Anda di halaman 1dari 4

Cara Mengendalikan Emosi Anda

Kadang-kadang, emosi bisa sangat mengganggu, bahkan adakalanya emosi mengubah situasi jadi menakutkan. Akan
tetapi, ketahuilah bahwa pada dasarnya tidak pernah ada emosi yang bisa dikatakan “salah”. [1] Kita bisa
mengendalikan emosi dengan belajar mengenali dan menanggapinya dengan cara yang baik dan bermanfaat, bukan
dengan mengabaikan atau menekannya. Cobalah membayangkan “pengaturan” emosi ini seperti sedang mengatur
suhu menggunakan termostat.[2][3] Selain merasa lebih tenang, tubuh kita akan lebih sehat jika kita mampu
mengendalikan emosi![4]

1. Berusahalah menenangkan diri dan kembali memfokuskan pikiran. Sering kali, kita mudah terbawa emosi
sehingga bereaksi di luar kendali. Ketika Anda merasa terjebak dalam situasi emosional yang tidak terkendali,
berusahalah menyadari apa yang sedang terjadi dan mulailah memperhatikan apa yang tubuh Anda rasakan. Cara ini
akan “mengalihkan” pikiran Anda dari tekanan sehingga Anda mampu menyadari situasi yang sedang terjadi.

 Biasanya, akan muncul berbagai efek pada tubuh saat emosi kita terstimulasi, misalnya detak jantung
semakin cepat, otot-otot terasa mengencang atau menjadi tegang, dan napas menjadi lebih cepat atau
pendek.[7]
 Banyak orang yang terbiasa memberikan respons emosional yang disebut “reaktivitas otomatis”. Reaktivitas
otomatis adalah sebuah “kebiasaan” yang dibentuk oleh otak untuk bereaksi secara otomatis terhadap
stimulan, misalnya terhadap pengalaman emosional, dengan cara tertentu. Kebiasaan ini bisa membuat
Anda merasa tidak mampu mengendalikan reaksi emosional. Kabar baiknya, Anda bisa melatih otak dengan
berfokus pada situasi yang sedang terjadi. [8]
 Berusahalah mengenali reaksi tubuh secara sadar. Mulailah dengan membayangkan diri Anda sebagai dokter
yang sedang memeriksa pasien. Contohnya, jika Anda tiba-tiba merasa cemas, cobalah memperhatikan apa
yang tubuh Anda rasakan: “Detak jantungku semakin cepat. Telapak tanganku berkeringat. Aku merasa
mual”. Cobalah mengenali dan menerima semua perasaan ini apa adanya dan jangan menilai sebagai hal
yang “salah” atau ingin segera terbebas dari pengalaman tersebut. [9]
 Kesadaran pada dasarnya terbentuk dari berbagai jalur informasi yang memberitahukan sesuatu kepada kita
secara bersamaan. Perasaan tertekan secara emosional merupakan akibat dari reaksi emosional yang
muncul karena kacaunya perasaan dan pengalaman indrawi yang campur aduk. Berusahalah menenangkan
diri dan memfokuskan perhatian pada hal tertentu, misalnya dengan mengenali apa yang Anda cium, sentuh,
dan lihat. Cara ini akan memperbaiki kebiasaan otak mengolah informasi sehingga Anda terbebas dari
kendali emosi.[10]

2. Aturlah napas Anda. Ketika emosi semakin intens, tubuh Anda akan masuk dalam kondisi “serang atau mundur”.
Respons inilah yang mengaktifkan sistem saraf simpatik dengan menyalurkan adrenalin dan zat kimia lainnya ke
seluruh tubuh sehingga irama detak jantung menjadi lebih cepat, napas lebih pendek, otot-otot mengencang dan
menjadi tegang.[11] Dengan bernapas panjang dan teratur, Anda akan merasa lebih tenang dan rileks karena lebih
banyak oksigen yang mengalir dalam tubuh. [12][13]

 Letakkan telapak tangan Anda, satu di dada dan satu lagi di perut di bawah tulang rusuk paling bawah.
Tariklah napas panjang perlahan-lahan melalui hidung selama 4 hitungan sambil merasakan paru-paru dan
perut Anda mengembang terisi udara.
 Tahan dahulu napas Anda 1-2 detik, lalu buanglah napas sedikit demi sedikit melalui mulut. Cobalah
bernapas dengan cara ini 6-10 kali per menit. [14]
 Jika menarik napas 4 hitungan masih agak sulit, mulailah dengan 2 hitungan dan teruslah berlatih agar napas
Anda semakin panjang. Biasakanlah bernapas dalam-dalam dan teratur semampu Anda.

3. Gunakan teknik visualisasi. Bagi banyak orang, perasaan rileks saat melakukan visualisasi bisa membantu mereka
mengendalikan respons emosi dengan cepat. [18] Awalnya, Anda mungkin perlu berlatih beberapa waktu, tetapi
setelah mengetahui cara visualisasi yang paling tepat, Anda bisa mengubah situasi yang selama ini memicu stres
menjadi momen yang mampu Anda hadapi dengan baik. [19]

 Tentukan “tempat yang aman”. Tempat ini bisa di mana saja, asalkan Anda bisa merasa tenang dan nyaman.
Mungkin di pantai, spa, pura, atau kamar tidur Anda, yang penting Anda bisa merasa aman dan rileks berada
di tempat ini.
 Pejamkan mata dan bayangkan tempat ini sambil melihat hal-hal detail sebanyak mungkin. Suara apa yang
Anda dengar? Apa yang Anda lihat? Seperti apa baunya? Tekstur apa yang terasa saat Anda sentuh?
 Bernapaslah perlahan-lahan dan teratur. Jika tubuh Anda terasa tegang, gunakan teknik relaksasi otot
progresif atau goyangkan lengan dan tungkai Anda agar lebih rileks.
 Mungkin Anda merasa canggung atau risi saat pertama kali mencoba membayangkan tempat yang aman ini,
tetapi percayalah pada diri sendiri bahwa latihan ini bisa berhasil.
 Jika muncul emosi negatif selama bervisualisasi, bayangkan emosi ini seperti benda fisik yang bisa Anda
hilangkan dari tempat aman. Contohnya, bayangkan gangguan stres sebagai batu kerikil yang bisa Anda
lempar ke tengah laut menjauh dari pantai yang tenang di mana Anda berada. Setelah itu, bayangkan
gangguan stres keluar dari tubuh saat Anda lemparkan jauh-jauh.

3 Ketahuilah cara mengenali dan mengatasi distorsi kognitif. Banyak di antara kita yang pernah mendengar
ungkapan “melihat dunia melalui kacamata merah muda”. Distorsi kognitif adalah cara berpikir yang salah sehingga
kita melihat kehidupan ini melalui kacamata yang “keruh”. [27]

 Distorsi kognitif terjadi karena kita membiarkan emosi membuat kita yakin akan kebenaran suatu hal tanpa
mengujinya terlebih dahulu.[28] Kabar baiknya, pola pikir ini adalah sebuah kebiasaan yang dipelajari dan bisa diubah
dengan berlatih.

4.Berusahalah mengenali dan mengatasi pandangan negatif yang muncul karena merasa kekurangan. Perasaan
kekurangan biasanya muncul karena rendahnya harga diri, sebuah gagasan yang mengatakan bahwa Anda kurang
baik dalam melakukan sesuatu atau kurang layak menjadi seseorang yang Anda inginkan. Mengenali distorsi ini dan
mengatasinya akan melatih otak menolak asumsi “otomatis” yang mengatakan bahwa Anda “kurang
baik”. [29] Distorsi kognitif bisa muncul dalam bentuk:[30]

 Pola pikir “semua atau tidak sama sekali”. Pola pikir ini selalu menilai segalanya dari sisi baik dan buruk, tidak
ada yang di tengah. Jadi, jika Anda tidak sempurna, Anda gagal. Tantanglah pola pikir ini dengan menunjukkan kasih
sayang kepada diri sendiri dan berusahalah melihat kenyataan bahwa semua orang adakalanya menghadapi
tantangan dan melakukan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya: “Aku makan sepotong keik saat
makan siang tadi, padahal aku sedang berusaha menerapkan pola makan sehat. Aku menyesal, tetapi aku masih
punya kesempatan memperbaikinya. Aku akan memilih makanan sehat untuk makan malam”.
 Perilaku menolak hal-hal positif. Anda menolak jika seseorang mengatakan hal-hal baik tentang diri Anda.
Tetapi, Anda “sangat mengenali” jika ada orang yang mengatakan hal-hal buruk tentang Anda. Tantanglah perilaku
ini dengan mengumpulkan berbagai bukti, yaitu semua hal yang berhasil Anda lakukan dengan baik selama ini. Anda
pasti bisa menemukannya jika mau melihatnya. [31]
 Sifat mudah tersinggung. Anda yakin bahwa Andalah yang menjadi penyebab sehingga terjadi hal-hal yang
buruk, padahal kejadian ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Anda. Contoh pola pikir yang mengaitkan segala
sesuatu dengan Anda, misalnya: “Istriku sepertinya sedang kesal waktu mengobrol di telepon. Mungkin dia sedang
marah kepadaku”. Tantanglah pola pikir ini dengan mencari penyebab lain dari kejadian atau pengalaman
yang tidak ada urusannya dengan Anda, misalnya: “Istriku sepertinya sedang kesal. Mungkin dia lelah bekerja atau
sedang kurang enak badan. Aku akan menanyakan kabarnya jika nanti kita bertemu”.
 Kebiasaan membaca pikiran. Anda yakin bahwa Anda tahu apa yang orang lain pikirkan atau rasakan
(biasanya yang negatif) tanpa menanyakan kebenarannya. Terutama, Anda tahu dengan pasti perasaan orang lain
tentang Anda dan apa pengaruhnya terhadap cara ia bertindak. [32] Contohnya: Anda merasa seseorang merendahkan
Anda, tetapi tidak mau berusaha memastikan kebenarannya. Anda hanya menganggapnya memang benar seperti
itu. Hal ini terjadi karena Anda merasa tidak layak dihargai sehingga menjadi sangat sensitif terhadap
seseorang sepertinya sedang merendahkan Anda. Tantanglah kebiasaan ini dengan bertanya secara langsung apa
yang ia pikirkan dan rasakan, tanpa prasangka.

5 Berkomunikasilah dengan bersikap asertif. Kemampuan berkomunikasi dengan bersikap asertif sangat membantu


mengendalikan emosi sebab Anda bisa mengekspresikan emosi dengan baik secara terbuka. [35] Bersikap tegas bukan
berarti mengekspresikan diri dengan menyakiti perasaan orang lain atau berkomunikasi dengan arogansi. Bersikap
asertif berarti mampu mengenali dan menghormati keinginan dan perasaan Anda sendiri dan orang lain. [36] Beberapa
cara berkomunikasi secara asertif di antaranya:

 Menggunakan kata “saya”. Komunikasi dengan cara ini akan membantu Anda mengekspresikan emosi tanpa
membuat orang lain merasa seakan-akan sedang dipersalahkan atau diremehkan. Contohnya, alih-alih mengatakan
“Kamu tidak peduli pada saya” jika seseorang menyakiti perasaan Anda, coba katakan: “Aku kecewa karena kamu
tidak menelepon aku lagi sesuai janji. Apa sebabnya?”
 Ajaklah orang lain berbagi pengalaman. Setiap masalah pasti punya dua sisi. Ajaklah orang lain saling berbagi
pikiran dan pengalaman dengan Anda agar bisa lebih memahami apa yang sedang terjadi. Selain itu, cara ini akan
membuat orang lain merasakan keterlibatan Anda dalam percakapan dengan mereka, bukan hanya berbicara satu
arah. Contohnya, setelah Anda menyampaikan pendapat, cobalah menindaklanjutinya dengan bertanya: “Apa
pendapat Anda tentang hal ini?”
 Hindari kata “seharusnya” dan “semestinya”. Kalimat yang menggunakan kata-kata ini, disebut juga “kalimat
perintah”, bisa menimbulkan frustrasi dan amarah. Orang lain akan merasa dipersalahkan atau dinilai, entah Anda
memakainya untuk orang lain atau diri sendiri. Contohnya, alih-alih berpikir “Pasanganku seharusnya tidak pernah
melukai perasaanku”, cobalah mengingatkan diri sendiri bahwa kita semua manusia biasa dan adakalanya berbuat
salah. Dengan demikian, Anda juga akan terhindar dari amarah jika pasangan Anda salah bicara sebab Anda tidak
mudah tersinggung.[37]
 Ungkapkan perasaan Anda secara jelas dan langsung. Salah satu faktor penting dalam komunikasi yang
asertif adalah berbicara secara sistematis. Boleh saja Anda mengatakan apa yang membuat Anda kesal atau merasa
terganggu. Sampaikan apa yang Anda pikirkan dengan taktis, tetapi jelas. Contohnya, jika ada teman yang minta
bantuan Anda menyelesaikan pekerjaannya, tetapi Anda tidak sanggup, katakan saja: “Aku sebenarnya senang
membantu, tetapi saat ini pekerjaanku juga masih menumpuk. Bagaimana kalau kita bicarakan lagi besok?”

6 Cobalah mengenali perasaan Anda. Kadang-kadang, sepertinya kita tidak tahu “apa” yang kita rasakan. Dengan
melakukan refleksi dan mengenali perasaan, kemampuan mengelola emosi akan meningkat sehingga Anda merasa
lebih tenang dan bisa mengendalikan diri. [38][39] Kesadaran diri, yang merupakan aspek penting dari kepercayaan diri,
akan meningkat dengan mengenali perasaan secara teratur. [40] Adanya catatan tentang emosi yang mungkin timbul
bisa membantu untuk mengenali apa yang Anda rasakan saat ini. [41]

 Tulislah emosi yang menyenangkan, misalnya cinta, bahagia, kagum, kasih sayang, senang, dan harapan.
 Tulislah emosi yang tidak menyenangkan, misalnya muak, kesal, sedih, duka, frustrasi, atau murung.
 Ingatlah bahwa emosi yang tidak menyenangkan bukan berarti hal yang negatif. Ketakutan dan amarah,
misalnya, muncul untuk menyelamatkan kita dari bahaya. Emosi ini mengingatkan kita jika ada ancaman.
Berusahalah mengenali jika emosi-emosi tersebut muncul dengan cara yang merugikan.
 Beberapa “petunjuk” bisa membantu Anda mengenali emosi. Contohnya, beberapa petunjuk pada tubuh
dan perilaku yang mengungkapkan cinta bisa berupa: perasaan gembira, hangat, atau rasa percaya; detak jantung
semakin cepat; rangkulan atau pelukan; mengatakan atau mendengarkan “Aku cinta padamu”.
5

Cobalah berlatih meditasi. Penelitian membuktikan bahwa meditasi, khususnya meditasi untuk menenangkan
pikiran, bisa meredakan kecemasan, depresi, dan memperbaiki kemampuan mengatasi stres. [74] Regular mindfulness
meditation can also help you regulate your emotions. [75] Anda bisa melakukan meditasi ini dengan mengikuti
pelatihan, mengunduh panduan meditasi dari internet, atau belajar sendiri. [76]

 Carilah tempat yang tenang dan nyaman agar Anda tidak terganggu. Duduklah di kursi dengan punggung
tegak atau bersila di lantai. Jangan membungkuk sebab Anda akan sulit bernapas. [77]
 Berfokuslah pada aspek tertentu dari napas Anda, misalnya suara napas, mengembangnya dada karena
paru-paru yang terisi udara, atau merasakan leganya bernapas panjang. Pusatkan perhatian pada hal-hal tersebut
sambil tetap bernapas dalam-dalam selama beberapa menit.
 Perluaslah perhatian Anda dengan mengamati seluruh tubuh sambil berusaha mengenali sensasi yang
dialami oleh indra yang lain. Jangan menilai atau terlalu terfokus pada sensasi tertentu.
 Terimalah setiap pikiran dan sensasi yang muncul. Dengan demikian, Anda akan mengenali setiap sensasi
sehingga bisa mengalaminya tanpa menilai: “Aku sedang berpikir tentang hidungku yang terasa gatal. Ini adalah
sebuah pikiran”.
 Jika konsentrasi mulai buyar, perhatikan lagi napas Anda.
 The UCLA Mindful Awareness Research Center menyediakan panduan meditasi yang bisa Anda unduh secara
gratis.  So does BuddhaNet.[79] Ada juga berbagai aplikasi panduan meditasi singkat untuk ponsel atau gadget lain.
[78]

7Carilah bantuan profesional. Kadang kala, Anda sudah berusaha sebaik mungkin mengendalikan emosi dan tetap
saja merasa terbebani. Kesulitan mengendalikan emosi kadang-kadang merupakan indikator adanya masalah yang
lebih serius, misalnya tindak kekerasan di masa lalu atau trauma. Hal ini juga bisa menjadi tanda atau gejala adanya
gangguan, misalnya depresi. Berkonsultasi dengan ahli kesehatan mental berlisensi bisa membantu Anda
mengungkapkan adanya kesalahan dalam cara berpikir dan merespons emosi. Selain itu, Anda juga bisa mempelajari
cara baru yang benar dan bermanfaat untuk mengendalikan emosi.

 Ada mitos di masyarakat umum yang mengatakan bahwa hanya orang-orang “gila” atau “bermasalah” yang
perlu menemui terapis. Pemikiran yang salah karena pemberian label ini sangat merugikan banyak orang. Siapa pun
boleh melakukan konseling dengan berbagai alasan. [83]
 Mitos lain mengatakan bahwa Anda bisa mendapatkan bantuan dari keluarga atau teman dengan berbicara
tentang masalah Anda kepada mereka. Walaupun dukungan sosial adalah hal yang sangat penting, adakalanya,
masalah harus ditangani oleh terapis atau konselor terlatih. Mereka bisa memberikan nasihat berdasarkan teknik
ilmiah dan pengamatan “dari luar”. Mereka juga bisa menentukan apakah seseorang membutuhkan terapi gangguan
depresi atau kecemasan, misalnya.[84]
 Beberapa orang percaya pada mitos yang mengatakan bahwa Anda harus “menutupi” dan mengatasi
masalah emosi sendiri. Pendapat ini sangat berbahaya. Kadang-kadang, gangguan depresi atau serangan panik,
misalnya, bisa membuat seseorang tidak berdaya mengatasi emosinya sendiri. Melakukan konseling adalah cara
yang pantas untuk mencintai dan menghormati diri sendiri dengan mencari bantuan yang Anda butuhkan. [85]
 Ada beberapa tempat untuk berkonsultasi dalam komunitas. Anda bisa meminta referensi dari dokter,
berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater di klinik kesehatan mental, atau mencari informasi tentang pelayanan
untuk umum di kampus setempat dengan biaya terjangkau.

Anda mungkin juga menyukai