Anda di halaman 1dari 8

Home Ayo Netizen Ayo News Ayo Komunitas Ayo Persib Ayo Unik Ayo Olahraga Ayo

Sehat Ayo Wisata Ayo Foto Ayo Video Index Home Netizen Mau Tunggu Dampak
Negatif Mikroplastik? Selasa, 04 Desember 2018 Netizen Mikroplastik Di Indonesia,
plastik umumnya telah menjadi bagian dalam kehidupan di masyarakat. Namun, apa
jadinya jika mikroplastik, plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter, berada di
dalam tubuh manusia? Penelitian dari Universitas Vienna dan Badan Lingkungan Hidup
Vienna, Austria akhirnya membuktikan mikroplastik, plastik berukuran kurang dari 5
milimeter, telah memapar manusia. Riset ini menemukan rata-rata 20 potongan
mikroplastik di dalam 10 gram kotoran manusia (Kompas, 26/10/2018). Efek dan
dampak mikroplastik bagi tubuh manusia memang perlu dikaji lebih dalam lagi. namun,
menurut beberapa ahli, mikroplastik yang sulit terurai, akan mengendap dalam organ
tubuh manusia dan mengganggu kinerjanya. Mikroplastik dapat mengganggu
keseimbangan tubuh karena mikroplastik adalah benda asing dalam tubuh. Selain efek
mikroplastik bagi tubuh manusia yang masih perlu dikaji, telah ada pula pembahasan
soal dampak mikroplastik bagi hewan. Banyak hewan di laut mengonsumsi plastik
karena menganggap plastik yang ada di laut sebagai makanan. Plastik tidak dapat
dicerna dan akan terus berada pada organ pencernaan hewan sehingga menyumbat
saluran pencernaan. Resiko ini dapat terjadi misalnya pada ikan, penyu, dan kura-kura.
Dilansir dari laman Kompas.com, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Reza mengatakan saluran pencernaan penyu akan kacau karena usus terobek
plastik dan ini dapat mengancam kematiannya. Mikroplastik pun dapat berdampak
negatif pada ikan. Masih menurut reza, pernah ada ikan mengidap tumor setelah
menelan mikroplastik. Masalah mikroplastik ini telah menjadi ancaman yang nyata.
Meski pembuktian kandungan mikroplastik dalam tubuh manusia dilakukan di Eropa.
Indonesia tetap perlu melakukan penanganan serius. Riset-riset sebelumnya
menunjukkan kandungan mikroplastik telah ada di aliran sungai Indonesia. Riset
lainnya, membuktikan bahwa air minum kemasan di Indonesia juga telah terpapar
mikroplastik. Apakah kita akan menunggu pembuktian dampak negatif mikroplastik bagi
tubuh manusia? Tentu tidak boleh seperti itu. Masalah mikroplastik telah berdampak
buruk bagi lingkungan dan makhluk hidup seperti hewan laut. Hal ini telah menjadi
peringatan bagi manusia untuk segera mengatasi masalah plastik. Upaya mengatasi
mikroplastik yang membahayakan lingkungan dan makhluk hidup ini perlu dilakukan
berbagai pihak. Dari sisi formal, ada kebijakan pemerintah, tapi hal ini perlu diiringi
penerapannya. Pemerintah telah mengatur soal Penanganan Sampah di Laut dalam PP
No.83 tahun 2018. Dalam peraturan ini, kementerian memiliki perannya masing-
masing. Hal ini harus diimplementasikan, jangan biarkan tinggal aturan. Penanganan
sampah plastik di Indonesia memang dibutuhkan untuk mengurangi mikroplastik.
Sekitar 1,29 juta ton dari 17 juta ton sampah yang bocor ke laut adalah sampah plastik.
Penanganan sampah diperlukan karena mikroplastik berasal dari makroplastik, sampah
plastik yang ukurannya lebih besar. Potongan plastik dapat berpindah dari konsumen 1
ke konsumen 2 dan ke manusia melalui rantai makanan. Hal ini misalnya dari masalah
sampah laut yang memapar ikan lalu ikan tersebut dimakan manusia dan akhirnya
manusia terpapar mikroplastik. Dalam PP No.83 tahun 2018, salah satu aturannya
melibatkan peran Menteri Lingkungan Hidup untuk menyusun peta pengurangan
sampah oleh produsen. Limbah industri memang menjadi salah satu penyebab adanya
mikroplastik. Oleh karena itu, produsen dan pihak swasta pun berperan dalam upaya
menangani limbah plastik. Dalam hal ini, kementerian tak dapat berjalan sendiri.
Pemerintah yang telah memiliki aturan soal penanganan sampah perlu menegakkannya
dengan tegas. Jika ada penyelewengan dalam pengelolaan sampah plastik, hendaknya
pemerintah perlu memberika sanksi tegas terhadap pelanggaran tersebut. Namun,
bukan hanya pemerintah dan pihak swasta atau produsen yang berperan dalam
penanganan mikroplastik ini. Masyarakat pun perlu turut andil. Masyarakat bisa mulai
mengubah gaya hidupnya untuk mengurangi penggunaan plastik. Beberapa upaya yang
dapat dilakukan masyarakat dalam mengurangi mikroplastik yaitu menggunakan
perlatan yang bisa digunakan berulang, bukan plastik sekali pakai seperti, tempat
minum (tumbler), tempat makan, dan yang juga sedang tren yaitu sedotan alumunium.
Langkah selanjutnya juga masyarakat dan pihak-pihak yang mampu, dapat melakukan
daur ulang sampah. Dengan begitu, sampah plastik yang dibuang ke laut pun akan
berkurang. Pengubahan gaya hidup di masyarakat memang bukan hal yang gampang,
tapi bukan tidak mungkin. Percuma jika telah ada aturan dan kebijakan pemerintah, tapi
gaya hidup masyarakat masih gemar menggunakan plastik sekali pakai dan
membuangnya begitu saja ke laut. Upaya dari masyarakat penting dilakukan karena
limbah rumah tangga merupakan salah satu penyebab polusi mikroplastik. Dalam
menggaungkan masalah mikroplastik, oraganisasi, masyarakat, dan akademisi pun
dalam terlibat. Organisasi seperti organisasi swasta atau komunitas dapat melakukan
kampanye untuk menangani mikroplastik. Ini dapat dilakukan dengan turun langsung
atau melalui kanal-kanal penyebaran informasi lainnya. Misalnya, kampanye
#pay4plastic yang mengusung diet plastik atau gerakan menghadap laut dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan berupa kegiatan membersihkan pesisir. Akademisi
pun dapat mengampanyekan lewat tulisan di media massa atau media sosial.
Penginformasian hasil penelitian soal mikroplastik dan bahayanya pun perlu dilakukan
untuk memperkuat kampanye dan pemahaman seluruh masyarakat. Pada akhirnya,
seluruh elemen perlu turut berupaya menangani masalah mikroplastik yang
mengancam ini. Dimulai dari sekarang. Jangan menunggu pembuktian efek negatif
mikroplastik. Seperti kata pepatah, “lebih baik mencegah daripada mengobati” sehingga
kita tidak akan sampai pada peribahasa “nasi telah menjadi bubur”.

Mungkin langkah bijak harus dari diri sendiri dengan menyadari potensi cemaran yang
ada. Lepasnya mikroplastik dam nanoplastik bisa dihindari dengan penanganan
kemasan yang baik. Menghindarkan dari paparan panas dan cahaya secara langsung,
menghindari benturan dan gesekan, tidak mencampur zat-zat kimia, dan memerhatikan
batas pemakian, apakah dipakai sekali atau bisa dipakai berulang. Menjadi konsumen
harus cerdas bisa memilah dan memilih kemasan plastik.

Perubahan paradigma merupakan perubahan sosial yang terkait

pola pikir atau mainset masyarakat. Secara teoritis, perubahan sosial

juga mengindikasikan adanya perubahan pada tataran struktur

seperti pada sistem sosial maupun praktik-praktik sosial yang ada di

masyarakat.37 Misalnya, dari pola pikir yang biasa dilayani menjadi

sosok yang mengambil inisiatif sendiri. Ataupun contoh lain; yang pada

awalnya suka membuang sampah sembarang menjadi tersadarkan mau


membuang sampah pada tempatnya. Maka, jangan dibayangkan bahwa

merubah paradigma masyarakat tidak semudah seperti membalik

telapak tangan. Proses ini tentu saja membutuhkan waktu, komitmen

yang kuat serta kesabaran dan ketelatenan.

Dalam perpektif sosiologis, paradigma dapat diartikan pandangan

yang mendasar mengenai pokok persoalan atau terhadap obyek tindakan

yang akan dilakukan oleh seorang aktor.38 Dari sini dapat dipahami

bahwa selain membutuhkan proses yang panjang dan mungkin terasa

melelahkan, perubahan paradigma masyarakat juga menuntut strategi

yang tepat di samping tindakan nyata yang sesuai dengan harapan

masyarakat yang bersangkutan atau subyek yang menjadi sasaran

program. Oleh karena itu perubahan paradigma dapat dianggap sebagai

prasyarat awal untuk terjadinya perubahan perilaku pada individu

maupun kelompok masyarakat, yang dalam konteks ini adalah cara

padang dalam menilai dan memperlakukan sampah plastik sehingga


tidak menjadi ancaman, yakni menyebabkan degradasi lingkungan

yang pada gilirannya dapat membahayakan kehidupan spesies manusia

itu sendiri.

Menyangkut tanggung jawab warga negara terhadap ancaman

degradasi lingkungan yang berlangsung selama ini semestinya kita

semua harus sadar dan saling bahu-membahu dan berkerja sama dalam kebaikan dan
taqwa (ta’awun ‘ala al-Birri wa at-Taqwa). Sungguh

menyedihkan kondisi Indonesia pada 2016 dinyatakan menduduki

peringkat kedua di dunia dalam hal penyumbang sampah terbesar

setelah China. Dan dari hasil penelitian diperoleh fakta bahwa sampah

yang ada di kawasan pesisir didominasi oleh plastik dengan prosentase

antara 36 hingga 38 persen.39 Paparan data dan fakta tersebut cukup

menjelaskan bahwa produksi sampah di Indonesia terus meningkat

pada tahap yang mengkhawatirkan, terutama penggunaan plastik dan

derevasinya. Pada tahun 2012, beberapa studi dilaksanakan untuk


meneliti tentang penanganan sampah. Hasilnya, didapati bahwa

sampah-sampah yang diproduksi ini ditindaklanjuti tanpa dikelola (7%),

dibakar (5%), dikompos dan didaur ulang (7%), dikubur (10%), dan—

yang paling besar—ditimbun saja di TPA alias Tempat Pembuangan

Akhir (69%).40

B. Meningkatkan Partisipasi dan Peran Masyarakat

Setelah membuka kesadaran dan muncul perubahan paradigma

masyarakat pada ranah sikap dan perilaku maka langkah selanjutnya

yang dipandang perlu adalah meningkatkan partisipasi dan peran

masyarakat dalam menanggulangi bahaya sampah plastik.

Mengatasi ancaman sampah plastik tidak cukup dilakukan pihak

pemerintah atau negara. Tanpa adanya partisipasi konkrit dari

masyarakat dan pihak-pihak pelaku usaha (private sector) sudah barang

tentu pemerintah akan kuwalahan mengatasi persoalan degradasi

lingkungan yang diakibatkan oleh membanjirnya volume, jenis dan

keragaman sampah plastik seiring meningkatnya populasi penduduk


dan pola konsumsi yang semakin tinggi dan sulit dikendalikan.

B. Peningkatan Kapasitas Masyarakat

Sebuah realitas sosial yang tidak bisa dipungkiri adalah, masyarakat

awam pada umumnya masih menganggap sumber daya alam yang

dianugerahkan Tuhan akan tersedia selamanya dalam jumlah yang

tidak terbatas, secara cuma-cuma. Adanya air, udara, iklim, mineral

serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang

tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan

hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan kelestarian

fungsinya sendiri. Pandangan demikian jelas-jelas sangat menyesatkan,

dan bersifat fatalistik. Akibatnya, masyarakat tidak termotivasi untuk

ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup

di sekitarnya. Hal ini berarti mereka telah secara terang-terangan

membiarkan perkembangan suatu ancaman bencana alam sebagai

dampak pembiaran sikap acuh tak acuh terhadap sumber-sumber


degradasi lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai