Anda di halaman 1dari 12

ILMU GIZI INDONESIA ISSN 2580-491X (Print) Vol. 02, No.

02, 89-100
ilgi.respati.ac.id ISSN 2598-7844 (Online) Februari 2019

Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Desa


Panduman Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember

Risk factor of stunting among under five children in Panduman Village, Jelbuk Sub-
District, Jember Regency
Wiwin Barokhatul Maulidah, Ninna Rohmawati*, Sulistiyani Sulistiyani
Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember
Diterima: 20/08/2018 Ditelaah: 13/11/2018 Dimuat: 26/02/2019

Abstrak
Latar Belakang: Stunting adalah kondisi kegagalan untuk mencapai perkembangan fisik yang diukur
berdasarkan tinggi badan menurut umur dengan nilai Z-score kurang dari -2 SD. Stunting merupakan
salah satu permasalahan gizi yang terjadi di dunia, khususnya di negara miskin dan berkembang termasuk
di Indonesia. Stunting juga dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan anak yang mengindikasikan
kekurangan gizi kronis. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita di Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember. Metode: Jenis
penelitian ini, yaitu analitik observasional menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan
di Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember dengan sampel sebanyak 76 responden. Teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Analisis data menggunakan uji Chi
Square. Data karakteristik keluarga, data riwayat berat bayi lahir rendah (BBLR) dan riwayat penyakit
infeksi kronis diperoleh melalui kuesioner. Data tingkat konsumsi energi, protein, kalsium, dan zink
menggunakan food recall 2x24 jam, sedangkan data kejadian stunting pada balita dengan pengukuran
TB/U diukur dengan microtoice. Hasil: Prevalensi balita stunting di Desa Panduman sebesar 51,3%. Hasil
penelitian menyatakan bahwa tingkat konsumsi energi, protein, zink, kalsium, dan riwayat penyakit infeksi
kronis berhubungan dengan kejadian stunting pada balita, sedangkan riwayat BBLR tidak berhubungan
dengan kejadian stunting pada balita. Kesimpulan: terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi,
protein, kalsium, zink, dan riwayat penyakit infeksi kronis dengan kejadian stunting pada balita.

Kata kunci: konsumsi makan; berat badan lahir rendah; infeksi kronis; stunting

Abstract
Background: Stunting is a failure condition to achieve physical development. This condition happened
among under-five children who have Z-score less than -2 SD. Stunting is one of the nutritional problems
that occur in the world, especially in poor and developing countries, including in Indonesia. Stunting can
be used as an indicator of chronic malnutrition. Objective: This study aimed to analyze the risk factors of
stunting incidence among under-five children in Panduman Village, Jelbuk Subdistrict, Jember Regency.
Methods: This type of research was observational analytic using a cross-sectional approach. This research
was conducted in Panduman Village, Jelbuk District, Jember Regency with a sample of 76 respondents with
simple random sampling. Data were analyzed using Chi Square test. Family characteristics data, history
of low birth weight and history of chronic infectious diseases were obtained through questionnaires. Data
food consumption of energy, protein, calcium, and zinc were collected using 2x24 hour food recall, while the
stunting data of under-five children was measured H/A by microtoice. Results: The prevalence of stunting
among under-five children in Panduman Village was 51.3%. There was a significant association between
food consumption consist of energy, protein, zinc, calcium, and a history of chronic infectious diseases with
stunting among under-five children. Meanwhile, there was not a significant association between history
of low birth weight stunting among under-five children. Conclusion: There was a significant association
between food consumption consist of energy, protein, zinc, calcium, and a history of chronic infectious
diseases with stunting among under-five children.

Keywords: food consumption; low birth weight; chronical disease; stunting

*Korespondensi: Ninna Rohmawati, Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan


Masyarakat, Universitas Jember, Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegal Boto, Jember, telepon/ fax 89
(0331) 337878/ 322995, email: ninna.rohmawati@gmail.com
Ilmu Gizi Indonesia, Vol. 02, No. 02, Februari 2019 : 89-100

