Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM

PADA MAZHAB IMAM SYAFI’I DAN HAMBALI

A. Imam Syafi’i
1. Riwayat Hidup Imam Syafi’i

Imam Syafi’i nama aslinya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’i al-Syaib bin Ubaid bin al-Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abdu al-
Manaf al-Muthallibi. Beliau merupakan kerabat Rasulullah dan tergolong dalam keturunan
Bani Muthalib.

Menyangkut tentang tempat kelahirnnya, ditemui beberapa perbedaan pendapat antara


para ahli sejaarah. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza,
Palestina. Namun sebagian para ahli menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan. Menurut para
ahli sejarah Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, dimana terjadi dua peristiwa yang sangat
penting dalam sejarah kelahiran Imam Syafi’i. Pertama, tahun kelahiran Imam Syafi’i adalah
tahun dimana dua ulama besar meninggal dunia, yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
sebagai pembangun madzhab Imam Hanafi dan Imam Ibnu Jurej al-Makky sebagai mufti
Hijaz ketika itu. Kedua, sewaktu masih berada dalam kandungan ibunya pernah bermimpi
bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya,seraya naik membumbung tinggi hingga
bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Peristiwa
tersebutlah yang memunculkan banyak prediksi dari mayoritas ulama bahwa Imam Syafi’i
adalah sosok dimana kelak ia akan menjadi imam besar.
Imam Syafi’i adalah sosok yang sangat tekun. Sejak usia 9 tahun ia telah mampu
menghafal 30 juz Al-Quran. Keberhasilannya tersebut membuatnya tertarik untuk
mempelajari dispilin ilmu lain, seperti prosa dan puisi, syair-syair dan sajak bahasa Arab
klasik. Tidak cukup mempelajari ilmu tersebut, Imam Syafi’i kemudian mempelajari ilmu
hadits dan fiqh kepada seorang mufti Makkah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji dan ulama
hadits Sofyan bin Uwaniah (198 H).
Kemudian beliau tertobsesi untuk mendalami ilmunya ke Kota Madinah dan berguru
kepada Imam Malik bin Anas, sebagai pembangun madzhab Malikin yang lahir tahun 93 H,
57 tahun lebih tua dari umurnya. Selama proses pembelajaran, Imam Syafi’i sangat tekun
sehingga ia memperoleh kepercayaan besar dari Imam Malik. Imam Syafi’i kemudian pergi
ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Genap 2 tahun perjalannya meninjau ke Bagdad,
Persia, Turki dan Palestina, ia kembali ke Madinah, yaitu ke guru besarnya Imam Malik.
Dari sana tampak perkembangan ilmu Imam syafi’i yang begitu pesat, bahkan ada
pertanda dari Imam Malik bahwa ilmu Imam Syafi’i telah melebihi ilmunya. Atas dasar
inilah Imam Malik mengijinkan Imam Syafi’i untuk berfatwa sendiri dalam ilmu fiqh. Ia
tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik, demikian juga Hanafi. Namun ia diijinkan atas
dasar fatwa madzhab yang telah ia bangun sendiri, yaitu madzhab Syafi’i. Meski secara
otoritas keilmuan ia telah diakui oleh Imam Malik, namun dalam kesehariannya ia masih
hidup bersama-sama dengan Imam Malik sampai tahun 179 H, yaitu hingga Imam Malik
meninggal.
2. Perkembangan Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadist (aliran yang
cenderung berpegang pada hadist) dan Ahlul Ra’yi (aliran yang cenderung berpegang pada
akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahlul
hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaiban sebagai tokoh ahlul ra’yi yang juga
menjadi murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i menolak metode istihsan dari Abu Hanifah
maupun metode mashalih mursalah dari Imam Malik. Namun Imam Syafi’i menerima
penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Imam Syafi’i kemudian
merumuskan aliran atau madzabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara dua
kelompok tersebut.
Pemikiran Mazhab Maliki dan Hanafi berkembang melalui pengaruh kekuasaan
pemerintahan. Berbeda dengan Mazhab Syafi’i yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh
para murid-muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-
Muzani dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi.
3. Dasar Hukum Mazhab Imam Syafi’i
Dasar-dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam Kitab Ushul Fiqih Ar-Risalah dan
Kitab Fiqih Al-Umm

1. Ar-Risalah
Metode pembentukan sebuah hukum ala Imam Syafi’i berada di dalam ini. Beliau
menggunakan empat dasar dalam menentukan sebuah hukum yakni Al-Qur’an, Al-Hadits,
Ijma’, dan Qiyas.“Tidak ada bagi seseorang berkata mengenai sebuah masalah yang ini
halal dan yang ini haram melainkan sudah memiliki pengetahuan tentang hal itu.
Pengetahuan tersebut yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas,” ucap beliau dalam
kitabnya tersebut.
Imam Syafi’i mengidentikkan ijtihad dengan qiyas sehingga beliau menyimpulkan
bahwa ijtihad itu adalah qiyas. Di titik lain, beliau sangat menolak tegas metode istihsan,
yakni sebuah metode pemikiran yang dianggap hanya berdasar pada kebebasan berpikir
manusia dengan berdasar pada kepentingan dan perilaku seseorang. Beliau menambahkan
bahwa, metode istihsan itu sendiri merupakan metode pengambilan hukum yang hanya
menuruti kesenangan semata-mata.
Di akhir bab kitab tersebut, Imam Syafi’i menutupnya dengan bab Ikhtilaf yang mana
bab tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa sang Imam besar sangat mencintai
perbedaan dan pendapat orang lain.

2. Al-Umm
Secara bahasa, kata al-umm memiliki arti ibu. Maksud Imam Syafi’i sendiri memang
ingin menjadikan kitab tersebut sebagai kitab induk yang memberikan penjelasan
terperinci tentang ilmu fikih. Dalam kita Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan sumber
pembentukan mazhabnya dan bahwa ilmu memiliki tingkatan, yaitu:
a) Ilmu yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul selaku sumber utama jika tetap
kesahihannya.
b) Ilmu yang didapatkan dari ijma’ jika dalam hal yang tak dijelaskan dalam Al-Qur’an
dan Hadits.
c) Fatwa sebagian sahabat yang tak diketahui terdapat sahabat yang menyalahinya
d) Pendapat yang menjadi perselisihan di kalangan sahabat.
e) Qiyas, jika tak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil tersebut di atas.

4. Eksistensi Mazhab Imam Syafi’i di Indonesia

B. Imam Hambali
1. Riwayat Hidup Imam Hambali

Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal, yang dikenal sebagai imam Ahmad bin Hambal,
lahir di Bagdad pada tahun 164 H / 780 M.  Beliau awalnya adalah salah satu murid Imam
Syafi’i yang paling setia. Beliau dikenal dengan keahliannya dibidang hadits dan teologi.
Tapi pemikirannya tidak mudah diterima khalayak. Rintangan paling berat yang dialami
Imam Ahmad adalah saat pemikirannya bertentangan dengan ideologi resmi negara yaitu
Muktazilah. Pada era khalifah Ma’mun, Mu’tashim, dan Watsiq. Oleh karena itu, beliau
dihukum penjara dan cambuk. Tapi hukuman tak menyurutkan pemikirannya.
Tidak seperti imam-imam mazhab yang lain, Imam Hambali sangat membatasi
penentuan sumber hukum Islam dari Ijma’ dan Qiyas. Beliau menolak pemikiran manusia
dijadikan sumber hukum, oleh karena itu didalam ajaran mazhabnya hanya Al-Qur’an dan
Sunnah lah yang berhak dijadikan sumber hukum Islam. Di antara fatwa yang menujukkan
kehati-hatian beliau adalah bahwa ia mengatakan tidak pernah makan buah semangka karena
tidak menjumpai teladan Nabi dalam masalah ini.

2. Perkembangan Mazhab Hambali


Penganut Mazhab Hambali hambali tersebar di negeri Syam dikarenakan dekat dengan
Baghdad secara geografis. Pada abad ke-4 Mazhab Hambali sudah tersebar di Basrah, pada
saat yang sama Mazhab Hambali mulai diterapkan di Mesir.
Namun seiring perkembangan zaman, pada abad ke-7 Mazhab Hambali pun kurang
diminati oleh masyarakat dunia. Ini dikarenakan terlalu memprioritaskan Al-Qur’an dan
riwayat hadits-hadits Nabi dalam menyelesaikan persoalan keagamaan sehingga terkesan
meminimalisir penggunaan akal dalam menyelesaikan problematika umat. Mazhab Hambali
dikenal sebagai ahli hadits dan teologi, oleh karena itu dalam perbedaan ajaran mazhabnya
yang paling menonjol dengan mazhab lain adalah penguaan dalil naqli dan meminimalisirkan
pemikiran manusia (ijtihad) dalam perumusan masalah umat.
Namun demikian, kelebihan pengikut mazhab ini adalah memiliki banyak hafalan
riwayat-riwayat dibandingkan dengan pengikut mazhab lainnya. Faktanya, bisa disebutkan
hanya Arab Saudi saja yang menjadikan Mazhab Hambali ini sebagai mazhab resmi negara.
Sedangkan di negara Islam yang lain, Mazhab Hanbali hanya menjadi sebatas penambahan
wawasan di dunia pendidikan. Tidak sampai diterapkan atau diikuti layaknya mazhab fikih
lain di negara Islam lainnya. 

