Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

ASAL USUL DAN PERKEMBANGAN SUKUBANGSA BANJAR

A. Asal Usul Sukubangsa Banjar


Mengingat persamaan yang sangat besar sekali antara bahasa yang
dikembangkan sukubangsa banjar dengan bahasa malayu, yang dikembangkan oleh
suku-suku bangsa di sumatera dan sekitarnya,dapat diduga mungkin sekali nenek
moyang sukubangsa banjar berintikan pecahan sukubangsa melayu, yang sekitar lebih
dari seribu tahun yang lalu,berimegrasi secara besar-besaran ke kawasan ini, dari
sumatera dan sekitarnya. Pada waktu peristiwa pengungsian itu terjadi, sebagian
besar kalimantan bagian selatan, yaitu sekarang ini merupakan lembah sungai negara
dan sungai barito dan daerah sebelah baratnya, mungkin sekali masih berwujud
sebuah teluk yang amat luas. Batas teratas teluk raksasa itu mungkin terletak
disekitar kota tanjung ( ditepi sungai tabalong ) dan kota muara tewe ( di hulu sungai
barito ) sekarang ini, sedangkan pantai sebelah timurnya terletak dikaki pegunungan
meratus. Ke dalam teluk raksasa tersebut mengalir sungai-sungai yang banyak sekali,
yang meninggalkan lumpur dan pasir yang melimpah ruah, sehingga setelah melalui
masa lebih dari seribu tahun, teluk raksasa itu berubah menjadi sebuah dataran yang
berawa-rawa seperti wujudnya sekarang ini.
Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak
terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Barangsekali suku Dayak Bukit, yang
sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa imigran-imigran Melayu
gelombang yang pertama; bahasa mereka dapat diidentifikasikan sebagai bahasa
banjar yang agak kuno, dan mereka yang mempunyai tradisi mengayau, seperti yang
dipunyai suku-suku Dayak lainnya. Mungkin sekali mereka itu pada mulanya
mendiami wilayah yang jauh lebih ke hilir, tetapi mereka kemudian terdesak oleh
kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan, dan juga dalam proses
selanjutnya kelompok-kelompok Banjar mendesak mereka pula, sehingga mereka
akhirnya berada lebih jauh di Pegunungan Meratus. Imigran-imigran Melayu yang
datang belakangan inilah barangkali yang menjadi inti dan kemudian, setelah berlalu
waktu dan banyak kelompok-kelompok Bukit dan Manyan, dan belakangan
kelompok Ngaju, melebur ke dalamnya, berkembang menjadi sukubangsa Banjar,
dan membentuk tiga kelompok subsuku. Nama Banjar diperoleh ketika pusat
kekuasaan berada di Banjarmasin, dan sesuai dengannya kesultanan yang memerintah
dinamakan kesultanan Banjarmasin, atau disingkat Banjar, dan mereka itu, sampai
tahun 1859 ( saat kesultanan dihapuskan ), adalah warga Kesultanan Banjar tersebut.
Selain kesamaan bahasa, tidak diperoleh bukti apapun berkenaan dugaan kita
tersebut di atas. Satu satuya sumber sejarah bagi riwayat sukubangsa Banjar pada
zaman kuno yang bisa diperoleh saat ini ialah Hikajat Bandjar ( diterbitkan oleh
Ras,1968) (untuk seterusnya hikayat ), yang menceritakan asal usul sultan-sultan
Banjar.
Hikayat melukiskan asal usul terbentuknya Kerajaan Banjar sebagai bermula dari
kedatangan rombongan imigran dari Kaling, India, yang mencari tanah air baru di
kawasan ini. Meskipun Hikayat tegas-tegas menyebut India, tetapi umumnya dianut
pendapat, negeri asal imigran ini salah satu tempat di Jawa Timur, yaitu sebuah
negeri bernama Kalingga1. Arus pengungsian itu kemungkinan sekali terjadi pada
masa kekacawan saat peralihan kepada kekuasaan Majapahit, jadi sekitar tahun 1300.
