Pierre Bourdieu Sang Juru Damai PDF
Pierre Bourdieu Sang Juru Damai PDF
Nanang Krisdinanto
Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Email: nangkris1@gmail.com
ABSTRAK
Pierre Bourdieu membangun orientasi teoreiknya sebagai jalan keluar dari sesuatu
yang disebutnya sebagai oposisi palsu antara objektivisme dan subjektivisme, atau mengutip
kalimat Bourdieu sendiri: “pertentangan absurd antara individu dan masyarakat.” Bourdieu
menawarkan cara pandang dualitas terhadap hubungan agen dan struktur, sebagai alternatif
cara pandang dualisme yang banyak berlaku sebelumnya. Bourdieu menyebut orientasi
teoritiknya sebagai strukturalisme genetik, strukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme
strukturalis. Melalui konsep habitus, ranah (field, champ), dan modal, Bourdieu
mengintegrasikan objektivisme (yang mengedepankan peran struktur objektif dalam praktik
sosial) dan subjektivisme (yang mengedepankan peran agen dalam praktik sosial). Bourdieu
merumuskan teori praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.
Praktik, dalam pikiran Bourdieu, merupakan produk relasi habitus dan ranah, di mana di
dalam ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki
modal, serta orang yang tidak memiliki modal.
Kata Kunci: habitus, modal, ranah, praktik
ABSTRACT
Pierre Bourdieu built his theoretical orientation as a solution to what he saw as a
false opposition between objectivism and subjectivism; to quote Bourdieu: ―absurd
opposition between individual and society‖. Bourdieu offered a point of view that emphasizes
on duality in the relationship between agent and structure, as an alternative to the previously
existing dualistic views. Bourdieu refers to his theoretical orientation as genetic
structuralism, constructivist structuralism or structuralist constructivism. Through the
concept of habitus, field, and capital, Bourdieu integrated objectivism (which emphasizes the
role of objective structure in social practice) and subjectivism (which emphasizes the role of
agent in social practice). Bourdieu formulated the theory of social practice with the equation
(Habitus x Capital) + Field = Practice. Practice, in Bourdieu‘s mind, is the product of the
relationship between habitus and field, wherein within field itself there are powers at stake,
especially between people with capital and people without capital.
Keywords: Habitus, Capital, Field, Practise
PENDAHULUAN
Mengapa pikiran-pikiran Pierre Bourdieu (1930-2002) penting dan menarik
dalam khasanah ilmu sosial? Setidaknya, ada dua hal yang membuat pikiran
Bourdieu unik dan signifikan, terkait dengan upayanya mengatasi masalah dikotomi
individu-masyarakat, agen-struktur sosial, dan kebebasan-determinisme, yang
kemudian disebutnya sebagai strukturalisme genetis, strukturalisme konstruktivis,
atau konstruktivisme strukturalis.
190 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
prestisius seperti direktur Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS),
direktur pusat kajian sosiologi Eropa dan majalah Actes de la Rocherche en Sciences
Sociales, editor di penerbit Le Sens Common. Pada masa-masa ini, dia menulis
berbagai buku yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
dalam bahasa Inggris, ketertarikan kepada Bourdieu kian tumbuh di daratan Inggris
Raya dan Amerika Serikat. Pada akhir 1980-an, dia telah menjelma menjadi salah
satu ilmuwan sosial Prancis yang paling banyak dikutip di Amerika Serikat, bahkan
mengalahkan nama besar seperti tokoh strukturalis Claude Levi-Strauss.
Sumbangannya terhadap kajian antropologi, sosiologi bahasa, relasi budaya dan kelas
sosial, dan sosiologi kebudayaan mendapat pengakuan luas. Karya-karyanya menjadi
referensi standar kajian-kajian sosiologi kebudayaan. Tema-tema karyanya merentang
luas dari etnografi masyarakat petani di Aljazair, analisis sosiologis terhadap seniman
dan penulis pada abad ke-19, pendidikan, bahasan, selara konsumen dan selera
budaya, agama, sampai sains dalam masyakarat Prancis modern. Melalui karya-
karyanya, Bourdieu mengukuhkan dirinya sebagai teoritisi sosial besar yang juga
melakukan riset empiris (Swartz: 1997).
