabolisme protein seperti: urea, kreatinin dan asam
urat.
b. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan dinding antara darah
dan bagian cairan.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffen tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

2.1.3. Indikasi
a. Cuci darah dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan, kelainan fungsi otak
(ensefalopati uremik), Perikarditis (peradangan kantong jantung), Asidosis
(peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap
pengobatan lainnya, Gagal jantung, Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat
tinggi dalam darah).
b. Pasien yang melakukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus
<15ml/menit).
c. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat
indikasi.
1. Hiperkalemia (k+ darah >6 meq/l)
2. Asidosis
3. Kegagalan terapi konservatif
4. Kadar ureum / kereatinin tinggi dalam darah (ureum >200 mg%, kreatinin
serum >6 mEq/ l
5. Kelebihan cairan

5
6. Mual dan muntah hebat
d. Intoksikasi obat dan zat kimia
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
f. Sindrom heatorenal dengan kriteria berat
1. K+ pH darah <7,10 –asidois
2. Origuria /an uria >5 hr
3. GFR< ml/I pada GKK
4. Ureum darah > 200mg /dl

2.1.4. Kontraindikasi
a. Hipertensi berat (TD<200/100 mmHg)
b. Hipotensi ( TD<100mmHg )
c. Adanya perdarahan hebat
d. Demam tinggi

2.1.5. Prinsip Hemodialisa


a. difusi
Hubungan dengan pergeseran partikel partikel dari daerah konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah karena tenaga yang ditimbulkan oleh perbedaan
konsentrasi zat-zat terlarut di kedua sisi memberan dialysis, difusi
menyebabkan perrgesaran urea, kreatinin dan asam urat dari darah klien ke
larutan dialisat.
b. Osmosis
Pengankut pergeseran cairan lewat memberan semi pariabel dari daerah yang
kadar partikel partikel rendah ke daerah yang kadar partikel lebih tinggi,
osmosa bertanggung jawab atas pergeserah cairan dari klien.
c. Ultrafiltrasi
Terdiri dari pergeseran cairan lewat memberan semi permiabel dampak dari
bertambahnya tekanan yang didevisikan secara buatan.
Hemo = darah, dialisasi = memisahkan dari yang lain
2.1.6. Persiapan

6
Untuk persiapan proses HD, diperlukan akses pembuluh darah pada
hemodialisis yang cukup baik agar aliran darah yang diperoleh cukup besar, yaitu
laju aliran darah paling tidak mencapai 200-300 ml/menit secara kontinu ketika
hemodialisis berlangsung selama 4-5 jam. Selain itu, suatu ‘fistula arteriovena’
perlu dibuat, yang lebih sering dikenal dengan sebutan ‘ fistula Cimino’. Fistula
Cimino atau disebut juga sebagai fistula Cimino-Brescia, merupakan fistula
arteriovenosa yang sengaja disebut sebagai muara vascular untuk hemodialisis,
dan dibentuk dari penggabungan arteri dan vena dilengan bawah, biasanya
dilengan kiri. Tujuannya adalah menggabungkan vena yang kecil dan sempit
dengan pembuluh darah arteri yang lebih besar dan kuat.
Pembentukan fistula ditemukan oleh dokter, yaitu Cimino dan Brescia pada
tahun 1966. Inspirasi timbul dari pengalaman Cimino sebagai ahli flebotomi
veteran perang korea yang mengalami trauma pembuluh darah dan memiliki
fistula. Ia melakukan percobaan di New York City’s Bellevue Hospital pada
tahun 1950. Penemuan ini ternyata memudahkan pemindahan darah dari arteri ke
vena atau sebaliknya.
Fistula dibuat oleh ahli bedah melalui oprasi kecil (bius lokal) dengan
menggabungkan arteri radialis dengan salah satu vena besar di lengan bawah.
Fistula baru dapat digunakan 1 atau 2 bulan kemudian. Tidak terdapat kontra
indikasi untuk operasi ini. Keuntungannya, hemodialisis lebih mudah dikerjakan
ketimbang pada mereka yang tidak memiliki fistula ini.
Aliran darah selanjutnya memasuki sirkulasi darah mesin hemodialisis yang
terdiri atas inlet/ arteri (ke mesin) dan selang outlet/ vena (dari mesin ke tubuh).
Kedua ujungnya disambung ke jarum dan kanula ditusukkan ke pembuluh darah.
Setelah melalui selang inlet, darah memasuki dialyzer. Jumlah darah yang
menempati sirkulasi darah di mesin berkisar 200 ml. darah dibersihkan dalam
dialyzer ini, sisa metabolisme secara kontinu menembus dan memasuki
konpertemen dialisat.
Di pihak lain, cairan dialisat mengalir masuk dalam mesin HD dengan
kecepatan 500 ml/menit ke dalam dialyzer pada kompertemen dialisat. Cairan

7
dialisat merupakan cairan yang pekat dengan bahan utama berupa elektrolit dan
glukosa, dan cairan ini dipompa memasuki mesin sambil tercampur dengan air
bersih yang sudah menjalani proses pembersihan yang rumit (water treatment).
Selama hemodialisa berlangsung, darah dicampur dengan heparin agar tidak
membeku ketika berada di luar tubuh, yaitu dalam sirkulasi darah mesin. Selama
menjalani HD, pasien boleh tidur, membaca, mengetik computer atau kegiatan
lain tanpa menggerakkan lengan yang ditusuki jarum [ CITATION Ago \l 1057 ].

2.1.7. Peralatan
a. Dialiser atau ginjal bantuan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen
darah.dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe
membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua
faktor ini menentukan potensi efisiensi dialise, yang mengacu pada
kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa
(klirens). Dializer → mempunyai struktur yang memungkinkan darah dan
cairan dialisat → mengalir secara maksimal ke dua sisi yang bersebelahan
daripada membran. Membran dialyzer yang ideal adalah:
1. Kliren semua zat toxic yang cukup tinggi.
2. Ultrafiltrasi yang wajar
3. Biocompatible dan tidak toxic
4. Permebilitas zat yang di butuhkan lemah
5. Murah
b. Dialisat atau cairan dialysis
Dialisat atau”bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari
serum normal. Dialisat dibuat dalam sistem bersih dengan air keran dan bahan
kimia disaring. Bukan merupakan sistem yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati memberan dan potensial terjadinya infeksi pada pasien
minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebapkan reaksi
pirogenik, khususnya pada memberan permeable yang besar, air untuk dialisat

8
harus aman secara bakteoriologis. Konsentrat dialisat biasanya di sediakan
oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis,
namun dapat di buat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
c. Sistem pemberian dialisat
Unit pemberian tunggaal memberikan dialisat untuk satu pasien: sistem
pemberian multiple dapat memasok setidaknya untuk 20 unit pasien, pada
kedua sistem, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta
pemantau menjamin dengan tepat control rasio konsentrat-air.
d. Asesori peralatan
Piranti kertas yang digunakan kepada kebanyakan sistem diyalistis meliputi
pompa darah, pompa infus untuk pemberian hefarin, alat monitor untuk
pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat,
perubahan tekanan, udara, dan kebocoran darah.
e. Komponen manusia
f. Pengkajian dan penatalaksanaan [ CITATION Wij13 \l 1057 ]

2.1.8. Prosedur HD
Ada 3 unsur penting untuk sirkuit HD
a. Sirkuit darah
Dari klien mengalir darah dari jarum /kanul arteri dengan pompa darah (200-
250 ml/menit) ke kompartemen darah ginjal buatan dan kemudian
mngembalikan darah melalui vena yang letakkanya proksimal terhadap jarum
arteri.
Sirkuit darah mempunyai 3 monitor: terkena arteri, terkena vena dan detector
gelembung udara.
b. Sikrut dialisat / cairan dialisat
Air → bersih, bebas dari elektrolit, mikroorganisme atau bahan asing lain
→perlu diolah dengan berbagai cara.
Konsentrat dialisat berisi komposisi elektrolit:
1. Na+ : 135-145 meq/Ɩ

9
2. K+ : 0 – 4,0 meq/Ɩ
3. Cl- : 90 – 112
4. Ca : 2,5 – 3,5 meq/Ɩ
5. Mg : 0,5-2,0 meq/Ɩ
6. Dext 5% : 0 – 250 meq/Ɩ
7. Acetat/ bicarbonate : 33- 45

2.1.9. Efek Samping


Efek samping hemodialisis yang dapat terjadi mencakup penurunan tekanan
darah (hipotensi), anemia, keram otot, detak jantung yang tidak teratur, mual,
muntah, sakit kepala, sakit dada, gatal-gatal, demam dan menggigil, kejang
infeksi, pembekuan darah, dan emboli udara, kondisi darah menjadi asam
(asidosis), yang menimbulkan keluhan sesak napas, batuk-batuk, lemas, mual,
dan penurunan kadar hemoglobin darah (anemia).
Batuk darah biasanya disebapkan oleh edema paru, walau mungkin terdapat
penyebap lain yang harus disingkirkan terlebih dahulu. Pola makan pada pasien
hemodialisis, yaitu tinggi protein, berbeda dengan pola makan pasien gagal
ginjal sebelum menjalani hemodialisis, yaitu rendah protein. Tidak terdapat
makanan yang menjadi pantangan bagi peserta hemodialisis, tetapi pasien perlu
membatasi jumlah minuman dan makanan yang banyak mengandung kalium.
Kalium banyak terdapat pada umbi-umbian (contohnya kentang, ubi jalar,
singkong, dll) buah-buahan (contohnya pisang, jeruk, anggur, dll) dan sayuran
tertentu.
Selain menjalani HD dalam jangka panjang, obat-obatan yang diperlukan
antara lain obat yang mengatasi anemia, seperti suntikan hormone eritroprotein,
serta pemberian zat besi. Selain itu, untuk menurukan tingginya kadar fosfat
darah yang dapat mengganggu kesehatan tulang. Pasien perlu diberikan obat
pengikat-fosfat, anti hipertensi, dan vitamin penunjang (yang tidak mengandung
fosfor atau mineral lain yang tidak perlu) dan mengurangi makanan yang banyak
mengandung fosfor.

