Anda di halaman 1dari 7

Etiopatogenesis OLP

Etiopatogenesis OLP dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti genetik, obat-obatan, alergi
makanan, bahan gigi, imunodefisiensi, autoimunitas, stres, neoplasma ganas dan beberapa
kondisi sistemik seperti diabetes dan hipertensi, dan penyakit usus.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari OLP adalah leukoplakia, karsinoma sel skuamosa, discoid
lupus eritematous, kandidiasis kronis, pemfigus vulgaris, benign mucous membrane
pemphigoid, lichenoid reaction, erythema multiforme, hypersensitivity mucositis dan graft-
versus-host disease

Perawatan

Perawatan yang sering digunakan pada OLP adalah kortikosteroid topikal atau
sistemik untuk mengontrol respon imun pasien . Topikal kortikosteroid lebih sering
digunakan pada OLP, karena lebih efektif yaitu dengan kumur. Bentuk salep dan spray
biasanya diberikan pada lesi setempat dan dapat dijangkau sedangkan bentuk kumur biasanya
berkontaknya obat tersebut dengan mukosa, baik dalam bentuk salep, spray ataupun
digunakan pada lesi yang meluas. Dalam hal ini, semakin banyak kontak obat dengan lesi,
maka semakin efektif penggunaannya. Apabila keluhan berkurang, maka dilakukan
penurunan dosis sampai kadar minimum yang dapat mengontrol keluhan. Jika tidak ada
perbaikan hingga 2 minggu, sebaiknya dipertimbangkan penggunaan kortikosteroid yang
lebih kuat atau penggunaan secara sistemik untuk mengobati keluhan. Kortikosteroid
sistemik biasanya digunakan pada pasien dengan OLP yang tidak respon terhadap
kortikosteroid terutama pada lesi erosif yang parah.

Tatalaksana OLP

Tatalaksana OLP tergantung dari gejala, gambaran ekstra oral dan intra oral, serta
riwayat medis yang ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi potensi risiko
transformasi kearah keganasan dan mengu- rangi gejala terkait, serta mengurangi periode
rekurensi.
Tatalaksana OLP dibagi menjadi tatalaksana farmakologis dan nonfarmakologis.
Tatalaksana non-famakologis berupa: menghindari makan makanan pedas, asam, renyah
(seperti keripik), dan berbumbu tajam, serta menjaga kebersihan mulut dengan menyikat gigi
minimal dua kali sehari. Pasta gigi yang dicurigai sebagai pencetus alergi juga dianjurkan
untuk diganti dengan pasta gigi nondetergen. Beberapa pasta gigi, khususnya pasta gigi
herbal yang mengandung bahan seperti cinnamon aldehyde dan sodium lauryl sulphate
diketahui dapat menimbulkan peradangan pada gingiva yang memperlihatkan gambaran

reaksi inflamasi pada gingiva terutama attached gingiva.27

Kortikosteroid topikal merupakan tatalaksana farmakologis lini pertama lesi OLP


dengan efek minimal baik terhadap absorpsi sistemiknya maupun efek sampingnya melalui
aksi efek anti-inflamasi dan sifat anti-imunologi yang dapat menekan fungsi T limfosit. Be-
berapa mekanisme terlibat dalam penekanan peradangan oleh kortikosteroid, termasuk
pengurangan eksudasi leukosit dan konstituen plasma, sehingga mengurangi edema, peme-
liharaan integritas membran seluler dengan pencegahan pembengkakan berlebihan sel,
penghambatan pelepasan lisozim dari gran- ulosit, penghambatan fagositosis, serta menjaga
stabilisasi membran lisozim intraseluler. Obat-obatan kortikosteroid topikal yang sering
digunakan seperti triamcinolone acetonide 1% in orabase, clobetasol proprionate 0,05%, fluo-
cinonide 0,05%.

Pergerakan rongga mulut seperti berbicara dan menelan bisa mengganggu


penempatan awal kortikosteroid topikal. Gingival individu- al tray dapat membantu
kortikoseroid topikal kontak lebih lama dengan lesi pada gingiva. Penggunaan gingival

individual tray terbuktif efektif digunakan untuk lesi pada gingiva dan palatum.12 Perbaikan
yang signifikan pada gingiva terlihat setelah dua minggu kemudian penggunaan gingival
individual tray. Pasien masih kontrol rutin ke poliklinik Ilmu Penyakit Mulut hingga saat ini
untuk fase pemeliharaan.

Mekanisme Kortikosteroid pada OLP

Pada perawatan OLP , kortikosteroid biasanya digunakan untuk mendapatkan efek


antiinflamasi dan imunosupresif. Kortikosteroid bekerja berikatan dengan reseptor
sitoplasmik untuk merubah regulasi sintesis protein. Salah satu protein pengatur yaitu
lipocortin, merupakan bagian dari protein superfamili tambahan yang menghambat
fosfolipase A2 dan metabolisme dari asam arakidonik pada leukotrienes, prostaglandin dan
thromboxanes yang terlibat dalam proses inflamasi. Glukokortikoid juga meningkatkan
sintesis reseptor beta sehingga mengurangi permeabilitas mikrovaskular, mengurangi
produksi sitokin, mast sel dan eosinofil. Mekanisme antiinflamasi melibatkan reseptor
glukokortikoid, gen responsif glukokortikoid dan pelepasan molekul antiinflamasi seperti
lipocortin-1, IL-10, IL-1 dan NF-kB.

Kortikosteroid juga merekam encoding gen dan menghambat nuclear factor kappa B
subtype a dan mengurangi jumlah NF-kB pada nucleus sehingga sekresi sitokin
proinflamatori berkurang. Sedangkan efek imunosupresif dari kortikosteroid didapat terutama
dari mensupresi proliferasi sel T melalui hambatan pelepasan IL-1 dari monosit.

Mekanisme kerja kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena
sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai
oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa
kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6,
tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activation
normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein-
1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1. Ekspresi enzim-enzim seperti nitric
oxide synthase, phosphilipase A2, cyclooxygenase pada sel epitel saluran nafas diubah oleh

kortikosteroid. Selain itu kortikosteroid juga mengatur ekspresi intercellular adhesion


molecule-1 (ICAM-1), dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). Kortikosteroid
bebas adalah molekul yang kecil dan bersifat lipofilik, mudah mengalami difusi melalui
membran sel ke dalam sitoplasma dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid. Kompleks
reseptor glukokortikoid-kortikosteroid ini bekerja dengan memodifikasi aktifitas transkripsi
yang menyebabkan penurunan ekspresi molekul pro-inflamasi dan sel-sel seperti sel
Langerhans, limfosit, sel mast, basofil, eosinofil, disertai dengan peningkatan ekspresi
molekul anti inflamasi dan reseptor β adrenergik. Kerja dari kortikosteroid pada sel efektor
terangkum dalam Tabel 1. Selain pada sel efektor, kortikosteroid intrasel juga berperan
dalam menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan produksi mukus.
Manifestasi DM di RM

Penyakit DM dapat menimbulkan beberapa manifestasi didalam rongga mulut


diantaranya adalah terjadinya gingivitis dan periodontitis, kehilangan perlekatan gingiva,
peningkatan derajat kegoyangan gigi, xerostomia, burning tongue, sakit saat perkusi, resorpsi

tulang alveolar dan tanggalnya gigi.8,13 Pada penderita DM tidak terkontrol kadar glukosa
didalam cairan krevikular gingiva (GCF) lebih tinggi dibanding pada DM yang terkontrol.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aren dkk menunjukkan bahwa selain GCF, kadar
glukosa juga lebih tinggi kandungannya didalam saliva. Peningkatan glukosa ini juga
berakibat pada kandungan pada lapisan biofilm dan plak pada permukaan gigi yang berfungsi
sebagai tempat perlekatan bakteri. Berbagai macam bakteri akan lebih banyak
berkembangbiak dengan baik karena asupan makanan yang cukup sehingga menyebabkan

terjadinya karies dan perkembangan penyakit periodontal.14

Diabetes melitus menyebabkan suatu kondisi disfungsi sekresi kelenjar saliva yang
disebut xerostomia, dimana kualitas dan kuantitas produksi saliva dirongga mulut menurun.
Xerostomia yang terjadi pada penderita DM menyebabkan mikroorganisme opotunistik
seperti Candida albican lebih banyak tumbuh yang berakibat terjadinya candidiasis. Oleh
karena itu penderita cenderung memiliki oral hygiene yang buruk apabila tidak dilakukan
pembersihan gigi secara adekuat. Pemeriksaan secara radiografis juga memperlihatkan
adanya resorpsi tulang alveolar yang cukup besar pada penderita DM dibanding pada
penderita non DM. Pada penderita DM terjadi perubahan vaskularisasi sehingga lebih mudah
terjadi periodontitis yang selanjutnya merupakan faktor etiologi resorpsi tulang alveolar
secara patologis. Resorpsi tulang secara fisiologis dapat terjadi pada individu sehat, namun
resorpsi yang terjadi pada DM disebabkan karena adanya gangguan vaskularisasi jaringan

periodontal serta gangguan metabolisme mineral.8

1. Xerostomia (Mulut Kering)

Diabetes yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva (air liur),
sehingga mulut terasa kering. Saliva memiliki efek self-cleansing, di mana alirannya dapat
berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa makanan dan kotoran dari dalam mulut. Jadi bila aliran
saliva menurun maka akan menyebabkan timbulnya rasa tak nyaman, lebih rentan untuk
terjadinya ulserasi (luka), lubang gigi, dan bisa menjadi ladang subur bagi bakteri untuk
tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan literatur yang saya dapatkan bahwa pada penderita diabetes salah satu
tandanya adalah Poliuria, dimana penderita banyak buang air kecil sehingga cairan di dalam
tubuh berkurang yang dapat mengakibatkan jumlah saliva berkurang dan mulut terasa kering,
sehingga disarankan pada penderita untuk mengkonsumsi buah yang asam sehingga dapat

2. Gingivitis dan Periodontitis

Periodontitis ialah radang pada jaringan pendukung gigi (gusi dan tulang). Selain
merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah
sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah ini
menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, Sedangkan periodontitis adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Dan hal ini menjadi lebih berat dikarenakan
infeksi bakteri pada penderita Diabetes lebih berat.

Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang memperberat periodontitis, di
antaranya akumulasi plak, kalkulus (karang gigi), dan faktor sistemik atau kondisi tubuh
secara umum.

Rusaknya jaringan Periodontal membuat gusi tidak lagi melekat ke gigi, tulang
menjadi rusak, dan lama kelamaan gigi menjadi goyang. Angka kasus penyakit periodontal di
masyarakat cukup tinggi meski banyak yang tidak menyadarinya, dan penyakit ini merupakan
penyebab utama hilangnya gigi pada orang dewasa.
Dari seluruh komplikasi Diabetes Melitus, Periodontitis merupakan komplikasi nomor
enam terbesar di antara berbagai macam penyakit dan Diabetes Melitus adalah komplikasi
nomor satu terbesar khusus di rongga mulut. Hampir sekitar 80% pasien Diabetes Melitus
gusinya bermasalah. Tanda-tanda periodontitis antara lain pasien mengeluh gusinya mudah
berdarah, warna gusi menjadi mengkilat, tekstur kulit jeruknya (stippling) hilang, kantong
gusi menjadi dalam, dan ada kerusakan tulang di sekitar gigi, pasien mengeluh giginya goyah
sehingga mudah lepas.

Menurut teori yang saya dapatkan hal tersebut diakibatkan berkurangnya jumlah air
liur, sehingga terjadi penumpukan sisa makanan yang melekat pada permukaan gigi dan
mengakibatkan gusi menjadi infeksi dan mudah berdarah.

3. Stomatitis Apthosa (Sariawan)

Meski sariawan biasa dialami oleh banyak orang, namun penyakit ini bisa
menyebabkan komplikasi parah jika dialami oleh penderita diabetes. Penderita Diabetes
sangat rentan terkena infeksi jamur dalam mulut dan lidah yang kemudian menimbulkan
penyakit sejenis sariawan. Sariawan ini disebabkan oleh jamur yang berkembang seiring
naiknya tingkat gula dalam darah dan air liur penderita diabetes.

4. Rasa mulut terbakar

Penderita diabetes biasanya mengeluh tentang terasa terbakar atau mati rasa pada
mengakibatkan gusi menjadi infeksi dan mudah berdarah. mulutnya. Biasanya, penderita
diabetes juga dapat mengalami mati rasa pada bagian wajah.

5. Oral thrush

Penderita diabetes yang sering mengkonsumsi antibiotik untuk memerangi infeksi


sangat rentan mengalami infeksi jamur pada mulut dan lidah. Apalagi penderita diabetes yang
merokok, risiko terjadinya infeksi jamur jauh lebih besar.

Oral thrush atau oral candida adalah infeksi di dalam mulut yang disebabkan oleh
jamur, sejumlah kecil jamur candida ada di dalam mulut. Pada penderita Diabetes Melites
kronis dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga sering menggunakan antibiotik dapat
mengganggu keseimbangan kuman di dalam mulut yang mengakibatkan jamur candida
berkembang tidak terkontrol sehingga menyebabkant thrush. Dari hasil pengamatan saya
selama berpraktik sebagai dokter gigi yang ditandai dengan adanya lapisan putih kekuningan
pada lidah, tonsil maupun kerongkongan.

6. Dental Caries (Karies Gigi)

Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi kenaikan terjadinya dan
jumlah dari karies. Keadaan tersebut diperkirakan karena pada diabetes aliran cairan darah
mengandung banyak glukosa yang berperan sebagai substrat kariogenik.

Karies gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu gigi, substrat , kuman dan
waktu. Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui bahwa jumlah air liur berkurang
sehingga makanan melekat pada permukaan gigi, dan bila yang melekat adalah makanan dari
golongan karbohidrat bercampur dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak
langsung dibersihkan dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut menurun, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya lubang atau caries gigi.

Anda mungkin juga menyukai