Malam kemarin.
Panggil saya Simon. Di terminal ini saya adalah
kucing liar, yang mencoba untuk menancapkan
kuku-kuku rapuhnya. Kususuri lorong-lorong gelap,
berlarian di antara gang-gang becek. Berebut
makan dan tempat tidur dengan sesama. Buat
kami, tak penting apa yang akan terjadi esok.
Bahkan kiamat pun kami tak peduli. Terkadang
saya berharap, begitu membuka kelopak mata
keesokan harinya, kiamat sudah datang.
Orang lalu-lalang, berbicara tentang banyak hal.
Tanpa sedikit pun memberikan ruang buat saya
untuk bertanya, tentang apa yang mereka
perbincangkan. Sepertinya saya ini tak ada,
sepertinya kami ini para gembel jalanan. Hanya
hiasan sudut-sudut kusam kota, pelengkap dari
sebuah kehidupan di megapolitan yang maha-
ganas ini. Satu jiwa yang tertidur, dari sejuta yang
terlelap. Mendengkur riuh, meski cuma beralaskan
kardus bekas, berbantalkan sebelah tangan.
Gembel tua itu tertidur, di tempat yang kemarin. Ia
menggeliat sejenak, sebelum kembali meringkuk
dan mendengkur riuh.
Saya tak kenal dia, ia juga tak kenal saya. Begitu
pula halnya kalian, tak kenal saya ataupun dia. Kita
tak saling kenal, bukankah sesungguhnya kita
hidup untuk saling mengenal? Dalam dekapan
embun yang terkontaminasi karbon dioksida
knalpot kendaraan siang tadi, kami para gembel
jalanan menikmati malam.
Mungkin saja gembel tua itu bermimpi, seperti
halnya benak saya yang sedang terbang menari di
dalam ruang khayal. Mengendarai BMW dengan
diiringi musik top fourty. Pasti saya akan mencibir,
seraya mendenguskan napas muak. Melihat para
gembel jalanan yang sedang lalu lalang
menyanyikan nada pilu, berharap ada sekeping
mata uang. Buat beli sebutir nasi.
Tiga tahun lalu saya masih duduk di bangku SD
kelas lima. Dan malam ini saya duduk di bangku
terminal Lebak Bulus. Memandangi pekat, ditemani
dengkuran gembel tua dari sudut sana.
Harusnya sekarang ini saya sudah berseragam
putih biru. Dan tengah sibuk dengan pelajaran
karena sebentar lagi akan EBTA, seperti yang
dibicarakan anak-anak sekolah sore tadi.
Bagaimana rasanya duduk di bangku SMP sebagai
murid kelas dua? "Ah..." desah saya. Saya tarik
oksigen dalam-dalam mengisi rongga dada,
menahannya sejenak. Baru kemudian
menghembuskannya perlahan.
Gembel itu memincingkan matanya dengan malas,
ketika saya merebahkan badan di atas bangku.
Saya bertanya pada diri sendiri apa yang mengisi
benaknya? Tidakkah dia menginginkan sebuah
kehidupan, sebuah keluarga? Sekali lagi saya cuma
bisa mendesah. Ah, bukan urusan saya.
Saya pun memejamkan mata, teringat kembali
akan Abah dan Emak yang telah meninggal. Rindu.
Lebih tepatnya saya butuh mereka. Seandainya
mereka masih ada, tak harus saya hidup seperti
ini.
Abah cumalah seorang buruh angkut di Tanjung
Priok, tapi itu sudah cukup buat membiayai hidup
kami yang tinggal di rumah kontrakan. Sementara
itu, untuk membantu jalannya perekonomian
keluarga, Emak jadi kuli cuci, sedangkan sepulang
sekolah saya menjadi loper koran.
Suatu hari entah persisnya kapan, mayat Abah
diketemukan bersimbah darah. Menurut cerita
orang-orang, Abah dibunuh oleh sekelompok
preman yang gusar karena Abah tak mau bayar
uang keamanan kepada mereka.
Sepeninggalan Abah, hidup kami morat-marit tak
karuan. Pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Pernah sempat saya dan Emak tidur di gerbong
kereta. Saya terpaksa meninggalkan bangku
sekolah karena Emak tak mampu membiayai.
"Wong untuk makan saja susah," begitu kata
Emak.
Akhirnya, kami terjerumus ke lembah hitam. Emak
jadi pelacur di Tanah Abang. Entah bagaimana
awalnya, Emak mau jadi pelacur. Satu yang pasti,
kehidupan kami mulai membaik. "Mudah-
mudahan tahun depan kamu sudah bisa sekolah
lagi," begitu tutur Emak yang menggadaikan
tubuhnya untuk memuaskan birahi, demi lembaran
kertas bernama uang. Belum sempat aku
meneruskan sekolah, Emak pun menyusul Abah,
meninggal karena terkena penyakit kotor.
Tinggallah saya sendirian. Tak tahu harus
bagaimana. Harus kemana.
Uaah... saya menguap. Sejenak saya pandangi
gembel tua yang masih meringkuk bertabur
dengkuran. (Kelak di kemudian hari, gembel tua itu
akan saya panggil dengan sebutan Abah). Dan
saya pun terlelap di sini. Di bangku terminal.
***
Ciputat, siang tadi.
Namaku Aryani. Ayah dan dua kakak tiriku
memanggil dengan sebutan Nona Bego. Entah apa
sebabnya, mungkin lantaran aku ini memang bego.
Terkadang masih saja aku kutuki ketololanku
tersebut. Kenapa aku terima begitu saja perlakuan
ayah tiriku? Bukan, dia bukan ayah! Dia adalah
iblis yang bertameng sebagai ayah. Coba pikir,
ayah macam apa yang bisa meniduri anaknya,
walaupun aku hanyalah anak tirinya? Tetap saja
aku masih anaknya.
Entah sudah berapa kali Ayah meniduriku. Untung
saja aku tak hamil. Sebab jika aku hamil, harus
panggil apa anakku terhadap ayah sekaligus juga
kakeknya? Usiaku baru dua belas tahun waktu itu.
Aku akhirnya melarikan diri dari rumah, berkelana.
Menarikan lekuk tubuhku yang mulai terbentuk
karena sekarang aku sudah enam belas tahun.
Asal tahu saja, aku bukanlah pelacur. Dan tak mau
aku menjadi pelacur, tak akan pernah.
Terus meliuk aku mengikuti ritme gelombang
kehidupan ciptaan manusia. Meski terkadang aku
teramat lelah untuk menjadi manusia. Aku rindu
Ibu, rindu hangat pelukannya. Lembut suaranya
kalau mendongengkan senandung tembang
jiwanya. Hingga akupun terlelap di dalam pelukan
nyamannya. Aku rindu Ibu.
Aku yakin, di alam sana Ibu menangis melihat
nasib putrinya ini. Ibu, berilah Ar kekuatan.
Kembali aku hanyut dalam kepiluan, hiruk pikuk
kendaraan tetap melaju tak peduli dengan jerit
batin ini. Kuhampiri tenda warung tegal
memainkan sebait lagu, berharap ada sekeping
atau dua yang masuk ke saku.
Senja mulai merayap, semburat kilau jingganya
menyapu permukaan. Ragaku lelah, seperti halnya
dengan mentari yang mulai mengantuk perlahan
masuk ke dalam peraduan. Tapi di mana
peraduanku? Aku jadi ingat dengan seorang
teman, seorang sahabat yang selalu bersedia
mendengarkan setiap keluhku. Di mana dia
sekarang? Tak terasa sudah sebulan kami tak
saling sua.
Wisnu, nama temanku itu. Tapi aku lebih suka
memanggilnya Simon atau si Monyong. Karena
ketika dia marah, bibir tebalnya itu terlihat lebih
monyong. Seperti bibir... hi...hi... Aku jadi terkikik
sendirian. Rindu aku padanya, masihkah dia di
terminal Lebak Bulus? Setelah menimbang-
nimbang sejenak, akupun memutuskan untuk
mengunjungi Simon nanti malam. Di terminal
Lebak Bulus, semoga dia masih di sana.
***
Malam ini di tempat kemarin.
Panggil saya Simon. Malam kian menghitam, kelam
bertebaran tutupi warna angkasa yang muram.
Dengan segenap kelelahan, dari bangku terminal
ini saya tatapi sang malam. Gembel tua itu sudah
terlelap di tempat yang kemarin.
Malam ini.
Sungguh amat ingin saya berkata-kata, membagi
cerita, angan, serta harapan. Tapi pada siapa?
Saya tebarkan pandangan ke sekeliling, cuma
temaram sinar lampu menyapa resah nurani ini.
Saya tebarkan pandangan ke angkasa, mencoba
untuk berkata-kata kepada bintang yang sedang
mengedip manja, kepada rembulan yang
tersenyum simpul di antara arakan awan masam.
Suara serak kekanak-kanakan itu, membuyarkan
lamunan. Saya putar leher ke arah panggilan,
seulas senyum terlontar dari bibir ini. "Ar!"
"Pa kabar, Mon?"
"Lumayan."
"Kamu?"
Ar tersenyum, "Sama."
Aku mendekatkan tubuh ke arah letak duduk
Simon, butir getaran merambat perlahan. Sebuah
gejolak aneh, yang entah datangnya darimana.
Selalu saja hadir, mengusikku ketika aku dekat
dengan Simon seperti malam ini.
Aku pandangi Simon, dia tersenyum ketika mata
kami saling taut. Entah dapat keberanian darimana
aku bertanya. "Kenapa kamu tak pernah mau,
Mon?"
Simon mengernyitkan alis tebalnya, kemudian
balik bertanya, "Mau apa?"
Aku jadi tersipu, sejenak tertunduk. Sebelum
kembali aku pandang sipit bola mata Simon,
"Bukan apa-apa," sahutku berbohong. Kembali aku
geser letak duduk lebih merapat ke arah Simon.
***
Hangat tubuh Ar mendamaikan, sungguh! Hasrat
berkata-kata yang tadi amat meletup-letup
menjadi redup. Saya lebih suka diam, menikmati
hangat tubuh Ar. Tanpa sadar saya pun merangkul
pundaknya, dan kemudian merebahkan kepalanya
ke pundak. Dengan lembut saya remas-remas
rambut lurusnya yang dibiarkan oleh Ar terurai
sepundak. Memainkannya dengan jemari.
Ada semacam getar yang terus mengusik saya,
ada sebuah tanya yang mengganjal lubuk hati ini.
Mungkinkan gembel macam kami bermain asmara,
membina suatu hubungan untuk kemudian
mengikatnya dalam sebuah tali perkawinan? Cuma
suara dengkuran gembel tua yang meringkuk di
sudut sana menjawab tanya saya.
"Bisakah kita?"
"Bisa apa, Mon?" tanya Ar.
"Menjadi sepasang kekasih?" tanya saya ragu.
"Bisa saja."
"Kamu yakin?"
"Yang terpenting itu cinta. Jika ada cinta, apa pun
bisa, apa pun menjadi boleh."
Saya cuma terdiam, masih memainkan helai-helai
rambut Ar. Tiba-tiba saja Ar mendongakkan
wajahnya, kemudian mencium bibir ini. Saya cuma
mengikuti naluri, kemudian kami pun sudah saling
mengulum bibir mesra. Bersemaikan birahi, di atas
bangku terminal yang mulai berdecit teratur. Kami
bercinta, merengkuh nikmatnya madu dosa.
Saya pun sadar, kami cumalah gembel jalanan.
Tapi tak bolehkah kami turut merasakan manisnya
cinta? Mencicipi sedikit kebahagiaan? Meski cuma
di atas bangku terminal bukan di ranjang empuk
bersprei perak?
Ar sudah tertidur dalam pelukan, getar napasnya
terdengar beraturan. Dosa, rasa itulah yang
menghantui. Saya hela napas panjang, tapi kenapa
terasa begitu damai! Saya peluk tubuh Ar,
membisikkan kata sayang di telinganya. Ia pun
menggeliat manja, saya kecup keningnya.
Sejenak saya pandangi gembel tua yang masih
saja mendengkur di sudut sana. Yang sama sekali
tak dipusingkan oleh tanya tentang cinta, saya
lemparkan senyuman kepada gembel yang masih
terlelap itu. Kemudian saya peluk erat-erat tubuh
Ar (yang kelak di kemudian hari nanti akan saya
panggil dengan sebutan Mama).
Ooo...aah...uuumm, saya menguap. Dua hitungan
kemudian memejamkan mata. Dan tertidur di atas
bangku terminal, seraya mendekap erat tubuh Ar.
PETOJO (662B)
OLEH: MOCH DANIEL BANGU
SYUKUR
OLEH: DARMA
Pagi masih kelabu, langit tersaput mendung tipis.
Tanah becek, genangan air berwarna coklat ada di
mana-mana, sisa hujan semalam. Tapi, pasar mulai
ramai dengan teriakan para pedagang. Hiruk pikuk
orang lalu lalang serta desakan becak sesekali
melewati keramaian di tengah pasar. Mereka
seakan tidak peduli dengan langit yang lagi
mendung atau keadaan yang semakin kotor.