Empu Jatmika, pimpinan rombongan imigran tersebut, di rajakan di negeri
Negaradipa, yang barangkali terletak di sekitar kota Amuntai saat ini, yaitu sekitar
sisa-sisa sebuah candi ( di namakan candi Agung ). Ketika ia meninggal dunia,
demikian Hikayat Banjar melanjutkan kisahnya ( Ras, 1968;267,269 ), ia berwasiat
kepada anak-anaknya agar tidak mengaku sebagai raja, seperti yang telah
dilakukannya, melainkan berusaha mendapatkan seorang raja dengan cara bertapa
(bahasa setempat; balampah ). Salah seorang anaknya, Lambung Mangkurat, dalam
pertapaannya berhasil memperoleh putri, yang kunon muncul dari dalam buih, yang
di namakan Putri Junjung Buih ( harfiah berarti putri yang timbul di atas buih ),
1
Diskusi tentang ini lihat Ras, 1968: 182-3.
untuk dijadikan raja. Saudara Lambung Mangkurat, Lambu Wanagiri atau Empu
Mandastana, tidak berhasil dalam pertapaannya.
Timbul problem siapa yang akan menjadi pendamping puteri sebagai suami,
karena konon puteri hanya bersedia kawin dengan seorang putera yang seperti halnya
dirinya, diperoleh dari hasil bertapan pula. Atas dasar ayahnya yang diperoleh
Lambung Mangkurat melalui mimpi, akhirnya diperoleh seorang calon suami yaitu
seorang putera, yang diperoleh raja Majapahit dengan cara bertapa, bernama Raden
Putera. Pendek cerita Puteri Junjung Buih dikawinkan dengan Raden Petera yang
kemudian bernama Pangeran Suryanata. Konon Lambung Mangkurat tetap aktif
sebagai patih kerajaan sampai beberapa orang raja turun-temurun.
Pangeran Suryanata dan Puteri Junjung Buih mempunyai putera dua orang. Yang
tertua, Pangeran Suryaganggawangsa, dijadikan raja menggantikan orang tuanya.
Timbul lagi masalah mencarikan isteri sang raja . sesuai wasiat ayahnya, kali ini juga
diperoleh lewat mimpi, sang raja hanya mau beristerikan seorang ganis anak dari
Dayang Diparaja. Ternyata Dayang masih gadis, oleh karena itu guna memungkinnya
melahirkan seorang puteri untuk calon permaisuri raja, Dayang dikawini patih
Lambung Mangkurat, mangkubumi kerajaan. Dari perkawinan ini lahirlah seorang
puteri, yang kelahirannya tidak melalui cara yang lazim, melainkan melalui
pembedahan perut ibunya, dan berakibat sang ibu langsung meninggal dunia. Puteri
yang lahir dinamakan Puteri Huripan, dan segera seteh dewasa dikawinkan dengan
sang raja, Pangeran Suryaganggawangsa. Pasangan kerajaan ini melahirkan seorang
puteri yang dikawin kan dengan adik sang raja, Pangeran Suryawangsa.pasangan
yang belakangan ini mempunyai putera, Raden Carang Lalean, yang dikawinkan
dengan puteri Kalungsung, puteri lain dari pasangan Pangeran Suryaganggawangsa
dan Puteri Huripan. Pasangan yang terakhir inilah yang kelak menurunkan raja-raja
selanjutnya, sampai kepada sultan-sultan Banjar belakangan.
Kelompok-kelompok pemukiman para imigran Melayu tentu membangun pusat-
pusat kekuasaan di tempat-tempat tertentu2, yang belakangan di persatukan dalam
sebuah pusat kekuasaan yang meliputi pusat-pusat kekuasaan kecil-kecil tadi. Warga
pusat-pusat kekuasaan yang kecil-kecil, dan dengan demikian juga pusat kekuasaan
yang meiputi seluruh wilayah (mula-mula Huripan, kemudian Negaradipan,
Negaradaha, Banjarmasin) bukan saja terdiri dari keturunan para imigran Melayu,
melainkan kewibawaannya meliputi pula kelompok-kelompok Dayak yang
berdekatan. Ekspedisi penaklukan yang dilakukan oleh Negaradipa pada permulaan
berdirinya merupakan usaha untuk menegaskan kewibawaannya terhadap pusat-pusat
kekuasaan daerah sekitarnya.
Hikayat Banjar menyebutkan wilayah pengaruh Kerajaan Banjar pada tahap
permulaan itu tidak terbatas pada daerah yang belakangan dikenal sebagai Tanah
Banjar, melainkan meluas ke daerah-daerah lain di Kalimantan, yaitu sepanjang
pantai timur ,pantai selatan, pantai barat, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, namun
mungkin sekali pengaruh itu tidak berakar sampai ke bawah. Kewibawaan raja,
kecuali dalam wilayah Banjar sendiri, mungkin sekali terbatas pada pengakuan
kekuasaan Negaradipan atas raja-raja yang kurang lebih bebas dalam batas-batas
tertentu, pengakuan nama dinyatakan dengan pembayaran opeti tiap-tiap tahun3.

2
Hikayat menceritakan tentang ekspedisi penaklukan terhadap (pusat-pusat kekuasaan di
lembah) Tabalong, Balangan, Petak, Alai dan Amandit pada masa permulaannya (Ras,1968:240).
Ekspedisi penaklukan ini dilakukan agar daerah mengakui kewibawaan kekuasaan pusat setelah
selama ini melemah.
3
Hikayat Banjar menceritakan tentang asal mula beberapa kerajaan kecil di Kalimantan Timur
dan Kalimantan Barat yang pada suatu saat di bebaskan dari kewajiban membayar upeti kepada
Kesultanan Banjar (lihat Ras, 1968), yaitu Sukadana (ibid, hlm 475-6), Pasir, Satui, Asam- Asam,
Sambas (ibid, hlm 479, 481). Dalam berbagai perjanjian dengan pihak Belanda sering terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa sultan Banjar melepaskan hak-haknya atas daerah-daerah
tertentu di luar tanah Banjar. Tentang ini lihat uraian selanjutnya.
Dalam perkembangannya bagaimana pemukiaman orang-orang Banjar meluas
dan dengan demikian menyisihkan kelompok-kelompok Dayak kearah kedalaman
yang lebih jauh lagi. Dan juga karena berbagai alasan berbagai kelompok Dayak
kehilangan indentitasnya dan melebur menjadi orang Banjar. Yangterakhir ini
khususnya terjadi bila kelompok Dayak itu mengenai agamanya dengan Islam. Di sini
tempat bahwa kaum imigran Melayu yang menjadi cikal bakal nenek moyang orang
Banjar itu lebih dominan dibandingkan orang-orang Dayak yang berada di sekitarnya.
Sehingga meskipun mungkin daerah Dayak, khususnya daerah Manyan untuk
penduduk daerah lembah sungai Bahan, lebih banyak beredar dalam tubuh orang-
orang Banjar, namun bahasa yang di kembangkan tetap bahasa kaum pendatang, yang
belakangan berkembang menjadi bahasa Banjar. Dengan sendirinya pengaruh bahasa
Dayak ditemukan juga dalam bahasa Banjar. Pengaruh Hindu Jawa tentu saja besar
terhadap kebudayaan keraton, yang konon selalu berusaha memakai tatacara keraton
Majapahit. Namun sebenarnya kita dapat menemukan kosakata yang dapat
diindetifikasikan sebagai berasal dari bahasa Jawa dikalangan orang awam. Gelar
kehormatan yang dianugerahkan oleh sultan atau pejabat tinggi kerajaan biasanya
juga berwujud nama jawa4.
