Buah Tiruan Kuning
Buah Tiruan Kuning
KLINIK TANAMAN
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.3 Gejala Kerusakan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) pada Tanaman Cabai.. 8
KESIMPULAN ..................................................................................................... 13
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rata-rata jumlah kunjungan lalat buah pada buah cabai dan buah tiruan
pada uji semi-lapangan (Sumber : Hidayat et al, 2019) ……………... 10
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
menjadi permasalahan utama tidak dapat langsung dikendalikan (Iwahashi et al,
1997). Oleh karena itu, dibutuhkan teknik pengendalian lalat buah yang lebih
efektif dan ramah lingkungan. Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan
buah tiruan dan minyak kelapa. Konsepnya adalah dengan menggunakan buah
plastik berwarna kuning yang didalamnya berisi jus buah pisang dan minyak
kelapa. Warna kuning dan aroma jus buah pisang dapat menarik lalat buah betina,
sehingga dia dapat bertelur pada buah tiruan, sedangkan minyak kelapa dapat
menolak lalat buah untuk berkunjung pada buah cabai (Hidayat et al, 2019).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui efektifitas
penggunaan buah tiruan dan minyak kelapa dalam mengendalikan serangan lalat
buah Bactrocera dorsalis betina pada tanaman cabai.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Pada dataran rendah hingga menengah dengan ketinggian 0-800 m dpl dan
suhu sekitar 20-25ºC tanaman cabai dapat tumbuh secara optimal. Terbentuknya
bunga tanaman cabai ketika berumur 23-31 hari setelah tanam (HST). Adapun
pembentukan buah dimulai saat tanaman cabai berumur 29-40 HST, dan buah
masak membutuhkan waktu 34-40 hari setelah pembuahan. Selain itu, tanaman
cabai juga dapat tumbuh dan beradaptasi baik terhadap berbagai jenis tanah, mulai
dari tanah berpasir hingga tanah liat. Pada lahan bergambut, sebelum menanam
diperlukan adanya perlakuan khusus karena sifat tanah yang sedikit berbeda dengan
tanah lainnya. Adapun karakteristik tanah yang baik untuk pertanaman cabai yaitu
tanah lempung berpasir atau tanah ringan yang banyak mengandung bahan organik
dan unsur hara. Jika pH tanah kurang dari 5, maka akan terjadi penuruan hasil panen
cabai. Sedangkan jika pH 6-7, maka pertumbuhan cabai akan optimum (Harpenas
dan Dermawan, 2009).
Budidaya cabai dimulai dari pengolahan tanah meliputi pembersihan gulma,
penggemburan tanah, pemupukan dasar, hingga pembuatan bedengan. Penanaman
pada bedengan bertujuan agar tanaman tidak tergenang air. Bedengan dibuat
dengan lebar 1-2 meter dan tinggi 30 cm. Waktu penanaman cabai yang optimal
hendaknya dilakukan pada saat awal musim hujan, dengan menggunakan benih
yang unggul dan bersertifikat. Sebelum dilakukan penyemaian, sebaiknya benih
direndam terlebih dahulu dengan air hangat (50ºC) selama 1 jam. Hal tersebut
bertujuan untuk membebaskan hama atau penyakit yang menempel pada benih dan
mempercepat perkecambahan. Benih disebar secara merata pada bedeng semai, dan
siap untuk dipindahtanamkan setelah berusia 3-4 minggu setelah tanam. Sistem
penanaman cabai hendaknya dilakukan secara tumpangsari dengan tanaman
bawang merah atau kubis, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan
mengantisipasi terjadinya kegagalan panen akibat serangan hama/penyakit.
Sebelum bibit ditanam, dilakukan pemasangan mulsa terlebih dahulu (Sumarni dan
Muharam, 2005)
Penggunaan mulsa pada cabai bertujuan untuk memelihara struktur tanah tetap
gembur, memelihara kelembaban, menekan gulma, dan mengurangi erosi tanah.
