Anda di halaman 1dari 9

RENDAHNYA MUTU BIJI KAKAO ( Theobroma cacao L.

) DI KEBUN
PETANI RAKYAT DESA KALUKU AKIBAT PENANGANAN PASCA
PANEN YANG KURANG TEPAT

TUGAS

OLEH :
MUHAMMAD AUWALI
170301276
AGRONOMI 1

MATA KULIAH PERKEBUNAN C : KAKAO KOPI DAN TEH


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
RENDAHNYA MUTU BIJI KAKAO ( Theobroma cacao L. ) DI KEBUN
PETANI RAKYAT DESA KALUKU AKIBAT PENANGANAN PASCA
PANEN YANG KURANG TEPAT

Latar Belakang

Produksi biji kakao secara signifikan terus meningkat, namun mutu bijinya

tergolong rendah dan beragam. Masalah mutu ini utamanya disebabkan karena

petani kakao pada umumnya tidak menerapkan sistem budidaya tanaman maupun

teknologi pascapanen yang dianjurkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengamati pengaruh penerapan teknik budidaya serta penerapan teknologi

fermentasi terhadap mutu dan keamanan biji kakao yang dihasilkan oleh petani.

Kakao merupakan komoditas andalan ekspor hasil perkebunan yang utama

di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara pengekspor biji kakao

terbesar di dunia. Berdasarkan data ICCO (International Cocoa Organization)

Indonesia merupakan produsen biji kakao nomor tiga dunia setelah Pantai Gading

dan Ghana. Tahun 2009 produksi biji kakao Pantai Gading sebesar 1.270.226 ton,

Ghana 830.790 ton dan Indonesia sebesar 737.989 ton. Namun kenyataannya

industri pengolahan kakao dan industri cokelat justru berada di negara-negara

Eropa (Belgia, Inggris, dan Swiss), Amerika Serikat, serta Singapura dan

Malaysia sehingga nilai tambah tidak dinikmati Indonesia sebagai penghasil biji

kakao. Mutu komoditas kakao menjadi permasalahan utama dalam daya saing

dengan negara lain.

Sejak tahun 1994 Amerika Serikat melakukan sistem proteksi dan

penahanan otomatis serta fumigasi ulang terhadap kakao Indonesia. Akibat

kondisi ini pula, apresiasi kakao Sulawesi di bursa coco merchant of


Amerika(CMA) New York, Amerika Serikat, terus memburuk dan sulit bersaing

dengan negara lainnya. Harga kakao Sulawesi di pasaran Internasional saat ini

berkisar US$ 1.534/ton, sementara harga kakao yang berasal dari Pantai Gading

dan Ghana berada pada kisaran US$ 1.750-US$ 1.844/ton. Rendahnya harga

kakao Sulawesi disebabkan faktor kualitas dan fermentasi yang masih jauh dari

kriteria CMA (Halim, 2006).

Kakao dikelompokkan mutunya berdasarkan jumlah butir biji per 100

gram (Bean count). Buah kakao yang dipanen harus berada pada kelas

kematangan sekurang kurangnya pada kelas kematangan B untuk memenuhi

persyaratan kualitas buah. Fermentasi juga mempengaruhi mutu biji kakao yang

dihasilkan selain tingkat kematangan buah kakao. Tujuan utama fermentasi adalah

untuk mematikan biji sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan menjadi

lebih mudah terjadi. Perubahan tersebut antara lain, warna, keping biji,

peningkatan aroma, rasa serta perbaikan konsistensi keping biji. Tujuan lain

adalah untuk melepaskan pulp pada biji kakao.


Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dirujuk dalam tugas ini, meliputi sebagai

berikut :

1. teknologi budidaya belum dilakukan dengan benar, seperti teknologi

penggunaan varietas unggul, pemupukan, penggunaan tanaman naungan,

maupun pemangkasan.

2. Penggunaan pestisida banyak dilakukan untuk mengendalikan hama dan

penyakit pada kakao

3. Teknologi panen dan penanganan pascapanen belum optimal

Tujuan Pemecahan Masalah

Adapun tujuan pemecahan masalah ini, yaitu untuk hal-hal apa saja yang

mempengaruhi kualitas dan keamanan biji kakao

Metode Pemecahan Masalah

Adapun metode pemecahan masalah yang digunakan, yaitu Metode Study

Literatur. Metode Study Literatur dilakukan untuk mengetahui secara jelas

kendala yang terjadi dalam pemasaran bibit karet unggul, serta mampu

memperoleh data yang valid.

Variabel – Variabel Terjadinya Masalah

Perdagangan biji kakao seringkali mengalami berbagai hambatan teknis,

diantaranya mutu biji kakao. Permasalahan mutu biji kakao yang menjadi

penghambat dalam perdagangan antara lain adanya kotoran, serangga, biji tidak

terfermentasi sempurna, adanya kontaminan mikotoksin dan logam berat, dll yang
sering ditemukan kakao baik pada biji maupun produk olahannya. Masalah

keragaman mutu ini utamanya disebabkan karena petani kakao tidak menerapkan

sistem budidaya tanaman yang dianjurkan (Hariyadi et al, 2009).

