Anda di halaman 1dari 17

ARTIKEL ILMIAH

SISTEM PENYELENGGARAAN ANGKUTAN


PENYEBERANGAN

DISUSUN OLEH;

ODE MOH. FAWWAZ MANAN (D031171024)

DEPARTEMEN TEKNIK PERKAPALAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
SISTEM PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor


26 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Angkutan Penyeberangan mengatakan
bahwa angkutan penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan
yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jalur kereta api yang dipisahkan
oleh suatu perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta
muatannya. Karena fungsinya sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan
jalan dan/atau jalur kereta api, moda angkutan penyeberangan merupakan salah
satu bagian penting dari sistem jaringan transportasi darat seperti yang telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional. Salah satu jenis moda angkutan penyeberangan yang
beroperasi di perairan Indonesia adalah kapal feri ro-ro.

Di Indonesia, kapal feri ro-ro termasuk dalam jenis moda transportasi yang
digunakan pada angkutan sungai, danau, dan penyeberangan. Namun karena tidak
begitu banyak sungai dan danau besar (Kecuali di Danau Toba) yang terdapat di
Indonesia, kapal jenis ini lebih banyak digunakan untuk angkutan penyeberangan
selat (laut sempit antara dua pulau) dan pelayaran di perairan pesisir (coastal
shipping).

Sejarah kapal feri ro-ro di Indonesia tak lepas dari dibangunnya pelabuhan
Merak pada awal tahun 1912 oleh perusahaan kereta api Staatspoorwegen atas
penugasan yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pelabuhan Merak
dibangun untuk menunjang ekspor Hindia Belanda dari Indonesia ke luar negeri.

Hingga pada tahun 2014, Indonesia memiliki 225 rute penyeberangan


yang terdiri atas 44 rute komersil dan 181 rute perintis. Dilayani 306 unit kapal
ro-ro, dimana 118 unit dikelola ASDP Ferry Indonesia, 170 unit oleh swasta, dan
18 unit oleh BUMD. Jumlah pelabuhan penyeberangan ada 156 unit, terdiri dari
117 dikelola Pemda, 35 unit dikelola ASDP dan 4 unit dikelola UPT-Kemenhub.
A. Jaringan Angkutan Penyeberangan

Jaringan angkutan penyeberangan terdiri dari pelabuhan penyeberangan


dan lintas penyeberangan, dimana pelayanan angkutan penyeberangan pada
setiap lintas penyeberangan dilakukan dengan cara menempatkan kapal yang
akan dioperasikan secara tepat untuk memastikan bahwa kapal tersebut akan
menjadi salah satu alat untuk memudahkan pergerakan orang dan kendaraan
serta dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi makro pada suatu
daerah yang dilayani.

1. Pelabuhan Penyeberangan

Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 52


Tahun 2004 tentang Penyelenggaran Angkutan Penyeberangan, yang
dimaksud dengan pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat
kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat
barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan
kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan
antar moda transportasi. Pelabuhan yang dimaksud tersebut terdiri dari
pelabuhan umum dan pelabuhan penyeberangan, dimana pelabuhan umum
adalah yang diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat
umum sedangkan pelabuhan penyeberangan adalah pelabuhan umum yang
digunakan untuk kepentingan angkutan penyeberangan.

Berdasarkan Peraturan Pemenrintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, terdapat 3 kelompok pelabuhan
penyeberangan yang ditinjau dari jaringan wilayah layanan berdasarkan
hirarki dan fungsinya, terdiri atas:

a. Pelabuhan penyeberangan lintas antarprovinsi dan antarnegara;


b. Pelabuhan penyeberangan lintas antarkabupaten/kota; dan
c. Pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota.
Untuk melakukan penetapan terhadap lokasi pelabuhan penyeberangan
yang akan beroperasi harus memperhatikan pertimbangan beberapa faktor,
yaitu:

a. Tatanan kepelabuhanan nasional;


b. Rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana tata ruang
wilayah propinsi serta rencana umum jaringan transportasi jalan;
c. Kelayakan teknis dengan memperhatikan kondisi geografi,
hidrooceanografi dan topografi;
d. Kelayakan ekonomis dengan memperhatikan produk domestik
regional bruto, aktivitas/perdagangan dan industri yang ada serta
prediksi dimasa mendatang, perkembangan aktivitas volume
barang dan penumpang, kontribusi pada peningkatan taraf hidup
penduduk dan perhitungan ekonomis/finansial;
e. Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial yang berdampak
pada peningkatan aktivitas penumpang, barang dan hewan dari dan
ke luar pelabuhan penyeberangan;
f. Kelayakan lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lokasi,
daerah perlindungan dan suaka flora dan fauna;
g. Keterpaduan intra dan antar moda transportasi;
h. Adanya aksesibilitas terhadap hinterland untuk kelancaran
distribusi dan industri;
i. keamanan dan keselamatan pelayaran;
j. pertahanan dan keamanan negara.

Untuk melakukan penyelenggaraan kepentingan dan kegiatan


kepelabuhanan di pelabuhan penyeberangan dibutuhkan berbagai jenis
fasilitas pokok dan fasilitas penunjang yang dikelompokkan menjadi 2
jenis berdasarkan peruntukkannya, yaitu fasilitas yang diperuntukkan
untuk wilayah daratan pelabuhan dan fasilitas yang diperuntukkan untuk
wilayah perairan pelabuhan. Adapun fasilitas pokok dan fasilitas
penunjang yang dimaksud diatur berdasarkan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaran Angkutan
Penyeberangan, dapat dilihat sebagai berikut.

a. Wilayah Daratan
1. Fasilitas pokok, antara lain :
a.) terminal penumpang;
b.) penimbangan kendaraan bermuatan;
c.) jalan penumpang keluar/masuk kapal (gang way);
d.) perkantoran untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan
jasa;
e.) fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker);
f.) instalasi air, listrik dan telekomunikasi;
g.) akses jalan dan/atau jalur kereta api;
h.) fasilitas pemadam kebakaran;
i.) tempat tunggu kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal.
2. Fasilitas penunjang
a.) kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran
pelayanan jasa kepelabuhanan;
b.) tempat penampungan limbah;
c.) fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan
penyeberangan;
d.) areal pengembangan pelabuhan;
e.) fasilitas umum lainnya (peribadatan, taman, jalur hijau dan
kesehatan).
b. Wilayah Perairan
1. Fasilitas pokok
a.) alur pelayaran;
b.) fasilitas sandar kapal;
c.) perairan tempat labuh;
d.) kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak
kapal.
2. Fasilitas penunjang
a.) perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
b.) perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan
kapal;
c.) perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
d.) perairan untuk keperluan darurat;
e.) perairan untuk kapal pemerintah.

Pelabuhan penyeberangan dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu


kelas I, kelas II, dan kelas III. Klasifikasi pelabuhan penyeberangan
yang harus disiapkan pada masing – masing kelas pelabuhan seperti
yang diatur berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 53
Tahun 2002 tentang Tatanan Kepelabuhanan Nasional, adalah seperti
pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Klasifikasi Pelabuhan Penyeberangan

2. Lintas Penyeberangan
Kegiatan angkutan penyeberangan dilaksanakan dengan menggunakan
alur pelayaran yang tetap dan teratur dalam lintas penyeberangan. Lintas
penyeberangan adalah suatu alur perairan di laut, selat, atau teluk yang
ditetapkan sebagai lintas penyeberangan. Sesuai dengan ketentuan pasal 3
ayat 1 di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, lintas
penyeberangan terdiri atas:

a. Lintas penyeberangan antarnegara yang menghubungkan simpul


pada jaringan jalan dan/ atau jaringan jalur kereta api antarnegara.
b. Lintas penyeberangan antarprovinsi yang menghubungkan simpul
pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api antarprovinsi.
c. Lintas penyeberangan antarkabupaten/kota dalam provinsi yang
menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur
kereta api antarkabupaten/kota dalam provinsi.
d. Lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang menghubungkan
simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api dalam
kabupaten/kota.

Untuk melakukan penetapan terhadap lintas penyeberangan harus


memperhatikan pertimbangan beberapa faktor, yaitu:

a. pengembangan jaringan jalan dan/ atau jaringan jalur kereta api


yang terputus oleh laut, selat, teluk, sungai dan/ atau danau;
b. melayani lintas dengan tetap dan teratur berdasarkan jadwal yang
ditetapkan;
c. berfungsi sebagai jembatan bergerak;
d. hubungan antara dua pelabuhan yang digunakan untuk melayani
angkutan penyeberangan, antara pelabuhan yang digunakan untuk
melayani angkutan penyeberangan dan terminal penyeberangan,
dan antara dua terminal penyeberangan dengan jarak tertentu;
e. tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan
pengangkutnya;
f. rencana tata ruang wilayah; dan
g. jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai
optimalisasi keterpaduan angkutan intra dan antarmoda.
B. Klasifikasi Muatan Angkutan Penyeberangan

Konsep dari angkutan penyeberangan berdasarkan definisinya adalah


sebagai alat atau jembatan bergerak yang menghubungkan dua ujung jalan
raya dan/atau jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan. Sebagai jembatan
bergerak, kapal feri berfungsi untuk mengangkut penumpang dan kendaraan
beserta muatannya. Muatan penumpang biasanya dibedakan menjadi 2 kelas
yaitu kelas ekonomi dan kelas non ekonomi. Sedangkan muatan kendaraan
dibedakan menurut jenis dan ukurannya.

Kebutuhan ruang untuk setiap satu orang penumpang ditetapkan sama


tanpa membedakan antara orang dewasa dan anak – anak, yaitu 0,73 m 2
dengan faktor muat sebesar 60% berdasarkan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan dan
Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan. Sedangkan kebutuhan
ruang untuk kendaraan tidak bisa distandarkan karena jenis dan ukurannya
beragam. Berdasarkan ketentuan di dalam Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
kendaraan terdiri dari 2 kelompok yaitu kendaraan bermotor dan kendaraan
tidak bermotor. Adapun jenis kendaraan yang termasuk ke dalam masing –
masing kelompok adalah sebagai berikut.

a. Kendaraan Bermotor
1. Sepeda motor
2. Mobil penumpang
3. Mobil bus
4. Mobil barang
5. Kendaraan khusus
b. Kendaraan Tidak Bermotor
1. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang
2. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan
Bersesuaian dengan pengelompokkan kendaraan di atas, kendaraan
dibedakan menjadi 9 golongan dalam pelayanan angkutan penyeberangan
yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun
2003 Tentang Mekanisme Penetapan Dan Formulasi Perhitungan Tarif
Angkutan Penyeberangan. Seperti yang terlihat pada tabel berikut, golongan
kendaraan dibedakan berdasarkan ruang yang dibutuhkan di atas kapal
penyeberangan. Lihat tabel 2.

Tabel 2. Golongan Kendaraan

C. Penempatan Kapal
Pelayanan angkutan di suatu lintas penyeberangan dilakukan dengan
menempatkan sejumlah kapal untuk dioperasikan secara tetap sesuai ketentuan
pola operasinya. Pola operasi yang dimaksud adalah jumlah kapal dan jumlah
frekuensi pelayanan yang diperlukan sesuai dengan besarnya permintaan jasa
angkutan dan jarak lintas penyeberangan. Dalam hubungannya dengan jarak
lintasan, tonase kapal yang disyaratkan di lintasan diatur dalam Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan
dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, seperti terlihat
pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Kelompok Jarak Lintasan Berdasarkan Tonase Kapal

Penempatan kapal pada setiap Lintas Penyeberangan harus sesuai dengan


spesifikasi teknis lintas dan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk
melayani Angkutan Penyeberangan. Penempatan jumlah kapal pada setiap
Lintas Penyeberangan harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan
pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan. Penambahan kapasitas angkut
pada setiap Lintas Penyeberangan dilakukan dengan mempertimbangkan
(Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan):

1. faktor muat rata-rata kapal pada lintas penyeberangan mencapai paling


sedikit 65% (enam puluh lima per seratus) dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun;
2. kapal yang ditempatkan tidak dapat memenuhi jumlah muatan yang
ada;
3. jumlah kapal yang beroperasi kurang dari jumlah kapal yang diizinkan
melayani lintas yang bersangkutan;
4. kapasitas prasarana dan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk
melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan yang
tersedia;
5. tingkat kemampuan pelayanan alur; dan/ atau
6. belum optimalnya frekuensi pelayanan kapal yang ditempatkan.

Dalam rangka pengembangan atau pengisian Lintas Penyeberangan yang


membutuhkan penambahan atau penempatan kapal dilakukan berdasarkan
pertimbangan (Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan):

1. jumlah trip per hari dan jumlah kapal yang diizinkan melayani lintas
yang ditetapkan;
2. jumlah kapasitas kapal rata-rata tersedia;
3. jumlah kapasitas kapal rata-rata terpakai;
4. faktor muat;
5. fasilitas prasarana pelabuhan yang tersedia dan/atau;
6. tingkat kemampuan pelayanan alur.
D. Pentarifan

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2012


tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan, untuk angkutan
penyeberangan jenis pentarifan dibedakan menjadi 2 jenis tarif, yaitu tarif
angkutan penumpang dan tarif angkutan kendaraan beserta muatannya.

Tarif angkutan kendaraan beserta muatannya sebagaimana dimaksud


ditetapkan berdasarkan golongan kendaraan. Golongan kendaraan tersebut
ditetapkan berdasarkan kebutuhan ruang yang digunakan untuk setiap satu
kendaraan. Sedangkan tarif angkutan penyeberangan untuk angkutan
penumpang terdiri atas tarif pelayanan kelas ekonomi dan tarif pelayanan
kelas non-ekonomi. Struktur tarif pelayanan kelas ekonomi ditentukan
berdasarkan tarif dasar dan jarak. Struktur tarif pelayanan ke1as non-ekonomi
ditentukan berdasarkan tarif dasar, jarak, dan pelayanan tambahan.
Sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan
Tarif Angkutan Penyeberangan, yang dimaksud dengan tarif dasar adalah
besaran tarif yang dinyatakan dalam nilai rupiah per Satuan Unit Produksi
(SUP) per mil. Sedangkan tarif jarak adalah besaran tarif yang dinyatakan
dalam rupiah per lintas penyeberangan per jenis muatan per satu kali jalan.

Tarif dasar, tarif jarak, dan tarif pelayanan tambahan untuk penumpang,
kendaraan penumpang dan kendaraan barang beserta muatannya dihitung
dengan cara sebagai berikut.

1. Tarif dasar
a. Menghitung biaya pokok berdasarkan Satuan Unit Produksi (SUP)
per mil dengan faktor muat sebesar 60%.
b. Satuan Unit Produksi (SUP) diperoleh berdasarkan satuan luas
yang diperlukan untuk 1 orang penumpang, dimana 1 SUP = 0,73
m2. Adapun besaran SUP untuk masing – masing golongan
kendaraan dapat dilihat pada tabel 2.
c. Biaya pokok yang dimaksud pada huruf a dihitung untuk masing –
masing kelompok jarak dan diperoleh dari hasil perhitungan yang
didasarkan pada biaya operasi kapal per tahun dibagi produksi per
tahun dari tonase kapal yang dioperasikan pada masing – masing
kelompok jarak yang dapat dilihat pada tabel 3. Biaya pokok terdiri
dari komponen biaya langsung dan biaya tidak langsung.
2. Tarif jarak dihitung berdasarkan tarif dasar pada setiap kelompok jarak
dikalikan jarak lintas yang bersangkutan.
3. Tarif pelayanan tambahan dihitung berdasarkan fasilitas tambahan
yang disediakan oleh penyedia jasa angkutan penyeberangan, antara
lain:
a. Pendingin ruangan (AC)
b. Kursi yang dapat diatur (reclining seat)
c. Alat hiburan antara lain TV, video, dan musik
d. Fasilitas ruang penumpang yang dapat dilengkapi dengan tempat
tidur
e. Makanan dan minuman
f. Bantal, selimut, dan sejenisnya
g. Dan lain – lain
E. Standar Pelayanan Minimum

Berdasarkan ketentuan pada Peraturan Menteri Perhubungan Republik


Indonesia Nomor 62 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal
Angkutan Penyeberangan, yang dimaksud dengan Standar Pelayanan Minimal
Angkutan Penyeberangan yang selanjutnya disebut SPM Angkutan
Penyeberangan adalah persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh
perusahaan angkutan penyeberangan dalam memberikan pelayanan kepada
pengguna jasa. SPM Angkutan Penyeberangan terdiri atas:

1. SPM Angkutan Penyeberangan untuk pelayanan penumpang meliputi


aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, kemudahan, dan
kesetaraan. SPM Angkutan Penyeberangan untuk pelayanan
penumpang terdiri atas pelayanan:
a. kelas ekonomi; dan
b. kelas nonekonomi terdiri atas:
1.) reguler; dan
2.) ekspres.
2. SPM Angkutan Penyeberangan untuk pemuatan kendaraan meliputi
aspek keselamatan, keamanan, dan kemudahan. SPM Angkutan
Penyeberangan untuk pemuatan kendaraan terdiri atas:
a. pintu rampa
b. ruang untuk kendaraan
c. fasilitas pemuatan kapal
3. SPM Angkutan Penyeberangan untuk pengoperasian kapal meliputi
aspek keamanan, kenyamanan, dan keteraturan. SPM Angkutan
Penyeberangan untuk pengoperasian kapal terdiri atas:
a. kecepatan dinas kapal
b. pemenuhan jadwal terdiri atas:
1.) jadwal perjalanan kapal;
2.) jadwal operasi kapal;
3.) jadwal siap operasi;
4.) jadwal istirahat dan
5.) jadwal dok.
F. Analisis Kelayakan Operasi

Bagian paling penting dalam sebuah usaha adalah bahwa usaha tersebut
menghasilkan keuntungan dan investasi modalnya dapat dikembalikan dalam
kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kelayakan
operasi terhadap suatu usaha sebelum usaha tersebut dijalankan, terkhususnya
untuk usaha dalam angkutan penyeberangan (kapal feri ro – ro).

Biaya-biaya pengusahaan transportasi penyeberangan dapat dirangkum


menjadi dua golongan, yaitu biaya modal dan biaya operasional.

1. Biaya modal
2. Biaya operasional
a. biaya transportasi
1.) biaya operasi mesin kapal
2.) biaya jasa kepelabuhanan
3.) biaya awak kapal
b. biaya air tawar untuk penumpang
c. biaya reparasi dan pemeliharaan kapal, serta suplai
d. biaya umum
1.) biaya depresiasi
2.) biaya asuransi
3.) biaya manajemen

Kelayakan operasi kapal adalah penilaian yang menunjukkan apakah


dengan pengoperasian kapal tersebut akan diperoleh keuntungan dan
investasinya dapat diekembalikan dalam kurun umur teknis kapal sebagai
barang modalnya. Kelayakan operasi kapal dibedakan menurut tingkat
pendapatan atau susrplus operasi sebagai berikut:

1. Kelayakan tingkat pertama, yaitu pendapatan operasi sekurangnya


sama dengan biaya operasional.
2. Kelayakan tingkat kedua, yaitu surplus operasi sekurangnya sama
dengan biaya pengembalian investasi.
3. Kelayakan tingkat ketiga, yaitu surplus operasi sekurangnya sama
dengan biaya pengembalian kredit investasi.

Penilaian kelayakan operasi kapal adalah penilaian terhadap pendapatan


dan tingkat keuntungan atau tingkat pengembalian investasi. Penilaian
kelayakan operasi itu didasarkan pada pendekatan NPV (Net Present Value),
tingkat dan periode pengembalian investasi.

1. Nilai Sekarang dan Suku Bunga

Suatu usaha angkutan penyeberangan dinyatakan layak bila investasi


pengadaan kapal sebagai barang modalnya dapat dikembalikan dalam
tenggang umur teknis kapal itu dengan memperhitungkan suku bunga
uang. Penilaian dapat dilakukan dengan pendekatan kriteria NPV (nett
present value). Nilai dari investasi adalah nilai sekarang dari jumlah
pendapatan mendatang yang dihasilkan oleh investasi tersebut. NPV
adalah selisih antara pendapatan dan biaya operasional ditambah investasi
dengan formulasi seperti berikut ini.

Jika NPV lebih besar dari nol, maka investasi layak karena dapat
memberikan keuntungan. Sebaliknya, jika NPV lebih kecil dari nol, maka
investasi tidak layak karena keuntungan tidak diperoleh dan investasi pun
tidak dapat dikembalikan. Bila NPV sama dengan nol, itu berarti
pendapatan hanya cukup untuk menutupi biaya dan investasi selama umur
teknis alat hasil investasi.

2. Tingkat dan Periode Pengembalian Investasi

Periode pengembalian investasi (payback period) adalah waktu yang


diperlukan hingga jumlah pendapatan sama dengan jumlah investasi
ditambah biaya. Payback period adalah perbandingan antara investasi dan
pendapatan setelah dikurangi dengan biaya.

Jika nilai waktu dari uang diperhitungkan, maka kriteria yang harus
dipenuhi adalah tingkat pengembalian investasi lebih besar dari discount
rate. Tingkat pengembalian investasi adalah rasio antara laba operasi dan
investasi yang dapat dihitung dengan rumus berikut ini.
DAFTAR PUSTAKA

Asri, S. 2016. Analisis Kelayakan Operasi Kapal Feri Baru Produksi Dalam
Negeri. Makassar: Universitas Hasanuddin

Asri, S. 2016. Model Desain Kapal Penyeberangan Berdasarkan Permintaan Jasa


Angkutan dan Fasilias Pelabuhan. Makassar: Universitas Hasanuddin

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaran


Angkutan Penyeberangan

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 53 Tahun 2002 tentang Tatanan


Kepelabuhanan Nasional

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme


Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas


Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2003 Tentang
Mekanisme Penetapan Dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan
Penyeberangan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan


Angkutan Penyeberangan

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2019


tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana


Tata Ruang Wilayah Nasional

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang Rencana


Tata Ruang Wilayah Nasional

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan

Anda mungkin juga menyukai