10
Makanan yang kaya fosfor antara lain susu, keju, kacang-kacangan, dan
minuman ringan. Sementara protein yang dimakan sebaiknya memiliki mutu
tinggi karna akan memproduksi lebih sedikit sisa metabolisme, antara lain
daging, ikan, dan telur. Asupan kalori harus mencukupi, yang dapat diperoleh
dari minyak tumbuh-tumbuhan selain karbohidrat dan protein [ CITATION Ago \l
1057 ].
Ketergantungan pasien terhadap mesin hemodialisis seumur hidup yang rutin
dilakukan mengakibatkan perubahan peran, perubahan pekerjaan, kehidupan
ekonomi, kehidupan sosial dan pendapatan yang mengakibatkan stressor yang
dapat menimbulkan kecemasan pada pasien hemodialisis (Farida, 2010).
Tinjauan sistemik dan meta-analisis dari studi observasional menunjukkan bahwa
depresi adalah prediktor signifikan mortalitas pada populasi dialisis (Ma & Li,
2016).

2.2. Dialysis Peritoneal


2.2.1. Pengertian
Di perut terdapat rongga yang dilapisi selaput tipis yang disebut peritoneum.
Membrane ini mengelilingi usus (intestinum) dan alat-alat dalam lainnya. Pada
dialisis peritoneal, rongga tersebut diisi dengan cairan dialisis yang dimasukkan
melalui suatu kateter yang diimplantasikan secara permanen.
Dialisis peritoneal juga disebut CPD (Continuous Peritoneal Dialysis).
Dengan CPD selalu terdapat cairan dalam ruang peritoneum sehingga darah
pasien akan selalu dibersihkan. Cairan tersebut diganti sepanjang hari pada
waktu-waktu tertentu [ CITATION Toh16 \l 1057 ].
Tumpukan air dan sisa metabolisme dibuang dari darah melalui peritoneum
dan memasuki cairan dialisis. Cairan ini kemudian dikeluarkan dari tubuh. Pasien
yang sudah terlatih dapat mengerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Karena dialisis dengan cara ini bekerja secara kontinu, pasien bebas memilih
makanan untuk memenuhi kebutuhan sebagai pengganti zat-zat sisa yang
dibuang. Makanan denagn sedikit kandungan natrium dan fosfor, serta kaya

11
protein akan meningkatkan kualitas hasil dialisis dan keadaan umum pasien.
Pilihan makanan disesuaikan menurut berat badan, variasi pilihan perorangan,
kapasitas ginjal, dan adanya penyakit penyerta lain (diabetes, hipertensi).
Pasien yang masih aktif bekerja perlu merencanakan ulang jadwal kerjanya
sebelum menjalani dialisis. Izin atau cuti perlu diambil pada awal dialisis
peritoneal dan ketika terapi dimulai. Setelah kondisi membaik, pasien sudah
dapat kembali menjalankan tugas rutinnya, bergantung pada kemampuan fisik.
Aktivitas fisik perlu sedikit dikurangi.
Pada pelaksanaan terapi dialisis peritoneal, pasien mungkin juga masih
memerlukan berbagai jenis obat yang bergantung pada jenis penyakit penyerta.
Obat-obatan yang dimaksud adalah obat antihipertensi, eritroprotein untuk
memacu sumsum tulang membentuk sel-sel darah baru, kalsium, zat besi dan
suplemen makanan lain untuk menjaga stabilitas nutrisi dalam darah, pengikat
fosfor untuk mencegah kenaikan kadar fosfor dalam darah, dan pelunak tinja
beserta laksatif untuk menjaga kelancaran BAB.
Dialisis relatif tidak sulit dilakukan bagi pasien dialisis peritoneal.
Penggantian cairna dapat dilakukan di mana saja selama pasien tetap menjaga
kebersihan.
Hal yang diperlukan adalah penyediaan cairan atau pembersih alat (jika
menggunakan alat tambahan). Cairan dapat dibawa bersama benda lainnya, atau
dikirim secara terpisah sejak awal. Beberapa perusahaan menyediakannya di
tempat tujuan jika pasien memberitahukan hal tersebut sebelumnya.
Dialisis peritoneal tidak dianjurkan pada adanya parut lebar di dinding perut
atau kondisi lain yang mengganggu dan peradangan kolon bagian bawah atau
divertikulitis kambuhan [ CITATION Ago \l 1057 ].