Kemudian bibit ditanam pada lubang tanam yang telah disediakan, dan segera
4
disiram dengan air (Sumarni dan Muharam, 2005). Pemupukan susulan dilakukan
sebanyak 3 kali, yakni saat tanaman berumur 3, 6, dan 9 minggu setelah tanam
menggunakan pupuk urea (200-300 kg/ha), ZA (300-400 kg/ha) dan KCl (250-300
kg/ha), masing-masing sepertiga dosis. Pupuk susulan disebar di sekitar lubang
tanaman, kemudian ditutup dengan tanah (Hilman dan Suwandi, 1992).
Pengendalian OPT pada tanaman cabai hendaknya dilakukan dengan menggunakan
konsep PHT, dimana penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir yang
digunakan. Hama dan penyakit yang umum menyerang cabai adalah ulat grayak,
lalat buah, ulat tanah, trips, kutu daun, penyakit antraknosa, layu fusarium, dan
bercak ungu. Pemanenan buah cabai dapat dilakukan sebanyak 10-12 kali. Panen
pertama dilakukan saat cabai berumur 60-75 hari setelah tanam, dengan interval
pemanenan 3-7 hari (Sumarni dan Muharam, 2005).
5
Gambar 2. Siklus hidup B. dorsalis (Sumber : Narayan, 2019)
a. Fase telur
Lalat buah umumnya memiliki telur berbentuk lonjong dengan warna putih
atau kekuningan dan memiliki panjang antara 0,3 mm - 0,8 mm dan lebar 0,22 mm.
Telur akan menetas menjadi larva setelah 2 hari diletakkan oleh induknya (Weems
et al, 2012).
b. Fase larva
Lalat buah memiliki larva yang berwarna putih kekuningan dengan panjang
sekitar 10 mm, yang tersusun atas cepal, thorax, dan abdomen (Santiatma et al,
2016). Larva tinggal dan mengambil makanan di dalam buah. Akan tetapi, setelah
mencapai instar 3 larva akan menjatuhkan diri ke tanah untuk membentuk pupa.
Larva instar 1 dan 2 berlangsung selama 1 hari, sedangkan intsar 3 berlangsung 2-
3 hari (Hasyim et al, 2014).
c. Fase pupa
Pada awalnya pupa berwarna putih, kemudian mengalami perubahan warna
menjadi kekuningan dan coklat kemerahan. Masa perkembangan pupa berlangsung
selama 4–10 hari, setelah itu pupa akan berubah menjadi imago. Pupa berada di
dalam tanah sekitar 2–3 cm di bawah permukaan tanah, perkembangan pupa
tergantung dengan kelembapan tanah, dan kelembapan tanah yang sesuai dengan
stadium pupa adalah 0-9 %. (Djatmiadi dan Djatnika, 2001)
6
d. Fase imago
Lalat dewasa memiliki panjang tubuh sekitar 3,5–5 mm, yang berwarna hitam
kekuningan. Imago jantan dan betina lalat buah memiliki perbedaan yang terletak
pada bagian abdomen. Dimana pada ujung abdomen lalat buah jantan tidak terdapat
ovipositor, sedangkan pada ujung abdomen lalat betina terdapat ovipositor.
Ovipositor berfungsi untuk meletakkan telur (Hasyim et al, 2014).
Di Indonesia, kerugian paling besar akibat lalat buah terjadi pada tahun 2004,
yakni ditolaknya 13 komoditas holtikultura, seperti cabai, tomat, dan paprika di
pasar Taiwan. Kerugian tersebut mencapai U$ 3 juta (Tempo, 2003). Kelompok
lalat buah yang banyak menyerang komoditas hortikultura adalah dari spesies
Bractocera dorsalis (Kalshoven, 1981).
Lalat buah B. dorsalis memiliki torax tengah yang berwarna hitam, pita lateral
kuning pada mesonotum memanjang, dua rambut pada skutelum. Sayap hanya
mempunyai pita hitam pada garis costa dan garis anal, tidak mempunyai noda-noda
pada vena melintang. Bagian abdomen sebagian besar berwarna merah pucat
(coklat), terdapat pita hitam melintang pada tergit-2 dan tergit-3, dan pita hitam
sempit longitudinal membelah di tengah-tengah tergit. (Siwi dan Hidayat, 2004).
Kerusakan yang terjadi pada tanaman cabai akibat serangan B. dorsalis
berfluktuasi, serangan tertinggi terjadi pada saat tanaman berumur 60 – 75 hari.
