Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Penyuluhan Kesehatan

Promosi kesehatan menurut WHO adalah suatu proses yang

memungkinkan individu untuk meningkatkan control dan

mengembangkan kesehatan mereka.

Penyuluhan adalah bagian dari promosi kesehatan dan

merupakan proses perubahan perilaku dikalangan masyarakat agar

mereka tahu, mau dan mampu melakukan perubahan demi

tercapainya peningkatan produksi, pendapatan atau keuntungan dan

perbaikan kesejahteraannya (Subejo,2010).

Pengertian penyuluhan kesehatan sama dengan pendidikan

kesehatan masyarakat (Publik Health Education), yaitu suatu kegiatan

atau usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada

masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan

adanya pesan tersebutindividu dapat memperoleh pengetahuan

tentangkesehatanyang lebih baik.Akhirnya pengetahuantersebut

diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya. Dengan kata

lain, dengan adanya pendidikan tersebut dapat membawa akibat

terhadap perubahan perilaku sasaran (Wordpress, 2012).


Penyuluhan kesehatan juga suatu proses, dimana proses

tersebut mempunyai masukan (input) dan keluaran (output). Di dalam

suatu proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya tujuan

pendidikan yakni perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor

(Midwifery, 2009).

B. Tinjauan Umun Tentang Sikap

1. Definisi sikap

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan Sikap

mempunyai tingkat berdasarkan intensitas terdiri dari menerima,

menanggapi, menghargai, bertanggung jawab. Sikap juga dapat dibentuk

melalui pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting,

pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan agama,

dan pengaruh faktor emosional (Notoadmodjo, 2012).

Sikap merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus

atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi

yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak

baik, dan sebagainya). Sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala

dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan

pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain

(Notoadmodjo, 2012).
sikap merupakan suatu tingkatan afek, baik bersifat positif maupun

negatif dalam hubungannya dengan obyek-obyek psikologis.Sikap

merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu

perbuatan atau tingkah laku.Sikap merupakan hasil dari integrasi tiga

komponen, yaitu (1) komponen kognitif, (2) komponen afektif, (3)

komponen psikomotorik. salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan

bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, dalam kata

lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktifita,

akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan), atau reaksi

tertutup

sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap obyek sikap

yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif (emosi) dan

perilaku.Sehingga dari definisi-definisi diatas menunjukkan bahwa secara

garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang umumnya

berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), peilaku (cenderung

mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai) dan emosi

(menyebabkan respon-respon yang konsisten) .

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan, untuk

mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata, maka diperlukan

faktor pendukung lain. Tindakan merupakan aturan yang mengadakan


adanya hubungan erat antara sikap dan tindakan, sikap merupakan

pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak.

Menurut Azwar (2011) sikap terdiri dari tiga komponen yang saling

menunjang, yaitu: a) Komponen kognitif, merupakan representasi apa

yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi

kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat

disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah

isu atau yang controversial, b)Komponen afektif, merupakan perasaan

yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang

biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan

aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin

adalah mengubah sikap seseorang, komponen afektif disamakan dengan

perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu, c)Komponen konatif,

merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai sikap yang

dimiliki oleh seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan

untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara

tertentu (Azwar, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap yaitu

Pengalaman pribadi, apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut

membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus

sosial. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya,

individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah


dengan sikap orang lain yang dianggapnya penting. Keinginan ini antara

lain dimotifasi oleh keinginan untuk berafilisasi dan keinginan untuk

menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

Diantara orang yang biasanya dianggap penting oleh individu adalah

orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman

dekat, guru, teman kerja, istri, suami, dan lain-lain.

Pengaruh kebudayaan. Kebudayaan telah menanamkan garis

pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah karena kebudayaan

dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap

pembentukan sikap kita.Media massa, dalam menyampaikan informasi

sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pesan- pesan yang

berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan

sugesti yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat akan

memberikan dasar efektif dalam menilai sesuatu (Notoadmodjo, 2012).

Lembaga pendidikan dan lembaga agama.Kedua lembaga ini

meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu sehingga

kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh

dalam pembentukan sikap.Pengaruh faktor emosional, suatu bentuk

sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi

sebagai semacam penyalur frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme

pertahanan ego. Peran gender sangat mempengaruhi keadaan

emosional, perempuan menekankan pada tanggung jawab sosial dalam


emosinya. Perempuan lebih merasa bertanggung jawab terhadap emosi

orang lain. Mereka sangat memperhatikan keadaan emosi orang lain

sehingga lebih mampu memahami perubahan emosional. Oleh sebab itu

kaum perempuan biasanya jauh lebih memiliki empati terhadap

penderitaan orang lain ketimbang lelaki. Masyarakat memiliki stereotip

bahwa laki-laki kurang mampu menghayati perasaan

emosionalnya.adapun perempuan sangat menghayati emosinya

(Notoatmodjo, 2012).

