BAB II
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD
yang bersifat gradual (tahap demi tahap, berlangsung lamban dan bukan perubahan
drastis di mana tahap berkutnya berbeda sama sekali dari tahap sebelumnya).
perubahan kumulatif dari masa konsepsi sampai mati, artinya pembahan yang terjadi
pada fase perkembangan yang satu mempunyai implikasi penting bagi fase
suatu rangkaian perubahan yang bersifat progresif atau berkelanjutan dan terjadi
sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa dan para ahli pendidikan bahasa
ditandai oleh keseimbangan yang dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang
bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih
bahwa sebelum anak dapat mewicara secara normal, pada awalnya anak
menghasilkan signal verbal tanpa makna. Datam hal ini, Logan, dkk mengemukakan
bahwa kemampuan anak dalam memahami tuturan muncul lebih awal daripada
kemampuan mengucapkan. Hai ini halnya dengan hasil penelitian Benedict, Crystal,
dan Owens (Tarigan, 2000) terhadap delapan anak, ternyata mereka itu telah
pneletian ini juga dikemukakan bahwa kemampuan memahami lebih cepat satu
sekolah, anak sudah mengetahui bahwa inti komunikasi adalah bahwa ia harus
sekolah, sangat ditunjang oleh kondisi meluasnya cakrawala sosial anak-anak, yang
memperoleh tempat dalam kelompok. Hal ini membuat dorongan yang kuat untuk
umum, rata-rata anak kelas satu mengetahui sekitar 20.000 sanpai 24.000 kata-kata
atau 5 sampai 6 persen dan kata-kata dalam kamus standar, dan pada saat duduk di
kelas enam, sebagian besar anak mengetahui sekitar 50.000 kata, (2) pengucapan,
kesalahan dalam pengucapan kata-kata lebih sedikit, sebuah kata baru mungkin
ketika pertama kali digunakan, diucapkan dengan tidak tepat, tetapi setelah
mengucapkannya dengan benar, (3) pembentukan kalimat, pada usia ini sudah
setelah usia sembilan tahun anak mulai menggunakan kalimat lebih singkat dan
lebih p a d a t (Huriock, 1990: 152). Lebih jelas Dale (Tangan, 1985 : 115 dan 1989 :
306) menunjukkan perkembangan kosa kata anak sekolah dasar dalam bagan
Bagan 2.1
Perkembangan Kosakata Anak SD Dale (Tangan, 198S;1989)
sejak kelas satu sampai dengan kelas enam. Adapun yang dimaksud dengan
penguasaan kosakata adalah seluruh kekayaan kata yang mempunyai arti atau
hal ini, kosakata merupakan kata atau kelompok kata yang memiliki makna tertentu,
atau seperangkat leksem termasuk di dalamnya kata tunggal, kata majemuk, dan
idiom Fries (Supranf, 2003: 10). Semakin kaya kosakata yang dimiliki anak, maka
bacaan, begitu pula sebaliknya, melalui membaca berbagai sumber bacaan akan
seperti melalui kegiatan membacakan yang dilakukan oleh orang tuanya. Pada saat
orang tua membacakan cerita dari buku anak-anak, mungkin dalam buku itu banyak
anak hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada pada buku cerita tersebut, hal
tersebut secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang susunan cerita.
Pada tahap pramembaca, yaitu anak yang berumur sebelum 6 tahun telah
dapat membedakan huruf dan angka. Kebanyakan mereka telah mengenal nama
mereka jika ditulis. Biasanya, dengan belajar melalui lingkungannya, misalnya tanda-
tanda dan nama dari benda-benda yang dilihatnya, kata-kata yang dikenalnya sedikit
demi sedikit akan lepas dari konteksnya sehingga pada akhirnya anak dapat
Pada tahap k e - 1 , yaitu sampai dengan kira-kira kelas dua, anak memusatkan
pada kata-kata lepas dalam cerita sederhana. Bertambah umur yaitu antara 7 atau 8
tahun kebanyakan anak telah memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata
dan kata yang diperlukan untuk dapat membaca. Pada tahap ke-2, yaitu kira-kira
ketika berada di kelas tiga dan empat, anak dapat menganalisis kata-kata yang tidak
konteksnya. Pada tahap ke-3, dari kelas empat sampai dengan kelas dua SLTP
tampak ada perkembangan pesat dalam membaca yaitu tekanan membaca tidak lagi
menulis. Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik. demikian
juga sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal keduanya
mewakili simbol tertentu. Akan tetapi, menulis berbeda dengan menggambar, dan
hal ini diketahui oleh anak ketika berumur sekitar tiga tahun.
huruf. Kata-kata yang dikenalnya dengan baik, misalnya namanya sendiri. Langkah
mencocokan bunyi dan tulisan. Bunyi-bunyi dalam nama huruf dicocokan dengan
pertama pada setiap kata, huruf-huruf lain dalam setiap kata kurang mendapat
perhatian. Hal ini sama dengan tahap membaca, anak j u g a hanya memperhatikan
huruf pertamanya.
cerita yang ditulis dengan menggunakan huruf besar ukurannya pada setiap awal
mencolok, mereka akan lebih mudah mengenal perbedaan huruf yang satu dengan
yang lainnya. Dengan kata lain kesiapan mereka membaca dan menulis akan terjadi
egosentris. Akan tetapi kira-kira ketika berada di kelas 3 atau 4 barulah terjadi
dan menyunting tulisannya. Hal ini dipengaruhi oieh pengetahuan sintaktik (tata
dengan lengkap baik secara lisan maupun tertulis. Terjadi pula peningkatan
penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang
bervariasi.
di atas, dalam perkembangan bahasa anak sekolah khususnya Curran (Hidayat S.,
berbahasa seseorang pada umumnya melalui beberapa tahap. Dalam hal ini Curran
membaginya menjadi lima bagian, yaitu (1) embryonic stage, (2) self-assertion stage,
(3) birth stage, (4) reversal stage, dan (5) independent stage.
peserta didik terhadap gurunya hampir seratus persen. Pada tahap ini tugas guru
adalah mengurangi atau menghiiangkan perasaan yang dialami peserta didik seperti
ini dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang memadai. Guru harus
akan timbul rasa keberanian untuk menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya.
Tahap kedua ialah self-assertion stage, pada tahap ini peserta didik
menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya dan lama kelamaan mereka akan
mengembangkan dan menemukan sendiri identitas dirinya. Pada saat inilah peserta
didik sudah mulai memberanikan diri dan sedikit demi sedikit melepaskan dari
Tahap ketiga yaitu birth stage, pada tahap ini peserta didik secara bertahap
menggunakan bahasa sasaran dalam hal ini bahasa Indonesia atau bahasa lain
yang sedang dipelajari peserta didik sehingga peristiwa semacam ini akan
Tahap keempat ialah reversal stage, pada tahap ini hubungan antara guru
dan peserta didik sudah benar-benar terjadi kontak yang memberikan rasa aman,
sudah terjalin rasa saling percaya. Dalam kondisi seperti inilah peserta didik lebih
aktif mencurahkan gagasannya dalam percakapan yang hidup dan lancar sehingga
tidak terasa ada hambatan komunikasi di anatara peserta didik dengan peserta didik
Tahap terakhir adalah independent stage, pada tahap ini peserta didik sudah
mampu menguasai semua bahan. Oleh karena itu, peserta didik berusaha untuk
memperluas bahasanya, juga aspek sosial budayanya dari penutur asli atau dari
berkembang secara bertahap dan sejalan dengan bertambahnya usia, juga seiring
kognitif. Alasannya, karena bahasa merupakan sarana utama untuk berpikir dan
bernalar. Individu menggunakan bahasa dalam berpikir baik pada saat menyimak,
secara tegas. Mengingat dalam proses perkembangan bahasa yang sifatnya alami
itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari lingkungan sosialnya. Akan
tetapi walaupun demikian, pada umumnya dapat dibedakan, yang biasanya tekanan
pemerolehan bahasa adalah pada sifat formal bimbingan yang ditenma anak. Hal ini
sebagaimana dikemukakan Pica (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 24) membedakan tiga
dan konteks pembelajaran). Sementara Krashen (Azies dan Alwasiiah, 1996: 23)
membedakan dua kondisi pemerolehan bahasa, yaitu yang dilakukan secara tidak
bahwa pemerolehan bahasa dapat dilakukan melalui konteks yang alami atau
secara tidak sadar dan melalui konteks formal atau secara sadar. Proses
pemerolehan bahasa yang dilakukan secara alami atau tidak sadar, yaitu seperti
halnya yang terjadi pada pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) pada anak
kecil. Sedangkan pemerolehan bahasa yang dilakukan secara sadar atau dalam
konteks pembelajaran formal, yaitu seperti halnya yang dilakukan orang dewasa
Pemerolehan bahasa secara alami atau yang dilakukan secara tidak sadar,
bahasa ialah penguasaan bahasa yang terjadi karena bahasa tersebut digunakan
dalam situasi yang komunikatif dan alami (natural). Proses pemerolehan bahasa
seperti ini dialami oleh anak-anak ketika mereka belajar bahasa pertama (bahasa
ibu). Menurut Tangan, (2000: 11.4) pemerolehan bahasa anak melibatkan dua
kemampuan memahami tuturan orang (ain. Dalam konteks ini, yang dimaksud
berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan
pembelajaran formal. Dengan kata lain kegiatan pemerolehan bahasa ini ditandai
oleh hal-hal berikut (1) berlangsung dalam situasi informal, tanpa beban, dan di luar
lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus, (3) dilakukan tanpa sadar, dan (4)
dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna
campuran yaitu antara proses alami dan konteks pembelajaran biasanya merupakan
pembelajaran pada umumnya memiliki proses dan urutan yang sama. Dalam hal ini.
a. M e n g i n g a t
dalam belajar bahasa maupun dalam belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi
yang dilalui anak direkam dalam benaknya. Baik pasa saat mereka menyentuh,
menyimpannya. Panca indera ini sangat penting bagi anak dalam membangun
tentang kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu
yang dia alami. Ingatan itu akan semakin kuat, terutama bila penyebutan akan benda
atau peristiwa tertentu terjadi secara berulang-ulang. Dengan cara ini, anak akan
mengucapkannya. Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat anak ketika diucapkan
tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau suku kata awal atau akhirnya
saja. Mal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan alat ucap anak?nrasjhl (
T
\ -'J >;<.-, 'w s& . '/
\ L
'_/ ' L . . * » \ ? £ ? fi
memungkinkan dia melafalkan tuturan sesempurna orang dewasa. Karena itu, dalam
berbahasa biasanya anak dibantu dengan ekspresi, gerak tangan, atau menunjuk
benda-benda tertentu.
b. Meniru
Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar bahasa adalah
peniruan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari strategi
mengingat. Proses peniruan ini tidak berarti anak mengulang kembali apa yang
dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta alat ucap, dengan
demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah dikuasainya, dan (2)
berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di satu sisi, secara bertahap, dia
dapat memahami dan menggunakan tuturan yang lebih kompleks. Di sisi lain secara
mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak terbatas. Keadaan ini
lebih kompleks.
Dengan kata lain, sifat peniruan penggunaan bahasa anak cenderung bersifat
dinamis dan kreatif. Oleh karena itu, maka model (orang) yang memberikan
dimiliki anak. Apabila modelnya baik, maka anak pun akan mempelajari versi bahasa
yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik, maka versi bahasa yang
c. Mengalami Langsung
yang dipelajarinya adalah berlatih atau praktik berbahasa secara langsung dalam
baik pada waktu berkomunikasi dengan orang lain atau mewicara sendirian. Anak
demikian, berdasarkan model atau respon partner komunikasinya, dia akan dapat
berlangsung dalam situasi informal, tanpa disadari, dan tanpa beban. Dia pun
melakukan uji coba dalam berbahasa tanpa takut salah. Upaya ini merupakan
dan bertahap, dia mengubah, memperbaiki, dan menyimpulkan aturan bahasa itu
sampai tuturannya dirasa benar dan menyerupai ujaran orang dewasa. Karena itu
pula, kesalahan berbahasa bagi anak merupakan sesuatu yang wajar. Kesalahan itu
d. Bermain
orang dewasa. Apabila kita perhatikan, misalnya beberapa anak perempuan bermain
bersama, ada yang berlaku sebagai anak, bapak, ibu, atau kakak dalam bermain
rumah-rumahan. Bahkan kadang ada yang berperan sebagai penjual dan pembeli
dafam permainan dagang-dagangan atau ada pula yang berperan sebagai guru d a n
berdrama, tanpa disadari, mereka berlatih mewicara dan menyimak. Dengan kata
lain, bermain bagi anak berfungsi sebagai sarana untuk berlatih bahasa. Bahkan
menurut Piaget dan Vigotsky (Roffuddin dan Zuhddi, 1999:38) bermain tidak hanya
berpengaruh pada perkembangan jasmani, tetapi juga kognisi, emosi, sosial, dan
bahasa.
Secara popular bermain menurut Yacub (2000: 11) adalah kegiatan secara
alamiah pada anak, tanpa dipaksa oleh apa dan siapa serta dapat menimbulkan rasa
senang tanpa mengharapkan apa-apa. Oleh karena itu, bermain bagi anak dapat
dimanfaatkan dan diarahkan oleh pendidik ke arah yang menjadi tujuan pendidikan.
Hal ini sangat beralasan, karena banyak teori atau pendapat tentang bermain
kebutuhan vital. Untuk itu, berikan kesempatan kepada mereka bermain dan berikan
permainan yang tepat dan baik serta benar, sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan
sangat penting untuk diketahui oleh guru bahasa. Apalagi bagi guru sekolah dasar,
yang dalam hal ini sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pemerolehan bahasa
dapat melalui mengingat menim, mengalami langsung, dan bermain. Semuanya itu
pemerolehan bahasa, di antaranya menurut Tangan (2000: 1.21); Fisher & Terry
a. Faktor Biologis
secara genetis sebagai dasar kapasitas berbahasa pada manusia secara turun
temurun. Dengan demikian, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan
alami itu bekerja secara otomatis, Chomsky (Tangan, 2000) menyebutnya sebagai
potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah Piranti
LAD adalah struktur mental yang secara internal dimiliki oleh setiap manusia,
la bersifat kodrati atau bawaan (innate) dan terdapat di benak manusia secara
menentukan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa ada tiga, yaitu otak
{sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap. Ketiga hal ini memiliki peran yang
mendasar. Alasan yang sangat mendasar, karena gangguan pada salah satu dari
lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk
anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat dalam
Atas dasar itu, maka menurut Tangan (2000: 1.23) anak memerlukan orang
lain untuk mengirimkan dan menerima tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara
fisik. Anak memerlukan contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan, serta
teman untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang
sesungguhnya. Dengan demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan tumbuh
seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang
Haf yang perlu dibahas, berkaitan dengan proses pemerolehan bahasa dari
anak dalam proses pemerolehan bahasa, menurut Fisher & Terry; (1982: 72- 75);
c. Faktor Inteligensi
Intelektual adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar.
Intelegensi ini bersifat abstrak dan tidak dapat diamati secara langsung. Pemahaman
Sesungguhnya, semua anak baik yang bernalar tinggi, sedang, ataupun rendah,
Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang
berintelegensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya lebih cepat, lebih banyak, dan
kemampuan bernalar sedang maupun rendah. Dalam hal ini Fisher & Terry
diwariskan. Oleh karena itu, anak mewarisi suatu tendensi atau kecenderungan
dalam lingkungannya.
d. Faktor Motivasi
Dalam belajar bahasa, seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri.
Mereka belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar,
haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang Goodman; Tompkins & Hoskisson
(Tangan, 2000:1.27). Inilah yang disebut motivasi instrinsik yang berasal dari dalam
diri anak itu sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan komunikasi dengan sekitarnya.
Kebutuhan komunikasi itu ditujukan agar dia dapat dipahami dan memahami guna
mewujudkan kepentingan dirinya. Selain adanya dorongan dari dalam, alasan lain
bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingga anak
pun kerap menerima pujian d a n respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini
memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik, dan inilah yang
berbagai teori perkembangan yang sangat populer dalam dunia pendidikan. Teori
perkembangan yang dimaksud menurut Arbi dan Syahrun, 1992: 56-57) adalah
1) Teori Nativisme
Menurut teori ini yang salah seorang tokohnya adalah Scnopenhouer berpendapat
bahwa seorang anak yang lahir ke dunia dilengkapi dengan pembawaan atau
warisan baik atau buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan bagi seorang anak
2) Teori Empirisme
Salah seorang pakar dari teori ini adalah John Locke, menurutnya bahwa anak
lahir ke dunia bagaikan kertas putih atau tabularasa. Lingkunganlah yang akan
3) Teori Konvergensi
Salah seorang tokoh teori ini adalah William Stem. Menurut teori ini,
perkembangan seorang anak dipengaruhi baik oleh faktor bawaan maupun oleh
faktor lingkungan. Kedua faktor ini sama-sama mempunyai peranan penting bagi
perkembangan anak.
4) Teori Maturasi
Teori ini menekankan bahwa efek usaha belajar tergantung pada tingkat
kedewasaan (maturasi) yang telah dicapai anak. Tidak ada gunanya memaksa
berarti guru memahami dengan baik karakteristik peserta didiknya, dan ini harus
bahasa peserta didik. Salah satunya yang sangat penting dari adanya pemahaman
tersebut, guru akan berusaha menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan
bahasa Latin yang berarti "lidah" (sebagai atat ucap). Berdasarkan pada arti kata
tersebut, maka bahasa pada dasarnya merupakan rangkaian bunyi (ujaran) yang
dihasilkan oleh alat ucap yang melambangkan pikiran, perasaan serta sikap
seseorang. Dengan demikian, maka bahasa adalah lambang atau lebih lengkapnya,
menurut Syafi'ie (1089: 73) bahasa adalah suatu sistem lambang/simbul/tanda yang
klausa, dan kalimat. Setiap bahasa pada dasarnya mempunyai sistem kaidah yang
harus dikuasai oleh pemakainya dalam arti bahwa setiap pemakai bahasa harus
dalam tuturan pemakaian bahasa pada suatu peristiwa komunikasi tertentu (Safi'ie,
Bahasa sebagai sistem lambang, menurut Roft'uddin dan Zuhdi (1999: 190)
keberadaannya disebabkan oleh dua alasan, di antaranya yaitu (1) karena manusia
sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem simbolik, (2) karena
media, yaitu bahasa. Oleh karena itu, sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana
atau media.
komunikasi, bahasa pada dasarnya mempunyai dua unsur utama, yakni bentuk (arus
ujaran) dan makna (isi). Bentuk merupakan bagian yang dapat diserap oleh panca
indera (melalui mendengar dan membaca). Bagian ini terdiri atas dua unsur yaitu
unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental secara hierarkis dari
segmen yang paling besar sampai segmen yang paling kecil yaitu wacana, kalimat,
antaranya tekanan (keras, lembut), nada (tinggi, rendah), durasi (panjang, pendek
makna adalah isi yang terkandung dalam bentuk-bentuk di atas. sesuai dengan
urutan bentuk dari segmen yang paling besar sampai segmen yang terkecil. Makna
pun dibagi berdasarkan hierarki itu, yaitu makna morfemis (makna imbuhan), makna
leksikal (makna kata), dan makna sintaksis (makna frasa, klausa, kalimat) serta
Sejalan dengan bentuk dan makna bahasa, dalam kegiatan berbahasa, kedua
bentuk tersebut dapat disampaikan secara lisan dan secara tertulis. Kegiatan
berbahasa baik lisan maupun tulisan, secara teknis meliputi dua tahap, yaitu tahap
produktif dan tahap reseptif. Kegiatan berbahasa secara produktif, yaitu ketika
individu berbicara atau menulis untuk menyampaikan ide atau pikiran, dan
yaitu ketika individu menyimak atau membaca untuk memahami ide atau pikiran
orang lain. Kedua tahap tersebut, mempunyai hubungan timbal balik yang sangat
erat atau bersifat resiprokal. Bagan berikut ini, dapat menggambarkan keterjalinan
Bagan 2.2
Keterkaitan antara Kegiatan Berbahasa secara Produktif dan Reseptif
(Fisher dan Terry, 1 9 8 2 : 1 2 )
harus mahir atau mampu memahami dan menggunakan bahasa secara efektif.
Bahasa sebagai alat komunikasi, kapan pun komunnikasi terjadi selalu ada
pembicara atau penulis dan pendengar atau pembicara. Aktivitas manusia yang
komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.
Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam
(Wood, 1981:5).
Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi
bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta
didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya dalam setiap
situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka
situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan
proses pembelajaran.
pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu
sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru
tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan
pengetahuan guru baik tentang konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa
Walaupun demikian, menurut Azies dan Atwasilah ( 1 9 9 6 : 9 ) bila dua orang atau lebih
dalam sebagian besar komunikasi, orang mempunyai pilihan apakah dia akan
mewicara atau tidak, (b) mereka memiliki tujuan komunikasi, maksudnya pewicara
mengatakan sesuatu karena menginginkan sesuatu terjadi sebagai akibat dari apa
yang mereka katakana, apakah dia ingin merayu, mengajak, menolak, atau memuji
mitra wicaranya, dan (c) mereka memiliki kode dari bahasa yang dimilikinya,
latar, maksudnya di mana kita pada saat menggunakan bahasa itu, dan pada situasi
bagaimana, (b) partisipan, maksudnya siapa yang terlibat penggunaan bahasa itu,
maksudnya apakah komunikasi itu berlangsung secara tatap muka, atau melalui
telepon, atau melalui surat, buku, atau novel, dan (e) topik, maksudnya komunikasi
itu tentang apa. Semua faktor tersebut mempengaruhi penggunaan bahasa dalam
yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan bahasa manusia
dapat memahami dunianya, dirinya, dan orang laiah. Manusia selalu berusaha untuk
menemukan keyakinan tentang semuanya itu, dan alat yang sangat penting untuk
komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.
Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam
(Wood, 1981:5).
Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi
bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta
didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya datam setiap
situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka
situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan
proses pembelajaran.
pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu
sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru
tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan
pengetahuan guru baik tenteng konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa
a. Teori Behaviorlsme
atas unsur-unsur. Beberapa cirinya antara lain (a) mengutamakan unsur-unsur atau
bagian-bagian kecil, (b) bersifat mekanistik, (c) menekankan peranan lingkungan, (d)
latihan. Tokoh yang sangat terkenal dari teori belajar ini antara lain Thomdike, Ivan
manusia yaitu melalui belajar coba-coba atau "trial and errof. Hasil percobaannya
melahirkan tiga prinsip atau hukum utama belajar, yaitu (a) law of readiness atau
hukum kesiapan, yang menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta
didik yang belajar telah memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut, (b)
law of exercise atau hukum latihan, yang menyatakan bahwa belajar memerlukan
banyak latihan atau ulangan-ulangan, dan (c) law ofeffect atau hukum mengetahui
hasil, dalam hal ini belajar akan lebih bersemangat apabila mengetahui dan
ternyata air liur anjing kefuar bila bel berbunyi meskipun tanpa makanan. Hasil
Lefy Halimah/PK- S3AJPI
60
percobaan ini ternyata dapat diterapkan pada manusia, seperti peserta didik diminta
berbaris sebelum masuk kelas dan apabila lonceng berbunyi baru boleh masuk
kelas, hal tersebut pada akhirnya mendapat kesimpulan bahwa belajar merupakan
dikemukakan Thomdike maupun Pavlov. Teori Skinner ini dikenal dengan teori
penguatan. Perbedaan dengan teori Pavlov, yang diberi kondisi adalah stimulusnya,
sedangkan pada teori Skinner yang diberi kondisi adalah adalah responnya. Seperti
seorang peserta didik yang mendapatkan hasil ulangannya sangat baik, kemudian
oleh gurunya diberikan hadiah, maka peserta didik tersebut akan belajar lebih giat
menurut Azies dan Alwasitah (1996: 21-23) selama beberapa waktu diadopsi oleh
terus-menerus kepada peserta didik yang diikuti dengan pemantapan, baik positif
maupun negatif, sebagai fokus utama aktivitas kelas. Tugas guru adalah
model yang diberikan oleh guru. Sementara menurut Gani ( 1 9 9 5 : 1 1 ) belajar bahasa
didik dilatih berbahasa selaras dengan pola yang disepakati tanpa penyimpangan.
Dengan demikian, titik sentral kegiatan terletak pada proses pemantapan latihan
oleh linguis Noam Chomsky. Sebagai pelopor teori belajar bahasa kognitif, Chomsky
berikut Bila bahasa merupakan perilaku yang dipelajari, bagaimana anak dapat
sebuah kalimat baru yang diucapkan seorang anak usia empat tahun merupakan
performansi kreatif. Dengan kata lain, tunjukkan kepada peserta didik aturan atau
b. T e o r i K o g n l t i v i s m e
Teori kognitif merupakan teori belajar yang lebih memfokuskan pada proses
mental, terutama proses berpikir sebagai dasar belajar. Bower dan Hilgard
adalah hasil transformasi yang bukan hanya dilakukan oleh organ indra, tetapi juga
stimulan yang bermakna saja dari lingkungannya (Kaseng, 1989: 15-16). Oleh
karena itu, dalam teori kognitif ini, belajar didefinisikan sebagai proses interaksi yang
Pandangan teori kognitif dalam belajar bahasa, De Stepano (Gani, 1995: 12)
memiliki peranan yang aktif dalam belajar bahasa. Dalam pelaksanaan peranannya
itu peserta didik terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang bergerak ke arah informasi.
Kondisi seperti ini mengundang pemekaran proses intelektual peserta didik. Jadi,
proses belajar bahasa sama dengan proses berpikir. Dengan kata lain, orang tidak
berbahasa tanpa berpikir. Itu berarti bahwa belajar bahasa merupakan penajaman
1) Teori Piaget
Bymes (1996: 18) mengemukakan bahwa salah satu teori belajar kognitif
yang dikemukakan Piaget adalah teori skema. Adapun yang dimaksud skema
menurut Hasan (1996: B4-87); Zainui d a n Muiyana (2003: 3.14) adalah kapasitas
atau struktur kognitif. Dalam perkembangan kognitif ini, terjadi melalui tiga proses,
dengan cara memodifikasi skema yang telah ada apabila informasi yang dimilikinya
tidak selaras dengan informasi baru yang diterimanya. Atau menurut Pappas, dkk
berada pada ekuilibrasi; kedua ketika individu menerima informasi baru dan
yang dimilikinya; dan ketiga, struktur mentalnya menyesuaikan diri dengan informasi
baru itu dan membentuk ekuilibrasi yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian
yang konstruktif aktif memberi makna terhadap semua fenomena. Mereka secara
sebelumnya atau berdasarkan pada apa yang sudah dibentuk dalam benaknya
(skematanya). Menurut Piaget (Hasan, 1996: 65) apa yang sudah ada pada diri
peserta didik adalah dasar untuk menerima yang baru, dan peserta didik dapat
bermakna kalau skemata peserta didik berubah ke arah yang lebih maju.
tertentu. Dalam hal ini, menurut Piaget tingkatan perkembangan tersebut adalah
2} Teori Bruner
Teori kognitif menurut Piaget berbeda dengan teori kognitif menurut Bruner.
Teori Bruner dikembangkan atas dasar teori kognitif Piaget, dalam hal ini Bruner
kognitif individu dengan usia. Oleh karena itu Bruner mengadakan penelitian baru,
yang hasilnya Bruner mengidentifikasi bahwa terdapat tiga tahapan berpikir yang
dialami individu yaitu yang dikenal dengan tahap enactive, iconic, dan symbolic.
Berikut ini Hasan (1996: 88); Zainul dan Mulyana (2003: 3.15) memberikan
a) Tahap enactive, yang terjadi pada masa kanak-kanak, pada periode apa
yang dipelajari, dikenal, atau diketahui hanya sebatas dalam ingatan, yang
artinya individu berpikir masih terbatas pada ruang, waktu, dan informasi
yang diterimanya sebagaimana adanya;
c) Tahap symbolic, pada tahap ini individu sudah mampu berpikir abstrak.
Simbol-simbol bahasa, matematika, atau pun disiplin ilmu lainnya sudah
dapat mereka pahami sebagaimana seharusnya.
Bruner (Kamarga, 2000: 49) adalah bahwa belajar merupakan proses aktif di mana
kognitif. Dengan kata lain bahwa individu belajar secara terkonstruksi, membangun
pengetahuan berdasarkan pada apa yang telah dimilikinya. Dalam hal ini terdapat
dua pengertian, yakni (1) peserta didik mengkonstruk pemahaman baru dengan
menggunakan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya, dan (2) belajar adalah
proses aktif, di mana peserta didik dihadapkan dengan apa yang mereka pahami dan
menurut Bruner (Hasan, 1996: 89) tugas mengajar suatu mata pelajaran kepada
1
menggambarkan bahwa peserta didik sekolah dasar sekalipun dapat " m e ^ i i r r i a
pelajaran disiplin ilmu, walaupun proses konkretisasi lebih tinggi. Adapun dalam
prosesnya dapat melalui (a) specrfc transfer of training (latihan pemindahan yang
situasi-situasi khusus, dan (b) nonspeciffic tranfer (latihan pemindahan yang tidak
berbagai situasi dan kondisi. Ditegaskan oleh Bruner, bahwa proses pendidikan
transfer yang tidak khusus lebih penting dan merupakan jantung dari proses
pendidikan.
3) Teori Vygotsky
sebagaimana dikemukakan Benson (Kamarga, 2000: 52) dapat dilihat pada anak
sebelum berusia dua tahun berpikir dan berbicara berkembang secara terpisah, baru
kemudian menyatu setelah anak berusia dua tahun, di mana berpikir menjadi verbal
dan berbicara menjadi rasional. Dalam hat ini, mewicara merupakan pengungkapan
pikiran atau pikiran yang disuarakan. Hal ini mengambarkan pandangan Vygotsky
bahasa merupakan dasar bagi pembentukkan konsep dan pikiran. Kegiatan berpikir
pikiran.
anak atau peserta didik yaitu adanya tahap yang disebut "The Zona of Proximal
n
Development (ZPD) , yang digambarkan melalui dua buah lingkaran yang saling
tingkat perkembangan nyata {the actual developmental level), dan pada sisi yang
lainnya merupakan tingkat potensial sebenarnya dapat dilakukan anak (the level of
Potential deveiopment). Sementara pada sisi atau daerah yang saling bersentuhan
kesenjangan antara apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui, pada
posisi apa yang belum diketahui merupakan tingkat tertinggi (higher level ofknowing)
teman sebaya yang lebih mampu (collaboration with more capable peers) Vygotsky
(Byrnes, 1996: 32; Sumantri dan Permana, 1999: 27; Phillips dalam Kamarga, 2000:
53).
(a) guru harus bertindak sebagai perancah atau "scaffoWs* dalam memberikan
bimbingan yang tepat untuk membantu peserta didik mencapai kemajuan sesuai
apa yang sudah diketahui dan dapat mengarah kepada apa yang belum diketahui;
dan (c) peserta didik memerlukan banyak latihan yang bergerak dari konsep saintifik
konstruktif. Sesuai dengan uraian dari ketiga pakar tersebut di atas, esensi dari teori
konstruktif ini pada dasarnya bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri oleh peserta
didik melalui pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu,
dan Roe (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 5) mengetahui bahwa ada hubungan antara
pikiran d a n bahasa, tetapi mereka berbeda dalam hal cara berpikir dan bahasa itu
menggambarkan adanya interelasi yang erat antara proses berpikir dengan proses
berbahasa. Hal ini, mengisyaratkan bahwa interelasi ini harus terjabar dengan jelas
dalam perencanaan program pembelajaran yang disusun oleh guru. Dengan kata
Untuk itu perlu diupayakan agar keterampilan berbahasa yang baik dan benar selalu
ciri utama teori kognitif dalam pembelajaran bahasa, di antaranya (1) tujuan
kemampuan yang sama seperti yang dimiliki oleh penutur asli, (2) dalam
mengajarkan bahasa, guru harus bergerak dari yang telah diketahui menuju yang
belum diketahui, maksudnya, dasar pengetahuan peserta didik kini (struktur kognitif)
harus ditentukan sehingga prasyarat yang perlu bagi pemahaman bahan baru dapat
diberikan, (3) bahan pelajaran dan guru harus memperkenalkan para peserta didik
pada situasi-situasi yang akan meningkatkan pemakaian bahasa kreatif, (4) belajar
atau pembelajaran haruslah selalu bermakna; artinya, para peserta didik hendaknya
mengerti apa yang disuruh untuk dilakukan; begitu pula dengan bahan baru
c. Teori Humanisme
kognitivisme, maka teori belajar humanisme meyakini bahwa agar belajar menjadi
didik. Hal ini beralasan mengingat, para pengikut teori belajar humanisme
memandang bahwa peserta didik sebagai "a whole person" atau orang sebagai
suatu kesatuan. Lengkapnya menurut Longstreet & Shane (1993: 138) bahwa
"Humanistik psychologists vtew people holistically 'm the complexity of their daily
lives,"
Para tokoh teori humanisme, menurut Syaodih (1997: 86) di antaranya J.J
menurut Rouseau peserta didik memiliki potensi atau kekuatan yang masih
berbagai bentuk kegiatan dan usaha belajar peserta didik mengembangkan segala
potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, Rouseau menganjurkan agar peserta didik
tidak usah terlalu banyak diatur dan diberi, biarkan mereka mencari dan menemukan
Education) menurut Syaodih (1997: 10) memandang peserta didik merupakan suatu
kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan
sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya, la mereflksi terhadap masalah-
masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu ia memahami dan
Kedua aliran tersebut pada dasarnya tergolong pada aliran pendidikan pribadi
peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi
guru, seperti halnya seorang petani adalah mengusahakan tanah yang gembur,
pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan
minat peserta didik (Syaodih, 1997: 10). Uraian tersebut menggambarkan bahwa
dalam aliran pendidikan pribadi menurut Lapp, dkk. (1975: 12) 'Student becomes
the center of the leaming process. Teaching begins and buSds around his interests,
Lapp, dkk., (1975) lebih rinci memberikan gambaran proses pendidikan yang
terutama dilihat dari hubungan peserta didik, guru dan konten atau materi pelajaran.
Pada pendidikan romantik hubungannya dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Bagan 2. 3
Pola Interaksi G u r u , Isi Pelajaran, dan Peserta dfdik
pada Pendidikan Romantik
agar mereka befajar dan berkembang secara alami sebagaimana mereka belajar
berjalan dan mewicara. Dalam hal ini, pengalaman merupakan isi pembelajaran yang
kebebasan kepada peserta didik untuk mewujudkan rasa ingin tahunya dan
belajarnya sendiri.
Untuk mewujudkan semuanya itu, maka peran guru bukan mengajar, tetapi
didiknya, dan menjaga dari segala gangguan yang menghambat belajar peserta
didiknya. Guru juga berperan sebagai sumber lingkungan belajar, y a n g selalu siap
materi pembelajaran, dan guru, sebagaimana dikemukakan pada bagan berikut ini.
Isi/Materi Pembelajaran
Bagan 2 . 4
Pola Interaksi antara Guru, Konten, dan Peserta didik
pada Proses Pendidikan Progresif
Pada pendidikan progresif, peserta didik mendapat tempat yang utama dan
pertama. Untuk itu, maka peran guru hanya pendukung bagi peserta didik, guru juga
nara sumber, dan akhli metodologi. Guru tidak memberikan materi pembelajaran
peserta didik, materi pelajaran ini memberikan dasar bagi refleksi peserta didik,
kehidupannya.
Tokoh humanisme lainnya yang sangat popular menurut Nasution (1991: 22)
dan Rockler (1988: 225) adalah Maslow yang memandang bahwa aktualisasi diri
peserta didik merupakan suatu kebutuhan asasi. Tiap peserta didik mempunyai "selT
masing-masing yang sering tak dikenal dan disadarinya, yang tersembunyi atau
tertekan dan karena itu perlu dibangkitkan dan dikembangkan. Maslow termasuk
peserta didik agar lebih otonom dan bersikap lebih sehat terhadap dirinya, terhadap
temannya, dan terhadap pelajarannya. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran
harus terdapat hubungan baik antara guru d a n peserta didik dalam suasana saling
percaya, peserta didik belajar tanpa adanya paksaan dari pihak guru.
tertinggi manusia yang meliputi kebutuhan rasa aman, rasa memiliki, rasa yakin diri,
kepada peserta didik dalam hal ini tidak berarti anarki atau kurang pengawasan.
Prinsip lainnya, yaitu guru lebih memaksimalkan apa yang menjadi pilihan peserta
didiknya. Dalam hal ini, tidak setiap peserta didik harus membaca buku yang sama
untuk setiap kali tugas membaca. Begitu pula dalam memilih topik yang akan
menjadi kajian peserta didik dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk
peserta didiknya.
Syaodih (1997) juga berpegang pada konsep GestaIL Dalam pandangan gestalt,
anak harus dipandang sebagai suatu keseluruhan organisme yang dinamis yang
tertentu (Arbi dan Syahrun, 1992:60). Sementara, Kartadinata dan Dantes (1997: 5)
mengemukakan bahwa anak adalah makhluk unik serta berbeda dari orang dewasa
d a n juga berbeda satu sama lain, berkembang secara fisik, sosial, mental, maupun
peserta didik yang utuh bukan saja aspek fisik dan intelektual tetapi juga aspek
sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, dan nilai). Sementara menurut Nasution
( 1 9 9 1 : 23) para Gesta lists menginginkan adanya integrasi perasaan, pikiran, dan
dengan keinginan peserta didik. Untuk itu, maka sekolah atau kelas harus menjadi
dan diekspresikan dalam sistem sosial sesuai dengan konteks (Harsiati. 1994:16).
Atas dasar padangannya baik terhadap bahasa maupun terhadap anak, maka
menurut pandangan teori gestalt belajar bahasa itu merupakan kesatuan yang utuh
selaras dengan pandangan bahwa anak atau peserta didik pada hakikatnya belajar
dalam keutuhan yang padu. Kaitannya dengan belajar bahasa, mengapa anak perlu
makhluk sosial, secara naluriah manusia memerlukan hubungan dengan orang lain,
manusia, dan (3) hal itu diperlukan untuk mengekspresikan diri sendiri. \ ' v r . .<,<*?•'
f jj
Halliday (Rofiuddin dan Zuhdi, 1999:190) belajar bahasa sebagai belajar bagaimana
memaknai, karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial
bahasa yang dihadirkannya. Bahkan manusia dalam belajar bahasa dapat terjadi
secara simultan melalui tiga cara, yaitu belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan
bahwa belajar bahasa merupakan kesatuan yang utuh. Artinya belajar bahasa terjadi
tangan, mewicara, menyimak, membaca, dan menulis, berakar dan tumbuh dengan
dan Afwastlah (1996: 22) pembelajaran bahasa tidak hanya mengajarkan bahasa,
tetapi juga membantu peserta didik mengembangkan diri mereka sebagai manusia.
penting dalam pembelajaran bahasa. Menurut Rogers (Kaseng, 1989:18) salah satu
antarpribadi dengan peserta didik, guru harus menghargai dan menghormati peserta
Uraian dari ketiga teori psikologi belajar tersebut, baik psikologi belajar
belajar. Menurut Muchlisoh, dkk. (1992: 48) apabila kita perhatikan perkembangan
pembelajaran bahasa selama ini tidak lepas dari pengaruh psikologi. Seperti
ini juga diwarnai oleh perkembangan psikologi dalam teori belajar yang dikenal
dengan teori behaviorisme dan teori mentalisme. Seperti dikemukakan Gani (1995:
11-12) bahwa teori psikologi belajar bahasa yang paling fundamental di antaranya
bahwa pembelajaran bahasa saat ini telah bergeser dari orientasi behaviorisme ke
teori kognitivisme dan humanisme. Artinya bahwa dalam pembelajaran bahasa pada
disarankan dalam teori belajar behaviorisme, tetapi belajar untuk terampil berbahasa
mempunyai keunggulan dan kelemahan. Biasanya teori yang muncul lebih dahulu
dipandang konvensional apabila sudah ditemukan teori yang baru. Seperti teori
belajar behaviorisme untuk saat ini, tampaknya sudah kurang relevan lagi
Untuk itu, teori belajar kognitivisme dan humanisme pada saat ini dipandang teori
dalam pembelajaran bahasa. Dengan demikian, maka melalui penelitian ini akan
linguistik (ilmu bahasa), psikologi (ilmu jiwa), dan pedagogi (ilmu pendidikan).
keterangan dari bahasa dan psikologi menjadi suatu metode yang sesuai untuk
psikologi belajar, berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran bahasa pun
turut berkembang dan berubah. Sampai pada akhirnya dan hingga sekarang para
ahli pendidikan bahasa terus mencari cara yang paling tepat yang dapat menjawab
kebutuhan peserta didik dalam belajar bahasa. Hal ini sangat beralasan, mengingat
salah satu hal yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa banyak
ditentukan oleh pendekatan, metoda, dan teknik pembelajaran yang digunakan guru.
Istilah pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran ini menurut Zuchdi dan
Budiasih (1997: 29) sering digunakan dengan pengertian yang sama, artinya orang
metode, dan sebaliknya. Begitu pula antara pengertian metode dan teknik, artinya
penggunaan istilah metode dengan pengertian yang sama dengan pengertian teknik
pendekatan dalam pembelajaran bahasa sebagai mana dikemukakan oleh para ahli
pendidikan bahasa (Syafi'ie, 1989: 73; Tangan, 1989: 12; Akhadiah, dkk., 1992: 4;
seperangkat asumsi yang saling berkaitan tentang hakikat bahasa dan pengajaran
bahasa, serta belajar bahasa. Pendekatan itu memerikan hakikat bahasa yang akan
dianggap benar berkaitan dengan bahasa dan pengajaran bahasa, serta belajar
bahasa. Dengan kata lain, pendekatan dalam pembelajaran bahasa, pada dasarnya
mengacu kepada teori-teori menganai (1) hakikat bahasa, dan (2) hakikat
pembelajaran bahasa (language feaming). Kedua hal ini bertindak sebagai sumber
(Zuchdi dan Budiasih, 1997: 30) ialah rencana pembelajaran bahasa, yang
sistematis, dimaksudkan agar bahan ajar tersebut mudah diserap dan dikuasai oleh
peserta didik. Semuanya itu didasarkan pada pendekatan yang dianut. Dengan
dianut. Dengan kata lain, pendekatan merupakan dasar penentuan metode yang
digunakan.
merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar yang telah disusun (dalam metode),
dan berdasarkan pada pendekatan yang dianut. Teknik yang digunakan oleh guru
bergantung pada kemampuan guru itu mencari akal atau siasat agar proses belajar-
mengajar dapat berjalan lancar dan berhasil dengan baik. Dalam menentukan teknik
d a n sifat-sifat peserta didik, dan kondisi-kondisi yang lain. Dengan demikian maka
teknik pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat bervariasi sekali. Untuk metode
teori dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, mengacu kepada pandangan
tentang bahasa dan psikologi belajar yang dikembangkan dalam belajar bahasa,
maka berikut ini dikemukakan beberapa pendekatan yang pada umumnya diterapkan
a. Pendekatan Struktural
bahasa, yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat
kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa
sebab itu, pembelajaran bahasa perlu menitik beratkan pada pengetahuan tentang
struktur bahasa yang mencakup dalam fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dengan
belajar bahasa dimulai dari komponen bahasa yang berupa bunyi bahasa, bentuk,
pendekatan alamiah. Mereka melihat komunikasi sebagai fungsi utama bahasa, dan
dalam bahasa kedua (B2). Pendekatan alamiah ini lebih banyak memfokuskan diri
peserta didik, bukan membangun satu kaidah pada satu waktu, (3) para peserta didik
kunci bagi pemahaman dan produksi ujaran. Dengan kosakata yang cukup banyak,
peserta didik dapat memahami dan mewicara mengenai berbagai hal dalam B2
kosong.
alamiah ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemerolehan bahasa.
II i''J
c) Silabus terdiri dari tujuan-tujuan komunikatif; ini berarti bahwa fokus setiap
kegiatan kelas disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan struktur
gramatikal. Dengan kata lain, praktek atau latihan-latihan struktur-struktur
gramatikal khusus tidak merupakan fokus perhatian. Tetapi yang dituntut
adalah agar tatabahasa diperoleh secara efektif apabila tujuan-tujuan
bersifat komunikatif.
c. Pendekatan Komunikatif
bahasa kedua secara alamiah. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa
akan lebih efektif apabila dipelajari secara informal melalui komunikasi secara
dalam pembelajaran bahasa bermula dari teori tentang bahasa sebagai alat
menyangkut fungsi bahasa sebagai sarana ekspresi, sistem simbolik dan objek
belajar, sarana untuk menyatakan nilai-nilai dan penilaian diri dan orang lain, serta
communication; extensive use is made of pair and group activities that involve
Swarbrick (1994: 43) mengemukakan bahwa yang menjadi karakter esensial dari
communication".
komunikatif membuka diri bagi pandangan yang lebih luas tentang bahasa, hal ini
menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan
kosa kata, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa, (2) pendekatan komunikatif
membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa, hal ini
sesuai dengan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang
tepat.
Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 57) aktivitas pembelajaran yang sesuai
dengan pendekatan komunikatif dapat dikatakan tidak terbatas, asalkan aktivitas itu
bahasa yang dilandasi oleh suatu teori bahasa, yaitu teori bahasa yang menyatakan
bahwa pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna.
Teori ini, menekankan pada dimensi semantik dan komunikatif daripada ciri-ciri
gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang periu dikembangkan dalam pembelajaran
bahasa.
sehingga tidak terpisah-pisahkan antara aspek bahasa yang satu dengan aspek
bahasa yang lainnya. Perspektif whole language menurut Papas, dkk (1991: xiii)
bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipiha-pisahkan. Oleh
karena itu, pembelajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata
bahasa dan kosa kata disajikan secara utuh bermakna dan daiam situasi nyata atau
not through its separated components. Student are taught to read and write naturally,
with a focus on real communication, authentic texts, and reading and writing for
pleasure".
activities meaningful to the young child". Dalam hal ini peserta didik dicelup
peserta didik dikondisi atau diatur sedemtkan rupa [orchestrated) oleh guru dengan
merupakan keseluruhan dan utuh atau "in natural situations language is whole and
intact', hal ini sesuai dengan sifat bahasa adalah terpadu. Dengan demikian, maka
pembelajaran bahasa dalam pandangan holistik ini menurut Goodman (De Carlo,
1995: 177) bahasa lebih mudah dipelajari ketika bahasa itu dipelajari secara
bahwa "Whole language is a label for mutually supportive beliefs and teaching
strategies and experiences that have to do with kids learning to read, write, speak,
materi yang "reaf atau "outhentk? untuk pembelajaran membaca d a n menulis, yang
keterampilan berbahasa dengan materi bidang studi lain. Lebih lanjut Oliva (1992:
belajar menulis melalui kegiatan menulis, begitu pula belajar mewicara melalui
kegiatan mewicara, dan belajar menyimak melalui kegiatan menyimak. Kata kunci
untuk guru whole language adalah "authenticify" dan guru yang menggunakan
pendekatan ini berusaha untuk mengembangkan konsep diri dan rasa percaya diri
Routman dan Froese (Suratinah, 2.2- 2.9) meliputi delapan komponen, yaitu 'reading
aloud, joumal writing, sustained sitent reading, shared reading, guided reading,
guided writing, independent reading, dan independent writing'. Maksud dari masing-
1) Reading aloud
Membaca nyaring yang dilakukan oleh guru untuk peserta didiknya, pada
umumnya bertujuan untuk memberikan contoh membaca yang baik, selain
itu manfaatnya di antaranya dapat meningkatkan kemampuan menyimak,
memperkaya kosa kata, membantu meningkatkan kemampuan membaca
pemahaman, dan tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan minat
pada pada peserta didik. Membaca nyaring ini dapat dilakukan setiap hari
saat memulai pembelajaran, dilakukan hanya beberapa menit saja (10
menit) untuk membacakan cerita. Kegiatan ini juga membantu guru untuk
mengajak peserta didiknya memasuki suasana belajar.
2) Joumal writing
Jurnal merupakan sarana yang aman bagi peserta didik untuk
mengungkapkan perasaannya, menceritakan kejadian disekitamya,
membebebrkan hasil belajarnya, d a n menggunakan bahasa dalam bentuk
tulisan. Banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama bagi peserta didik
dari kegiatan menulis jurnal, di antaranya meningkatkan kemampuan
menulis, meningkatkan kemampuan membaca, menumbuhkan keberanian
menghadapi risiko, memberi kesempatan untuk membuat refleksi,
meningkatkan kemampuan berpikir, dan sebagainya.
4) Shared reading
Shared reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan
peserta didik, di mana setiap orang mempunyai buku yang sedang
dibacanya. Terdapat beberapa cara dalam melakukan kegiatan mi, di
antaranya guru membaca dan peserta didik menyimak sambil melihat
bacaan yang tertera pada buku, kemudian peserta didik membaca secara
bergiliran. Maksud dari kegiatan ini di anataranya sambil melihat tulisan
peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperhatikan guru
membaca sebagai model, dan memberikan kesempatan untuk
memperlihatkan keterampilan membacanya, juga bagi peserta didik yang
masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang
benar.
5) Guided reading
Dalam membaca terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilitator,
dengan demikian penekannya buka dalam cara membaca itu sendiri tetapi
lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua peserta
didik membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Setelah itu guru
mengajukan pertanyaan yang meminta peserta didik menjawab dengan
kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini merupakan
kegiatan membaca yang penting untuk dilakukan di kelas.
6} Guided writing
Menulis terbimbing, seperti halnya membaca terbimbing peran guru adalah
sebagai fasilitator yaitu membantu peserta didik menemukan apa yang
ingin ditulisnya dan bagaimana menulinya dengan jelas, sistematis, d a n
menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai
pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses menulis
seperti memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan
oleh peserta didik sendiri.
7) Independent reading
fndependent reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, di
mana peserta didik berkesempatan untuk menentukan sendiri materi
bacaannya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole
language. Dalam hal ini peserta didik bertanggung jawab terhadap bacaan
yang dipilihnya sehingga peran guru menjadi sebagai pengamat, fasilitator
dan pemberi respon. Kegiatan ini apabila diberikan secara rutin walaupun
hanya 10 menit sehari dapat meningkatkan kemampuan membaca pada
peserta didik.
8) Independent writing
Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan
meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Jenis menulis dalam kegiatan ini
dapat berupa menulis jurnal, dan menulis respon Routman & Froese
(Suratinah, 2003:2.3-2.8).
3) Lingkungan k e l a s :
a) belajar di sekolah seperti di rumah;
b) lingkungan dikotori {littered) atau dipenuhi dengan bahasa yang ditulis
oleh
guru dan peserta didik;
c) fokus utamanya pada topik atau tema;
d) pengelompokan fleksibel dan seringkali dibentuk berdasarkan minat;
e) kelas mendorong terciptanya kerjasama dan kolaboratif;
4) Perilaku g u r u :
a) guru sebagai fasilitator tidak memberi label atau kategori kepada
peserta didik
b) pembelajaran bersifat informal dan berdasarkan pada discovery;
c) guru memperikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan
pilihan;
d) guru lebih menekankan pada pentingnya mencoba dan menerima
risiko/tantangan;
e) guru menekankan pada pentingnya makna bahasa;
f) pembelajaran diberikan dalam bentuk kalimat atau unit kebahasaan
yang lebih tinggi;
g) prinsip-prinsip pembelajaran, dengan sistem phonik diajarkan dalam
rangka pengenalan dan pemahaman kata dengan menggunakan
pendekatan analitik;
h) guru mengajar dengan cerita yang utuh, buku-buku atau puisi;
i) brainstorming digunakan untuk membangun latar belakang
pengalaman yang diperlukan dalam pembelajaran;
j) guru selalu mengajar dengan menggunakan contoh;
k) guru berpartisipasi secara aktif dengan peserta didik dalam membaca
dan menulis.
6} E v a l u a s i :
Evaluasi bersifat informal, seperti mengamati, merekan, dan menggunakan
contoh-contoh.
leaming, (3) student-centered learning, (4) fdcus on the community of teamers, (5)
focus on the social nature of leaming, (6) use of authentic, natural language, (7)
kepentingan penelitian ini, peneliti harus memilih salah satu pendekatan yang dapat
menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran bahasa yang ada.
Hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih salah satu pendekatan ini, di
kinerjanya dalam menjalankan tugas profesionalnya, (2) bagi peserta didik, dapat
diharapkan dalam tujuan pembelajaran bahasa, dan (3) sejalan dengan prinsip-
prinsip pengembangan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia yang saat ini
sedang dikembangkan.
orientasi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, dan (3) kompetensi
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
kurikulum sebagai dokumen tertulis dari suatu rancangan atau program pendidikan
(written curriculum), dan juga kurikulum sebagai pelaksanaan dari rencana tertulis
empat dimensi yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Keempat
dimensi tersebut yaitu (1) dimensi kurikulum sebagai ide atau konsepsi, (2) kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis, (3) kurikulum sebagai suatu proses atau kegiatan,
Kurikulum sebagai ide atau konsep pada dasarnya ada pada setiap orang
yang terlibat dalam usaha pendidikan baik terlibat langsung maupun tidak langsung,
apakah orang itu para pengambil kebijakan tentang pendidikan, guru, maupun orang
tua. Dalam proses pengembangan kurikulum, kurikulum sebagai ide atau konsep ini
terlihat jelas pada waktu proses awal penyusunan kurikulum, yaitu pada saat proses
yang diwujudkan dalam dimensi kurikulum sebagai rencana atau sebagai dokumen
tertulis. Kurikulum sebagai dokumen tertulis, pengertian ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Oliva (Longstreet dan Shane, 1993: 50) 'Curriculum is the plan or
program for all experiences which the learner encounters under the direction of the
1
cumculumisa plan forleaming. \\
realisasi dari kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai ide. Hal ini, tampak
dari adanya aktivitas guru dan peserta didik dalam interaksi belajar mengajar.
yang bermakna bagi peserta didik. Dalam dimensi ini, pengertian kurikulum sejalan
dengan yang dikemukakan Longstreet dan Shane (1993: 49) "The cumculum i$ aB
the expériences under the school's direction that lead to leaming". Atau menurut
Laberty dalam sumber yang sama, adalah 'Ail of the actrviyies that are provided for
students by the school constitutes its cumculum.'Dengan kata lain, seluruh aktivitas
belajar atau seluruh pengalaman belajar peserta didik di bawah bimbingan guru, itu
merupakan kurikulum.
belajar yang diperoleh peserta didik baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun
sikap. Kurikulum dalam dimensi ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dan
dipengaruhi oleh kurikulum sebagai proses. Kurikulm dalam dimensi sebagai hasil,
Shane, 1993: 50) adalah "... a stnjctured séries of intended leaming outcomes.'
bahwa kurikulum merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, (bahkan
merupakan salah satu komponen penting atau merupakan salah satu faktor dominan
dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau
Komponen tujuan, yaitu merupakan arah atau sasaran yang ingin dicapai
atau tujuan pembelajaran. Setiap tujuan tersebut, pada dasarnya meliputi domain
Komponen isi atau materi, pada umumnya berkenaan dengan apa yang akan
dipelajari oleh peserta didik sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Terkait dengan
isi kurikulum ini, menurut Hymen (Ansyar, 1989: 115) meliputi ilmu pengetahuan
(seperti fakta, keterangan, prinsip, dan definisi), keterampilan dan proses (seperti
UlyHaUmakJPK- S3AJPI
97
tulisan), dan nilai-nilai (seperti konsep tentang hal-hal baik, buruk, betul dan salah,
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Organisasi materi dan
pengalaman belajar menurut Ansyar dan Nurtain (1993: 14) meliputi dua dimensi,
yaitu horizontal dan vertical. Organisasi horizontal berkenaan dengan ruang lingkup
dan keterpaduan dari keseluruhan materi atau merupakan kaitan antara satu materi
dengan materi pelajaran lainnya pada kelas yang sama. Adapun organisasi vertikal,
untuk mengetahui apakah tujuan tercapai atau tidak. Komponen ini, pada dasarnya
kesesuaian. Kesesuaian yang dimaksud meliputi dua hal, yaitu (1) kesesuaian antara
tujuan, proses sesuat dengan isi dan tujuan, demikian juga penilaian sesuai dengan
yang dikemukakan Richards di atas, terkait dengan apa yang dikemukakan Nasution
(1995: 10) bahwa pengembangan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan
sederhana, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan
yang dapat diajukan untuk diperhitungkan. Semua pertanyaan itu menyangkut asas-
dengan (1) landasan filosofis yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yang sesuai
dengan filsafat negara, (2) landasan sosiologis, yaitu berkaitan dengan keadaan
psikologis yang berkaitan dengan faktor peserta didik, yang meliputi bagaimana
perkembangan peserta didik (psikologi anak), dan bagaimana peserta didik belajar
dikembangkan saat ini di lapangan. Dilihat dari istilahnya Kurikulum 2004 ini lebih
KBK bukan hal baru. Menurut Wardani (2004: 1); Hamalik (2002: 86) dalam dunia
berbasis kompetensi menurut Yulaelawati (2004: 17) sangat sesuai pula untuk
berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-
yang mendalam. Dalam hal ini, menurutnya yang dimaksud dengan kebiasaan
berpikir dan bertindak itu sebagaimana dikemukakan Spancer dan Spancer (1993)
meliputi lima tipe kompetensi, yaitu (1) motif, adalah sesuatu yang dimiliki seseorang
untuk berpikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi, (2)
situasi dan informasi, (3) konsep diri, adalah tingkah laku, nilai, atau citraan (image)
seseorang, (4) pengetahuan, adalah informasi khusus yang dimiliki seseorang, dan
(5) keterampilan, adalah kemampuan untuk melakukan tugas secara fisik atau
mental.
Spencer (Yulaeiawati, 2004: 15) menunjukkan melalui gambar model gunung es.
Pada gambar model gunung es ini menjelaskan bahwa terdapat kompetensi yang
berada pada permukaan gunung es, yaitu meliputi kompetensi pengetahuan dan
pembelajaran dan latihan. Sementara, yang berada pada bagian dasar gunung es,
yaitu kompetensi pembawaan dan motif. Kompetensi ini merupakan inti dari
kepribadian, dan karena berada pada bagian dasar gunung es, kompetensi
pembawaan dan motif ini lebih sulit dikembangkan dan dikenali. Adapun kompetensi
konsep diri yang mencerminkan sikap dan nilai, berada di tengah-tengah gunung es,
yaitu antara bagian permukaan gunung es dan bagian dasar gunung es. Kompetensi
konsep diri, sikap, dan nilai masih dapat dilatihkan dengan pengalaman-pengalaman
belajar yang positif, produktif, dan proaktif, walaupun lebih banyak memerlukan
waktu.
(4) nilai (value), (5) sikap (attitude), dan (6) minat (interest). Menurut Depdiknas
dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Adapun gambaran dari masing-masing
dimiliki oleh peserta didik, maka KBK memiliki ciri-ciri yaitu (1) menekankan pada
ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal; (2)
bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya
yang memenuhi unsur edukatif; (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil
merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia serta kepribadian dan pandangan hidup
1989). Selain itu, Pancasila sangat relevan untuk penerapan filosofis pendidikan
yang mendunia seperti empat pilar belajar (Detor, 1997), yang meliputi belajar
menjadi diri sendiri, belajar mengetahui, belajar melakukan, dan belajar hidup
bersama.
f< K.J
dalam masyarakat, baik masyarakat dunia maupun masyarakat lokal yang saat ini
berhadapan dengan berbagai pembahan yang begitu cepat. Perubahan yang terjadi
itu, perlu diantisipasi ke dalam kurikulum secara bermakna dan responsif, yang
antaranya menyakut moral, akhlaq, jati diri bangsa, sosial politik, ekonomi serta
terobosan peningkatan mutu pendidikan yang belum mencapai taraf yang memadai.
Menurut Hasan (2000: 3) landasan sosial dan budaya merupakan salah satu
sehingga mereka memiliki karakteristik dan sifat-sifat yang diperlukan baik oleh
dirinya sebagai suatu pribadi maupun oleh masyarakat, bangsa, dan negara.
dalam masyarakat di mana nilai positif harus dilestarikan sedangkan nilai negatif
lokal, tetapi lebih jauh dari itu. Dalam hal ini, memandang masyarakat Indonesia
globalisasi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan hasil pendidikan nasional yang
dapat bersaing dengan hasil pendidikan dari negara-negara maju (Puskur, 200: 5).
setiap peserta didik. Dilihat dari teori perkembangan, Syaodih (1997: 47-51)
adolesen. Salah satu teori yang banyak dijadikan acuan dalam dunia pendidikan,
praoperasionai (2-4 tahun), tahap konkret operasional (7-11 tahun), dan tahap formal
memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar itu individu dikategorikan atas
pula pengelompokkan yang bersifat biporal, seperti : introvert - ekstra vert, dominan
Adapun pendekatan ipsatif, yaitu pendekatan yang melihat karakteristik individu yang
kebutuhan, baik yang menyangkut kemampuan atau potensi peserta didik maupun
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu normal, sedang, dan tinggi.
Selain itu, pada poin 11 tentang akselerasi belajar, dikemukakan bahwa akselerasi
cara peserta didik belajar yang pada umumnya dibahas dalam psikologi belajar.
Banyak teori psikologi belajar yang dapat menjadi acuan dalam proses
terdapat tiga kelompok teori psikologi belajar mulai dari teori belajar behaviorisme,
karena itu, dalam pengembangan kurikulum biasanya tidak menganut teori belajar
tunggal.
antaranya (1) berpusat pada peserta didik; (2) belajar dengan melakukan; (3)
negara yang baik; (9) belajar sepanjang hayat; (1) perpaduan kompetensi, kerja
kebutuhan peserta didik untuk masa kini dan masa yang akan datang. Hal tersebut,
sejalan dengan gagasan Crow & Crow (Nasution, 1991. 80-81) yang menyarankan
4) sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan
keinginan anak yang sesuai dengan taraf perkembangannya dan bukan
menurut keputusan orang dewasa tentang apakah seharusnya minat
mereka".
bahwa peran guru sangat strategis dalam menjembatani antara kurikulum dengan
tanggung jawab belajar berada pada diri peserta didik itu sendiri. Dalam hal ini guru
motivasi, dan tanggung jawab peserta didik untuk belajar dan mengarahkan
atas, maka dalam pedoman pengelolaan KBK ini juga dikemukakan prinsip-prinsip
motivasi dalam belajar yang harus dipedomani oleh guru. Prinsip-prinsip motivasi
prasyarat; (3) komunikasi terbuka; (4) menjadi model; (5) keaslian dan tugas yang
menantang; (6) layanan yang tepat dan aktif; (7) penilaian tugas; (8) kondisi dan
kelompok teori belajar, baik teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme
telah mewarnai pengembangan Kurikulum 2004. Artinya teori belajar yang dianut
bersifat memilih aspek-aspek yang terbaik dari ketiga kelompok psikologi belajar
tersebut. Hal tersebut tampak dari pernyataan yang dikemukakan dalam pedoman
pada peserta didik, yaitu pendekatan belajar yang aktif, kreatif, efektif,
Menurut Nasution (1995: 176-226); Ibrahim dan Karyadi (1990: 16-18); Syaodih
dengan pola atau bentuk bahan pelajaran disusun dan disampaikan kepada peserta
didik. Organisasi kurikulum ini meliputi (1) kurikulum yang berisi mata pelajaran yang
pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan
(Integrated Cuniculum).
di antaranya (a) terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang terpisah satu sama lain,
diberikan pada waktu tertentu, (c) kurikulum ini bertujuan pada penguasaan sejumlah
ilmu pengetahuan, (d) tidak didasarkan atas kebutuhan, minat, dan tuntutan
sistem guru mata pelajaran, dan (g) peserta didik sama sekali tidak dilibatkan dalam
perencanaan kurikulum.
dikorelasikan satu sama lain, (b) sudah ada usaha untuk menyesuaikan dengan
pengetahuan, (c) telah ada usaha untuk menyesuaikan dengan minat dan
korelasi kendatipun masih banyak kesulitan yang dihadapi, dan (e) guru masih
memegang peran aktif, dan aktivitas peserta didik sudah mulai dikembangkan.
psikologi belajar Gestalt, (c) berdasarkan landasan sosiologis dan sosio-kultural, (d)
ditunjang oleh semua mata pelajaran atau bidang studi yang ada, (f) sistem
penyampaiannya dengan menggunakan sistem pengajaran unit, dan (g) peran guru
sama aktifnya dengan peran peserta didik. Keunggulan atau manfaat kurikulum
terpadu menurut Nasution (1995: 205) di antaranya (a) segala sesuatu yang
dipelajari dalam unit bertalian erat, (b) kurikulum ini sesuai dengan pendapat-
sekolah dengan masyarakat, (d) sesuai dengan paham demokratis, dan (e) mudah
tiga tipe. Menurut Sumantri (2002: 17) ketiga tipe tersebut adalah (1) tipe
pembelajaran terpadu dalam satu disiplin ilmu (fragmented, connected dan nested),
threaded, dan integrated), dan (3) tipe pembelajaran terpadu yang mengutamakan
program D-ll PGSD yaitu model connected, webbed, dan integrated. Pelaksanaan
rangka mengimbangi gejala penjejalan kurikulum yang sering terjadi dalam proses
pembelajaran di sekolah.
pengembangan kurikulum yang terdiri dari sembilan butir. Pada butir ke sembilan
pengalaman belajar berfokus pada kebutuhan peserta didik yang bervariasi dan
kurikulum, yang merupakan ketentuan untuk kelas satu dan dua, di antaranya
untuk kelas tiga sampai dengan kelas enam, dikemukakan bahwa mulai dari kelas
tiga menggunakan pendekatan mata pelajaran tunggal sesuai dengan jenis mata
mengemukakan ada delapan level, yaitu "... levels of planning classroom, individual
school, school district, state, region, nation, world". Lebih lanjut, Oliva (1992: 56)
mengemukakan bahwa "If we are concerned about levels of importance, and indeed
we are, we should concede that classroom planning is far more Important than any of
the successive steps. At the classroom level, the results of curriculum planning make
mereka terutama yang dipandang kompeten dapat telibat dalam berbagai tingkat
sebagaimana dikemukakan di atas. Tetapi, pada umumnya tugas guru yang utama
adalah sebagai pengembang kurikulum tingkat kelas. Menurut Syaodih (1997: 150)
semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji
dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan
hidup. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan
kurikulum sesungguhnya.
bagian dari Kurikulum 2004 secara keseluruhan, yang mempunyai nilai strategis.
dilaksanakan secara terencana dan terarah. Moment ini dapat dimanfaatkan untuk
bahasa Indonesia. Kedua, guru dapat menumbuhkan rasa memiliki, mencintai, dan
bangga akan bahasa Indonesia pada diri peserta didiknya. Ketiga, guru dapat
yang sudah dibekali dengan landasan yang kuat mengenai pengetahuan, sikap
positif, dan keterampilan berbahasa, maka yang bersangkutan akan lebih mudah
menyelesaikan studinya.
Menurut Tangan (1995: 5-9) nilai strategis mata pelajaran bahasa Indonesia
sangat fungsional dalam kehidupan manusia, (2) sekolah dasar sebagai pelaksana
pertama pembelajaran bahasa Indonesia, (3) bahasa ibu sebagian besar peserta
pelajaran lain, (6) pembelajaran bahasa Indonesia dapat membina budi pekerti, dan
umumnya dan pada khususnya Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia.
Untuk itu, maka berikut ini dikemukakan karakteristik Kurikulum 2004 mata pelajaran
bahasa Indonesia.
Dalam uraian rasional Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD,
adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia
dalam Bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan serta menimbulkan
Kurikulum ini diarahkan agar peserta didik terbuka terhadap beragam informasi yang
hadir di sekitar kita dan dapat menyaring yang berguna, belajar menjadi diri sendiri,
dan peserta didik menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak terlepas dari
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta sastra Indonesia
sebagai hasil cipta intelektual produk budaya, maka fungsi mata pelajaran bahasa
Indonesia sebagai:
adalah:
2) siswa memahami bahasa Indonesia dan segi bentuk, makna, dan fungsi,
serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam
tujuan, keperluan, dan keadaan;
3) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan
kematangan sosial;
4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan
menulis);
5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Dan rumusan tujuan di atas jelas, bahwa lulusan SD diharapkan mampu, (1)
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berbagai keperluan,
yang dapat diterapkan dalam berbagai keperluan dan kesempatan, (3) memiliki sikap
positif terhadap bahasa Indonesia, dan (4) menikmati dan memanfaatkan karya
mata pelajaran bahasa Indonesia, meliputi enam aspek yang meliputi berikut ini.
1) Menyimak
Berdaya tahan dalam berkonsentrasi mendengarkan sampai dengan tiga
puluh menit, dan mampu menyerap gagasan pokok dan perasaan dari
cerita, berita, petunjuk, pengumuman, serta perintah yang didengar
dengan memberikan respon secara tepat;
2) Mewicara
Mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan,
berdialog, menyampaikan perasaan, bertukar pengalaman, menjelaskan
suatu proses, mendeskripsikan, dan bermain peran;
3) Membaca
Membaca lancar beragam teks dan mampu menjelaskan isinya, serta
merespon isi dengan kata-kata sendiri;
4) Menulis
Menulis karangan naratif dan non-naratif dengan tulisan rapi dan jelas
dengan memperhatikan tujuan dan ragam pembaca, memakai ejaan dan
tanda baca, dan kosakata yang tepat dengan menggunakan kalimat
tunggal dan kalimat majemuk;
5) Kebahasaan
Memahami/menggunakan kalimat lengkap, tak lengkap, dalam berbagai
konteks, imbuhan, penggunaan kosakata, ejaan, pelafalan, serta intonasi
bahasa Indonesia;
6) Apresiasi Bahasa dan sastra Indonesia
Mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan mendengarkan,
menonton, membaca dan melisankan hasil sastra berupa dongeng, puisi
dan drama pendek, serta menuliskan pengalaman dalam bentuk cerita dan
puisi (Puskur, 2003).
Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD, terdapat lima butir rambu-
rambu yang harus dijadikan pedoman bagi guru. Rambu-rambu yang dimaksud
Dari uraian di atas, tergambar bahwa Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa
mendorong adanya upaya kreatif dari guru untuk memberikan kesempatan kepada
berbagai aktivitas.
menunujuk kepada kemampuan kita menggunakan bahasa untuk interaksi sosial dan
komunikatif, yaitu "mengetahui kapan saat yang tepat membuka percakapan dan
bagaimana, topik apa yang sesuai untuk situasi atau peristiwa ujaran tertentu, bentuk
sebutan mana yang harus digunakan, kepada siapa dan dalam situasi apa, serta
salam, pujian, permintaan maaf, undangan, dan sebagainya. Dengan kata lain,
gramatikal yang memadai dan kepekaan kontekstual yang tinggi, sehingga mereka
dan dapat mengungkapkan secara tepat dalam bentuk tuturan yang kongkrit
empat dimensi atau empat aspek. Keempat dimensi atau aspek komunikasi yang
dimaksud mencakup (1) aspek gramatikal, (2) aspek kewacanaan, (3) aspek
sosiolinguistik, dan (4) aspek strategi komunikasi Canale dan swain (Tangan, 1989:
berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa harus diarahkan agar peserta didik
menulis). Hal tersebut, sejalan dengan salah satu misi pendidikan dasar, khususi/nya /
lisan maupun tulis. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan, hakikat keterampilan
peran secara spontan, yaitu dari penyimak menjadi pewicara dan dari pewicara
Hakikat menyimak dapat dilihat dari berbagai segi. Menurut Logan (Soegito,
2003: 6.24) menyimak dapat dipandang sebagai suatu sarana, suatu keterampilan,
seni, suatu proses, suatu respons atau sebagai suatu pengalaman kreatif.
Menyimak sebagai suatu sarana, karena adanya kegiatan yang dilakukan seseorang
pada waktu menyimak yang harus melalui tahap mendengarkan bunyi-bunyi yang
penilaian seperti halnya (orang) mempelajari seni musik, seni tari atau seni peran.
memahami, menilai, dan merespon. Unsur utama menyimak adalah respons, oleh
karena itu menyimak dipandang sebagai respons. Selain itu, menyimak dipandang
dan memahami bunyi bahasa, tetapi setiap orang yang terlibat dalam proses
memusatkan perhatian. Bunyi yang ditangkap perlu diidentifikasi, dalam hal ini
karena makna yang sudah diidentifikasi dan dipahami, maka makna itu harus
menilai, melalui kemampuan menilai ini maka penyimak sampai pada tahap
mengambil keputusan apakah dia menerima, meragukan, atau menolak isi bahan
daya simak sehingga pada akhirnya peserta didik memiliki ciri-ciri sebagai penyimak
ideal. Menurut Tangan (1991: 48-49) ciri-ciri penyimak ideal adalah siap fisik dan
secara lisan. Mewicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting
bagi kontrol sosial, karena mewicara merupakan bentuk perilaku manusia yang
memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, dan linguistik secara luas Brown dan
lisan. Lebih rinci Logan, dkk. {Tangan, 1991: 149) mengemukakan bahwa mewicara
sebagai sarana berkomunikasi mencakup sembilan hal, yakni : (1) mewicara dan
menyimak adalah dua kegiatan yang resiprokal; (2) mewicara adalah proses individu
berkomunikasi; (3) mewicara adalah ekspesi kreatif; (4) mewicara adalah tingkah
laku; (5) mewicara adalah tingkah laku yang dipelajari; (6) mewicara dipengaruhi
kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat; dan (9) mewicara adalah
pancaran pribadi.
kompleks. Oleh karena itu, keterampilan mewicara harus diajarkan di sekolah, agar
dapat mewicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk mencapai
tujuan itu, maka guru dapat menggunakan bahan pelajaran membaca atau menulis,
(1994: 42) aktivitas pembelajaran mewicara dapat dilakukan melalui tiga macam
teknik, seperti (1) teknik terpimpin, (2) teknik semi terpimpin, dan (3) teknik bebas.
Teknik terpimpin adalah salah satu teknik pembelajaran mewicara yang dilakukan
dengan cara meminta peserta didik mengujarkan sesuatu sama persis dengan
contoh yang telah ada. Teknik pembelajaran semi terpimpin adalah teknik
memaparkan sesuatu secara bebas, tanpa bahan yang telah ditentukan atau tanpa
kelompok.
Kedua keterampilan ini merupakan keterampilan dasar yang harus diajarkan mulai
dari kelas 1 SD. Kegiatan membaca dan menulis mempunyai hubungan yang sangat
bahasa yang dituliskan. Dengan kata lain membaca dan menulis merupakan
kegiatan yang dapat menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai
penulis.
dilakukan penulis. Menurut Klein, dkk. ( 1 9 9 1 : 77) konsep membaca dan menulis
Persamaan kedua proses tersebut dapat dilihat sebagai berikut, (1) proses membaca
dan menulis sama-sama menggunakan bahasa tulis sebagai media komunikasi, (2)
tanda-tanda tertulis dengan makna, dan (4) kegiatan membaca d a n menulis sama-
sama memiliki tujuan. Dengan kata (ain, dilihat dari persamaannya terdapat
melalui membaca dan belajar menulis melalui menulis, tapi kita juga dapat belajar
membaca melalui menulis dan belajar menulis melalui membaca. Oleh karena itu,
pembelajarannya.
Anderson, dkk., 1969: 5), karena membaca membutuhkan coordinasi otot pada
tingkat tinggi dan konsentrasi yang terus-menerus. Hal ini sejalan dengan yang
Maksud dari pendapat tersebut bahwa pada waktu membaca mata mengenali
dihubungkan satu sama lain menjadi makna frase, klausa, kalimat, dan akhirnya
makna seluruh bacaan^. Pemahaman akan makna bacaan ini tidak mungkin terjadi
tanpa pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Sebagai proses yang kompleks,
graphic display".
serangkaian keterampilan, yang secara garis besar keterampilan itu meliputi dua
aspek penting dalam membaca, yaitu (1) keterampilan yang bersifat mekanistik,
linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klause, kalimat, dan lain-lain), (c)
(seperti maksud dan tujuan pengarang); (c) evaluasi (isi dan bentuk); dan (d)
seperti membaca mekanistik yang dikenal dalam kurikulum mata pelajaran bahasa
lanjutan diberikan di kelas tinggi yaitu mulai dari kelas 3 sampai kelas 6. Adapun
dalam hati, membaca cepat, dan membaca bahasa (Supriadi, dkk., 1991: 115;
untuk memahami isi yang penting-penting dengan cepat dan dengan demikian
menelaah isi bacaan. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh sukses dalam
emosional dan sosial, pola-pola sikap dan tujuan pengarang dan juga sarana-sarana
membaca intensif yang paling diutamakan adalah hasilnya, yaitu suatu pengertian,
suatu pemahaman yang mendalam serta terperinci terhadap tanda-tanda hitam atau
aksara di atas kertas. Oleh karena itu, yang termasuk ke dalam membaca intensif
adalah membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi,
membaca atau membaca cepat. Membaca cepat menurut Harjasujana dan Mulyati
dan tepat pada saat membaca sehingga diperoleh rata-rata kecepatan baca berupa
4-5); Ulit (Haryadi dan Zamzami, 1997: 32-33) menyimpulkan adanya tiga klasifikasi
model membaca, yaitu (1) model membaca bawah-atas (bottom-up), (2) model
membaca atas-bawah (top-down), dan (3) model membaca timbal balik (interaktif).
peserta didik selama proses pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, guru
meliputi, tiga ranah kemampuan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada
Pada ranah afektif, peserta didik di ana taranya diharapkan dapat menyerap,
motivasi serta minat baca, dan membentuk sikap positif terhadap isi bacaan. Adapun
peserta didik tidak mungkin mampu mengikuti pembelajaran dengan baik. Begitu
pentingnya kemampuan membaca harus dimiliki oleh peserta didik, sehingga para
Turner (Swarbrick, 1994: 125) "... reading is a tool for learning, ... the ability to read
literacy.
Pendapat para ahli di atas, tampaknya harus menjadi perhatian semua pihak.
Terutama guru-guru sekolah dasar yang mempunyai peranan yang sangat strategis,,
pembelajaran membaca. Salah satu hal yang harus disadari oleh guru adalah
integral pari of the language arts cumculum; the teaching of reading cannot be
separated from the teaching of writing, speaking, and Sstening". Selain itu, Dallmann,
dua hal, yaitu membantu peserta didik dalam memperoleh keterampilan membaca,
Rofi'uddin dan Zuchdi (1999: 50) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal
mengarahkan pada (1) perkembangan aspek sosial peserta didik, yakni kemampuan
bekerja sama, percaya diri, pengenalan diri, kestabilan emosi, dan rasa tanggung
jawab; (2) pengembangan fisik, yaitu pengaturan gerak motorik, koordinasi gerak
mata dan tangan; (3) perkembangan kognitif, yakni membedakan bunyi, huruf,
(komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan
adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan
sebuah symbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati
empat unsur yang terlibat: penulis sebagai penyampai pesan (penulis), pesan atau
isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan
bahwa menulis sebagai aktivitas terpadu. Hal ini sebagaimana dikemukakan Klien,
dkk (1991:119) bahwa ketika peserta didik menulis, mereka menghubungkan semua
yang mereka ketahui atau berpikir apa yang mereka ketahui tentang bahasa seperti
secara struktur, secara ponetik, dan secara semantik. Menulis juga menyebabkan
masalah, bahkan memadukan semua apa yang mereka ketahui dan bagaimana
pengetahuan tersebut digunakan dalam bentuk bahasa tulis. Pada saat menulis,
peserta didik melakukan kegiatan mengkonstruk kata, kalimat, paragraph, dan cerita
Selain sebagai aktivitas terpadu, menulis itu juga merupakan suatu proses.
Pada tahap prapenulisan, meliputi aktivitas memilih topik, menetapkan tujuan darv
mengorganisasi ide atau gagasan dalam bentuk kerangka karangan. Adapun pada
yang telah dipilih dan direncanakan pada tahap prapenulisan. Kegiatan akhir
penyempurnaan buram yang telah dihasilkan. Dalam hal ini, kegiatannya meliputi
Ketiga tahap tersebut, tidak selalu berurutan, dan bukan kegiatan yang
terpisah-pisah, tetapi ketiga tahap tersebut merupakan komponen yang ada dan
dilalui penulis dalam proses tulis-menulis. Urutan dan batas antartahap tersebut
sangat luwes, bahkan dapat tumpang tindih. Sewaktu menulis sangat mungkin
penulis melakukan aktivitas yang terdapat pada setiap tahap secara bersamaan.
Misalnya pada tahap pramenulis dan penulisan, penulis dapat melakukan sekaligus
kegiatan telaah dan revisi, atau ketika sedang berlangsung kegiatan pada tahap
penulisan, ternyata kerangka karangan yang telah dibuat terlalu sempit, terlalu luas,
dapat dicapai dengan jalan banyak berlatih menulis. Untuk memberikan banyak
kesempatan menulis kepada peserta didik dalam proses pembelajaran, guru dapat
Gill (Supamo dan Yunus, 2002: 1.13) bahwa terdapat beberapa pendekatan yang
peserta didik, hanya melalui banyak berlatih menulis. Oleh karena itu, kegiatan
daya inisiatif dan kreativitas, penumbuhan keberanian, dan pendorong kemauan dan
pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik yang
diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan unjuk kena atau
prestasi peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas yang terkait. Adapun proses
pencapaian hasil beijar peserta didik. Dengan demikian, penilaian adalah suatu
atau sesuatu.
Salah satu komponen Kurikulum 2004 adalah Penilaian Berbasis Kelas (PBK).
dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar
yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar peserta didik
dan pelaporan.
berbasis kelas. PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja peserta didik (postofolio),
hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis
(paper and pencil). Guru menilai kompetensi dan hasil belajar peserta didik
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui tes dan nontes. Baik teknik tes
maupun nontes dapat digunakan untuk mendapatkan informasi atau data tentang
peserta didik yang dinilai. Teknik tes biasanya digunakan untuk memperoleh
informasi atau data tentang kemampuan kognitif peserta didik, sedangkan teknik
nontes digunakan untuk memperoleh informasi atau data tentang kemampuan afektif
dan psikomotor, informasi yang diperoleh melalui tes bersifat kuantitatif, sedangkan
dan proses belajar mengajar diperlukan untuk secara kritis meninjau kembali dan
dikembangkan terus. Untuk itu, penilaian dapat memfasilitasi peserta didik menjadi
lebih terampil, mandiri, dan individu yang bertanggung jawab karena memahami
bagi guru, tetapi juga memberi keterangan yang berarti bagi para administrator,
orang tua, dan khususnya bagi peserta didik itu sendiri. Harris & Hodges (De Cario,
berbagi informasi. Adapun prosesnya harus dimulai dari hari pertama sekolah dan
individual peserta didik setiap waktu, dan memberikan laporan kepada orang tua
peserta didik.
digambarkan melalui tes standar. Sementara penilaian internal, yang sekarang lebih
banyak diminati fokusnya lebih pada cara-cara internal. Seperti melalui penggunaan
contoh menulis, respon membaca jurnal, dan 'interest inventories', terkait dengan
semua ini guru menggunakan cara lain untuk menilai pertumbuhan peserta didik.
Penilain juga dipandang sebagai proses yang (a) kontinyu, artinya tidak
hanya mengandalkan (refying) pada akhir tahun, (b) multidimensi, artinya penialain
tidak hanya mengandalkan pada satu cara penilaian atau indeks, (c) bersifat
menggunakan sumber informasi dari guru, dan (e) otentik, artinya penilaian tidak
hanya menekankan pada nilai ekstrinsik. Semuanya itu melibatkan apa yang
dilakukan guru dan peserta didik untuk menilai kemajuan. Dengan demikian,