Hikayat Banjar memberitahukan kepada kita bahwa pendiri keraton Negaradipan
asal mulanya seorang saudagar, yang mengungsi dari daerah asalnya di jawa dan
mencari tanah air baru di kawasan ini. Kenyataan ini mungkin telah menumbuhkan
watak dagang dari pada kerajaan; membangun kerajaan dianggap sebagai perbuatan
dagang belaka. Oleh karena itu usaha perdagangan selalu penting di dalam negeri
Banjar. Hikayat mengatakan bahwa pada masa Negaradipan, saudagar-saudagar asing
banyak berkunjung, baik yang berasal dari daerah lain di nusantara, atau dari luarnya,
diantaranya ada yang menetap.

4
Tentang gelar-gelar berwujud nama Jawa ini contoh-contoh ditemukan berkenaan dengan
tokoh-tokoh pada zaman kesultanan Banjar. Lihat juga uraian Mohammad Lelang, bekas hoofddjaksa
di Banjarmasin sekitar permulaan abad ini, yang dimuat dalam Adatrechtbundel XXVI, 1926, hlm.459-
464 (berkenaan dengan penganugrahan gelar kehormatan berupa nama Jawa, lihat ibid, hlm 461).
Peristiwa perpindahan besar-besaran suku bangsa Melayu, yang menjadi inti
nenek moyang suku bangsa Banjar, mungkin sekali sekali terjadi pada zaman
Sriwijaya atau sebelumnya. Sangat mungkin sekali pusat-pusat pemukiman mereka
yang mula-mula terletak di daerah-daerah tepi sungai yang mudah dicapai dari laut
Jawa dan karena, seperti dikemukakan dalam uraian terdahulu, sebagian besar
wilayah Kalimantan Selatan pada waktu itu masih merupakan teluk raksasa yang jauh
menjorok ke pedalaman, pusat-pusat pemukiman mereka tentu terletak di lembah –
lembah sungai di sekitar kaki Pegunungan Meratus. Kenyataan inilah barangkali yang
menerangkan mengapa ketika telukraksasa itu berubah menjadi dataran yang berawa-
rawa. Sungai Barito menjadi batas alam daerah pemukiman mereka di sebelah barat,
di samping Pegunungan Meratus adalah batas alamnya di sebelah timur. Dengan
demikian dapat diperkirakan lembah-lembah sungai Bahan (Negara), Tabalong,
Balangan, ( Batang) Alai, Labuan Amas, Amandit, Tapin dan Martapura merupakan
tempat-tempat konsentrasi pendidik ramai sejak zaman purba.
Mungkin pada mula-mulanya daerah pemukiman mereka itu masih merupakan
kantong-kantong pemukiman, yang berjauhan satu sama lain, dan disekitarnya atau
tidak terlalu jauh dari padanya terdapat juga kantong-kantong pemukiman kelompok-
kelompok Dayak. Pusat-pusat pemukiman kelompok-kelompok Melayu terdapat di
antaranya tentu saja ada yang menjadi pusat-pusat kekuasaan yang kecil-kecil, yang
belakangan dipersatukan ke dalam wilayah pusat kekuasaan yang lebih besar yang
terbentuk kemudian. Hikayat Banjar Menceritakan kepada kita tentang ekspedisi
penaklukan yang di perintahkan oleh Empu Jatmika terhadap pusat-pusat kekuasaan
di Tabalong, Balangan, Petak, Alai dan Amandit. Pusat-pusat kekuasaan lokal yang
kecil-kecil ini sudah tentu mempunyai wibawa juga terdapan kelompok kelompok
Dayak, yang berada di sekitarnya.
Dalam peroses selanjutnya nenek moyang orang-orang Banjar itu menyebar ke
daerah-daerah yang berdekatan, baik arak ke hulu sungai atau pun menjauhi tepi
sungai, selain juaga arah ke hilir menempati delta-delta yang berbentuk kemudian.
Dalam perjalanan sejarah tentu saja terjadi percampuran darah, baik dengan orang-
orang Dayak sekitar pemukiman, atau pun dengan para imigran yang datang
kemudian. Berikut ini kita akan mencoba menggambarkan proses percampuran
dengan kelompok-kelompok Dayak dan kelompok-kelompok lain yang membentuk
unsur-unsur dalam sukubangsa Banjar.
Sebutan Dayak sebenarnya tidak menunjukkan kesatuan etnis. Untuk kelompok-
kelompok yang mendiami wilayah Banjar dan sekitarnya saja kta dapat membedakan
kelompok-kelompok Bukit, Manyan, Ngaju ( Biaju ), dan Lawangan. Sedangkan
kelompok-kelompok yang mendiami daerah-daerah pedalaman lainnya, yaitu
pedalaman-pedalaman Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat
di wilayah Indonesia, dan pedalaman-pedalaman Serawak dan Shabah di Malaysia
Timur, Lebih banyak lagi, meskipun semuanya dinaman dengan sebutan yang sama,
yaitu Dayak5.
Proses pembanjaran terjadi pula dengan adanya perkawinan antara orang-orang
Dayak, baik Bukit, Ngaju, Manyan, maupun Lawangan, dengan orang-orang Banjar
yang tingggalnya berdekatan, dan biasanya berakibat orang Dayak tersebut, baik pria
maupun wanita, memeluk agama Islam dan menjadi orang Banjar.
Berikut ini akan di uraikan unsur-unsur lain yang memungkinkan turut serta
membentuk sukubangsa Banjar, yaitu berturut-turut unsur Jawa, unsur Bugis, unsur
Arab, unsur Cina, dan unsur India. Pada waktu pembicaraan terbentuknya
Negaradipan, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Banjar, disebutkan
bahwa keraton tersebut di bangun oleh imigran dari Jawa Timur, bukan seperti yang
dikisahkan oleh Hikayat, berasal dari negeri Kaling di India. Selanjutnya Hikayat
berkali-kali mengingatkan kepada keturunan raja-raja Banjar agar selalu tatacara
keraton Majapahit dan mengikuti cara berpakaian Jawa, dan tidak menggunakan
tatacara atau pakaian lainnya. Dengan demikian kita bisa memperkirakan adanya
pengaruh Jawa dalam adat istiadat keraton dan bahasa, khususnya bahasa keraton,

5
Mengenai nama-nama suku Dayak dan kelompok-kelompok yang lebih khusus lagi, dapat
dilihat di dalam karangan Mallinckrodt (1928, jld I: 14-44). Versi yang agak berbeda bisa dilihat dalam
Tjilik Riwut (1979: 213-30).
tetapi juga ditemukan kosa kata bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian
hadiah nama baru bagi seseorang yang dianggap berjasa oleh sultan atau sultan muda
biasanya berwujud nama Jawa. Pada permainan wayang kulit versi Banjar biasanya
banyak menggunakan kosa kata yang dapat di cari asal usulnya dari bahasa Jawa
kuno.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari pada masyarakat Banjar
ialah kaum imigran Melayu, yang sekitar lebih dari 1000 tahun yang lalu berdatangan
dari Sumatera dan sekitarnya. Kelompok masyarakat pendatang ini lebih dominan
dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat Dayak sekitarnya . ke dalam
masyarakat Melayu ini bergabung atau melebur berbagai-bagai kelompokmasyarakat
Dayak Pegunungan Meratus ( Bukit ) dan Manyan,akan tetapi dari kelompok Ngaju
juga ada, dan mungkin juga dari kelompok Lawangan. Unsur yang cukup kuat juga
dalam masyarakat Banjar ialah unsur Jawa, yang sekitar abad ke-14 telah berhasil
membangun pusat kekuasaan yang disegani di kawasan ini. Unsur-unsur lain ialah
unsur Bugis ( Makasar ) dan Arab,yang hanya bersifat setempat atau sebagian.