Dia kemudian juga muncul di radio dan televisi, sesuatu yang dia hindari
sebelumnya, dan menjadi partisipan aktif dari kelompok-kelompok penekan. Pada
fase ini, Bourdieu mulai menjadi aktivis politik. Beda dengan sejumlah intelektual
Prancis pada masanya, Bourdieu bergabung dengan aktivis di luar kampus dan
terlibat langsung dalam aksi protes atau pemogokan (Susen dan Turner: 2011).
Dia juga menyerukan intelektual mendukung pemogokan pekerja kerata api
di Prancis pada 1995. Pada Maret 1996 dia bahkan menandatangani petisi
pembangkangan sipil melawan hukum Prancis yang memperkeras legislasi imigrasi.
Bourdieu juga membela kaum tunawisma, pensiunan, kaum buruh, aktivis
antirasisme, lesbian-gay, dan imigran. Saat bekas kampusnya diduduki para
pengangguran pada 1998, Bourdieu memihak pendudukan tersebut. Dia juga
melawan penghapusan subsidi atas nama kompetisi global dan pasar bebas. (Mutahir:
2011) Bourdieu dipandang telah menciptakan posisi baru dalam ranah intelektual:
posisi intelektual yang mau terlibat dalam kerja emansipasi.
Karena tulisan dan aktivitas kritisnya, Bourdieu disemati berbagai julukan.
Dia disebut sebagai nabi, dewa, sosiolog teroris (sociological terrorist), diktator
intelektual (intellectual dictator), pemimpin pemujaan (cult leader), dan sebagainya.
(Cabin dalam Dortier: 2005) Nama Bourdieu bahkan diotak-atik dalam permainan
kata menjadi “bour-dieu,” yang dalam bahasa Prancis berarti dewa. Pemberontakan
sang dewa ini baru berhenti pada 23 Januari 2002 setelah tubuhnya takluk oleh
kanker.
tindakan praktis (Lechte: 2001). Salah satu nama yang disebut Bourdieu, yakni
Claude Levi-Strauss dan Ferdinand de Saussure (yang mengibarkan bendera
strukturalisme), dan Jean Paul Sartre (mengibarkan bendera eksistensialisme),
merupakan representasi dari diskusi di ranah intelektual Prancis saat itu. Kedua
pemikir tersebut sering dipertentangkan.
Levi-Strauss ditempatkan dalam kubu strukturalisme, yang meyakini adanya
struktur yang berdiri sendiri di luar kesadaran individu dan struktur tersebut
memengaruhi tindakan individu. Pendekatan Levi-Strauss lebih bersifat objektivisme
yang cenderung mengabaikan individu. Sebaliknya, Sartre diletakkan pada kubu yang
memiliki pendekatan voluntarisme dalam melihat realitas. Pendekatan ini lebih
bersifat subjektivisme, berakar pada cara pandang fenomenologi yang menempatkan
individu sebagai aktor kreatif dan bebas sebagai subjek.
Apa yang terjadi di dunia intelektual Prancis waktu itu paralel dengan apa
yang terjadi dengan dinamika teori sosial seusai Perang Dunia II. Secara sederhana,
bila ditarik garis besar, ada teori-teori tersebut memiliki kecenderungan
mengutamakan struktur sebagai kekuatan penuh. Asumsinya, masyarakat dibentuk
oleh aturan-aturan, pola yang tersistematisasi menurut fungsi-fungsi, yang lantas akan
tersusun seimbang. Namun di sisi lain, terdapat kecenderungan teoritik lain yang
lebih menilai aktor atau agensi sebagai penentu, yang memiliki kekuatan tunggal
dalam proses kehidupan.
Dengan kata lain, terjadi dualisme dalam teori sosial yang berjalan di atas arus
objektivisme dan subjektivisme. Kelompok subjektivisme mencakup fenomenologi,
eksistensialisme, etnometodologi, dan segala variannya. Sementara objektivisme
meliputi strukturalisme, teori-teori positivis, empiris, dan turunannya. Selanjutnya,
muncul upaya-upaya menjembatani jurang objektivisme dan subjektivisme yang
berupaya mengaitkan antara struktur dan agensi, yang di antaranya dilakukan oleh
Pierre Bourdieu, selain oleh tokoh-tokoh seperti Anthony Giddens, Margaret Archer,
atua Peter L. Berger.
