Anda di halaman 1dari 22

BEBERAPA MASALAH KESEHATAN DI INDONESIA

Sebagai negara yang katanya tergolong memiliki tingkat ekonomi terbaik di dalam G20,
Indonesia tentunya boleh dibilang sebagai negara yang cukup makmur. Anda pun pasti
mengetahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam paling
lengkap dan paling melimpah dibandingkan dengan seluruh negara yang ada di muka bumi
ini.
Ironisnya dengan tingkat perekonomian dan sumber daya alam yang luar biasa itu, Indonesia
ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan kesehatannya dengan baik. Hal ini
ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu yang merupakan salah satu indikator
termudah yang paling sering digunakan untuk mengukur derajat kesehatan di Indonesia.
Anda harus tahu bahwa angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2015 saja mencapai 126
per 100.000 kelahiran.
Sebagai gambaran beberapa negara yang memiliki sistem kesehatan yang baik seperti Jepang,
Jerman, dan Inggris memiliki angka kematian ibu yang berkisar 6-7 kematian per 100.000
kelahiran. Bahkan dilansir oleh WHO bahwa rerata negara maju memiliki angka kematian
ibu yang “hanya” 12-14 kematian per 100.000 kelahiran. Hal ini tentu jauh jika dibandingkan
dengan Indonesia. Secara statistik, indonesia bahkan kalah dari Malaysia, Singapura, Brazil,
Argentina, dan banyak negara Amerika Latin yang secara ekonomi mirip atau malah berada
di bawah Indonesia.
Gizi Buruk
Salah satu permasalah paling mengerikan yang terjadi Indonesia adalah permasalahan gizi
buruk. Mengapa? Anda harus tahu, permasalahan gizi buruk secara umum dapat dibagi
menjadi masalah gizi berlebih serta masalah gizi kekurangan. Sementara negeri kita sendiri
mengalami apa yang disebut dengan double burden of malnutrition.

Dari istilah tersebut saja Anda pasti bisa membayangkan apa yang sedang dihadapi negara
kita. Sebagai pembukaan, kami akan membuka fakta bahwa ada 8,4 juta anak-anak di
Indonesia yang mengalami kekurangan gizi sehingga mengalami apa yang disebut oleh
dokter istilah stunting. Stunting merupakan suatu kondisi dimana seorang anak memiliki
ukuran tubuh yang sangat kecil dibandingkan dengan anak-anak seusia mereka.
Lalu dimana letak double burden nya? Dalam jangka menengah, anak-anak yang
mengalami stunting akan sangat mudah terserang penyakit menular seperti infeksi saluran
pernapasan, infeksi saluran cerna, hingga infeksi otak yang mematikan. Sementara dalam
jangka yang panjang, anak-anak stunting yang dikemudian hari bertumbuh menjadi dewasa,
akan sangat tidak produktif.
Berkurangnya produktivitas seseorang diketahui merupakan salah satu faktor risiko tertinggi
untuk terjadinya penyakit-penyakit tidak menular. Oleh karena itu orang-orang yang
mengalami stunting terancam dengan dua jenis penyakit berbahaya: penyakit menular dan
penyakit tidak menular.
Anda juga harus tahu bahwa stunting jauh lebih berbahaya dari gagal tumbuh atau tinggi
badan yang pendek. Seringkali tinggi badan yang di bawah rata-rata dipengaruhi berbagai
faktor, termasuk genetik. Sementara stunting, bukan hanya badan yang dipertaruhkan. Anak-
anak stunting memiliki risiko tinggi kegagalan perkembangan otak. Artinya konsekuensi
yang diemban amatlah tinggi.
Apakah 8,4 juta anak merupakan angka yang besar? Ya! 8,4 juta anak kecil berarti 37,2%
dari anak-anak di seluruh Indonesia saat ini mengalami stunting. Hal yang lebih parah lagi
adalah begitu rendahnya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan ini. Hal ini tentu akan
berakibat kepada semakin tingginya permasalahan gizi buruk ini.
Lalu apa penyebab dari masalah double burden ini? Dicatat dari World Bank, masalah ini
diakibatkan oleh meningkatnya angka harapan hidup di Indonesia yang berarti secara statistik
akan meningkatkan pula jumlah orang-orang yang mengalami penyakit tidak menular. Selain
itu perekonomian Indonesia yang semakin baik tidak diimbangi oleh ketahanan pangan yang
baik.
Akibatnya nutrisi yang dimakan oleh rata-rata anak Indonesia tidaklah seimbang. World
Bank mencatat, rata-rata anak Indonesia banyak memasukkan lemak sebagai salah satu
asupan utamanya. Padahal tingginya lemak merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit
tidak menular di hari tua. Alasan ketiga adalah kebanyakan kota di Indonesia tidak ramah
terhadap pejalan kaki. Hal ini berimplikasi kepada rendahnya minat orang-orang Indonesia
terhadap aktivitas fisik.

Kematian Ibu
Nah masalah kedua yang juga merupakan salah satu indikator kesehatan di seluruh dunia
yakni masalah kematian ibu. Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu negara dengan
kematian ibu tertinggi di Asia Tenggara.
WHO mencatat banyaknya kematian ibu melahirkan di Indonesia adalah akibat dari
pendidikan warga Indonesia sendiri yang masih kurang tinggi. Anda harus tahu bahwa
kebanyakan masyarakat Indonesia masih memegang budaya daerahnya masing-masing, dan
salah satunya adalah budaya melahirkan di dukun melahirkan.
Proses melahirkan yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih dan di dalam
suasana yang steril, kebanyakan dilakukan oleh dukun yang pada dasarnya yidak terlatih serta
suasana yang jauh dari steril.
Akibatnya komplikasi melahirkan serta infeksi menjadi penyebab kematian ibu melahirkan
tertinggi di Indonesia. Meski angkanya saat ini tidak sebanyak dulu (terima kasih kepada
program MDG/Millenium Development Goals), tetap saja angka nya masih tinggi.
Beberapa penyakit yang menyebabkan ibu melahirkan meninggal diantaranya perdarahan
yang parah, eklampsia (kejang pada ibu hamil), infeksi, serta banyaknya aborsi yang tidak
aman. Pada dasarnya hal ini semua berakar kepada kelahiran yang tidak dilakukan oleh
tenaga yang terampil.
Lalu mengapa dukun masih tetap dipercaya oleh masyarakat? Dilansir oleh WHO bahwa
pilihan masyarakat terhadap dukun selain karena kepercayaan dan budaya, mahalnya biaya
kesehatan merupakan salah satu alasan utama pula. Bahkan di beberapa dusun kecil di
Indonesia diketahui bidan bukanlah pilihan.
WHO juga pernah melakukan dokumentasi dan didapatkan secara statistik masyarakat tetap
memilih dukun dibandingkan dengan dokter ataupun bidan. Kedatangan tenaga kesehatan
ahli ke dusun-dusun terpencil di Indonesia bahkan tidak dianggap ancaman oleh para dukun
setempat.
Pemerintah bahkan tercatat melakukan banyak pelatihan bidan-bidan di Indonesia, dan
progres tertingginya secara presentase terjadi antara tahun 1989 hingga tahun 1994. Di antara
5 tahun itu diketahui ada 54.000 bidan baru. Meski demikian tetap saja angka kematian ibu
melahirkan di Indonesia masih tinggi.

Triple Burden Disease


Nah jika Anda menganggap double burden adalah masalah besar, berarti Anda tidak
tahu triple burden. Anda harus tahu bahwa saat ini Indonesia sedang terancam dengan
status triple burden.
Jika double burden hanya berkutat pada penyakit menular dan penyakit tidak menular,
maka triple burden adalah masalah penyakit menular klasik, penyakit tidak menular, dan
penyakit menular baru alias new emergeing disease.
Kami mungkin tidak akan banyak membahan tentang penyakit menular baru, karena di
Indonesia pun kajian terhadap penyakit-penyakit ini belum banyak. Beberapa penyakit baru
yang dianggap sebagai infeksi baru yang menjadi masalah diantaranya adalah infeksi HIV,
flu burung, flu babi, hingga penyakit Nipah.
https://www.sepulsa.com/blog/masalah-kesehatan-di-indonesia

Penelitian dan pengembangan kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam
program pembangunan nasional, sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan Presiden Nomor
72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Peran komponen ini harus terus
diperkuat agar dapat menjawab tantangan 5 isu strategis yang menjadi prioritas dalam
pembangunan kesehatan 5 tahun ke depan (2020-2024). Kelima isu utama tersebut telah
diidentifikasi dalam Rakerkesnas (Rapat Kerja Nasional) tahun 2019 yakni angka kematian
ibu (AKI)/ angka kematian neonatal (AKN) yang masih tinggi, stunting, tuberculosis (TBC),
Penyakit tidak menular (PTM) dan cakupan imunisasi dasar lengkap.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, dalam arahan dan
sambutannya pada Rapat Kerja (Raker) Badan Litbangkes, di Bekasi (10-13/3).
Data hasil litbangkes yang berskala nasional sangat diperlukan untuk mengevaluasi program
nasional, salah satunya Riskesdas dan BoD (Burden of Disease). Meskipun Riskesdas 2018
menyatakan adanya penurunan angka stunting dari 37,2 % (2013) menjadi 30,8%, angka
tersebut masih lebih tinggi dari angka yang direkomendasikan WHO yaitu 20%. Riskesdas
juga mengungkap meningkatnya Penyakit Tidak Menular (PTM) yang memerlukan strategi
penanganan dan pengendalian khusus.
Berdasarkan hasil BoD, beban penyakit yang ditunjukkan dengan Tahun Hidup Yang Hilang
akibat Kematian Dini dan Disabilitas karena Sakit (DALY Lost), dalam periode 1990-2017
telah bergeser secara signifikan dari PM (Penyakit Menular) ke PTM. Bahkan pada tahun
2017, secara nasional beban PTM mencapai proporsi 70%.
1. Angka Kematian Ibu (AKI)

World Health Organization  (WHO) memiliki beberapa istilah berbeda terkait dengan AKI.
Istilah pertama adalah maternal death – atau kematian ibu, yang didefinisikan sebagai
“kematian yang terjadi saat kehamilan, atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan, tanpa
memperhitungkan durasi dan tempat kehamilan, yang disebabkan atau diperparah oleh
kehamilan atau pengelolaan kehamilan tersebut, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan
atau kebetulan” (WHO, 2004). Konsep maternal death  ini berbeda dengan konsep maternal
mortality ratio, atau yang lebih dikenal sebagai Angka Kematian Ibu (AKI), jika mengacu
pada definisi Badan Pusat Statistik (BPS). Baik BPS maupun WHO mendefinisikan maternal
mortality ratio/AKI sebagai angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2004;
BPS, 2012).
Menurut laporan dari WHO, kematian ibu umumnya terjadi akibat komplikasi saat, dan pasca
kehamilan. Adapun jenis-jenis komplikasi yang menyebabkan mayoritas kasus kematian ibu
– sekitar 75% dari total kasus kematian ibu – adalah pendarahan, infeksi, tekanan darah tinggi
saat kehamilan, komplikasi persalinan, dan aborsi yang tidak aman (WHO, 2014). Untuk
kasus Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Pusat Kesehatan dan Informasi Kemenkes
(2014) penyebab utama kematian ibu dari tahun 2010-2013 adalah pendarahan (30.3% pada
tahun 2013) dan hipertensi (27.1% pada tahun 2013). Hal ini sangat ironis, mengingat
berbagai penyebab kematian ibu di atas sebenarnya dapat dicegah, jika sang ibu mendapatkan
perawatan medis yang tepat.
Safe Motherhood Initiative dan Gerakan Sayang Ibu (GSI)
Tingginya angka kasus kematian ibu sebenarnya bukanlah masalah yang terbilang baru.
Upaya penanganan kasus kematian ibu merupakan diskursus level global yang telah
diperbincangkan sejak abad ke 17. Dalam penelitiannya yang berjudul “Death in Childbed
from the Eighteent Century to 1935,” Loudon menjelaskan bahwa catatan-catatan terkait
kasus kematian ibu mulai muncul pada awal abad ke-17, seiring dengan berkembangnya
praktik kebidanan di masyarakat Inggris (Loudon, 1986). Akan tetapi, komitmen masyarakat
global terkait penanganan kasus kematian ibu agaknya baru hadir di akhir abad ke-20. Pada
tahun 1987, kekhawatiran terkait dampak dari tingginya kasus kematian ibu mendorong
WHO dan organisasi-organisasi internasional lain untuk melahirkan The Safe Motherhood
Initiative (Women & Children First, 2015).
Konsep safe motherhood sendiri mencakup serangkaian upaya, praktik, protokol, dan
panduan pemberian pelayanan yang didesain untuk memastikan perempuan menerima
layanan ginekologis, layanan keluarga berencana, serta layanan prenatal, delivery,
dan postpartum  yang berkualitas, dengan tujuan untuk menjamin kondisi kesehatan sang ibu,
janin, dan anak agar tetap optimal pada saat kehamilan, persalinan, dan pasca-melahirkan
(USAID, 2005). Mengacu pada modul yang disusun oleh The Health Policy Project (2003),
konsep safe motherhood sendiri memiliki enam pilar utama, yaitu:
1. Keluarga Berencana – Memastikan bahwa baik individu maupun pasangan memiliki
akses terhadap informasi, dan layanan keluarga berencana untuk merencanakan waktu,
jumlah, dan jarak kehamilan.
2. Perawatan Antenatal – Menyediakan vitamin, imunisasi, dan memantau faktor-
faktor risiko yang dapat menyebabkan komplikasi kehamilan; serta memastikan bahwa
segala bentuk komplikasi dapat terdeteksi secara dini, dan ditangani dengan baik.
3. Perawatan Persalinan – Memastikan bahwa tenaga kesehatan yang terlibat dalam
proses persalinan memiliki pengetahuan, kemampuan, dan alat-alat kesehatan untuk
mendukung persalinan yang aman; serta menjamin ketersediaan perawatan darurat bagi
perempuan yang membutuhkan, terkait kasus-kasus kehamilan berisiko dan komplikasi
kehamilan.
4. Perawatan Postnatal – Memastikan bahwa perawatan pasca-persalinan diberikan
kepada ibu dan bayi, seperti bantuan terkait cara menyusui, layanan keluarga berencana,
serta mengamati tanda-tanda bahaya yang terlihat pada ibu dan anak.
5. Perawatan Post-aborsi – Mencegah terjadinya komplikasi, memastikan bahwa
komplikasi aborsi terdeteksi sejak dini dan ditangani dengan baik, membahas tentang
permasalahan kesehatan reproduksi lain yang dialami oleh pasien, serta memberikan
layanan keluarga berencana jika dibutuhkan.
6. Kontrol Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan AIDS – mendeteksi, mencegah,
dan mengendalikan penularan IMS, HIV dan AIDS kepada bayi; menghitung risiko
infeksi di masa yang akan datang; menyediakan fasilitas konseling dan tes IMS, HIV dan
AIDS untuk mendorong upaya pencegahan; dan – jika memungkinkan – memperluas
upaya kontrol pada kasus-kasus transmisi IMS, HIV dan AIDS dari ibu ke bayinya.
The Safe Motherhood Initiative inilah yang kemudian digunakan sebagai basis Program
Gerakan Sayang Ibu, atau yang biasa disebut sebagai Program GSI. Program Gerakan Sayang
Ibu merupakan sebuah “gerakan” untuk mengembangkan kualitas perempuan – utamanya
melalui percepatan penurunan angka kematian ibu – yang dilaksanakan bersama-sama oleh
pemerintah dan masyarakat (Syafrudin dalam Priyadi dkk, 2011). Tujuan utama dari Program
GSI adalah peningkatan kesadaran masyarakat, yang kemudian berdampak pada keterlibatan
mereka secara aktif dalam program-program penurunan AKI; seperti menghimpun dana
bantuan persalinan melalui Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), pemetaan ibu hamil dan
penugasan donor darah pendamping, serta penyediaan ambulan desa (Syafrudin dalam
Priyadi dkk, 2011). Berbeda dengan The Safe Motherhood Initiative  yang terkesan sangat
struktural, program GSI justru menekankan keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya-upaya
untuk menurunkan AKI.
PKBI dalam Konteks Penurunan AKI
Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempelopori gerakan Keluarga
Berencana di Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) terlibat secara
aktif dalam upaya penurunan AKI; khususnya melalui poin pertama, kelima, dan terakhir
dari The Safe Motherhood Initiative, yaitu akses program keluarga berencana, perawatan
pasca aborsi, dan kontrol IMS, HIV dan AIDS. Sejak didirikan pada tahun 1957, PKBI
percaya bahwa keluarga merupakan pilar utama untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang bertanggung jawab – baik dalam
dimensi kelahiran, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan masa depan. Nilai inilah yang
kemudian dimanifestasikan dalam Program Layanan Keluarga Berencana (KB) dan
Kesehatan Seksual dan Reproduksi (Kespro) PKBI.
Melalui Program Layanan KB dan Kespro, PKBI menyediakan pelayanan kesehatan seksual
dan reproduksi yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (termasuk kelompok difabel
dan kelompok marjinal lain). Salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh PKBI dalam
program tersebut adalah program keluarga berencana – senada dengan poin pertama dari
enam pilar utama The Safe Motherhood Association. Selain program KB, PKBI juga
menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tidak diinginkan yang komprehensif, sesuai
dengan poin kelima dari enam pilar utama The Safe Motherhood Association. Terakhir, dalam
rencana strategisnya, PKBI juga memiliki komitmen untuk mengembangkan upaya
pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS. – sejalan dengan pilar terakhir The
Safe Motherhood Initiative.
2. Stunting
Stunting adalah kondisi ketika anak lebih pendek dibandingkan anak-anak lain seusianya,
atau dengan kata lain, tinggi badan anak berada di bawah standar. Standar yang dipakai
sebagai acuan adalah kurva pertumbuhan yang dibuat oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi ke-3 untuk jumlah stunting terbanyak. Pada
tahun 2018, walaupun jumlahnya turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, masih ada 3
dari 10 balita Indonesia yang mengalami stunting.