Mereka semua menganggap dirinya sebagai orang Banjar, dan mengembangkan
bahasa Banjar. Bahasa ini pada asasnya adalah bahasa Melayu juga, dengan banyak
kosa kata yang berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Dayak setempat. Selain bahasa,
pengaruh Jawa juga terdapat dalam adat istiadat keraton dan dalam permainan
wayang. Pemukiman mereka ialah lembah sungai Bahan, lembah-lembah sungai-
sungai cabang-cabang sungai Bahan, dan lembah sungai Martapura yang secara nyata
dapat dinamakan Tanah Banjar.
B. Daerah Pemukiamn Dan Penyebarannya
Telah nyata dari uraian dalam pasal terdahulu, bahwa daerah
pemukiamn para imigran melayu, inti nenek moyang orang Banjar,
yang mula-mula ialah lembah-lembah sungai Martapura, sungai
Negara dan sungai-sungai yang lain yang semuanya merupakan
cabang-cabang sungai Negara. Yang terpenting diantaranya adalah
sungai-sungai Tabalung, Balangan, (Batang) Alai, Lanuhan Amas,
Amandit dan Tapin. Semua sungai-sungai yang disebutkan ini
sampai batas-batas tertentu arusnya relatif tidak deras, malah
diantaranya ada yang masih dipengaruhi oleh pasang surutnya air
laut hingga saat ini, sehingga juga relatif mudah dimudiki dari laut
Jawamelalui teluk raksasa yang diperkirakan dahulu jauh menjorok
ke dalam pulau Kalimantan bagian Selatan.
Pemusatan penduduk yang besar dahulu juga terletak di tepi
sungai-sungai tersebut, yaitu di tebing-tebing sungai yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang umumnya
berupa rawa-rawa. Kota-kota yang terbentuk dahulu juga terletak di
tepi sungai-sungai tersebut diatas, yaitu Banjarmasin, Martapura
( keduanya terletak di tepi sungai Martapura ), Marabahan ( di
muara sungai Bahan di tepi sungai Barito ), Margasari, Negara,
Alabio, Amuntai ( di tepi sungai bahan ). Banua Lawas, Kelua dan
Tanjung ( di tepi sungai Tabalung ), Rantau ( di tepi sunga Tapin ),
Kandangan ( di tepi sungai Amandit ), Birayang dan Barabai ( di tepi
sungai Alai ).
Hanya Tanjung dan umunya lembah Tabalung terletak di
dataran yang agak tinggi. Kota-kota Barabai, Kandangan, Rantau
( ketiganya mungkin terbentu sejalan dengan dibangunnya
konsebtrasi militer Belanda ), Birayang dan Martapura dan daerah
daerah sekitarnya terletak pada ketinggian tidak lebih dari 20m
diatas permukaan laut di lereng Pegunungan Meratus. Sedangkan
Amuntai, Alabio, Margasari dan Negara dilingkungi oleh tanah
rendah yang sering digenangi air. Maranahan dan Banjarmasin yang
terletak pada pertemuan masing-masing sungai Bahan dan subagi
Martapura dengan sungai Barito sering tergenang ketika air pasang
naik.
Sekarang dapat diperkirakan pola pemukiman penduduk pada
tahap permulaan, dimana sungai merupakan sarana perhubungan
yang paling penting, karena penduduk memusat di tepi-tepi sungai.
Namun belakangan, meskipun sungai tetap merupakan saran
perhubungan yang terpenting, penduduk menyebar pula ke daerah-
daerah yang relatif agak jauh dari tepi sungai, malah kemudian
menyebar juga agak ke lereng-lereng pegunungan yang lebih
tinggi. Ketika jalan raya dibangun sekitar pertengahan abad yang
lalu dan menjadi saran perhubungan penting pula disamping
perhubungan sungai, pemukiman penduduk juga terjadi sepanjang
jalan raya, disamping pemukiman lama yang memanjang sungai6.
Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa pemukiman
orang-orang Banjar dahulu dilingkungi oleh tanah rawa-rawa yang
luas sekali, tanah-tanah rawa yang kering pda musim kemarau,
tanah rawa-rawa dan danau-dnau yang tidak pernah kering,
mungkin agak jauh dari pemukiman ditemukan hutan-hutan rawa
dan khusus di daerah-daerah yang dekat dengan laut, tanah-tanah
rawa yang dipengaruhi pasang surut dan hutan-hutan rawa air
6
Ketika Perang Banjar mereda pada tahun 1865, dibangun jalan pos dai Banjarmasin Hulu
Sungai melalui kota-kota Martapura, Rantau, Kandangan, Barabai dan seterusnya, dan dari
Martapura ke Pelaihari. Untuk memudahkan pengawasan, banyak sekali penduduk yyang dipaksa
meninggalkan kampungnya dan membangun pemukiman sepanjang jalan ini. (Tichelman, 1931; 467-
470)
payau. Selain itu di Pegunungan Meratus ditemukan hutan-hutan
lereng gunung dan hhutan-hutan pegunungan, disamping juga
kemudian padang alang-alang.
Karena perpidahan penduduk sepanjang sejarah, orang-orang
Banjar akhirnya ditemukan pula di tempat-tempat lain. Sudah dari
zaman yang lama sekali, kelompok-kelompok orang-orang yang
berbahasa Banjar di temukan di Pulau Laut, Pasir, Kutai dan
sampit7. Di Kotawaringin yang raja-rajanya adalah suatu cabang
dari keturunan raja-raja Banjar, juga sejak lama sekali tentu ada
kelompok-kelompok penduduk yang berbahasa Banjar.

Selain itu terdapat pula pemukiman-pemukiman orang-orang


Banjar di Sumatera (Rengat, Inderagiri dan Sapat), yang sebagian
mungkin dibangun pada zaman sultan-sultan disana, namun
sebenarnya sejak tahun-tahun pertama abad ini banyak orang-
orang Banjar yang mencari nafkah ke Sumatera. Di Keresidenan
(skaran provinsi) Jambi, mereka mempraktekkan keterampilan
mengolah lahan pasang surut untuk tanaman padi, kebun karet dan
kebun kelapa. Orang-orang Banjar juga pergi ke Jawa dan Sumatera
dan Semenanjung Malaya, sebagai pengrajin emas dan perhiasan,
penggosok intan dan konon juga pandai besi. Orang-orang Banjar
sering dikenal sebagai pedagang perhiasan yang tangguh, sejak
dahulu hingga sekarang, tetapi juga ada diantaranya, dahulu yang
menjadi pedagang alat-alat yang dihasilkan oleh pandai besi, hasil
industri di Negara. Saat ini memang masih banyak saudaar-
saudagar perhiasan yang mengembara sampai ke Jawa, Sumatera
dan Sulawesi, tetapi mungkin tidak seramai dimasa lalu. Sampai

7
Cense dan Uhlenbeck, 1958:6
saat ini masih ada kampung-kampung di Sumatera, khususnya di
Riau dan Jambi, yang menggunakan Bahasa Banjar sebagai bahasa
sehari-hari.
Pencatatan penduduk yang dilaksanak sesudah Perang Dunia ke
II tidak mencatat asal usul seseorang, namun dari hasil pencatatan
tahun 1930, diketahui terdapat juga orang-orang Banjar di Sulawesi,
Jawa, Sunda Kecil dan Maluku, bahkan di Semenanjung Malaya
(Malysia Barat sekarang ini).
Pencatatan penduduk pada tahun 1930 juga mencatat bahwa di
luar Kalimantan terdapat juga orang-orang Banjar, yaitu Sumatera
(77.836 orang), sulawesi (2.319 oramg), Jawa dan Madura (3.286
orang), Kepulauan Sunda Kecil (sekarang nusa Tenggara, 151
orang), sedangkan di Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia
barat) berjumlah 20.339 orang.8

8
Volkstelling 1930, v : 19

Anda mungkin juga menyukai