Fenomena ini merupakan bagian dari dua perkembangan yang oleh George
Ritzer dianggap sangat penting dalam teori sosiologi mutakhir. Pertama,
perkembangan dramatis yang sebagian besar terjadi di Amerika Serikat pada tahun
1980-an dan berlanjut hingga sekarang. Perkembangan itu adalah meningkatnya
perhatian terhadap hubungan mikro-makro. Yang kedua adalah perkembangan sejajar
sebagian besar terjadi dalam teori sosiologi Eropa, yaitu meningkatnya perhatian
terhadap hubungan agen dan struktur (Ritzer dan Goodman: 2004).
Kalau di Amerika teori sosial bergulat dengan masalah ekstremitas mikro-
makro, di Eropa perhatian dipusatkan pada masalah hubungan agen-struktur. Pada
satu sisi, sejumlah teori (teori-teori yang subjektivis) memberi kedaulatan pada agen
sebagai aktor kreatif dalam menentukan tindakan. Eksistensialisme Sartre,
fenomenologi Schutz, interaksionisme simbolik Blumer, dan etnometodologi
Garfinkle merupakan contoh subjektivisme yang memusatkan perhatian pada cara
agen memikirkan, menerangkan, atau menggambarkan dunia sosial sambil
mengabaikan struktur objektif di mana proses itu muncul. Di sisi lain, penganut
objektivisme (seperti strukturalisme Saussure dan Levi-Strauss, serta kaum Marxis
struktural menekankan perhatian pada struktur objektif dan mengabaikan proses
Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai | 195
Kalimat tersebut muncul di salah satu buku Bourdieu yang terbit pada tahun
1984, yaitu Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Kalimat tersebut
merupakan pernyataan posisi Bourdieu terhadap ketegangan antara perspektif
objektivisme dan subjektivisme dalam teori sosial.
Dalam berbagai karyanya, Bourdieu termasuk rajin menyuratkan
keprihatinannya terhadap pengapnya suasana ilmu sosial akibat polarisasi antara
subjektivisme dan objektivisme. Di antaranya dia menyatakan:
Di sinilah kemudian Bourdieu mulai bicara soal apa yang disebutnya sebagai
praktik. Sekali lagi, Bourdieu menekankan bahwa objektivisme dan subjektivisme
sama-sama tidak memadai untuk mengulas realitas sosial. Untuk mengelak dari
dilema objektivisme-subjektivisme tersebut, Bourdieu memusatkan perhatian pada
praktik, yang dilihatnya sebagai hasil hubungan dialektika antara struktur dan
keagenan.
Praktik tak ditentukan secara objektif, dan bukan hasil kemauan bebas. Untuk
menggambarkan perhatiannya terhadap hubungan dialektis antara struktural dan cara
orang membangun realitas itulah, Bourdieu memberi label orientasi teoritisnya
sebagai strukturalisme genesis, atau strukturalisme konstruktivis (constructivist
structuralism) atau konstruktivis strukturalisme (structuralist constructivism) (Ritzer
dan Goodman: 2004).
Dengan strukturalis, berarti sosiologi berusaha mencari proses pola relasi
yang bekerja dibelakang agen. Sementara dengan konstruktuvis, sosiologi berarti
menyelediki persepsi common sense dan tindakan individu. Common sense
merupakan realitas sosial, yang oleh kalangan fenomenologis dan etnometodologis
dilihat hadir secara terpola dan terkadang diterima begitu saja oleh seseorang
(Poloma: 2003). Membaca individu dan kelompok sosial harus bolak-balik antara
struktur objektif dan subjektif (Mutahir: 2011).
Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan pengertian-
pengertian subjektif, struktur dan agen, bertemu. Pertemuan itulah yang disebut
Bourdieu sebagai praktik. Sepanjang karirnya dia berupaya membangun model
teoritis tentang praktik sosial, bangunan teori yang berusaha lepas dari jeratan
dikotomi objektivisme dan subjektivisme. Praktik dipahami Bourdieu sebagai hasil
dinamika dialektis antara internalisasi eskternalitas dan eksternalisasi internalitas.