Langkah-langkah Imam Hambali dalam Menentukan Hukum


1. Nash al-Qur'an dan Sunnah.
2. Fatwa sahabat yang tidak ada pertentangannya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, beliau memilih salah satu pendapat yang lebih
dekat kepada al-Qur'an dan Sunnah.
4. Menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if jika tidak ada dalil lain yang
menguatkannya dan didahulukan daripada qiyas.
5. Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan dalam al-Qur'an, Sunnah, fatwa sahabat,
hadis mursal dan hadis daif maka beliau menggunakan qiyas. Dalam pandangannya,
qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.

Karya-karya Imam Hambali


Didalam kehidupannya, Imam Hambali tidak sempat membukukan karya-karya
tulisnya. Hadis-hadis yang dihafal dicatat secara tidak beraturan dan tidak terklarifikasi
dengan baik. Pada akhir hayatnya beliau membacakan dan mewariskan musnad (karya
hadisnya) kepada anak-anak dan keluarganya sehingga keluarga dan murid-muridnya lah
yang akhirnya meneruskan penyebaran ajaran mazhab ini.
1. Musnad (Sekitaran 40.000 Hadis)
2. Mukhtashar Al-Khiraqi 
3. Al Jami’
4. Al Kabir
5. Al-Manasik
6. Al-Kubra Wa Sughra
7. Al-Usyribah
8. Al-Salah,
9. Fada’il Al-Sahabah, 
10. Al-‘Ilal Wa Al-Rijal, 
11. Al-Iman,
12. Dan Al-Nasikh Wa Al-Mansukh, Al-Zuhd.

C. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab

1. Faktor Internal

a. Karena kedudukan suatu hadis


Suatu hadis yang diterima seorang imam bisa ditanggapi secara beragam. Ada
menyakininya lalu mengamalkannya, ada juga yang meragukannya dan tidak
mengamalkannya.
b. Karena tidak sampainya suatu riwayat
Adanya riwayat yg banyak jumlahnya tidak selalu diketahui oleh imam-imam. Dengan
bahasa lain perbendaharaan hadis antara satu dengan lainnya tidaklah sama.
c. Berbeda dalam mengartikan kata-kata nash
Dalam bahasa Arab ada kata-kata yang disebut musytarak, yakni suatu kata yang
memiliki makna lebih dari satu. Disamping itu, ada kata dengan arti majazi dan hakiki
yang dalam menentukan makna yang dimaksud membuka peluang untuk berbeda
pendapat.
d. Perbedaan penggunaan kaidah-kaidah ushul dan kaidah fiqhiyah
Ada imam yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak. Demikian juga dalam
penggunaan ijma’ ahlu madinah, qiyas, maslahat mursalah, istishab, fatwa sahabat dan
lain-lain. Lafadz amr (suruhan) oleh sebagian dipahami sebagai perintah wajib, dan
oleh sebagian dipahami sebagai sunah, dan terkadang dipahami dengan makna lain.
Demikian pula makna nahy (larangan) ada yang memahaminya dalam arti haram, ada
yang makruh dan mungkin dengan makna lain.
e. Perbedaan metode para ulama dalam menghadapi dalil-dalil yang secara tekstual
bertentangan (Ta’arud).

2. Faktor Eksternal

a. Berbeda dalam perbendaharaan hadis.


Jumlah hadist yang ribuan bahkan ratusan ribu yang tersebar seiring dengan tersebarnya
para sahabat ke berbagai kota-kota besar kala itu. membuat tidak samanya
perbendaharaan dan penguasaan hadis di kalangan imam-imam mujtahid yang akhirnya
akan menghasilkan sejumlah perbedaan dalam berfatwa.
b. Di antara ulama, ada yang kurangnya memperhatikan situasi pada saat
Nabi     bersabda.
Terkadang apa yang disabdakan Nabi berlaku umum atau untuk orang tertentu saja.
Dan apakah perintah tersebut bersifat untuk selamanya atau sementara.
c. Di antara ulama, kurang memperhatikan dan mempelajari, bagaimana caranya Nabi
menjawab suatu pertanyaan.
d. Di antara ulama, banyak yang terpengaruh oleh pendapat yang diterimanya dari
pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan “Telah terjadi ijma”.
e. Di antara ulama, ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap amaliyah-
amaliyah yang disunnahkan
f. Berbeda dalam bidang politik
Daftar Pustaka
Kang Ujang. 2013. Perkembangan Mazhab Syafi’i. Diakses di https://belajar-
fiqih.blogspot.com/2013/01/perkembangan-mazhab-syafii.html.
Abdul Haris Halim. Jurnal Moderasi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi’i Abdul Haris
Naim. Institut Agama Islam Negeri Kudus. Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018.
Abdullah Istiqomah. Kitab Karangan Imam Asy-Syafi’i, Sang Imam Peletak Dasar Ushul
Fiqh. 2017. Diakses di http://fimadani.com/kitab-imam-syafii/

Anda mungkin juga menyukai