Sampah bercampur air yang berwarna hitam
berserakan di sana sini. Apalagi sekarang hari
Minggu. Semua seolah berlomba-lomba membeli
apa yang dibutuhkannya.
Aku coba menghindari genangan air di samping
kiriku.
"Awas, Bu, nanti ditabrak becak!" teriakan tertahan
dari arah yang berlawanan membuatku tak dapat
menghindari genangan yang berwarna coklat
kehitaman bercampur sampah itu. Entah siapa
yang berteriak. Meski selamat dari senggolan
becak, sebagian celanaku telah berubah warna
dari hitam menjadi coklat dan belepotan percikan
air kotor. Aku hanya bisa memandang cipratan air
tersebut sekilas, lalu kembali menyayunkan
langkah. Berdesakan di antara para penjual,
pembeli, tukang copet, becak, motor, bahkan
mobil, dan entah apa lagi.
"Wortel, buncis, kentang. Seribu lima ratus satu
kilo!"
"Kolnya Bu. Seribu tiga ratus satu kilo."
"Ayam potong! Ayam kampung! teriakan para
penjual kaki lima semakin nyaring menawarkan
dagangannya. Aku bergeser ke pinggir jalan. Orang
semakin ramai dan aku tak ingin terdesak semakin
dalam di tengah keramaian orang. Rawan. Banyak
pencopet. Bisa-bisa duit amblas sebelum selesai
belanja. Mendung telah berlalu. Udara mulai
panas. Gerah. Kantong belanjaanku cukup berat
untuk diangkat dengan satu tangan.
"Bu, saya angkat barangnya." Seorang anak kira-
kira berumur sebelas tahun berdiri di sampingku
sambil menawarkan jasanya.
"Ya, Bu... saya bantu." Ia mengulang perkatannya
ketika melihat aku diam saja tak meresponnya.
"Tidak usah. Saya masih mau keliling sebentar."
"Tidak apa, Bu. Nanti saya antar ke sana. Sini saya
bawa barangnya. Biar keliling pasar juga saya
kuat, Bu." Akhirnya kulepas belanjaanku dan
diambil alih oleh anak pengangkat barang itu.
Banyak anak seumurnya yang berkeliaran
menjajakan tenaganya untuk mengangkat barang
belanjaan. Terkadang aku iba melihatnya, dengan
tubuh yang kurus, mereka malah memaksakan diri
mengangkat barang yang tergolong cukup berat
untuk ukuran dirinya. Ongkosnya terserah yang
punya barang. Yang penting mengertilah.
Anak itu cukup lincah meski satu kantong
belanjaan yang menurutku berat berada di
bahunya. Sesekali aku tertinggal agak jauh di
belakangnya. Kadang aku memegang kantong
yang dipikulnya. Takut hilang. Bisa runyam nanti.
"Jangan takut, Bu. Saya tidak lari kok. Nama saya
Syukur." Aku cuma tersenyum menanggapi kata-
katanya, seakan menebak kekhawatiranku.
Akhirnya aku berhenti memegang belanjaanku.
Kata-katanya tadi memberi sedikit rasa percayaku.
"Kamu masih sekolah?" tanyaku sambil berusaha
melewati celah-celah becak yang macet di tengah
jalanan pasar.
"Masih, Bu, kelas lima. Itu sekolahnya di depan
sana." Tangannya menunjuk ke arah yang
berlawanan dengan arah yang kami tempuh.
"Saya begini kalau sore atau lagi libur."
"Uangnya untuk apa?"
"Yah untuk beli beras, kalau cukup ikan juga.
Kadang-kadang ditabung buat ongkos sekolah atau
beli buku.
"Orang tuanya kerja apa?" tanyaku penasaran.
"Bapak saya pemulung, sedangkan Emak bantu-
bantu saja. Tapi Emak lebih banyak di rumah,
habis ada adik kecil yang harus dijaga. Hasilnya
tidak seberapa. Jadi, saya juga kerja. Biar bisa
sekolah. Kerja begini, kan, halal Bu. Daripada jadi
pengemis di lampu merah. Kata Emak itu tidak
baik. Kita harus kerja untuk mendapatkan uang,
bukan meminta-minta, orang malas kalau begitu."
Aku terharu mendengar penuturannya. Seumur dia
sampai sekarang jadi mahasiswa, aku belum
pernah berpikir memperoleh uang dengan kerja
apa saja yang penting halal. Semua tergantung
pada orang tua. Duit habis tinggal minta lagi.
Mungkin karena keadaan dia jadi begini. Aku jadi
malu mendengar penuturannya.
"Tempat sayurnya di sebelah situ. Kalau mau yang
lebih murah kita masuk agak ke dalam sedikit. Di
sana lebih banyak yang masih segar." Aku
mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara.
"Sini, Bu."
"Berapa Pak, bayamnya?" Kuacungkan seikat
besar bayam ke penjualnya.
"Seribu semuanya."
"Kurang sedikitlah." Syukur ikut menawar.
Ternyata ia lebih pandai menawar. Beberapa sayur
lain yang kubeli adalah hasil tawarannya, yang
menurutku lumayan murah jika dibandingkan bila
aku yang menawar. Setelah selesai kami kembali
berjalan. Aku menenteng sayuran yang barusan
kubeli.
""Biar saya saja yang bawa, Bu." Dia mengulurkan
tangan kirinya sedangkan tangan kanannya
menahan kantongan yang kini kembali bertengger
di bahunya.
"Tidak usah, ringan kok."
"Masih ada yang mau dibeli, Bu?"
"Hm, tidak ada. Sekarang pulang. Sekalian
belanjaannya dibawa ke seberang ya." Aku
memintanya, soalnya tidak kuat rasanya
mengangkat semuanya sendiri. Apalagi
menyeberang jalan. Mana banyak mobil lagi.
"Biasanya kamu dibayar berapa sama ibu-ibu?"
"Ya terserah yang punya barang. Yang penting
ikhlas saja. Saya tidak memaksa dibayar mahal.
Buat apa mahal-mahal kalau yang memberi tidak
ikhlas. Percuma saja, kan, Bu." Aku semakin
tertarik bercerita dengan anak ini. Sayang, kami
telah sampai di jalan besar. Sebentar lagi aku tidak
lagi melihatnya. Setelah memberinya uang yang
kupikir cukup untuk membeli beras dan lauknya, ia
pun berlalu kembali ke tengah keramaian pasar.
Mungkin kembali menjajakan tenaganya kepada
ibu-ibu lainnya. Mungkin masih banyak cerita di
antara mereka ataukah mereka mempunyai cerita-
cerita yang hampir sama? Aku sendiri tidak tahu,
tapi setidaknya aku menjadi lebih banyak
bersyukur dengan semua yang telah kulalui
selama ini.
Makassar, April 00
SAHABAT (666)
Oleh AGUS NOOR
Vira hanya tersenyum mendengar gerutuan Vera.
“Masa, sih?” tukas Vira pendek.
“Mungkin juga emang sifat laki-laki yang mau
menang sendiri. Sampai di meja makan pun minta
dilayani!” Vera masih memperlihatkan
kesebelannya. Hampir selalu begitu, setiap Vera
membicarakan Adi, suaminya.
Mendengar itu, Vira masih saja tersenyum. Hampir
saja Vira keprucut ngomong. “Enggak cuma di
meja makan, bahkan juga di ranjang…” Up, Vira
segera mengatupkan bibir, lalu cepat-cepat
membuang muka menghindari pandangan Vera.
Begitulah, setiap kali mereka berjumpa. Pasti
obrolan mereka seputar suami-suami mereka. Vera
mengeluh soal Adi dan Vira ngomongin Heru.
“Beruntung kamu dapet Heru, lo, Vir,” desah
Vera. “Beruntung apaan?! Keringatnya itu,
lo..,”cibir Vira sambil mengenduskan cuping
hidungnya untuk menegaskan kalau ia paling sebel
dengan bau keringat suaminya.
Nyaris Vera hendak menyergah omongan Vira,
“Masa, sih, bau keringat begitu kamu enggak
suka…” Untung saja Vera segera bisa menguasai
lidahnya. Kata-kata itu hanya ia simpan dalam hati.
Ah. Vira dan Vera. Siapa pun yang selintas melihat,
pastilah menyangka mereka saudara kembar.
Potongan rambutnya, tinggi, dan juga raut
wajahnya yang sedikit oval, nyaris sama. Bedanya,
hidung Vira sedikit lebih kecil dibanding hidung
Vera, Sementara mata Vera lebih membelalak
dibanding mata Vira yang sedikit sayu.
“Kadang-kadang, Vir, aku selalu berpikir, betapa
enaknya punya suami yang tak selalu minta
dilayani,” sungut Vera. “Mestinya, kan, boleh
sekali-kali kita duduk santai ndengerin musik tanpa
diganggu tetek bengek urusan keluarga. Eh, ini,
baru duduk sebentar saja suamiku sudah teriak-
teriak minta diambilkan inilah, itulah…”
“Ah, masa, sih!”
“Masa gue bohong ama lu, Vir!”
Bukannya nuduh kamu bohong, jawab Vira dalam
hati. Namun, Adi yang aku kenal tidak begitui, kok!
Pendapat itu pun hanya ia ucapkan dalam hati.
Vera memanggil pelayan, minta tambah jus
melonnya.
“Hanya sama kamu aku bisa bicara terus terang
seperti ini, Vir..” Bagi Vera, Vira memang kawan
yang ia anggap paling memahami perasaannya.
Makanya, sejak SMA ia cocok berkawan dengan
Vira. Barangkali memang nasib yang
mempertemukan mereka. Waktu mereka sama-
sama lulus, eh, mereka sama-sama diterima di
UGM. Vira masuk akuntansi, ia diterima di
manajemen. Sering Vera merasa, betapa banyak
kebetulan dalam hubungan mereka, sebagaimana
nama mereka yang hanya beda huruf “e” dan”i”.
Kadang mereka juga merasa, betapa kesamaan
semacam itu seakan sebuah kebetulan yang
disengaja seperti kisah telenovela saja. Namun,
bukankah dalam hidup ini memang sering terjadi
kebetulan-kebetulan? Apakah memang kebetulan
juga kalau mereka juga punya banyak kesamaan
selera? Atau jangan-jangan mereka memang
saudara kembar, seperti sering diyakini banyak
kawan-kawan mereka?
Aih, aih, Vira dan Vera, barangkali saja mereka
memang sebagian dari rahasia dunia. Bukankah
dunia ini penuh rahasia?
Seperti juga mereka, masing-masing memiliki
rahasia. Meski mereka masing-masing selalu
percaya sudah saling terbuka. Makanya, Vera tak
sungkan berkeluh kesah pada Vira, soal apa saja.
Bahkan juga soal hubungannya dengan Adi. Vera
akan menceritakan sampai hal yang paling kecil
dengan detail. Apa warna celana dalam kesukaan
suaminya, bagaimana posisi tidurnya. Meski bagi
Vira tak terlalu penting benar semua informasi itu.
“Soal yang gituan, sih, aku sudah tahu,” batin Vira
ketika Vera menceritakan hal-hal semacam itu.
Bagi Vira, bagaimana pun Vera memang sahabat
yang ia anggap paling mengerti tentangnya.
Makanya, Vira pun tak jarang berkeluh kesah soal
Heru. Sifatnya yang cenderung pemalas, model
dasinya yang terlalu konservatif, parfumnya yang
terkesan feminin. Vira selalu menceritakan itu
semua dengan Vera, tanpa pernah menyadari
betapa Vera hanya tersenyum mendengar itu
semua. “Bukan model dasinya yang konservatif,
tapi memang kamunya yang cenderung suka
warna-warna norak,” sergah Vera, tentu saja
dalam hati.
“Pokoknya aku sebel! Sebel!” suara Vera nyaris
mengeram.
“Makanya, suami tuh jangan dikasih hati! Sekali-
kali dilawan, dong! tegas Vira. “Aku enggak pernah
tuh membiarkan suamiku mengatur-atur aku.”
“Kalau jadi berantem, gimana?”
“Ya risiko.”
“Kalau sampai cerai?”
“Cerai, ya, cerai. Gitu aja, kok, repot!”
“Mestinya gue begitu ya, daripada sebel melulu.”
“Aku juga sering, kok, sebel sama suamiku. Di
depanku tampaknya saja ia baik. Penurut, sok,
kalem. Padahal, huh, apa dikira aku enggak tahu
kelakuannya di luaran..”
Vera nyaris saja tersedak. “Kamu tahu apa?”
tatapan Vera sedikit menyelidik. Ia takut…
“Ya pokoknya tahu. Kalau laki-laki baik di rumah,
justru itu yang harus dicurigai.”
“Kok bisa?”
“Ya bisa.”
“Sepertinya kamu enggak bisa mempercayai
suamimu, Vir?”
Vira hanya tersenyum mendengar nada suara
Vera. Nada suara yang setengah menyelidik dan
mendesak. Membuat Vira ingin sekali membalas
pertanyaan itu dengan balik bertanya, “Apa kamu
percaya sama suamimu? Alangkah tolol..” Namun,
semua itu hanya ia redam dalam hati.
Begitulah, Vira dan Vera. Nyaris seiap hari mereka
bertemu. Biasanya kalau ada waktu luang untuk
makan siang. Sering juga setelah pulang kerja
mereka janjian bertemu di kafe langganan mereka,
sambil menunggu kemacetan lalu lintas. Kadang di
akhir pekan mereka bikin acara ke luar kota.
Sampai-sampai banyak kawan heran oleh
keakraban mereka, “Bener-bener kayak orang
pacaran…” Tentu saja keduanya hanya tertawa
mendengar komentar yang sedikit “tendensius”
itu.
“Emang kita pacaran…” balas mereka sambil
tertawa. “Soalnya laki-laki udah enggak ada yang
menakjubkan!”
Begitulah, semua yang mengenal mereka selalu
geleng-geleng oleh keakraban mereka. Benar-
benar sahabat yang kompak. Ada saja yang
mereka obrolkan bila bertemu. Soal musik, mode,
film-film terbaru, perawatan kecantikan sampai
sepak bola.
Namun, selalu, selalu, pembicaraan mereka
akhirnya menyangkut suami-suami mereka. Dan
selalu, selalu, keduanya bercerita penuh keluhan.
Betapa sebelnya Vira pada Heru. Betapa
mangkelnya Vera pada Adi. Seperti pertemuan
mereka saat ini.
“Rasanya, aku menyesal kawin sama Adi.”
“Yeah, aku kadang juga merasa rugi hidup bareng
Heru.”
Lalu keduanya saling menumpahkan kejengkelan.
Setiap kata berloncatan dari bibir mereka, tapi
banyak juga kata-kata yang tidak pernah mereka
ucapkan. Ketika mengucapkan “Aku menyesal
kawin sama Adi” sebenarnya Vera masih akan
melanjutkan “Mestinya sama…” Namun, tak
terucapkan. Saat menegaskan “Aku kadang juga
merasa rugi hidup bareng Heru” sesungguhnya
ada yang ingin Vira lanjutkan , “Beda ketika
sama…” Itu pun hanya ia katakan dalam hati,
sambil matanya diam-diam melirik Vera.
Vira dan Vera, wanita yang sama-sama cantik,
sama-sama merasa saling terbuka, tapi juga sama-
sama menyimpan rahasia. Barangkali, begitulah
kehidupan. Kita sudah merasa mengetahui
segalanya, tapi ternyata ada banyak hal yang tak
bisa ditebak dan diduga.
Keduanya terus ngobrol. Dan waktu merambat,
sampai keduanya menyadari bahwa waktu pulang
sudah mesti mengakhiri obrolan mereka.
“Jangan lupa besok, ya?”
“Kita ketemu di restoran dekat kantormu saja, ya?”
“Oke.”
Lalu keduanya berpisah. Keduanya bilang akan
langsung pulang. Meski sebenarnya Vera sudah
janjian makan malam bersama Heru. Dan malam
ini Vira pun mesti menjumpai Adi.
Yogyakarta, 2000
MAKAM (668)
OLEH TRI WIYONO
Aku benar-benar tak habis pikir. Apa sebenarnya
maksud Mas Tono memugar makam Ayah dan Ibu.
Bukankah makam yang ada selama ini sebenarnya
sudah baik. Meski bukan terbuat dari batu marmer,
tapi untuk ukuran desa kami, makam tersebut
sudah di atas rata-rata.
Dua tahun silam, Mas Hadi, suamiku, kebetulan
dapat rezeki. Karena dia berhasil mengegolkan
tanah yang dimakelarinya. Lalu, atas inisiatifnya
sendiri, uang tersebut dipakainya untuk
membangun makam orang tuanya dan orang
tuaku.
Tapi, sekarang makam itu akan dibongkar oleh
kakak sulungku tersebut. Katanya akan dibangun
yang lebih mewah. Mas Tono memang satu-
satunya saudaraku yang paling sukses hidupnya.
Dia menjadi seorang direktur bank di Jakarta. Tak
heran, jika kekayaannya berlimpah ruah. Rumah
yang dimilikinya ada beberapa buah, baik di
Jakarta maupun di kota-kota lain. Bahkan, dengar-
dengar dia barusan membeli sebuah rumah
mewah di Amerika. Katanya untuk si Tuti, anaknya
yang kuliah di sana.
Belum lagi mobilnya, vilanya, depositonya.
Pokoknya untuk ukuran orang hidup, kehidupan
kakakku itu sudah berkelimpahan. Sayangnya,
justru karena semua itu membuat lupa orang
tuanya. Buktinya, mulai saat Ayah dan Ibu sakit
sampai keduanya meninggal, Mas Tono belum
pernah datang ke desa.
Begitu juga dengan istrinya. Kelihatan Mas Tono
dan Mbak Wike setali tiga uang. Yang ada dalam
pikirannya hanya bagaimana menjaga harta
mereka agar jangan sampai berkurang. Maka aku
sempat heran ketika suatu pagi dia datang ke desa
dengan sedan mewahnya dan menyatakan hendak
memugar makam Ayah dan Ibu.
“Jangan salah sangka, Tin. Bukan maksudku dan
Mbakyumu tidak menghargai usahamu membuat
makam Bapak dan Ibu. Tapi, rasanya saat inilah
waktu yang tepat bagiku untuk menunjukkan
baktiku kepada orang tua. Bukankah begitu dik
Hadi?”kata Mas Tono, seakan bisa menangkap
kegundahanku. Terus terang, aku memang
menentang keinginannya itu.
“Betul, Mas. Memang merupakan kewajiban
seorang anak untuk memuliakan orang tuanya,
kendati mereka sudah tiada,” kata Mas Hadi
sesabar biasanya.
Aku benar-benar heran dengan sifat suamiku.
Bukankah seharusnya dia tersinggung karena
sudah capek-capek membangun makam Ayah dan
Ibu. Sekarang dengan enaknya Mas Tono akan
main bongkar.
Tapi, memang demikianlah Mas Hadi. Selalu sabar
dan berhati lembut. Mungkin memang pas kalau
sekarang ini dia jadi seorang guru Sekolah Dasar.
Dan kalau tak diredakan olehnya, mungkin aku
sudah nekat bersikeras mempertahankan makam
Ayah dan Ibu seperti sekarang ini.