7
Pada umumnya satu imago lalat buah dapat meletakkan sekitar 1-10 telur.
Kerusakan pada buah cabai akan meningkat jika populasi lalat buah tinggi
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah telur yang diletakkan (Herlinda,
2007). Larva B. dorsalis tidak hanya menyerang buah cabai yang sudah matang,
tapi juga menyerang buah yang masih setengah matang, Kehilangan hasil panen
cabai akibat B.dorsalis ini dapat mencapai 60 % (Hasyim et al, 2014).
Hal tersebut terjadi karena jumlah telur yang diletakkan lalat buah betina ikut
berpengaruh terhadap kerusakan pada tanaman cabai. Pada umumnya satu ekor
imago lalat buah dapat meletakkan sekitar 1-10 telur. Kerusakan pada buah cabai
akan meningkat jika populasi lalat buah tinggi menyebabkan terjadinya
peningkatan jumlah telur yang diletakkan (Herlinda, 2007).
8
Gambar 5. Gejala serangan B. dorsalis pada buah cabai (Sumber : Herlinda et al, 2007)
9
tiruan akan menghambat telur untuk berkembang, bahkan membuat telur mati,
sehingga dapat mencegah keturunan untuk menyelesaikan perkembangannya.
Penggunaan buah tiruan yang efektif untuk pengendalian lalat buah akan memiliki
dua keuntungan. Pertama, buah tiruan hanya bisa digantungkan dengan tali di
bawah kanopi tanaman atau diantara tanaman, sehingga tidak akan mengurangi
populasi tanaman utama. Kedua, pemeliharaan mudah, jika jumlah telur pada buah
tiruan sudah cukup banyak, maka jus buah yang ada di dalamnya tinggal diganti.
Penggantian jus buah bisa dilakukan sehari sekali, namun agar lebih hemat
sebaiknya menggunakan aroma buah pisang yang berasal dari minuman kemasan
(Hidayat et al, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian Hidayat et al, (2019) penggunaan kombinasi
antara minyak kelapa dengan buah tiruan terbukti lebih efektif dalam
mengendalikan serangan lalat buah betina pada tanaman cabai, dibanding dengan
menggunakan buah tiruan saja.
Tabel 1. Rata-rata jumlah kunjungan lalat buah pada buah cabai dan buah tiruan pada uji
semi-lapangan (Sumber : Hidayat et al, 2019)
Perlakuan Rata-rata Pengurangan Kunjungan lalat
jumlah kunjungan lalat buah pada buah
kunjungan lalat buah (%) buatan
buah pada buah
cabai
Minyak kelapa 1.21 ± 0.33 bc 71.8 -
(1%)
Buah tiruan 2.42 ± 0.34 cd 43.7 1.62 ± 0.18
Kombinasi (minyak 0.83 ± 0.30 ab 80.6 2.53 ± 0.28
kelapa + buah
tiruan)
Deltamethrin 0.5 0.14 ± 0.05 a 96.6 -
ml/L
Kontrol 4.30 ± 0.52 d - -
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa penggunaan kombinasi antara buah tiruan
dengan minyak kelapa dapat menghambat kunjungan lalat buah betina pada buah
cabai sebesar 80,6%, dalam pengujian semi lapangan. Pengamatan yang dilakukan
oleh Hidayat et al, (2019) dilakukan sebanyak lima kali dengan perlakuan yang
10
berbeda-beda. Tanaman cabai pada polybag yang berusia 10 minggu setelah tanam
dan sudah berbuah, dimasukkan pada kandang pengujian. Sebelum itu buah cabai
diberikan beberapa perlakuan. Pertama, buah disemprot dengan formulasi minyak
kelapa pada konsentrasi 1%, kemudian 10 lalat buah betina dilepaskan pada
kandang. Kedua, dengan menggunakan buah tiruan berwarna kuning yang
didalamnya sudah dimasukkan jus pisang. Buah tiruan digantung dengan seutas
benang yang menempel di bagian atas kandang. Setelah itu, lalat buah betina
dilepaskan di dalam kandang. Ketiga, menggunakan kombinasi antara minyak
kelapa dan buah tiruan. Perlakuan buah tiruan dilakukan secara bersama-sama
dengan minyak kelapa. Keempat, sebagai perbandingan, buah cabai disemprot
dengan insektisida sintetik (deltamethrin 25 g/L) pada konsentrasi 0,5 ml/L.
