Makalah Qhowahid Fiqh
Makalah Qhowahid Fiqh
” ADH-DHARARU YUZALU “
DISUSUN OLEH :
NOVIA HERAWANTI
1710102013
Dalam al-qawaidul fiqhiyah terdapat lima kaidah pokok, yang harus dipelajari dan digunakan
untuk dasar hidup sehari-hari sesuai dengan kegunaan kaidah tersebut. Kelima kaidah tersebut
ialah :
Dari kelima kaidah pokok tersebut kami penulis menyajikan kaidah 4 “kemudharatan itu akan
dihilangkan apabila dalam situasi menentu”.Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzalu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan
suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan
masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu
Kaidah asasiyyah adh-Dhararu Yuzalu yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan
itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh
dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak
diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk
meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian adh-Dhararu Yuzalu
Adh-Dhararu Yuzalu (Kemudharatan harus dihilangkan) ialah jika sesuatu itu dianggap
sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib
dihilangkan.1 Dharar (/ َرر/ض
ُّ ) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang
berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara
terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang
pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak
makan”.
3. Menurut Ad Dardiri,“Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut imam As Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris
binasa.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
1 Muhamad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), Jawa Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah,
2006, hal. 60
2 Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 17
ِ حظُوْ َر
2. ات َ ْ ورات تُبِيْعُ ال
ْ م َّ اَل
َ ض ُر
Artinya “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.” Kaidah ini dapat
disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan
perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan
menimbulkan suatu kemadhorotan pada dirinya.
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi
dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam
kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di
hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa
mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas
keprluannya.
Di kalangan ushul fiqih yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan
seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Contoh:
Kasus kelaparan dan ia sedang menemukan makanan bangkai, jika tidak dimakan ia akan
mati, maka baginya boleh memakannya.
َّ َماأُبِ ْي ُح لِل3
ِ ضرُوْ َر ِة يُقَ َّد ُر بِقَد
3. َرهَا
Artinya “Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dharurot harus disesuaikan menurut batasan
yang ukuran yang dibutuhkan dhorurot tersebut.” Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu
diperbolehkan lantaran keadaan yang memaksa (dhorurot), harus disesuaikan dengan kadar
ukuran dhorurot yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau
seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah adh-Dharurotu
Tubihu al-Mahdzurot.
Contoh:
Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr (minuman keras), maka
baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang
terancam lantaran kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali
pada asal, yaitu haram.
َ
4. ة
ً ص ْ َ ةكَان
َّ ت أوْخَا ً م َّ ال َحا َجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ ال4
َّ ضرُو َر ِة ع َا
Artinya “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan umum
atau khusus.” Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi kemadlaratan, baik secara
umum maupun khusus, yakni dalam artian hajat (kebutuhan) yang dalam kondisi tertentu bisa
menjadi salah satu hal yang pada awalnya dilarang, kemudian berubah menjadi suatu hal yang
diperbolehkan untuk dikerjakan.
Contoh:
Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi
kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan
3 Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, hal. 39
4 Ibid hal 39
membongkar sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan karena demi
kepentingan orang banyak.
C. Dasar Kaidah
Ayat-ayat al-qur’an
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf
(pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian
kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
5 Bag. Kurikulum Pelajaran, Ushul Fiqh dan Qowaid Fiqhiyah, Ponorogo: Darussalam Press Gontor, 2006, hal 40
2. Q.S Ath-Thalaaq : 6
Artinya: tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan (memudharatkan) mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S Ath-Thalaaq : 6)
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah: 233)
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S Al-Baqarah: 173)
[108] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama
Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. hanya kepada Allah kamu
kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S
Al-Maidah: 105).
Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, dan tidak
menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik. (HR. Muslim)
Artinya : sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehrmatan
kamu semua adalah haram diantara kamu semua (HR. Muslim)
Kedua hadits tersebut menunjukan bahwasanya harta, darah dan kehormatan seorang muslim itu
tidak boleh untuk dilanggar sehingga memunculkan kemudharatan kepada seorang muslim
sangat dilarang dalam Islam. Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits beliau bersabda:
ار
َ ض َر
ِ الض َر َر َوال
َ
Artinya : Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan. HR. Hakim dan lainnya
dari Abu Sa’id Al-Khudri, (HR. Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas)
Apalagi jika kemudharatan tersebut mengancam nyawa, harta, kehormatan dan darah seorang
muslim.
Qaidah ke empat ini merupakan pembina dasar fiqh-islami. Sebagai mana kita ketahui
bahwa dalam bagian muamalat, jinayat dan munakahat jiwa dari qaidah tersebut memegang
peranan utama.Pengembalian sesuatu barang yang telah dibeli karena terdapat cacat, diadakan
khiar dalam jual-beli karena adanya perbedaan sifat-sifat yang telah disepakatinya, adanya
perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentransaksikan harta milik, adanya hak syuf’ah
(jual-beli utama) bagi seorang tetangga dan lain sebagainya adalah sekian contoh-contoh untuk
menghindarkan kemudharatan para pihak yang mengadakan mu’amalat bersama.
Syara’ mengadakan hukuman qishash, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan kepada penguasa
untuk memerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat
kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan.
Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat diperlukan demi ketentraman
rumah tangga yang sudah begitu kacau dan memberikan kuasa kepada hukum untuk
memfasakhkan nikah sesorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas berumah
tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi mereka yang tersiksa.
Qaidah tersebut adalah erat hubungannya dan saling isi mengisi dengan qaidah-qaidah
sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-
qur’an surat al-baqarah : 177, al-maidah : 105, al-an’am : 145, artinyamenjagajiwa (hifzh
al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits
nabi mengatakan “ manmatadunamalihifahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh
karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
2. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
3. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Adapun kaidah yang setara dengan Kaidah Keterpaksaan membolehkan Hal yang Terlarang :