***
“Jangan berprasangka buruk dulu, Tin. Tak baik
kau bersikap seperti itu, apalagi pada Mas-mu
sendiri,” kata Mas Hadi malam itu masih saja
menasihatiku.
“Saya tak berprasangka buruk, Mas. Tapi kenapa
baru sekarang ini dia punya niat seperti itu.
Kenapa tidak dari dulu.”
“Ya, mungkin memang sempatnya baru sekarang.”
“Ah gombal!” sergahku.
Memang dibanding dengan saudara-saudaraku
yang lain, akulah yang paling sering menentang
Mas Tono. Bila Mas Tanto, Mbak Tanti atau
Tarwanto sering datang ke rumah Mas Tono di
Jakarta, aku ogak kalau disuruh datang ke sana.
Bukan apa-apa. Aku cuma tak ingin dikatakan
sebagai benalu. Karena mulut Mbak Wike, iparku
yang cantik itu, nyinyirnya minta ampun. Bila ada
saudara dari Mas Tono datang ke rumahnya, buru-
buru dia pasanga wajah tak sedap. Menurut
prasangkanya, setiap sanak saudara Mas Tono
datang, pasti mau minta bantuan.
Selama ini, aku baru sekali datang ke rumah Mas
Tono. Yaitu waktu aku akan menikah dengan Mas
Hadi. Itu pun karena mendiang Ibu memaksaku
agar memperkenalkan Mas Hadi padanya.
Selebihnya, aku lebih suka seperti sekarang.
Kendati tak berkelimpahan, hidup kami tenteram.
Apalagi aku merasa bangga bahwa sampai kedua
orang tuaku tiada, aku sempat merawat mereka.
***
Pembangunan makam Ayah dan Ibu dilakukan
secara besar-besaran. Bayangkan saja, Mas Tono
menyiapkan anggaran ratusan juta rupiah.
Pelaksananya didatangkan dari kota. Begitu juga
dengan bahan bangunannya. Batu nisan dan
lantainya dipesankan marmer khusus yang
didatangkan dari Tulung Agung, Jawa Timur. Di
atas makam itu didirikan sebuah pendopo kecil
beratap joglo yang terbuat dari kayu jati dengan
ukiran.
Pembangunan makam itu membuat semua orang
jadi repot. Namun, juga kecipratan rejeki. Apalagi
saudara-saudaraku yang lain. Mereka yang bisa
mengambil hati Mas Tono dan Mbak Wike
dipercaya untuk mengurusi konsumsi para tukang
atau kebutuhan yang lain.
Sementara aku sejak pembangunan itu dimulai,
hampir tidak pernah sekalipun datang ke makam.
Paling-paling aku cuma mampir ke rumah sehabis
mengajar. Selebihnya aku lebih suka pulang ke
rumahku sendiri. Karena sejak menikah dengan
Mas Hadi, kami mendapat bagian warisan dari
orang tua suamiku. Dan di situ telah kami dirikan
sebuah rumah sederhana. Sedangkan rumah
peninggalan orang tuaku, ditempati Mbak Tati.
“Lo, Bu Tini, kok, di sini? Di rumah, kan, sedang
repot?” tanya Pak Wandi, kepala sekolahku sambil
menatapku heran. Pagi itu, aku memang sudah
berada di ruang guru.
“Ya, Pak. Pekerjaan koreksi saya masih banyak,”
sahutku berbohong.
“Memangnya di rumah tidak ada rewangan?”
“Sudah banyak yang rewang, Pak. Jadi, tenaga
saya lebih berguna di sini. Kasihan anak-anak,
sebentar lagi mereka, kan, terima rapor.” Pak
Wandi hanya geleng-geleng kepala. Entahlah dia
bisa menerima jawabanku atau dia sebenarnya
juga tahu ketidakharmonisan hubunganku dengan
Mas Tono.
Ternyata tidak hanya Pak Wandi yang heran. Tapi
juga teman-teman yang lain. Maklum, kami hidup
di desa. Jadi, ada kejadian sekecil apa pun, pasti
semua orang dengar. Melihatku tetap mengajar,
banyak yang bertanya-tanya. Sampai aku
kerepotan menjawabnya.
***
“Ah., korupsi lagi, korupsi lagi,” kudengar Pak
Sarino, guru olah raga itu nyeletuk, sambil
menekuri korannya.
“Apaan, sih, Pak Sarino. Masih pagi kedumelan
sendiri,” komentar Bu Endang.
|Coba baca, nih Bu. Wong bank sudah dilikuidasi
oleh BPPN, kok, ya ,masih bisa-bisa dibobol
asetnya,” kata Pak Sarino lagi.
“Ogah ah, Pak. Males baca-baca yang begituan.
Bikin hati panas saja,” sahut Bu Endang.
“Ya ndak usah dibikin panas to Bu. Wong
zamannya memang sudah kayak begitu,” celetuk
Pak Karli.
Habis tidak panas gimana, to Pak. Kita ini kerja
seharian sampai mulut berbusa. Eh, untuk kredit
teve berwarna saja tidak cukup. Sementara
mereka hanya bermain dengan pat gulipat,
miliaran uang bisa dikeruk,” kata Bu Endang yang
memang dikenal vokal itu.
Lo, kalau kita lain, Bu Endang. Kita, kan, memang
pahlawan tanpa tanda jasa,” sambung Pak Karli
kembali. Membuat ruangan guru jadi geeer.
Kalau sudah demikian, pembicaraan memang jadi
gayeng . Biasanya, aku juga ikut-ikutan nimbrung
untuk sekadar diskusi politik kecil-kecilan. Maklum,
jelek-jelek aku pernah kuliah di Fakultas Keguruan,
meski hanya jadi diploma. Dulu, aku juga pernah
aktif dalam organisasi kemahasiswaan.
Saat ini, aku benar-benar kehilangan gairah untuk
berbicara. Aku lebih suka duduk di kursi sambil
membuka-buka koran yang tadi dibaca Pak Sarino.
Betapa terkejutnya hatiku ketika membaca berita
yang tadi dibahas para guru itu. “Direktur Utama
Bank Anu Dicekal,” Demikian tertulis sebagai
headline harian itu. Dan aku tahu, direktur bank
itu, tidak lain adalah Mas Tono. Rupanya kakakku
sedang dirundung masalah karena dituduh
mengakali BPPN dengan menilep aset-aset
banknya.
Pantas kudengar cerita dari Mas Hadi bahwa tiap
malam Mas Tono dan Mbak Wike tidur di makam
Ayah dan Ibu. Agaknya baru mereka sadari bahwa
apa yang dilakukannya selama ini ternyata tidak
mendapat restu Ayah dan Ibu. Atau mungkin
karena ketamakannya?