Beberapa teknologi budidaya belum dilakukan dengan benar, seperti

teknologi penggunaan varietas unggul, pemupukan, penggunaan tanaman

naungan, maupun pemangkasan. Penggunaan pestisida banyak dilakukan untuk

mengendalikan hama dan penyakit pada kakao (Owuhu_ Ansah et al, 2010).

Teknologi panen dan penanganan pascapanen juga belum dilakukan secara

optimal. Proses fermentasi terhadap biji hasil panen dilakukan secara asal-asalan

atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Secara teknis operasional, keragaman

mutu kakao disebabkan oleh minimnya sarana penerapan teknologi budidaya dan

pengolahan, serta lemahnya pengawasan mutu pelaksanaan proses produksi kakao

rakyat. Kriteria mutu biji kakao yang meliputi aspek fisik, cita rasa, kebersihan,

aspek keseragaman dan konsistensi sangat ditentukan oleh perlakuan pada setiap

tahapan proses produksi tersebut. Oleh karena itu pengawasan dan pemantauan

pada setiap tahapan proses mestinya dilakukan secara rutin agar tidak terjadi

penyimpangan mutu. (Magelhaes et al, 2011).


PEMBAHASAN

Pemecahan Masalah

Menurut Setiawan (2005), untuk memenuhi standar mutu buah kakao

maka buah dipetik minimal pada tingkat kematangan minimal B. Sesuai hasil

pengamatan, sebanyak 93.08% petani memetik buah kakao pada kelas

kematangan minimal B. Hal ini menunjukan bahwa petani telah memahami pada

kelas kematangan bagaimana buah kakao dapat dipetik.

Ada 3 perubahan warna kulit buah pada kakao yang telah mengalami

kematangan. Ketiga perubahan warna kulit itu juga menjadi kriteria kelas

kematangan buah di kebun-kebun yang mengusahakan tanaman kakao. Secara

umum perubahan warna dan kelas kematangan itu adalah untuk kelas kematangan

buah A+ bagian kulit buah mengalami perubahan warna menjadi kuning tua.

Kelas kematangan A dicirikan dengan warna kuning diseluruh permukaan buah

sedangkan untuk kelas kematangan B warna kuning hanya pada alur dan

punggung buah (Setiawan, 2005).

Tabel 1 menunjukkan semua petani di Desa Kalukku, Kecamatan

Kalukku, Kabupaten Mamuju, telah melakukan proses fermentasi terhadap biji


kakao yang dihasilkan. Lama proses fermentasi yang dilakukan yaitu 64.52 %

melakukan fermentasi selama 2 hari, 32.26% selama 3 hari, 3.22 % selama 4 hari.

Belum ada petani atau 0 % petani yang melakukan dengan lama fermentasi

selama 5 hari. Fermentasi biji kakao akan menumbuhkan cita rasa, aroma dan

warna. Selama fermentasi terjadi perubahan fisik, kimiawi, dan biologi dalam biji

kakao. Waktu fermentasi yang dianjurkan untuk kakao adalah 5 hari. Untuk

mendapatkan hasil kakao fermentasi yang baik, dilakukan pembalikan biji kakao

setelah 48 jam (2 hari) fermentasi. Pembalikan hanya dilakukan satu kali untuk

menjaga suhu fermentasi (BPTP, 2006). Sementara berdasarkan hasil pengamatan

terlihat bahwa pada tingkat petani di Desa Kalukku, Kecamatan Kalukku,

Kabupaten Mamuju persentase tertinggi adalah dengan lama fermentasi selama 2

hari sebanyak 64.52 %


KESIMPULAN

1. Sebanyak 93.08 % Petani di Desa Kalukku, Kecamatan Kalukku,

Kabupaten Mamuju melakukan pemetikan buah kakao pada tingkat

kematangan minimal B dimana kelas kematangan B adalah waktu yang

tepat untuk melakukan pemanenan

2. Petani telah melakukan proses fermentasi terhadap biji kakao yang

dihasilkan, namun belum sesuai dengan standar prosedur fermentasi.

3. Lama proses fermentasi yang dilakukan oleh petani adalah 64.52 % selama

2 hari, 32.26% fermentasi 3 hari, 3.22 % fermentasi 4 hari dan belum ada

petani yang melakukan fermentasi selama 5 hari.


DAFTAR PUSTAKA

BPTP Lampung, 2006. Pedoman Teknis Budidaya Kakao, Lampung.

Halim,A.R, 2006. AS Enggan Cabut Sanksi Kakao Sulsel, Harian Tribun Timur,
18 Oktober 2006, Makassar.

Magalhães, JT, George Andrade Sodré, Henry Viscogliosi, Marie-Florence


Grenier-Loustalot. 2011. Occurrence of Ochratoxin A in Brazilian
cocoa beans. Food Control 22 : 744 – 748.

Owuhu-Ansah, E, Koranteng-Addo, JE, Boamposem, LK, Menlah, E, Abole, E.


2010. Assessment of Lindane pesticide residue in Cocoa beans in the
Twifo Praso district of Ghana. J. Chem. Pharm. Res : 2 : 4 : 580-587.

Setiawan,R., 2005. Direktori Pasar Agrobisnis Dalam dan Luar Negeri, Escaeva,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai