Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera medulla spinalis paling umum terjadi pada orang dewasa muda
berusia 16 sampai 30 tahun. Kebanyakan adalah pria 82% dan wanita 18%.
Hampir 50% CMS diakibatkan oleh kecelakaan motor. Jatuh dihitung kira-
kira 20,8% dari CMS, tindakan kekerasan 14,6% dan olahraga 14,4%.
Etiologi bervariasi dalam kelompok berbeda tergantung pada latar belakang
usia, jenis kelamin, dan ras atau etnik. Kecelakaan motor banyak terjadi pada
usia 15 sampai 30 tahun, tetapi pada usia lebih dari 60 lebih banyak
mengalami cedera karena jatuh.
Harus diingat dan diperhatikan bahwa setiap cedera atas klavikula curiga
terjadinya patah/fraktur servikal. Cedera pada daerah spinal hampir sebagian
besar mengalami cedera pada tulang lehernya. Maka dari itu setiap penolong
yang akan melakukan pertolongan harus mengetahui prinsip penanganan
dasar untuk korban dengan cedera spinal ini, karena jika tidak mengetahuinya
dapat mempengaruhi prognosis korban. Cara penanganan harus hati-hati dan
ingat bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi yang tidak
adekuat akan menambah cedera tulang belakang dan kerusakan neurologik.
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan pada masa kini
yang banyak memberikan tantangan karena pola trauma serta kemajuan
dibidang penatalaksanaannya, kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian seperti jatuh dari pohon kelapa, pada
masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari tempat ketinggian, dan kecelakaan olah raga.
Perawatan awal setelah terjadi cedera kepala medula spinalis ditujukan
pada pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi.
Langkah-langkahnya terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal,
tindakan bedah untuk membebaskan kompresi spina. Sangat penting untuk

1
mempertahankan tubuh dengan tubuh dipertahankan lurus dan kepala rata.
Kantong pasir mungkin diperlukan untuk mempertahankan kedudukan tubuh

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah membahas makalah ini mahasiswa dapat memahami konsep
dasar Asuhan Keperawatan gawat darurat pada klien dengan cedera
medulla spinalis.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam pembuatan makalah ini :
a. Memahami Konsep Dasar Kegawatdaruratan Cedera Medulla
Spinalis.
b. Memahami dan menjelaskan Pengertian, Etiologi, Manifestasi Klinis
Serta Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Cedera Medulla Spinalis.
c. Memahami dan menjelaskan Asuhan
Keperawatan Kegawatdaruratan Klien Dengan Cedera Medulla
Spinalis.

C. Metode Penulisan
Dalam metode penulisan makalah ini kami menggunakan metode
deskriptif, yang diperoleh dari literature dari berbagai media baik buku
maupun intejikan dalam bentuk makalah

D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri atas: latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan, sistematika penulisan.
BAB II : Tujuan teoritis yang terdiri atas: konsep dasar kegawatdaruratan,
definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan,dan
pemeriksaan penunjang pada klien dengan cedera medulla spinalis.

2
BAB III : Asuhan keperawatan pada klien dengan cedera medulla spinalis
yang terdiri atas: pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan
keperawatan.
BAB IV : Penutup yang terdiri atas: kesimpulan dan saran

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis
vertebratalis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang.(Brunner & Suddarth, 2002)
Trauma medulla spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebra, dan lumbal akibat trauma seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2008)

Gambar2.1 Spinal Cord Injury

B. Etiologi
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat
hiperrefleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang berakang. Daerah
torakal tidak banyak terjadi karena banyak terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan
dislokasi, sedangkan kerusakan pada tulang belakang dapat berupa memar,
contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan
peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan
hipoksemia dana iskemia. Iskemia dapat disebabkan hipotensi, edema, atau
kompressi. Kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan
yang permanen karena tidak akan terjadi regerasi pada jaringan saraf. Pada

4
fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi
disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan
oleh tekanan, memar, atau edema.

C. Mekanisme Cedera
Perawat perlu mengenal mekanisme trauma yang terjadi pada tulang
belakang yang memungkinkan gangguan pada medulla spinalis meliputi :
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi
pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil
dan terjadi subluksasi.
2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama
dengan rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan
fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan kedepan/dislokasi
vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
3. Kompresi veretikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang
akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material
diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra
menjadi retak/pecah. Pada trauma ini elemen posterior masih intak
sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.
4. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi
dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan
jarang pada torakal-lumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat
mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini
biasanya bersifat stabil.

5
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral
akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel,
foramen vertebra, dan sendi faset.
6. Fraktur dislokasi
Suatu trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang
dan terjadi ruas tulang belakang.

D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri leher atau punggung
2. Nyeri gerak leher atau punggung
3. Nyeri tekan leher posterior atau midline punggung
4. Deforminitas kolumna spinalis
5. Paralisis, paresis, baal atau kesemutan pada ekstermitas pasca kejadian
6. Tanda dan gejala syok neurogenik
7. Priapismus

E. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis
tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak
langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirect. Whiplash adalah gerakan dorsafleksi
anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang
berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun
dari ketinggian menyelam dan masuk air yang dapat menyebakan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi,
kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau

6
menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medulla spinalis dapat
tidak berfungsi untuk sementara (komusio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa
edema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitrar pembuluh darah. Pada
kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis dapat terlihat
dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di
medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang
mematahkan/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi
tranversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa). Hematomiela adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang
berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea. Trauma ini bersifat
“whiplash” yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh
terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi medulla
spinalis karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan
kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah
yang terselip diantara durameter dan kolumna vertebralis. Gejala yang dapat
sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan
abses didalam kanalis vertebratalis.
Penyebab utama cidera spinal pada orang dewasa berdasarkan angka
kejadian tersering dalah sebagai berikut :
1. Tabrakan mobil
2. Kecelakaan penyelaman pada perairan dangkal
3. Tabrakan sepeda motor
4. Jatuh dan cidera lain
Penyebab utama cedera spinal pada anak-anak adalah :
1. Jatuh dari ketinggian (2-3 kali tinggi badan penderita)
2. Jatuh dari sepeda

7
3. Tertabrak kendaraan bermotor
Menurut Hudak & Gallo dalam buku keperawatan kritis, jenis-jenis
pembagian cedera medulla spinalis dapat dibagi sebagai berikut :
1. Lesi Komplet Vs Inkomplet
Tingkat cedera medulla spinalis didefinisikan dengan jumlah segmen
spinalis paling distal yang tidak terlibat. Kemampuan fungsional pada
tingkat yang tidak terlibat. Kemapuan fungsional pad atingkat yang
berbeda dari cedera medulla spinalis tidak tentukan sepenuhnya pada
setiap pasien. Penampilan fungsional dapat bervariasi pada semua pasien
yang sangat tergantung apakah lesi itu komplet atau inkomlpet. Lesi
inkomplet bearti penyelamatan serabut motorik atau sensorik (atau
keduanya) dibawah tingkat lesi komplet bearti kehilangan total
pengendalian otot volunter dan sensasi dibawah tingkat cedera tersebut.
Bila cedera medulla spinalis inkomplet, segmen distal dari lesi tersebut
masih baik walaupun tingkat kerusakan tulang terjadi pada daerah yang
lebih tinggi. Sebagai contoh, cedera tingkat ortopedik, mungkin fraktur
C5, tetapi pasien secara neurologis utuh pada C6. Karena penting untuk
mengetahui pada tingkat berapakan penampilan pasien yang baik, pada
tingkat neurologis mana klien dapat melakukannya lebih penting
daripada pengetahuan mengenai letak cedera ortopedik.
Bila membicarakan medulla komplet, cedera tingkat ortopedik
mungkin sama dengan tingkat neurologis. Tidak ada segmen distal pada
cedera terlindungi. Seseorang dengan cedera spinal komplet akan
mengikuti secara dekat peta dermatom untuk tingkat kehilangan sensori.
2. Cedera sevikal
a. Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoid, dan otot platisma
masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami
paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun
fungsional). Dibawah transeksi spinal tyersebut kehilangan sensori
pada tingkat C1 melalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga, dan

8
beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh
diagram dermatom tubuh.
Pasien dengan quadreplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan
perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis.
Orang ini juga tergantung pada semua aktivbitas sehari-hari seperti
makan, mandi, dan berpakaian. Seseorang dengan cedera pada
tingkat ini dapat mengoperasikan kursi roda listrik (memiliki
sandaran kepala yang tinggi) dengan mengendalikan dagu dan
pernapasan.
Quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator
mekanis tetapi mungkin dapat dilepaskan dari ventilator secara
intermiten. Pasien biasanya tergantung pada orang lain memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, meskipun dia mungkin dapat makan
sendiri debgan alat khusus. Pasien ini masih memerlukan kursi roda
listrik, meskipun pengendalian terhadap kepala yaitu dengan
menggunakan sandaran kursi pada bagian kepala tidak penting.
b. Lesi C5
Sila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi
diafragma rusak sekunder terhadap edema pasca trauma akut.
Paralisis interstinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan
depresi pernapasan. Ekstermitas atas mengalamoi rotasi kearah luar
sebagai akibat dari kerusakan otot supraspinosus dan otot
infraspinosus. Bahu dapat diangkat karena tidak ada kerja
penghambat dari levator skapula dan otot trapezius. Setelah fase
akut, refleks dibawah tingkat lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada
pada daerah leher dan triangular anterior dari daerah lengan atas.
Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan
terhadap aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukuir, tetapi
pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang baik, yang
memungkinkan untuk makan sendiri atau dengan alat penyokong.
Pada pengguaan bantuan mekanis, pasien ini biasanya dapat menulis.

9
Kursi roda listrik lebih disukai pada quadriplegia C5 meski kursi
roda manual dapat diatur bila mempunyai pasak empat persegi
(projeksi tepi tangan yang memungkinkan gerakan lebih mudah dari
kursi roda). Seorang dengan cedera tingkat ini dapat dimanipulasi
dari kursi roda sangat melelahkan.
c. Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distres pernapasan dapat terjadi karena
paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu
biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini
karena aktivitas terhambat dari deltoid, bisep, dan otot
brakhioradialis. Pemulihan fungsi pada trisep tergantung pada
perbaikan posisi lengan (lengan bawah ekstensi, lengan abduksi).
Sensasi tetap pada aspek lateral dari lengan dan aspek dorsolateral
dari lengan bawah.
Quadriplegia C6 tetap mandiri dalam banyak kebutuhan higiene
dan kadang-kadang berhasil dalam memakai dan melepaskan
pakaian melalui ekstermitas bawah. Pasien ini mandiri dalam makan
dengan atau tanpa bantuan meklanis. Aktivitas kerja ringan di rumah
dapat dilakukan, dan orang tersebut mampu untuk mengendalikan
mobil dengan kontrol tangan.
Quadriplegia C6 tetap mandiri dalam banyak kebutuhan higiene
kadang-kadang berhasil dalam memakai dan melepaskan pakaian
melalui ekstermitas bawah. Pasien ini mandiri dalam makan atau
tanpa bantuan mekanik. Aktivitas kerja ringan dirumah dapat
dilakukan, dan orang tersebut mapu mengendalikan mobil dengan
kontrol tangan.
d. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkionkan otot diafragma
dan aksesori untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal.
Ekstermitas atas mengambil posisi yang sama seperti pada lesi C6.
Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja reflek kembali.

10
Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan
dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri seperti berpakaian dan
melepas pakaian melalu ekstermitas atas dan bawah, makan, mandi,
pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.
e. Lesi C8
Posisi abnormal dan ekstermitas tidak terjadi pada lesi C8
karena adduktor dan rotator internal mampu meniadakan antagonis.
Otot latisimus dorsi dan trapezius cukup kuat untuk menyokong
posisi duduk. Hipotensi postural dapat terjadi bila pasien ditinggikan
pada posisi duduk karena kehilangan kontrol vasomotor. Hipotensi
postural ini dapat diminimalkan dengan pasien berubah secar
bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya
pada posisi mencengkram.
Quadriplegia C8 harus mampu untuk hidup mandiri. Orang ini
mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan
mobil, merawat rumah dan perawatan diri.
3. Cedera Torakal
a. Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernapasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai dengan tingkat
penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul.
Timbul paralisis parsial dan otot adduktor pollici,interoseus, dan
otot lumbrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri,
dan suhu.
b. Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks abdomen.
Dari tingkat T6 kebawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan
pada tingkat T12, semua refleks abdominal ada. Ada paraslisis
spastik pada tubuh bagian bawah.
Batas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah :
T2 : seluruh tubuh samapi sisi dalam lengan

11
T3 : aksila
T5 : puting susu
T6 : prosesus xifoid
T7,T8 : margin kostal bawah
T10 : umbilikus
T12 : lipat paha
Fungsi usus dan kandung kemih dapat kembali dengan refleks
otomatisme.
4. Cedera Lumbal
a. Lesi l1-L5
Kehilangan sensori meliputi lesi pada L1-L5 yaitu :
L1 : semua area ekstermitas bawah, menyebar sampai lipat paha dan
bagian belakang dari bokong
L2 : ekstermitas bagian bawah, kecuali sepertiga atas aspek anterior
paha
L3 : ekstermitas bagian bawah dan sadel
L4 : sama denga pada lesi L3, kecuali aspek anterior paha
L5 : aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstermitas bawah
dan area sadel.
5. Cedera Sakral
a. Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3 sampai S5 tidak terdapat paralisis
dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan
glens penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

12
F. Pathway

Trauma pada servikalis tipe Trauma pada servikalis tipe


ekstensi Fraktur, subluksasi, disloksasi, fleksi
kompresi diskus, robeknya
ligamentum, dan kompresi
akar saraf

Cedera spinal tidak stabil Cedera spinal stabil

Fraktur kompresi baji Ligamen


Kompresi Risti injuri Spasme otot
utuh
korda

Nyeri
Spasme otot

Aktual/risiko:
Tindakan Pola napas
dekompresi tidak efektif. Kompresi diskus dan
dan Curah jantung komprei akar saraf di
stabilisasi Hambatan
menurun sisinya mobilitas

Fase asuhan Prognosis


perioperatif penyakit

Respons Paralisis ekstermitas


psikologis Kecemasan atas

13
G. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada cedera medulla spinalis antara lain :
1. Masalah pulmoner
2. Ulkus stres
3. Disrefleksia otonomik
4. Hiperkalsemia
5. Masalah tulang, sendi, dan otot
6. Sindrom nyeri kronis
7. Penyalahgunaan zat
8. Iskemia medulla spinalis

H. Pemeriksaan Penunjang
Tes diagnostik pada pasien dengan CMS meliputi pengkajian radiografi
dari fraktur bspinal dan kemungkinan kompresi medulla. MRI juga dapat
digunakan untuk mengkaji jumlah kompresi medulla dan jenis cedera dimana
medulla spinalis berlanjut (mis, hemoragi atau edema). CT-Scan akan
menggambarkan struktur spinal dan perispinal.
Tomografi atau politomografi dilakukan dengan CT-scan pada berbagai
area, tetapi masih digunakan untuk mengkaji cedera tulang secara luas.
Somatosensori menyebabkan potensial dapat dicatat untuk membuat
prognosis lebih jelas. Saraf perifer dibawah tingkat cedera dirangsang dan
respon neurologis (potensial penyebab) direkam dari korteks serebral melalui
elektroda kulit kepala.
Terdapat banyak pemeriksaan diagnostik yang penting dilakukan untuk
menentukan fungsi kandung kemih. Salah satunya adalah pielogram
intravena, yang merupakan seri radiografi yang menunjukan ukuran, lokasi
dan konfigurasi ginjal, ureter, dan menggambarkan kandung kemih.
Sistoskopi adalah pemeriksaan yang memungkinkan visualisasi langsung dari
kandung kemih dan uretra. Batu, infeksi, atau tumor pada kandung kemih
dapat didiagnosa. Pemeriksaan urodinamik sangat membantu pada pasien
dengan CMS. Pemeriksaan ini menentukan mekanis dari pengisian dan

14
pengosongan kandung kemih. Hasil dari pemeriksaan ini dapat menentukan
jenis terbaik progam kandung kemih yang akan diberikan kepada pasien.

I. Penetalaksaan Medis
1. Stabilisasi Hemodinamik
Selama periode awal pasca cedera, penatalaksaan medis sering
berfokus pada pengaturan tekanan darah dan frekuensi jantung. Perfusi
jaringan yang adekuat ke medulla spinalis serta ke organ vital lainnya
seperti ginjal perlu untuk dipenuhi. Penggantian cairan intravena secara
hati-hati akan memberikan hidrasi tanpa menyebabkan kelebihan cairan.
Vasopresor mungkin tidak diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah selama syok spinal, tetapi bila tekanan darah tidak cukup memadai
untuk mempertahankan perfusi jaringan pada organ vital tubuh maka
biasanya digunakan dopamin dengan dosis rendah. Bradikardi selama
syok spinal mungkin juga tidak membutuhkan tindakan, tetapi jika
diperlukan atropin dapat digunakan untuk mempercepat frekuensi
jantung.
2. Dekompresi dan Imobilisasi Medulla
Dekompresi medulla dengan mensejajarkan kembali kanal spinal
sering menjadi perhatian awal. Reduksi tertutup pada fraktur servikal
seringkali dilakukan dengan traksi angka. Reduksi bedah dapat
diindikasikan untuk fraktur spinal lain. Stabilisasi bedah dilakukan
dengan menempatkan batang Harrington, dengan lamektomi dan fusi,
atau dengan fusi anterior. Tulang untuk fusi biasanya diambil dari puncak
iliaka, tibia, atau iga.
3. Pernapasan
Penatalaksaan pernapasan meliputi trakeostomi, ventilasi mekanis,
atau pengobatan pernapasan sering dan batuk bantuan, tergantung pada
tingkat cedera.

