Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH QHOWAHID FIQH

” ADH-DHARARU YUZALU “

DISUSUN OLEH :
NOVIA HERAWANTI
1710102013

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN RADEN FATAH
PALEMBANG
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULAN

Dalam al-qawaidul fiqhiyah terdapat lima kaidah pokok, yang harus dipelajari dan digunakan
untuk dasar hidup sehari-hari sesuai dengan kegunaan kaidah tersebut. Kelima kaidah tersebut
ialah :

1. Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.


2. Yang sudah yakin tidak dapat dihapus dengan keraguan.
3. Kesukaran itu menimbulkan adanya kemunduran.
4. Kemudharatan itu harus di hilangkan.
5. Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.

Dari kelima kaidah pokok tersebut kami penulis menyajikan kaidah 4 “kemudharatan itu akan
dihilangkan apabila dalam situasi menentu”.Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzalu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan
suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan
masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu

Kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan
itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh
dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak
diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk
meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian adh-Dhararu Yuzalu

Adh-Dhararu Yuzalu (Kemudharatan harus dihilangkan) ialah jika sesuatu itu dianggap
sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib
dihilangkan.1 Dharar (/‫ َرر‬/‫ض‬
ُّ ) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang
berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara
terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang
pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak
makan”.
3. Menurut Ad Dardiri,“Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut imam As Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris
binasa.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

Konsepsi kaidah memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan


dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.2

B.Macam-macam adh-Dhararu Yuzalu

1. ِّ‫الض ََّر ُر الَيُزَ ا ُل بِالض‬


  
Artinya “Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.” Maksud
kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan
lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
a. Kasus tidak bolehnya orang tua membunuh anaknya hanya karena takut kelaparan
b. Tidak dibolehkan seorang yang kelaparan memakan makanan seorang yang sama dalam
keadaan lapar juga.

1 Muhamad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), Jawa Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah,
2006, hal. 60
2 Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 17  
ِ ‫حظُوْ َر‬
2. ‫ات‬ َ ْ ‫ورات تُبِيْعُ ال‬
ْ ‫م‬ َّ ‫اَل‬
َ ‫ض ُر‬
Artinya “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.” Kaidah ini dapat
disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan
perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan
menimbulkan suatu kemadhorotan pada dirinya.
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi
dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam
kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di
hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa
mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas
keprluannya.
Di kalangan ushul fiqih yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan
seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Contoh:
Kasus kelaparan dan ia sedang menemukan makanan bangkai, jika tidak dimakan ia akan
mati, maka baginya boleh memakannya.

َّ ‫ َماأُبِ ْي ُح لِل‬3
ِ ‫ضرُوْ َر ِة يُقَ َّد ُر بِقَد‬
3. ‫َرهَا‬
Artinya “Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dharurot harus disesuaikan menurut batasan
yang ukuran yang dibutuhkan dhorurot tersebut.” Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu
diperbolehkan lantaran keadaan yang memaksa (dhorurot), harus disesuaikan dengan kadar
ukuran dhorurot yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau
seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah adh-Dharurotu
Tubihu al-Mahdzurot.
Contoh:
Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr (minuman keras), maka
baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang
terancam lantaran kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali
pada asal, yaitu haram.
َ
4. ‫ة‬
ً ‫ص‬ ْ َ ‫ةكَان‬
َّ ‫ت أوْخَا‬ ً ‫م‬ َّ ‫ال َحا َجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ ال‬4
َّ ‫ضرُو َر ِة ع َا‬
Artinya “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan umum
atau khusus.” Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi kemadlaratan, baik secara
umum maupun khusus, yakni dalam artian hajat (kebutuhan) yang dalam kondisi tertentu bisa
menjadi salah satu hal yang pada awalnya dilarang, kemudian berubah menjadi suatu hal yang
diperbolehkan untuk dikerjakan.
Contoh:
Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi
kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan

3 Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, hal. 39
4 Ibid hal 39
membongkar sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan karena demi
kepentingan orang banyak.

5. ‫ب اَخَ فِّ ِه َما‬ َ ‫ض ْال ُم ْف ِس َدتَا ِن رُوْ ِع َي اَ ْعظَ ُمهُ َما‬


ِ ‫ض َررًا بِارْ تِ َكا‬ َ ‫اِ َذا تَ َعا َر‬5
Artinya “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih besar
dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.” Maksud ialah jika ditemukan adanya
pertentangan antara dua macam madlarat, maka yang harus diperhatikan adalah mana yang lebih
besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan. Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara
bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti adalah mafsadah mana yang bobot
nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya, sehingga yang lebih besar ditinggalkan
dan yang lebih ringan dikerjakan.
Contoh:
a.    Membedah perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi yang ada di
dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.
b.   Diperbolehkannya bagi seorang yang dalam keadaan dharurot mengambil makanan seorang
yang tidak dalam keadaan dharurot karena terpaksa.

6. ‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صال‬ ِ ‫ َدرْ ُء ْال َمفَا ِس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬6
Artinya “Mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan.” Maksudnya
ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan kebaikan berkumpul dalam satu kasus, maka
yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah menangkal bahaya dengan mengabaikan kebaikan.
Artinya hal-hal yang dilarang dan membahayakan itu lebih utama ditangkal daripada berusaha
meraih kebaikan dengan cara menjalankan perintah keagamaan, sementara disisi lain dibiarkan
terjadinya kerusakan.
Contoh:
  Diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah karena adanya faktor
sakit.