C. Tinjauan Umum tentang Stunting

1. Pengertian

Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan

perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan

asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak,

karena pada umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam

proses belajar. Apabila intake zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan

fisik dan intelektualitas balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya

akan menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang (lost

generation), dan dampak yang luas negara akan kehilangan sumber

daya manusia (SDM) yang berkualitas (Welasasih, 2012).

Stunting merupakan suatu keadaan retardasi pertumbuhan linier

yang berkaitan dengan adanya proses perubahan patologis.

Pertumbuhan fisik berhubungan dengan faktor lingkungan, perilaku dan


genetik, kondisi sosial ekonomi, pemberian ASI, dan kejadian BBLR

merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting

.Status gizi buruk berdampak terhadap menurunnya produksi zat anti

bodi dalam tubuh.Penurunan zat anti bodi ini mengakibatkan mudahnya

bibit penyakit masuk ke dalam dinding usus dan mengganggu produksi

beberapa enzim pencernaan makanan dan selanjutnya penyerapan zat-

zat gizi yang penting menjadi terganggu, keadaan ini dapat memperburuk

status gizi anak. Data Riskesdas 2013 menunjukan prevalensi pendek

secara nasional adalah 37,2% yang terdiri dari 18,0% anak sangat

pendek dan 19,2% anak pendek (Tando, 2012).

Proses menjadi pendek atau stunting anak di suatu wilayah atau

daerah miskin, terjadi sejak usia sekitar enam bulan dan berlangsung

terus sampai anak tersebut berusia 18 tahun. Hai ini dapat terjadi karena

tidak disertai dengan tindakan atau intervensi untuk menangani kejadian

stunting .Stunting muncul utamanya pada dua sampai tiga tahun

kehidupan pertama, hal itu dikarenakan pada masa atau usia tersebut

anak-anak membutuhkan banyak zat gizi. Zat gizi tersebut dibutuhkan

anak-anak untuk pertumbuhan dan perkembangan. Satu di antara alasan

tersebut yakni bahwa pada usia tersebut laju pertumbuhan mencapai

puncak atau tercepat sehingga memerlukan banyak zat gizi.

Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator status gizi

kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena


malnutrisi jangka panjang. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar

Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pendek dan sangat pendek

adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut

umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan

padanan istilah stunting (pendek) dan severely stunting (sangat pendek).

Satu dari tiga anak di negara berkembang dan miskin mengalami

stunting , dengan jumlah kejadian tertinggi berada di kawasan Asia

Selatan yang mencapai 46% disusul oleh kawasan Afrika sebesar 38%,

sedangkan secara keseluruhan angka kejadian stunting di negara miskin

dan berkembang mencapai 32%. Kejadian stunting ini disebabkan oleh

kurangnya asupan makanan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama

dan frekuensi menderita penyakit infeksi. Akibat dari stunting ini meliputi

perkembangan motoric yang lambat, mengurangi fungsi kognitif, dan

menurunkan daya berpikir (UNICEF,2007).

Dalam Puspita (2015) menyatakan stunting merupakan keadaan

tubuh yang pendek atau sangat pendek.Stunting terjadi akibat

kekurangan gizi dan penyakit berulang dalam waktu lama pada masa

janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak. Anak

denganstunting memiliki IQ 5-10 poin lebih rendah dibanding dengan

anak yang normal. Stunting menggambarkan kegagalan pertumbuhan

yang terjadi dalam jangka waktu yang lama, dan dihubungkan dengan
kapasitas fisik dan psikis, penurunan pertumbuhan fisik, dan pencapaian

di bidang pendidikan rendah.

2. Cara Pengukuran

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat

badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan

dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik

balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan

ini menggunakan standar Z-score dari WHO.Di Indonesia standard Z-

score diadopsi kedalam Keputusan Menteri Kesehatan Republic

Indonesia tentang standard antropometri penilaian status gizi

anak.Klasifikasi Status Gizi Anak berdasarkan indikator Tinggi Badan per

Umur (TB/U):

No. Z_Score Status Gizi


1. >-3,0 SD Sangat pendek
2. -3,0 SD s/d <-2,0 SD Pendek
3. -2,0 SD s/d2,0 SD Normal
4. 2,0 SD Sangat kurus

Tabel 1 Kalsifikasi Status Gizi Berdasarkan TB/U


Sumber : Kepmenkes RI 2010
Dimana anak stunting masuk dalam klasifikasi anak pendek dan

sangat pendek. Jadi, anak yang memiliki status gizi <-2SD berdasarkan

TB/U masuk dalam kategori anak stunting. Z-Score dapat dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut :

Z – Score = (𝑇𝐵𝐴−𝑚𝑒𝑑 ) ⃒𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 −𝑆𝐷⃒


3. Epidemiologi

Satu dari tiga anak di negara berkembang dan miskin mengalami

stunting, dengan jumlah kejadian tertinggi berada di kawasan Asia

Selatan yang mencapai 46% disusul dengan kawasan Afrika sebesar

38%, sedangkan secara keseluruhan angka kejadian stunting di negara

miskin dan berkembang mencapai 32%. Stunting ini disebabkan oleh

kurangnya asupan makan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama

dan frekuensi menderita penyakit infeksi. Akibat dari stunting ini meliputi

perkembangan motoric yang lambat, mengurangu fungsi kognifit, dan

menurunkan daya berpikir (UNICEF,2007 dalam Wiyogowati, 2012).