2.2.2. Jenis Dialisis Peritoneal


Terdapat beberapa jenis dialisis peritoneal, yaitu (1) CAPD atau Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis, (2) ACAPD atau Assisted Continuous

12
Ambulatory Peritoneal dialysis dan (3) APD atau Automated Peritoneal Dialysis
(menggunakan mesin tambahan yang disebut cycle).
a. CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis)
Metode pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang
melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area
permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah
dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut.
Cairan di masukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus diding
perut ke dalam rongga perut. Cairan harus diberikan selama waktu tertentu
sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam
cairan tersebut, kemudian cairan di keluarkan, dibuang, dan diganti dengan
cairan yang baru.
CAPD adalah dialisis peritoneal yang kontinu, artinya sepanjang waktu
cairan dialisis berada di rongga peritoneum. Keuntungannya, pembersihan
darah tidak terhenti. Dengan metode CAPD, pasien akan selalu menyimpan
sekitar 2-2,5 liter cairan dialisisdi rongga peritoneumnya. Penggantian cairan
tersebut biasanya dilakukan empat kali sehari dengan membuang cairan yang
kotor dan menggantinya dengan yang baru. Penggantian biasanya dilakukan
pagi, siang, sore, dan malam hari sebelum tidur. Setiap penggantian
memerlukan waktu antara 30-45 menit. Kerugian atau efek samping CAPD
adalah bahwa cairan harus diganti pada waktu-waktu tertentu sepanjang hari.
Pasien perlu membawa cairan dialisat (sekitar 2-2,5 liter) setiap hari
kemana-mana. Indikasinya adalah untuk pasien gagal ginjal dengan
kemungkinan sudah pada taraf terminal (kemampuan ginjal tinggal 20% atau
kurang). Hambatan awal yang dijumpai adalah pemasangan kateter oleh ahli
bedah di RS tertentu, pengangkutan dialisat dan kateter sediaanya, sterilisasi
pemasukan atau penggantian cairan (4 kali sehari) yang memerlukan waktu
sekitar 30-45 menit, dan penjagaan sterilitas kateter.
b. ACAPD (Assisted Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis)

13
ACAPD sama dengan CAPD, kecuali bahwa ACAPD dibantu dengan
suatu mesin (cycler) yang secara otomatis dapat memasukkan dialisat dan
mengeluarkan cairan yang kotor ketika pasien sedang beristirahat atau tidur.
c. APD (Automated Peritoneal Dialysis)
Pada APD (dulu disebut continued cycling peritoneal dialisys), suatu
mesin yang disebut automatic cycle berfungsi melakukan pencucian pada
malam hari saat pasien tertidur. Pada pagi hari setelah mesin selesai
memasukkan sekitar 2 liter cairan, cairan dialisat ini akan berada dalam
rongga peritoneum untuk menampung kotoran selama sehari. Sore harinya,
cairan yang kotor tersebut dikeluarkan melalui mesin setelah terpasang.
Dengan APD, dialisis dapat dilakukan di rumah tanpa mengganggu
aktivitas harian, tetapi terhubung pada mesin dialis 8-10 jam setiap harinya.
Beberapa orang memerlukan pembersihan tambahan dalam sehari [ CITATION
Ago \l 1057 ].

2.2.3. Komplikasi dialisis peritoneal


Peritonitis, yaitu infeksi peritoneum dan rongga abdomen, merupakan
masalah yang paling sering ditemukan pada pasien dialisis peritoneal. Unutk
mencegahnya, apsien perlu menjaga kebersihan dengan mencuci tangan
sebelum memegang kateter, dan menyuci-hamakan daerah sekitar kateter
dengan antiseptik setiap hari. Cairan dialisis harus disimpan di tempat yang
bersih dan sejuk.
Pasien perlu memberitahukan dokter jika merasa demam, atau
menemukan cairan yang keruh atau berbau, atau daerah sekitar kateter
terlihat merah atau terasa nyeri. Pengobatan dengan antibiotik diperlukan
pada keadaan tersebut. Semua jenis dialisis merupakan modalitas terapi yang
mengandung risiko.
Penyulit dapat terjadi akibat dialisis atau penyakit ginjal itu sendiri, antara
lain:

14
a. Anemia, keadaan ini terjadi akibat kekurnagan hormon eritroprotein, yang
biasanya dibentuk oleh ginjal sehat untuk memacu produksi sel darah
merah. Kadar zat besi atau vitamin juga dapat menurun, yang dapat
disebabkan faktor diet, absorpsi zat besi yang rendah, pengeluaran zat besi
dan vitamin selama dialisis atau pengambilan sampel darah yang sering
dilakukan untuk pemeriksaan.
b. Penyakit tulang, jika ginjal tidak mampu menggunakan vitamin D untuk
mengabsorpsi kalsium, tulang manjadi rapuh. Jika kelenjar paratiroid
menghasilkan hormon paratiroid secara berlebihan -sering terjadi sebagai
komplikasi gagal ginjal- kalsium akan keluar dari tulang.
c. Hipertensi, penyakit ini merupkan penyebab utama gagal ginjal. Selama
pengobatan gagal ginja, asupn makanan yang asin atau konsumsi air
secara berlebihan dapat semakin meningkatkan tekanan darah dan
memperberat fungsi gijnjal yang masih baik. Jika tidak mendapatkan
penanganan segera, tekanan darah pasien akan meningkat sedemikian rupa
sehingga serangan jantung atau storke dapat timbul.
d. Penimbunan cairan, jika pasien minum melebihi takaran yang dianjurkan,
dapat terjadi kelebihan cairan yang berbahaya, gagal jantujng atau
penumpukan cairan, dan edema paru.
e. Inflamasi perikardium (perikarditis), dialisis yang tidak sempurna dapat
menimbulkan peradangan perikardium yang akan menimbulkan gangguan
kemampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
f. Peningkatan kadar kalium (hiperkalemia). Ginjal yang sehat akan
membuang kelebihan kalium. Jika ginjal sakit sedangkan asupan kalium
melebihi takaran yang seharusnya, kadar kalium dapat lebih tinggi dari
normal. Dalam keadaan ekstrem, kadar kalium yang tinggi menimbulkan
henti jantung.
g. Kerusakn saraf. Gagal ginjal kronis dapat merusak saraf. Gangguan saraf
perifer, yang juga disebut neuropati perifer, menimbulkan nyeri atau
kesemutan di ekstremitas atas atau bawah.

15
h. Infeksi. Infeksi dapat terjadi dan jenisnya bergantug dari tipe dialisis yang
digunakan, misalnya infeksi pada luka tusukan vena atau disekitar lubang
kateter
i. Komplikasi lain. Data berupa gangguna tidur, gelisah, dan depresi

2.3. Perbedaan Hemodialisis dan Dialisis Peritoneal

Hemodialisis Dialisis Peritoneal

HD biasanya dilakukan 3 Dialisis peritoneal


kali seminggu, tetapi dapat dilakukan sendiri
Waktu juga sekali setiap hari sepanjang hari atau
dibantu mesin pada malam
hari

HD biasanya berlangsung 4- Berlangsung sekitar 30-40


5 jam. Hemodialisis setiap menit pada proses
hari kira-kira 2 jam pertukaran cairan dialisis –
biasanya 4-5 kali sehari.
Lama tindakan Jika menggunakan mesin
automatis, pasien
terhubung pada mesin
dialisis selama 10-12 jam
pada malam hari

Tempat pelaksanaan Biasanya dilakukan di pusat Penukaran cairan dapat


hemodialisis, tetapi dapat dilakukan sendiri di
dirumah dengan bantuan rumah, kantor atua tempat
perawat khusus lain yang bersih. Mesin
‘cycler’ yang automatis
dapat digunkan di rumah
atau di tempat tujuan

16
perjalanan

Dilakukan oleh tim khusus Mungkin memerlukan


di pusat heodialisis atau bantuan jika pasien
Pihak yang
oleh perawat yang sudah menemui hambatan,
melakukan
terlatih di rumah pasien. misalnya penglihatan
terbatas

Dokter ahli bedah membuat Dokter ahli bedaha


pelebaran vena di lengan memasang kateter
Hal yang dibutuhkan (cimeno) untuk peritoneal di perut
memudahkan masuknya
jarum HD

Perlu memantau jumah Aturan diet lebih longgar,


asupan cairan, protein, tetapi masih perlu
natrium, kalium, dan fosfor, memperhatikan jumlah
Pola diet
termasuk pemeliharaan dan jenis
berat badan makanan/minuman yang
masuk

2.4. Asuhan Keperawatan


2.4.1. Pengkajian
a. Keluhan
Klien dengan hemodialisis biasanya mengeluhkan : lemas, pusing, gatal,
bengkak-bengkak, sesak, kram, buang air kecil tidak lancar, mual, muntah,
tidak nafsu makan,susah tidur, berdebar, diare, susah buang air besar,
penglihatan tidak jelas, sakit kepala, nyeri dada, nyeri punggung, susah
berkonsentrasi, kulit kering, pandangan gelap, nyeri otot, nyeri pada
pemasukkan jarum, rembes pada akses darah, keringat dingin, batuk
berdahak/tidak.

17
b. Riwayat penyakit dahulu
Menanyakan adanya riwayat infeksi saluran kemih, infeksi organ lain, riwayat
kencing batu/obstruksi, riwayat konsumsi obat-obatan, jamu, riwayat trauma
ginjal, riwayat penyakit endokrin, riwayat penyakit kardiovaskuler, riwayat
darah tinggi, riwayat kehamilan, riwayat dehidrasi, riwayat trauma, atau jika
pasien reguler hemodialisis ditanyakan jadwal dialysis terakhir
c. Riwayat kesehatan sekarang
Menanyakan riwayat polikistik, diabetes, hipertensi, riwayat penyakit ginjal
yang lain. Cantumkan genogram minimal tiga generasi
d. Pemeriksaan fisik
1. Breath (B 1)
a) Pernapasan kusmaul, napas pendek-cepat
b) Ronchi akibat adanya edeme pulmonum
c) Pernapasan kuping hidup
2. Blood (B 1)
a) Hipertensi, distensi vena jugularis
b) Palpitasi, angina, nyeri dada
c) Disritmia
d) Pallor
e) Hipotensi/hipertensi, nadi lemah/halus
f) Edema periorbital-pretibial
g) Anemia
h) Hiperlipidemia
i) Hiperparatiroid
j) Trombositopenia
k) Pericarditis
l) Aterosklerosis
m)CHF
n) LVH
o) Uremia

