Anda di halaman 1dari 146

Bangku terminal

Oleh RAHMAN    Selasa, 11 Agustus 2009 03:54

Malam kemarin.
Panggil saya Simon. Di terminal ini saya adalah
kucing liar, yang mencoba untuk menancapkan
kuku-kuku rapuhnya. Kususuri lorong-lorong gelap,
berlarian di antara gang-gang becek. Berebut
makan dan tempat tidur dengan sesama. Buat
kami, tak penting apa yang akan terjadi esok.
Bahkan kiamat pun kami tak peduli. Terkadang
saya berharap, begitu membuka kelopak mata
keesokan harinya, kiamat sudah datang.
Orang lalu-lalang, berbicara tentang banyak hal.
Tanpa sedikit pun memberikan ruang buat saya
untuk bertanya, tentang apa yang mereka
perbincangkan. Sepertinya saya ini tak ada,
sepertinya kami ini para gembel jalanan. Hanya
hiasan sudut-sudut kusam kota, pelengkap dari
sebuah kehidupan di megapolitan yang maha-
ganas ini. Satu jiwa yang tertidur, dari sejuta yang
terlelap. Mendengkur riuh, meski cuma beralaskan
kardus bekas, berbantalkan sebelah tangan.
Gembel tua itu tertidur, di tempat yang kemarin. Ia
menggeliat sejenak, sebelum kembali meringkuk
dan mendengkur riuh.
Saya tak kenal dia, ia juga tak kenal saya. Begitu
pula halnya kalian, tak kenal saya ataupun dia. Kita
tak saling kenal, bukankah sesungguhnya kita
hidup untuk saling mengenal? Dalam dekapan
embun yang terkontaminasi karbon dioksida
knalpot kendaraan siang tadi, kami para gembel
jalanan menikmati malam.
Mungkin saja gembel tua itu bermimpi, seperti
halnya benak saya yang sedang terbang menari di
dalam ruang khayal. Mengendarai BMW dengan
diiringi musik top fourty. Pasti saya akan mencibir,
seraya mendenguskan napas muak. Melihat para
gembel jalanan yang sedang lalu lalang
menyanyikan nada pilu, berharap ada sekeping
mata uang. Buat beli sebutir nasi.
Tiga tahun lalu saya masih duduk di bangku SD
kelas lima. Dan malam ini saya duduk di bangku
terminal Lebak Bulus. Memandangi pekat, ditemani
dengkuran gembel tua dari sudut sana.
Harusnya sekarang ini saya sudah berseragam
putih biru. Dan tengah sibuk dengan pelajaran
karena sebentar lagi akan EBTA, seperti yang
dibicarakan anak-anak sekolah sore tadi.
Bagaimana rasanya duduk di bangku SMP sebagai
murid kelas dua? "Ah..." desah saya. Saya tarik
oksigen dalam-dalam mengisi rongga dada,
menahannya sejenak. Baru kemudian
menghembuskannya perlahan.
Gembel itu memincingkan matanya dengan malas,
ketika saya merebahkan badan di atas bangku.
Saya bertanya pada diri sendiri apa yang mengisi
benaknya? Tidakkah dia menginginkan sebuah
kehidupan, sebuah keluarga? Sekali lagi saya cuma
bisa mendesah. Ah, bukan urusan saya.
Saya pun memejamkan mata, teringat kembali
akan Abah dan Emak yang telah meninggal. Rindu.
Lebih tepatnya saya butuh mereka. Seandainya
mereka masih ada, tak harus saya hidup seperti
ini. 
Abah cumalah seorang buruh angkut di Tanjung
Priok, tapi itu sudah cukup buat membiayai hidup
kami yang tinggal di rumah kontrakan. Sementara
itu, untuk membantu jalannya perekonomian
keluarga, Emak jadi kuli cuci, sedangkan sepulang
sekolah saya menjadi loper koran.
Suatu hari entah persisnya kapan, mayat Abah
diketemukan bersimbah darah. Menurut cerita
orang-orang, Abah  dibunuh oleh sekelompok
preman yang gusar karena Abah tak mau bayar
uang keamanan kepada mereka.
Sepeninggalan Abah, hidup kami morat-marit tak
karuan. Pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Pernah sempat saya dan Emak tidur di gerbong
kereta. Saya terpaksa meninggalkan bangku
sekolah karena Emak tak mampu membiayai.
"Wong untuk makan saja susah," begitu kata
Emak.
Akhirnya, kami terjerumus ke lembah hitam. Emak
jadi pelacur di Tanah Abang. Entah bagaimana
awalnya, Emak mau jadi pelacur. Satu yang pasti,
kehidupan kami  mulai membaik. "Mudah-
mudahan tahun depan kamu sudah bisa sekolah
lagi," begitu tutur Emak yang menggadaikan
tubuhnya untuk memuaskan birahi, demi lembaran
kertas bernama uang. Belum sempat aku
meneruskan sekolah, Emak pun menyusul Abah,
meninggal karena terkena penyakit kotor.
Tinggallah saya sendirian. Tak tahu harus
bagaimana. Harus kemana.
Uaah... saya menguap. Sejenak saya pandangi
gembel tua yang masih meringkuk bertabur
dengkuran. (Kelak di kemudian hari, gembel tua itu
akan saya panggil dengan sebutan Abah). Dan
saya pun  terlelap di sini. Di bangku terminal.
***
Ciputat, siang tadi.
Namaku Aryani. Ayah dan dua kakak tiriku
memanggil dengan sebutan Nona Bego. Entah apa
sebabnya, mungkin lantaran aku ini memang bego.
Terkadang masih saja aku kutuki ketololanku
tersebut. Kenapa aku terima begitu saja perlakuan
ayah tiriku? Bukan, dia bukan ayah! Dia adalah
iblis yang bertameng sebagai ayah. Coba pikir,
ayah macam apa yang bisa meniduri anaknya,
walaupun aku hanyalah anak tirinya? Tetap saja
aku masih anaknya.
Entah sudah berapa kali Ayah meniduriku. Untung
saja aku tak hamil. Sebab jika aku hamil, harus
panggil apa anakku terhadap ayah sekaligus juga
kakeknya? Usiaku baru dua belas tahun waktu itu.
Aku akhirnya melarikan diri dari rumah, berkelana.
Menarikan lekuk tubuhku yang mulai terbentuk
karena sekarang aku sudah enam belas tahun.
Asal tahu saja, aku bukanlah pelacur. Dan tak mau
aku menjadi pelacur, tak akan pernah.
Terus meliuk aku mengikuti ritme gelombang
kehidupan ciptaan manusia. Meski terkadang aku
teramat lelah untuk menjadi manusia. Aku rindu
Ibu, rindu hangat pelukannya. Lembut suaranya
kalau mendongengkan senandung tembang
jiwanya. Hingga akupun terlelap di dalam pelukan
nyamannya. Aku rindu Ibu.
Aku yakin, di alam sana Ibu menangis melihat
nasib putrinya ini. Ibu, berilah Ar kekuatan.
Kembali aku hanyut dalam kepiluan, hiruk pikuk
kendaraan tetap melaju tak peduli dengan jerit
batin ini. Kuhampiri tenda warung tegal
memainkan sebait lagu, berharap  ada sekeping
atau dua yang masuk ke saku.
Senja mulai merayap, semburat kilau jingganya
menyapu permukaan. Ragaku lelah, seperti halnya
dengan mentari yang mulai mengantuk perlahan
masuk ke dalam peraduan. Tapi di mana
peraduanku? Aku jadi ingat dengan seorang
teman, seorang sahabat yang selalu bersedia
mendengarkan setiap keluhku. Di mana dia
sekarang? Tak terasa sudah sebulan kami tak
saling sua.
Wisnu, nama temanku itu. Tapi aku lebih suka
memanggilnya Simon atau si Monyong. Karena
ketika dia marah, bibir tebalnya itu terlihat lebih
monyong. Seperti bibir... hi...hi... Aku jadi terkikik
sendirian. Rindu aku padanya, masihkah dia di
terminal Lebak Bulus? Setelah menimbang-
nimbang sejenak, akupun memutuskan untuk
mengunjungi Simon nanti malam. Di terminal
Lebak Bulus, semoga dia masih di sana.
***
Malam ini di tempat kemarin.
Panggil saya Simon. Malam kian menghitam, kelam
bertebaran   tutupi warna angkasa yang muram.
Dengan segenap kelelahan, dari bangku terminal
ini saya tatapi sang malam. Gembel tua itu sudah
terlelap di tempat yang kemarin.
Malam ini.
Sungguh amat ingin saya berkata-kata, membagi
cerita, angan, serta harapan. Tapi pada siapa?
Saya tebarkan pandangan ke sekeliling, cuma
temaram sinar lampu menyapa resah nurani ini.
Saya tebarkan pandangan ke angkasa, mencoba
untuk berkata-kata kepada bintang yang sedang
mengedip manja, kepada rembulan yang
tersenyum simpul di antara arakan awan masam.
Suara serak kekanak-kanakan itu, membuyarkan
lamunan. Saya putar leher ke arah panggilan,
seulas senyum terlontar dari bibir ini. "Ar!"
"Pa kabar, Mon?"
"Lumayan."
"Kamu?"
Ar tersenyum, "Sama."
Aku mendekatkan tubuh ke arah letak duduk
Simon, butir getaran merambat perlahan. Sebuah
gejolak aneh, yang entah datangnya darimana.
Selalu saja hadir, mengusikku ketika aku dekat
dengan Simon seperti malam ini.
Aku pandangi Simon, dia tersenyum ketika mata
kami saling taut. Entah dapat keberanian darimana
aku bertanya. "Kenapa kamu tak pernah mau,
Mon?"
Simon mengernyitkan alis tebalnya, kemudian
balik bertanya, "Mau apa?"
Aku jadi tersipu, sejenak tertunduk. Sebelum
kembali aku pandang sipit bola mata Simon,
"Bukan apa-apa," sahutku berbohong. Kembali aku
geser letak duduk lebih merapat ke arah Simon.
***
Hangat tubuh Ar mendamaikan, sungguh! Hasrat
berkata-kata yang tadi amat meletup-letup
menjadi redup. Saya lebih suka diam, menikmati
hangat tubuh Ar. Tanpa sadar saya pun merangkul
pundaknya, dan kemudian merebahkan kepalanya
ke pundak. Dengan lembut saya remas-remas
rambut lurusnya yang dibiarkan oleh Ar terurai
sepundak. Memainkannya dengan jemari.
Ada semacam getar yang terus mengusik saya,
ada sebuah tanya yang mengganjal lubuk hati ini.
Mungkinkan gembel macam kami bermain asmara,
membina suatu hubungan untuk kemudian
mengikatnya dalam sebuah tali perkawinan? Cuma
suara dengkuran gembel tua yang  meringkuk di
sudut sana menjawab tanya saya.
"Bisakah kita?"
"Bisa apa, Mon?" tanya Ar.
"Menjadi sepasang kekasih?" tanya saya ragu.
"Bisa saja."
"Kamu yakin?"
"Yang terpenting itu cinta. Jika ada cinta, apa pun
bisa, apa pun menjadi boleh."
Saya cuma terdiam, masih memainkan helai-helai
rambut Ar. Tiba-tiba saja Ar mendongakkan
wajahnya, kemudian mencium bibir ini. Saya cuma
mengikuti naluri, kemudian kami pun sudah saling
mengulum bibir mesra. Bersemaikan birahi, di atas
bangku terminal yang mulai berdecit teratur. Kami
bercinta, merengkuh nikmatnya madu dosa.
Saya pun sadar, kami cumalah gembel jalanan.
Tapi tak bolehkah kami turut merasakan manisnya
cinta? Mencicipi sedikit kebahagiaan? Meski cuma
di atas bangku terminal bukan di ranjang empuk
bersprei perak?
Ar sudah tertidur dalam pelukan, getar napasnya
terdengar beraturan. Dosa, rasa itulah yang
menghantui. Saya hela napas panjang, tapi kenapa
terasa begitu damai! Saya peluk tubuh Ar,
membisikkan kata sayang di telinganya. Ia pun
menggeliat manja, saya kecup keningnya.
Sejenak saya pandangi gembel tua yang masih
saja mendengkur di sudut sana. Yang sama sekali
tak dipusingkan oleh tanya tentang cinta, saya
lemparkan senyuman kepada gembel yang masih
terlelap itu. Kemudian saya peluk erat-erat tubuh
Ar (yang kelak di kemudian hari nanti akan saya
panggil dengan sebutan Mama).
Ooo...aah...uuumm, saya menguap. Dua hitungan
kemudian memejamkan mata. Dan tertidur di atas
bangku terminal, seraya mendekap erat tubuh Ar.

TAK LEKANG KARENA WAKTU (661)


OLEH: DIANINGTYAS KH
Dia ada di depan sana sekarang. Seperti pada
tanggal dan jam yang sama dua puluh tahun yang
lalu. Tapi, sekarang keadaan sudah lain. Saat ini
dia bicara di mimbar. Bicaranya tidak lagi berapi-
api. Tapi, masih saja mengandung wibawa.
Retorikanya semakin menarik, membuat semua
yang hadir memperhatikannya.
Beda dengan dulu, saat ia memberi sambutan
pada pesta perpisahan sekolah. Nadanya tinggi.
Semangatnya menyala-nyala. "Mari kita songsong
masa depan yang cerah! Maju terus pantang
mundur!" Dan tepuk tangan pun menggema. 
Setelah itu ia datang padaku. Duduk di sampingku
seraya mengatakan beratnya berpisah denganku.
Meyakinkan bahwa ia tak akan melupakanku
walaupun ia melanjutkan di negeri Paman Sam.
Membuatku percaya bahwa ia akan setia
selamanya.
Ia mengajakku keluar dari pesta yang pikuk itu.
Katanya ia ingin menyendiri saja denganku untuk
membuat kesan yang lebih mendalam. Aku tak
menolak permintannya. Karena aku memang
mencintainya. Bahkan teramat mencintanya. Lalu
peristiwa terlarang itu terjadi. Hanya sekali saja.
"Kamu melamun sejak tadi," terdengar suara tepat
di telingaku.
Aku menoleh dan membalasnya dengan seulas
senyuman pada si empunya suara. Dia! Ya, dia!
Dua puluh tahun lalu pun ia duduk di sampingku
setelah selesai memberikan sambutan. Seperti
saat ini.
"Pidatomu bagus," kataku tulus, untuk menutupi
kejut yang tiba-tiba datang di dadaku.
"Aku tak yakin apakah kamu benar mendengarkan
pidatoku tadi."
Pandangannya masih seperti dua puluh tahun yang
lalu. Tajam tapi menggoda. Usia bahkan mungkin
tak mampu mengubah cara mata itu bersinar.
"Kamu meragukanku?" tanyaku. Mungkin kalimat
retorika seperti itu juga pernah kuucapkan
padanya ketika ia menanyakan apakah aku
mencintainya.
"Pesta yang meriah," katanya.
"Hajatmu sukses," kataku mersesponnya. Dia
memang ketua reuni. Dia diam.
"Aku kangen kamu," katanya seolah tak
mendengar pujianku tadi padanya.
"Berapa anakmu sekarang?" tanyaku.
Beginilah, acara-acara reuni semacam ini pasti
akan dimanfaatkan untuk pamer keluarga.
"Dua," sahutnya malas.
Aku tersenyum mafhum. Mungkin ia tidak ingin aku
bertanya lebih jauh mengenai keluarganya. Tapi,
aku tak ingin ia bermalas-malasan menjawab
pertanyaanku.
"Pasti tampan dan cantik."
"Semuanya tampan. Padahal aku ingin seorang
putri. Istriku tak mampu memberikannya.”
Jadi itu masalahnya. Aku tak bertanya lebih lanjut.
Mungkin istrinya sakit. Diam-diam aku merasa
bersalah telah merusak suasana dengan
menanyakan  keluarganya. Kami terdiam beberapa
saat.
"Berapa anakmu," tanyanya tiba-tiba.
Aku sedikit terkejut. Tetap dengan ketenangan
yang nyaris sempurna aku menjawabnya.
"Berapa anakku? Satu. Perempuan."
"Suamimu...," ia tak melanjutkan pertanyaannya.
"Pergi. Menikah dengan perempuan lain."
Ia menatapku dengan pandangan tak mengerti.
Aku kembali tersenyum padanya. Kali ini dengan
sedikit mengangkat bahu.
"Sudah lama. Aku mampu, kok, hidup tanpa dia.
Aku sudah cukup bahagia hidup bersama Intan."
"Kamu..."
Aku mengisyaratkan padanya dengan jari agar ia
tak melanjutkan ucapannya. Jeda sesaat.
"Kupikir kamu tak akan datang," katanya.
"Kenapa tidak?"
"Aku kehilangan kontak denganmu selama ini."
"Kamu juga menghilang tanpa kabar."
"Aku sudah mencoba menghubungi kamu. Tapi,
tak pernah ada jawaban. Kamu hilang seolah
ditelan bumi."
"Aku tinggal bersama Eyang setahun setelah
UMPN-ku gagal."
"Kamu semakin cantik."
Pokok pembicaraan yang meloncat-loncat, pikirku.
"Terima kasih. Tapi, uban di kepala dan keriput di
wajah tak mampu membohongi orang bahwa aku
jauh lebih jelek dibanding dua puluh tahun yang
lalu."
"Kamu semakin dewasa dan matang."
Pujiannya semakin lama semakin menjadi. Dan hal
ini setidaknya membuat jantung tuaku berdenyut
dua kali lebih kencang.
"Jangan coba-coba merayuku hanya karena aku
tak bersuami," bentakku lirih dengan nada
bergurau.
Dia diam. Kemudian aku menolehnya. Ternyata, oh
Tuhan, ia tengah menatapku dengan pandangan
mata yang begitu memuja. Bahkan lebih memuja
dibandingkan dua puluh tahun lalu.
Untung saja aku terselamatkan oleh suara MC yang
memanggilnya untuk maju ke depan.
"Aku segera kembali," katanya.
"Aku segera pulang," sahutku tak mau kalah.
"Anakku menungguku."
****
Ting tong.
Pagi-pagi begini sudah ada tamu. Mungkin
pertanda akan ada tamu secara beruntun hari ini.
Padahal ini hari minggu. Dan semalam aku
kecapaian. Aku ingin istirahat.
Aku segera membuka pintu. Dia ada di muka pintu.
Aku menatapnya dengan pandangan tak mengerti.
Seingatku aku tak pernah memberinya kartu
nama. Bahkan undangan reuni pun kudapatkan
informasinya dari iklan teve.
"Aku mengikutimu tadi malam.”
Mau tak mau aku mempersilakannya duduk.
Secangkir kopi mungkin dapat kusuguhkan
padanya pagi-pagi begini. Baru juga pukul tujuh.
Belum sempat aku beranjak ke dalam, Intan
keluar. Kulihat ia tersenyum menyapa kami
berdua.
"Ada tamu rupanya," sapanya.
"Teman Mama. Kasih salam dong sama Om Alex."
Intan mengulurkan tangannya pada Alex sambil
mengucapkan salam. Alex terlihat sedikit ragu
ketika menyambut uluran tangan itu.
"Intan pergi dulu ya, Ma. Nini pasti sudah
menunggu."
"Hati-hati di jalan."
Intan pergi setelah memberikan ucapan selamat
tinggal pada Alex dan ciuman tangan padaku.
Pandangan Alex masih saja lekat padanya, sampai
ia menghilang di balik pintu gerbang.
"Sudah besar rupanya anakmu."
"Sembilas belas tahun lebih tiga bulan."
Aku sungguh tak tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Tapi, ia memandangku dengan
wajah yang berubah-ubah dan pandangan mata
yang aneh. Aku merasakan bahwa ia sedang
menuduhku lewat sorot matanya.
"Jadi kamu…," ia tak melanjutkan uacpannya. Aku
diam menunggu kata-kata selanjutnya.
"Pantas saja kami menghilang dariku. Rupanya
kamu menikah dengan laki-laki secepat ini. Karma
telah menimpamu ketika suamimu pergi dengan
wanita lain. Karma karena kamu telah
meninggalkanku begitu saja!"
Ia berucap begitu sambil menudingku. Ya,
menudingku. Seolah akulah segala penanggung
dan penyebab persoalanku dengannya.
"Jangan berkata jika kamu tak tahu apa yang kamu
katakan. Kamu sama sekali tak tahu apa-apa."
"Aku sudah tahu segalanya sekarang."
Ucapannya masih saja keras.
"Karma telah menimpaku sejak pertemuan kita
yang terakhir malam itu..." Aku sengaja tak
melanjutkan ucapanku. Biar dia mencari sendiri
makna kata-kata itu. Jeda sesaat. Kubiarkan
terlewati tanpa kata. Aku tak mau memandangnya.
Karena aku tahu ia tengah memandangku dengan
tatapan tak mengerti.
"Jadi dia..."
Aku diam. Tak merespon ucapannya. Tak
menanggapi tatapannya. Toh, tak ada gunanya
menjawab semua yang dipertanyakannya. Ia toh
sudah tahu bahwa Intan adalah putriku dan
putrinya. Meski ia tahu, semua tak mungkin
bersatu. Ia sudah punya istri dan anak-anak. Aku
tak mungkin masuk begitu saja dalam kehidupan
mereka walaupun aku punya Intan.
Aku dan Intan hanya sisa dari puing-puing masa
lalu laki-laki yang kini tengah duduk di depanku
dan sedang memandangku penuh harap. Tapi
puing dari masa silam tak mungkin dipunguti lagi.
"Katakan. Dia anakku, bukan?"
"Ya. Dia memang anakmu. Tapi jika kamu
menanyakan hal lain, aku jawab tidak."
Aku melihat dia menarik nafas lega. Matanya
berbinar. Keinginannya untuk punya anak
perempuan terpenuhi. Sesaat dia terdiam. Lalu dia
mengambil KTP dari dompetnya. Ditunjukkannya
KTP itu padaku.
"Lihat ini. Aku belum menikah. Masih bujang,"
katanya.
Aku semakin tak mengerti. Apa-apaan ini.
"Semalam aku membohongimu. Aku mencoba
mengujimu apakah kamu jujur untuk
membicarakan tentang keluargamu. Kupikir kamu
akan malu menceritakan keadaan keluargamu jika
kamu tahu bahwa aku belum berkeluarga.
Ternyata kamu jujur. Hanya aku saja yang terlalu
bodoh menyadari getaran-getaran dalam
bicaramu. Aku mencintaimu. Sehingga aku
bertekad terus membujang sebelum dapat
menemukanmu. Aku merasa bersalah."
Kalimat-kalimat panjangnya sudah selesai. Tapi
otakku masih saja sulit mencerna makna kalimat
itu. Kurasakan aku memang bebal. Dan aku
semakin terkejut saat tiba-tiba Alex menarikku ke
dalam pelukannya dan memberiku ciuman.
"Ingat, Lex. Aku tak ingin peristiwa bodoh itu
terulang lagi," kataku sambil menjauhkan diri
darinya.

Guru di Sinetron (662)


Cerpen : Agus Fahri Husein

Jam setengah sepuluh malam saya sudah pulang,


biasanya lebih malam lagi. Peristiwa-peristiwa
terjadi silih berganti. Isu-isu seputar presiden,
tabrakan kereta, tawuran pelajar, tawuran preman,
perang antarkampung, harga gabah, dan apalagi
kalau bukan demonstrasi-demonstrasi. Saya
sebenarnya lelah memegang halaman satu. Setiap
malam begadang menyortir berita-berita paling
“menjual”, dan akhir-akhir ini tidak pernah ada
kabar menggembirakan yang bisa dimuat di
halaman satu.
Istri membuka pintu, cemberut seperti biasa kalau
saya lupa membawa kunci pintu. Dia mesti berjaga
sampai saya datang.
“Tadi ada yang nelepon, katanya dari studio.”
“Kenapa enggak telepon kantor atau HP?”
“Kantor bilang sedang dead-line. HP-mu off.”
“Dia bilang apa?”
“Abang ditunggu malam ini juga. Katanya penting,
skenario Abang mau diproduksi.”
“Ya sudah, aku pergi lagi. Mana kunci pintu?”
Untunglah saya punya istri yang mengerti
bagaimana cara kerja saya yang tak peduli siang
tak peduli malam.  Kalau tidak demikian, bisa-bisa
setiap hari berkelahi.  Saya meluncur ke studio.
Skenario saya disetujui produser untuk diproduksi.
Saya dipertemukan dengan sutradara dan
diperkenalkan dengan pemeran Guru. Tidak ada
yang istimewa dalam skenario saya. Ceritanya
biasa saja tentang seorang guru yang
bereksperimen dengan konsep pendidikan semesta
yang pernah dipelajari di perguruan tinggi.
Memang jarang sarjana mau mengajar di pedesaan
terpencil dan miskin. Tapi ini pengecualian. Karena
itulah skenario ini ada. Guru ini setelah mengajar
di sekolah, berkeliling desa mengajari orang-orang
beternak ayam negeri, membuat kerajinan,
bertanam holtikultura dan yang lain-lain. Dan dia
disokong oleh sebuah LSM di kota dalam
pendanaan dan pemasaran.  Dengan cara itu,
pendapatan orangtua murid meningkat dan pada
gilirannya mereka tidak lagi memiliki alasan untuk
mengeluhkan biaya pendidikan anak-anaknya.
Mereka sukarela memberi sumbangan ke sekolah
untuk menggaji guru sukwan (sukarelawan) yang
tidak digaji pemerintah.
“Cerita yang bagus sekali,” kata Bung Produser.
“Kita akan produksi tanpa perubahan sama sekali.
Mungkin hanya ada perubahan sedikit pada setting
dan property. Sebaiknya Pak Sutradara yang
menjelaskan masalah ini. Dan saudara Bintang
nanti bisa menambahkan.”
Saya memandangi Sutradara. Saya tidak kenal
dekat. Tapi siapa pun tahu, terutama yang
menyukainya, dialah yang membikin film-film
Sekwilda (sekitar wilayah paha dan dada). Sudah
sejak lama saya tidak menyukainya. Sebagai
seniman dia tidak punya prinsip, dan karya-
karyanya cenderung mengikuti selera rendah. Bagi
saya karyanya bukanlah kesenian, pantas
dimasukan keranjang sampah.
Ternyata dugaan saya tidaklah terlalu melenceng.
“Saya hanya ingin menambah settingnya saja agar
lebih enak dan menghibur untuk ditonton.
Dialognya utuh, tidak ada satupun yang diubah,”
kata Sutradara memulai.
“Memangnya setting saya kenapa?” tanya saya.
“Rumah guru yang dibangun dari papan bekas,
sepeda reyot, sepatu butut, rak buku ala kadarnya,
lalu gedung sekolah yang hampir rubuh. Maaf, ya,
Bang. Sinetron ini, kan, produk komoditas, jadi
harus mempertimbangkan aspek penonton. Kita
belajarlah dari film-film India atau Amerika Latin.
Yang disukai penonton itu yang seperti itu.”
Saya mulai merasa tidak enak. “Lalu?”
“Saya bikin settingnya agak bagus sedikit. Kami
sudah hunting lokasi. Ada foto-fotonya,” dia
memberi isyarat ke Produser yang kemudian
mengeluarkan amplop besar dari lacinya. Lalu dari
amplop besar itu dikeluarkan foto-foto dalam
ukuran 10 R.
Ganti Produser yang menerangkan. “Ini gedung
sekolahnya, sekolah standar internasional, ada
lapangan basket, lapangan voli, laboratorium,
musala, kantin….”
Saya menggeleng cepat. “Tidak masuk akal.
Gedung sekolah seperti itu hanya ada di Jakarta,
itu pun cuma beberapa biji, tidak mungkin ada di
sebuah desa terpencil.”
“Namanya juga cerita Bang. Abang dengar dulu. Ini
dia rumah guru,” dia menunjukan rumah joglo Jawa
dengan halaman luas dan pohon-pohon sawo. “Ini
interiornya.” Foto-foto yang lain menunjukkan
bagian dalam rumah itu. Mebel-mebel ukir antik
dari kayu jati. “Nanti masih akan diganti properti
lain yang lebih modern, televisi, cd-player,
komputer, lemari es, dan lain-lain. Bagaimana
Bang!”
“Omong kosong. Tidak mungkin seorang guru bisa
memiliki semua ini. Hanya Kanjeng Raden
Tumenggung yang memiliki rumah seperti ini.”
“Namanya juga cerita, Bang. Yang penting kita
bisa meyakinkan pemasang iklan bahwa sinetron
ini akan mencapai rating tinggi.”
“Lalu pemeran guru yang saya usulkan?”
“Usul Abang dengan berat hati kami tolak, sebab
aktor yang Abang usulkan itu sudah telanjur
terkenal memerani tokoh-tokoh antagonis. Maka
saya ambil saudara Bintang, dia sudah biasa
dengan tokoh protagonis. Aktingnya juga
lumayan.”
Saya memandangi Bintang. Aktor ini terlalu
tampan untuk memerani tokoh seorang guru. Dan
lagi, kalau jadi, wajahnya sama sekali tidak cocok
untuk tinggal di rumah joglo Jawa.
“Apa Abang keberatan dengan perubahan setting
ini?”
“Apa? Keberatan?” Saya tiba-tiba jadi naik darah.
“You mau bikin film atau apaan? Kalau you serius,
ambil itu skenario seutuhnya, pakai sutradara dan
aktor yang aku usulkan! Aku menulis skenario
berminggu-minggu, membaca buku dan
mewawancarai banyak guru. Aku tidak main-main
menulis cerita. Seperti itulah kenyataan hidup
seorang guru. Pakai cerita itu seutuhnya atau tidak
sama sekali!” Saya menggebrak meja.
Sutradara dan Bintang tampak pucat pasi. Dasar
seniman picisan. Baru ada orang menggebrak meja
saja sudah ketakutan.  “Abang jangan marah-
marah begitu. Abang mengertilah. Bisnis audio-
visual seperti ini besar investasinya, dan belum
tentu cepat kembalinya. Abang tahu enggak, untuk
Sinetron Guru ini saya invest   lebih dari enam
puluh juta Bang. Belum lagi nanti dari para
sponsor. Bayangkan enam puluh juta, Bang,”
Produser merajuk.
“Jadi , dengan duit segitu you mau bikin sinetron
bagus? Yang benar saja. Sudahlah. Cari penulis
lain. Mana naskahku?” saya mengulurkan tangan
sambil berdiri.
“Tapi Bang, bukankah naskah itu sudah dibayar?”
“He, you pingin duit kembali? Oke! Besok duit
kembali. Sekarang mana naskahku?” Saya
menggebrak meja lagi.
Sutradara dan Bintang semakin ketakutan. Segera
naskah saya sambar dan beranjak pergi. Sampai di
luar baru saya ingat sesuatu. Berbalik lagi ke
dalam. Produser tampak kecewa sekali. Melihat
saya kembali dia berdiri hendak berkata-kata. Saya
memberi isyarat supaya dia duduk kembali.
“Sebelum aku lupa, aku ingin mengatakan ini.”
“Apa, Bang?” Produser tampak penuh harap.
“Sialan!” Segera saya keluar dari situ. Perasaan
muak membiki sesak nafas. Saya terus meruntuk
dalam hati.
Sampai rumah istri belum tidur, masih saling
pandang dengan televisi. Tampak dia sengaja
menunggu saya.
“Jadi diproduksi, Bang?” tanyanya.
Saya menggeleng dan dia tidak bertanya lagi.
Memang bagus begitu, jadi saya tidak perlu
menerangkan. Segera saya ke kamar mandi,
mengguyur tubuh dengan air hangat. Seandainya
saya mengorbankan setting, naskah itu jadi
diproduksi. Tetapi itu berarti saya ikut andil dalam
penipuan. Dengan mempertahankan setting itu
saya mesti mengembalikan honor.  Tidak apa-apa.
Paling tidak saya bisa berpuas diri, bahwa saya
termasuk penulis yang mempertahankan
kebenaran, yang tidak sekedar mengarang-
ngarang. Mungkin saya akan terkucil, tidak
mengapa.
Meskipun demikian saya tetap berharap, suatu
saat nanti mungkin setelah saya mati, akan ada
orang yang menemukan naskah saya dan tergerak
hati untuk memproduksinya. Dan jika saat seperti
itu tiba, saya yakin naskah saya masih sesuai
dengan kenyataan. Sampai beberapa generasi
mendatang, saya jamin tidak akan ada
perubahan.***
Cilegon, 2000.

PETOJO (662B)
OLEH: MOCH DANIEL BANGU

Entah roh geblek mana yang menyelubungi


sebagian penghuni Petojo, Jakarta Pusat. Gerak
gerikku sering diperhatikan. Dari pakaianku,
tatapanku bahkan kalau aku lari pagi, kurasakan
aku sering dicurigai.
Padahal senyumku sering kubiaskan.
Mengharapkan suasana yang harmoni. Namun,
hawa itu masih tetap kurasakan. Mungkin karena
aku belum mendapatkan pekerjaan lagi, setelah
keluar dari perusahaan furniture di Bekasi.
Sungguh tak menyenangkan menjadi
pengangguran di kampung orang. Aku memang
menyukai tempat kosku ini. Karena tak ada kumpul
kebo, atau memang aku belum tahu. Ibu Ical yang
asli orang Ambon sangat baik kepadaku. Dia sering
mengikhlaskan koran atau pun majalah yang telah
dibacanya. Untuk kuambil dan kubaca, mumpung
gratis. Dan beberapa penghuni kos yang tak kalah
baiknya kepadaku.
Aku kadang mengirimkan cerpen karyaku ke
beberapa majalah dan tabloid untuk mengisi
waktuku yang kosong. Tapi kebanyakan ditolak.
Memang kuakui cara penulisanku yang masih agak
kacau, belum lagi aku tak pandai mengetik. Namun
aku terus berusaha untuk memperbaikinya. Teman
sekamarku yang bekas Anak Buah Kapal selalu
memberiku support.
"Bagaimana Nel. Jadi tidak pacarannya sama
cewek lokal."
"Cewek lokal? Apa maksudmu, Wan," balasku
memutar pertanyaan Iwan yang tak kumengerti.
"Ah kami seperti tak mengerti retorika kita sehari-
hari," Iwan dengan gaya kapten kapal menunjuk
arah kanan dinding kamar. Kini aku mengerti.
Gadis SMU itu memang sering mengisi lamunanku.
Apalagi rumahnya di belakang kamarku, hanya
beberapa meter dari rumah-rumah mungil di
belakangnya. Senyumnya mengingatkanku kepada
anak seorang pembeli kursi sofa di daerah bagian
Bekasi. Waktu itu ia memmbawakanku sebotol air
es, disaat aku sedang memperlihatkan brosur
furniture kepada ibunya. Kutaksir umurnya sekitar
enam belas tahun, karena wajahnya masih  ayu
tanpa polesau pabrik. Tingkahnya ngelangutkan
jiwa. Dan sungguh kasihan nasibku. Waktu
kutelepon ingin bicara dengannya, ibunya
melabrakku dengan kata-kata....
"Hei jadi tidak!" Iwan membuyarkan lamunanku.
"Payah, Wan. Mungkin nanti kalau kita sudah jadi
orang kaya."
"Ha ha ha, dan tak ada lagi yang curiga. Ha ha ha."
Aku dan Iwan kembali hanyut dalam tawa
*****
Sudah beberapa hari ini aku hanya mengurung diri
dalam kamar. Aku merasakan orang-orang
menyangkaku lagi fly. Karena Iwan kerja di night
club sebagai waiter dan mereka mengira kita
pengedar narkoba. Aku sering tertawa sendiri
membayangkan piciknya otak-otak di kompleks ini.
Prangko Malcolm X yang tertempel di pintu
kamarku mungkin disangka bandar sindikat.
Celana loreng pemberian temanku yang lulus
kepolisian Brimob, bisa jadi dikira pemberian
beking.
Inilah Jakarta dalam segenap kecurigaan. Aku
memahami semua itu dan tetap bertahan. Pasti
Allah Sang Pencipta akan memberikan kemudahan
bagiku. Sesuai prinsip hidup di balik kesusahan ada
kemudahan. Selagi kita mau berusaha dan berdoa.
Malam itu, sepertinya Iwan sudah pulang.
Kudengar bunyi sepatu di luar kamar. Dan benar,
ia masuk dan membawa bau kaki.
"Cuci dulu kakimu," pintaku dengan tangan
menutup hidung. Iwan hanya diam dan langsung
keluar dari dalam kamar. Semenit kemudian ia
masuk lagi.
"Kasihan Nel." Iwan menghempaskan pantatnya di
lantai. Ia mengambil sebuah majah Donal Bebek.
Terlihat guratan di wajahnya menggambarkan
berita kesedihan yang dibawanya.
"Kasihan kenap,a Wan?" Aku berdiri dan segera
menyetel lagu daerah asalku dan Iwan untuk
menenangkan suasana hatinya.
"Pasi-pasire..odoi ngokoware tatilio tembe...,"
sayup-sayup terdengar lagu ceria. Wajah Iwan
sedikit berubah dari yang sebelumnya.
Aku dan Iwan memang sudah seperti saudara.
Selalu berbagi dalam suka dan duka. Walaupun tak
ada pertalian darah di antara kita.
"Si Topik, Nel," ucap Iwan.
"Si Topik. Oo Si Topik tukang sate," tanyaku
menyambung ucapannya.
"Kenapa Wan," aku mengambil sebatang rokok dan
kemudian membakar ujungnya.
"Tadi setelah selesai makan satenya." Iwan
menutup majalah Donal Bebek dam berganti
memegang kepalanya.
"Ia berbisik kepadaku, katanya adiknya sakit dan
dia butuh uang."
"Berapa?" Aku mengambil dompetku dan
tendangan kaki Iwan yang kudapatkan. Sesaat kita
hanyut  dalam tawa.
"Cak Topik penjual sate terbaik yang kami kenal. Ia
sering mengutangkan satenya, kalau lagi bokek.
Dan dia pernah mengatakan, aku dan Iwan adalah
pengutang tercepat dalam soal pelunasan.
"Bagaimana Nel?" Iwan bertanya lagi dengan sisa
tawa.
"Yang pasti, walau agak berat, aku katakan tidak
ada. Ia pun memakluminya. Sambung Iwan
menjelaskan.
"Hutang satemu sudah berapa Wan?"
"Ah belum dua puluh ribu," jawab Iwan dan
mengambil sebatang rokok.
"Eh Wan ada sayembara," ujarku mulai memancing
lagi
"Dengan total hadiah 1000 triliun," sambung Iwan
lebih lihai. Dan dinding kami terdengar ditonjok-
tonjok orang dari luar, malam itu. Karena agak
terganggu dengan suara tawa kami.
****
Pagi yang indah batinku memuji dalam hati.
Kupandang dan kuhirup udara segar di depan
kamarku yang terletak di bagian luar rumah kos-
kosan. Setelah berlari-lari di tempat dan
menggerakkan otot-otot tubuhku.
Sudah beberapa hari ini aku selalu mengurungkan
niatku untuk lari subuh. Karena kakiku yang
telanjang sering dilihat. Jangan-jangan pulangnya
bawa sepatu atau sandal. Mungkin begitulah isi
pikiran orang yang melihat kakiku yang selalu
telanjang kalau lari subuh. Dasar orang kompleks
yang picik, gerutuku memaki dalam hati.
Aku duduk di kursi rotan dan membaca surat kabar
yang ada di sebelah kursi rotan yang satunya lagi.
Mataku tertuju pada sebuah kolom nostalgia yang
menceritakan sejarah kampung-kampung di
Jakarta. Aku ingin mengirin surat ke redaktur koran
ini. Agar dimuatkan sejarah tentang Petojo.
"Nel ada lowongan," setengah berteriak suara Iwan
dari dalam kamar. Aku tak mempedulikan. Aku
sudah bosan. Lowongan penipu.
Tapi Iwan keluar dari kamar dan memperlihatkan
sebuah lowongan tentang dicarinya orang yang
kerja di salon kecantikan.
"Ha ha ha," aku dan Iwan kembali tenggelam
dalam tawa, mengingat kita pernah dikira homo
seks.

SYUKUR
OLEH: DARMA
Pagi masih kelabu, langit tersaput mendung tipis.
Tanah becek, genangan air berwarna coklat ada di
mana-mana, sisa hujan semalam. Tapi, pasar mulai
ramai dengan teriakan para pedagang. Hiruk pikuk
orang lalu lalang serta desakan becak sesekali
melewati keramaian di tengah pasar. Mereka
seakan tidak peduli dengan langit yang lagi
mendung atau keadaan yang semakin kotor.
Sampah bercampur air yang berwarna hitam
berserakan di sana sini. Apalagi sekarang hari
Minggu. Semua seolah berlomba-lomba  membeli
apa yang dibutuhkannya.
Aku coba menghindari genangan air di samping
kiriku.
"Awas, Bu, nanti ditabrak becak!" teriakan tertahan
dari arah yang berlawanan membuatku tak dapat
menghindari genangan yang berwarna coklat
kehitaman bercampur sampah itu. Entah siapa
yang berteriak. Meski selamat dari senggolan
becak, sebagian celanaku telah berubah warna
dari hitam menjadi coklat dan belepotan percikan
air kotor. Aku hanya bisa memandang cipratan air
tersebut sekilas, lalu kembali menyayunkan
langkah. Berdesakan di antara para penjual,
pembeli, tukang copet, becak, motor, bahkan
mobil, dan entah apa lagi.
"Wortel, buncis, kentang. Seribu lima ratus satu
kilo!"
"Kolnya Bu. Seribu tiga ratus satu kilo."
"Ayam potong! Ayam kampung! teriakan para
penjual kaki lima semakin nyaring menawarkan
dagangannya. Aku bergeser ke pinggir jalan. Orang
semakin ramai dan aku tak ingin terdesak semakin
dalam di tengah keramaian orang. Rawan. Banyak
pencopet. Bisa-bisa duit amblas sebelum selesai
belanja. Mendung telah berlalu. Udara mulai
panas. Gerah. Kantong belanjaanku cukup berat
untuk diangkat dengan satu tangan.
"Bu, saya angkat barangnya." Seorang anak kira-
kira berumur sebelas tahun berdiri di sampingku
sambil menawarkan jasanya.
"Ya, Bu... saya bantu." Ia mengulang perkatannya
ketika melihat aku diam saja tak meresponnya.
"Tidak usah. Saya masih mau keliling sebentar."
"Tidak apa, Bu. Nanti saya antar ke sana. Sini saya
bawa barangnya. Biar keliling pasar juga saya
kuat, Bu." Akhirnya kulepas belanjaanku dan
diambil alih oleh anak pengangkat barang itu.
Banyak anak seumurnya yang berkeliaran
menjajakan tenaganya untuk mengangkat barang
belanjaan. Terkadang aku iba melihatnya, dengan
tubuh yang kurus, mereka malah memaksakan diri
mengangkat barang yang tergolong cukup berat
untuk ukuran dirinya. Ongkosnya terserah yang
punya barang. Yang penting mengertilah.
Anak itu cukup lincah meski satu kantong
belanjaan yang menurutku berat berada di
bahunya. Sesekali aku tertinggal agak jauh di
belakangnya. Kadang aku memegang kantong
yang dipikulnya. Takut hilang. Bisa runyam nanti.
"Jangan takut, Bu. Saya tidak lari kok. Nama saya
Syukur." Aku cuma tersenyum menanggapi kata-
katanya, seakan menebak kekhawatiranku.
Akhirnya aku berhenti memegang belanjaanku.
Kata-katanya tadi memberi sedikit rasa percayaku.
"Kamu masih sekolah?" tanyaku sambil berusaha
melewati celah-celah becak yang macet di tengah
jalanan pasar.
"Masih, Bu, kelas lima. Itu sekolahnya di depan
sana." Tangannya menunjuk ke arah yang
berlawanan dengan arah yang kami tempuh.
"Saya begini kalau sore atau lagi libur."
"Uangnya untuk apa?"
"Yah untuk beli beras, kalau cukup ikan juga.
Kadang-kadang ditabung buat ongkos sekolah atau
beli buku.
"Orang tuanya kerja apa?" tanyaku penasaran.
"Bapak saya pemulung, sedangkan Emak bantu-
bantu saja. Tapi Emak lebih banyak di rumah,
habis ada adik kecil yang harus dijaga. Hasilnya
tidak seberapa. Jadi, saya juga kerja. Biar bisa
sekolah. Kerja begini, kan, halal Bu. Daripada jadi
pengemis di lampu merah. Kata Emak itu tidak
baik. Kita harus kerja untuk mendapatkan uang,
bukan meminta-minta, orang malas kalau begitu."
Aku terharu mendengar penuturannya. Seumur dia
sampai sekarang jadi mahasiswa, aku belum
pernah berpikir memperoleh uang dengan kerja
apa saja yang penting halal. Semua tergantung
pada orang tua. Duit habis tinggal minta lagi.
Mungkin karena keadaan dia jadi begini. Aku jadi
malu mendengar penuturannya.
"Tempat sayurnya di sebelah situ. Kalau mau yang
lebih murah kita masuk agak ke dalam sedikit. Di
sana lebih banyak yang masih segar." Aku
mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara.
"Sini, Bu."
"Berapa Pak, bayamnya?" Kuacungkan seikat
besar bayam ke penjualnya.
"Seribu semuanya."
"Kurang sedikitlah." Syukur ikut menawar.
Ternyata ia lebih pandai menawar. Beberapa sayur
lain yang kubeli adalah hasil tawarannya, yang
menurutku lumayan murah jika dibandingkan bila
aku yang menawar. Setelah selesai kami kembali
berjalan. Aku menenteng sayuran yang barusan
kubeli.
""Biar saya saja yang bawa, Bu." Dia mengulurkan
tangan  kirinya sedangkan tangan kanannya
menahan kantongan yang kini kembali bertengger
di bahunya.
"Tidak usah, ringan kok."
"Masih ada yang mau dibeli, Bu?"
"Hm, tidak ada. Sekarang pulang. Sekalian
belanjaannya dibawa ke seberang ya." Aku
memintanya, soalnya tidak kuat rasanya
mengangkat semuanya sendiri. Apalagi
menyeberang jalan. Mana banyak mobil lagi.
"Biasanya kamu dibayar berapa sama ibu-ibu?"
"Ya terserah yang punya barang. Yang penting
ikhlas saja. Saya tidak memaksa dibayar mahal.
Buat apa mahal-mahal kalau yang memberi tidak
ikhlas. Percuma saja, kan, Bu." Aku semakin
tertarik bercerita dengan anak ini. Sayang, kami
telah sampai di jalan besar. Sebentar lagi aku tidak
lagi melihatnya. Setelah memberinya uang yang
kupikir cukup untuk membeli beras dan lauknya, ia
pun berlalu kembali ke tengah keramaian pasar.
Mungkin kembali menjajakan tenaganya kepada
ibu-ibu lainnya. Mungkin masih banyak cerita di
antara mereka ataukah mereka mempunyai cerita-
cerita yang hampir sama? Aku sendiri tidak tahu,
tapi setidaknya aku menjadi lebih banyak
bersyukur dengan semua yang telah kulalui
selama ini.                 
Makassar, April 00

TOBA, JANGAN LUPAKAN AKU  (662D)


Sides Sudyarto DS

Debby sudah putus asa. Ia tak mau lagi berdialog


dengan Andre yang sudah tak bisa diajak
berkompromi. Begitulah kalau baja ketemu baja.
Patah bisa, bengkok tak bisa. Keduanya sama-
sama teguh pendirian. Apalagi kalau sudah
menyangkut prinsip. Masalahnya, bagaimana dua
sejoli yang sudah merencanakan hidup bersama
ternyata mengalami pertentangan? Itulah problem
yang mengganjal Debby – Andre sekarang.
Sebenarnya dara Melayu yang ayu ini sehari-
harinya selalu menunjukkan kelembutan.  Lembut
alisnya, lembut jemarinya, lembut pula budi
bahasanya. Tapi entah kenapa, kalau sudah
mencapai titik didih, di mana ia merasa harga
dirinya dilangkahi, pastilah tampil sifat bajanya itu.