PENDAHULUAN adalah faktor ekonomi. Status ekonomi yang


Stunting merupakan kondisi kegagalan rendah berdampak pada ketidakmampuan
untuk mencapai perkembangan fisik yang untuk mendapatkan pangan yang cukup dan
diukur berdasarkan tinggi badan menurut berkualitas karena rendahnya daya beli (11).
umur dengan nilai Z-score <-2 SD. Stunting Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor
juga dapat digunakan sebagai indikator untuk yang secara tidak langsung memengaruhi
pertumbuhan anak yang mengindikasikan kejadian stunting pada balita. Tujuan
kekurangan gizi kronis (1). Menurut WHO penelitian ini adalah mengetahui faktor yang
pada tahun 2012 terdapat sekitar 162 juta berhubungan dengan kejadian stunting di Desa
balita pendek di seluruh dunia (2). Pada Panduman, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten
tahun 2010, prevalensi balita stunting sebesar Jember.
35,6% kemudian meningkat menjadi 37,2%
pada tahun 2013 (3). Stunting berdampak METODE
pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap Jenis penelitian ini adalah penelitian
penyakit, menurunkan produktivitas sehingga analitik observasional dengan pendekatan
dapat menghambat pertumbuhan ekonomi cross sectional. Jumlah responden dalam
serta dapat meningkatkan kemiskinan dan penelitian ini sebanyak 76 ibu yang memiliki
ketimpangan (4). Menurut Tufts (2001) balita dan dipilih dengan cara simple random
kejadian stunting pada balita disebabkan sampling. Penelitian ini dilakukan di Desa
beberapa faktor. Faktor yang memengaruhi Panduman Kecamatan Jelbuk, Kabupaten
stunting secara langsung, yaitu konsumsi Jember pada bulan Mei tahun 2018. Data
makan, berat lahir rendah, dan status yang dikumpulkan meliputi karakteristik
kesehatan (5). Konsumsi makan yang tidak keluarga (tingkat pendidikan ibu, tingkat
adekuat, secara langsung dapat menyebabkan pengetahuan gizi ibu, status pekerjaan ibu,
stunting pada balita. Konsumsi makanan yang dan pendapatan keluarga) yang diperoleh
tidak memenuhi kebutuhan gizi seimbang melalui wawancara menggunakan kuesioner.
dan riwayat bayi lahir rendah (BBLR) akan Data konsumsi energi, protein, kalsium, dan
berdampak stunting pada balita (6,7). Status zink dikumpulkan menggunakan formulir
kesehatan rendah seperti adanya penyakit food recall 2x24 jam. Data riwayat BBLR dan
infeksi juga menjadi faktor penyebab riwayat penyakit infeksi kronis dikumpulkan
terjadinya stunting (8). dengan kuesioner. Data kejadian stunting
Hasil survei Pemantauan Status Gizi pada balita didapatkan dari pengukuran tinggi
(PSG) tahun 2016 menyebutkan bahwa badan menurut umur menggunakan microtoice
Kabupaten Jember memiliki prevalensi balita yang kemudian dibandingkan dengan standar
stunting di atas prevalensi nasional dengan baku WHO-2005. Analisis data menggunakan
persentase sebesar 39,2% (9). Tahun 2017, uji Chi Square.
jumlah kasus balita stunting tertinggi berada
di wilayah kerja Puskesmas Jelbuk dengan HASIL
persentase sebesar 39,30%. Desa Panduman Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa
merupakan desa di wilayah kerja Puskesmas sebagian besar tingkat pendidikan ibu adalah
Jelbuk yang memiliki prevalensi balita tamat sekolah dasar. Sebagian besar tingkat
stunting tertinggi, yaitu sebesar 31% (10). pengetahuan gizi ibu tergolong rendah. Hal
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh tersebut dapat disebabkan rendahnya tingkat
peneliti diketahui bahwa penyebab tingginya pendidikan ibu, adanya sikap kurang peduli
angka stunting pada balita di Desa Panduman atau ketidakingintahuan ibu tentang gizi. Di

90
Wiwin Barokhatul Maulidah, dkk. : Faktor yang berhubungan dengan kejadian

sisi lain, sebagian besar ibu tidak bekerja. dari pendapatan suami. Sebagian besar suami
Sebagian besar tingkat pendapatan keluarga responden bekerja menjadi buruh tani yang
responden <UMK Jember (Rp 1.916.983,99.) memiliki rata-rata penghasilan <Rp 50.000/
karena pendapatan keluarga hanya diperoleh hari.

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan karakteristik keluarga


Karakteristik keluarga n %
Tingkat pendidikan ibu
Dasar 63 82,9
Menengah 12 15,8
Tinggi 1 1,3
Status pekerjaan ibu
Bekerja 14 18,4
Tidak bekerja 62 81,6
Pengetahuan gizi ibu
Baik 0 0
Cukup 17 22,4
Rendah 59 77,6
Pendapatan keluarga
≥UMK Rp.1.916.983,99 12 15,8
<UMK Rp.1.916.983,99 64 84,2

Tabel 2. Distribusi konsumsi makan pada balita


Konsumsi makan n %
Tingkat konsumsi energi
Lebih 12 15,7
Normal 30 39,6
Defisit ringan 4 5, 2
Defisit sedang 11 14,5
Defisit berat 19 25,0
Tingkat konsumsi protein
Lebih 14 18,4
Normal 28 36,8
Defisit ringan 10 13,2
Defisit sedang 9 11,8
Defisit berat 15 19,8
Tingkat konsumsi zink
Cukup 32 42,1
Kurang 44 57,9
Tingkat konsumsi kalsium
Cukup 26 34,2
Kurang 50 65,8
Berdasarkan hasil recall 2x24 jam pada tertinggi sebesar 2.051 kcal. Konsumsi energi
Tabel 2, diketahui rata-rata konsumsi energi yang dianjurkan oleh angka kecukupan gizi
balita sebesar 944,14 kcal dengan konsumsi (AKG), yaitu 1.125 kcal untuk usia 1–3 tahun
energi terendah sebesar 580,55 kcal dan dan 1.600 kkal untuk usia 4−6 tahun. Rata-