Eksternal adalah struktur objektif yang ada di luar perilaku sosial, sedangkan
internalitas merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial.
Dunia sosial merupakan praktik sosial. Bourdieu menyodorkan rumus
generatif tentang praktik sosial dengan persamaan:
cenderung memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula
menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial,
tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak
dapat dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. Habitus yang ada pada waktu
tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode
historis relatif panjang (Bourdieu: 1977).
Pada akhirnya, konsep habitus ini merupakan cara Bourdieu untuk lari dari
keharusan memilih antara subjektivisme dan objektivisme, lari dari pemikiran filsafat
tentang subjek tanpa melepaskan diri dari pemikiran tentang agen, menghindarkan
diri dari filsafat tentang struktur, tetapi tak lupa memperhatikan pengaruhnya
terhadap dan melalui agen.
Dengan kata lain, habitus juga merupakan cara Bourdieu melepaskan diri dari
kungkungan strukturalisme yang “tidak mempunyai” subjek, sekaligus melepaskan
diri dari kungkungan subjektivisme yang tidak memiliki struktur. Dari para
fenomenolog, Bourdieu mengaku menemukan cara memahami dan menganalisis
pertautan antara praktik individu dan dunia yang tidak bersifat intelektualis atau
mekanistis belaka (Mahar dan Harker: 2010).
Habitus juga merupakan proses bagaimana agensi tidak menerima mentah-
mentah struktur. Agensi yang menginternalisasi struktur, tetap mempunyai ruang-
ruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi
sebagai saringan sebelum agensi mengimprovisasinya.
Secara implisit, definisi kuasa simbolik sangat terkait dengan habitus, yakni
upaya membuat cara pandang orang menyangkut persepsi dan apresiasi bergerak
pada arah tertentu. Bourdieu menjelaskan proses terjadinya atau mekanisme kuasa
simbolik ini melalui apa yang disebutnya doksa, yakni seperangkat kepercayaan
fundamental yang bahkan dirasa tidak perlu dieksplisitkan, seakan suatu dogma (Deer
dalam Grenfell: 2008). Dengan kata lain, doksa adalah suatu kepercayaan yang
diterima apa adanya, tidak pernah dipertanyakan, yang telah mengarahkan cara
pandang seseorang dalam mempersepsi dunia atau arena di mana doksa tersebut
berada. Atau dalam kalimat singkat Bourdieu: ―the universe of the undiscussed‖ atau
“semesta yang tak terdiskusikan.”
Proses kuasa simbolik bisa disebut terjadi saat otonomi ranah tersebut
melemah sehingga memungkinkan munculnya pemikiran lain yang disampaikan
agen-agen dalam ranah tersebut untuk mempertanyakan, menantang, atau bahkan
menggantikan doksa yang dimaksud. Pada titik ini, Bourdieu menyebut konsep
heterodoksa dan ortodoksa. Pemikiran “yang menantang“ tersebut disebutnya sebagai
heterodoksa, yaitu pemikiran yang disampaikan secara eksplisit yang
mempertanyakan sah atau tidaknya skema persepsi dan apresiasi yang tengah berlaku.
Sedangkan ortodoksa merujuk pada situasi di mana doksa dikenali dan diterima
dalam praktik. Dengan kata lain, kelompok dominan yang memiliki kuasa berusaha
mempertahankan struktur ranah yang didominasinya dengan memproduksi ortodoksa
(Deer dalam Grenfell: 2008).
Sampai di sini, Bourdieu mulai menyebut konsep kunci lainnya yaitu modal.
Pasalnya, posisi berbagai agen dalam ranah ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif
dari modal yang mereka miliki. Bourdieu mengusulkan visi pemetaan hubungan-
hubungan kekuasaan dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi-
posisi dan kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini tidak berbentuk piramida atau
tangga, melainkan lebih berupa lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal-
modal dan komposisi modal-modal.
Seperti halnya modal ekonomi, jenis-jenis lain modal tersebar tidak merata di
antara kelas-kelas sosial dan fraksi-fraksi kelas. Meskipun jenis-jenis modal itu sama-
sama bisa diubah dalam kondisi tertentu (contohnya, jenis dan jumlah modal kultural
yang tepat bisa diubah menjadi modal ekonomi melalui penempatan yang
menguntungkan di pasar tenaga kerja), mereka tidak bisa direduksi satu sama lain.