Andre yang perantau dari Jawa dan sudah lama


bermukin di Medan juga demikian halnya. Ia
dikenal sebagai anak muda yang kaya akan humor,
cerdas dan luwes bergaul. Tapi jangan coba
sepelekan harga dirinya karena ia akan siap
berbuat apa saja untuk mempertahankannya.
“Andre, permintaanku tampaknya sederhana saja.
Sudah lama kita berdua ke sana-sini. Keluargaku
tahu. Orang lain banyak melihat. Masyarakat
sudah lama bergunjing tentang hubungan kita.
Wajar kalau kita segera meresmikan hubungan
kita. Kalau kau anggap belum tepat waktu, ya
tunangan dulu. Nanti kalau sudah tepat waktunya,
baru kita pikirkan soal perkawinan. Apa aku
salah?” kata Deddy suatu hari.
“Deddy, kapan aku bilang kau salah? Aku hanya
minta kau bersabar sedikit. Tunggu sampai datang
saat yang tepat,” ujar Andre.
“Tahun dulu tidak tepat. Tahun kemarin tidak
tepat. Tahun ini belum tepat. Jadi tahun kapan
yang kamu anggap tepat?” kejar Debby lagi.
“Pokoknya nanti kalau sudah tepat saatnya, apa
yang kaumau akan kulaksanakan. Percayalah.”
“Ini masalah serius, Andre. Aku semakin tua. Apa
kata orang kalau sekian tahun lagi kita masih
begini?“
“Lo, aku juga makin tua, kan?  Apa maksudmu?”
“ Kalau perempuan terlambat kawin itu tak baik di
mata masyarakat.”
“Memangnya kalau lelaki telat kawin juga tidak
berdampak buruk terhadap nasib keturunannya?”
sahut Andre lancar.
“Kau sendiri pernah bilang, pekerjaan terberat
adalah menanti. Siapa yang bisa tahan menunggu
sepanjang waktu tanpa kejelasan dan kepastian?
Orang bilang, lebih baik cerai sebelum menikah,
ketimbang cerai sesudah jadi suami-istri. Aku tidak
mau konyol, terkatung-katung entah sampai
kapan. Kesabaran tentu ada batasnya. Kuberi kau
waktu sampai pekan depan. Kalau kau tetap keras
kepala, tidak mau memberi kepastian, ya sudah.
Tak usah lagi kau datang kemari. Hubungan kita
cukup sampai di sini,” gertak Debby.
Sebenarnya Andre sendiri sudah menyusun jadwal
rapi. Ia juga tidak akan memilih selain Debby.
Bertahun sudah ia menyelami isi hati Debby.
Bertahun sudah ia menyelami lubuk yang terdalam
batin kekasihnya itu. Hanya saja ketika ia digertak,
ia tidak bisa terima. Andre lebih suka dibunuh
ketimbang diancam atau digertak seperti itu.
Meskipun ia mempunyai selera humor yang tinggi
dan lawakannya sering mengocok perut orang,
seperti apa pun bentuk gertakan tidak bakal
diterima olehnya. Gertakan membuat hati dan
batinnya sangat terluka. Baginya digertak sama
dengan dihina.
Sejak itu Andre tak pernah datang lagi ke rumah
Debby. Untuk makan siang pun ia tidak keluar dari
ruang kantor redaksi. Ia hanya memesan makanan
dari sebuah kedai dan pesuruh kantor
menolongnya mengantarkan makanan itu
sekaligus membayarnya. Malam hari, Andre pilih
tidur di kantor, mandi di sana, istirahat di sana.
Beruntung baginya, para reporter anak buahnya
suka menemani tidur di kantor secara bergiliran.
Di lain pihak, gadis lembut berperangai halus itu
pun sangat tegar pula. Debby tidak pernah
mencari Andre. Mungkin ia jaga gengsi. Bahkan
menelepon Andre di kantor pun, ia tak mau. Maka
komunikasi pun terputus sama sekali. Sebenarnya
kian lama, Andre pun kian rindu. Ingin sekali ia
melihat wajah Debby, barang sedetik, namun itu
ditahannya sekuat tenaga. Mungkin, karena
masalah gengsi juga. Diam-diam Debby pun
demikian. Ia sudah sangat ingin jumpa wajah
kekasihnya. Ingin rasanya, satu pagi berjumpa. Ia
ingin meminta maaf, dirinya merasa bersalah
terhadap Andre. Pun, ia sangat bersedia untuk
memaafkan, seandainya Andre merasa keliru.
Hari ini Festival Internasional Danau Toba dibuka.
Seperti biasa, festival ini, yang sudah ditunggu-
tunggu kalangan wislok (wisatawan lokal) maupun
wisman (wisatawan mancanegara) diwarnai oleh
berbagai seni pertunjukan, pameran benda-benda
bersejarah serta seminar-seminar kebudayaan.
Andre merasa harus turun sendiri melakukan
liputan di lapangan, selain mengerahkan anak
buahnya.
Sekitar Danau Toba kelihatan meriah, pengunjung
padat sekali. Andre berada di tengah duyunan
manusia, membaur berjalan menuju dermaga di
sisi Danau Toba. Tak lama kemudian ia naik
perahu turis yang siap berlayar menelilingi Pulau
Samosir. Pagi itu, saat matahari cerah
mengirimkan sinarnya, sedikitnya tiga kapal, lebih
tepat disebut perahu tamasya yang cukup besar
menunggu calon penumpang. Di tangannya selalu
siap sedia kamera pegangannya, di pundaknya
tersandang tali tas cukup besar, yang sudah
dipenuhi mangga aranggaol dan pisang barangan
kesukaannya.
Di atas perahu tamasya Andre segera mencari
tempat duduk. Di pilihnya tempat strategis,
sehingga pandangannya tidak terhalang,
menyimak keindahan Pulau Samosir, lembah-
lembah, bukit-bukit, air Danau Toba yang bening
dan hening, serta langit biru tua, luas tanpa batas.
Tiba-tiba ia tersentak. Matanya memandang
seorang gadis yang duduk sendiri mengenakan
kacamata hitam dan di dadanya ada sebuah
kamera, talinya tergantung pada batang lehernya.
Ia yakin sekali bahwa gadis itu pasti Debby. Tetapi
apakah sekarang rambut Debby sependek itu ?
“Debby !” panggil Andre tak sabar lagi. Ketika
menoleh ke arah suara itu, Debby terkesiap
setengah mati, melihat Andre berdiri seorang diri.
“Andre !” pekik Debby tanpa menyadari, orang lain
memperhatikan dirinya. Keduanya saling
mendekap. Mata Andre sembap, Debby pun
meneteskan air bening dari pelupuk kedua
matanya. Kemudian keduanya duduk dan saling
terdiam untuk sesaat lamanya. Setelah  masing-
masing merasa  tenang, barulah pembicaraan
terdengar lagi.
“Maafkan aku, Andre. Aku telah berlaku kurang
santun padamu.”
“Maafkan aku, Debby. Aku orangnya terlalu
kaku...” Perahu tamasya terus melaju, angin pun
bertiup menyegarkan. Matahari terus berdenyar-
denyar menyiramkan sinarnya yang keemasan, ke
bukit-bukit, lembah-lembah, ke permukaan air
yang biru kehijauan, tenang dan memendam sunyi.
“Apa sebenarnya yang membuat kita jadi begini,
Andre ? Aku yang salah. Benar-benar aku
menyadari kekeliruanku,” ujar Debby.
“Lupakan Debby. Kau tidak terlalu salah. Aku juga
punya andil kekeliruan yang membuatmu berang.
Salahku, mengapa aku tidak menjelaskan
segalanya secara terbuka. Maksudku, begini. Aku
ini manusia biasa, Debby. Artinya aku ini orang,
yang lahir dari orang juga. Artinya, jelek-jelek, aku
ini punya ayah, punya ibu. Aku tidak lahir dari batu
atau kayu. Jadi, kalau aku melamarmu, untuk jadi
istriku, untuk jadi ibu dari anak-anakku, aku tidak
akan meninggalkan ayah ibuku. Ingin aku
membawa mereka datang ke orangtuamu,
meminang dirimu. Tak indah rasanya, jika aku
datang sendiri, melamar sendiri, untukku sendiri.
Begitu pola pikirku. Kau setuju ?”
“Kalau begitu, jelas aku setuju. Tapi kenapa kau
saat itu tidak bilang begitu ? Kau membuat
jantungku….”
“Nah, dengar dulu. Untuk memboyong ayah dan
ibuku, tentu aku perlu persiapan. Kau tahu sendiri,
pendapatanku berapa ?  Aku perantau seorang diri.
Berapa besar pengeluaranku, berapa jumlah gajiku
per bulan, kau tahu persis. Tiap gajian selalu struk
gaji dan uangnya kusetorkan padamu.
Kupercayakan kau untuk memegangnya. Apa aku
masih kurang serius ? Kau selalu curiga melulu….”
“Maafkan aku, Andre. Kalau saja kau bilang dari
dulu, aku tidak akan was-was. Aku takut
kehilangan dirimu. Kalau begitu sebenarnya tidak
ada persoalan di antara kita. Aku tidak akan
tinggal diam, Andre. Aku tidak ingin kau sendirian
berkubang dalam kesulitan. Aku bisa berbuat
banyak.”
“Aku tahu. Aku tahu, bahwa keluargamu orang
berada. Tapi kapan kita akan mandiri? Kalau masih
harus disusui, kapan kita akan dewasa ?” ujar
Andre. Debby kini telah kehilangan kata-kata.
Hatinya luluh, perih, pedih campur bahagia.
“Jangan tidur di kantor lagi, Andre,” ujar Debby
sembari menyandarkan kepalanya di dada Andre.
“Aku tidak tahan membayangkan kau tidur di meja
redaksi, berkasur koran bekas, berbantal koran
bekas,” sambung Debby pula.
“Mengapa rambutmu yang panjang bergerai kau
potong habis ?”
“Kukira kau sudah meninggalkan Sumatra kembali
ke Jawa!”
“Sekarang kau bawa kamera ke mana-mana ?”
tanya Andre pula.
“Sejak kau tak datang lagi, aku bekerja. Mencoba
mandiri.”
Sekali lagi Andre menyeka air matanya.
Didekapnya kekasihnya. Perahu tamasya terus
melaju. Awan di langit berarak lalu lenyap entah ke
mana.
“Apa yang kau lihat, Andre ?” tanya Debby saat
Andre melayangkan pandangnya.
“Toba, Samosir, air biru, langit biru, lembah dan
bukit-bukit,” ujar Andre.
“Tak mungkin kau lupakan Danau Toba, bukan ?
Terlalu indah untuk dilupakan.”
“Tak akan kulupakan Toba. Semoga Toba tidak
lupakan aku. Jangan lupakan aku, Toba!” ujar
Andre. Debby mencubit lengannya, hingga ia
memejamkan matanya.
****
DUA ANAK KECIL (663)
Yus R. Ismail

Anak kecil berusia enam dan lima tahun itu


mungkin sering lewat di depan rumah Rere.
Melihatnya pun barangkali Rere pernah, tapi dia
tidak memperhatikannya. Sejak pindah rumah ke
perumahan cukup padat ini dua bulan yang lalu.
Memang tidak banyak yang dikenal Rere, kecuali
tetangga dekatnya yang sering membeli sayur.
Rere baru memperhatikan dua anak kecil itu ketika
dia sedang memasak, pintu belakangnya ada yang
mengetuk dan suara cempreng melengking,
“Sampaaah!” Rere membuka pintu dan di
hadapannya dua anak kecil dengan baju kotor
berdiri. Yang lelaki menunduk melihat-lihat seputar
kakinya yang telanjang. Yang perempuan malu-
malu menatap Rere.
“Ada apa?” tanya Rere.
“Ada sampah, Tante? Nanti kami buangin.”
Rere melihat ke bawah kompor, dekat tabung gas,
ada dua kantong plastik yang sudah penuh
sampah. Sepengalaman Rere, di perumahan ini
tukang sampah memang tidak jelas jadwalnya.
Kadang seminggu tidak datang, sehingga sampah
menumpuk. Maka bila tukang sampah datang,
para ibu kompak ngomel, sedangkan tukang
sampah cuma nyengir. Rere mengambil dua
kantong plastik sampah dan menyerahkannya
kepada kedua anak kecil itu.
“Buangnya di mana?”
“Di depan, Tante, di tempat sampah pinggir jalan.”
Kedua anak kecil itu tidak beranjak. Mereka
merunduk, saling melihat. Rere mengerti, mungkin
mereka minta upah. “Nanti ke sini lagi, ya?” kata
Rere. Dua anak kecil itu tersenyum, lalu berlari
saling mendahului.
Lima belas menit kemudian kedua anak kecil itu
datang lagi. Mereka berdiri di depan pintu. Yang
lelaki selalu menunduk, melihat-lihat seputar
kakinya, lalu tersenyum malu saat ketahuan
mencoba melihat Rere. Yang perempuan seperti
tidak tenteram berdiri, karena Rere belum juga
memberi upah.
“Sudah pada makan?” tanya Rere.
Yang perempuan menunduk, tidak mau melihat
Rere. Yang lelaki mendongak tersenyum lebar,
kemudian melihat-lihat lagi seputar kakinya. Rere
menuntun yang perempuan. Yang lelaki mengikuti.
“Ayo masuk. Cuci tangan di keran itu, lalu duduk di
kursi itu. Tante akan bawakan nasi.”
Karena yang matang baru sayur kacang, Rere
membuat dua telur ceplok. Sesekali dilihatnya
kedua anak kecil itu berebutan mencuci tangan.
Setelah membalikkan telor, Rere melihat mereka
duduk di lantai. “Duduknya di atas saja, di kursi.”
Kedua bocah itu tersenyum, saling memandang,
menunduk, tapi tidak juga beranjak. Rere
menuntun yang perempuan dan mendudukannya
di kursi. Yang lelaki mengikuti. Mereka duduk di
pinggir kursi, seolah takut kursi itu akan rusak oleh
pantatnya
Ketika Rere memberikan nasi, keduanya tidak
segera memakannya. Yang lelaki tenggorokannya
turun-naik, sesekali mengintip nasi yang di simpan
di meja. Yang perempuan menginjak kaki adiknya.
“Ayo makan, mumpung masih panas,” kata Rere.
Mereka malu-malu mengambil piring. Tapi begitu
piring sudah dihadapannya, mereka begitu rakus.
Karena sayur kacang masih panas, lidah mereka
sibuk mengoper-oper makanan, mulut mereka
sesekali meniup, lalu tersenyum saat melihat Rere.
“Mau tambah lagi?” tanya Rere ketika dilihatnya
dua piring sudah bersih.
“Tidak Tante, sudah kenyang. Terima kasih. Tiga
hari lagi kami ke sini, siapa tahu sampah di sini
sudah penuh. Kami pulang,” kata yang perempuan.
Dia mundur dan keluar pintu. Yang lelaki mengikuti
sambil tersenyum kearah Rere. Setelah ada di luar
mereka berlari, tapi tidak begitu kencang, mungkin
karena kekenyangan.
Begitu awal mereka berkenalan. Selanjutnya Rere
banyak tahu dari tetangganya bahwa kedua anak
itu memang sudah biasa keliling perumahan,
menjadi tukang sampah swasta, begitu ibu-ibu
menyebutnya, atau disuruh ini dan itu. “Tapi
sekarang sudah jarang yang membuang
sampahnya. Maklum, lagi susah begini, memberi
lima ratus perak juga berat, apalagi memberi dua
piring nasi. Mendingan ditumpuk sebentar,
menunggu tukang sampah Pemda meski tidak
berjadwal, “kata seorang ibu. Rere tersenyum
Ibu-ibu biasa memanggil anak yang perempuan
dengan sebutan Gimbal, karena rambut anak itu
memang Gimbal, kotor. Dan yang lelaki biasa
dipanggil Botak, karena rambutnya memang
dicukur habis. Tapi ibu-ibu tidak ada yang tahu di
mana Gimbal dan Botak tinggal, sekolah atau
tidak, siapa orang tuanya, dan seterusnya.
Berbeda dengan ibu-ibu yang lebih suka
menunggu tukang sampah Pemda. Rere malah
tidak memberikan sampahnya ketika gerobak
kuning itu tiba. Rere lebih suka menungu kedua
anak kecil, Gimbal dan Botak. Menunggunya ketika
mereka makan, atau malah makan bersama.
Rasanya nasi jadi lebih enak ketika makan sambil
melihat kedua anak itu melahap nasi begitu
tergesa, tersenyum malu, sesekali matanya
terpejam karena kepanasan atau kepedasan.
“Nama Gimbal sebenarnya siapa?” tanya Rere
sekali waktu, setelah mereka makan bersama.
“Emak dan tetangga di sana biasanya memanggil
Nyai, dan adik saya, si Botak ini, Asep namanya.
Tapi orang-orang di sini tidak pernah menanyakan
nama, sih,” kata Nyai seperti yang menyesali.
“Makanya harus rajin mandi, keramas, biar tidak
disebut Gimbal.”
Asep tertawa dan bercerita, dia pernah sekali
keramas dengan sebungkus sampo yang
ditemukannya di kamar mandi masjid. Lalu mereka
pun bercerita tentang Emaknya yang bekerja di
warteg, mencuci piring-piring kotor. Rumah
kontrakannya yang kecil, Ibu pemilik rumah yang
sering marah-marah, ciata-cita mereka untuk
sekolah dan belajar nyanyi keras-keras, bapak
yang tidak pernah mereka kenal yang kata Emak
pergi jauh sekali.
“Enak dong kalau Emak kerja di warteg, setiap hari
dibawakan makanan.”
“Ah paling masak tempe. Enak masakan Tante,
banyak lagi,” kata Asep sambil tertawa.
“Eh, memang Nyai sama Asep mau sekolah?”
“Mau sekali. Saya mau belajar nyanyi biar nanti
bisa ngamen, bergabung dengan group dangdut
Bang Ucok. Kata Bang Ucok kalau saya rajin
latihan, suara saya bagus,” kata Nyai  berapi-api.
“Kalau saya mau belajar menggambar, Tante. Biar
nanti semua rumah digambari sama Asep. Kalau
rumah penuh gambar, maling, kan, takut. Gambar
bikinan Asep kan bisa bergerak seperti di film
televisi.”
Rere tertawa mendengarnya. Itulah saat-saat yang
membahagiakannya. Begitu mereka pulang dan
Rere memandangnya sampai mereka hilang di
belokan, selalu ada perasaan getir. Semestinya
Nyai dan Asep memang sekolah, bukan berkeliling
membantu membuang sampah atau disuruh ini
dan itu.
Ketika Rere bercerita tentang kedua anak itu
kepada Mas Andi, suaminya itu malah
menertawakan. Katanya Rere terlalu perasa
karena ada berjuta-juta anak seperti itu hidup di
Indonesia. Kebutuhan mendesak mereka untuk ikut
bekerja, tidak hanya bersekolah. Untuk mengasuh
mereka tidak gampang. Mereka dibesarkan jalanan
yang sering membuat seseorang begitu jahat.
Banyak yayasan yang membuka ruang belajar bagi
mereka, tapi nyatanya mereka tidak menganggap
belajar penting. Mereka mesti dibujuk-bujuk.
Diiming-iming sesuatu yang menguntungkan, baru
mereka mau belajar membaca.
“Nyai dan Asep lain, Mas. Mereka tidak hidup di
jalanan.”
“Itu hanya lamunanmu saja, Sayang. Mereka ke
sini tiga hari sekali. Kamu pikir hari-hari selebihnya
dihabiskan di mana?” Mas Andi mengusap-usap
rambut Rere. “Barangkali itu pertanda, sebentar
lagi kita akan punya anak.”
Rere tersenyum getir,  tapi kemudian memeluk
erat suaminya ketika tiba-tiba Mas Andi memangku
dan membawanya ke kamar.
Sekali waktu Nyai bercerita bahwa dia mungkin
akan pindah bersama Asep dan emaknya. Ibu
pemilik rumah berkali-kali datang dan hendak
mengusir karena emak Nyai sudah empat bulan
tidak membayar kontrakan.
“Terus pindah ke mana Nyai?”
“Entahlah, Tante. Mungkin kami bekerja lagi
seperti dulu,” kata Nyai dengan suara semakin 
pelan.
“Bekerja apa?” Nyai menunduk, tidak menjawab.
Waktu itu Nyai yang datang sendirian (kata  dia,
Asep mengantar Emak ke rumah saudaranya,
mencari pinjaman) tidak lama ada di rumah Rere.
Dia tidak bersemangat bercerita. Ketika Rere
memberinya uang lima ribuan, Nyai berkali-kali
mengucapkan terima kasih. Sorenya Asep datang
sendirian  (kata dia baru pulang mengantar Emak).
Rere mengajaknya masuk, tapi Asep tidak mau.
“Ada apa?” tanya Rere sambil berjongkok, biar
mereka sejajar.
Asep menunduk, memonyongkan mulutnya,
melihat-lihat sekitar kakinya yang memakai sandal
jepit pemberian Rere beberapa waktu yang lalu.
Rere menunggunya. Setelah lama ia baru bicara.
“Asep hanya ingin bilang, Tante orang paling baik
sedunia. Asep ingin memberikan ini,” katanya
sambil mengeluarkan lipatan kertas dari sakunya.
Rere menerimanya dengan perasaan bergetar.
Belum sempat Rere melihat isi kertas itu, Asep
berlari. Terus berlari meski Rere berkali-kali
memanggilnya.
Lipatan kertas itu dibuka Rere perlahan. Di
dalamnya ada gambar tiga orang sedang makan,
sambil tertawa di meja. Dua berbadan kecil,
mungkin anak-anak, seorang lagi berbadan lebih
besar. Memandang gambar dari krayon itu lama-
lama Rere merasa dibawa kembali ke masa-masa
bertiga , dengan kedua anak itu makan bersama.
Mereka bercerita dengan semangat, mengatakan
keinginannya, dan mengerjakan apa pun yang
diperintahkan Rere dengan segera.
Diam-diam Rere menangis mengingatnya,
terngiang kembali kata-kata Asep, anak kecil botak
itu: “Tante adalah orang paling baik sedunia.” Ah,
orang baik apanya? Menolong mereka pun Rere
merasa tidak mampu. Tapi barangkali bagi anak
seperti Asep dan Nyai, pengakuan dan
kebersahabatan yang pernah diberikan Rere
adalah hal istimewa yang sudah lama tidak
didapatkan dari siapa pun.
Rere merapikan gambar itu, menyimpannya
perlahan di album seolah sedang menyimpan
hadiah paling berharga yang pernah diterimanya.
Sejak itu, Nyai dan Asep tidak lagi datang ke
rumah Rere. Rere pernah mencarinya,
menanyakan ketetangga-tetangganya, tapi tidak
ada yang tahu. Mereka malah merasa aneh
mengapa Rere begitu antusias menanyakan si
Gimbal dan si Botak. “Masalah sampah gampang
saja, Jeng. Tumpuk saja di sudut, nanti juga begitu
gerobak sampah datang, keangkut semuanya,”
kata seorang ibu. Rere tersenyum getir
menanggapinya.
Maka begitu gembira Rere ketika hari itu melihat
Nyai dan Asep di depan pertokoan. Dari jauh dia
sudah menduga, anak perempuan  berambut
gimbal itu pasti Nyai dan anak lelaki berkepala
botak itu pasti Asep. Dipercepatnya langkah.
Begitu dekat, Rere tidak ragu bahwa itu Nyai dan
Asep, meski baju dan tubuh mereka lebih kotor
dari hari-hari biasanya, di tangan mereka ada
gelas plastik bekas air mineral yang diacung-
acungkan.
“Nyai, Asep, sedang apa? Masih ingat sama
Tante?”
Kedua anak itu  terkejut, keduanya saling
memandang setelah melihat Rere, lalu berdiri dan
berlari. Rere berteriak memanggil mereka, tapi
anak-anak itu tidak menghiraukannya. Berkali-kali
Rere menarik napas panjang. Rere ingat kata Nyai,
mungkin bekerja seperti dulu lagi. Mungkin
mengemis inilah pekerjaan yang dulu itu. Tapi
kenapa mereka mesti lari?
Dengan gontai Rere meninggalkan pertokoan.
Tidak semangat lagi dia mencari belanjaan. Rere
tidak tahu, dari balik tukang koran, dua anak
memperhatikannya. Mulut anak yang lelaki berkali-
kali membuka, ingin berteriak memanggilnya. Tapi
dia ingat kata emaknya,  “Jangan pernah lagi kamu
datang ke rumah tante itu. Malu. Kita sekarang
sudah jadi pengemis…”
Cerita buat Rere, Rancakalong-17 Agustus
2000……

ANAKKU ANAKMU (664)


OLEH: RINI KRISTINA

Senyap dan kelam melingkupi pemukiman


penduduk di kaki gunung Welirang. Jiwa perjiwa
telah pulas dalam tidurnya, setelah seharian
melakukan aktifitas masing-masing. Kesunyian
yang seakan berkepanjangan itu tiba-tiba dipecah
suara tangis bayi yangh berasal dari rumah di
bawah rerimbunan pohon bambu.
Dengan wajah pucat dan kegelisahan yang sangat,
sang ibu mencoba kembali meneteki bayinya.
Seperti tadi, tidak setetes pun air susu yang
keluar. Si anak yang masih berusia enam belas
bulan itu tangisnya semakin keras.
Dengan air mata meleleh, sang ibu yang masih
muda itu hanya bisa memeluk bayinya erat-erat,
tidak tahu harus berbuat apa di tengah malam
begini. Jika tidak punya rasa malu, ingin rasanya
membangunkan tetangganya untuk minta makan
supaya air susunya keluar. Namun, ia tidak
sanggup melakukannya.
Ia teringat Pak Soleh, tetangga sebelah yang
rumahnya hanya berjarak dua puluh meter dari
rumahnya. Juragan tempe yang tergolong orang
kaya di kampungnya itu kabarnya menjadi donatur
tetap sebuah yayasan panti asuhan. 
“Pak Soleh..Pak Soleh, kalau sampeyan orang yang
dermawan, tentu tidak akan membiarkan
tetangganya da;am kelaparan.” Sastri bergumam
pedih karena ia yakin tangis anaknya terdengar
sampai di sana.
Sementara itu di luar, dari arah selatan, seorang
wanita tua dengan rambut panjang acak-acakan
berjalan tergesa. Kedua tangannya membawa
piring dan gelas. Matanya yang setengah terbuka
karena ngantuk membuat langkahnya tersaruk-
saruk. Ia berjalan menuju rumah Sastri, dimana
suara tangis bayi itu sudah tak terdengar lagi.
"Tri..Sastri!" Mak Opah, nama wanita itu,
memanggil sang empunya rumah. Terdengar
sahutan dari dalam, lalu disusul suara sandal
diseret. Krieeet! Pintu terbuka. Seraut wajah lelah
menyembul keluar.
"Mak Opah...," suara Sastri terpotong karena Mak
Opah buru-buru masuk rumah dan menaruh
bawaanya di atas meja.
"Makanlah Sas. Sini biar Surip kugendong." Mak
Opah mengambil Surip dari gendongan ibunya.
Wanita tua yang baik hati itu menatap dalam-
dalam wajah Surip yangh agak membiru seraya
menepuk pantatnya pelan-pelan. Mata bayi itu
kemudian terpejam. Di antara desahan halus
napasnya, sesekali terdengar sedannya. Hati Mak
Opah tersayat melihat keadaan bayi itu. Keluarga
kecil itu bukan sanak bukan pula saudara, tapi ia
amat menyayangi mereka.
Di samping Mak Opah, di atas balai-balai, Sastri
makan dengan lahap dan tergesa. Lauk tempe
dengan sambal terasi terasa sangat nikmat, dalam
sekejap masuk perutnya yang sejak siang tadi
kosong. Ingin pula Sastri meneguk susuk sapi
puan, tapi perutnya sudah kenyang. Ia bergegas ke
dapur untuk menaruh piring dan cuci tangan. Tak
lama kemudian kembali ke kamar.
"Sebenarnya aku butuh dua orang lagi untuk
tandur. Namun, jika aku menyuruhmu, aku takut
Wiryo akan marah," kata Mak Opah sambil
menyerahkan Surip agar segera disusui. Bola mata
Sastri kontan berbinar-binar.
"Tidak apa-apa Mak. Saya siap menghadapi
kemarahan Cak Wiryo," ucapnya sungguh-
sungguh. Mak Opah tersenyum. Kepalanya
manggut-manggut. Dari balik kutangnya ia
mengambil selembar uang sepuluh ribuan, lalu
diselipkan di genggaman Sastri.
"Bawalah anakmu ke dokter. Ini tidak hutang, kok."
Setelah mencium pipi Surip, ia pamit pulang. Sastri
masih terpaku menatap uang itu hingga lupa
mengucapkan terima kasih. Begitu tersadar ia
langsung berlari keluar. Namun, Mak Opah sudah
jauh meninggalkan rumahnya.
Sastri menghela napas panjang, lantas berbalik
masuk ke dalam rumah. Surip sudah tidur setelah
puas menetek. Pelan-pelan ia turunkan di balai-
balai. Bayi itu menggeliat dan matanya sedikit
terbuka, kemudian menutup kembali. Sastri lantas
berbaring di sisinya, mengatur rencana dengan
uang sepuluh ribu itu.
Besuk ia membawa Surip ke Puskesmas saja yang
biayanya jauh lebih murah. Sisanya akan ia belikan
susu. Sudah dua hari ini susu anaknya habis.
Sebagai gantinya ia beri air tajin dan tadi pagi
Surip mencret. Ia tidak tahu apakah karena air
tajin itu yang membuat anaknya mencret. Yang
pasti ia amat sedih karena tidak bisa memberikan
yang terbaik untuk anaknya.
Makanan penuh gizi dan bervitamin hanya bisa ia
bayangkan tanpa sanggup membeli. Ia hanya bisa
memberi susu tambahan, itupun ia jatah hanya
segelas sehari. Jika melihat anak tetangganya yang
sehat dan gemuk-gemuk serta dibalut baju bagus,
hatinya makin tersayat.
Sastri menguap. Bersamaan dengan dentang jam
dua belas kali ia pun tertidur setelah lelah
menganyam pikiran.
****
Lelaki berparas gemuk yang bersedeku di pintu
truk itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling
pelabuhan. Ia melirik jam tangannya. Pukul dua
belas malam. Biasanya jam segini masih ada orang
yang berlalu lalang menikmati angin malam.
Namun, kali ini ia tidak melihat seorang pun. Para
awak kapal yang biasanya menghabiskan malam
dengan main kartu di geladak kapal juga tidak
tampak.
Jlegur....jlegur....! Ombak pelabuhan Ketapang
bergulung-gulung, bergemuruh bagai gempa yang
beruntun. Lelaki yang wajahnya dipenuhi cambang
itu menatap langit yang kelabu. Di sana, di tengah
angkasa terlukis wajah anak istrinya.
"Izinkan aku kerja, Cak, untuk membelikan susu
thole."  Ucapan istrinya kembali terngiang. Kata-
kata yang belakangan ini sering didengarnya dan
membuatnya hampir kehilangan kesabaran.
Keinginan istrinya itu benar-benar menohoknya ulu
hatinya, menurunkan harga dirinya sebagai suami.
Dan yang paling ia takutkan adalah cemoohan
orang-orang yang mengira dirinya tidak mampu
menafkahi keluarga.
"Thole harus jadi orang, Cak. Jangan seperti kita."
"Alasan!" tanpa sadar Wiryo mendengus.
Punggungnya dihempaskan ke jok truk. Terkadang
ia curiga istrinya ingin kerja supaya bisa hidup
enak seperti dulu dan keadaan anaknya yang
dijadikan alasan. Wiryo tahu bersuudzon itu tidak
baik. Apalagi kepada istri sendiri. Namun, ia tidak
akan berpikiran macam-macam seandainya Satri
bukan bekas wanita nakal.
Wiryo juga sadar, ia tidak mampu mencukupi
kebutuhan anak istrinya. Jangankan untuk beli baju
atau ini itu, untuk makan sehari-hari saja sering
tidak cukup. Sebenarnya, penghasilannya sebagai
sopir truk cukup lumayan. Namun, separo dari
upahnya ia gunakan untuk mengangsur hutangnya
di bank tiap bulan selama empat tahun.
Dua tahun lalu ia pinjam uang di bank sebesar lima
juta untuk memdaftar TKI ke Arab. Lebih dari
setahun ia belum diberangkatkan juga. Ketika
didatangi, ternyata PT itu sudah tidak ada, amblas
bersama uangnya.
Dengkuran keras di sampingnya membuyarkan
lamunan Wiryo. Rupanya  Juman, keneknya, sudah
dibuai mimpi. Dengan hati-hati Wiryo mengambil
buku karangan Muhammad Iqbal yang menutupi
wajahnya. Dibolak baliknya sebentar lalu ditaruh di
pangkuannya. Lantas ia memejamkan mata.
Dalam hati ia berdzikir untuk menenangkan
perasaannya yang tiba-tiba gelisah.
*****
Sastri keluar dari Puskesmas dengan hati tidak
karuan. Ucapan dokter Marlan terus terngiang. Hari
ini juga ia disuruh memeriksakan Surip ke rumah
sakit di Malang. Ia sudah diberi surat pengantar.
Namun, untuk ke sana, paling tidak ia harus
membawa uang seratus ribu. Mau pinjam Pak
Kandar, juragan suaminya, ia merasa sungkan
karena hutangnya yang dua ratus ribu belum
dibayar. Sastri menatap anaknya. Wajah mungil itu
tampak pucat dan membiru. Mata bocahnya yang
redup membalas tatapan ibunya. Duh, Sastri
tersedu. Akhirnya Sastri ke rumah Mak Opah untuk
menitipkan Surip, sementara ia akan ke Tretes
menemui Tante Lis, cari hutangan.
Kata satpam, Tante Nis sedang keluar. Sastri
berniat menunggu pemilik Wisma Srikaton itu di
salonnya. Di tempat itu ada Yuni yang tengah
bertugas menjaga salon. Kedua wanita itu
kemudian terlibat dalam obrolan yang hangat.
"Aku iri sama kamu, Sas. Ada pria yang
menerimamu dengan tulus. Pasti kamu bahagia,"
Yuni menatap lekat bekas teman seprofesinya itu.
Sastri tersenyum. Tidak mengomentari. Bahkan ia
balik bertanya.
"Kudengar kamu mau dinikahi Maliki?" Yuni
menarik napas panjang. Katanya sendu dengan
tatapan kosong ke atas.
"Dia anak orang terhormat. Tidak sudi punya
menantu seperti aku. Sebenarnya ia mau nekad,
tapi kularang..."
Adzan dhuhur berkumandang dari langgar di
samping salon. Seperti dikomando keduanya
berhenti bercakap untuk mendengarkan adzan.
"Kamu atau aku yang salat dulu," tawar Yuni
begitu adzan usai. Sastri menatap temannya
hampir tak percaya. Gumamnya serius.
"Kamu sekarang telah berubah Yun." Yuni
tersenyum tipis.
"Dosaku terlalu banyak, Sas.Oke, aku salat dulu."
Tanpa menunggu jawaban Sastri, gadis
bertampang indo itu menuju ke dalam. Satri
mengiringi kepergian Yuni sampai hilang di balik
dinding. Matanya berkaca-kaca. Pelacur memang
sumber kenistaan, tapi mereka juga manusia biasa
yang ingin hidup layak dan baik-baik seperti yang
lain. Juga punya kerinduan bercengkerama dengan
Sang Pencipta.
Sementara itu, hati Wiryo benar-benar meradang
saat diberi tahu Mak Opah kalau istrinya ke Tretes.
Tanpa berkata-kata lagi ia meluncurkan truknya ke
Wisma Srikaton. Ia yakin istrinya ada di sana.
Ternyata benar. Dari luar pagar, ia melihat Sastri
berdiri di tengah pintu, bercakap-cakap dengan
lelaki muda berambut agak gondrong. Jlug! Wiryo
melompat dari dalam truk dan menghampiri Sastri
dengan muka merah padam.
"Cak...!” Sastri terperangah dengan kedatangan
suaminya.
"Dasar pelacur. Anak sakit malah selingkuh." Plak.
Plak. Tangan kekar Wiryo mendarat berkali-kali di
pipi Sastri. Wanita kurus itu menjerit kesakitan.
Wiryo sudah kalap. Ia baru berhenti menghajar
begitu istrinya pingsan.
Lelaki muda yang hendak potong rambut yang
mencoba melerai terduduk di lantai, dadanya kena
pukul Wiryo. Yuni yang baru saja selesai salat
menjerit melihat keadaan Sastri. Gadis itu menatap
Wiryo lekat-lekat.
"Wiryo kamu salah paham!" Yuni mencoba
menjelaskan.
"Jangan membelanya. Semua sudah jelas." Wiryo
mencibir sambil melirik istrinya. Lantas
meninggalkan tempat itu.
Surip terkena infeksi lambung dan mondok di
rumah sakit selama seminggu. Selama itu pula,
Wiryo dan Sastri tidak bertegur sapa. Bahkan
sampai mereka pulang ke rumah. Tante Nis
terpaksa turun tangan dengan mengatakan yang
sebenarnya pada Wiryo.
"Ibu mana yang mau berdiam diri melihat anaknya
sakit," gumam Sastri setelah suaminya minta
maaf. Sore itu Sastri dan Wiryo duduk di depan
rumah, melepaskan uneg-uneg masing-masing.
Sementara Surip yang sudah agak sehat tidur
pulas di pangkuan ibunya.
"Aku sudah tahu semuanya." Satri menoleh
dengan kening berkerut.
"Tante Nis yang mengatakannya." Wiryo menatap
istrinya dalam-dalam. Dengan tangan gemetar
tangannya menyentuh pipi istrinya yang masih
membiru, bekas tamparannya kemarin. Sastri yang
manis tampak semakin kurus. Matanya cekung
dengan sorot yang menyiratkan kelelahan dan
penderitaan. Lalu, ia ganti memegang tangan
anaknya yang terjuntai lemas. Hati Wiryo tersayat.
Perasaan berdosa dan menyesal menyeruak.
"Cak..," bisik Sastri. Ia melihat sudut mata
suaminya berair. Wiryo menunduk. Katanya
dengan tersendat-sendat.
"Aku izinkan kau bekerja.Aku tahu salon itu khusus
wanita. Namun,  tolong jangan sia-siakan
kepercayaanku."
Sastri terasa mimpi mendengarnya. Agak lama ia
terpaku. Lalu bibir mungilnya tersenyum lebar.
Seraya menatap langit yang kemerahan,
tangannya membelai rambut suaminya yang ikal.
"Kau bekerja untuk anak kita, kan?" Wiryo
menegaskan. Sastri mengangguk mantap.

UNTAIAN KASIH (665)