91
Ilmu Gizi Indonesia, Vol. 02, No. 02, Februari 2019 : 89-100

rata konsumsi protein balita, yaitu 29,86 gram, Konsumsi zink yang dianjurkan AKG adalah 4
dengan konsumsi protein terendah sebesar mg untuk usia 1−3 tahun dan 5 mg untuk usia
12,54 gram dan tertinggi sebesar 41,90 gram. 4–6 tahun. Rata-rata konsumsi kalsium, yaitu
Konsumsi protein yang dianjurkan oleh AKG, 225,73 mg dengan tingkat konsumsi terendah
yaitu 26 gram untuk usia 1−3 tahun dan 35 sebesar 118,4 mg. Konsumsi kalsium yang
gram untuk usia 4-6 tahun. Rata-rata konsumsi dianjurkan AKG sebesar 650 mg untuk usia
zink sebesar 3,46 mg, dengan konsumsi 1−3 tahun dan 1.000 mg untuk usia 4−6 tahun.
terendah sebesar 1,96 mg dan tertinggi 5,8 mg.

Tabel 3. Distribusi status BBLR, riwayat penyakit infeksi kronis,


dan kejadian stunting pada balita
n Persentase (%)
Status BBLR
BBLR 10 13,2
Tidak BBLR 66 86,8
Riwayat penyakit infeksi kronis
Ada 34 44,7
Tidak ada 42 55,3
Kejadian stunting
Stunting 39 51,3
Normal 37 48,7

Status BBLR dibedakan menjadi dua yang diderita oleh balita setelah diare, dengan
kategori, yaitu BBLR (<2.500 gram) dan persentase sebesar 20,6%.
tidak BBLR (≥2.500 gram). Hasil pada Tabel Berdasarkan hasil penelitian yang
3 menunjukkan bahwa sebagian besar balita dilakukan dengan pengukuran TB/U
memiliki berat bayi lahir normal. Berdasarkan menunjukkan bahwa prevalensi balita
hasil penelitian diketahui bahwa sebagian stunting usia 12−59 bulan di Desa Panduman
besar balita tidak mempunyai riwayat Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember tahun
penyakit infeksi kronis (Tabel 3). Berdasarkan 2018 sebesar 51,3% (Tabel 3). Prevalensi
hasil wawancara dengan responden dalam balita stunting di Desa Panduman lebih tinggi
pertanyaan di kuesioner, riwayat penyakit dari angka prevalensi nasional (37,2%). Hal
infeksi kronis yang banyak diderita oleh balita ini menunjukkan bahwa stunting pada balita
adalah diare kronis dengan prevalensi sebesar yang berusia 12−59 bulan di Desa Panduman
55,9%. Selain diare kronis, kecacingan merupakan permasalahan kesehatan yang
merupakan penyakit infeksi terbesar kedua harus segera ditangani.

Tabel 4. Hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan kejadian stunting pada balita
Tingkat Kejadian stunting
Total
konsumsi Stunting Normal p OR 95% CI
energi n % n % n %
Lebih 5 41,7 7 58,3 12 100
Normal 11 36,7 19 63,3 30 100 0,0131 0,277 0,09–0,77
Defisit 23 67,6 11 32,4 34 100
1
signifikan (p value < 0,05)

92
Wiwin Barokhatul Maulidah, dkk. : Faktor yang berhubungan dengan kejadian

Berdasarkan Tabel 4 dapat disimpulkan pada balita di Desa Panduman, Kecamatan


bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat Jelbuk, Kabupaten Jember.
konsumsi energi dengan kejadian stunting

Tabel 5. Hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian stunting pada balita
Tingkat Kejadian stunting
Total
konsumsi Stunting Normal p OR 95% CI
protein n % n % n %
Lebih 5 35,7 9 64,3 14 100
Normal 10 35,7 18 64,3 28 100 0,0061 4,23 1,48–12,58
Defisit 24 70,6 10 29,4 34 100
1
signifikan (p value <0,05)

Berdasarkan Tabel 5 disimpulkan bahwa pada balita di Desa Panduman, Kecamatan


ada hubungan yang bermakna antara tingkat Jelbuk, Kabupaten Jember.
konsumsi protein dengan kejadian stunting

Tabel 6. Hubungan antara tingkat konsumsi zink dengan kejadian stunting pada balita
Tingkat Kejadian stunting
Total
konsumsi Stunting Normal p OR 95%CI
zink n % n % n %
Cukup 12 38,4 20 65,2 32 100
0,041 0,38 0,15–0,96
Kurang 27 61,4 17 38,6 44 100
1
signifikan (p value<0,05)

Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan stunting pada balita di Desa Panduman,


bahwa ada hubungan yang bermakna antara Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember.
tingkat konsumsi zink dengan kejadian

Tabel 7. Hubungan antara tingkat konsumsi kalsium dengan kejadian stunting pada balita
Tingkat Kejadian stunting
Total
konsumsi Stunting Normal p OR 95%CI
kalsium n % n % n %
Cukup 9 34,6 17 65,4 26 100
0,0361 0,353 0,132–0,946
Kurang 30 60 20 40 50 100
1
signifikan (p value < 0,05)

Berdasarkan Tabel 7 dapat disimpulkan stunting pada balita di Desa Panduman,


bahwa ada hubungan yang bermakna antara Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember.
tingkat konsumsi kalsium dengan kejadian

93
Ilmu Gizi Indonesia, Vol. 02, No. 02, Februari 2019 : 89-100

Tabel 8. Hubungan antara status BBLR dengan kejadian stunting pada balita
Kejadian stunting
Status BBLR Stunting Normal Total p OR 95% CI
n % n % n %
BBLR 6 60 4 40 10 100
0,7372 0,667 0,17–2,58
Tidak BBLR 33 50 33 50 66 100
2
tidak signifikan (p value > 0,05)

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui Balita stunting lebih banyak mempunyai


bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna status BBLR daripada balita yang memiliki
antara status BBLR dengan kejadian stunting. status gizi normal.

Tabel 9. Hubungan antara riwayat penyakit infeksi kronis dengan kejadian stunting pada
balita
Riwayat Kejadian stunting
Total
penyakit Stunting Normal p OR 95%CI
infeksi kronis n % n % n %
Tidak ada 16 38,1 26 61,9 42 100
0,011 0,294 0,11-0,76
Ya 23 67,7 11 32,3 34 100
1
signifikan (p value<0,05)

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui hubungan konsumsi energi dengan kejadian


bahwa terdapat hubungan yang bermakna stunting pada balita di Kabupaten Semarang
antara riwayat penyakit infeksi kronis dengan (12). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
kejadian stunting, balita stunting lebih banyak hasil penelitian Muchlis tahun 2011 yang
mempunyai riwayat penyakit infeksi daripada menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
balita yang memiliki status gizi normal. bermakna antara tingkat konsumsi energi
dengan kejadian stunting (13).
PEMBAHASAN Energi dalam tubuh manusia diperoleh
dari pembakaran karbohidrat, protein, dan
Hubungan Tingkat Konsumsi Energi
dengan Kejadian Stunting pada Balita lemak. Agar kebutuhan energi dalam tubuh
Berdasarkan hasil analisis menggunakan tercukupi maka diperlukan konsumsi gizi
uji Chi Square diperoleh nilai p=0,013 yang adekuat. Kebutuhan energi pada balita
dengan OR 0,277 dan 95% CI 0,09–0,77 yang harus seimbang dengan konsumsi energi yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masuk ke dalam tubuh. Apabila energi yang
tingkat konsumsi energi dengan kejadian didapatkan melalui makanan lebih sedikit dari
stunting pada balita. Nilai OR<1 maka energi yang dikeluarkan, maka akan terjadi
variabel tersebut merupakan faktor protektif pergeseran ke arah keseimbangan energi yang
terjadinya stunting, sehingga dapat dinyatakan negatif. Apabila terjadi pada bayi dan anak-
bahwa balita dengan tingkat konsumsi energi anak maka akan mengakibatkan terhambatnya
normal dapat mengurangi risiko terjadinya proses pertumbuhan (14). Keseimbangan
stunting dibandingkan balita yang memiliki energi negatif dapat mengakibatkan insulin
konsumsi energi defisit. Hasil penelitian plasma berkurang dan menurunkan sintesis
ini sejalan dengan penelitian Rahmawati Insulin Growth Factor (IGF-1) yang berperan
pada 2018 yang menyatakan bahwa terdapat dalam pertumbuhan linier (15).