15
4. Nutrisi
Nutrisi merupakan perhatian signifikan bahwa selama fase akut
cedera, harus tidak dilupakan sementara stabilisas hemodinamik
diperhatikan. Nutrisi optimal diperlukan untuk pencapaian stabilitas ini.
Bila pasien mengalami keseimbangan nitrogen aktif, ini menimbulkan
kerusakan kulit, penyembuhan jaringan buruk, dan kurang energi untuk
upaya rehebilitatif. Stres dari jenis cedera ini meningkatkan kebutuhan
kalori. Kebutuhan kalori harus dihitung untuk menjamin dukungan
nutrisi yang adekuat, tetapi tidak berlebiahan.
5. Mobilisasi Dini
Mobilisasi segera dengan perubahan posisi dan postur merupakan
perhatian medis pertama untuk mencegah komplikasi seperti hipotensi
postural, statis urine, dan komplikasi lain dari imobilisasi. Mobilisasi dini
juga memperbaiki pandangan psikologis pasien terhadap rehabilitasi dan
proses penyembuhan.
6. Tindakan terhadap Ileus Paralitik
Penetalaksaan medis awal meliputi status puasa untuk pasien,
terutama pada pasien cedera-servikal, dan sering dipasang selang
nasogastrik, dengan pengisapan intermiten, untuk ileus paralitik yang
sering menyertai CMS. Peristaltik harus dirangsang segera saat bising
usus ada. Ini dapat dilakukan dengan aman dengan pelunak feses, laksatif
ringan, atau supositoria. Enema, yang bukan jenis retensi-minyak harus
dihindari karena resiko perforasi usus tinggi.
7. Penatalaksaan Perkemihan
Nekrosis tubuler akut dapat terjadi selama 48 jam pertama cedera
sebagai akibat dari hipotensi. Pemasangan kateter urine indwelling perlu
untuk memungkinkan pengukuran per jam dari haluan urine selama fase
ini, dengan tujuan sedikitnya 30 ml/jam. Keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dipantau dengan ketat. Penglepasan kateter indwelling
segera saat syok spinal membaik akan menurunkan resiko infeksi.

16
Pembuatan dini progam kandung kemih yang tepat akan membantu
meningkatkan kemandirian. Kateter suprapubik dapat diindikasikan
untuk quadriplegia tingkat-tinggi tanpa koordinasi motorik untuk
melakukan kateterisasi intermiten.
8. Obat-obatan
Trauma pada medulla spinalis tampak sebagai akibat proses oto-
destruktif yang secara progesif memperlabat aliran darah medulla spinalis.
Penelitian saat ini menunjukan bahwa metilprednisolon pada dosis besar
dimulai dalam 8 jam cedera, memperbaiki fungsi motorik dan sensorik
pada pasien dengan CMS akut. Mekanisme pasti dari kejadian tidak jelas,
meskipun diperkirakan menjadi tiga kali lipat: fasilitasi jalannya implus
medulla spinalis, pencapaian aliran darah medula spinalis, dan penurunan
peroksidasi lipid spinal.
Heparin dosis rendah dapat digunakan secara profilaksis terhadap
trombosis vena, meskipun masih merupakn kontroversi
terhadap keefektifannya.
Obat-obatan perlu dalam pembuatan progam kandung kemih. Sebagai
contoh, α-bloker dapat diindikasikan untuk pasien dengan sfingter internal
spastik atau kaku, klolinergik untuk pasien dengan retensi urine, obat
antispatik untuk pasien dengan sfingter perkemihan eksternal spatik atau
kaku, atau relaksan detrusor untuk pasien dengan spame kandung kemih.

J. Penatalaksnaan Kolaboratif
1. Imobilisasi Spinal
Perawatan harus dilakukan ketika memindahkan pasien untuk
mencegah kerusakan vetebra dan medulla spinalis yang tidak stabil.
Pasien dapat ditahan dengan log-rolled di unit untuk mempertahankan
kesejajaran vertebra. Bila pasien dengan alat halo, perawatan harus
dilakukan untuk m,enggunakan perangkat keras dari rompi untuk
memindahkan pasien.

17
2. Kontrol Suhu
Cedera nedulla spinalis dialiran keluar torako-lumbal dari sistem
saraf simpatis memustuskan hubungan mekanisme termoregulasi talamik.
Sebagai akibatnya, pasien gagal untuk berkeringat melepaskan panas
tubuh dan tidak terjadi vasokontriksi, mengakibatkan ketidakmampuan
pasien untuk menggigil pada peningkatan panas tubuh. Derajat kontrol
dan disfungsi termal secara langsung proporsional terhadap luasnya area
tubuh pada kehilangan regulasi termal. Karenanya, quadreplegia
mempunyai kesulitan waktu termoregulasi lebih banyak dari pada
paraplegia.
Hipotermia biasanya dapat diatasi dengan menggunakan selimut
penghangat. Selimut pemanas listrik atau botol-botol air panas dapat
memberikan bahaya untuk bagian tubuh tak ada sensasi. Upaya dibuat
untuk menstabilkan suhu tubuh di atas 35,8o C. Dalam jangka panjang ,
kontrol termal dapat diperbudah dengan menggunakan pakaian yang
tepat sesuai kondisi cuaca.
3. Pencegahan Trombosis Vena dalam
Tindakan untuk mencegah trombosis vena dalam (TDV) meliputi
stoking antiembolik. Selama fase akut, alat yang secara berurutan
menekan ekstermitas bawah digunakan. Beberapa pusat CMS
menggunakan antikoagulasi profilaktik; yang lainnya mempercayakan
pada latihan gerak dan mobilisasi dini. Tempat tidur RotoaRest juga
disediakan untuk digunakan pada pencegahan komplikasi ini; ini
mempertahankan pasien pada gerakan kontinu. Rangsangan listrik
fungsional adalah teknologi dimana, dengan bantuan komputer
memberikan rangsangan neurologik listrik yang menyebabkan kontraksi
otot serta gerakan serta aktivitas fungsional dari ekstermitas paralisis.
Hiperkoagulibitas dari darh pasien diminimalkan dengan menjamin
hidrasi adekuat, dan bila pasien CMS wanita menggunakan pil KB,
mereka harus menghentikannya. Pasien harus diberi penyuluhan tentang
bahaya pil KB.

18
Vena kaki harus tidak digunakan pada sisi mana dilakukan
pengambilan darah ini ditakutkan akan menimbulkan trauma dinding
pembuluh darah yang meningkatkan agregasi trombosit dan
pembentukan bekuan. Perokok harus dianjurkan untuk berhenti, karena
dianggap nikotin menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlambat
aliran darah ke perifer.
4. Penatalaksaan Perkemihan
Sasaran rentang panjang dari penatalaksanaan kandung kemih, tanpa
memperhatikan tingkat lesi, adalah cara-cara dimana kandung kemih
kososng secara kontinu, urine steril, dan pasien tetap kontinen. Tujuan
akhir adalah memungkinkan pasien bebas dari kateter, dengan
pemeriksaan residu urine konsisten rendah, tidak ada infeksi saluran
perkemihan, dan tidak ada bukti kerusakan pada struktur saluran
perkemihan atas.
Satu metode dari penatalaksanaan kandung kemih dilakukan dengan
kateterisasi intermiten, dan ini dapat dilakukan pada fase pemulihan dini
setelah syok spinal telah membaik. Tujuan progam ini untuk melatih otot
detrusor untuk membebaskan klien dari kateter. Keuntungan metode ini
adalah tidak adanya iritan tersisa dalam kandung kemih; sebagai
akibatnya, resiko infeksi saluran perkemihan, abses periuretral, dan
epididimis dapat dikurangi.
Pada metode ini pasien awalnya dikateterisasi setian 4 jam.
Pencatatan meliputi jumlah berkemih dan jumlah residu. Bila terdapat
residu lebih dari 500ml, frekuensio kateterisasi harus ditingkatkan samapi
residu dibawah jumlah tersebut.spesimen urine diambil untuk kultur dan
sensivitas pada saat mulainya progam. Masukan cairan diantara
kateterisasi dapat diturunkan saat jumlajh berkemih meningkat atau saat
jumlah residu turun.
Sebelum prosedur kateterisasi pasien dibantu untuk mengosongkan
kandung kemih dengan manuver Crede dan Valsava dan dilatasi. Metode
ini merangsang lengkung refleks sakral.

19
Faktor-faktor yang dapat menghalangi upaya untuk mencapai
kontinensia urine meliputi impaksi usus, sistitis, batu kandunng kemih,
luka tekan, infeksi sistemik, dan ansietas.

K. Penatalaksanaan Kedaruratan
Penetalaksaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting,
karena penatalaksaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan dan
kehilangan neurologik. Korban kecelakaan kendaraan bermotor, cedera olah
raga, jatuh, atau trauma langsung pada kepala dan leher harus
dipertimbangkan mengalami cedera medulla spinalis.
1. Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal
(punggung), dengan kepala dan leher lam posisi netral untuk mencegah
cedera komplit.
2. Salah satu anggota tim harus mengontol kepala pasien untuk mencegah
fleksi, rotasi, atau ekstensi kepala.
3. Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinal atau alat
imobilisasi servikal dipasang.
4. Paling sedikit empat orang harus mengangkat korban dengan hati-hati
keatas papan untuk dipindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan
memutar dapat merusak medulla spinalis irevesibel yang menyebabkan
fragmen tulang vetebrata terputus atau patah.

20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CEDERA
MEDULLA SPINALIS

A. Pengkajian
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat
trauma pada servukal merupakan hal yang penting diwaspadai. Tingkat
kehati-hatian dari perawat yang tinggi dapat mencegah cedera spinal servikal
yang stabil dapat tidak menjadi cedera spinal yang tidak stabil karena pada
setiap fase awal kondisi trauma servikal, perawat adalah orang yang pertama
dan paling sering melakukan intervensi.

Manipulasi pada tulang belakang yang tidak rasional dapat merusak


kestabilan dari struktur servikal (tulang, diskus, ligamentum, dan medula
spinalis).
Implikasi dari hal di atas adalah kewaspadaan perawat untuk menjaga
kesejajaran dari tulang belakang untuk menghindari risiko tinggi injuri pada
korda, maka pada saat pengkajian harus dilakukan secara sistematis dan
rasional agar pada fase pengkajian dan saat setiap intervensi yang diberikan
tidak merusak kestabilan dari tulang belakang.
Adanya riwayat trauma servikal harus dikaji sepenuhnya untuk mecari
ada tidaknya cedera spinal. Untuk melakukan hal tersebut, pakaiannya
mungkin terpaksa di potng dari badannya sehingga sedikit mungkin
mengganggu posisi kenetralan leher. Adanya keluhan nyeri atau kekakuan
pada leher atau punggung harus ditanggapi secara serius, sekalipun klien
dapat berjalan atau bergerak tanpa banyak mengalami gangguan.
Tanyakanlah mengenai rasa baal, paraestesia, atau kelemahan pada
ekstermitas atas dan bawah.
Mekanisme trauma dari riwayat kecelakaan dapat memberi petunjuk
yang penting seperti jatuh dari tempat tinggi, cedera akibat terjun, benturan
pada kepala, tertimpa reruntuhan atau ambruknya langit-langit, atau sentakan

21
mendadak pada leher akibat tubrukan dari belakang (whisplash injury) ini
semua merupakan penyebab kerusakan spinal yang sering ditemukan.
Tanyakan apakah klien yang mengalami cedera sebelumnya, menggunakan
obat-obatan, atau jatuh setelah menggunakan alkohol.
Pada status emergensi klien dengan riwayat trauma servikal yang jelas
dan diindikasikan cedera spinal tidak stabil, apabila pengkajian anamnesis
dapat dilakukaan maka status jalan napas klien optimal dan anamnesis
diusahakan terfokus pada pengkajian primer, karena pada fase ini klien
berisiko tinggi untuk mengalami kompresi korda yang berdampak pada henti
jantung-paru. Implikasi dari situasi ini adalah pengkajian primer dilakukan
disertai intervensi dengan suatu hal yang prinsip untuk selalu menjaga posisi
leher/servikal dalam posisi netral dan kalau perlu klien dipasang ban servikal.
Apabila pada kondisi ditempat kejadian di mana klien mengalami cedera
spinal servikal tetapi masih memakai helm, maka diperlukan teknik melepas
helm dengan tetap menjaga posisi leher dalam posisi netral. Selanjutnya peran
perawat dalam melakukan transportasi dari tempat kejadian ke tempat
intervensi lanjutan trauma servikal di RS harus dilakukan secara hati-hati,
peran monitoring dan kolaborasi untuk secepatnya untuk dilakukan
stabilisasi.
Pengkajian lanjutan di rumah sakit tetap memperhatikan kondisi
stabilisasi pada servikal danmonitoring pada jalan napas. Pada setiap
melakukan transportasi klien, perawat tetap mempriorotaskan kesejajaran dari
kurvatura tulang belakang dengan tujuan untuk menghindari risiko injuri pada
spinal dengan teknik pengangkatan cara log rolling dan menggunakan long
backboard.

B. Pemeriksaan Fisik
Kaji keadaan umum (KUI), TTV, adanya defisit neurologis, dan status
kesadaran pada fase awal kejadian trauma, terutama pada klien yang
diindikasikan cedera spinal tidak stabil. Setiap didapatkan adanya perubahan

22
pada KU,TTV, defisit neurologis, dan tingkat kesadaran secara bermakna
harus secepatnya dilakukan kolaborasi dengan dokter.
Defek neurologis ditentukan oleh lokasi dan kekuatan trauma. Syok spina
terjadi bila trauma terjadi pada servikal atau setinggi torasik. Teknik
pemeriksaan colok dubur dengan menilai refleks bulbokavernosus untuk
merasakan adanya refleks jepitan pada sfinger ani pada jari akibat stimulus
nyeri yang kita berikan pada glans penis atau klitoris atau dengan menarik
kateter untuk menilai apakah klien mengalami syok spinal. Gejala awal syok,
klien akan mengalami paralisis, kehilangan refleks tendon dan abdominal,
refleks Babinski positif dan terjadinya retensi urin dan retensi alvi, dapat pula
diikuti syok. Apabila adanya kompresi korda penilaiaan fungsi respirasi di
mana kapasitas vital menurun. Dalam keadaan ini diperlukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Kelumpuhan saraf perifer memerlukan evaluasi sampai
diputuskan untuk dilakukan operasi. Klien dengan cedera spinal stabil,
keadaan umum, TTV, defisit neurologis, dan status kesadaran biasanya tidak
mengalami perubahan.

C. Pada Pengkajian Fokus


Lihat adanya deformitas pada leher. Kaji adanya memar (pada fase awal
cedera) baik pada leher, muka, dan bagian belakang telinga. Tanda memar
pada wajah, mata, atau dagu merupakan salah satu tanda adanya cedera
hiperekstensi pada leher. Memar pada muka atau abrasi dangkal pada dahi
menunjukkan adanya kekuatan yang menyebabkan hiperekstensi. Leher
mungkin berposisi miring atau klien dapat menyangga kepala dengan
tangannya. Bila klien terlengtang, dada dan perut dapat diperiksa untuk
mencari ada tidaknya cedera yang menyertai. Kemudian tangkai dengan cepat
diperiksa untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda defisit neurologis. Untuk
memeriksa punggung, klien diputar pada satu sisi dengan sangat berhati-hati
dengan menggunakan teknik log rolling.
Pada pemeriksaan primer pakaian klien tidak dilepas dan hanya diperiksa
dengan cara palpasi punggung. Pada pemeriksaan sekunder di rumah sakit,

23
pakaian perlu dibuka untuk menilai adanya kelainan punggung. Adanya
memar menunjukkan kemungkinan tingkat cedera. Prosesus spinosus
dipalpasi dengan hati-hati. Kadang-kadang suatu celah dapat teraba bila
ligamen tersobek, keadaan ini atau hematom pada spinal merupakan tanda
yang menakutkan. Tulang dan jaringan lunak diperiksa dengan pelan-pelan
untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan. Gerakan pada spinal dapat berbahaya
karena dapat membahayakan korda jadi manipulasi gerakan berlebihan harus
dihindari sebelum diagnosis ditegakkan.
Pemeriksaan neurologis penuh dilakukan pada semua hal, pemeriksaan
ini mungkin harus diulangi beberapa kali selama beberapa hari pertama. Pada
awalnya, selama fase syok spinal mungkin terdapat paralisis lengakap dan
hilangnya perasaan dibawah tingkat cedera, keadaan ini dapat berlangsung
selama 48 jam atau lebih dan selama periode ini sulit diketahui apakah lesi
neurologis lengkap atau tidak lengkap. Penting untuk menguji ada tidaknya
refleks primitif kulit anal dan sensai perianal. Sekali refleks primitif muncul
kembali, syok spinal telah berakhir kalau semua fungsi motorik dan sensorik
masih tak ada, lesi neurologis bersifat lengkap, sensasi perianal yang utuh
menunjukkan lesi yang tidak lengkap dan dapat terjadi penyembuhan lebih
jauh.

D. Pengkajian pada Trauma Servikal


Segmen Fungsi fisiologis Kondisi patologis
C1 Segmen keluar pleksus Beban berat yang mendadak di atas kepala dapat
kardiak dalam kontrol menyebabkan kekuatan kompresi yang dapat
jantung dan pernapasan. menyebabkan fraktur pada cincin atlas. Gangguan
pada segmen ini dapat merusak fungsi jantung-
paru.
C2 Segmen keluar pleksus Farktur C2 terutama pada kecelakaan mobil
kardiak dalam kontrol dimana kepala membentur kaca depan, memaksa
jantung dan pernapasan. leher berhiperekstensi. Kalau kedua pedikulus
mengalami fraktur dan bergeser secara hebat,

24
kerusakannya akan menyebabkan kematian.
C3 Segmen keluar pleksus Cedera hiperekstensi C3, tulang tidak rusak, tetapi
kardiak dalam kontrol ligamen longitudinal anterior sobek. Kerusakan
jantung dan pernapasan. neurologis bervariasi dan mungkin akibat terjadi
akibat kompresi antara diskus dan ligamentum
flavum, edema dan hematomielia dapat
menyebabkan sindrom medula sipnalis sentral
akut.
C4 Kontrol kepala, mulut, Sublukasi dan dislokasi pada segmen ini
menaikkan bahu dan merupakan cedera fleksi murni, tulang tetap utuh
skapula. Kontrol gerakkan tetapi ligamen posterior sobek. Satu vertebra
diafragma. miring kedepan di alas vertebra yang ada
dibawahnya, sehingga ruang interspinosa dibagian
posterior terbuka.
C5 Fleksi bahu, fleksi siku. Segmen C5-C6 merupakan kurvatura yang paling
menonjol dari servikal sehingga mempunyai risiko
tinggi cedera.
C6 Fleksi siku, rotasi dan Fraktur kompresi pada segmen ini sering
abduksi bahu, ekstensi ibu disebabkan cedera fleksi, korpus terkompresi
jari. tetapi ligamen posterior tetap utuh dan fraktur
stabil.
C7 Ekstensi siku, gerakkan Fraktur avulasi pada proseus spinosus C7 dapat
bahu, ekstensi ruas jari-jari terjadi oleh kontraksi otot yang hebat.
tangan.

E. Pemeriksaan Diagnostik

25
Gambaran anatomi dari servikal memberikan parameter pada perawat
setiap adanya kelainan atau perubahan yang didapat pada pemeriksaan
diagnostik.
Pada pemeriksaan radiologi servikal didapatkan:
1. Fraktur odontoid didapatkan gambaran pergeseran tengkorak ke depan.
2. Fraktur C2 didapatkan gambaran fraktur.
3. Fraktur pada badan vertebra.
4. Fraktur kompresi.
5. Sublukasi pada tulang belakang servikal.
6. Dislokasi pada tulang belakang servikal.

F. Dignosa Keperawatan
1. Aktual/risiko tinggi injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan
dengan kompresi korda sekunder dari cedera spinal servikal tidak stabil,
manipulasi berlebihan pada leher.
2. Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan
kelemahan otot-otot pernapasan, kelumpuhan otot diagfragma.
3. Aktual/risiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
penurunan denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, penurunan kontraksi
otot jantung sekunder dari hilangnya kontrol pengiriman dari refleks
baroreseptor akibat kompresi korda.
4. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikalis, spasme
otot servikalis sekunder dari cedera spinal stabil dan tidak stabil.
5. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan tidak adekuatnya
pengiriman pesan kontrol motorik sekunder dari kompresi akar saraf
servikal.
6. Kecemasan yang berhubungan dengan prognosis penyakit sekunder dari
respons psikologis kondisi penyakit.

G. Rencana Intervensi

26
Aktual/risiko tinggi injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan
kompresi korda sekunder dari cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi
berlebihan pada leher.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam risiko injuri tidak terjadi.
Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, klien sadar GCS (4,5,6), tidak ada tanda-
tanda syok spinal.
Intervensi Rasionalisasi
Monitor TTV Penurunan denyut jantung dan tekanan
darah merupakan tanda awal dari
hilangnya sensor pengiriman dari
refleks baroreseptor dampak dari
kompresi korda.
Monitor tiap jam akan adanya syok Cedera pada vetebra servikal dapat
spinal pada fase awal cedera selama 48 mengakibatkan terjadinya syok spinal.
jam. Syok spinal adalah tidak berfungsinya
sistem saraf otonom dalam mengatur
tonus pembuluh darah dan cardiac-
ouput. Gambaran klasik berupa
hipotensi, bradikardi, paralisis, tes
refleks bulbokavernosus pada colok
dubur didapatkan penjepitan anus (+).
Pada awalnya, selama fase syok spinal,
mungkin terdapat paralisis lengkap dan
hilangnya perasaan di bawah tingkat
cedera. Keadaan ini dapat berlangsung
selama 48 jam dan selama periode ini
sulit diketahui apakah lesi neurologis
lengkap atau tidak lengkap.
Lakukan teknik pengangkatan cara log Teknik ini mempunyai prinsip
rolling atau menggunakan long memindahkan kolumna vertebralis
backboard pada setiap transportasi sebagai satu unit dengan kepala dan

27
klien. pelvis dengan tetap menjaga kesejajaran
tulang belakang untuk menghindari
kompresi korda.
Istirahatkan klien dan atur posisi Posisi fisiologis akan menurunkan
fisiologis. kompresi saraf leher.
Imobilisasi leher terutama pada klien Pemasangan fiksasi kolar servikal dapat
yang mengalami cedera spinal tidak menjaga kestabilan dalam melakukan
stabil. mobilitas leher.
Pada saat pemasangan collar cervival
(ban leher) perawat penting menjaga
kesejajaran dari posisi leher dalam
posisi netral agar jangan terjadi
kompresi korda.
Beri penjelasan tentang kondisi klien. Usaha untuk meningkatkan kooperatif
klien terhadap intervensi yang diberikan
dan membantu menurunkan kecemasan
klien.
Kolaborasi dengan dokter :
- Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan utama dalam menilai
sejauh mana kerusakan yang terjadi
pada cedera spinal servikal.
- Untuk dilakukan fiksasi dari luar Pemasangan halo-body cast dilakukan
dengan halo-body cast pada klien untuk menjaga kestabilan servikal.
dengan fraktur kompresi C3-T1 Teknik pemasangan oleh medis dengan
cara klien pada posisi telentang dan
kepalanya disangga oleh seseorang
asisten, alat halo dipertahankan pada
posisi tepat dibawah bagian terlebar
tengkorak. Dengan anestesis lokal,
empat pen steril dimasukkan ke lubang
halo dan disekrupkan ke bagian luar
tengkorak, pen kemudian dikunci pada

28
posisinya. Jaket gips diterapkan
membentang dari bahu dan dibentuk di
alas krista iliaka. Halo difiksasi pada
gips badan.
- Untuk dilakukan dekompresi dan Tindakan medis dekompresi untuk
stabilisasi terutama pada klien mencegah terjadinya kompresi korda.
dengan cedera spinal tidak stabil Dekompresi diikuti dengan plat yang
atau mempunyai risiko tinggi dipasang pada korpus-korpus vetebra
kompresi korda servikal. yang utuh dapat menjaga kestabilan
servikal sampai masa penyembuhan
dari kerusakan servikal.

Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan


kelemahan otot-otot pernapasan, kelumpuhan otot diagfragma.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi ketidakefektifan pola napas.
Kriteria hasil: RR dalam batas normal (12-20x/menit), tidak ada tanda-tanda
sianosis, analisa gas darah dalam batas normal, pemeriksaan kapasitas paru
normal.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi fungsi pernapasan, catat Distress pernapasan dan perubahan pada
frekuensi pernapasan, dispnea, atau TTV dapat terjadi sebagai akibat stres
perubahan TTV. fisilogi dapat menunjukkan terjadinya
spinal syok. Trauma pada C1-C2
menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan secara persial, karena otot
pernapasan mengalami kelumpuhan.
Pertahankan perilaku tenang, bantu Membantu klien mengalami efek
klien untuk kontrol diri dengan fisiologi hipoksia, yang dapat
menggunakan pernapasan lebih lambat dimanifestasikan sebagai
dan dalam. ketakutan/ansietas.
Pertahankan jalan napas, posisi Klien dengan cedera servikalis akan
kepala tanpa gerak. membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/mempertahankan jalan napas.

29
Observasi warna kulit. Menggambarkan adanya kegagalan
pernapasan yang memerlukan tindakan
segera.
Kaji distensi perut dan spasme otot. Kelainan penuh pada perut disebabkan
karena kelumpuhan diafragma.
Lakukan pengukuran kapasitas vital, Menentukan fungsi otot-otot pernapasan.
volume tidal, dan kekuatan Pengkajian terus-menerus untuk
pernapasan. mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan.
Panatau analisa gas darah (AGD). Untuk mengetahui adanya kelainan
fungsi pertukaran gas sebagai contoh
hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2
meningkat.
Berikan oksigen dengan cara yang Metode dipilih sesuai dengan keadaan
tepat. isufisiensi pernapasan.
Letakkan kantung resusitasi di Kantung resusitasi/manual ventilasi
samping tempat tidur dan manual sangat berguna untuk mempertahankan
ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat fungsi pernapasan jika terjadi gangguan
digunakan. pada alat ventilator secara mendadak.

Aktual/risiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan


penurunan denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, penurunan kontraksi
otot jantung sekunder dari hilangnya kontrol pengiriman dari refleks
baroreseptor akibat kompresi korda.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi penurunan curah jantung.
Kriteria hasil: frekuensi nadi dalam batas normal (12-20xmenit), kualitas dan
irama nadi dalam batas normal, TD dalam batas normal 120/80 mmHg, CRT > 3
detik, akral hangat.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji dan lapor tanda penurunan curah Kejadian mortality dan morbidity
jantung. sehubungan dengan cedera spinal C1-C6

30
yang tidak stabil meningkat sampai 48
jam pertama pascacedera.
Palpasi nadi perifer. Penurunan curah jantung dapat
menunjukkan menurunnya nadi, radial,
popliteal, drosalis pedis, dan postibial,
nadi mungkin cepat hilang atau tidak
teratur untuk dipalpasi.
Pantau adanya haluaran urine, catat Ginjal berespon untuk menurunkan
haluaran dan kepekatan/konsetrasi curah jantung dengan menahan cairan
urine. dan natrium, haluaran urine biasanya
menurun selama dua hari karena
perpindahan cairan ke jaringan tetapi
dapat meningkat pada malam hari
sehingga cairan berpindah kembali ke
sirkulasi bila klien tidur.
Kaji perubahan pada sensorik contoh Dapat menunjukkan tidak adekuatnya
latergi, cemas, dan depresi. perfusi serebral sekunder terhadap
penurunan curah jantung.

Berikan istirahat psikologi dengan Stress emosi menghasilkan


lingkungan dengan tenang. vasokonstriksi, yang terkait dengan
meningkatkan TD serta frekuensi/kerja
jantung.
Berikan oksigen tambahan dengan Meningkatkan sediaan oksigen untuk
kanula nasal/masker sesuai dengan kebutuhan miokard untuk melawan
indikasi. efek hipoksia/iskemia.
Pantau pemeriksaan EKG. Untuk menilai adanya kelainan irama
jantung akibat kehilangan kontrol
otonom dari kerusakan pengiriman
pesan oleh baroreseptor efek dari
kompresi korda.

Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikalis, spasme otot

31
servikalis sekunder dari cedera spinal stabil dan tidak stabil.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi.
Kriteria hasil: secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi,
skala 0-1 (0-4) dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau
menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
dan non-invasif. telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri
keperawatan: Posisi fifiologis akan menurunkan
1. Istirahatkan leher, atur posisi kopresi saraf leher. Pemasangan fiksasi
fisiologis, dan pasang ban leher. kolar servikal dapat menjaga kestabilan
dalam melakukan mobilitas leher.

2. Lakukan masase pada otot leher. Masase ringan dapat meningkatkan


aliran darah dan membantu suplai darah
dan oksigen ke area nyeri leher akibat
spasme otot.
3. Ajarkan teknik relaksasi Meningkatkan asupan O2 sehingga akan
pernapasan dalam pada saat nyeri menurunkan nyeri sekunder dari
muncul. iskemia.
4. Manajemen lingkungan; Lingkungan tenang akan
lingkungan tenang dan batasi menurunkanstimulus nyeri eksternal dan
pengunjung. menanjurkan klien untuk beristirahat
dan pembatasan pengunjung akan
membantu meningkatkan kondisi O2
ruangan yang akan berkurang apabila
banyak pengunjung yang berada di
ruangan.
5. Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi (pengalihatn perhatian) dapat
nyeri. menurunkan stimulus internal dengan

32
mekanisme peningkatan produksi
endorfin dan enkefalin yang dapat
memblok reseptor nyeri untuk tidak
dikirimkan ke korteks serebri sehingga
menurunkan persepsi nyeri.
Tingakatkan pengetahuan tentang Pengetahuan yang akan dirasakan
penyebab nyeri dan ,menghubungkan membantu mengurangi nyerinya. Dan
berapa lama nyeri akan berlangsung. dapat membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Cedera medulla spinalis merupakan cedera yang mengenai servikalis


vertebratalis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang.

Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat
hiperrefleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang berakang.

Kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang


permanen karena tidak akan terjadi regerasi pada jaringan saraf. Pada fase
awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi
disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan
oleh tekanan, memar, atau edema.

33
B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan


beberapa saran sebagai pertimbangan untuk meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan khususnya klien pada kegawatdaruratan cedera medulla
spinalis yaitu:

1. Tenaga perawat diharapkan untuk dapat memahami konsep dan kerja


sama tim baik dari dari perawat maupun tim medis demi kelancaran
asuhan keperawatan pada klien

2. Diharapkan kepada perawat pelaksana melakukan pendokumentasian


semua tindakan yang telah dilakukan kedalam catatan keperawatan
sehingga memudahkan perawat berikutnya untuk melaksanakan
tindakan yang belum dilaksanakan dan untuk pemeriksaan
penunjang sangat diperlukan karena sangat penting untuk mengatasi
masalah- masalah yang dihadapi oleh klien.

34

Anda mungkin juga menyukai