Oleh: ANTIKA HAPIT
Nyonya Dewi Andini Hermansyah, seuntai nama
yang cantik, secantik orangnya. Penampilannya
sangat menawan dan mungkin orang tidak akan
menyangka bahwa dia seorang ibu dua anak yang
telah beranjak dewasa. Wajahnya seperti wanita
yang baru berusia tiga puluh tahun. Padahal boleh
percaya boleh tidak, usianya kini sudah empat
puluh delapan tahun. Sungguh beruntung Frans
Hermansyah mendapatkannya.
Mereka berdua adalah pengusaha kafe internet
yang sangat sukses di kota ini. Usaha ini mereka
rintis selepas menamatkan kuliah mereka. Dengan
modal seadanya dan berbekal kepandaian
memasak dari Andini dan ibu Frans juga ditambah
dengan keandalan Frans di bidang komputer,
usaha ini dengan cepat mengalami kemajuan. Saat
ini, tidak kurang dari lima cabang yang telah
mereka miliki di kota ini.
Andini memasuki ruang kerja iparnya dengan
langkah tergesa-gesa. Entah apa yang akan
dibicarakan Melisa dengannya hari ini. Firasatnya
mengatakan, ada berita yang tidak baik yang akan
disampaikan padanya. Sebelumnya, Melisa tidak
biasa  memanggilnya untuk bicara berdua saja.
“Pagi, Mbak!”
“Duduk, An. Kamu sendiri atau ditemani Frans?”
“Sendiri. Frans ada pertemuan dengan rekan bisnis
kami hari ini. Tampaknya ada hal penting yang
akan Mbak bicarakan?”
“Ehm..Sebenarnya aku tidak enak membicarakan
hal ini denganmu. Mungkin akan membuatmu
tersinggung. Namun, kalau saya membicarakannya
dengan Frans, akibatnya mungkin akan lebih fatal
lagi. Jadi, saya pikir lebih baik aku berterus terang
padamu saja.” Melisa menarik napas sebentar
kemudian melanjutkan bicaranya.
“Selama ini kita selalu terbuka satu sama lain. Baik
atau buruk kita selalu saling mengingatkan,
bukan? Ini menyangkut Ibu, An.”
“Ada apa dengan Ibu, Mbak? Saya pikir Ibu baik-
baik saja dan beliau tidak pernah mengeluh pada
kami. Malah minggu lalu, hasil pemeriksaan
kesehatannya menunjukkan hasil yang sangat
memuaskan. Saya sendiri, kok, yang
mengantarkannya.” Nada suara Andini terdengar
sangat kuatir. Dia sangat takut jika terjadi sesuatu
dengan mertua perempuannya yang sudah
dianggapnya sebagai pengganti ibunya. Kalau
bukan karena bantuan ibu mertuanya, mungkin dia
tidak akan sesukses ini.  Ia bisa tenang mengurus
bisnisnya tanpa khawatir anak-anaknya. Selama
Frans dan Andini di kantor, ibu mertuanyalah yang
mengurusi kebutuhan anak mereka.
“Hal ini tidak menyangkut kesehatan Ibu. Namun,
lebih menyangkut perasaan dan harga diri Ibu
sebagai orang tua.”
Astaga! Apa lagi ini? Firasat Andini semakin buruk
saja. Apakah dia secara tidak sengaja telah
menyakiti perasaan orang yang sangat dikasihinya
itu?
“Sebenarnya Ibu melarang aku untuk
membicarakan ini denganmu ataupun dengan
Frans. Namun, sebagai kakak, aku merasa
berkewajiban unyuk memberitahukan hal ini
meskipun mungkin akan sedikit mencampuri
urusan rumah tangga kalian. Saya harap, kamu
tidak tersinggung, An.”
“Tentu saja saya akan berusaha menerimanya
dengan lapang dada. Jika saya salah, sebelumnya
saya mohon maaf, Mbak!”
“Begini, An. Minggu lalu terjadi peristiwa yang
tidak mengenakkan antara Dito dengan Ibu. Ibu
menasihati Dito agar tidak membawa kawan
wanitanya masuk ke dalam kamar. Meskipun pintu
kamar itu terbuka,  hal itu tidak etis bila dilihat dari
kacamata kita. Entah bagaimana Ibu menegurnya,
Dito sampai meludah di depan Ibu. Meskipun tidak
mengenai Ibu, hal itu membuat Ibu merasa sangat
tidak dihargai lagi sebagai orang tua.”
“Astaga! Dito melakukan hal seperti itu, Mbak?
Sa…saya rasanya tidak bisa percaya,” ujar Andini
tergagap sambil meremas-remas tangannya.
Keringatnya mengucur deras. Entah berwarna apa
mukanya saat itu. Peristiwa itu merupakan
tamparan keras di wajahnya.
“An, kamu tidak akan menuduh Ibu mengarang
cerita ini, bukan?”
“Tentu saja tidak Mbak. Saya tak habis pikir,
mengapa Dito tega melakukan hal seperti itu pada
neneknya. Setan apa yang telah merasuki jiwanya?
Aduh Mbak, saya sangat malu!”
“Aku tidak ingin menyalahkan Dito, An. Mungkin
saja ia merasa telah dewasa dan sudah bisa
menentukan mana yang baik dan mana yang
buruk. Sehingga ketika Ibu menegurnya,  ia
merasa privacynya telah diganggu. Toh wanita
yang diajaknya itu kekasihnya dan mereka hanya
mendengarkan musik saja di kamar. Namun, hal
seperti itu tidak bisa ditolerir keluarga kita. Apalagi
Ibu yang masih mengagungkan adat ketimuran.”
“Apapun alasannya, anak itu sudah sangat
keterlaluan. Kalau Frans tahu, tentu dia akan
marah besar.”
“Sebaiknya kamu menyelesaikan hal ini dengan
Dito tanpa sepengetahuan ayahnya. Ibu telah
berpesan padaku, jangan sampai Frans tahu.
Beliau tak ingin sesuatu yang buruk menimpa
cucunya hanya karena kemurkaan Frans.”
“Entah dimana saya harus menaruh muka saya ini.
Berhadapan dengan Mbak saja saya merasa
sangat malu, apalagi harus berhadapan dengan
Ibu. Saya betul-betul gagal menjadi seorang ibu
yang baik, Mbak!”
“Kamu tidak perlu merasa seperti itu, An. Kamu
tetap adikku yang baik. Masalah ini tidak akan
mengubah hubungan kita. Pulang dan bicaralah
dengan Ibu kemudian dengan Dito. Aku yakin,
kamu bisa membereskan hal ini dengan baik.”
“Oke, Mbak. Saya permisi dulu. Terima kasih atas
perhatiannya.”
Andini melaju menembus keramaian lalu lintas.
Entah sudah berapa sopir angkutan kota yang
mengunpat karena mobilnya hampir bersenggolan
dengan mobil Andini. Entah kekuatan apa yang
menyebabkan ia mampu mengendarai mobil
dengan kecepatan seperti itu. Hanya satu
tujuannya yaitu segera sampai di rumah dan
menciumi tangan mertuanya sebagai permohonan
ampun karena ulah anaknya yang dirasakannya
sangat memalukan.
Teeeeet! Pak Agus yang terkantuk-kantuk terkejut
ketika mendengar suara klakson Andini. Pembantu
keluarga Andini itu segera membukan pintu.  Ia
sebenarnya ingin mengucapkan salam. Namun,
begitu melihat air muka Andiri, ia langsung
terdiam.
“Pak, Ibu sudah pulang?”
“Iya, tadi diantar Pak Atmo! Mungkin sekarang
sedang istirahat di halaman belakang .”
Andini bergegas masuk ke dalam rumah dan
meninggalkan Pak Agus yang terbengong-bengong
melihat tingkah tuannya. Belum pernah ia melihat
air muka Andiri menyiratkan kemarahan yang
amat sangat. Nyonyanya yang satu itu paling
jarang marah, bahkan dalam keadaan marah pun
terkadang masih tersenyum. Hanya dari nada
suaranya yang terdengar tegas dan sedikit
menyindir, orang sudah tahu ia sedang marah.
“Ibu! Maafkan Dini, Bu. Dini sudah menyakiti
perasaan Ibu!” Andini langsung berlutut menciumi
tangan ibunya.
“An, ada apa ini? Kamu sudah melakukan apa
sehingga harus menciumi tangan ibu sedemikian
rupa?”
“Saya bukan ibu yang baik dan tidak bisa mendidik
anak dengan benar. Akhir-akhir ini saya terlalu
sibuk dengan urusan kantor sehingga tidak
mengetahui kelakuan anak-anak saya sendiri.”
“Apa lagi yang dilakukan anak-anakmu, An?
Sampai kapanpun, di mata ibu kamu tetap
anaknnya yang paling baik dan paling pandai
mengurus anak dan cucuku. Kamu juga sudah
mengurus dan menyediakan segala kebutuhanku
di rumah ini sehingga aku bisa melewati masa
tuaku dengan tenang. Apa yang membuatmu
demikian risau, An? Mertuanya menuntun tangan
Andini dan mendudukkannya di sampingnya.
”Mengapa Ibu menyembunyikan masalah Dito?
Seharusnya saya diberi tahu sehingga saya bisa
bicara dengan anak itu. Jangan sampai hal ini
berlarut-larut dan membuat dia berpikir bahwa
bisa memperlakukan Ibu seenaknya saja. Anak itu
harus diberi pelajaran.”
“An, kamu jangan terlau keras. Saat ini dia sedang
dalam proses mencari jati dirinya. Jika kamu terlalu
menekan, jiwanya akan memberontak. Ibu sudah
melupakan kejadian itu dan Ibu rasa hal itu tidak
akan terulang kembali. Pada dasarnya Dito adalah
anak yang baik.”
“Apa pun alasannya, saya harus tetap bicara
dengan Dito dan memberinya sedikit pelajaran
agar tidak melecehkan orang yang lebih tua
darinya!”
“Terserah kamu, tapi jangan sampai kamu
menyakitinya. Dia bukan anak kecil lagi yang bisa
kamu jewer telinganya ketika ia berbuat suatu
kesalahan. Dia telah tumbuh menjadi seorang
lelaki dewasa. Sebaiknya kamu istirahat. Kamu
tampaknya lelah.”    Andini mengangguk kecil dan
segera pamit untuk istirahat.
***
Sore itu Andini sengaja tidak menengok kafenya. Ia
ingin menunggu kepulangan Dito. Ia harus  segera
membereskan masalah ini dengan anaknya.
Meskipun ia telah meminta maaf pada mertuanya,
ia tetap tidak dapat mengampuni dirinya sendiri.
Bagaimana mungkin Dito yang begitu manis tega
berbuat demikian pada orang yang sangat dia
hormati. Membantah perkataannya saja Andini
sangat segan. Apalagi melakukan hal.…Ah, ingin
rasanya Andini merobek mulut anaknya jika
mengingat apa yang telah dilakukannya.
“Dito! Setelah menyimpan tas,  kamu langsung
menemui Mama di ruang kerja. Ada hal penting
yang harus kita bicarakan.” Andini langsung
memanggil Dito ketika melihat anaknya itu
menaiki tangga menuju kamarnya.
“Ada apa, Ma?”
“Jangan banyak tanya. Ikuti saja apa yang Mama
katakan. Mama beri kamu waktu tiga menit!”
Dito memandang Dita, adiknya. Namun, Dita
hanya mengangkat bahu tanda tidak mengetahui
apa-apa. Yang jelas, mereka berdua tahu, Mama
mereka sangat marah.
“Ada apa, Ma?”
“Duduk! Kamu tahu apa kesalahanmu sehingga
Mama memanggilmu kemari?”
Dito menggeleng tak mengerti.
“Apa yang telah kamu perbuat pada nenekmu
minggu lalu?” Dito tersentak kaget. Ia tidak berani
lagi memandangi ibunya. “Pandang ibu, jangan
jadi pengecut! Mengapa kamu meludah di depan
Nenek ketika beliau menasihatimu? Perbuatan
macam apa itu!”
“Dito khilaf, Ma. Dito janji tidak akan mengulangi
perbuatan Dito lagi!”
“Seenaknya saja kamu mengatakan hal itu.
Apakah Mama mengajarkan bahwa setelah dewasa
kamu bisa menentang orang tuamu?” Dito
menggeleng. “Kamu tahu apa yang Mama
pegang?” Dito mengangguk. Benda itulah yang
menyebabkan kulitnya memar dipukul ayahnya
ketika ia mencuri mangga Pak Amir. Dia pasrah
saja kalau mamanya memukulnya dengan sabuk
kulit itu. Toh itu memang kesalahannya. Sungguh
di luar dugaan Dito, mamanya menyabetkan sabuk
itu ke tubuhnya sendiri. Andini terus memukuli
tubuhnya.
“Mama jangan lakukan itu! Demi Tuhan, Mama
jangan lakukan hal itu. Dito memohon!”
“Seperti inilah mungkin rasa sakit hati Mama
karena tidak mampu mendidik kamu dengan
benar. Apa kata orang jika mengetahui hal ini? Mau
Mama taruh dimana muka Mama. Ternyata
keluarga yang tampaknya begitu sempurna punya
anak yang begitu kurang ajar dan tidak tahu adat.”
Andini terus memukuli  tubuhnya, tidak
mempedulikan teriakan Dito.
Kegaduhan di ruang kerjanya membuat Dita dan
ibu mertuanya panik. Segera saja mereka
menggedor-gedor pintu kamar Andini. Namun,
pintu kamar itu tetap terkunci rapat. Untunglah
Frans datang dan mendobrak pintu itu. Di dalam
kamar, Dito menciumi kaki ibunya yang masih
terus mencambuki dirinya sendiri.
“Mama jangan sakiti diri Mama. Ini semua
kesalahan Dito!” Mereka tercengang melihat
pemandangan di depannya. Dita berteriak histeris
melihat ibunya. Frans segera memeluk istrinya dan
merampas sabuk itu.
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Aku tidak berhasil mendidik anak kita dengan
baik. Dia telah durhaka pada Ibu. Kamu pasti akan
menyalahkan aku.” Kalau tidak ditahan Frans,
Andini akan jatuh ke lantai. Ia tidak punya
kekuatan apa-apa lagi. Tenaganya habis terkuras.
Frans membopong istrinya ke dalam kamar dan
membaringkannya ke tempat tidur.
“Astaga An. Kenapa kami menyakiti dirimu sendiri?
Ibu toh sudah memaafkan perbuatan Dito. Lalu
kenapa kamu tidak dapat melupakan kesalahan
anakmu sendiri?”
“Mama, Dito akan menuruti semua keinginan
Mama dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatan Dito, asalkan Mama tidak menyakiti diri
Mama lagi.”
“Mama sudah memaafkan kamu, sayang. Sekarang
mintalah ampun pada nenekmu.”
“Nek, maafkan kekurangajaran Dito.”
“Nenek sudah memaafkanmu, jauh sebelum kamu
memintanya.” Mereka bertiga  berpelukan.
Masalah pun bisa mereka selesaikan dengan baik…
Makassar 2000

SAHABAT (666)
Oleh AGUS NOOR
Vira hanya tersenyum mendengar gerutuan Vera.
“Masa, sih?” tukas Vira pendek.
“Mungkin juga emang sifat laki-laki yang mau
menang sendiri. Sampai di meja makan pun minta
dilayani!” Vera masih memperlihatkan
kesebelannya. Hampir selalu begitu, setiap Vera
membicarakan Adi, suaminya.
Mendengar itu, Vira masih saja tersenyum. Hampir
saja Vira keprucut ngomong. “Enggak cuma di
meja makan, bahkan juga di ranjang…” Up, Vira
segera mengatupkan bibir, lalu cepat-cepat
membuang muka menghindari pandangan Vera.
Begitulah, setiap kali mereka berjumpa. Pasti
obrolan mereka seputar suami-suami mereka. Vera
mengeluh soal Adi dan Vira ngomongin Heru.
“Beruntung kamu dapet Heru, lo, Vir,” desah
Vera.    “Beruntung apaan?! Keringatnya itu,
lo..,”cibir Vira sambil mengenduskan cuping
hidungnya untuk menegaskan kalau ia paling sebel
dengan bau keringat suaminya.
Nyaris Vera hendak menyergah omongan Vira,
“Masa, sih, bau keringat begitu kamu enggak
suka…” Untung saja Vera segera bisa menguasai
lidahnya. Kata-kata itu hanya ia simpan dalam hati.
Ah. Vira dan Vera. Siapa pun yang selintas melihat,
pastilah menyangka mereka saudara kembar.
Potongan rambutnya, tinggi, dan juga raut
wajahnya yang sedikit oval, nyaris sama. Bedanya,
hidung Vira sedikit lebih kecil dibanding hidung
Vera, Sementara mata Vera lebih membelalak
dibanding mata Vira yang sedikit sayu.
“Kadang-kadang, Vir, aku selalu berpikir, betapa
enaknya punya suami yang tak selalu minta
dilayani,” sungut Vera. “Mestinya, kan, boleh
sekali-kali kita duduk santai ndengerin musik tanpa
diganggu tetek bengek urusan keluarga. Eh, ini,
baru duduk sebentar saja suamiku sudah teriak-
teriak minta diambilkan inilah, itulah…”
“Ah, masa, sih!”
“Masa gue bohong ama lu, Vir!”
Bukannya nuduh kamu bohong, jawab Vira dalam
hati. Namun, Adi yang aku kenal tidak begitui, kok!
Pendapat itu pun hanya ia ucapkan dalam hati.
Vera memanggil pelayan, minta tambah jus
melonnya.
“Hanya sama kamu aku bisa bicara terus terang
seperti ini, Vir..” Bagi Vera, Vira memang kawan
yang ia anggap paling memahami perasaannya.
Makanya, sejak SMA ia cocok berkawan dengan
Vira. Barangkali memang nasib yang
mempertemukan mereka. Waktu mereka sama-
sama lulus, eh, mereka sama-sama diterima di
UGM. Vira masuk akuntansi, ia diterima di
manajemen. Sering Vera merasa, betapa banyak
kebetulan dalam hubungan mereka, sebagaimana
nama mereka yang hanya beda huruf “e” dan”i”.
Kadang mereka juga merasa, betapa kesamaan
semacam itu seakan sebuah kebetulan yang
disengaja seperti kisah telenovela saja. Namun,
bukankah dalam hidup ini memang sering terjadi
kebetulan-kebetulan? Apakah memang kebetulan
juga kalau mereka juga punya banyak kesamaan
selera? Atau jangan-jangan mereka memang
saudara kembar, seperti sering diyakini banyak
kawan-kawan mereka?
Aih, aih, Vira dan Vera, barangkali saja mereka
memang sebagian dari rahasia dunia. Bukankah
dunia ini penuh rahasia?
Seperti juga mereka, masing-masing memiliki
rahasia. Meski mereka masing-masing selalu
percaya sudah saling terbuka. Makanya, Vera tak
sungkan berkeluh kesah pada Vira, soal apa saja.
Bahkan juga soal hubungannya dengan Adi. Vera
akan menceritakan sampai hal yang paling kecil
dengan detail. Apa warna celana dalam kesukaan
suaminya, bagaimana posisi tidurnya. Meski bagi
Vira tak terlalu penting benar semua informasi itu.
“Soal yang gituan, sih, aku sudah tahu,” batin Vira
ketika Vera menceritakan hal-hal semacam itu.
Bagi Vira, bagaimana pun Vera memang sahabat
yang ia anggap paling mengerti tentangnya.
Makanya, Vira pun tak jarang berkeluh kesah soal
Heru. Sifatnya yang cenderung pemalas, model
dasinya yang terlalu konservatif, parfumnya yang
terkesan feminin. Vira selalu menceritakan itu
semua dengan Vera, tanpa pernah menyadari
betapa Vera hanya tersenyum mendengar itu
semua. “Bukan model dasinya yang konservatif,
tapi memang kamunya yang cenderung suka
warna-warna norak,” sergah Vera, tentu saja
dalam hati.
“Pokoknya aku sebel! Sebel!” suara Vera nyaris
mengeram.
“Makanya, suami tuh jangan dikasih hati! Sekali-
kali dilawan, dong! tegas Vira. “Aku enggak pernah
tuh membiarkan suamiku mengatur-atur aku.”
“Kalau jadi berantem, gimana?”
“Ya risiko.”
“Kalau sampai cerai?”
“Cerai, ya, cerai. Gitu aja, kok, repot!”
“Mestinya gue begitu ya, daripada sebel melulu.”
“Aku juga sering, kok, sebel sama suamiku. Di
depanku tampaknya saja ia baik. Penurut, sok,
kalem. Padahal, huh, apa dikira aku enggak tahu
kelakuannya di luaran..”
Vera nyaris saja tersedak. “Kamu tahu apa?”
tatapan Vera sedikit menyelidik. Ia takut…
“Ya pokoknya tahu. Kalau laki-laki baik di rumah,
justru itu yang harus dicurigai.”
“Kok bisa?”
“Ya bisa.”
“Sepertinya kamu enggak bisa mempercayai
suamimu, Vir?”
Vira hanya tersenyum mendengar nada suara
Vera. Nada suara yang setengah menyelidik dan
mendesak. Membuat Vira ingin sekali membalas
pertanyaan itu dengan balik bertanya, “Apa kamu
percaya sama suamimu? Alangkah tolol..” Namun,
semua itu hanya ia redam dalam hati.
Begitulah, Vira dan Vera. Nyaris seiap hari mereka
bertemu. Biasanya kalau ada waktu luang untuk
makan siang. Sering juga setelah pulang kerja
mereka janjian bertemu di kafe langganan mereka,
sambil menunggu kemacetan lalu lintas. Kadang di
akhir pekan mereka bikin acara ke luar kota.
Sampai-sampai banyak kawan heran oleh
keakraban mereka, “Bener-bener kayak orang
pacaran…” Tentu saja keduanya hanya tertawa
mendengar komentar yang sedikit “tendensius”
itu.
“Emang kita pacaran…” balas mereka sambil
tertawa. “Soalnya laki-laki udah enggak ada yang
menakjubkan!”
Begitulah, semua yang mengenal mereka selalu
geleng-geleng oleh keakraban mereka. Benar-
benar sahabat yang kompak. Ada saja yang
mereka obrolkan bila bertemu. Soal musik, mode,
film-film terbaru, perawatan kecantikan sampai
sepak bola.
Namun, selalu, selalu, pembicaraan mereka
akhirnya menyangkut suami-suami mereka. Dan
selalu, selalu, keduanya bercerita penuh keluhan.
Betapa sebelnya Vira pada Heru. Betapa
mangkelnya Vera pada Adi. Seperti pertemuan
mereka saat ini.
“Rasanya, aku menyesal kawin sama Adi.”
“Yeah, aku kadang juga merasa rugi hidup bareng
Heru.”
Lalu keduanya saling menumpahkan kejengkelan.
Setiap kata berloncatan dari bibir mereka, tapi
banyak juga kata-kata yang tidak pernah mereka
ucapkan. Ketika mengucapkan “Aku menyesal
kawin sama Adi” sebenarnya Vera masih akan
melanjutkan “Mestinya sama…” Namun, tak
terucapkan. Saat menegaskan “Aku kadang juga
merasa rugi hidup bareng Heru” sesungguhnya
ada yang ingin Vira lanjutkan , “Beda ketika
sama…” Itu pun hanya ia katakan dalam hati,
sambil matanya diam-diam melirik Vera.
Vira dan Vera, wanita yang sama-sama cantik,
sama-sama merasa saling terbuka, tapi juga sama-
sama  menyimpan rahasia. Barangkali, begitulah
kehidupan. Kita sudah merasa mengetahui
segalanya, tapi ternyata ada banyak hal yang tak
bisa ditebak dan diduga.
Keduanya terus ngobrol. Dan waktu merambat,
sampai keduanya menyadari bahwa waktu pulang
sudah mesti mengakhiri obrolan mereka.
“Jangan lupa besok, ya?”
“Kita ketemu di restoran dekat kantormu saja, ya?”
“Oke.”
Lalu keduanya berpisah. Keduanya bilang akan
langsung pulang. Meski sebenarnya Vera sudah
janjian makan malam bersama Heru. Dan malam
ini Vira pun mesti menjumpai Adi.
Yogyakarta, 2000

MENINGGALKAN AJENG (667)


Oleh S. PRASETYO UTOMO
Di rumah petak itu, kemarahan Ratri sudah sangat
menggumpal, meleleh pelan-pelan dalam
kebungkaman. Kemurkaanya pada suami sudah
memuncak, merambat sampai ubun-ubun. Kalau ia
bisa menjelmakan dirinya sebagai raksasa, ingin
diremuk kepala suaminya dalam gemeretak
mulutnya, dan segera dimuntahkannya lagi.
“Jadi, betul, kamu ingin aku pergi?” tanya Subro,
suami Ratri.
Hari sudah gelap, malam menyentuh puncaknya.
Subro mulai terusik meninggalkan rumah Ratri dan
Ajeng yang tidur gelisah di dipan.
“Aku tak bisa jadi pelacur untuk menghidupi
keluarga kita.”
“Apa harus malam ini aku pergi?”
“Tunggu apa lagi?”
Subro tak memiliki apa pun untuk dibawa pergi. Ia
meninggalkan Ratri, meninggalkan Ajeng, anak
perempuannya yang berusia dua setengah tahun,
dengan langkah yang berat, bimbang, tanpa
ketetapan hati. Ia tak mengerti, mengapa harus
meninggalkan istri dan anaknya, cuma lantaran tak
bekerja.
Langkah Subro, meski bimbang, kian menjauh,
dibayang-bayangi bulan berkabut.
***
Berdandan cantik, Ratri sore itu memilih pakaian
yang terbagus, menitipkan Ajeng pada keluarga
Lintang, tetangga sebelah rumah. Ratri cantik
seperti gadis yang belum tersentuh lelaki,
menyusuri gang, menghirup udara malam. Ia
selalu bergairah bila gelap malam mengendap.
Kata ayahnya, ia diberi nama Ratri lantaran lahir
waktu malam. Darahnya berpendar-pendar dan
tubuhnya selalu bertenaga, tiada-habis. Sepasang
matanya bercahaya dan sirnalah kesedihannya
hari-hari silam.
Lintang cemburu melihat kegenitan Ratri. Ke
manakah Ratri malam-malam begini, berdandan
begitu rupa, menghisap daya pikat lelaki? Tak bisa
ditutupi, penampilan asli Ratri penuh daya pikat,
penuh sensasi.
Menjelang pagi barulah Ratri pulang, mengetuk
pintu rumah Lintang yang gelisah tidur. Ratri
membawa sebungkus martabak hangat. Uang dari
mana untuk membelinya? Hari-hari biasanya, ia
tak sanggup menanak nasi.
“Kau dapat uang dari mana?” tegur Lintang.
“Sudahlah. Nikmati saja martabak itu!” jawab Ratri
sambil membopong Ajeng kembali ke rumah
petaknya sendiri. Tinggal sepenggal malam. Ratri
tidur lelap, mendekap anak gadisnya, masih
dengan dandanan yang teracak, mulai rusak.
***
Jengkel, iri, dan memendam murka pada Ratri,
Lintang berdandan, dan wajahnya bercahaya. Tiap
malam Ratri berdandan dan selalu pulang
membawa makanan pada saat menjelang dini hari.
Lintang ingin mengikuti jejak Ratri.
“Mau ke mana kau?” Bagaskara, suami Lintang
menghardik.
“Ikut Ratri,”
“Jangan!”
“Aku tak mau hidup begini terus.”
Bagas tak mengatakan apa pun ketika Lintang
memaki-makinya. Dia membungkam. Semua
kenistaan keluarganya, diterima sebagai
kesalahannya lantaran ia memang sudah lama tak
bekerja. Dihabiskannya rokok dan dipikirkannya,
pekerjaan apa yang bakal dilakukannya. Tak 
diperhatikannya sama sekali kemarahan Lintang.
Menjelang fajar, ia membuka pintu, memandangi
seleretan cahaya di langit timur. Semalaman ia tak
bisa tidur, matanya kuyu dan tak mau dipejamkan.
Seorang tetangga membuang nasi sisa di tong
sampah. Bagas tersentak. Ada kebimbangan yang
menyengat batinnya. Kenapa tak dipunguti nasi
sisa itu, dicuci, dijemur hingga kering dan dijual
jadi campuran pakan ayam?
Tiap hari Bagas merasakan kegairahan dari dalam
hatinya saat matahari bangkit dan cahayanya
menerangi bumi. Ia sadar benar, tiap pagi,
bersamaan dengan bangkitnya matahari, selalu
menemukan kembali semangatnya yang hilang.
Masih diingatnya, selalu diingatnya, ia lahir
menjelang matahari bangkit. Ayahnya selalu cerita
begitu, kenapa ia diberi nama Bagaskara.
Angin pagi yang hangat meresapkan kepercayaan
diri padanya. Diambilnya keranjang besar,
dibawanya pergi ke keramaian kota. Dikoreknya
tong-tong sampah dekat rumah makan.
Dikumpulkannya sisa-sisa butiran nasi yang
berceceran, berserakan di antara bau busuk dan
amis-melupakan perilaku pengemis atau
gelandangan.
***
Mengemudikan sebuah mobil sedan mengkilap,
Subro bersiul-siul kecil di sisi seorang perempuan
setengah baya yang genit. Sesekali ia menggoda
perempuan itu dan perempuan itu akan mencubit
pinggangnya.
“Ke mana kita sayangku?” tanya Subro.
“Ufh. Lapar. Makan dulu, yuk?”
“Restoran kesayangan kita?”
“Tentu.”
Turun dari mobil di halaman rumah makan itu,
Subro sempat tercengang melihat Bagas
mengorek-ngorek sampah, mencari-cari nasi sisa.
Melihat Subro bergandengan tangan dengan
seorang perempuan genit setengah baya, Bagas
melotot.
Ia duduk di bawah pohon asam, menanti Subro
keluar dari restoran. Keinginannya untuk
nyelonong masuk ke restoran dan ngobrol dengan
Subro, seperti kebiasaan mereka di lorong gang,
ditahannya. Tak dilihatnya sama sekali isyarat
Subro mengenalinya. Subro menjadi lelaki asing,
lelaki yang memisahkan diri dari masa lalunya.
Duduk di bawah pohon asam tepi jalan, Bagas
menunggu, saat ia bosan memandangi wajah
Subro, bertatapan dengannya. Ia ingin mencuri
kesempatan untuk melihat ketulusan dalam mata
Subro. Namun, Subro menghindar untuk
bertatapan dengan Bagas.
“Ih, menjijikkan!” bisik perempuan genit setengah
baya, merapatkan tubuhnya pada Subro.
“Siapa yang menjijikkan?”
“Itu gelandangan di bawah pohon asam. Matanya
seperti mau menelanku.”
“Nah, itu tandanya kamu cantik.”
***
“Kutitipkan Ajeng pada kalian,” kata Ratri.
Bagas dan Lintang berpandangan. Murka dalam
diam. Namun, mereka memendam kemurkaan itu.
Malam sudah larut. Ajeng tertidur di dipan rumah
petak Bagas.
“Kamu mau ke mana?”
“Seorang bos mengajakku pergi ke kota. Ada
sebuah rumah bagus untukku dan hidupku bakal
dicukupinya.”
“Kalian nikah?’
“Mana mungkin kami nikah?”
“Ooo.”
“Ini saatnya aku bersenang-senang. Tiap bulan
akan kukirim uang buat Ajeng.”
“Dia butuh kehadiranmu.”
“Aku tak  ingin dia merusak kebahagiaanku.”
Malam itu, tak lagi bisa ditahan, Ratri
meninggalkan anak perempuannya pada keluarga
Bagas. Tak dikatakan, ia tinggal di daerah mana.
Rupanya ia sengaja pergi dengan hasrat agar tak
terlacak Bagas dan Lintang.
***
Datang Subro dan perempuan genit setengah baya
ke rumah Bagas. Mereka membujuk Ajeng.
“Ayo, Ajeng, ikut Bapak.”
“Ndak mau!”
“Di sana Ajeng akan tinggal di rumah yang besar.
Kalau minta apa saja akan kubelikan. Mau ya,
Ajeng?”
“Ndak.”
Habis sudah rayuan Subro pada Ajeng. Gadis kecil
itu tetap pada pendiriannya, menolak untuk
mengikuti ayahnya dan perempuan genit setengah
baya itu, yang dari tawa dan pandangan matanya,
membuat tubuh gadis kecil itu gemetar.
***
Ratri mengunjungi  Lintang. Cantik, riang, dan
segar tapi memendam rasa sepi yang merapuh
dalam hatinya.
“Tak tahan aku hidup tanpa Ajeng,” kata Ratri
pada Lintang.
Bagas sedang pergi memunguti nasi sisa di tong-
tong sampah depan restoran siang itu. Lintang
mulai dilanda rasa cemas bila Ajeng mau dibawa
Ratri. Diam-diam dia akan merasa kehilangan.
“Akan kuambil Ajeng.”
“Apa dia tidak mengganggumu?”
“Sudah kubicarakan dengan bos. Dia tak keberatan
aku membawa Ajeng.”
Lagi-lagi Ajeng menolak diajak ibunya. Ajeng
menangis lantaran Ratri memaksanya. Gadis kecil
itu meraung-raung. Dalam tangisnya, ia mendekap
Lintang. Menyusupkan wajah ke dada Lintang, tak
mau berpisah.
***
Sejak matahari memancar sampai tenggelam,
Bagas mengorek-orek tong sampah,
mengumpulkan nasi sisa, memenuhi keranjang
yang dibawanya. Dia pulang dengan hati gembira
bila matahari terus memancar. Dicucinya nasi itu
bersih-bersih, diratakan tipis-tipis pada penampi,
dijemurnya di atas genting. Berderet-deret.
Rumah Ratri yang dikosongkan digunakan Bagas
untuk menyimpan nasi sisa yang belum
mengering. Yang sudah kering disatukan dalam
karung dan siap dijualnya.
Sore hari, biasanya Bagas kelihatan letih, lemas
dan tanpa kekuatan. Tenaganya telah terkuras
seharian. Lintang yang menghibur Ajeng sambil
menimbang nasi sisa yang telah kering,
memasukkannya dalam karung. Bila malam, Ajeng
merasa terhibur bersama Lintang.  Namun, muncul
kebimbangan dalam diri Lintang: akankah terus
menerus menerima Ajeng dalam kehidupan rumah
tangganya? Ia tak tahu penerimaan Bagas
terhadap Ajeng. Ia ingin memastikan perasaan
suaminya. Ketika Ajeng tertidur lelap, Lintang
membangunkan Bagas.
“Apa sebaiknya Ajeng kita serahkan saja pada
Ratri?”
Dengan mata setengah terbuka, bermalas-
malasan, Bagas menjawab, “Kenapa begitu. Dia
milik kita.”
“Aku sudah hamil, Mas!”
Tergagap, Bagas terbangun, matanya membesar,
kemerahan lantaran kantuk, “Biar dia jadi kakak
bayi kita.”     
Pandana Merdeka, Juni 2000  

MAKAM (668)
OLEH TRI WIYONO
Aku benar-benar tak habis pikir. Apa sebenarnya
maksud Mas Tono memugar makam Ayah dan Ibu.
Bukankah makam yang ada selama ini sebenarnya
sudah baik. Meski bukan terbuat dari batu marmer,
tapi untuk ukuran desa kami, makam tersebut
sudah di atas rata-rata.
Dua tahun silam, Mas Hadi, suamiku, kebetulan
dapat rezeki. Karena dia berhasil mengegolkan
tanah yang dimakelarinya. Lalu, atas inisiatifnya
sendiri, uang tersebut dipakainya untuk
membangun makam orang tuanya dan orang
tuaku.
Tapi, sekarang makam itu akan dibongkar oleh
kakak sulungku tersebut. Katanya akan dibangun
yang lebih mewah. Mas Tono memang satu-
satunya saudaraku yang paling sukses hidupnya.
Dia menjadi seorang direktur bank di Jakarta. Tak
heran, jika kekayaannya berlimpah ruah. Rumah
yang dimilikinya ada beberapa buah, baik di
Jakarta maupun di kota-kota lain. Bahkan, dengar-
dengar dia barusan membeli sebuah rumah
mewah di Amerika. Katanya untuk si Tuti, anaknya
yang kuliah di sana.
Belum lagi mobilnya, vilanya, depositonya.
Pokoknya untuk ukuran orang hidup, kehidupan
kakakku itu sudah berkelimpahan. Sayangnya,
justru karena semua itu membuat lupa orang
tuanya. Buktinya, mulai saat Ayah dan Ibu sakit
sampai  keduanya meninggal, Mas Tono belum
pernah datang ke desa.
Begitu juga dengan istrinya. Kelihatan Mas Tono
dan Mbak Wike setali tiga uang. Yang ada dalam
pikirannya hanya bagaimana menjaga harta
mereka agar jangan sampai berkurang. Maka aku
sempat heran ketika suatu pagi dia datang ke desa
dengan sedan mewahnya dan menyatakan hendak
memugar makam Ayah dan Ibu.
“Jangan salah sangka, Tin. Bukan maksudku dan
Mbakyumu tidak menghargai usahamu membuat
makam Bapak dan Ibu. Tapi, rasanya saat inilah
waktu yang tepat bagiku untuk menunjukkan
baktiku kepada orang tua. Bukankah begitu dik
Hadi?”kata Mas Tono, seakan bisa menangkap 
kegundahanku. Terus terang, aku memang
menentang keinginannya itu.
“Betul, Mas. Memang merupakan kewajiban
seorang anak untuk memuliakan orang tuanya,
kendati mereka sudah tiada,” kata Mas Hadi
sesabar biasanya.
Aku benar-benar heran dengan sifat suamiku.
Bukankah seharusnya dia tersinggung karena
sudah capek-capek membangun makam Ayah dan
Ibu. Sekarang dengan enaknya Mas Tono akan
main bongkar.
Tapi, memang demikianlah Mas Hadi. Selalu sabar
dan berhati lembut. Mungkin memang pas kalau
sekarang ini dia jadi seorang guru Sekolah Dasar.
Dan kalau tak diredakan olehnya, mungkin aku
sudah nekat bersikeras mempertahankan makam
Ayah dan Ibu seperti sekarang ini.
***
“Jangan berprasangka buruk dulu, Tin. Tak baik
kau bersikap seperti itu, apalagi pada Mas-mu
sendiri,” kata Mas Hadi malam itu masih saja
menasihatiku.
“Saya tak berprasangka buruk, Mas. Tapi kenapa
baru sekarang ini dia punya niat seperti itu.
Kenapa tidak dari dulu.”
“Ya, mungkin memang sempatnya baru sekarang.”
“Ah gombal!” sergahku.
Memang dibanding dengan saudara-saudaraku
yang lain, akulah yang paling sering menentang
Mas Tono. Bila Mas Tanto, Mbak Tanti atau
Tarwanto sering datang ke rumah Mas Tono di
Jakarta, aku ogak kalau disuruh datang ke sana.
Bukan apa-apa. Aku cuma tak ingin dikatakan
sebagai benalu. Karena mulut Mbak Wike, iparku
yang cantik itu, nyinyirnya minta ampun. Bila ada
saudara dari Mas Tono datang ke rumahnya, buru-
buru dia pasanga wajah tak sedap. Menurut
prasangkanya, setiap sanak saudara Mas Tono
datang, pasti mau minta bantuan.
Selama ini, aku baru sekali datang ke rumah Mas
Tono. Yaitu waktu aku akan menikah dengan Mas
Hadi. Itu pun karena mendiang Ibu memaksaku
agar memperkenalkan Mas Hadi padanya.
Selebihnya, aku lebih suka seperti sekarang.
Kendati tak berkelimpahan, hidup kami tenteram.
Apalagi aku merasa bangga bahwa sampai kedua
orang tuaku tiada, aku sempat merawat mereka.
***
Pembangunan makam Ayah dan Ibu dilakukan
secara besar-besaran. Bayangkan saja, Mas Tono
menyiapkan anggaran ratusan juta rupiah.
Pelaksananya didatangkan dari kota. Begitu juga
dengan bahan bangunannya.  Batu nisan dan
lantainya dipesankan marmer khusus yang
didatangkan dari Tulung Agung, Jawa Timur. Di
atas makam itu didirikan sebuah pendopo kecil
beratap joglo yang terbuat dari kayu jati dengan
ukiran.              
Pembangunan makam itu membuat semua orang
jadi repot. Namun, juga kecipratan rejeki. Apalagi
saudara-saudaraku yang lain. Mereka yang bisa
mengambil hati Mas Tono dan Mbak Wike
dipercaya untuk mengurusi konsumsi para tukang
atau kebutuhan yang lain.
Sementara aku sejak pembangunan itu dimulai,
hampir tidak pernah sekalipun datang ke makam.
Paling-paling aku cuma mampir ke rumah sehabis
mengajar. Selebihnya aku lebih suka pulang ke
rumahku sendiri. Karena sejak menikah dengan
Mas Hadi, kami mendapat bagian warisan dari
orang tua suamiku. Dan di situ telah kami dirikan
sebuah rumah sederhana. Sedangkan rumah
peninggalan orang tuaku, ditempati Mbak Tati.
“Lo, Bu Tini, kok, di sini? Di rumah, kan, sedang
repot?” tanya Pak Wandi, kepala sekolahku sambil
menatapku heran. Pagi itu, aku memang sudah
berada di ruang guru.
“Ya, Pak. Pekerjaan koreksi saya masih banyak,”
sahutku berbohong.
“Memangnya di rumah tidak ada rewangan?”   
“Sudah banyak yang rewang, Pak. Jadi, tenaga
saya lebih berguna di sini. Kasihan anak-anak,
sebentar lagi mereka, kan, terima rapor.” Pak
Wandi hanya geleng-geleng kepala. Entahlah dia
bisa menerima jawabanku atau dia sebenarnya
juga tahu ketidakharmonisan hubunganku dengan
Mas Tono.
Ternyata tidak hanya Pak Wandi yang heran. Tapi
juga teman-teman yang lain. Maklum, kami  hidup
di desa. Jadi, ada kejadian sekecil apa pun, pasti
semua orang dengar. Melihatku tetap mengajar,
banyak yang bertanya-tanya. Sampai aku
kerepotan menjawabnya.
***
“Ah., korupsi lagi, korupsi lagi,” kudengar Pak
Sarino, guru olah raga itu nyeletuk, sambil
menekuri korannya.
“Apaan, sih, Pak Sarino. Masih pagi kedumelan
sendiri,” komentar Bu Endang.
|Coba baca, nih Bu. Wong bank sudah dilikuidasi
oleh BPPN, kok, ya ,masih bisa-bisa dibobol
asetnya,” kata Pak Sarino lagi.
“Ogah ah, Pak. Males baca-baca yang begituan.
Bikin hati panas saja,” sahut Bu Endang.
“Ya ndak usah  dibikin panas to Bu. Wong
zamannya memang sudah kayak begitu,” celetuk
Pak Karli.
Habis tidak panas gimana, to Pak. Kita ini kerja
seharian sampai mulut berbusa. Eh, untuk kredit
teve berwarna saja  tidak cukup. Sementara
mereka hanya bermain dengan pat gulipat,
miliaran uang bisa dikeruk,” kata Bu Endang yang
memang dikenal  vokal itu.
Lo, kalau kita lain, Bu Endang. Kita, kan, memang
pahlawan tanpa tanda jasa,” sambung Pak Karli
kembali. Membuat ruangan guru jadi geeer.
Kalau sudah demikian, pembicaraan memang jadi
gayeng . Biasanya, aku  juga ikut-ikutan nimbrung
untuk sekadar diskusi politik kecil-kecilan. Maklum,
jelek-jelek aku pernah kuliah di Fakultas Keguruan,
meski hanya jadi diploma. Dulu, aku juga pernah
aktif  dalam  organisasi kemahasiswaan.
Saat ini, aku benar-benar kehilangan gairah untuk
berbicara. Aku lebih suka duduk di kursi sambil
membuka-buka koran yang tadi dibaca Pak Sarino.
Betapa terkejutnya hatiku ketika membaca berita
yang tadi dibahas para guru itu. “Direktur Utama
Bank Anu Dicekal,” Demikian tertulis sebagai
headline harian itu. Dan aku tahu, direktur bank
itu, tidak lain adalah Mas Tono. Rupanya kakakku
sedang dirundung masalah karena dituduh
mengakali BPPN dengan menilep aset-aset
banknya.
Pantas kudengar cerita dari Mas Hadi bahwa tiap
malam Mas Tono dan Mbak Wike tidur di makam
Ayah dan Ibu. Agaknya baru mereka sadari bahwa
apa yang dilakukannya selama ini ternyata tidak
mendapat restu Ayah dan Ibu. Atau mungkin
karena ketamakannya?
“Bu Tini dicari Bapak,” kata Pak Siman tiba-tiba
menyibak obrolan para guru. Aku buru-buru keluar
dari ruangan tersebut, tanpa mempedulikan
godaan teman-teman.
“Ada apa, Mas?” tanyaku ketika melihat Mas Hadi
sudah berada di atas motornya di tempat parkir.
“Mas Tono kena stroke. Sekarang dia dibawa ke
rumah sakit di kota,” kata Mas Hadi membuatku
tak bisa berkata apa-apa. Karena baru saja
kubayangkan bahwa dengan pengaruhnya, pasti
Mas Tono terhindar dari kasusnya itu.
Ternyata, baru saja orang-orang menemukannya
tertidur ngorok dalam posisi menungging di
sebelah makam Ayah dan Ibu.

Solo, Oktober 2000

HARI RAYA YANG SEPI (669A)


Oleh Rachmat H. Cahyono
Sulastri meletakkan gagang telepon dengan wajah
seperti lukisan senja yang muram. Semangatnya
ikut terbang bersama kabar yang baru saja
diterima dari puteri bungsunya, Hani. Dari
pandangannya yang kosong menyiratkan lautan
kesunyian, suaminya langsung tahu Sulastri baru
saja menerima kabar tidak menyenangkan dari
Jakarta. Ya, di mata Sularto yang telah
mendampingi istrinya selama lebih 40 tahun, tak
ada lagi rahasia yang bisa disembunyikan dari
wajah Sulastri.
“Kenapa, Bu? Kabar buruk?” tanya Sularto dengan
nada hati-hati. Sulastri mengangguk.
“Hani bilang, Jatmiko jadi masuk rumah sakit.
Positif tifus,” kata Sulastri lirih. Hampir-hampir tak
terdengar. Di luar, suara takbir yang menandai
segera berakhirnya bulan Ramadan mengambang
di langit malam. Kesyahduan menggantung di
udara. Sularto menghela nafas. Tiba-tiba saja
pinggangnya terasa sakit. Dia mulai merasa tidak
enak ketika seminggu lalu Hani menelepon,
mengabarkan suaminya terkena demam tinggi.
“Tapi Bapak dan Ibu tidak usah khawatir. Mudah-
mudahan Mas Iko  cuma demam biasa. Dua-tiga
hari lagi sembuh. Maklum, menantu Bapak itu
bandel, tidak bisa jaga kesehatan. Di kantornya,
kan, sedang sibuk sekali. Laporan akhir tahun
harus diselesaikan, sementara lebaran dan natal
tiba hampir bersamaan. Semua karyawan kerja
lembur, ngejar cuti akhir tahun.”
“Suamimu tetap puasa?”
“Kemarin sih masih kuat puasa. Malu sama Didi. Si
bungsu itu sudah mulai ikut puasa lho, Yah. Didi,
sini, Eyang Kakung mau bicara….” Ah, rasa kangen
itu langsung menyergap Sularto.
“Halo, Yang, ini Didi. Yangkung puasa tidak? Didi
sudah mulai ikut puasa, lo,” suara bocah tujuh
tahun itu langsung memuncakkan rasa 
kangennya.
“Bagus, teruskan saja. Nanti kalau Didi jadi lebaran
di Yogya, Yangkung kasih persen ya. Seribu rupiah
per hari, dihitung dari puasa kamu yang bisa
sampai Magrib. Kamu sudah kalah berapa?”
“Sepuluh hari, Yangkung?”
“Lumayan. Jangan sampai kalah lagi, ya, nanti
Yangkung kasih Rp20.000.”
“Kurang, Yang.”
Sularto tersenyum. Begitulah cara dia dulu
mendidik Hani dan Handoko agar mau ikut
berpuasa pada saat mereka masih anak-anak.
Ketika lebaran tiba, Sularto akan memberi anak-
anaknya uang sesuai jumlah hari puasa yang bisa
mereka laksanakan sampai magrib.
“Kurang? Ya, nanti minta Mamamu tambahannya.
Sudah ya, sekarang Eyang mau bicara lagi dengan
Mamamu.”
“Ya, Bapak,” suara Hani di seberang telepon.
“Kalian tetap jadi Lebaran ke Yogya kan?”
“Jadi, dong. Kami kan sudah dapat tiket.”
Sularto dan istrinya sudah terlanjur
membayangkan lebaran tahun ini bakal cukup
meriah. Paling tidak, masih ada Hani dan
keluarganya. Sementara keluarga putera sulung
mereka Handoko, bisa dipastikan kembali tidak
bisa mudik lebaran ke Yogya. Tahun lalu pun
begitu. Hari Raya tahun lalu adalah hari raya yang
sepi. Karena saat itu giliran Hani dan anak-anaknya
ikut suaminya mudik lebaran ke rumah orang tua
Jatmiko di Surabaya. Sementara tahun ini, pada
awal bulan puasa Handoko sudah menelepon,
minta maaf karena kembali tidak bisa membawa
pulang keluarganya mudik lebaran ke Jawa.
Sayangnya, tahun ini tampaknya pasangan suami
istri sepuh itu akan kembali menemui Hari Raya
yang sepi, tanpa kicauan suara cucu-cucu dan
anak menantu mereka. Mereka harus bersabar dan
memasrahkan diri pada kehendak Tuhan. Kabar
yang baru saja diterima dari Hani memang
mengecewakan. Sularto menepuk-nepuk pundak
istrinya, mencoba membesarkan hatinya. Ia
melihat mata istrinya berkaca-kaca.
“Sudah, Bu, sabar. Ini namanya musibah. Musibah,
kan, bisa datang sewaktu-waktu tanpa diundang.
Untung saja Jatmiko segera ditangani dengan
benar. Ibu, kan, tahu sendiri mereka sudah berniat
lebaran di sini. Tiket keretanya bahkan sudah
dapat.”
“Ya, aku tetap kecewa, Pak. Sedih rasanya
membayangkan lebaran tahun ini tetap sepi
seperti tahun lalu tanpa kehadiran cucu dan anak-
menantu kita. Handoko pun jelas tidak bisa pulang
mudik ke Yogya.”
Handoko? Sularto menghela nafas. Sebagai orang
tua, ia bisa memahami  kesedihan di hati kedua
anaknya. Bagaimanapun, Hani dan Handoko jelas
berkeinginan bisa mudik Lebaran ke Yogya.
Namun, keadaan mereka yang tak bisa diajak
kompromi. Terlebih-lebih Handoko. Masih
terngiang di telinga Sularto suara Handoko yang
bergetar melalui telepon di awal bulan puasa.
“Bapak, saya minta maaf pada Bapak dan Ibu.
Tahun ini saya dan keluarga kembali tidak bisa
mudik lebaran ke Yogya. Kami sangat ingin, Pak.
Tapi Bapak tahu sendiri, saya tidak mungkin
meninggalkan pos saya. Keadaan di Aceh masih
sangat tidak aman.”
“Ya, Bapak ngerti, Ko. Bapak dan Ibumu ya
memang ikut sedih. Tapi, kami paham kamu belum
mungkin meninggalkan tempatmu bertugas.”
Ya, sudah beberapa tahun ini Handoko yang kini
menjadi perwira menengah AD berpangkat letkol,
bertugas di wilayah Kodam I Bukit Barisan yang
meliputi wilayah Sumatera Utara dan Aceh.
Bahkan, dua tahun terakhir Handoko ditugaskan di
Aceh yang sarat dengan konflik yang
menyedihkan.
“Bagaimana daerah tempatmu bertugas, Ko?”
tanya Sularto.
“Masih memprihatinkan, Pak. Penduduk masih
mengalir ke tempat pengungsian. Kasihan mereka,
harus berpuasa di tenda-tenda darurat di tempat
pengungsian.”
“Aparat keamanan sendiri?”
“Berat, Pak. Anak buah saya kadang frustasi juga
dengan situasi menekan ini.”
“Kamu sendiri?”
“Mau bagaimana lagi, Pak. Saya, kan, perwira
yang  harus berani menghadapi situasi seberat apa
pun. Bukankah itu yang Bapak ajarkan kepada
saya selama ini.”
“Betul, Ko. Bapakmu ini yang memang cuma
pensiunan tentara pangkat rendahan yang
kebetulan punya pengalaman jadi tentara pelajar.
Tidak seperti kamu yang alhamdulillah bisa
menjadi perwira menengah. Tapi semasa aktif dulu
Bapak jaga betul supaya tidak menyakiti hati
rakyat. Hanya dengan cara itulah aparat
keamanan bisa menjaga kehormatannya dan
memenangkan hati rakyat. Kita juga bisa
memenangkan perang tanpa harus bertempur. Di
Aceh sana, pertempuran semestinya adalah pilihan
terakhir. Bagaimanapun, mereka adalah saudara
kita sendiri setanah air, bahkan seagama. Bapak
yakin kamu paham, Ko.”
“Saya paham, Pak. Saya pegang betul pesan
Bapak.”
Sempat terlelap sebentar, Sularto terbangun ketika
udara subuh yang ramah menembus dinding-
dinding kamar mereka bersama suara azan. Ia
segera membangunkan istrinya. Sejam kemudian,
mereka telah siap meninggalkan rumah untuk
berjalan menuju lapangan mesjid besar di dekat
tempat tinggal mereka. Pasangan sepuh itu larut
dalam bacaan takbir, tahmid, dan suara merdu
imam salat, disusul dengan kotbah Khatib Shalat
Idul Fitri yang mengingatkan pentingnya tetap
menjaga kesucian pasca-Ramadan.
Sebagai orang yang dituakan di lingkungan itu,
Sularto dan istrinya berulang kali menerima
kunjungan tetangga dan saudara yang tinggal
sekota, termasuk para keponakan dan anak-anak
mereka. Hari pertama lebaran selalu merupakan
hari yang melelahkan, apalagi buat orang setua
mereka. Yang membahagiakan mereka adalah
datangnya telepon berturut-turut dari kedua
keluarga anaknya, Handoko di Aceh, dan Hani di
Jakarta.
Ketika matahari senja mulai condong ke ufuk
barat, berakhir pula kunjungan para tamu.
Kesunyian kembali menguasai rumah tua mereka.
“Sekarang sepi lagi, ya Pak,”  suara Sulastri
memecah keheningan. Terbayang di pelupuk 
matanya wajah-wajah cucunya yang berada di
Aceh dan Jakarta. Apa yang sedang mereka
lakukan saat ini? Sudah banyakkah uang persenan
yang mereka kumpulkan dari orang-orang tua
yang mereka salami? Ah, Sularto tersenyum
sendiri.
“Si Didi itu sekarang pasti sudah tambah nakal, ya
Bu,” kata Sularto seperti pada dirinya sendiri.
Mulutnya mengatakan begitu, tetapi nada
suaranya terdengar riang penuh getaran cinta dan
rasa kangen. Ya, rasa kangen adalah kepedihan
yang terasa manis. Sesuatu yang murni timbul dari
getaran di lubuk hati.
Sulastri memperkirakan, belum tentu dalam
setengah tahun ke depan mereka bisa bertemu
kembali dengan anak-menantu dan cucu. Sularto
melempar pandangan ke arah istri. Mata istrinya
mulai kembali berkaca-kaca. Sularto segera
menarik istrinya ke dalam pelukannya. Tapi ia
sempat tersentak ketika istrinya berkata dengan
nada ragu, “Kira-kira, anak dan cucu kita itu benar-
benar kangen pada kita tidak, Pak?”
“Hus, jangan ngomong begitu.” Sungguh ia tak
tahu harus berkata apa. Seperti istrinya, rasa
kangen untuk orang setua mereka terkadang bisa
begitu ganjil dan menciptakan bayangan-bayangan
aneh yang menyiksa di benak mereka.                   
Bekasi, 22 November 2000

