Anda di halaman 1dari 5

UNIFIKASI DALAM PLURALISME

HUKUM TANAH DI INDONESIA


(REKONSTRUKSI KONSEP UNIFIKASI DALAM UUPA)
Oleh :
MUHAMMAD BAKRI
( Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya )

ABSTRACT

After the enforcement of The Basic Agrarian Law, land law in Indonesia has the character of unification,
meaning that only one land law applied that is national land law. Enforcing one particular land law at various
society as in Indonesia, can generate injustice. Therefore, the Decision Of People Consultative Assembly
Number of IX/MPR/2001 Section 4 letter c opens the opportunity of pluralism in unification sounding:
Respecting law supremacy by accommodating varieties in law unification. What is meant by " varieties in law
unification" is not clarified.

According to the writer, the meaning of varieties in unification specially land law is : enforcing adjacently two
peripheral laws that is, national land law applied all over Indonesia regions and local adat land law. In areas
having customary rights, adat law is fully applied adat law, but in areas without customary rights, national land
law is use instead.

Keyword : unification, law pluralism

A. Pendahuluan
yang sudah dibuka dan dipunyai dengan suatu hak adat
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 oleh orang Bumi putra, tidak dapat ditundukkan dan
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok diatur oleh hukum tanah barat, walaupun tanah itu
Agraria (LN. 1960-104, TLN. 2043) atau lebih terkenal dinyatakan sebagai tanah milik negara tidak bebas
dengan nama Undang-undng Pokok Agraria (UUPA), (onvrij landsdomein). Jadi terhadap tanah adat itu, tetap
sebagai warisan hukum tanah pada jaman Hindia diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
Belanda, hukum tanah di Indonesia bersifat dualistis. adat. Bagi tanah ulayat yang belum dibuka yang masih
Artinya, berlaku secara berdampingan dua perangkat berupa hutan belukar (woeste gronden), yang menurut
hukum tanah yaitu, hukum tanah adat dan hukum tanah ketentuan hukum adat dikuasai secara penuh oleh
barat. Hukum tanah adat berlaku bagi tanah dengan hak- masyarakat hukum adat setempat dan tunduk pada
hak adat (tanah adat) dan hukum tanah barat berlaku hukum adat, oleh pemerintah Hindia Belanda
bagi tanah dengan hak-hak barat (tanah barat), tanpa dinyatakan sebagai tanah milik negara bebas (vrij
memperhatikan siapa pemegang haknya. Tanah landsdomein), karena hak itu sudah dipasrahkan
mempuyai suatu “Statuut” tersendiri, hukum yang (prijsgegeven) atau telah “afgesleten” atau memang tak
berlaku atas bidang tanah terlepas dari hukum yang pernah ada. Menurut pandangan umum, tanah-tanah
berlaku bagi pemegang haknya. Tanah-tanah adat tersebut diatur oleh hukum tanah barat.
tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum adat tanpa
memperhatikan siapa pemegang haknya, demikian pula Dualisme hukum (pluralisme hukum) ini
terhadap tanah-tanah barat, tunduk pada ketentuan- melahirkan suatu ilmu yang khusus membahas segala
ketentuan hukum barat tanpa memperhatikan siapa masalah yang timbul berkaitan dengan pluralisme
pemegang haknya. Inilah yang terkenal dengan asas hukum yaitu, hukum antar golongan (intergentiel recht).
“Intergentiele Grondenregel”. Dalam hukum antar golongan, terdapat asas yang sangat
terkenal yaitu “Asas Persamarataan” yang artinya,
Asas Intergentiele Grondenregel tidak berlaku bahwa semua stelsel hukum adalah sama nilainya,
mutlak, karena ada pembatasan berlakunya asas ini adalah sama rata sama harga. Asas ini diterima oleh
yaitu, atas sebidang tanah yang sama dapat berlaku semua penulis hukum antar golongan di Indonesia yaitu
secara bersama-sama dua macam aturan hukum yaitu misalnya Van den Berg, Andre de la Porte dan
hukum barat dan hukum adat dan status tanah Nederburgh.
dipengaruhi oleh pemegang haknya. Bagi tanah ulayat

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 1


Menurut asas tersebut semua stelsel hukum (misalnya B. Permasalahan
hukum adat dan hukum barat), sama kedudukan dan Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa, Pasal 4
nilainya (sederajat). Namun, menurut pandangan huruf c Ketetapan MPR Nomor. IX/MPR/2001
pemerintah Hindia Belanda, kedudukan hukum barat berbunyi : Menghormati supremasi hukum dengan
lebih tinggi (lebih utama) daripada hukum adat, mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi
sehingga apabila terjadi konflik hukum antara hukum hukum. Apa yang dimaksud dengan mengakomodasi
adat dengan hukum barat, hukum barat yang keanekaragaman dalam unifikasi hukum itu, ketetapan
diutamakan dan hukum adat dikesampingkan. MPR tersebut tidak memberi penjelasan.
Pandangan pemerintah Hindia Belanda ini bertentangan
dengan asas persamaan tersebut. Arti kata unifikasi adalah, memberlakukan satu
macam hukum tertentu kepada semua rakyat di negara
Setelah berlakunya UUPA, sifat dualisme hukum tertentu. Jika suatu hukum dinyatakan berlaku secara
tanah itu diganti dengan unifikasi hukum tanah artinya, unifikasi maka, di negara itu hanya berlaku satu macam
memberlakukan satu macam hukum tanah yakni hukum hukum tertentu, dan tidak berlaku bermacam-macam
tanah nasional. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan hukum. Selanjutnya arti kata keanekaragaman, menurut
UUPA yaitu, meletakkan dasar-dasar untuk Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah, hal atau keadaan
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum beranekaragam (bermacam-macam). Keanekaragaman
pertanahan . Kesatuan hukum tanah artinya, hukum (dalam ilmu hukum dinamakan pluralisme
memberlakukan satu macam hukum tanah (unifikasi hukum) adalah, memberlakukan bermacam-macam
hukum) untuk semua tanah yang ada di wilayah (lebih dari satu) hukum tertentu kepada semua rakyat
Indonesia. negara tertentu.

Unifikasi hukum tanah itu tidak hanya ditujukan Kedua hal tersebut (unifikasi dan pluralisme)
pada hukumnya saja, tetapi juga pada hak-hak atas tampaknya tidak dapat disatukan karena, masing-masing
tanah. Setelah berlakunya UUPA, hanya ada satu mengandung hal yang saling bertentangan. Dalam
macam hak-hak atas tanah yaitu, hak-hak atas tanah unifikasi hukum yang memberlakukan satu macam
yang diatur dalam UUPA. Oleh karena itu, hak-hak atas hukum, tidak mungkin ada pluralisme hukum. Demikian
tanah sebelum berlakunya UUPA yaitu hak-hak atas pula sebaliknya, dalam pluralisme hukum yang
tanah menurut hukum adat dan hukum barat, harus memberlakukan bermacam-macam hukum, tidak
diubah (dikonversi) menjadi hak-hak atas tanah menurut mungkin ada unifikasi hukum.
UUPA
Makalah ini mencoba untuk mengawinkan kedua
Penyeragaman hukum (unifikasi hukum) pada hal yang saling bertentangan itu, dan menjadikan
masyarakat yang majemuk/ beragam seperti di masalah yang diangkat dalam tulisan ini.
Indonesia, akan menimbulkan ketidak adilan. Sama
tidak adilnya dengan menerapkan hukum yang beragam C. Pembahasan
(pluralisme hukum) pada masyarakat yang seragam.
Penjelasan Umum UUPA Nomor III/1 menjelaskan
Keanekaragaman masyarakat Indonesia tersebut
bahwa, “Sebagaimana telah diterangkan di atas hukum
tercermin pada semboyan negara yang terkenal yaitu,
agraria sekarang ini mempunyai sifat “dualisme” dan
“Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya bermacam-
mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut
macam tapi satu jua. Di Indonesia terdapat bermacam-
hukum adat dan hak-hak atnah menurut hukum barat,
macam suku, ras, agama, kebudayaan, hukum dan lain-
yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II
lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
dipisahkan yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
Undang-undang Pokok Agraria bermaksud
unifikasi hukum tanah dalam masyarakat Indonesia
menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak
yang majemuk, dapat menimbulkan ketidak adilan.
mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan
rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan
Untuk menghindarkan diri dari ketidakadilan ini,
kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membuka
agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum
peluang untuk mengadakan pluralisme hukum
dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia
pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huraf c
sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula
“Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai
Alam” yang berbunyi : Menghormati supremasi hukum
hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan
dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam
dengan kepentingan masyarakat dalam Negara modern
unifikasi hukum.
dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 2


pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh letak/kedudukan hukum adat terhadap hukum tanah
politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistik dan nasional yang sebanyak mungkin dituangkan dalam
masyarakat swapraja yang feodal”. bentuk peraturan perundang-undangan itu. Jika
memperhatikan salah satu syarat hukum adat dipakai
Yang dimaksud dengan hukum agraria yang baru dasar oleh hukum tanah nasional yaitu, tidak
dalam penjelasan tersebut adalah, hukum agraria bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
nasional yang bersifat unifikasi (kesatuan hukum) yang dapat disimpulkan bahwa, kedudukan hukum adat lebih
berdasar pada hukum adat yang disempurnakan dan rendah daripada peraturan perundang-undangan.
disesuai dengan kepentingan masyarakat dalam negara Apabila ada ketentuan hukum adat yang bertentangan
modern serta dengan sosialisme Indonesia. Menurut dengan peraturan perundang-undangan, maka hukum
Penjelasan Umum tersebut, dalam pertumbuhan hukum adatnya yang dikesampingkan.
adat tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat
kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang Hal ini bertentangan dengan asas yang sangat
feodal. Oleh karena itu, hukum adat yang berlaku terkenal dalam hukum antar golongan yaitu, “asas
sekarang ini mengandung cacat dan cacat ini harus persamaan” artinya, semua stelsel hukum adalah sama
dihilangkan sehingga hukum adat menjadi bersih dari nilainya, adalah sama rata sama harga. Menurut asas
cacat-cacatnya. Hukum adat yang dipakai sebagai dasar tersebut, semua stelsel hukum (hukum adat dan
hukum agraria nasional adalah hukum adat yang sudah peraturan perundang-undangan) sama
di-saneer. nilainya/derajatnya. Oleh karena itu, peraturan
perundang-undangan tidak dapat
Selanjutnya, hukum agraria nasional berdasar mengenyampingkan/tidak memberlakukan hukum adat,
hukum adat diatur dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi: demikian pula sebaliknya hukum adat tidak dapat
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang mengenyampingkan/ tidak memberlakukan peraturan
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan perundang -undangan.
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Persyaratan hukum adat tidak boleh bertentangan
Indonesia serta dengan paraturan-peraturan yang dengan peraturan perundang-undangan, sehingga jika
tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan terjadi konflik hukum antara hukum adat dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat yang
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum dikesampingkan, berdasar asas persamaan tersebut,
agama. tidak dapat dibenarkan. Kedudukan hukum adat yang
masih hidup dalam masyarakat (living law) terhadap
Menurut pasal 5 tersebut, hukum adat dijadikan peraturan perundang-undangan sama derajatnya/ sejajar,
dasar oleh hukum agraria nasional dengan beberapa sehingga tidak dapat saling menjatuhkan.
syarat yaitu: tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara; sosialisme Indonesia; peraturan Kedua hukum tersebut, dibiarkan hidup secara
perundang-undangan; dan dengan mengindahkan unsur- berdampingan (dualisme hukum tanah), sebagaimana
unsur yang bersandar pada hukum agama. Dengan pernah terjadi pada masa pemerintah Hindia Belanda.
adanya persyaratan-persyaratan tersebut berarti, Pada masa pemerintah Hindia Belanda, terjadi dualisme
ketentuan pasal 5 UUPA mengandung pembatasan hukum tanah artinya, berlaku secara berdampingan dua
(restriksi) terhadap berlakunya hukum adat yakni, tidak perangkat hukum tanah yaitu, hukum adat dan hukum
boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan barat. Walaupun pemerintah Hindia Belanda
negara yang berdasar atas persatuan bangsa, dengan menyatakan bahwa semua tanah selain yang dipunyai
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan dengan hak eigendom adalah milik negara, namun tanah
yang tercantum dalam UUPA dan peraturan- adat dibiarkan tunduk pada hukum adatnya masing-
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan masing.
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama. Dengan adanya pembatasan-pembatasan Masalah yang muncul berkenaan dengan
tersebut, tampaknya sejarah terulang kembali yaitu, dualisme hukum agraria ini adalah, kedua hukum
kalau dulu pada jaman Hindia Belanda terjadi dikotomi tersebut berlaku untuk tanah yang mana ? Untuk
antara hukum adat dengan hukum Eropa yang menjawab masalah ini, penulis berpendapat bahwa :
dimenangkan oleh hukum Eropa, pada saat ini juga 1. di daerah-daerah yang masih ada (eksis) hak
terjadi dikotomi antara hukum adat dengan peraturan ulayatnya, diberlakukan secara penuh ketentuan-
perundang-undangan nasional yang dimenangkan oleh ketentuan hukum adat setempat.
paraturan perundang-undangan nasional. Untuk menentukan ada/tidaknya hak ulayat,
diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Negara
Masalah yang muncul berkenaan dengan hukum Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanah nasional berdasar hukum adat adalah, di mana Nomor. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 3


Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat c. ada wilayah hukum adat yang jelas
Hukum Adat yang berbunyi: d. ada pranata dan perangkat hukum,
(1) Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada khususnya peradilan adat, yang masih
kenyataannya masih ada dilakukan oleh ditaati; dan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan
menurut ketentuan hukum adat setempat. di wilayah hutan sekitarnya untuk
(2) Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
masih ada apabila:
Ayat 2
a. Terdapat sekelompok orang yang masih
Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan
merasa terikat oleh tatanan hukum adat
hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi
sebagai warga bersama suatu persekutuan
masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang
hukum tertentu, yang mengakui dan
ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau
menerapkan ketentuan-ketentuan
pihak lain yang terkait.
persekutauan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Ayat 3
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain :
menjadi lingkungan hidup para warga
a. tatacara penelitian;
persekutuan hukum tersebut dan
b. pihak-pihak yang diikut sertakan;
tempatnya mengambil keperluan hidupnya
c. materi penelitian; dan
sehari-hari, dan
d. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai
adat.
pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh
Syarat yang tercantum dalam penjelasan ayat 1 huruf d
para warga persekutuan hukum tersebut.
yaitu, adanya pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat, yang masih ditaati, tidak mungkin dapat
Menurut pasal 2 ayat 2 huruf a tersebut, sekelompok
dipenuhi, karena setelah berlakunya Undang-undang
orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
Nomor 14 Tahun 1970 tentang “Ketentuan-ketentuan
adat itu disebut “masyarakat hukum adat” yang
Pokok Kekuasaan Kehakiman”, yang diganti oleh
merupakan subjek hak ulayat. Keberadaan masyarakat
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
hukum adat ini diatur dalam Pasal 67 Undang-undang
“Kekuasaan Kehakiman”, peradilan yang diakui
Nomor 41 Tahun 1999 tentang “Kehutanan” (LN 1999-
hanyalah peradilan Negara, sehingga paradilan adat
167, TLN 3888), yang berbunyi :
tidak diakui keberadaannya. Dalam Pasal 3 Undang-
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut
undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Pasal 3 Undang-
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi :
berhak :
(1) Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk
adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
undang-undang.
masyarakat adat yang bersangkutan;
(2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan
hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila.
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
Dari ketentuan Pasal 3 itu jelas bahwa, peradilan yang
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
diakui oleh negara hanyalah peradilan Negara yang
meningkatkan kesejahteraan- nya.
dibentuk berdasar ketentuan undang-undang. Dengan
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat
demikian maka, peradilan adat yang menjadi salah satu
hukum adat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
syarat keberadaan masyarakat hukum adat, tidak
ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
mungkin dapat dipenuhi karena tidak diakui oleh Pasal
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut,
ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan
sehingga keberadaan masyarakat hukum adat pun tidak
Pemerintah.
mungkin dapat dipenuhi.
Dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal dijelaskan :
Menurut Pasal 67 ayat 2 Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tersebut, pengukuhan keberadaan dan
Ayat 1
hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika
Peraturan Daerah. Ketentuan ini dapat diterima
menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain :
sepanjang Paraturan Daerah yang mengukuhkan
a. masyarakatnya masih dalam bentuk
keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat hanya
paguyuban (rechtsgemeenschap);
bersifat deklaratif (pernyataan) dan bukan tindakan
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
konstitutif (menentukan). Yang menentukan
penguasa adatnya;
ada/tidaknya masyarakat hukum adat adalah, hasil

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 4


penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah C. Kesimpulan
dengan mengikut-sertakan para pakar hukum adat, Dari uraian di atas terkait dengan permasalahan
masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang yang di kaji maka dapat disimpulkan sebagai
bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan berikut :
instansi-instansi yang mengelola Sumber Daya Alam, 1. Di daerah-daerah yang masih ada hak
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Peraturan ulayatnya, dibiarkan hidup/berlaku secara
Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional tenang tanpa gangguan dari pihak manapun,
Nomor 5 Tahun 1999 tentang “Pedoman Penyelesaian hukum adat setempat.
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”. Jika 2. Untuk daerah-daerah yang tidak ada hak
dalam penelitian itu dinyatakan masih ada masyarakat ulayatnya atau sudah tidak ada lagi hak
hukum adat, Pemerintahan Daerah tinggal ulayatnya - hak ulayat secara alamiah makin
mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengukuhkan lama makin melemah dan pada akhirnya
keberadaan masyarakat hukum adat tersebut, demikian menjadi hilang, sejalan dengan makin
pula sebaliknya. Fungsi Peraturan Daerah tersebut, menguatnya hak-hak individu atas tanah-
hanyalah sebagai alat bukti tentang eksistensi diberlakukan secara penuh ketentuan-ketentuan
masyarakat hukum adat. hukum tanah nasional yang diatur dalam
Selanjutnya, menurut Pasal 2 ayat 2 huruf b Peraturan peraturan perundang-undangan.
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Dengan demikian maka, di Indonesia berlaku secara
Nasional Nomo 5 Tahun 1999, syarat eksistensi hak
berdampingan dua perangkat hukum tanah yaitu, hukum
ulayat adalah, terdapat tanah ulayat tertentu yang
tanah adat dan hukum tanah nasional yang masing-
menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
masing berlaku pada tempat yang berbeda. Hukum
hukum itu. Tanah ulayat ini merupakan objek hak ulayat
tanah adat berlaku di daerah-daerah yang masih ada hak
yaitu: semua tanah seisinya yang ada di wilayah
ulayatnya, sedang untuk daerah-daerah yang tidak ada
kekuasaan masyarakat hukum adat. Selain tanah
hak ulayatnya berlaku hukum agrarian nasional. Hal ini
seisinya (kekayaan alam yang terkandung di dalam
membongkar paradigma lama yaitu, memberlakukan
tanah), objek hak ulayat juga termasuk air (sungai,
satu macam hukum tanah untuk semua tanah yang ada
danau, dan laut di sekitar pantai), binatang liar yang
di wilayah Republik Indonesia (unifikasi hukum tanah),
hidup di hutan dan pohon-pohon yang ada di hutan yang
diganti dengan paradigma baru yaitu unifikasi hukum
belum dipunyai oleh perorangan.
tanah yang mengakomodasi keragaman hukum adat,
sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR Nomor.
2. Di daerah-daerah yang tidak ada/sudah tidak ada
IX/MPR/ 2001 tersebut.
lagi hak ulayatnya, diberlakukan secara penuh
hukum agraria nasional.
Daftar Pustaka
Dengan makin menguatkan hak-hak individu atas
tanah, secara alamiah lambat laun hak ulayat Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia,
masyarakat hukum adat akan menjadi hilang. Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Hilangnya hak ulayat itu, harus terjadi secara Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Jakarta
alamiah tanpa ada campur tangan dari pemeritah. : Djambatan.
Oleh karena itu, pada saat ini, hak ulayat hanya ada
di sebagian kecil wilayah Indonesia, sedang Gautama. S, 1971, Hukum Antar Golongan, Penerbit
sebagaian besar lainnya tidak ada hak ulayat. Di dan Jakarta : Balai Buku Ichtiar.
daerah-daerah yang tidak ada hak ulayatnya inilah,
diberlakukan secara penuh hukum agraraia nasional Gouw Giok Siong, 1959, Hukum Agraria
yang termuat dalam peraturan perundang- Antargolongan, Jakarta : Penerbit Universitas
undangan.

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 5

Anda mungkin juga menyukai