“Bu Tini dicari Bapak,” kata Pak Siman tiba-tiba
menyibak obrolan para guru. Aku buru-buru keluar
dari ruangan tersebut, tanpa mempedulikan
godaan teman-teman.
“Ada apa, Mas?” tanyaku ketika melihat Mas Hadi
sudah berada di atas motornya di tempat parkir.
“Mas Tono kena stroke. Sekarang dia dibawa ke
rumah sakit di kota,” kata Mas Hadi membuatku
tak bisa berkata apa-apa. Karena baru saja
kubayangkan bahwa dengan pengaruhnya, pasti
Mas Tono terhindar dari kasusnya itu.
Ternyata, baru saja orang-orang menemukannya
tertidur ngorok dalam posisi menungging di
sebelah makam Ayah dan Ibu.
H I D U N G (669B)
Oleh Harsutedjo
MENJELANG TAKBIR
Oleh Yus R. Ismail
Stasiun penuh sesak. Orang-orang berdatangan.
Setiap bus kota berhenti, selalu memuntahkan
puluhan orang. Mereka membawa ransel dan dus.
Mereka menunggu kereta, bergeletakan di lantai
peron. Dan begitu kereta datang, mereka
berdesakan di pintu dan jendela.
Ke mana sebenarnya tujuan mereka? Tentunya
beragam tempat mereka tuju. Mereka pulang ke
kampung halaman, tempat keluarganya bermula.
Apakah tujuan hidup adalah pulang ke kampung
halaman? Di televisi, setiap waktu diberitakan
bagaimana sesaknya terminal, stasiun, bandara.
Sejauh-jauhnya orang merantau, menjelang Idul
Fitri seperti ini mereka pulang ke kampung
halaman.
Bertahun-tahun aku selalu datang ke terminal atau
stasiun atau bandara, setiap menjelang Idul Fitri.
Bukan untuk memesan tiket atau ikut berebut
tempat agar terbawa kendaraan. Aku datang dan
duduk-duduk di sana hanya untuk melihat orang-
orang begitu semangat dan tanpa kompromi
berebut tempat. Tidak peduli ada nenek-nenek
yang berjalannya pun tidak lagi tegak, tidak peduli
ibu hamil begitu kelelahan saat berkali-kali bus
datang tidak kebagian tempat, tidak peduli ada
bayi menangis keras karena gerah dan pengap.
Sebaiknya hidup memang tidak dipersulit oleh
tetek bengek sebangsa tujuan atau keharusan
berkumpul di tempat dan waktu tertentu. Karena
yang terpenting dalam hidup adalah untuk
menikmatinya. Menikmatinya. Sambil melihat
orang-orang berdesakan, aku selalu meyakini
pikiran itu. Berjam-jam. Sampai Si Botak, sopirku
menghampiri.
“Pak, sudah sore. Jadi berangkat atau tidak?”
Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh belas.
“Balik lagi. Besok kita ke stasiun, siapa tahu aku
punya keyakinan.”
Si Botak membawa koper dan oleh-oleh lainnya
yang telah kubeli. Aku berjalan dengan hati begitu
kosong. Di saku celana, kuraba lagi sepucuk surat
dari Emak, yang memintaku untuk pulang.
***
Sepuluh tahun lalu aku pernah pulang menjelang
Idul Fitri. Orang sekampungku menyambutku
karena aku dianggap perantau yang berhasil. Aku
memang membawa oleh-oleh, tidak hanya untuk
Emak dan Ningsih, adikku, tapi juga untuk
tetangga, saudara, dan kenalan lainnya.
Bermalam-malam sehabis salat tarawih, mereka
berkumpul di rumah Emak. Sambil menyedot
berbatang-batang rokok yang kusediakan, mereka
mendengarkan kisah keberhasilanku di kota.
Mereka berdecak, menggeleng, mengangguk, atau
tertawa tanda kagum kepadaku.
Tapi, itulah terakhir kalinya aku pulang. Ada yang
tidak aku ceritakan kepada saudara dan kenalanku
di kampung saat mereka kumpul di rumah Emak.
Mereka tidak tahu, saat mereka berdecak,
mengangguk atau tertawa, pikiranku melayang
entah ke mana. Hatiku terasa perih, gundah, tidak
pernah tentram. Emak sendiri tidak tahu. Ningsih
tidak tahu. Semuanya tidak tahu.
Kampungku termasuk di pedalaman. Untuk
mencapainya, bila memakai kendaraan umum, dari
kota kecamatan harus menunggu angkutan yang
selalu penuh sesak sampai ke atap. Sehari paling
ada dua kendaraan yang berangkat dari kota
kecamatan. Mobil penuh manusia dan barang itu,
bergoyang-goyang di jalan berbatu, selalu hampir
terguling.
Tapi, selain alat transportasi yang tidak memadai,
semua yang ada di kampungku begitu
menyenangkan. Udara selalu segar. Tidak hanya
pagi, tengah hari pun matahari tidak menyengat.
Air bersih mengalir di mana-mana. Sawah, sungai,
selokan, mengalirkan air bersih yang bisa dipakai
mencuci atau diminum.
Orang-orang saling mengenal. Ke pelosok mana
pun aku melangkah, orang-orang menyapa. Kita
bisa berbincang akrab di mana pun, di rumah siapa
pun, sampai kapan pun. Di kampungku yang
namanya hiburan paling radio dan satu dua televisi
hitam putih yang dinyalakan waktu tertentu saja
karena harus memakai accu. Karenanya, begitu
puasa tiba, setiap malam orang-orang tumpah di
masjid. Setelah alat tarawih, mereka bergiliran
tadarus, sampai menjelang sahur. Setelah salat
subuh, anak-anak mendengarkan ceramah dari
para remaja pengurus masjid. Siangnya, sepulang
sekolah, anak-anak ngaji sampai menjelang beduk
magrib.
Ningsih, adikku yang baru kelas tiga SMP, sudah
berkali-kali khatam Alquran. Dia mulai dipercaya
mengenalkan huruf-huruf Alquran kepada anak-
anak kecil. Di rumah, gadis cantik itu seperti tidak
pernah berhenti membawa Alquran. Setiap selesai
salat, dia membacanya. Suaranya yang merdu
selalu kudengar, seperti yang mengikuti ke mana
pun aku pergi.