94
Wiwin Barokhatul Maulidah, dkk. : Faktor yang berhubungan dengan kejadian

Hubungan Tingkat Konsumsi Protein Menurut Prentice dan Bates, protein


dengan Kejadian Stunting pada Balita menyediakan asam amino yang digunakan
Berdasarkan hasil analisis menggunakan untuk membangun matriks tulang serta
uji Chi Square diperoleh nilai p=0,006 memengaruhi pertumbuhan tulang karena
dengan OR 4,23 dan 95% CI 1,48–12,58 protein memiliki fungsi untuk memodifikasi
yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan sekresi maupun aksi osteotropic hormone IGF-
antara tingkat konsumsi protein dengan 1. Oleh sebab itu, protein dapat memodulasi
kejadian stunting pada balita. Nilai OR>1, potensi genetik dari pencapaian peak bone
maka variabel tingkat konsumsi protein mass (19). Menurut Fanzo, makanan sumber
merupakan faktor risiko terjadinya stunting, protein hewani memiliki asam amino esensial
sehingga dapat dinyatakan bahwa balita yang yang lengkap dalam memenuhi kebutuhan
mempunyai tingkat konsumsi protein yang protein yang dibutuhkan oleh tubuh. Apabila
defisit berisiko 4,23 kali terjadinya stunting asam amino dalam tubuh yang diperoleh dari
pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan konsumsi makanan tidak lengkap maka dapat
hasil penelitian Sundari dan Nuryanto tahun mengakibatkan gangguan pertumbuhan (20).
2016 yang menyatakan bahwa ada hubungan
Hubungan Tingkat Konsumsi Zink dengan
antara konsumsi protein dengan kejadian
Kejadian Stunting pada Balita
stunting pada balita di Kelurahan Jangli,
Berdasarkan hasil analisis menggunakan
Semarang (16).
uji Chi Square diperoleh nilai p=0,040 dengan
Protein mempunyai fungsi khas yang
OR 0,38 dan 95% CI 0,15–0,96, menunjukkan
tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu
bahwa terdapat hubungan antara tingkat
membangun, memelihara sel-sel, dan jaringan
konsumsi zink dengan kejadian stunting pada
serta pertumbuhan (17). Menurut Achmadi
balita. Nilai OR<1, maka variabel tersebut
dalam Sundari dan Nuryanto, protein
merupakan faktor protektif terjadinya stunting.
mempunyai fungsi untuk membentuk suatu
Balita yang mempunyai tingkat konsumsi zink
jaringan yang baru pada masa pertumbuhan
cukup dapat mengurangi risiko terjadinya
dan perkembangan tubuh, memperbaiki,
stunting. Terdapat hubungan yang bermakna
memelihara, dan mengganti jaringan yang
antara konsumsi zink dengan kejadian stunting
mati atau rusak. Protein juga berperan dalam
pada balita di Desa Rambai, Kecamatan
menyediakan asam amino untuk membentuk
Pariaman Tahun 2014 (21). Terdapat hubungan
suatu pencernaan maupun metabolisme tubuh
yang bermakna antara konsumsi zink dengan
(18). Balita tergolong dalam masa pertumbuhan
kejadian stunting pada balita di Kecamatan
sehingga memerlukan peningkatan jumlah
Tembalang, Kota Semarang (22).
protein yang ada di dalam tubuh. Jumlah
Menurut Salgueiro, zink mempunyai
protein yang dibutuhkan oleh balita lebih besar
peran yang penting dalam pertumbuhan.
daripada yang dibutuhkan oleh orang dewasa
Zink mempunyai peran pada lebih dari 300
yang telah terhenti masa pertumbuhannya.
enzim, baik sebagai bagian dan strukturnya
Balita yang mempunyai konsumsi protein
maupun aksi katalitik dan regulatorinya.
inadekuat dalam waktu lama akan menghambat
Zink merupakan ion structural dari membran
pertumbuhan tinggi badannya meskipun
biologi dan berkaitan dengan sintesis
konsumsi energinya cukup. Tinggi badan anak
protein. Zink juga berinteraksi dengan
yang kekurangan protein akan tumbuh lebih
hormon-hormon penting yang terlibat dalam
lambat dibandingkan anak yang konsumsi
pertumbuhan tulang, seperti somatomedin-c,
proteinnya cukup (18).
osteocalcin, hormone thyroid, testosterone,

95
Ilmu Gizi Indonesia, Vol. 02, No. 02, Februari 2019 : 89-100

dan insulin. Zink mempunyai peran penting kandungan kalsium pada tulang jumlahnya
dalam metabolisme tulang sehingga memiliki kurang dari 50% kandungan normal (26).
peran yang positif dalam pertumbuhan. Zink Menurut Khairy et al, tuntutan terhadap
mempunyai peran penting dalam memperkuat mineralisasi pada masa pertumbuhan sangat
matriks tulang dan memperlancar efek vitamin tinggi. Rendahnya konsumsi kalsium dapat
D dalam metabolisme tulang yang dilakukan mengakibatkan hipokalsemia yang dapat
melalui simulasi sintesis DNA di sel-sel tulang meyebabkan rendahnya mineralisasi matriks
(23). deposit tulang baru dan disfungsi oesteoblas.
Backeljauw menyatakan bahwa zink dapat Oleh sebab itu, defisiensi konsumsi
meningkatkan konsentrasi plasma Insulin-like kalsium pada anak yang sedang mengalami
Growth Factor 1 (IGF 1) yang dapat memicu pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan
kecepatan pertumbuhan. Insulin-like Growth pada pembentukan masa tulang (27). Menurut
Factor 1 berperan sebagai mediator hormon Lanhami et al tahun 2012, tulang akan
pertumbuhan yang berfungsi sebagai growth mengalami pembentukan dan penguatan secara
promoting factor dalam proses pertumbuhan. terus-menerus pada masa pertumbuhan. Proses
Konsentrasi IGF 1 dalam sirkulasi rendah metabolisme kalsium melibatkan beragam
maka hormon pertumbuhan akan rendah, dan jenis hormon meliputi kalsitriol, kalsitonin,
sebaliknya konsentrasi IGF 1 tinggi maka dan PTH. Hormon tersebut mempunyai
hormon pertumbuhan tinggi. Rendahnya fungsi menjaga keseimbangan kalsium.
konsumsi zink pada balita dapat menurunkan Apabila jumlah kalsium yang diserap kurang
konsentrasi IGF 1 yang akan mempengaruhi dari kebutuhan maka hormon tersebut akan
hormon pertumbuhan sehingga rendahnya mengambil cadangan kalsium dalam tulang.
konsumsi zink dapat menghambat Apabila konsumsi kalsium kurang secara
pertumbuhan balita (24). terus-menerus dalam jangka waktu yang lama
akan mengakibatkan proses pembentukan
Hubungan Tingkat Konsumsi Kalsium
tulang menjadi tidak optimal (28).
dengan Kejadian Stunting pada Balita
Berdasarkan hasil analisis menggunakan Hubungan Berat Badan Lahir Rendah
uji Chi Square diperoleh nilai p=0,036 dengan (BBLR) dengan Kejadian Stunting pada
OR 0,35 dan 95% CI 0,132-0,946 menunjukkan Balita
bahwa terdapat hubungan antara tingkat Berdasarkan hasil analisis menggunakan
konsumsi kalsium dengan kejadian stunting uji Chi Square diperoleh nilai p=0,737,
pada balita. Nilai OR <1, maka variabel menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
tersebut merupakan faktor protektif terjadinya yang bermakna antara riwayat BBLR
stunting. Balita yang mempunyai tingkat dengan kejadian stunting pada balita di Desa
konsumsi kalsium cukup dapat mengurangi Panduman Kecamatan Jelbuk Kabupaten
risiko terjadinya stunting daripada balita yang Jember. Hasil penelitian ini sejalan dengan
memiliki konsumsi kalsium kurang. Hasil hasil penelitian Winowatan tahun 2017 yang
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
Sari et al yang menyatakan bahwa terdapat yang bermakna antara BBLR dengan
hubungan antara konsumsi kalsium dengan kejadian stunting pada balita di wilayah kerja
kejadian stunting pada balita di Kecamatan Puskesmas Sonder Kabupaten Minahasa (29).
Pontianak Timur dan Utara (25). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil
Rendahnya konsumsi kalsium dapat penelitian Wardhani yang menyatakan bahwa
memengaruhi pertumbuhan linier apabila tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