Kemudian untuk kontrol, buah cabai hanya disemprot air. Jumlah lalat buah betina
yang digunakan dalam setiap perlakuan adalah 10. Pengamatan dilakukan pada
kunjungan lalat buah, jumlah kunjungan lalat buah diamati selama dua jam pertama,
dan diamati kembali setiap interval 15 menit selama 24 jam/perlakuan.
Hasil dari pengamatan menunjukkan bahwa kombinasi antara buah tiruan
dengan minyak kelapa memiliki hambatan kunjungan lalat buah pada cabai paling
baik, yakni 80,6%. Sedangkan aplikasi terpisah dari minyak kelapa dan buah buatan
masing-masing menghasilkan hambatan sebesar 71,8% dan 43,7%. Penurunan
tertinggi kunjungan lalat buah pada buah cabai 96,6%, disebabkan oleh aplikasi
insektisida deltamethrin.
Lalat buah betina tidak menyukai minyak kelapa, terutama minyak kelapa yang
sudah dimurnikan kandungan volatilnya, sehingga minyak kelapa ini cenderung
memiliki efek penolak terhadap lalat buah betina. Sedangkan buah tiruan memiliki
kecenderungan untuk menarik lalat buah betina untuk datang dan bertelur, sehingga
bila keduanya dikombinasikan akan menciptakan manipulasi perilaku terpadu
(menolak dan menarik) yang mengarah pada serangan lalat buah yang lebih rendah
pada buah cabai (Foster dan Harris, 1997).
11
Gambar 6. Contoh buah tiruan yang dikunjungi lalat buah B.dorsalis betina (Sumber :
Hidayat et al, 2019)
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Aryoudi, A., Mukhtar, I. P, dan Marheni. 2015. Interaksi Tropik Jenis Serangga di atas
Permukaan Tanah (Yellow Trap) dan Pada Permukaan Tanah (Pitfall Trap) pada
Tanaman Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) di Lapangan. Jurnal Online
Agroekoteknologi, 3(503) :1250 – 1258.
Chawda, Narayan. 2019. VNR Nursery: Fruit Fly. Diakses melalui
https://www.vnrnursery.in/fuit-fly/, pada 2 November 2019.
Djatmiadi, dan Djatnika. 2001. Petunjuk Teknis Surveilans Lalat Buah. Pusat
Teknik dan Metode Karantina Hewan dan Tumbuhan. Jakarta : Badan
Karantina Pertanian.
Drew, R. A. I., dan Hancock, D. L. 1994. The Bactrocera Dorsalis Complex of Fruit
Flies (Diptera:Tepritidae:Dacinae) in Asia. Bul of Entomol Res Supp (2) :
68.
FAOSTAT. 2019. Data Produktifitas Cabai di Indonesia dan Malaysia Tahun 2017.
Diakses melalui http://www.fao.org/faostat/en/#data, pada 5 Oktober 2019.
Foster, S. P., dan Harris, M. O. 1997. Behavioural Manipulation Methods For Insect
Pest Management. Annual Review of Entomology, 42, 123– 146.
Harpenas, A., dan Dermawan, R. 2011. Budidaya Cabai Unggul. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hasyim, A., Setiawati, W., dan Liferdi, L. 2014. Hortikultura Litbang: Teknologi
Pengendalian Hama Lalat Buah Pada Tanaman Cabai. Iptek hortikultura,
(10) : 20-25.
Herlinda, S., Mayasari, S., Adam, T., Pujiastuti, Y., dan Windusari, Y. 2007.
Populasi dan Serangan Lalat Buah Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera:
Tephritidae) serta Potensi Parasitoidnya Pada Pertanaman Cabai (Capsicum
annuum L.). Seminar Nasional dan Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah
Barat, Palembang.
Hidayat, Y., Rindy, F. F., Ahmad, F. R., Wawan, K., Endah, Y., Siska, R. 2019.