18
p) Asidososis metabolic
q) Reaksi transfuse
r) Demam (sepsis dehidrasi)
s) Infeksi berulang
3. Brain (B 3)
a) Sakit kepala, penglihatan kabur, pusing
b) Penurunan kesadaran sampai dengan koma
c) Kejang-kejang
d) Letih, insomnia
e) Komplikasi stroke
4. Bladder (B 4)
a) Poliuri pada awal gangguan ginjal, olguri dan anuri pada fase lanjut
b) Disuria, kaji warna urin
c) Riwayat batu pada saluran kencing
d) Gangguan fungsi sexual
e) Penurunan libido
f) Haid (-), amenore
g) Gangguan fungsi ereksi
h) Produksi testosteron dan sperma menurun
i) Infertile
5. Bowel (B 5)
a) Kelebihan cairan
b) Mual, muntah, anorexia, nyeri ulu hati
c) Distensi abdomen, asites
d) Rasa haus
e) Gastritis ulserasi, stomatitis
f) Malnutrisi, penurunan berat badan kering
g) Ascites, meteorismus, diare, konstipasi
6. Bone (B 6)
a) Tonus oto menurun, ROM berkurang

19
b) Lelah, lemah, atau malaise
c) Edema extremitas, peningkatan BB, penurunan BB
d) Turgor kulit jelek, pruritus, kulit kering, gatal gatal, iritasi kulit
e) Osteoporosis akibat dampak dari mineral bone desease hingga fraktur
tulang
f) Kram otot, kesemutan, mati rasa, nyeri punggung
g) Lemak subkutan menurun
h) Nyeri punggung
e. Pengkajian psikososial
1. Integritas ego
2. Interaksi social
3. Tingkat pengetahuan tentang penyakit dan penatalaksanaannya
4. Stress emosional
5. Konsep diri
f. Laboratorium
1. Urin legkap
2. Darah lengkap meliputi : Hb, Hct, WBC, Trombosit, LED, Ureum pre dan
post, kreatinin pre dan post, protein, total, albumin, globulin, SGOT-
SGPT, bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium,
natrium, klorida, gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin, serum,
pth, vit D, kloesterol total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag,
antiHCV, anti HIV, CRP, astrup:Ph/PO2/Pco2/HCO3
3. Biasanya dapat ditemukan adanya : anemia, hiperkalemia, hiperfosfatemi
a,hipokalsemi, ureumikum, kreatinin meningkat, pH darah rendah, GD
klien DM menurun
g. Radiologi
1. Rontgen: kemungkinan ditemukan adanya gambaran pembesaran jantung,
edemapulmonum, efusi pleura
2. USG : adanya batu saluran kencing/ginjal, ukuran korteks, gambaran
keadaan ginjal, adanya pembesaran ukuran ginjal, vaskularisasi ginjal.

20
3. ECHO : penurunan ejection fraction (EF), terdapat LVH dsb.
4. EKG dapat dilihat adanya pembesaran jantung, gangguan irama,
hiperkalemi, hipoksia miokard.
5. Biopsi mendeteksi adanya keganasan pada jaringan ginjal

2.4.2. Diagnoasa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani
HD disusun berdasarkan Evidence base practice serta masalah yang muncul
sebelum (di rumah), saat dan sesudah proses dialysis serta berdasarkan skala
prioritas. Adapun diagnosa keperawatan yang lazim muncul adalah:
a. Kelebihan Volume cairan
b. Gangguan pertukaran gas
c. Gangguan sirkulasi spontan
d. Resiko ketidak seimbangan elektrolit (hiperkalemia)
e. Hipertermia
f. Penurunan curah jantung
g. Nyeri akut
h. Resiko infeksi
i. Resiko Jatuh
j. Resiko defisit nutrisi

2.4.3. Intervensi Keperawatan


a. Kelebihan volume cairan
Tujuan: tercapai keseimbangan cairan dengan kriteia: tercapai berat badan
kering; Intra Dialytic Weight Gain (IDWG) tidak melebihi 2 Kg; Tidak
terdapat edema perifer maupun pulmonum
Intervensi:
Tindakan mandiri
1. Monitor intake dan output
2. Timbang BB sebelum dan sesudah HD
3. Monitor perubahan BB pasien sebelum dan sesudah dialysis

21
4. Monitor tanda dan gejala, odem ektermitas, asites ataupun odem
pulmonum
5. Monitor status hemodinamik meliputi TD, nadi, respiration rate selama
proses dialysis

Tindakan Kolaborasi
1. Terapi Hemodialisa
2. Jelaskan prosedur hemodislisis dan tujuannya
3. Catat tanda vital : berat badan, suhu, denyut nadi, pernafasan, dan
tekanan darah
4. Lakukan hemodialisis sesuai peresepan (prescription)
5. Monitor vital sign selama dialysis berlangsung
6. Kolaborasi terkait komplikasi dialysis
7. Hentikan tindakan hemodialisis sesuai indikasi

Tindakan Edukasi
1. Jadwal HD yang akan datang jika ada
2. Edukasi tentang diet rendah garam dan pembatasan cairan untuk
menghndari penumpukan cairan secara berlebihan dalam tubuh
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga mengikuti tindakan rumah sakit untuk
mengatasi kelebihan cairan
4. Jaga kateter dialysis

b. Gangguan pertukaran gas


Tujuan: Keseimbangan asam dan basa: serum pH dalam batas: 7,35- 7,45;
Serum bicarbonate HCO3: 22-26mEq/L; Serum karbon dioksida: 35-45
mmHg; kadar PaO2 :80-100mmHg
Intervensi:
Tidakan Mandiri
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
2. Berikan Terapi Oksigen sesuai yang dianjurkan

22
3. Monitor adanya kemungkinan penyebab sebelum mencoba mengatasi
ketidak seimbangan asam basa (lebih efektif mengatasi etiologi dari pada
mengelola ketidak seimbangan)
4. Monitor ketidak seimbangan elektrolit yang berhubungan dengan asidosis
metabolic misalnya hyponatremia, hiperkalemia, atau hipokalemia,
hipokalsium, hiofosfatemia dan hypomagnesemia
5. Monitor manifestasi yang terjadi pada system kardio pulmonary sebagai
akibat memburuknya asidosis metabolic seperti hipotensi, hipoksia, aritmia
dan pernafasan kusmaul

Tindakan Kolaborasi
1. Manajemen Asidosis Metabolik: pemberian HCO3 oral atau parenteral
2. Terapi Hemodialisa:
a) Persiapan dialysis: persiapan kateter untuk dialysis sesuai kebutuhan
b) Jelaskan prosedur hemodialisis dan tujuannya
c) Lakukan hemodialisis sesuai peresepan (prescription)
d) Monitor vital sign selama dialysis berlangsung
e) Kolaborasi terkait komplikasi dialysis
f) Hentikan tindakan hemodialisis sesuai indikasi

Tindakan Edukasi
1. Jadwal HD yang akan datang jika ada
2. Edukasi tentang diet rendah karbohidrat untuk menurunkan CO2, Nutrisi
adequate pada pasien yang mengalami asidosis metabolic kronik
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga mengikuti tindakan rumah sakit untuk
mengatasi asidosis metabolic
4. Jaga kateter dialysis

c. Gangguan sirkulasi spontan


Intervensi:
Tindakan Mandiri

23
1. Berikan Terapi Oksigen sesuai yang dianjurkan
2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
3. Posisi Trendelenburg untuk meningkatkan perfusi darah ke otak dan
mencegah aspirasi
4. Monitor status Hemodinamik

Tindakan Kolaborasi
1. Terapi untuk pasien
a) Pemberian cairan salin isotonik (bolus 100- 250 ml)
b) Pemberian cairan koloid (albumin, jika pasien hipoalbumin)
c) Penggunaan obat vasopressor (dopamin atau norepinefrin) terutama
untuk pasien yang sakit berat atau di rawat di rumah sakit
d) Pemberian midodrine, 5-10 mg e. Pemberian sertraline, vasopressin,
antagonis adenosin, atau carnitine
2. Tindakan HD
a) Menurunkan laju UF sampai <1,5 L/jam atau menghentikannya
(mengurangi atau menghentikan UF dapat menyebabkan pasien
masih mengalami kelebihan cairan diakhir HD)
b) Menurunkan Laju Aliran Darah (QB; Blood Flow) tetapi sebagian
besar sumber literatur menyatakan bahwa menurunkan QB tidak
banyak membawa manfaat dan justru dapat menurunkan klirens /
adekuasi HD
c) Meningkatkan konsentrasi Natrium dalam dialisat (sampai dengan
148 meq/L) kemudian diturunkan sampai 135 meq/L
d) Mengatur moda (profiling) Natriumultrafiltrasi selama HD
e) Menurunkan suhu dialisat sampai 35.5 C (dianjurkan untuk
menurunkan bertahap sebesar 0.5°C tiap kali)
f) Menghentikan HD bila tekanan darah sitolik <70 mmHg, atau jika
timbul gejala iskemia otak atau jantung, atau jika tekanan darah tidak
membaik, serta mengirim pasien ke unit rawat darurat

24
Tindakan Edukasi
1. Jika pasien setiap sesi HD selalu mengalami hipotensi, maka pasien
dianjurkan beralih ke dialisis peritoneal (CAPD)
2. Kepatuhan diit
3. Manajemen obat ( pantau kepatuhan mengenai regimen obat)

d. Resiko ketidak seimbangan elektrolit (hiperkalemia)


Intervensi:
Tindakan Mandiri
1. Berikan Terapi Oksigen sesuai yang dianjurkan
2. Monitor kadar kalium sebelum dan sesudah dialisis
3. Monitor akibat hiperkalemia terhadap jantung (misalnya, penurunan
jantung, blok jantung, puncak gelombang T, fibrilasi atau Asistole)
4. Catat intake/asupan kalium yang tidak disengaja