“Tiga hari di sini, Ningsih belum pernah mendengar
Akang ngaji. Apakah di kota tidak diperlukan lagi
membaca Alquran?” tanya Ningsih, setelah kami
buka puasa. Aku hanya tersenyum, mengambil
sarung dan cepat-cepat pergi dengan alasan takut
telat salat tarawih berjamaah di masjid. Emak yang
dari tadi memperhatikanku, aku rasa Emak ingin
tahu jawabanku, memandangku sampai aku
menghilang di balik pintu.
Di kampungku ini, dalam suasana yang tenang,
aku pernah berkali-kali ingin membaca kembali
Alquran. Saat terbangun tengah malam, aku
mengambil wudlu, lalu duduk di sajadah. Namun,
yang keluar bukan ayat-ayat suci itu, malah air
mata. Aku simpan Alquran, lalu keluar rumah. Aku
merokok berbatang-batang. Begitu Idul Fitri tiba,
siangnya aku pamitan kepada semuanya dan
mengatakan bahwa aku sibuk. Orang-orang
mempercayaiku.
***
Tidak banyak orang yang merantau di kampungku.
Suasana alam yang tenang, subur, barangkali
memanjakan penduduknya. Hidup di kampung
memang tidak bisa membeli banyak hal, tapi juga
tidak kekurangan. Sayuran dan makanan tumbuh
di mana-mana. Hanya alasan tertentu yang
membuat pemuda pergi merantau.
Aku pergi ke kota, belasan tahun yang lalu, karena
Bapak meninggal. Aku tidak bisa meneruskan
sekolah setamat SMP. Emak tidak bisa mengelola
sedikit sawah peninggalan Bapak karena Ningsing
masih kecil, baru satu tahun. Sementara aku
belum memadai untuk menanggung beban
keluarga dengan bertani. Aku pergi ke kota begitu
ada kabar dari tetangga bahwa di kota banyak
dibutuhkan tenaga bangunan.
Beberapa bulan aku kerja di bangunan. Begitu
berkenalan dengan seorang tukang nasi goreng,
aku membantu mencuci piring dan meracik
bumbu-bumbu.Terasa menyenangkan kerja di
warung nasi, tidak terlalu melelahkan dibanding
bekerja di bangunan. Meski upahku tidak besar,
tapi aku bisa menabung dan lumayan bisa
mengirim Emak begitu mudik.
Nasibku berubah total ketika suatu malam warung
nasi goreng tempatku bekerja diobrak-abrik
serombongan orang. Kursi-kursi dipatahkan, roda
dorong dijatuhkan, dan Mas Sulis, pemilik warung,
dipukul sampai babak belur. Aku tidak bisa berbuat
banyak, k arena kejadian yang tidak kubayangkan
itu begitu cepat. Aku sempat menghajar dua orang
dari mereka. Ketika orang-orang ramai melihat,
rombongan perusuh itu telah pergi.
Tiga hari aku menunggu Mas Sulis di rumah sakit.
Kata Mas Sulis, perusuh itu datang karena Mas
Sulis tidak membayar “uang keamanan” seperti
biasa. Sepanjang jalan ini, setiap pedagang harus
menyerahkan “uang keamanan” kepada kelompok
perusuh itu. Siapa sebenarnya kelompok itu, Mas
Sulis tidak begitu tahu. Tapi, pedagang manapun
yang tidak membayar, apalagi melawan, akan
mengalami nasib seperti Mas Sulis. Diganggu
terus-terusan, bahkan dibunuh.
Begitu pulang ke tempat kontrakan, setelah istri
Mas Sulis datang dari Madiun, aku memperbaiki
kursi dan perabotan yang rusak. Aku berdagang
kembali. Saat itulah, rombongan perusuh itu
datang lagi. Aku memang disuruh Mas Sulis untuk
menyerahkan “uang keamanan” yang jumlahnya
ternyata besar. Tapi aku bertekad untuk tidak
memberikannya. Aku siap melawan.
Lima orang perusuh itu pulang terhuyung-huyung.
Aku memang tidak pernah berkelahi, tapi jurus-
jurus silat telah kulatih sejak aku ingat. Di
kampungku, anak-anak berlatih silat dengan
meloncat-loncat di batu kecil di tengah sungai,
mematahkan setumpuk bata, memanjat pohon
cepat, adalah hal biasa.
Tengah malam saat aku membereskan dagangan,
pemimpin perusuh itu datang dan menantangku
bertarung di belakang pasar. Aku
menyanggupinya. Ini sudah tekadku. Si Gajah,
pemimpin perusuh itu, memang berbadan besar
dan pukulannya keras. Tapi dia tak berkutik di
depanku. Badannya babak belur. Mungkin
tangannya patah karena aku terlalu keras
memukulnya.
Aku memang sudah berniat membuat kapok
kelompok perusuh itu. Tapi tidak kurencanakan
saat mereka mengaku takluk, mohon tidak
diganggu usahanya, dan bersedia untuk setor
setiap bulan kepadaku. Aku tidak tahu pekerjaan
mereka. Tapi, setoran mereka termasuk sangat
besar bagiku. Sejak itu, aku berhenti bekerja di
warung nasi. Aku mengontrak rumah sendiri,
membuka warung kecil-kecilan. Penghasilanku
semakin tidak terbayangkan besarnya, ketika
seorang bos tempat hiburan menawariku, pada
malam-malam tertentu, mengamankan pertemuan
bos-bos lainnya.
Aku tahu yang dikerjakan mereka jahat semua.
Anak buahku meminta jatah di jalan-jalan yang
semakin luas. Bos tempat hiburan itu
mengadakanjudi terselubung kelas tinggi. Tapi,
aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Hidup
semakin menyenangkan dengan bergelimang
harta. Rumahku besar. Usahaku lancar. Wanita
cantik menemaniku. Aku jarang turun ke jalanan,
kecuali bila anak buahku laporan, tidak sanggup
menghadapi kelompok lainnya, aku turun dan
menghabisi mereka.
Tapi, imbalannya, aku tidak berani pulang ke
kampung. Di tempat tenteram itu aku tersiksa.
Ketika Ningsih menikah, aku datang pagi dan
pulang siang. Dan setiap Idul Fitri tiba, ketika
hampir semua anak buahku mudik, aku hanya
bolak-balik ke terminal, stasiun, atau bandara.
Akhirnya aku tidak berani pulang. Hanya kurirku, Si
Botak, yang pergi mengantarkan oleh-oleh untuk
Emak dan saudara lainnya. Dan sepucuk surat
kutulis yang menyatakan aku sibuk.
Kata Si Botak, Emak dan Ningsih masih selalu
menungguku. Mereka membuatkan ubi bakar dan
kue sampeu wedang kesukaanku. Mereka
mengharap aku datang, meski hanya satu jam.