Combination of Edible Vegetable Oil and Artificial Fruit to Reduce
Bactrocera dorsalis Oviposition in Chilli Fruits. Journal of Applied
Entomology, 143 (2): 69-76
Hilman, dan Suwandi. 1992. Pengaruh Pupuk Nitrogen dan Triple Super Phosphate
pada Tanaman Cabai. Bul.Penel.Hort. 23(1) : 107-116.
Iwahashi, O., S. Subahar, and S. Sastrodihardjo. 1996. Attractiveness of Methyl
Eugenol to the Fruit Flies Bactrocera carambolae (Diptera: Tephrytidae) in
Indonesia. College of Agriculture, University of the Ryukyus, Japan.
Jusmanto, Nasir, B., dan Yunus, M. 2019. Daya Tarik Metil Eugenol Terhadap
Populasi Lalat Buah (Bactrocera Sp.) Pada Berbagai Ketinggian dan Warna
Perangkap Pada Pertanaman Cabai Merah. Agrotekbis, 7 (1) : 10-19.
Kalie, M. B. 1992. Mengatasi Buah Rontok, Busuk, dan Berulat. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Revised and transleted by
P.A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.
14
Kew. 2019. Capsicum annum, Chilli. Diakses melalui
https://images.kew.org/botanical-art/edible-plants-botanical-art/capsicum-
annuum-chilli-10684690.html, pada 5 November 2019
Kusandriani, Y., dan A., Muharam. 2005. Produksi Benih Cabai. Panduan Teknis
PTT Cabai Merah No. 1. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 32 hal.
Saptana, Muslim, C., dan Sri, H., S. 2018. Manajemen Rantai Pasok Komoditas
Cabai Pada Agroekosistem Lahan Kering di Jawa Timur. Analisis
Kebijakan Pertanian, 16 (1): 19-41.
Siderhurst, M. and E. Jang. 2006. Female Based Attraction of Oriental Fruit Fly,
Bactrocera Dorsalis (Hendel), to a Blend of Host Fruit Volatiles From
Terminalia Catappa L. Journal of Chemical Ecology 32: 2513-2524.
Siwi, S. S., dan Hidayat, P. 2004. Taksonomi dan Bioekologi Bactrocera spp.
(Diptera: Tephritidae) di Indonesia. Bogor Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Sumarni, N. dan Muharam, A. 2005. Budidaya Tanaman Cabai. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran: Bandung.
Sunarno. 2011. Ketertarikan Serangga Hama Lalat Buah Terhadap Berbagai Papan
Perangkap Berwarna. Agroforestri 6(2): 129-134.
Susanto, A., Yadi, S., Tohidin, T., dan Mohammad, I. 2018. Keragaman Serangga
Hama pada Tanaman Asparagus (Asparagus officinalias L.) di Sentra
Budidaya Tanaman Agroduta Lembang Jawa Barat. Jurnal Agrikultura, 29
(1) : 48-54.
Tempo. 2003. Produk Hortikultura Indonesia Terancam Ditolak Taiwan. Diakses
melalui https://bisnis.tempo.co/read/29514/produk-hortikultura-indonesia-
terancam-ditolak-taiwan, pada 15 Oktober 2019
Valladares, G. dan A. Salvo. 2001. Community dynamics of leafminers (Diptera:
Agromyzidae) and their parasitoids (Hymenoptera) in a natural habitat from
Central Argentina. Acta Oecologica 22: 301-309.
Verghese, A., and Rashmi, M.A. 2014. Managing Post harvest Quality and Losses
in Horticultural Crops, Chapter: Insect Disinfection and Quarantine. Daya
Publishing House, Astral International Pvt. Ltd., Editors: K.L. Chadha, R.K.
Pal, pp.211 -230.
Vijaysegaran, S., dan Drew, R. A. I. 2006. Fruit Fly Spesies of Indonesia : Host
Range and Distribution. ICMPFF : Griffith University.
Weems, H.V., J.B. Heppner., J.L. Nation., dan T.R. Fasulo. 2012. Oriental Fruit
Fly, Bactrocera dorsalis (Hendel) (Insecta: Diptera:
Tephritidae).University of Florida.
15