Penyebab Stunting pada Anak

Stunting merupakan akibat dari kurangnya asupan gizi pada anak dalam 1000 hari
pertama kehidupan, yaitu semenjak anak masih di dalam kandungan hingga anak berusia 2
tahun. Stunting pada anak bisa disebabkan oleh masalah pada saat kehamilan, melahirkan,
menyusui, atau setelahnya, seperti pemberian MPASI yang tidak mencukupi asupan nutrisi.

Selain nutrisi yang buruk, stunting juga bisa disebabkan oleh kebersihan lingkungan yang
buruk, sehingga anak sering terkena infeksi. Pola asuh yang kurang baik juga ikut
berkontribusi atas terjadinya stunting. Buruknya pola asuh orang tua sering kali disebabkan
oleh kondisi ibu yang masih terlalu muda, atau jarak antar kehamilan terlalu dekat.

Ciri-Ciri Anak Mengalami Stunting

Stunting pada anak akan terlihat dari perawakan anak yang kerdil saat mencapai usia 2 tahun,
atau lebih pendek dibandingkan anak-anak seusianya dengan jenis kelamin yang sama. Selain
pendek atau kerdil, anak yang mengalami stunting juga terlihat kurus. Walaupun terlihat
pendek dan kurus, tubuh anak tetap proporsional. Tetapi perlu diingat, tidak semua anak yang
pendek itu disebut stunting, yah.

Selain mengalami gangguan pertumbuhan, stunting pada anak juga memengaruhi


perkembangannya. Anak dengan stunting akan mengalami penurunan tingkat kecerdasan,
gangguan berbicara, dan kesulitan dalam belajar. Akibatnya, prestasi anak di sekolah akan
buruk. Dampak lebih jauh dari stunting adalah pada masa depan anak, di mana ia akan sulit
mendapatkan pekerjaan ketika dewasa.

Anak dengan stunting juga memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, sehingga lebih
mudah sakit, terutama akibat penyakit infeksi. Selain itu, anak yang mengalami stunting akan
lebih sulit dan lebih lama sembuh ketika sakit. Stunting juga memberikan dampak jangka
panjang terhadap kesehatan anak. Setelah dewasa, anak akan rentan mengalami penyakit
diabetes, hipertensi, dan obesitas.
Seluruh ciri-ciri anak stunting ini sebenarnya adalah dampak dari kurangnya nutrisi,
seringnya terkena penyakit, dan salahnya pola asuh pada 1000 hari pertama kehidupan, yang
sebenarnya dapat dicegah namun tidak dapat diulang kembali.

Mencegah Stunting pada Anak

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, gangguan tumbuh kembang akibat stunting bersifat
menetap, yang artinya tidak dapat diatasi. Namun, kondisi ini sangat bisa dicegah, terutama
pada saat 1000 hari pertama kehidupan anak, dengan cara sebagai berikut:
 Penuhi kecukupan nutrisi ibu selama kehamilan dan menyusui, terutama zat besi,
asam folat, dan yodium.
 Lakukan inisiasi menyusui dini dan memberikan ASI eksklusif.
 Lengkapi pengetahuan mengenai MPASI yang baik dan menerapkannya.
 Biasakan perilaku hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan menggunakan sabun
dan air, terutama sebelum menyiapkan makanan dan setelah buang air besar atau
buang air kecil, meminum air yang terjamin kebersihannya, dan mencuci peralatan
makan dengan sabun cuci piring. Semua ini dilakukan untuk mencegah anak terkena
penyakit infeksi.
Bunda dan Ayah juga perlu memeriksakan Si Kecil ke Posyandu atau Puskesmas secara rutin,
agar kenaikan berat badan dan tinggi badannya dapat dipantau, untuk kemudian dibandingkan
dengan kurva pertumbuhan dari WHO. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan setiap
bulan bagi anak berusia di bawah 1 tahun, dan setiap 3 bulan bagi anak berusia 1-2 tahun.

Selain pemantauan terhadap tinggi badan dan berat badan, pemeriksaan rutin ini juga
diperlukan untuk melakukan evaluasi kemungkinan terjadinya infeksi pada anak,
seperti cacingan, TBC, infeksi saluran kencing, dan diare berulang.

3. TBC

TBC (Tuberkulosis) yang juga dikenal dengan TB adalah penyakit paru-paru akibat


kuman Mycobacterium tuberculosis.  TBC akan menimbulkan gejala berupa batuk
yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu), biasanya berdahak, dan terkadang mengeluarkan
darah.