Menurut Martorell et al (1995) dalam Wiyogowati 2012, stunting

postnatal terjadi mulai usia 3 bulan pertama kehidupan, suatu kondisi

dimana terjadi penurunan pemberian ASI, makanan tambahan mulai

diberikan dan mulai mengalami kepekaan terhadap infeksi. kejadian

stunting bayi 0-3 bulan kemungkinan lebih disebabkan genetic orangtua

sedangkan pada usia 6-12 bulan lebih diakibatkan oleh kondisi

lingkungan (Astri, Nasoetion, & Dwiriani, 2006, dalam Wiyogowati, 2012).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting

a. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

Berat bayi lahir rendah (BBLR) adalah berat bayi lahir kurang dari

2500 gram atau 2,5 kg (Merryana & Bambang, 2012).


b. Imunisasi Dasar

c. ASI Eksklusif

Air susu ibu (ASI) adalah sumber nutrisi yang ideal dan makanan

paling aman bagi bayi selama 4-6 bulan pertama kehidupan. ASI

merupakan bentuk tradisional dan ideal memenuhi gizi anak. ASI

dapat menyediakan tiga perempat bagian protein yang dibutuhkan bayi

umur 6-12 bulan dan masih merupakan sumber yang cukup berarti

bagi beberapa bulan berikutnya (Merryana & Bambang,2012)

d. Asupan Makanan Energi dan Protein

Manusia membutuhkan energy untuk mempertahankan hidup,

menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik.Energy

diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada di dalam

bahan makanan.Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu

bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2009).

e. Pendidikan Orang Tua (Ibu)

Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak.Tingkat pendidikan ibu

banyak menentukan sikap dan menghadapi berbagai masalah, misal

memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu diare,

atau kesedian menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang

mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan

hidup serta tumbuh lebih baik.


f. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiyogowati (2012)

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara fasilitas kesehatan

dengan kejadian stunting . Sehingga dapat diartikan bahwa, pada

daerah yang tersedia fasilitas pelayanan kesehatan, angka kejadian

stunting rendah dan pada daerah yang tidak tersedia fasilitas

pelayanan kesehatan, angka kejadian stunting tinggi.

g. Sanitasi

Sanitasi dasar adalah sarana sanitasi rumah tangga yang meliputi

sarana buang air bersih, sarana pengolahan sampah dan limbah

rumah tangga (Kepmenkes No.852).842.000 orang yang tinggal di

negara dengan pendapatan menegah kebawah meninggal akibat air

yang inadekuat , sanitasi dan hygiene setiap tahunnya.Buruknya

sanitasi dipercaya menyebabkan kematian kurang lebih 280.000

orang.Keuntungan dari sanitasi yang baik adalah berkurangnya

kejadian diare.(WHO, 2015).

5. Dampak stunting

a. Efek Jangka Pendek

Stunting (tumbuh yang pendek) menggambarkan keadaan gizi kurang

yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu yang lama bagi
anak untuk berkembang serta pulih kembali. Sejumlah besar penelitian

cross-sectional memperlihatkan keterkaitan antara stunting ,

perkembangan motoric dan mental yang buruk dalam usia kanak-

kanak dini, serta prestasi kognitif dan prestasi dan prestasi sekolah

yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut.Pada anak-anak yang

mengalami malnutrisi dalam jangka waktu lama (stunting )

memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku

ini meliputi kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat,

tingkat aktivitas yang lebih rendah, jumlah dan entusiasme untuk

bermain dan mengeksplorasi lingkungan yang lebih kecil,

berkomunikasi lebih jarang, afek (ekspresi) yang tidak begitu gembira,

serta cenderung untuk berada dekat ibu serta menjadi lebih apatis

(Gibney dkk, 2009).

b. Efek Jangka Panjang

Anak-anak yang bertumbuh pendek (stunting ) pada usia kanak-kanak

dini terus menunjukkan kemampuan yang lebih buruk dalam fungsi

kognitif yang beragam dan prestasi sekolah yang lebih buruk jika

dibandingkan dengan anak-anak yang bertubuh normal hingga usia 12

tahun. Mereka juga memiliki permasalahan perilaku, lebih terhambat,

dan kurang perhatian serta lebih menunjukkan gangguan tingkah laku

(conduct disorder) (Gibney dkk, 2009).

Anda mungkin juga menyukai