C. Dasar Kaidah

Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mengandung kataadh-dharurat serta derivasinya sangat


banyak. Ayat-ayat tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kaidah ini diantaranya adalah:

Ayat-ayat al-qur’an

1.QS. Al-Baqarah : 231

Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf
(pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian
kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan

5 Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, hal 40

6 Ibid hal 41-42


ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab
dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-
Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 231)

2. Q.S Ath-Thalaaq : 6

Artinya: tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan (memudharatkan) mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S Ath-Thalaaq : 6)

3. Q.S Al-Baqarah: 233

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah: 233)

4. Q.S Al-Baqarah: 173

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S Al-Baqarah: 173)

[108] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama
Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.

5. Q.S Al-Maidah: 105

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. hanya kepada Allah kamu
kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S
Al-Maidah: 105).

6.Q.S Al-An’am: 199


Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya
kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu
mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-
orang yang melampaui batas.(Q.S Al-An’am: 199)

Adapun hadits Nabi yang menjadi dasar kaidah ini diantaranya :

‫ضهُ َواَ ْن اليَظُ َّن اال الخَ يْر‬


َ ‫َح َّر َم هللاُ ِمنَ ال ُمؤ ِمنِ ْينَ َد َمهُ َو َمالَهُ َو ِعر‬

Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, dan tidak
menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lainnya Rasulullah bersabda:

‫ض ُكم َح َر ٌم‬ َ ‫اِ َّن ِد َما َء ُك ْم َواَ ْم َوالَ ُك ْم َو‬


َ ‫اعرا‬

Artinya : sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehrmatan
kamu semua adalah haram diantara kamu semua (HR. Muslim)

Dalam riwayat lainnya Rasulullah bersabda:

Kedua hadits tersebut menunjukan bahwasanya harta, darah dan kehormatan seorang muslim itu
tidak boleh untuk dilanggar sehingga memunculkan kemudharatan kepada seorang muslim
sangat dilarang dalam Islam. Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits beliau bersabda:

‫ار‬
َ ‫ض َر‬
ِ ‫الض َر َر َوال‬
َ

Artinya : Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan. HR. Hakim dan lainnya
dari Abu Sa’id Al-Khudri, (HR. Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas)

Hadits-hadits tersebut menunjukan bahwa RasulullahShalallahu Alaihi Wasalam telah


memberikan pedoman mengenai sifat kemudharatan yang harus dihindari dan dihilangkan.

Apalagi jika kemudharatan tersebut mengancam nyawa, harta, kehormatan dan darah seorang
muslim.

Qaidah bersumber dari firman Allah SWT :

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan

‫ال ضرر والضرار (اخر جه ابن ماجة عن بن عبا‬


Artinya : Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan. (HR.Ibnu Majjah
ra di takhrijkan oleh Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas)

D.Peranan qaidah ini

Qaidah ke empat ini merupakan pembina dasar fiqh-islami. Sebagai mana kita ketahui
bahwa dalam bagian muamalat, jinayat dan munakahat jiwa dari qaidah tersebut memegang
peranan utama.Pengembalian sesuatu barang yang telah dibeli karena terdapat cacat, diadakan
khiar dalam jual-beli karena adanya perbedaan sifat-sifat yang telah disepakatinya, adanya
perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentransaksikan harta milik, adanya hak syuf’ah
(jual-beli utama) bagi seorang tetangga dan lain sebagainya adalah sekian contoh-contoh untuk
menghindarkan kemudharatan para pihak yang mengadakan mu’amalat bersama.

Syara’ mengadakan hukuman qishash, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan kepada penguasa
untuk memerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat
kemaslahatan  bersama dan menghindari kemudharatan.

Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat diperlukan demi ketentraman
rumah tangga yang sudah begitu kacau dan memberikan kuasa kepada hukum untuk
memfasakhkan nikah sesorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas berumah
tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi mereka yang tersiksa.

Qaidah tersebut adalah erat hubungannya dan saling isi mengisi dengan qaidah-qaidah
sebelumnya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang merupakan


cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. Dharurat adalah suatu keadaan yang
mengancam jiwa atau anggota badan seseorang sehingga ia dibolehkan melakukan suatu
perbuatan yang dilarang atau memakan yang diharamkan. Dikalangan ulama’ ushul, yang
dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan yang dilarang
adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-
qur’an surat al-baqarah : 177, al-maidah : 105, al-an’am : 145, artinyamenjagajiwa (hifzh
al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits
nabi mengatakan “ manmatadunamalihifahuwasyahidun”  barangsiapa yang terbunuh
karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
2. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
3. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.

Adapun kaidah yang setara dengan Kaidah Keterpaksaan membolehkan Hal yang Terlarang :

1. Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.


2. Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.
3. Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang
bersifat umum.
4. Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.
5. Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.
6. Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.
7. Setiap keringanan yang dibolehkan karena daruratatau karena al-hajah, tidak boleh
dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
8. Setiap tindakan hukum yang membawa kemasfadatan atau menolak kemaslahatan adalah
dilarang.

Anda mungkin juga menyukai