Kuman TBC tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga bisa menyerang tulang, usus, atau
kelenjar. Penyakit ini ditularkan dari percikan ludah yang keluar penderita TBC, ketika
berbicara, batuk, atau bersin. Penyakit ini lebih rentan terkena pada seseorang yang
kekebalan tubuhnya rendah, misalnya penderita HIV.

Gejala Tuberkulosis

Selain menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama, penderita TBC juga akan
merasakan beberapa gejala lain, seperti:
 Demam
 Lemas
 Berat badan turun
 Tidak nafsu makan
 Nyeri dada
 Berkeringat di malam hari
Pengobatan Tuberkulosis
TBC dapat dideteksi melalui pemeriksaan dahak. Beberapa tes lain yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi penyakit menular ini adalah foto Rontgen dada, tes darah, atau tes kulit
(Mantoux).

TBC dapat disembuhkan jika penderitanya patuh mengonsumsi obat sesuai dengan resep
dokter. Untuk mengatasi penyakit ini, penderita perlu minum beberapa jenis obat untuk
waktu yang cukup lama (minimal 6 bulan). Obat itu umumnya berupa:
 Isoniazid
 Rifampicin
 Pyrazinamide
 Ethambutol

Pencegahan Tuberkulosis

TBC dapat dicegah dengan pemberian vaksin, yang disarankan dilakukan sebelum bayi
berusia 2 bulan. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara:
 Mengenakan masker saat berada di tempat ramai.
 Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa.
 Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.

4. Imunisasi

Nationalgeographic.co.id - Program Imunisasi di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak


mengalami perkembangan yang signifikan. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018
Kementerian Kesehatan RI menunjukkan cakupan status imunisasi dasar lengkap (IDL)
pada anak (usia 12-23 bulan) menurun dari 59,2% (2013) menjadi 57,9% (2018). Artinya,
dari sekitar 6 juta anak berusia 12-23 bulan hanya sekitar 2,5 juta anak saja yang lengkap
imunisasinya. Jumlah anak yang belum diimunisasi lengkap itu hampir setara dengan separuh
jumlah penduduk Singapura. Sebaliknya anak yang diimunisasi tapi tidak lengkap meningkat
dari 32,1% menjadi 32,9% pada periode yang sama. Angka imunisasi dasar lengkap anak di
pedesaan lebih rendah (53,8%) dibandingkan anak-anak di perkotaan (61,5%). Dua kondisi
tersebut cukup mengkhawatirkan untuk masa depan kesehatan anak-anak.

Stagnasi cakupan imunisasi tidak saja terlihat dari cakupan imunisasi dasar lengkap yang
menurun tersebut tapi juga penundaan atau penolakan sebagian masyarakat terhadap program
pengebalan tubuh seperti kampanye imunisasi campak (measles) dan rubella (IMR) tahap
kedua di 28 provinsi luar Pulau Jawa. Setelah tidak mencapai target dalam tiga bulan
imunisasi massal, program tersebut diulur lagi waktunya hingga 31 Desember 2018. Kini,
dari 395 kabupaten dan kota yang disasar, baru di 102 kabupaten dan kota yang mencapai
95% cakupan imunisasi MR. Pelaksanaan kampanye MR ini tidak hanya mengejar target
cakupan 95%, melainkan membentuk kekebalan kelompok sehingga bisa melindungi orang
lain, bahkan yang tidak diimunisasi sekali pun.

“Penyakit hati” ragu-ragu

Riset terbaru di Lancet yang memaparkan situasi global tingkat kepercayaan masyarakat


terhadap vaksin di 67 negara, menemukan berbagai faktor kompleks penyebab timbulnya
keraguan terhadap program imunisasi; di antaranya politik, sejarah, hubungan dengan petugas
kesehatan, dan faktor emosional.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan keraguan terhadap vaksin (imunisasi)


terjadi saat seseorang menunda atau menolak mendapatkan pelayanan imunisasi yang
tersedia. Kondisi ini bersifat kompleks dan spesifik, sangat bervariasi dari waktu ke waktu,
berbeda antar tempat dan juga untuk tiap jenis vaksinnya.

Suatu riset meta-analisis kualitatif–dari berbagai penelitian yang sudah dipublikasikan


online–tentang faktor pendorong keraguan terhadap vaksin di beberapa negara
berpenghasilan tinggi, sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Umumnya
penolakan orang tua terhadap vaksinasi bervariasi untuk tiap vaksin, sesuai dengan konteks
sosial-budaya, keadaan sosial dan pengalaman pribadi masing-masing. Walau latar belakang
para orang tua sangat heterogen, pola pengambilan keputusan orang tua terhadap vaksinasi
memiliki gambaran yang mirip. Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi orang tua menolak
atau menerima program imunisasi atau vaksin tertentu.

Dari riset meta-analisis tersebut ditemukan pentingnya norma sosial dan dukungan dari
kelompok pro-vaksin, agar vaksinasi menjadi “hal yang normal dilakukan” bagi mayoritas
orang tua. Ini agar mereka menerima vaksinasi tanpa pikiran berpikir dua kali. Kemudahan
akses, dan adanya rekomendasi tentang pentingnya imunisasi oleh pemerintah dan sumber
yang dipercaya berkontribusi besar agar vaksinasi dapat diterima sebagai norma sosial bagi
orang tua.

Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan keamanan vaksin merupakan faktor
yang sangat penting. Kepercayaan masyarakat yang rendah dapat menyebabkan masyarakat
enggan dan menolak program imunisasi. Contohnya di Ukraina, WHO melaporkan [adanya
kejadian luar biasa (KLB) campak] dengan total kasus mencapai 28.182 kasus dengan 13
kematian hingga Agustus 2018 akibat adanya kecemasan tentang keamanan vaksin,
ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan sistem kesehatan yang jelek.

Gerakan pro-vaksinasi

Kasus lain yang menunjukkan dampak faktor emosional bisa dilihat dari Kejadian Luar Biasa
(KLB) campak di California, AS yang menyebar di beberapa negara bagian AS pada 2015.
Dari 188 kasus campak, umumnya terjadi pada mereka yang tidak divaksinasi karena adanya
aturan “pembebasan vaksin karena alasan pribadi atau kepercayaan”.

Kejadian luar biasa ini menjadi titik kritis bagi orang tua pro-vaksin yang membuat sebuah
gerakan untuk membatalkan aturan ini. Pencabutan aturan ini akhirnya berhasil diloloskan
oleh Senat California. Gerakan di California juga menggunakan pendekatan emosional
melalui imbauan dari seorang anak penderita Leukemia bernama Rhett yang mengajak orang-
orang untuk divaksinasi. Para kelompok pro-vaksin juga membagikan kisah-kisah emosional
dan kesaksian pribadi menggunakan platform YouTube dan Facebook. Dalam hal ini, kisah
Rhett adalah cara ampuh untuk menggugah emosi dan mengubah pikiran orang untuk
mendukung vaksinasi.

Di Italia, guru-guru yang peduli program vaksinasi juga dimobilisasi untuk mendesak
pemerintah agar mempertahankan aturan vaksinasi wajib bagi setiap anak. Mereka tidak ingin
anak-anak yang tidak divaksinasi di dalam kelas menjadi sumber penyakit bagi murid
lainnya. Inisiatif seperti ini perlu diperjuangkan sebagai contoh untuk memotivasi orang lain.

Pendekatan persuasif dan melawan hoax

Investigasi dari BBC terhadap berita palsu (hoax) di Afrika dan India menunjukkan bahaya
penyebaran informasi tidak akurat lewat media massa atau media sosial macam Facebook
pada sentimen dan perilaku publik, termasuk merusak kepercayaan masyarakat terhadap
vaksin. Kondisi ini memicu penolakan terhadap vaksinasi dan meningkatkan risiko wabah
penyakit. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, salah satu negara dengan pemakaian
internet tertinggi di dunia setelah India dan Cina. Banyak orang tua di Indonesia memilih
tidak memvaksinasi anaknya atau menolak vaksin yang disiapkan pemerintah akibat
pengaruh hoax.

Rupanya salah satu topik hoax yang paling banyak beredar di masyarakat Indonesia


adalah hoax tentang kesehatan. Lebih mengkawatirkan lagi, 65% orang Indonesia menelan
mentah-mentah informasi (yang belum tentu akurat) yang beredar di internet. Di sinilah salah
satu tantangan terberat program imunisasi untuk menangkal berbagai pemberitaan negatif
tentang vaksin lewat media sosial.

Belajar dari negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap program imunisasi
misalnya Slovenia dan Yunani, kita bisa lihat bahwa meningkatnya kepercayaan masyarakat
akan program imunisasi karena masyarakatnya percaya bahwa vaksin aman dan efektif dalam
mencegah penyakit. Untuk itu, Kementerian Kesehatan juga menjalin kerja sama Masyarakat
Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) atau Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax untuk menangkal
berita hoax MR Gerakan pro vaksin dengan menggunakan pendekatan persuasif emosional
juga telah dilakukan berbagai pihak di Indonesia. Misalnya, Grace Melia, seorang ibu dari
anak yang menderita Congenital Rubella Syndrome (CRS). Ia gigih kampanyekan Vaksin
Rubella dengan membangun jejaring dengan orang tua yang mengalami beban yang sama
dengannya untuk saling berbagi lewat Rumah Ramah Rubella.
Dari sisi birokrasi, Kementerian Kesehatan berusaha keras menjalin kerja sama, termasuk
dengan melibatkan Kantor Staf Kepresidenan, untuk mensukseskan Imunisasi MR. Majelis
Ulama Indonesia juga telah menerbitkan fatwa bahwa vaksinasi MR dibolehkan karena
kondisi darurat. Termasuk di dalamnya upaya Indonesia sebagai anggota Organization of
Islamic Cooperation (OIC), untuk menyediakan vaksin yang halal.

Apa lagi yang bisa dilakukan?

 Perlu penelitian mengenai persepsi masyarakat lokal tentang imunisasi atau vaksin
tertentu. Identifikasi isu lokal dan influencer kunci penting untuk meningkatkan
kepercayaan akan program imunisasi.
 Para pemangku kepentingan, para profesional kesehatan dengan tokoh agama lokal harus
membangun dialog untuk memberikan informasi yang benar tentang vaksinasi melalui
pengaruh pemimpin agama di tingkat lokal.
 Perlu ada hotline atau pusat informasi imunisasi yang gampang diakses; baik secara
online maupun secara langsung di dinas kesehatan setempat, ruang tunggu rumah sakit,
puskesmas atau klinik untuk membantu meredakan berita hoax dan memungkinkan orang
tua yang ragu-ragu untuk mau memvaksinasi anaknya.
 Pendekatan emosional seperti Rumah Ramah Rubella perlu digalakkan di seluruh
Indonesia, sebagai gerakan moral melindungi masa depan anak.
 Seperti di Italia dan beberapa negara lain di dunia, sudah saatnya pemerintah Indonesia
mewajibkan orang tua memberikan imunisasi dasar yang lengkap sebagai satu syarat
sebelum anak-anak itu memasuki sekolah dasar.

Pada akhirnya, membangun kepercayaan masyarakat dalam program imunisasi adalah upaya
mengubah dan mempengaruhi pikiran seseorang bahwa imunisasi adalah satu metoda
pencegahan penyakit yang paling efektif.

5. PTM

Strategi Pencegahan dan Pengendalian PTM di Indonesia

Indonesia menyadari bahwa PTM menjadi salah satu masalah kesehatan dan penyebab
kematian yang  merupakan ancaman global bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia,
Program PTM telah direvisi dengan rencana strategis PTM tahun 2015-2019, dan rencana
kerja PTM Indonesia 2015-2019 telah diluncurkan Oktober 2015
Pencegahan dan Pengendalian faktor risiko PTM meliputi 4 cara, yaitu :
 Advokasi, kerjasama, bimbingan dan manajemen PTM
 Promosi, pencegahan, dan pengurangan faktor risiko PTM melalui pemberdayaan
masyarakat.
 Penguatan kapasitas dan kompetensi layanan kesehatan, serta kolaborasi sektor swasta
dan profesional
 Penguatan surveilans, pengawasan dan riset PTM  Strategi 4 by 4
Advokasi, kemitraan, jejaring, dan peningkatan kapasitas merupakan kegiatan utama dari
program pengendalian PTM Indonesia.

Untuk kolaborasi antar sektor dan keterlibatan masyarakat, jejaring telah dibentuk, program
pengendalian PTM telah ditingkatkan dengan dukungan politis yang kuat dan berkoordinasi
dengan masyarakat sipil. Program Pengendalian PTM di Indonesia diprioritaskan pada
strategi 4 by 4 sejalan dengan rekomendasi global WHO (Global Action Plan 2013-2020),
fokus pada 4 penyakit PTM Utama Penyebab 60% kematian yaitu

 Kardiovaskulair,
 Diabetes Melitus,
 Kanker,
 Penyakit Paru Obstruksi Kronis

dan pada Pengendalian 4 faktor risiko bersama yaitu

 diet tidak sehat (diet gizi tidak seimbang, kurang konsumsi Sayur dan Buah serta
tinggi konsumsi Gula, Garam dan lemak),
 kurang aktivitas fisik,
 merokok, serta
 mengkonsumsi alkohol.
Pengendalian 4 “faktor risiko bersama” ini dapat mencegah terjadinya 4 Penyakit Tidak
Menular Utama sampai 80%.
Pencegahan dan Pengendalian PTM lainnya :
Selain keempat Penyakit Tidak Menular Utama, fokus Pengendalian PTM juga diarahkan
pada berbagai Penyakit dan kondisi yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas
Hidup manusia, yaitu
 Gangguan Pendengaran,
 Gangguan Penglihatan,
 Disabilitas, dan
 Gangguan Thyroid, serta
 Penyakit yang menyebabkan beban pembiayaan kesehatan seperti Lupus,
Thalassemia, Osteoporosis dan Psoriasis.
Pos Pembinaan Terpadu PTM (POSBINDU)
Fokus Pencegahan dan Pengendalian PTM diutamakan untuk:

 Menjaga agar masyarakat tetap sehat dan terhindar dari Faktor Perilaku berisiko,
 Mampu mengindentifikasi dan memodifikasi perilaku berisikonya agar tidak menjadi
onset PTM serta
 menemukan dini kasus-kasus berpotensi PTM agar dapat dirujuk ke FKTP dan
ditangani sesuai standar.
Penemuan dini faktor risiko biologis seperti
 Obesitas,
 tensi darah tinggi,
 gula darah tinggi,
 Gangguan Penglihatan,
 Gangguan Pendengaran,
 serta deteksi Dini kanker Serviks dan payudara

dilakukan dengan pembudayaan Pemeriksaan Kesehatan secara berkala setiap 6 bulan sekali
atau minimal setahun sekali pada Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak
Menular).
Posbindu PTM pengembangannya berbasis wilayah, disetiap desa atau kelurahan diharapkan
minimal terdapat 1 Posbindu PTM untuk menjangkau seluruh Penduduk usia 15 tahun keatas
di wilayah tersebut.
Penatalaksanaan  Terpadu PTM (PANDU)
Penatalaksanaan Terpadu PTM di FKTP (Pandu PTM), penatalaksanaannya diarahkan untuk
mengendalikan PTM dan merupakan upaya prevensi sekunder untuk mencegah terjadinya
berbagai macam komplikasi yang dapat menyebabkan kecacatan, peningkatan pembiayaan
kesehatan dan kematian dini (kematian pada usia 30-70 tahun).
Upaya Promotif dan Preventif
Penguatan kesadaran masyarakat adalah Kunci Utama keberhasilan upaya promotif preventif
PTM, untuk itu sejak tahun 2015, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian PTM Sudah
membuat terobosan peningkatan kesadaran masyarakat melalui website dan media Sosial
secara masif dan berkesinambungan.
Upaya juga dilakukan dengan berbagai mitra swasta, pers online maupun cetak, blogger,
bioskop, kereta api, media televisi serta internet.
Program Pengendalian Tembakau
Merokok merupakan salah satu faktor risiko PTM penyebab penyakit Kardiovaskular,
Kanker, Paru Kronis, dan Diabetes. Hal tersebut sekaligus merupakan faktor risiko penyakit
menular seperti TBC dan Infeksi Saluran Pernapasan, masalah kesehatan yang menimpa
banyak umat manusia.
Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009 dan Peraturan Pemerintah No. 109/2012
menyatakan bahwa tembakau dan segala produknya adalah zat adiktif dan harus diatur guna
melindungi kesehatan individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Untuk memandu
kegiatan pengendalian tembakau, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40/2013
tentang Jalur Pengendalian Tembakau (2009-2024) yang dapat mengurangi prevalensi
merokok sebesar 10% pada tahun 2024.
Program pengendalian tembakau di Indonesia meliputi :
(1) melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok dengan menetapkan kawasan bebas rokok
di 7 tempat (sekolah, sarana bermain anak, fasilitas pelayan kesehatan, rumah ibadah,
transportasi umum, tempat kerja, ruang publik dan tempat-tempat lainnya;
(2) memperingatkan masyarakat tentang bahaya rokok bagi kesehatan dengan cara
menyantumkan gambar pada kemasan rokok (Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/2013),
iklan layanan masyarakat, dan EIC lainnya termasuk media sosial;
(3) membatasi tayangan iklan rokok di televisi pada pukul 5 pagi hingga 9.30 malam;
(4) melarang penjualan rokok kepada anak-anak berusia di bawah 18 tahun dan wanita hamil;
(5)”offer help to quit tobacco” telah disampaikan oleh Puskesmas bekerjasama dengan WHO
Kawasan Tanpa Rokok
Peraturan untuk melindungi masyarakat dari asap rokok tidak hanya dalam lingkup nasional
namun juga dalam lingkup daerah. Saat ini terdapat 186 kota/kabupaten di seluruh provinsi di
Indonesia yang telah mengembangkan dan melaksanakan peraturan bebas asap rokok dalam
beragam jenis dan tahap.
Pemerintah Indonesia telah memasukkan 3 indikator untuk pencegahan dan pengendalian
PTM yang berkaitan dengan merokok, obesitas dan hipertensi ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019.
Standar Pelayanan Minimal
Deteksi dini faktor risiko PTM dan pengobatan yang tepat standar bagi hipertensi dan
diabetes mellitus juga telah termasuk dalam Kebutuhan Standar Minimum Layanan
Kesehatan bagi semua pemerintah kabupaten. Hal ini akan memaksa otoritas kabupaten untuk
memastikan bahwa sistem layanan kesehatan akan memenuhi kebutuhan, mencapai semua
indikator, dan menyediakan anggaran yang cukup. Dalam Permenkes nomor 43 tahun 2016
tentang SPM bidang kesehatan bagi pemerintah daerah kabupaten/ kota disebutkan bahwa :

 Pelayanan kesehatan pada usia produktif menyebutkan bahwa Setiap warga Negara
usia 15-59 tahun mendapatkan skrining  kesehatan sesuai standar 
 Pelayanan kesehatan pada usia lanjut menyebutkan bahwa Setiap warga Negara usia
60 tahun keatas mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar 
 Skrining kesehatan sesuai  standar dapat dilakukan  di puskesmas dan jaringannya 
termasuk Posbindu PTM.
 Upaya percepatan untuk mencapai dan mendeteksi kasus PTM tak terdiagnosa akan
dioptimalkan dengan memastikan bahwa semua kasus segera dirawat di Puskesmas yang
dirujuk.
Kemitraan dan pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat untuk deteksi dan intervensi modifikasi faktor risiko dengan
menerapkan kegiatan Posbindu telah dimulai sejak tahun 2006 dan diperluas hingga meliputi
34 provinsi di negara kita. Selama dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah memperkuat
kolaborasi antara pihak pemerintah dan swasta melalui program tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR), guna melengkapi keterlibatan organisasi profesional dalam kampanye
promosi kesehatan, pembangunan kapasitas penyedia jasa kesehatan dan memperkuat sistem
mentoring layanan PTM.
Pelayanan PANDU PTM juga ditanggung oleh skema asuransi kesehatan nasional di fasilitas
pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier, termasuk fasilitas swasta yang
berpartisipasi. Indonesia telah mencapai sebagian besar target yang telah diberlakukan selama
tahun 2013.
Indonesia telah melakukan Stepwise Surveillance atau STEPS secara berkala pada tahun
2007 dan 2013, survei berikutnya akan dilakukan pada tahun 2018, dimasukkan ke dalam
kesiapan fasilitas tempat untuk Ketersediaan Layanan dan Kesiapan Penilaian atau Service
Availability and Readiness Assessment (SARA) pada tahun 2010 dan 2014, membangun
sistem pengawasan PTM online, dan memperluas layanan PTM untuk masyarakat lewat
Puskesmas dan Posbindu.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, berkomitmen untuk menjadikan
program pencegahan dan pengendalian PTM sebagai prioritas. Kebijakan dan sejumlah
strategi telah dikembangkan guna menciptakan program dan kegiatan yang tepat untuk
mengatasi masalah PTM. Dukungan kebijakan telah diberikan oleh sektor pemerintah tingkat
atas dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dari pihak pemerintah maupun
swasta.
Strategi nasional berfokus pada promosi dan pencegahan melalui intervensi dan pendidikan
berbasis komunitas, sistem pengawasan, kerjasama, dan manajemen layanan kesehatan.
Strategi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia

Langkah - Langkah kebijakan dan strategi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak


Menular dalam mencapai target indikator adalah :
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat sehingga dapat
terhindar dari faktor risiko.
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui
penguatan sumber daya , dan standardisasi pelayanan,
3. Meningkatkan kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, dan pemangku kepentingan
terkait,
4. Menyelenggarakan Surveilans dengan mengintegrasikan dalam sistem surveilans penyakit
tidak menular diFasilitas Pelayanan Kesehatan dan masyarakat.
5. Meningkatkan advokasi kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan pemangku
kepentingan terkait.

HIV/AIDS
Definisi HIV/AIDS
HIV/AIDS merupakan hal yang berbeda tetapi saling berhubungan. Human
Immunodeficiency Virus atau biasa disingkat HIV adalah virus yang menyebabkan penyakit
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV secara drastis dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh, sehingga memungkinkan penyakit, bakteri, virus, dan infeksi lainnya
menyerang tubuh Anda. HIV menyerang dan menghancurkan sel CD4 yang seharusnya
melawan infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, tubuh jadi kesulitan melawan
infeksi dan kanker terkait HIV tertentu. Tidak seperti virus lainnya, tubuh Anda tidak bisa
menyingkirkan HIV sepenuhnya. Jika Anda terinfeksi HIV, Anda akan memilikinya seumur
hidup.

Sementara itu, AIDS adalah kondisi penyakit kronis dari infeksi virus HIV. Biasanya kondisi
ini ditandai dengan munculnya penyakit lain, seperti kanker dan berbagai infeksi yang
muncul seiring dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh Anda.

Seberapa umumkah kondisi ini?

Menurut laporan dari UNAIDS, pada akhir 2017, ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup
dengan HIV dan sekitar 940.000 orang meninggal akibat AIDS. Namun, hanya sekitar 75%
dari penderita yang menyadari bahwa mereka mengidap HIV/AIDS. Ini karena HIV
merupakan virus yang menyerang tanpa menunjukkan gejala apa pun di awal
kemunculannya. Kalaupun ada, gejalanya sangat samar sehingga cenderung sulit dikenali.

Tanda dan Gejala HIV dan AIDS

Meskipun orang yang memiliki HIV tidak menunjukkan gejala apa pun, Anda masih dapat
menularkan virus n ke orang lain. Hal ini akibat HIV dapat memakan waktu 2-15 tahun
sampai bisa memunculkan gejala. Oleh sebab itu, Anda mungkin saja memiliki HIV dan
masih terlihat sehat, juga bisa berkegiatan secara normal layaknya orang sehat lainnya.
Biasanya, Anda tidak tahu dengan pasti Anda memiliki HIV atau tidak sampai melakukan
pemeriksaan. HIV tidak akan langsung merusak organ tubuh Anda. Akan tetapi, penyakit ini
akan menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga bisa mengakibatkan berbagai penyakit
lainnya, terutama infeksi.

Gejala pertama dari HIV mirip dengan infeksi virus lainnya, yaitu:

 Demam
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Nyeri otot
 Kehilangan berat badan
 Pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan, ketiak, atau pangkal paha
Jika HIV dibiarkan, kondisi ini bisa mengarah pada AIDS dengan gejala yang lebih parah.
Berikut berbagai gejala AIDS yang biasanya muncul, yaitu:
 Sariawan, luka pada lidah atau mulut yang disebabkan oleh infeksi jamur
 Infeksi jamur vagina yang parah atau berulang
 Penyakit radang panggul kronis
 Infeksi parah dan sering mengalami kelelahan ekstrem tanpa sebab, bersamaan
dengan sakit kepala dan/atau pusing
 Turunnya berat badan  lebih dari 5 kg yang tidak disebabkan karena olahraga atau diet
 Lebih mudah mengalami memar
 Diare yang lebih sering
 Sering demam dan berkeringat di malam hari
 Pembengkakan atau mengerasnya kelenjar getah bening di tenggorokan, ketiak, atau
pangkal paha
 Batuk kering terus-menerus
 Sering mengalami sesak napas
 Perdarahan pada kulit, mulut, hidung, anus, atau vagina tanpa penyebab yang pasti
 Ruam kulit yang sering atau tidak biasa
 Mati rasa parah atau nyeri pada tangan dan kaki
 Hilangnya kendali otot dan refleks, kelumpuhan, atau hilangnya kekuatan otot
 Kebingungan (linglung) atau perubahan kepribadian
Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa Anda akan mengalami berbagai gejala di luar yang
telah disebutkan. Jika Anda mempunyai pertanyaan tentang suatu gejala, silakan
berkonsultasi dengan dokter.

Kapan saya harus periksa ke dokter?

Jika Anda memiliki tanda-tanda atau gejala seperti yang telah disebutkan atau memiliki
pertanyaan, silakan konsultasikan langsung dengan dokter. Pasalnya, kondisi tubuh masing--
masing orang berbeda.

Untuk itu, selalu konsultasikan ke dokter jika Anda mengalami berbagai gejala yang tak biasa
seperti yang telah disebutkan. Anda juga perlu segera berkonsultasi jika kondisi tubuh saat ini
menghambat aktivitas keseharian.

Penyebab HIV dan AIDS

AIDS disebabkan oleh virus HIV. HIV ditularkan melalui kontak dengan darah yang
terinfeksi, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI) dari orang yang terinfeksi. Sebagai
contoh, ketika Anda berhubungan seks baik vagina, anal, atau oral dengan seseorang yang
memiliki HIV tanpa kondom, virus ini akan sangat mudah menular. Ini karena adanya
pertukaran cairan tubuh antara orang yang terinfeksi dengan orang yang sehat. Kondisi ini
akan meningkat risikonya jika di organ seksual Anda terdapat luka terbuka. Biasanya
perempuan remaja sangat rentan terhadap infeksi HIV karena selaput vagina mereka lebih
tipis dan lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan wanita dewasa. Selain kontak seksual,
ada berbagai hal lain yang menyebabkan seseorang terkena penyakit yang melemahkan
sistem imun ini, yaitu:
 Berbagi jarum suntik dan peralatan suntik lainnya dengan orang yang terkontaminasi
dengan HIV.
 Menggunakan peralatan tato dan body piercing (termasuk tinta) yang tidak disterilkan
dan pernah dipakai oleh orang dengan HIV.
 Dari seorang ibu dengan HIV kepada bayinya (sebelum atau selama kelahiran) dan
saat menyusui.
 Memiliki penyakit menular seksual (PMS) lainnya, seperti klamidia atau gonore
karena virus HIV akan sangat mudah masuk saat sistem kekebalan tubuh lemah.
 Adanya kontak dengan darah, air mani, atau cairan vagina dari orang yang memiliki
infeksi HIV pada luka terbuka yang Anda miliki.
Namun, jangan salah sangka. Anda tidak dapat tertular HIV melalui kontak sehari-hari,
seperti:
 Bersentuhan
 Berjabat tangan
 Berpelukan atau berciuman
 Batuk dan bersin
 Mendonorkan darah ke orang yang terinfeksi
 Menggunakan kolam renang atau dudukan toilet yang sama
 Berbagi sprei
 Berbagi peralatan makan atau makanan yang sama
 Dari hewan, nyamuk, atau serangga lainnya

Faktor Risiko HIV dan AIDS


AIDS disebabkan oleh HIV dan virus ini ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh dari
pasien HIV, termasuk darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Untuk itu, berbagai hal
yang bisa meningkatkan risiko Anda terkena HIV/AIDS, yaitu:

 Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang positif HIV.
 Berbagi jarum suntik yang sama dengan orang yang positif HIV.
 Melakukan seks tanpa kondom dengan seseorang yang memiliki HIV.
 Melakukan tato tubuh di tempat yang alatnya tidak disterilkan.

Komplikasi HIV dan AIDS

AIDS adalah tahap lanjutan progresif dari infeksi HIV. HIV dapat mengurangi sistem
kekebalan tubuh, sehingga bisa menyebabkan berbagai infeksi lainnya. Jika memiliki AIDS,
Anda mungkin memiliki beberapa komplikasi kondisi yang cukup parah, seperti

Infeksi, Infeksi akibat HIV/AIDS  bisa terjadi lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.
Adapun berbagai infeksi yang biasanya muncul, yaitu tuberkulosis, infeksi sitomegalovirus,
kriptokokus meningitis, toksoplasmosis, dan cryptosporidiosis.

Kanker, AIDS juga bisa memunculkan penyakit kanker di Dalam tubuh. Jenis kanker yang
biasanya muncul yaitu kanker paru-paru, ginjal, limfoma, dan sarkoma Kaposi.
Tuberkulosis (TBC), Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi paling umum yang muncul saat
seseorang mengidap HIV. Pasalnya, orang dengan HIV/AIDS tubuhnya sangat rentan terkena
virus. Oleh sebab itu, tuberkulosis menjadi penyebab utama kematian di antara orang dengan
HIV/AIDS.

Sitomegalovirus, Sitomegalovirus adalah virus herpes yang biasanya ditularkan dalam bentuk
cairan tubuh seperti air liur, darah, urin, air mani, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh
yang sehat akan membuat virus tidak aktif. Namun, jika sistem kekebalan tubuh melemah,
virus muncul kembali dan menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan, paru-
paru, atau organ lain.

Kandidiasis, Kandidiasis adalah infeksi jamur yang juga sering terjadi akibat HIV/AIDS.
Kondisi ini menyebabkan peradangan dan menyebabkan lapisan putih dan tebal pada selaput
lendir mulut, lidah, kerongkongan, atau vagina.

Kriptokokus meningitis, Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (meninges). Meningitis kriptokokal adalah
infeksi sistem saraf umum pusat akibat HIV/AIDS yang disebabkan oleh jamur di dalam
tanah.

Toksoplasmosis, Infeksi yang mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii, parasit


yang menyebar terutama melalui kucing. Kucing yang terinfeksi biasanya memiliki parasit di
dalam tinjanya. Tanpa disadari, parasit ini kemudian dapat menyebar ke hewan lain dan
manusia. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa menyebabkan infeksi otak serius
seperti ensefalitis.

Cryptosporidiosis, Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada
hewan. Biasanya seseorang bisa terkena parasit ini ketika menelan makanan atau air yang
terkontaminasi. Parasit tumbuh di usus Anda dan saluran empedu, menyebabkan diare
parah kronis pada orang dengan AIDS.

Bagaimana cara mengobati HIV dan AIDS?

Terapi antiretroviral (ART) merupakan obat yang biasanya digunakan untuk mengobati


infeksi akibat HIV. Orang yang memakai ART menggunakan kombinasi obat HIV (rejimen
HIV) setiap harinya. ART tidak dapat menyembuhkan tetapi bisa membantu orang dengan
HIV hidup lebih lama dan lebih sehat. Selain itu, ART juga membantu mengurangi risiko
penularan HIV. Tujuan utama ART yaitu mencegah dan mengurangi HIV berkembang biak
dan membuat salinannya sendiri. Dengan begitu, jumlah virusnya di dalam tubuh tidak terus
bertambah. Berkurangnya virus HIV memberi kesempatan bagi sistem kekebalan tubuh untuk
bisa pulih dan cukup kuat untuk melawan infeksi dan kanker. Selain itu, ketika jumlah virus
rendah dan tidak terdeteksi, kemungkinan untuk menularkan Human Immunodeficiency
Virus ini ke orang lain pun berkurang. Saat terdeteksi HIV, Anda biasanya diminta untuk
minum ART sesegera mungkin.  Apalagi jika Anda sedang dalam kondisi:
 Hamil
 Memiliki infeksi oportunistik
 Memiliki gejala yang parah
 Jumlah sel T-CD4 di bawah 350
 Memiliki penyakit ginjal akibat HIV
 Sedang dirawat karena hepatitis B atau C

Selain ART, ada banyak obat untuk HIV yang biasanya dikelompokkan dan dikombinasikan
sesuai dengan kegunaannya. Pemilihan rejimen ini akan berbeda tiap orangnya karena
biasanya disesuaikan dengan efek samping dan interaksi obat lain yang digunakan. Untuk itu
dokterlah yang akan memilihkan kira-kira rejimen mana yang sekiranya cocok untuk
mengobati kondisi Anda.

Pengobatan di Rumah untuk HIV dan AIDS

 Makan makanan dengan gizi seimbang dan memperbanyak sayur, buah, biji-bijian,
dan protein tanpa lemak.
 Cukup istirahat.
 Rutin berolahraga.
 Menghindari obat-obatan terlarang termasuk alkohol.
 Berhenti merokok.
 Melakukan berbagai cara untuk mengelola stres seperti meditasi atau yoga.
 Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun setiap habis memegang hewan
peliharaan.
 Menghindari daging mentah, telur mentah, susu yang tidak dipasteurisasi, dan
makanan laut mentah.
 Melakukan vaksin yang tepat untuk mencegah infeksi seperti radang paru dan flu.
Jika Anda positif HIV, Anda dapat menularkan virus ke orang lain meski tubuh tidak
menunjukkan gejala apa pun. Untuk itu, lindungi diri Anda dan orang lain dan cegah
penyebaran HIV dengan cara:
 Gunakan kondom saat berhubungan seks vagina, oral, atau anal.
 Tidak berbagi jarum atau peralatan obat lainnya.

KEKERASAN PADA WANITA


Catatan Tahunan 2019 Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan terhadap
Perempuan Meningkat

Rabu (6/3) bertempat di Hotel Bidakara, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2019. Setiap tahun
Komnas Perempuan memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh di tanggal 8
Maret dengan meluncurkan Catahu. Tahun ini Catahu diluncurkan dengan judul “Korban
Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud
Komitmen Negara” sebagai dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan dan ditangani oleh lembaga pengadalayanan.

Dalam acara tersebut Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) menyebutkan


bahwa di tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah
406.178 kasus. Data tersebut dihimpun dari tiga sumber yakni Pengadilan Negeri (PN) dan
Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan
Rujukan (UPR). Mariana menjelaskan bahwa pada Catahu 2019 ditemukan fakta baru tentang
kekerasan terhadap perempuan yakni perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest,
kekerasan dalam pacaran (KDP), cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan
disabilitas. Kendati beberapa darinya adalah jenis kasus lama, namun jenisnya semakin
beragam.

Sementara itu Adriana Venny (Komisioner Komnas Perempuan) menyampaikan bahwa


dalam Catahu Komnas Perempuan memetakan jenis-jenis kekerasan seksual yang dilaporkan
oleh korban yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan
kontrasepsi, pemaksaan melakukan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan
pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Berdasarkan pengaduan korban
banyak kasus yang terjadi di luar nalar kemanusiaan juga, misalnya tentang penelanjangan
perempuan di bandara atas nama keamanan dan ancaman mengedarkan video porno (revenge
porn).

Yuniyanti Chuzaifah (Wakil Ketua Komnas Perempuan) menyatakan bahwa saat ini Komnas
Perempuan dikejutkan dengan fakta meningkatnya kasus kekerasan di ranah personal.
Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat 9637 kasus yang dilaporkan dengan jenis
kekerasan yang menonjol adalah kekerasan fisik sebanyak 3927 kasus. Yuniyanti
menyayangkan bahwa selama ini kasus kekerasan berakhir pada perceraian tanpa tindakan
lanjut yang mendukung hak korban.

Selain itu, Yuniyanti mengingatkan bahwa negara perlu terlibat langsung dalam kasus
femisida atau kasus pembunuhan perempuan dengan alasan misoginis. Menurutnya, negara
juga perlu bergerak cepat dalam menangani perlindungan korban pasca melaporkan. “Kita
dikejutkan dengan kasus seorang dokter yang dibunuh suaminya, padahal ia sudah
mengadukan kasus kekerasan yang terjadi sebelumnya, ini menjadi catatan bagi pemerintah
bahwa korban membutuhkan perlindungan pasca pengaduan”, tutur Yuniyanti.

Thaufiek Zulbahary (Komisioner Komnas Perempuan) menyatakan bahwa pemerintah perlu


mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera karena pengesahan
tersebut merupakan wujud komitmen negara. Komnas Perempuan juga memberikan
rekomendasi kepada semua elemen negara untuk menciptakan situasi kondusif mengakhiri
kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban.

Anda mungkin juga menyukai