H I D U N G  (669B)
Oleh Harsutedjo

Ia mengaca lagi dan mengaca lagi. Betapa indah


hidung itu sekarang. Kenapa tidak dulu-dulu itu
dilakukannya. "Apa foto-foto keluarga itu juga bisa
diperbaiki, diadakan operasi plastik pada
hidungku?" Ia segera mengambil pigura yang
terletak di meja hiasnya. Ketika itu Rudi berumur
tiga tahun dan Osi satu tahun. Untung kedua
anaknya mengambil hidung ayahnya. Sekali lagi
diamatinya hidung dan mukanya di cermin dengan
senyum, dibandingkannya dengan foto itu. Sulit
baginya untuk menemukan bahwa keduanya orang
yang sama adalah dirinya.
"Kulit dan bodimu dapat delapan, tapi hidungmu
cuma dapat empat," begitu kata-kata Pramana
berulang kali. "Cuma dapat empat," betapa
menyakitkan kata-kata itu. Ruri tahu suaminya
suka bercanda, tapi nilai empat tidak bisa
diterimanya. Ia tahu kata-kata itu selalu
diucapkannya dengan tertawa-tawa.
"Kini berapa Mas Pram memberi nilai hidungku?
Sembilan, atau malah sepuluh barangkali?” Tapi,
kata-kata itu belum pernah diucapkannya. Ruri
menggagas-gagas sendiri. Seminggu yang lalu
ketika ia datang ke arisan RT untuk pertama
kalinya setelah operasi, semua menyatakan
pangling dan kagum.
"Saya benar-benar tidak mengenali Jeng Ruri, saya
kira penghuni baru. Karena Jeng menegur duluan,
saya mengenali suara Jeng. Luar biasa
perubahannya," begitu kata Ibu Mungki. Maka
topik pembicaraan pun seputar bedah plastik
terhadap berbagai perkakas wanita seperti pipi,
dagu, lipat mata, buah dada, ketiak dan apa saja
yang diperkirakan dapat menarik mata laki
maupun perempuan.
Memang Pramana sempat marah-marah ketika
gagasan itu disampaikan isterinya waktu mereka
merencanakan jalan-jalan liburan ke Jepang. Ketika
itu barang baru tersebut dikenal sebagai salah satu
produk Jepang yang handal.
"Hidung pesek itu bukan suatu cacat, malah bisa
menarik. Terimalah karunia Tuhan itu seperti apa
adanya dengan syukur. Aku suka dengan
hidungmu yang pesek itu seperti juga aku
menyukai kulitmu yang bersih, bentuk badanmu
yang bagus." Ruri jadi kecewa, tapi belum mau
menyerah. Ketika berada di pesawat dalam
perjalanan ke Jepang, Ruri masih merengek-rengek
meminta persetujuan suaminya akan perombakan
hidung peseknya itu. Demikian juga sesampai di
hotel.
"Ibu Ruri, isteri Pak Pram, yang pesek itu? Apa
tidak sebal Mas dengar orang selalu membawa-
bawa hidungku," kata Ruri masih tetap ngotot.
"Mas sendiri memberinya nilai empat."
"Aku kan cuma bercanda, apa harus selalu serius,
ya bisa pedot saraf kita."
"Tapi kalau nilainya jadi delapan kan tidak ada
salahnya."
"Salah sih tidak, tapi aku suka yang pesek itu,
berseni."
"Kau pasti cuma menghibur, bercanda," sambil
Ruri memukul lengan suaminya.
Atas permintaan Ruri tur kota Tokyo pertama yang
mereka ikuti yang ada program mengunjungi klinik
bedah plastik. Sesudah itu semangat Ruri untuk
meyakinkan suaminya tambah menggebu dengan
mengutip kata-kata pemberi presentasi, "Cepat,
tidak sakit, bebas akibat sampingan, indah
sempurna, meningkatkan percaya diri,
memperkuat kepribadian." Setelah melewati
pergumulan akhirnya sang suami mengalah.
Acara bedah plastik yang dua hari ternyata
kemudian diperpanjang sampai lima hari. Biaya
beberapa puluh juta bukan masalah bagi mereka,
maklum Pramana pejabat yang sedang naik daun.
Penjelasan yang diterimanya membuat Pramana
was-was. Namun, sementara itu Ruri
menanggapinya dengan santai, "Yang penting
hasilnya sempurna Mas." Liburan mereka pun
habis untuk urusan hidung.
Pramana hampir-hampir tidak mengenali isterinya
ketika tiba-tiba ia mendekapnya dari samping
sambil tertawa-tawa kecil. "Lihat Mas hasilnya, luar
biasa, paling sedikit sekarang nilainya dua kali
empat dong." Pramana terbengong-bengong, ia
merasa ada sesuatu yang hilang, seolah itu bukan
Ruri lagi. "Hidung Ruri yang pesek itu rupanya
lebih menarik buatku. Justru pesek itu sebenarnya
lucu menggemaskan." Ia merasakannya tapi tak
terucapkan.
***
Dalam kesibukan, waktu setahun berjalan dengan
cepat. Perbincangan tentang hidung Ruri yang
dinilainya sendiri dengan sembilan koma sembilan
itu telah reda kecuali bagi teman yang baru
bertemu lagi setelah setahun atau lebih.
Selama ini Ruri sering terkagum-kagum sendiri di
depan cermin besar di kamarnya. Meski telah
punya dua anak, bentuk badannya tetap yahud.
Kulitnya, buah dada, leher, dagu, pipi, mata,
rambut dan tentu saja hidung made in Japan. Akan
tetapi ia periksa sekali lagi, diraba-rabanya hidung
itu berkali-kali. Rasanya agak lemas tidak seperti
sebelumnya.
Berkali-kali Ruri masih sempat mengagumi dirinya
di depan cermin. Namun,  mulai kapan hidung ini
lemas, rasanya tambah lemas saja dari hari
sebelumnya. Ia tidak berani berbicara pada
suaminya terhadap perkembangan itu. Tetapi?
Malam itu Ruri tidak dapat memicingkan mata
bahkan tak mampu membendung tangis
kekhawatirannya. Dengan prihatin Pramana
meraba-raba hidung isterinya. Memang benar,
hidung itu lemas, kadang jatuh ke kiri atau ke
kanan seperti kain belacu tipis kehilangan
kanjinya. Telah dua minggu lamanya Ruri tidak
berani keluar rumah. Ia tak berani membayangkan
bagaimana ia akan menghadapi malapetaka itu.
Dokter ahli setempat menyarankan agar Ruri
kembali ke dokter bedah bersangkutan. Sesampai
di Tokyo suami isteri itu tidak dapat menemukan
klinik tempat Ruri menjalani bedah plastik. Klinik
itu telah diperintahkan tutup setelah  menghadapi
berbagai tuntutan hukum. Seorang ahli yang
menanganinya tak dapat menjamin pemulihannya.
Ruri yang centil dan gembira berubah menjadi
pemurung. Kini hidungnya peka terhadap angin
dan goncangan, jatuh ke kiri atau ke kanan.
"Hidung pesek bukan cacat, terimalah anugerah
Tuhan itu sebagaimana adanya." Betapa mengusik
kata-kata sang suami yang tak dihiraukannya itu.
Jakapermai, 18 Oktober 1994.       

PENGANTIN HILANG (669C)


Oleh Arwan Tuti Artha

Apa jadinya bila pengantin hilang? Tentu terjadi


kegemparan. Mungkin seluruh penduduk akan
sibuk mencari di mana gerangan pengantin itu
berada. Orang tua pengantin pasti menangis
mendengar kabar pengantin itu tidak ada di
tempatnya. Atau mungkin ada yang diam-diam
berpikir, pengantin itu tidak minggat sebetulnya.
Tapi, sedang diculik makhluk halus. Pengantin itu
harus dicarikan tumbal, katanya, ayam hitam
mulus.
“Seekor ayam hitam mulus?” ada yang penasaran
bertanya.
“Ya, kita harus mendapatkan ayam hitam mulus
untuk menebus,” kata Pak Ratman yang dikenal
sangat senang mendatangi makam-makam
keramat.
“Kalau begitu kita perlu mengatakan pada orang
tua pengantin.”
“Setidaknya harus menyediakan ayam hitam
mulus.”
Ada juga yang mempunyai pendapat lain. “Ini jelas
karena lakon cerita wayang kulit yang dipilih keliru.
Seharusnya bukan Srikandi Palakrama tapi Parta
Krama. Jadinya, ya pengantin hilang,” katanya.
Maka, ramailah orang membicarakan Sulasmono
dan Marsih, pengantin yang baru saja dirayakan di
kota kecil kaki Gunung Arjuna itu, yang hilang.
Mereka bertanya-tanya dan menduga-duga, apa
sebab hilang. Padahal, ada keyakinan pengantin
baru tak boleh bepergian jauh sebelum empat
puluh hari.
Tapi, tahukah kita bahwa pagi itu, Sulasmono dan
Marsih mencangkung di jendela hotel di tingkat
tiga. Menyibak gorden. Bau pagi dihirupnya dalam-
dalam. Angin semilir menabrak piyamanya yang
tipis. Dari bingkai jendela itu ia melihat jalanan.
Masih sepi lalu lalang kendaraan, bisiknya.
Sulasmono telah mengajak Marsih, pergi ke hotel
tingkat tiga ini. Hotel yang ditemukan begitu saja
setelah ia sampai di kota ini. Ditempuhnya
perjalanan beratus-ratus kilometer . Sulasmono
hanya ingin menikmati suasana yang lain. Tiga hari
yang lalu mereka menjadi pengantin di sebuah
kota kecil kaki bukit Gunung Arjuna. Ia tentu
membayangkan, kota kecil itu geger karena tidak
menemukan pengantin ada di kamarnya. Tapi, ia
tahu, kepergiannya ini tak membuat orang tuanya
menjadi mati mendadak.
Perjalanan ini barangkali terasa ganjil. Mereka
meninggalkan sanak saudaranya di kota kecil  itu.
Meninggalkan sisa keramaian semalam suntuk.
Ketika mereka jadi pengantin, Ki Dalang Sugiyo
Sastromoeni memang menghibur para tamu
dengan lakon Srikandi Palakrama. Perjalanan
pengantin ini, sama dengan meninggalkan
kebiasaan yang berlaku di kota kecil itu bahwa
pengantin baru tak boleh bepergian begitu jauh
sebelum empat puluh hari.
Tapi, di pagi yang buta sebelum dalang kondang
itu selesai melakonkan Srikandi Palakrama, mereka
telah pergi meninggalkan keramaian itu.
Sulasmono membayangkan, barangkali segala
sudut , segala kolong tempat tidur dicarinya, siapa
tahu pengantinnya bersembunyi di sana.
Barangkali pula, ada yang mencari di pohon-
pohon, siapa tahu wewe gombel menggondol
pengantin baru itu ke puncak pohon dan harus
ditukar dengan ayam hitam mulus? Ternyata,
Sulasmono sudah berada di sebuah hotel
bertingkat, dan pagi itu tengah membayangkan
kejadian itu.
Sulasmono mencium bau pagi yang lain. Bukan
harum wangi mawar, bukan harum wangi melati,
bukan harum wangi kemuning, bukan harum wangi
anggrek. Ia mencium bau tubuh istrinya. Ia
mencium bau matahari pagi seperti mencium bau
masakan sambal goreng yang pedas. Istrinya tahu,
Sulasmono suka pedas-pedas.
Istrinya masih tidur tergolek di atas ranjang.
Wajahnya sedikit tertutup rambutnya yang hitam
legam. Selimutnya sedikit tergeser dari dadanya.
Wajah itu menjadi polos jika Sulasmono
menengoknya, ditimpa sinar matahari yang datang
dari jendela kaca. Seperti begitu nyenyak ia
menikmati mimpinya.
Sulasmono ingin membiarkan istrinya tidur.
Sulasmono lalu membalikkan tubuhnya,
membelakangi jendela itu dan menatap istrinya
yang manis tengah tergolek di atas ranjang.
Dalam-dalam wajah yang ia temukan pada istrinya
itu dipandangnya. Lalu tersenyum sendiri.
Akhirnya, aku bisa menikahimu, batinnya.
Kemudian ia memandang leher istrinya, sebuah
kalung yang melingkar leher itu terpuruk jatuh ke
atas bantal.
***
Tiga hari yang lalu mereka memang duduk di atas
pelaminan, sebagai pengantin di kota kecil itu.
Istrinya tidak mengenakan kalung itu. Tetapi
segala hiasan imitasi yang melekat di tubuh
istrinya telah menyulapnya menjadi ratu. Ratu
yang paling cantik. Sedang dirinya disulap menjadi
raja yang paling perkasa.
“Kita menjadi pengantin, Marsih,” kata Sulasmono.
“Disaksikan oleh orang-orang, sanak famili kita,
handai taulan kita, dan musuh-musuh kita juga,”
kata Marsih.
“Musuh-musuh kita?”
“Ya, kita seperti berada di kubu musuh yang begitu
ketat memegang tradisi, yang masih belum
menerima perubahan. Aku tahu, engkau akan
merasa tidak betah melihat kenyataan ini. Dan
engkau akan mengajakku pergi jauh meninggalkan
mereka, bukan?”
“Untuk sementara.”
“Ya, untuk sementara.”
“Marsih, apakah engkau sedang membaca detak
jantungku?”
“Aku juga membaca wajahmu.”
“Engkau juga membaca maksudku pula?
“Apa yang ada pada dirimu?”
“Memang aku ingin mengajakmu pergi setelah
upacara pengantin ini usai. Mungkin untuk
sementara. Kita akan melakukan perjalanan jauh,
kita minggat beratus-ratus kilometer di pagi buta.
Tapi, kita tidak akan bilang siapa-siapa.” Dan
kedua pengantin baru itu tersenyum.
“Ke mana?”
“Ke timur.”
“Timur yang mana?”
“Ke arah matahari terbit.”
“Edan. Kamu nekat. Bagaimana kalau orang-orang
itu semaput melihat kita tidak ada di tempat?”
“Tidak, tentu tidak. Mereka tentu mengira kita
sedang jalan-jalan atau tersesat. Atau mereka
pasti akan mengira  kita tentu akan segera
kembali.”
Sulasmono tersenyum sendirian. Seperti ada
perasaan lega karena ia benar-benar
melaksanakan apa yang menjadi pikirannya.
Marsih tidak menolak. Marsih menurut saja apa
kata pikiran suaminya. Dan kini ia sudah berada
jauh beratus-ratus kilometer dari rumahnya.
Sulasmono memandang wajah istrinya.Istrinya
masih tergolek atau pura-pura tidur. Selimutnya
yang tersingkap menampakkan paha Marsih yang
putih. Apa yang telah mereka lakukan semalam,
telah mengisi pikiran segar Sulasmono bahwa ia
hidup tidak sendirian lagi.
Tiba-tiba istrinya menggeliat.
Sulasmono menggeser berdirinya, sehingga
jendela yang terbuka itu seperti menelan tubuh
Marsih bulat-bulat. Agar bau pagi dihirupnya
dalam-dalam, agar angin yang semilir bau sambal
goreng diciumnya dalam-dalam, agar alam turut
menyaksikan bahwa istrinya adalah bagian dari
keindahan alam.
“Engkau sudah bangun lebih dahulu,” ucap
istrinya.
“Kau tidur begitu nyenyak, Marsih. Sebenarnya aku
tak ingin membangunkanmu. Aku ingin melihat
engkau tidur pulas.”
Tetapi, istrinya bangun. Lalu ia duduk di atas
ranjang, memeluk lutut kakinya. Selimutnya masih
menutup sebagian pangkuannya. Rambut Marsih
jatuh ke pundak. Seperti lukisan yang dibuat
Basuki Abdullah.
“Engkau mimpi apa semalam?’
“Mimpi ditelan matahari musim kemarau.”
“Dan engkau dilumat-lumat matahari itu,” tunjuk
Marsih.
“Engkaulah matahari itu,” tunjuk Marsih.
“Marsih istriku, kita berada jauh beratus-ratus
kilometer dari tempat kita. Di sini tidak ada orang
yang mengenal kita, kecuali petugas hotel yang
mencatat nama kita di buku administrasi. Tapi,
engkau tetap Marsih istriku,” kata Sulasmono
sambil menghampiri istrinya.
Dan tiba-tiba Sulasmono ingin mencium istrinya.
“He, engkau belum mandi,” celetuk istrinya.
“Engkau juga baru bangun tidur,” balas
Sulasmono.
Keduanya lantas tertawa bergelak-gelak. Dua ekor
burung bercericit di atas kawat telepon.  Jendela
hotel tingkat tiga itu membingkai langit bagai
lukisan anak kecil. Kemudian sebuah kapal terbang
melintas. Menyebarkan asap warna kelabu. Pagi
pun berubah menjadi panas dan berkeringat.
***
Juga pagi itu. Sulasmono bangun dengan rasa ia
sudah memiliki seorang istri yang cantik. Seorang
kembang desa yang apabila Sulasmono tak segera
menikahinya bisa-bisa direbut orang lain. Rasa
seperti itu menjadi alasan untuk hidup sejuta tahun
lamanya. Tanpa masalah. Tanpa persoalan. Tanpa
beban. Tanpa dosa. Rasa seperti itu menyadarkan
Sulasmono pada kebiasaannya bersendiri.
“Marsih, pagi telah berubah menjadi siang yang
panas. Aku lapar. Kita makan apa pagi ini?”
“Engkau pasti ingin makan dengan lauk sambal
goreng pedas.”
“Sambal goreng pedas?”
“Bukankah engkau mencium bau matahari seperti
mencium masakan sambal goreng yang pedas?”
“Kerupuk udang.”
“Opor ayam.”
“Engkau selalu bisa menerjemahkan apa yang
tersimpan dalam diriku, Marsih. Sejak kita hendak
berangkat ke timur, ke arah matahari terbit,
engkau selalu menerjemahkan dengan tepat
pikiranku. Termasuk apa yang ingin kita makan
bersama-sama.”
“Seorang istri adalah seorang istri yang harus
mengerti suaminya. Sekarang kita mandi.
Wajahmu sudah kelihatan begitu lapar dan
berkeringat.”
Sulasmono tersenyum lalu mengangkat tubuh
istrinya. Selimut warna merah itu jatuh pelan-pelan
dari tubuh Marsih ke atas ranjang. Dipondongnya
istrinya menuju kamar mandi. Kamar mandi itu
berada tak jauh dari tempat tidur. Lalu terdengar
air mengguyur tubuh mereka.
Berada di hotel ini sebenarnya mereka tengah
berada dalam kehidupan yang mewah. Mirip
sebuah mimpi. Sebuah mimpi panjang sepasang
pengantin dari kota kecil kaki bukit Gunung Arjuna
itu. Mereka tidak akan berada di hotel ini untuk
selamanya. Sebab mereka harus kembali.
“Kita harus kembali siang ini.”
Ya, kita tidak akan selamanya di sini.”
Ketika Sulasmono dan Marsih bersiap-siap hendak
meninggalkan hotel itu dan kembali ke rumahnya
di kota kecil kaki Gunung Arjuno, orang tua mereka
sudah mendapatkan ayam hitam mulus. Lalu
mereka segera mendatangi rumah Pak Ratman.
Dengan sigap Pak Ratman menyambutnya.“Pasti,
pasti pengantin itu akan kembali karena kita sudah
mendapatkan ayam hitam mulus. Segera saja
ayam hitam mulus itu disembelih untuk tumbal,”
kata Pak Ratman kemudian.
Orang tua pengantin itu seperti menurut saja apa
kata Pak Ratman.
“Mungkin sekarang Sulasmono dan Marsih sedang
dalam perjalanan ke mari,” kata Pak Ratman lagi
sambil bersiap-siap menyembelih ayam hitam
mulus itu.
“Pak Ratman begitu yakin?”
“Saya yakin dan sampeyan harus percaya pada
saya.”
Orang tua pengantin itu tersenyum
membayangkan sebuah pertemuan.
Yogyakarta, 2000

ALMARHUM NENEK (D)


Oleh Bambang Joko Susilo

Sore ini aku dapat telepon interlokal dari desa.