96
Wiwin Barokhatul Maulidah, dkk. : Faktor yang berhubungan dengan kejadian

berat badan lahir rendah dengan kejadian Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi
stunting pada balita di wilayah Puskesmas Kronis dengan Kejadian Stunting pada
Lendah II Kabupaten Kulon progo (30). Balita
Berdasarkan wawancara dengan responden Berdasarkan hasil analisis menggunakan
diperoleh hasil bahwa terdapat 10 balita yang uji Chi Square diperoleh nilai p=0,010 dengan
memiliki riwayat BBLR, terdiri atas enam OR 0,29 dan 95% CI 0,11–0,76 menunjukkan
balita stunting dan empat balita normal. Balita bahwa terdapat hubungan antara riwayat
yang memiliki riwayat BBLR, tetapi memiliki penyakit infeksi kronis dengan kejadian
status gizi yang normal bisa disebabkan oleh stunting pada balita. Nilai OR<1, maka
balita tersebut memiliki tingkat konsumsi variabel tersebut merupakan faktor protektif
energi dan protein yang cukup, dan didukung terjadinya stunting. Sehingga dapat dinyatakan
dengan balita tidak mempunyai riwayat bahwa balita yang tidak mempunyai riwayat
penyakit infeksi kronis. Balita yang tidak penyakit infeksi kronis dapat mengurangi
memiliki riwayat BBLR, tetapi stunting risiko terjadinya stunting dibandingkan
(84,6%) diketahui memiliki tingkat konsumsi balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi
energi yang defisit dan memiliki riwayat kronis. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penyakit infeksi kronis. Apabila konsumsi hasil penelitian Kusminarti pada tahun 2009
energi tidak mencukupi kebutuhan untuk yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
mempertahankan metabolisme maka yang bermakna antara riwayat penyakit
pemenuhan kecukupan energi diperoleh dari infeksi dengan kejadian stunting pada balita
cadangan lemak dan glikogen otot. Apabila di Kelurahan Salaman Mloyo, Kecamatan
keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu Semarang Barat, Kota Semarang (34).
yang lama akan terjadi katabolisme guna Menurut Stephesen, adanya penyakit
memenuhi kebutuhan energi sehingga dampak infeksi kronis pada balita dapat mengakibatkan
yang ditimbulkan dari konsumsi energi malnutrisi. Adanya infeksi akan menyebabkan
yang kurang adalah terjadinya gangguan konsumsi makan menjadi menurun, terjadi
pertumbuhan pada anak (31). Terdapat gangguan absorbsi nutrisi, kehilangan
hubungan yang erat antara infeksi (bakteri, mikronutrien secara langsung, metabolisme
virus, dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. menjadi meningkat, dan katabolisme yang
Infeksi dapat memperburuk malnutrisi, meningkat, bahkan gangguan transportasi
sebaliknya keadaan malnutrisi akan nutrisi ke jaringan tubuh. Infeksi kronis pada
menyebabkan infeksi (32). Kusharisupeni balita dapat menyebabkan malnutrisi. Hal
menyatakan bahwa ketidakcukupan konsumsi tersebut dapat disebabkan oleh terjadinya
zat gizi pada balita dengan berat lahir normal pengalihan fungsi energi sehingga energi yang
dapat menyebabkan terjadinya gagal tumbuh. dibutuhkan untuk pertumbuhan dialihkan
Konsumsi gizi yang rendah ditambah dengan untuk perlawanan tubuh terhadap infeksi (35).
adanya paparan penyakit infeksi juga akan Bakteri patogen yang menyebabkan penyakit
memberikan dampak growth faltering yang infeksi kronis dapat menyebabkan peradangan
lebih berat pada balita normal (33). pada mukosa usus. Hal ini menyebabkan
kegagalan fungsi penghalang yang
memungkinkan terjadinya translokasi patogen

97
Ilmu Gizi Indonesia, Vol. 02, No. 02, Februari 2019 : 89-100

yang menghasilkan respon inflamasi sistemik 3. Badan Penelitian dan Pengembangan.


yang menghambat hormon pertumbuhan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
tulang. Selain itu, malabsorbsi nutrisi akan Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013
memperburuk malnutrisi dan berkontribusi 4. Kementerian Keuangan RI. Penanganan
pada penghambatan hormon pertumbuhan Stunting Terpadu Tahun 2018. Jakarta:
yang dapat menghambat pertumbuhan tulang Kementerian Keuangan; 2018.
5. World Bank. Nutritional Failure in
(36).
Ecuador (Causes, Consequences, and
Solutions). Washington DC: The world
KESIMPULAN DAN SARAN
Bank Press; 2007.
Prevalensi balita stunting di Desa
6. Oktavia S, Widajanti L, Aruben R. Faktor-
Panduman, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten
Faktor yang Berhubungan Dengan Status
Jember tergolong sangat tinggi, yaitu sebesar Gizi Buruk Pada Balita di Kota Semarang
51,3%. Tingkat konsumsi (energi, protein, zink Tahun 2017 (Studi di Rumah Pemulihan
dan kalsium) sebagian besar balita defisit atau Gizi Banyumanik Kota Semarang). Jurnal
kurang. Terdapat hubungan yang bermakna Kesehatan Masyarakat. 2017;5(3):186-
antara tingkat konsumsi (energi, protein, 192.
kalsium, dan zink) dan riwayat penyakit infeksi 7. Rahmadi A. Hubungan Berat Badan
dengan kejadian stunting pada balita. Namun, dan Panjang Badan Lahir dengan
tidak terdapat hubungan antara riwayat BBLR Kejadian Stunting Anak 12-59 Bulan di
dengan kejadian stunting pada balita. Provinsi Lampung. Jurnal Keperawatan.
Dinas Kesehatan diharapkan merumuskan 2016;12(2):209-218.
program penanganan balita stunting misalnya 8. Kusumawati E, Rahardjo S, Sari H.P.
Model Pengendalian Faktor Risiko
pemberian tablet zink pada balita, menjalin
Stunting pada Anak Usia di Bawah Tiga
kerja sama dengan Dinas Pendidikan agar
Tahun. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
sekolah memberikan materi makanan sehat
2015;9(3):249-256.
dan PHBS. Diharapkan Puskesmas Jelbuk: 9. Badan Perencanaan Pembangunan
1) melakukan pemantauan kader posyandu Daerah Jawa Timur. Kasus Gizi Buruk
saat melakukan pengukuran tinggi badan Turun. [internet] [diakses pada 13 Maret
balita agar lebih akurat; 2) melakukan upaya 2018] dari: http://bappeda.jatimprov.
peningkatan pengetahuan stunting tentang go.id/2017/07/17/kasus-gizi-buruk-jatim-
pentingnya konsumsi makanan gizi seimbang turun/
kepada kader. Masyarakat diharapkan 10. Seksi Kesehatan Masyarakat. Laporan
lebih memperhatikan perkembangan dan Bulan Timbang Agustus Tahun 2017.
pertumbuhan balita terutama dalam pola Jember: Dinas Kesehatan Kabupaten
makan dan dalam perawatan kesehatan. Jember; 2017.
11. Masithah T, Soekirman, Martianto
DAFTAR PUSTAKA D. Hubungan Pola Asuh Makan dan
1. Mesfin F, Berhane Y, Worku A. Prevalence Kesehatan Dengan Status Gizi Anak
and assosiated factors of stunting among Batita di Desa Mulya Harja. Media Gizi
primary school children in Eastern Keluarga. 2005;29(2):29-89.
Ethiopia. Journals Nutrition and Dietary 12. Rahmawati H. Hubungan Tingkat
Supplements.2015;7(7): 61-68. Konsumsi Energi dan Protein Anak
2. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Balita Balita dan Perilaku Keluarga Sadar
Pendek. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Gizi (KADARZI) dengan Kejadian
Kementerian Kesehatan RI; 2016 Stunting di Desa Nyemoh Kecamatan

98
Wiwin Barokhatul Maulidah, dkk. : Faktor yang berhubungan dengan kejadian

Bringin Kabupaten Semarang.[Skripsi]. pada Balita Usia 6-35 Bulan di Kecamatan


Surakarta: Universitas Surakarta; 2018. Tembalang Kota Semarang. Jurnal
13. Muchlis N. Hubungan Konsumsi Energi Kesehatan Masyarakat. 2012;1(2):617-
dan Protein dengan Status Gizi Balita 626.
di Kelurahan Tamamaung. [Skripsi]. 23. Riyadi H. Zinc (Zn) untuk Pertumbuhan
Makassar: Universitas Hasanuddin; 2011. dan Perkembangan Anak. Penanggulangan
14. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Masalah Defisiensi Seng (Zn) : From
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; Farm to Table. 2007;36-67.
2009. 24. Backeljauw P. Insulin-Like Growth
15. Anasiru MA, Domili I. Pengaruh Factor I Deficiency. USA: university of
Konsumsi Energi dan Protein, Pola cincinnati college of medicine; 2008.
Asuh, dan Status Kesehatan Terhadap 25. Sari EM, Juffrie M, Nurani N., Sitaresmi
Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 MN. Konsumsi Protein, Kalsium dan
Bulan di Puskesmas Tilango Kecamatan Fosfor pada Anak stunting dan tidak
Tilango Kabupaten Gorontalo. Health and stunting usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi
Nutrition Journal. 2018; 4(1):7-16. Klinik Indonesia. 2016;12(4):152-159.
16. Sundari E, Nuryanto. Hubungan 26. Prentice A, Bates CJ. An Appraisal Of THE
Konsumsi Protein, Seng, Zat Besi, dan Adequacy Of Dietary Mineral Intakes In
Riwayat Penyakit Infeksi dengan Z-Score Developing Countries For Bone Growth
TB/U pada Balita. Journal Of Nutrition And Development In Children. Nutrition
College. 2016; 5(4):520-529. Research Reviews. 1993;6(6):51-69.
17. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. 27. Sari EM, Juffrie M, Nurani N, Sitaresmi
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; MN. Konsumsi Protein, Kalsium dan
2009. Fosfor pada Anak stunting dan tidak
18. Sundari E, Nuryanto. Hubungan stunting usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi
Konsumsi Protein, Seng, Zat Besi, dan Klinik Indonesia. 2016;12(4):152-159.
Riwayat Penyakit Infeksi dengan Z-Score 28. Imanni SN. Hubungan Konsumsi
TB/U pada Balita. Journal Of Nutrition kalsium, Konsumsi Zink dengan Kejadian
College. 2016;5(4):520-529. Stunting pada Balita Usia 4-5 Tahun di
19. Prentice A, Bates CJ. An Appraisal of the Desa Mekarjaya Kecamatan Banjaran,
Adequacy of Dietary Mineral Intakes in Kabupaten Bandung. Karya Tulis Ilmiah.
Developing Countries for Bone Growth Bandung: Program Studi Diploma
and Development in Children. Nutrition III Jurusan Gzi Politeknik Kesehatan
Research Reviews. 1993;6(6):51-69. Kementerian Kesehatan Bandung; 2016.
20. Ernawati F, Prihatini M, Yuriesta A. 29. Winowatan. Hubungan antara Berat
Gambaran Konsumsi Protein Nabati dan Badan Lahir Anak dengan Kejadian
Hewani Pada Anak Balita Stunting dan Stunting pada Anak Batita di Wilayah
Gizi Kurang di Indonesia. Penelitian Gizi Kerja Puskesmas Sonder Kabupaten
dan Makanan. 2016;39(2):95-102. Minahasa. Skripsi.Sulawesi Utara:
21. Noviza L. Hubungan Konsumsi Zinc dan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Vitamin A dengan Kejadian Stunted pada Universitas Sam Ratulangi; 2017.
Anak Batita di Desa Rambai Kecamatan 30. Wardhani IK. ASI Eksklusif, Panjang
Pariaman Selatan Tahun 2014. [Karya lahir, dan Berat Lahir Rendah sebagai
Tulis Ilmiah.Padang]: Politeknik Faktor Risiko Terjadinya Stunting pada
Kesehatan Kemenkes Padang; 2014. Anak Usia 6-24 Bulan di Puskesmas
22. Putri A. Hubungan Tingkat Pendidikan Lendah Kulon Progo. Skripsi. Yogyakarta:
Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan Politeknik Kesehatan Kementerian
Protein & Zink dengan Stunting (Pendek) Kesehatan Yogyakarta; 2017.

99
Ilmu Gizi Indonesia, Vol. 02, No. 02, Februari 2019 : 89-100

31. Bening S, Margawati A, Rosidi A. 35. Ramlah. Gambaran Tingkat Pengetahuan


Konsumsi Gizi Makro dan Mikro sebagai Ibu menyusui Stunting pada Balita di
Faktor Risiko Stunting Anak Usia 2-5 Puskesmas Antang Makassar. Karya
Tahun di Semarang. Medica Hospitalia. Tulis Ilmiah. Makkasar: Fakultas Ilmu
2016;4(1):45-50. Kesehatan Universitas Islam Negeri
32. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. Penilaian Alauddin Makassar; 2014.
Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran 36. Millward DJ. Nutrition, Infection and
EGC; 2016. Stunting: the roles of deficiencies of
33. Kusharisupeni. Peran Status Kelahiran individual nutrients and foods, and of
terhadap stunting pada bayi: sebuah studi inflammation, as determinants of reduced
prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti. linier growth of children. Nutrition
2002;23(23):73-80. Research Reviews. 2017;30(1):50-72.
34. Kusminarti DE. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Pertumbuhan Balita
Usia 2-4 Tahun di Kelurahan Salaman
Mloyo Kecamatan Semarang Barat
Kota Semarang. [Skripsi]. Semarang:
Universitas Negeri Semarang; 2009.

100

Anda mungkin juga menyukai