Kepemilikan modal ekonomi tidak serta-merta mengimplikasikan kepemilikan modal
kultural atau simbolis.
Meskipun memiliki peran penting dalam praktik, modal-modal tersebut
tidak otomatis memiliki kekuatan signifikan di dalam suatu ranah. Setiap ranah
memiliki kebutuhan modal spesifik yang berbeda dengan kebutuhan ranah lain.
Kekuatan modal ekonomi seseorang dalam ranah kekuasaan boleh jadi efektif
memampukannya bertarung, namun dalam ranah sastra, yang pertaruhannya ada
pada legitimasi, yang dibutuhkan lebih pada modal kultural serta modal simbolik.
Bourdieu mengilustrasikan perbedaan jenis modal yang signifikan berikut efeknya
sebagai berikut:
“...teks karya Bourdieu yang kompleks seperti mimpi buruk untuk dibaca.”
orientasi teoritiknya, sebagaimana para pemikir lainnya, Bourdieu juga tak lepas dari
sejumlah kritik. Gaya bahasa adalah salah satu yang banyak dikritik dari Bourdieu.
Dalam keseluruhan karyanya, Bourdieu cenderung menggunakan kalimat
panjang, rumit, berlebihan, beranak-pinak dan seperti sengaja berjarak dari bahasa
kebanyakan sehingga nyaris tak terpahami. Tulisan Bourdieu dianggap selalu
mengulang-ulang gagasan yang sama dengan istilah-istilah teknis. Belum lagi
konsep-konsepnya yang menambah kerumitan gaya bahasanya.
Kritik lain terkait konsepsinya tentang ranah. Pemahaman bahwa ranah adalah
tanah perjuangan atau pergulatan dianggap mereduksi “dunia kehidupan.” Hal ini
membuat relasi sosial seolah-olah hanya terdiri atas pertarungan memperebutkan
posisi-posisi belaka. Cara pandang ini mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan
lain yang juga penting dalam kehidupan, seperti hubungan-hubungan kerja sama antar
agen. Konsepsi ranah seperti itu juga menyembunyikan kemungkinan adanya
pengalaman-pengalaman lain, seperti persahabatan, cinta, atau solidaritas, yang
cenderung terabaikan dalam pemahaman ranah sebagai arena perjuangan. Adanya
rumah yatim piatu, penampungan gelandangan, solidaritas untuk para penganggur,
atau LSM yang memprioritaskan pendampingan pendampingan dan advokasi
menunjukkan bahwa rasa tanggung jawab untuk orang lain serta bela rasa mempunyai
tempat penting dalam berfungsinya sektor-sektor publik (Haryatmoko: 2003).
Kritik lain terkait orientasi teoritisnya yang diklaim berhasil mendamaikan
objektivisme dan subjektivisme. Namun banyak yang melihat, orientasi teoritiknya
masih terjebak dan mengakar pada objektivisme. Posisi teoritisnya dilihat masih
menitikberatkan pada determinisme.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre Bourdieu. (1977). Outline of Theory of Practise, London,
Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre dan Loic J.D Wacquant. (1992). An Invitation to Reflexive
Sociology, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of
Taste, Massachusetts, Harvard University Press.
Bourdieu, Pierre. (1990a). In Other Words: Essays Towards a Reflexive
Sociology, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (1990b). The Logic of Practise, California, Stanford University
Press.
Bourdieu, Pierre. (1991). Language and Symbolic Power, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field on Cultural Production: Essays on Art and
Literature, Cambridge, Polity Press.
Bourdieu, Pierre. (2004). The Algerians, Toronto, Beacon Press.
Cabin, Phillipe dan Francois Dortier. (2005). Sosiologi: Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya, Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Calhoun, Craig. (1993). Pierre Bourdieu: Critical Perspective, Chicago, The
University of Chicago Press.
Grenfell, Michael dan Cheryl Hardy. (2007). Art Rules: Pierre Bourdieu and the
Visual Arts, New York, Berg.
206 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206