Isinya singkat: Nenek meninggal dunia! Sudah
kuduga Nenek yang belakangan ini selalu sakit-
sakitan akhirnya “berangkat” juga. Pertemuanku
terakhir dengannya terjadi sebulan yang lalu.
Waktu itu Nenek mengeluh badannya sering terasa
lumpuh.
“Kalau nanti aku mati, jangan lupa kirimi kembang
setaman di kuburku ya, tole!” begitu Nenek
berkata ketika  aku duduk di samping
pembaringannya, seolah yakin maut telah begitu
dekat. Kini firasat Nenek menjadi kenyataan.
Sore ini mau tak mau aku harus pulang. Harapanku
cuma satu: semoga masih dapat melihat  jasad
Nenek dan ikut menyalatkannya sebelum
dimasukkan ke liang kubur. Berarti besuk pagi aku
harus sudah sampai di desa.
Kereta senja ekonomi yang kutumpangi berangkat
pukul 18.00 dari stasiun Senen. Gerimis kecil yang
turun sore ini seolah berikan isyarat perpisahan
sementara dengan kota Jakarta.
Aku dapat tempat duduk di gerbong tengah.
Kebetulan satu ruangan dengan sepasang kakek
nenek tua yang keduanya mengenakan kacamata
putih. Melihat mereka, aku teringat kehidupan
kakek nenekku sendiri sewaktu aku tinggal
bersama-sama mereka. Merekalah yang
mengasuhku belasan tahun yang lalu di desa
sewaktu aku masih kecil. Ayahku meninggal dunia
dan ibuku kawin lagi dengan seorang duda. Mereka
mencoba mengadu nasib ke kota dan aku
dititipkannya pada Nenek. Aku tinggal bersama
kakek nenekku hingga tamat SMP. Setelah itu
menyusul orang tua ke kota. Kakek meninggal tiga
tahun kemudian setamat aku SMA. Kini, Nenek
menyusul Kakek. Satu persatu orang-orang yang
kucintai itu “berangkat” juga.
Entah sejak kapan aku senang menyebut kematian
dengan istilah “berangkat” Ya, seperti
berangkatnya kereta api yang kutumpangi ini.
Setelah gerbong penuh terisi penumpang, pintu
ditutup rapat-rapat, mesin dihidupkan, sinyal hijau
menyala, penumpang nyenyak di dalam, maka
masinis pun menjalankan kendaraannya,
berangkat menuju daerah tujuan, melewati stasiun
demi stasiun, hingga akhirnya sampai pada
“stasiun” terakhir.
Betapa tidak. Coba bayangkan. Dulu, kita berada di
rahim ibu. Di situ kita berkenalan lebih kurang
sembilan bulan tanpa pernah tahu apa saja yang
kita lakukan di perut Ibu. Setelah itu, kita keluar
dari rahim Ibu dan menghirup udara dunia ini. Di
sini kita berjuang dalam suka duka sampai
akhirnya maut menjemput. Setelah mati, yang
sering kusebut dengan istilah “berangkat” itu,
alam lain telah menanti kita yang kita tidak tahu
bagaimana bentuk kehidupannya. Itulah alam
kubur atau alam barzah. Di sini, kita konon akan
hidup ribuan tahun sebelum dikumpulkan di
padang Masyar. Setelah itu, barulah menuju alam
akhirat. Begitu ceramah agama yang sering
kudengar.
Bagiku kematian bukanlah hal yang mesti
ditakutkan. Ia peristiwa wajar saja dalam
kehidupan manusia. Sama wajarnya dengan
kehidupan itu sendiri. Aku berpandangan demikian
mungkin karena sudah terbiasa menghadapi
kejadian ini. Hampir setiap hari aku menyaksikan
peristiwa kematian demi kematian di sekelilingku.
Waktu si Togop mati, aku biasa-biasa saja, tidak
bersedih, apalagi menangis. Padahal, dia sahabat
karibku di kantor.
“Temanmu mati tapi kamu tenang-tenang saja,”
komentar Joni di sampingku saat mengantar jasad
Togop ke tempat peristirahatannya. Aku cuma
berbisik, “Dia tidak mati, cuma berangkat ke tanah
seberang!”
Sekarang pun aku yakin, Nenek sedang berangkat
ke tanah seberang. Karena itu, ketika kabar
kematian Nenek kudengar, aku berdoa, “Semoga
engkau bahagia, Nek dan selamat sampai tujuan!”
Perjalanan malam yang kulalui dalam kereta kali
ini tidak bedanya dengan perjalanan yang pernah
kulakukan pada waktu-waktu sebelumnya.
Gerbong penuh sesak. Beberapa orang yang tak
kebagian tempat duduk terpaksa tidur beralaskan
tikar atau koran di lantai. Sementara pedagang
asongan hilir mudik sibuk menjajakan makanannya
sambil melangkahi tubuh-tubuh yang
bergelimpangan di sana sini. Beginilah selalu
keadaan kereta api keas ekonomi!
Mungkin karena terlalu lelah atau bosan melihat
pemandangan yang tidak berubah, aku pun
tertidur setelah berbincang sejenak dengan
sepasang kakek nenek di hadapanku dan seorang
bapak di sampingku yang tak henti-hentinya
mengepulkan asap rokok.
*  *  *
Aku terbangun ketika bapak di sampingku itu
menepuk-nepuk pundakku. “Adik turun Solo
Balapan, bukan? tanyanya.
“Betul,” jawabku sambil mengucak-ucak mata.
“Siap-siap, Dik. Kereta sudah memasuki stasiun
Solo!”
Lo, cepat benar. Demikian batinku. Benarkah kata-
kata bapak itu?
Kecepatan kereta api secara perlahan berkurang.
Pemandangan kiri kanan terlihat remang-remang
dari balik jendela. Kota Solo masih tidur. Yang
nampak cuma kerlap kerlip lampu malam.
Suasananya sepi. Aku merasa seperti sedang
memasuki sebuah lorong gelap. Dan kesunyian itu
terasa kian mencekam ketika rem kereta ditarik
sehingga roda besinya berdencit-dencit
menghantam rel sebelum akhirnya berhenti sama
sekali.
Aku pun turun dan kembaIi berdiri di stasiun ini.
Entah sudah berapa kali aku memasuki kota Solo
lewat stasiun ini pada malam hari menjelang
subuh.  Namun, suasana yang kutemui sekarang
terasa lain. Benar-benar sunyi. Tak ada sedikit pun
kesibukan di sini. Tidak ada orang lalu lalang
seperti biasanya. Padahal stasiun besar mestinya
ramai oleh pedagang asongan  atau para
penumpang walau tengah malam sekalipun.
Stasiun seolah berubah jadi kota mati.
Sejenak aku ragu. Betulkah ini stasiun Solo
Balapan? Dengan tindakan begitu tolol aku
mencoba mengenali  kembali segala sesuatu yang
menjadi ciri khas kotaku ini yang memang benar-
benar sudah kuhapal sejak dulu. Tidak salah, ini
memang stasiun Solo Balapan. Tapi mengapa
begitu lengang.
Kulihat hanya ada satu petugas yang sedang
mengerjakan sesuatu di pintu loket. Di kursi ruang
tunggu, nampak tiga orang kuli angkut barang
tertidur pulas. Suara ngoroknya terdengar
berlomba. Dan di dekat pintu keluar ada seorang 
nenek tua  tampak sedang berdiri mencakung,
seolah menunggu sesuatu
Kutengok jam tanganku. Pukul tiga lewat
seperempat. Aku merasa agak heran. Mengapa
pukul sekian kereta sudah sampai. Biasanya pukul
enam atau tujuh pagi kereta baru tiba di stasiun
ini. Ataukah mungkin jam tanganku mati? Untuk
meyakinkan perasaanku, aku segera menghampiri
nenek tua yang berdiri mencakung di pintu keluar
itu.
Dan aku hampir saja terpekik setelah mengetahui
siapa sesunggunnya yang sedang berdiri di tepi
pintu keluar itu. “Nek….!” Suaraku tercekat di
tenggorokan.
Perempuan tua itu, yang kuyakin memang
nenekku tersenyum. Sejenak aku terpaku. Degup
jantungku memburu. Sebelum aku sempat
menanyakan sesuatu untuk melepas keherananku,
Nenek serta merta memanggil tukang becak yang
telah menunggu di halaman parkir. Nenek segera
mengajakku naik ke becak tersebut sambil
menyuruh angkat ranselku. Tapi, tentu saja aku
tidak langsung mau menuruti kemauannya.  Aku
masih diliputi keheranan yang membuatku
bingung tak menentu.
Aku pun bertanya pada Nenek, “Sandiwara apa
yang sedang engkau gelar ini, Nek? Apakah
telepon interlokal dari desa cuma main-main?
Katanya Nenek meninggal. Namun, nyatanya
sekarang Nenek malah menjemput kedatanganku
did tasiun ini!”
Nenek solah tidak mempedulikan perkataanku. Ia
seperti memaksaku untuk segera naik becak. Tapi,
aku tidak beranjak sebelum ia menjelaskan
segalanya secara tuntas. Sebentar terjadi
keributan kecil di pintu stasiun itu, hingga akhirnya
petugas keamanan akhirnya datang ke tempat
kami. Petugas itu bertanya mengapa kami ribut-
ribut di tengah malam begini. Segera kujelaskan
duduk persoalannya.
“Jadi adik ke mari dijemput Nenek?” tanya satpam
dengan pandangan heran.
“Betul, Pak. Kemarin saya dapat interlokal dari
desa yang mengatakan Nenek meninggal dunia.
Tapi, nyatanya ia malah menjemput saya di stasiun
ini. Berarti Nenek membohongi saya, Pak!”
“Apakah adik sedang bermimpi?”
“Bermimpi?”
“Tidak ada nenek-nenek di tempat ini. Mungkin itu
hanya halusinasi adik saja.”
“Haaah? Aku terkejut bukan main. Aku menoleh ke
samping. Nenek tidak ada!
Ia raib begitu saja. “Tapi…tapi…tak mungkin, Pak!”
ujarku terbata-bata. Sudah tentu aku tidak percaya
pada kejadian ganjil ini sebab selama ini aku
memang selalu berusaha untuk tidak mempercayai
segala sesuatu yang berbau tahayul. Nenek pasti
ingin mengajakku bercanda, demikian pikirku.
Maka aku pun segera mencarinya di sekitar pintu
itu sambil memanggil-manggilnya, “Nek! Nek!
Nek…!”
***
Barulah aku berhenti memanggil-manggil setelah
kurasakan ada tangan mengguncang-guncang
tubuhku, “Bangun, Nak! Bangun!”
Aku terjaga. Astaga…, aku ternyata benar-benar
bermimpi. Seperti orang linglung aku memandangi
sepasang kakek nenek yang duduk di hadapanku.
Merekalah yang membangunkan aku.
“Engkau mengigau, Nak. Tentu kau bermimpi
ketemu Nenek, ya? Sampai memanggil-
manggilnya,” kata salah seorang sambil
tersenyum-senyum.
“Siap-siap, Nak. Kita sudah hampir memasuki kota
Solo,” kata yang satunya lagi.
Aku mengucak-ucak mata. Kutengok jendela.
Nampak hari sudah hampir fajar. Benar, kereta
telah memasuki gerbang kotaSolo. Dengan
perasaan masih linglung dan hampir-hampir tidak
percaya, aku berusaha mencerna kembali
peristiwa yang barusan terjadi.
“Ah, tak kusangka, almarhum Nenek menyambut
kedatanganku lewat mimpi.

Jatimulya, Nov. 2000

MENJELANG TAKBIR
Oleh Yus R. Ismail
Stasiun penuh sesak. Orang-orang berdatangan.
Setiap bus kota berhenti, selalu memuntahkan
puluhan orang. Mereka membawa ransel dan dus.
Mereka menunggu kereta, bergeletakan di lantai
peron. Dan begitu kereta datang, mereka
berdesakan di pintu dan jendela.
Ke mana sebenarnya tujuan mereka? Tentunya
beragam tempat mereka tuju. Mereka pulang ke
kampung halaman, tempat keluarganya bermula.
Apakah tujuan hidup adalah pulang ke kampung
halaman? Di televisi, setiap waktu diberitakan
bagaimana sesaknya terminal, stasiun, bandara.
Sejauh-jauhnya orang merantau, menjelang Idul
Fitri seperti ini mereka pulang ke kampung
halaman.
Bertahun-tahun aku selalu datang ke terminal atau
stasiun atau bandara, setiap menjelang Idul Fitri.
Bukan untuk memesan tiket atau ikut berebut
tempat agar terbawa kendaraan. Aku datang dan
duduk-duduk di sana hanya untuk melihat orang-
orang begitu semangat dan tanpa kompromi
berebut tempat. Tidak peduli ada nenek-nenek
yang berjalannya pun tidak lagi tegak, tidak peduli
ibu hamil begitu kelelahan saat berkali-kali bus
datang tidak kebagian tempat, tidak peduli ada
bayi menangis keras karena gerah dan pengap.
Sebaiknya hidup memang tidak dipersulit oleh
tetek bengek sebangsa tujuan atau keharusan
berkumpul di tempat dan waktu tertentu. Karena
yang terpenting dalam hidup adalah untuk
menikmatinya. Menikmatinya. Sambil melihat
orang-orang berdesakan, aku selalu meyakini
pikiran itu. Berjam-jam. Sampai Si Botak, sopirku
menghampiri.
“Pak, sudah sore. Jadi berangkat atau tidak?”
Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh belas.
“Balik lagi. Besok kita ke stasiun, siapa tahu aku
punya keyakinan.”
Si Botak membawa koper dan oleh-oleh lainnya
yang telah kubeli. Aku berjalan dengan hati begitu
kosong. Di saku celana, kuraba lagi sepucuk surat
dari Emak, yang memintaku untuk pulang.
***
Sepuluh tahun lalu aku pernah pulang menjelang
Idul Fitri. Orang sekampungku menyambutku
karena aku dianggap perantau yang berhasil. Aku
memang membawa oleh-oleh, tidak hanya untuk
Emak dan Ningsih, adikku, tapi juga untuk
tetangga, saudara, dan kenalan lainnya.
Bermalam-malam sehabis salat tarawih, mereka
berkumpul di rumah Emak. Sambil menyedot
berbatang-batang rokok yang kusediakan, mereka
mendengarkan kisah keberhasilanku di kota.
Mereka berdecak, menggeleng, mengangguk, atau
tertawa tanda kagum kepadaku.
Tapi, itulah terakhir kalinya aku pulang. Ada yang
tidak aku ceritakan kepada saudara dan kenalanku
di kampung saat mereka kumpul di rumah Emak.
Mereka tidak tahu, saat mereka berdecak,
mengangguk atau tertawa, pikiranku melayang
entah ke mana. Hatiku terasa perih, gundah, tidak
pernah tentram. Emak sendiri tidak tahu. Ningsih
tidak tahu. Semuanya tidak tahu.
Kampungku termasuk di pedalaman. Untuk
mencapainya, bila memakai kendaraan umum, dari
kota kecamatan harus menunggu angkutan yang
selalu penuh sesak sampai ke atap. Sehari paling
ada dua kendaraan yang berangkat dari kota
kecamatan. Mobil penuh manusia dan barang itu,
bergoyang-goyang di jalan berbatu, selalu hampir
terguling.
Tapi, selain alat transportasi yang tidak memadai,
semua yang ada di kampungku begitu
menyenangkan. Udara selalu segar. Tidak hanya
pagi, tengah hari pun matahari tidak menyengat.
Air bersih mengalir di mana-mana. Sawah, sungai,
selokan, mengalirkan air bersih yang bisa dipakai
mencuci atau diminum.
Orang-orang saling mengenal. Ke pelosok mana
pun aku melangkah, orang-orang menyapa. Kita
bisa berbincang akrab di mana pun, di rumah siapa
pun, sampai kapan pun. Di kampungku yang
namanya hiburan paling radio dan satu dua televisi
hitam putih yang dinyalakan waktu tertentu saja
karena harus memakai accu. Karenanya, begitu
puasa tiba, setiap malam orang-orang tumpah di
masjid. Setelah alat tarawih, mereka bergiliran
tadarus, sampai menjelang sahur. Setelah salat
subuh, anak-anak mendengarkan ceramah dari
para remaja pengurus masjid. Siangnya, sepulang
sekolah, anak-anak ngaji sampai menjelang beduk
magrib.
Ningsih, adikku yang baru kelas tiga SMP, sudah
berkali-kali khatam Alquran. Dia mulai dipercaya
mengenalkan huruf-huruf Alquran kepada anak-
anak kecil. Di rumah, gadis cantik itu seperti tidak
pernah berhenti membawa Alquran. Setiap selesai
salat, dia membacanya. Suaranya yang merdu
selalu kudengar, seperti yang mengikuti ke mana
pun aku pergi.
“Tiga hari di sini, Ningsih belum pernah mendengar
Akang ngaji. Apakah di kota tidak diperlukan lagi
membaca Alquran?” tanya Ningsih, setelah kami
buka puasa. Aku hanya tersenyum, mengambil
sarung dan cepat-cepat pergi dengan alasan takut
telat salat tarawih berjamaah di masjid. Emak yang
dari tadi memperhatikanku, aku rasa Emak ingin
tahu jawabanku, memandangku sampai aku
menghilang di balik pintu.
Di kampungku ini, dalam suasana yang tenang,
aku pernah berkali-kali ingin membaca kembali
Alquran. Saat terbangun tengah malam, aku
mengambil wudlu, lalu duduk di sajadah. Namun,
yang keluar bukan ayat-ayat suci itu, malah air
mata. Aku simpan Alquran, lalu keluar rumah. Aku
merokok berbatang-batang. Begitu Idul Fitri tiba,
siangnya aku pamitan kepada semuanya dan
mengatakan bahwa aku sibuk. Orang-orang
mempercayaiku.
***
Tidak banyak orang yang merantau di kampungku.
Suasana alam yang tenang, subur, barangkali
memanjakan  penduduknya. Hidup di kampung
memang tidak bisa membeli banyak hal, tapi juga
tidak kekurangan. Sayuran dan makanan tumbuh
di mana-mana. Hanya alasan tertentu yang
membuat pemuda  pergi merantau.
Aku pergi ke kota, belasan tahun yang lalu, karena
Bapak meninggal. Aku tidak bisa meneruskan
sekolah setamat SMP. Emak tidak bisa mengelola
sedikit sawah peninggalan Bapak karena Ningsing
masih kecil, baru satu tahun. Sementara aku
belum memadai untuk menanggung beban
keluarga dengan bertani. Aku pergi ke kota begitu
ada kabar dari tetangga bahwa di kota banyak
dibutuhkan tenaga bangunan.
Beberapa bulan aku kerja di bangunan. Begitu
berkenalan dengan seorang tukang nasi goreng,
aku membantu mencuci piring dan meracik
bumbu-bumbu.Terasa menyenangkan kerja di
warung nasi, tidak terlalu melelahkan dibanding
bekerja di bangunan. Meski upahku tidak besar,
tapi aku bisa menabung dan lumayan bisa
mengirim Emak begitu mudik.
Nasibku berubah total ketika suatu malam warung
nasi goreng tempatku bekerja diobrak-abrik
serombongan orang. Kursi-kursi dipatahkan, roda
dorong dijatuhkan, dan Mas Sulis, pemilik warung,
dipukul sampai babak belur. Aku tidak bisa berbuat
banyak, k arena kejadian yang tidak kubayangkan
itu begitu cepat. Aku sempat menghajar dua orang
dari mereka. Ketika orang-orang ramai melihat,
rombongan perusuh itu telah pergi.
Tiga hari aku menunggu Mas Sulis di rumah sakit.
Kata Mas Sulis, perusuh itu datang karena Mas
Sulis tidak membayar “uang keamanan” seperti
biasa. Sepanjang jalan ini, setiap pedagang harus
menyerahkan “uang keamanan”  kepada kelompok
perusuh itu. Siapa sebenarnya kelompok itu, Mas
Sulis tidak begitu tahu. Tapi, pedagang manapun
yang tidak membayar, apalagi melawan, akan
mengalami nasib seperti Mas Sulis. Diganggu
terus-terusan, bahkan dibunuh.
Begitu pulang ke tempat kontrakan, setelah istri
Mas Sulis datang dari Madiun, aku memperbaiki
kursi dan perabotan yang rusak. Aku berdagang
kembali. Saat itulah, rombongan perusuh itu
datang lagi. Aku memang disuruh Mas Sulis untuk
menyerahkan “uang keamanan” yang jumlahnya
ternyata besar. Tapi aku bertekad untuk tidak
memberikannya. Aku siap melawan.
Lima orang perusuh itu pulang terhuyung-huyung.
Aku memang tidak pernah berkelahi, tapi jurus-
jurus silat telah kulatih sejak aku ingat. Di
kampungku, anak-anak berlatih silat dengan
meloncat-loncat di batu kecil di tengah sungai,
mematahkan setumpuk bata, memanjat pohon
cepat, adalah hal biasa.
Tengah malam saat aku membereskan dagangan,
pemimpin perusuh itu datang dan menantangku
bertarung di belakang pasar. Aku
menyanggupinya. Ini sudah tekadku. Si Gajah,
pemimpin perusuh itu, memang berbadan besar
dan pukulannya keras. Tapi dia tak berkutik di
depanku. Badannya babak belur. Mungkin
tangannya patah karena aku terlalu keras
memukulnya.
Aku memang sudah berniat membuat kapok
kelompok perusuh itu. Tapi tidak kurencanakan
saat mereka mengaku takluk, mohon tidak
diganggu usahanya, dan bersedia untuk setor
setiap bulan kepadaku. Aku tidak tahu pekerjaan
mereka. Tapi, setoran mereka termasuk sangat
besar bagiku. Sejak  itu, aku berhenti bekerja di
warung nasi. Aku mengontrak rumah sendiri,
membuka warung kecil-kecilan. Penghasilanku
semakin tidak terbayangkan besarnya, ketika
seorang bos tempat hiburan menawariku, pada
malam-malam tertentu, mengamankan pertemuan
bos-bos lainnya.
Aku tahu yang dikerjakan mereka jahat semua.
Anak buahku meminta jatah di jalan-jalan yang
semakin luas. Bos tempat hiburan itu
mengadakanjudi terselubung kelas tinggi. Tapi,
aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Hidup
semakin menyenangkan dengan bergelimang
harta. Rumahku besar. Usahaku lancar. Wanita
cantik menemaniku. Aku jarang turun ke jalanan,
kecuali bila anak buahku laporan, tidak sanggup
menghadapi kelompok lainnya, aku turun dan
menghabisi mereka.
Tapi, imbalannya, aku tidak berani pulang ke
kampung. Di tempat tenteram itu aku tersiksa.
Ketika Ningsih menikah, aku datang pagi dan
pulang siang. Dan setiap Idul Fitri tiba, ketika
hampir semua anak buahku mudik, aku hanya
bolak-balik ke terminal, stasiun, atau bandara.
Akhirnya aku tidak berani pulang. Hanya kurirku, Si
Botak, yang pergi mengantarkan oleh-oleh untuk
Emak dan saudara lainnya. Dan sepucuk surat
kutulis yang menyatakan aku sibuk.
Kata Si Botak, Emak dan Ningsih masih selalu
menungguku. Mereka membuatkan ubi bakar dan
kue sampeu wedang kesukaanku. Mereka
mengharap aku datang, meski hanya satu jam.

Anda mungkin juga menyukai