Anda di halaman 1dari 5

TAJUK RENCANA

TAK CUKUP KERJA KERAS

Indonesia ada diperingkat ke-62 dari 126 negara dalam indeks Penegakan Hukum
2019. Meski posisi Indonesia meningkat, penilaina cenderung stagnan.

Indek penegakan Hukum (Rule of Law Index) 2019 dikeluarkan oleh Word Justice
Project (WJP) setiap tahun setidaknya sejak tahun 2008. Dalam pemyusuanan indeks itu,
Indonesia masuk dalam kawasan Asia Timur dan Pasifik, bersama 14 negara lain: Mongolia,
China, Australia, Selandia Baru, Thailand, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Jepang,
Myanmar, Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Hong Kong.

Sejak enam tahun lalu, nilai total Indonesia dalam indeks Penegakan Hukum
cenderugn tak beranjak, yaitu 0,52 serta peringkat kawasan regional “konsisten” di kisaran 8
atau 9 dari 15 negara. Peringkat ditingkat global juga cenderung berada dipapan tengah,
tergantung dari jumlah negara yang disurvei. Peingkat ke-62 tahun 2019 lebih baik
dibandingkan tahun 2017/2018, yang berada diperingkat k3-63 dari 113 negara. Tahun 2016,
Indonesia berada di peringkaT ke-61 dari 113 negara, tahun 2015 di peringkat ke-54 dari 102
negara.

WJP mengeluarkan indeks itu dengan misi mewujudkan A Word Comprised of rule of
law communities delivering justice, opportunity, and peace (Dunia yang terdiri atas
komunitas negara hukum yang meberikan keadilan, peluang dan perdamaian). Ada sembilan
faktor yang dinilai, penegakan aturan, pembatasan pemerintahan, pemberantasan korupsi,
pengakuan hak dasar, keterbukaan pemerintahan, penegakan ketertiban dan keamanan,
perwujudan keadilan sipil, penyelesaian tindak pidana, serta keadilan tak tertulis tak
sepenuhnya menjadi faktor yang menentukan dalam pemerintahan indeks.

Harian ini hari sabtu (2/3/2019) melaporkan, dalam aspek pembatasan kekuasaan
pemerintah, melalui konstitusi, di saat banyak negara mengalami penurunan dan menguatkan
otoritarianisme, Indonesi justru membaik. Perbaikan juga terdiri ada pemberantasan korupsi,
pemenuhan hak-hak dasar negara, penegakan aturan, dan keadilan dalam kasus tindak
pidana/kriminal. Di sisi lain, perwujudan keadilan sipil (sosial) serta penegakan ketertiban
dan keaman turun dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun ini, keterbukaan Pemerintah
Indonesia pun dinilai tak beranjak.
Kondisi penegakan hukum di negara ini yang cenderung stagnan dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya mengindikasikan pembangunan hukum tak banyak berkembang.
Penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam ketertiban dan keamanan bagi masyarakat,
serta keadilan sosial, masih rentan. Pemerintah pun belum sepenuhnya terbuka.

Penegakan hukum dan keadilan merupakan hasil interaksi yang intens antara
pemeriontah, penegak hukum, elite politik, dan masyarakat. Kepatuhan masyarakat pada
hukum di satu amat menentukan keberhasilan penegak hukum. Di sisi lain, penegak hukum,
elite politik, dan aparatur pemerintah perlu memberikan teladan kepatuhan hukum dan
keberpihakn pada rasa keadilan warga. Tanpa interaksi kuat antar pihak itu, penegak hukum
di negeri ini tak akan beranjak.

Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0

Sulistyowati Irianto

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia

Ada berbagai alasan mengapa pendidikan tinggi hukum harus merespon pesatnya
perubahan masyarakat di Era Revolusi Industri 4.0, sementara perkembangan hukum hampir
tidak bisa mengikuti kecepatannya, terutama akibat kendala politik.

Pendidikan tinggi hukum harus mengambil peran penting untuk menghadapi perkembangan
pratik hukum yang membutuhkan solusi dan pemikiran baru, dan transformasi kedapa
mahasiswa. Kepastian hukum memang penting, tetapi kendalanya tidak menignkatkan
konteks subtansi keadilan masyarakat. Bagiamanapun hukum tidak indentik dengan subtansi
keadilan. Kontribusi apa yang dibutuhkan pendidikan hukum masa depan agar fakultas
hukum dan sivitasnya dapat berperan memujudkan negara hukum yang kuat, tetapi sekaligus
berperspektif keadilaan masyarakat?

Pertanyaan dan persoalan harus dijelaskan berdasarkan pengetahuan dasar dan dogma
hukum, tetapi itu tidak cukup sekarang. Tindak kejahatan masa kini semakin berkembang dan
pembnuktiannya membutuhkan bantuak sanis dan teknologi karena pemindahan harus
didasarkan penyidik dan penyelidikan yang akurat dan persis, agar tidak salah dalam
menghukum orang. Sementara itu, kebijakan pembagunan hukum untuk memberi akses
keadilan bagi kelompok rentan, perempuan dan anak, membutuhkan pendekatan ilmu sosial
dan humaniora. Juga untuk menghasilakan rumusan undang-undang yang bermaslahat dalam
bidang ekonomi, misalnya, dibutuhkan masuk dari disiplin ilmu ekonomi.

Kebutuhan yang berasal dari dana masyarakat ini memperlihatkan bahwa studi hukum
harus terbuka dalam pemirikan lintas keilmuan. Para akademisi hukum tidak perlu kawatir
kehilangan karakter paradigmatiknya karena bantuan berbagai ilmu lain itu justru akan
memperkaya ilmu hukum.

Keterbukaan terhadap studi hukum lintas disiplin memiliki legitimasinya didalam


epistomologi hukum sendiri. Ilmu hukum terdiri atas dua bagian besar. Pertama adalah ilmu
dogma dan konsep dasar hukum; dan kedua adalah ilmu kenyataan hukum. Akomodasi bagi
ilmu hukum yang mempelajari masyarakat, juga sanis dan teknologi, bisa diletakkan didalam
ilmu kenyataan hukum. Universitas di negeri lain sudah lama mengembangkan kuliah “law
and science”, “law and technology”, “law and medicine”, “economic alanysis of law”.
demikian pula koaborasi interdispline ilmu hukum dan ilmu sosial-humaniora telah lama
melahirkan percabangan ilmu baru, socio-legal studies.

Universitas otonomi dan bersitem kredit di Indonesia harus menyediakan kuliah


pilihan yang luas. Mahasiswa diberi ruang untuk mendapatkan pengetahuan yang bisa
menyempurnakan keahlianya sebagai sarjana hukum. bagaimanapun kelak mereka akan
menjadi penentu kebijakan dalam bidang hukum yang tidak steril dari konteks politik,
kultural, ekonomi, sanis, dan teknologi.

Sains dan teknologi

Keterbukaan terhadap sains dan teknologi bagi kalangan hukum tidak tidak dapat
dihindarkan. Pertama, didorong oleh kebutuhan program reformasi hukum. pada umumnya
diseluruh dunia problem yang dihadapi masyarakat terkait proses yudisial adalah
keterlambatan, ketiadaan akses, dan korupsi (Reiling, 2009). Teknologi Informatika (TI) akan
mendukung dan memastikan tata kelola administrasi dan proses peradilan yang baik. Masa
kelam masa peradilan, dimana nepotisme, kolusi, dan korupsi menggerogoti wibawa
pengadilan (Pompe, 2012), tidak boleh terulang lagi.

TI juga dibutukan dalam proses pembuktian melalui penggunaan video, audio dalam
sesi persidangan, pelaporan elektronik, video konferensi untuk saksi, dan penyimpanan file.
Pendeknya semua proses pengembalian keputusan dipersidangan membutuhkan TI (Reiling,
2009).
Kedua, pergeseran (shifting) besar-besaran terjadi ketika satu juta pekerjaan
konvensional akan hilang karena digantikan oleh kecerdasan buatan atau robotic, termasuk
profesi hukum, seperti notaris dan advokat, yang digantikan oleh aplikasi digital; seementara
virma hukum yang kecil akan bergabung (Susskind, 2012). Namun, 1,7 juta profesi baru akan
lahir. Apakah kita akan menerima tantangan ini dengan keterbukaan dan inisiatif baru?

Namun, shifting terjadi dalam masyarakat plural yang menyebabkan adanya disparitas
teknologi. Sungguhpun sudah mengarah kepada teknologi digital, masih ada warga
masyarakat di berbgai wilayah yang hidup dengan teknologi sederhana. Bagaimana hukum
modern bisa hidup berdampingan dengan hukum adat dan tradisi?

‘Benchmarking”

Saat ini hukum belanda yang berakal sama dengan hukum Indonesia sudah
berkembang ke arah lain. Yurisprudensi dianggap sebagai sumber hukum yang penting di
samping kodifikasi hukum. tampak ada upaya semakin mendekatkan kepastian hukum
dengan keadilan masyarakat. Yurisprundensi dari kasus-kasus penting di Belanda menjadi
rujukan dan bahan diskusi di berbagai perkuliahan di fakultas hukum.

Terdapat kerja sama antara sekolah hukum dengan lembaga penegakan hukum dan
parlemen. Hukum tidak hanya dibahas sebagai teks mati (black letter), tetapi diintegrasikan
dengan persoalan hukum baru yang tidak bisa disisolasi dari perkembangan sosial dan sains.
Penegakan rule of law (negara hukum) tetap teguh sambil mengakomodasi perkembangan
hukum baru berbasis keadilan.

Mahasiswa fakultas hukum Belanda tidak hanya belajar tentang konsep dasar dan
dogma hukum, tetapi juga memahami hukum yang hidup melalui pusaran hukum. selalu ada
jurang antara teks hukum dan hukum hidup yang kenyataan dianut masyarakat. Teks hukum
masih berisi cita-cita dan idealisme, yang bertujuan melindungi masyarakat, tetapi belum
merupakan hukum yang hidup. Untuk menjadi hukum yang hidup, teks hukum harus diuji
dalam kasus sengketa, dan putusan hakim terhadap sengketa itulah hukum yang hidup.

Sangat penting mempelajari putusan pelajaran bagi mahasiswa hukum. bagaimana


perkembangan putusan pengadilan saat ini, apakah putusan cukup berkualitas karena berisi
terobosan keadilan yang baru. Sebaiknya, dalam konteks apa putusan pengadilan menunjukan
bahwa hakim sekedar menempatkan diri sebagai corong UU.
Kurikulum

Tuntutan masyarakat adalah agar sekolah hukum melahirkan profesi hukum dengan
pengetahuandasar dan keterampilan hukum yang kuat; sekaligus mampu membangun budaya
berkeadilan. Menegakkan rule of law, tanpa meningalkan keadilan masyarakat. Apakah
kurikulum kita siap? Tampaknya kurikulum hukum sekarang didominasi perkuliahan wajib
tentang dogma dan dasar hukum. beginilah kira-kira gambarannya, sungguhpun tidak
mewakili semua fakultas hukum.

Mahasiswa S-1 wajib menempuh 144 satuan kredit semester (SKS), terdiri dari kuliah
wajib fakultas 100 SKS, wajib Universitas 21 SKS, skripsi 4 SKS, dan sisanya 19 SKS masih
berupa kulah wajib jurusan, yang hanya menyisakan sekitar 6-9 SKS untuk kuliah pilihan.

Peluang mahasiswa untuk mengambil kuliah pilihan sangat minim, padahal saat ini
ada banyak persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang membutuhkan ilmu hukum.
setidaknya dalam ruang kuliah pilihan dapat disemai ilmu kenyataan hukum, yaitu studi
hukum interdisipliner, yang bersentuhan dari ilmu sosial-humaniora, sains dan teknologi
kekinian. Metode perkuliahan off class sudah menjadi kebutuhan untuk melihat pratik hukum
di lapangan.

Baik buruknya pratik hukum dapat ditelusuri dari subtansi yang diajarkan pendidikan
tinggi hukum. ilmu hukum tidak bisa lagi dikunkung dalam romantisme akademi masa lalu,
dan dikukuhkan dalam rezim administrasi-birokratif pendidikan tinggi yang kaku dan sukar
berubah. Jika semua hukum bisa berkolaborasi secara luas dengan ilmuwan lain, lembaga
pemerintah, industri, dan pegiat masyarakat, keberadannya akan lebih dirasakan oleh pencari
keadilan. Masyarakat haus akan literasi hukum, advokasi, dan pendamping hukum.

Anda mungkin juga menyukai