Tindakan Kolaborasi
1. Manajemen hiperkalemia: pemberian deuritik, pemberian obat yang
dapat menggeser kalium ke dalam sel misalnya 50% dextrose dan
insulin, natrium bicarbonate, calcium clorida, dan calcium glukonat,
natrium polistiren (kayexalate)
2. Terapi Hemodialisa:
a) Jelaskan prosedur hemodislisis dan tujuannya
b) Catat tanda vital : berat badan, suhu, denyut nadi, pernafasan, dan
tekanan darah
c) Lakukan hemodialisis sesuai peresepan (prescription)
d) Monitor vital sign selama dialysis berlangsung
e) Kolaborasi terkait komplikasi dialysis
f) Hentikan tindakan hemodialisis sesuai indikasi

Tindakan Edukasi
1. Jadwal HD yang akan datang

25
2. Edukasi tentang kepatuhan terhadap diet misalnya menghindari makanan
tinggi kalium, memenuhi kebutuhan makanan dengan pengganti garam
dan makanan rendah kalium)
3. Hindari deuritik hemat kalium misalnya spironalakton (aldakton), dan
triamterene (dyrenium)
4. Jelaskan pada pasien dan keluarga pada langkah langkah sesuai protocol
untuk mengobati hyperkalemia
5. Jaga Akses vaskuler

e. Hipertermia
Intervensi:
Tindakan mandiri
1. Observasi suhu dan tanda vital lainnya
2. Monitor warna kulit dan suhu
3. Kompres hangat (berikan untuk pasien dengan suhu yang sangat tinggi,
tidak memberikannya selama fase dingin, dan hindari agar pasien tidak
menggigil)
4. Beri selimut atau pakaian ringan sesuai dengan fase demam ( memberi
selimut hangat untuk fase dingin, menyediakan linen ringan untuk
demam dan fase bergejolak/flush)
5. Beri oksigen jika diperlukan
6. Hentikan transfusi jika penyebabnya diduga dari tanfusi

Tindakan Kolaborasi
1. Pemberian Antipiretik
2. Pemeriksaan laborotarium: Darah lengkap, Kultur darah dan sebagainya
3. Pemberian Antibiotik
4. Evaluasi CVC (lama terpasang, kondisi selang, tanda infeksi)
5. Tindakan Hemodialisis
a) Mengecilkan Qb
b) Menurunkan/menaikkan Suhu dialisat

26
c) Profiling mesin

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

27
Terdapat dua jenis dialysis, yaitu hemodialisis dan dialysis peritoneal. Pada
jenis pertama, darah dialirkan melalui suatu mesin dialysis yang berfungsi
sebagai ginjal tiruan. Pada dialysis kedua, proses penyaringan yang dilakukan
menyerupai hemodialisis, tetapi darah dibersihkan dalam tubuh sendiri dan
bukan dalam mesin [ CITATION Ago \l 1057 ].
Penderita gagal ginjal kronik harus melakukan terapi hemodialisa untuk
memperpanjang usia harapan hidup. Kegiatan ini akan berlangsung terus
menerus sepanjang hidupnya (Smeltzer & Bare, 2002). Oleh karena itu
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan
atau pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan
interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif (Dhina, 2015).
Penderita gagal ginjal kronik harus melakukan terapi hemodialisa untuk
memperpanjang usia harapan hidup. Kegiatan ini akan berlangsung terus
menerus sepanjang hidupnya (Smeltzer & Bare, 2002). Oleh karena itu
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual ang dilakukan dengan pendekatan
interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif (Dhina, 2015).
Di perut terdapat rongga yang dilapisi selaput tipis yang disebut peritoneum.
Membrane ini mengelilingi usus (intestinum) dan alat-alat dalam lainnya. Pada
dialisis peritoneal, rongga tersebut diisi dengan cairan dialisis yang dimasukkan
melalui suatu lateter yang diimplantasikan secara permanen.
Dialisis peritoneal juga disebut CPD (Continuous Peritoneal Dialysis).
Dengan CPD selalu terdapat cairan dalam ruang peritoneum sehingga darah
pasien akan selalu dibersihkan. Cairan tersebut diganti sepanjang hari pada
waktu-waktu tertentu.

28
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A., Agoes, A., & Agoes, A. (2010). PENYAKIT DI USIA TUA. Jakarta: EGC.

29
Hutagaol, E. V. (2017). PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA
GAGAL INJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA
MELALUI PSYCHOLOGICAL INTERVENTION DI UNIT HEMODIALISA
RS ROYAL PRIMA MEDAN . jurnal JUMANTIK , 42-59.

Rendy, C. &. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Toha', B., & Permanasari, V. Y. (2016). Strategi Pemasaran Pelayanan Continuous


Ambulatory Peritoneal Dialisis Di Klinik Khusus Ginjal X Batam . Jurnal
Ekonomi Kesehatan Indonesia , 138-145.

Wakhid, A., & Suwanti. (2019). GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN


YANG MENJALANI HEMODIALISA. Jurnal Ilmiah Permas , 95-102.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Media.

30

Anda mungkin juga menyukai