Anda di halaman 1dari 20

PEMANFAATAN BUAH TIRUAN DAN MINYAK KELAPA

SEBAGAI PENGENDALI LALAT BUAH (Bactrocera dorsalis)


BETINA PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

diajukan untuk memenuhi Sidang Masa Kaderisasi Klinik Tanaman XVII


Disusun oleh:
Aldi Rahayu
150510180094

KLINIK TANAMAN
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala
rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah
ini untuk memenuhi salah satu syarat sidang Masa Kaderisasi Klinik Tanaman
XVII, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Judul
karya tulis ilmiah ini adalah “Pemanfaatan Buah Tiruan dan Minyak Kelapa
sebagai Pengendali Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) Betina Pada Tanaman
Cabai (Capsicum annum L.)”. Pada penulisan karya tulis ini tidak lepas dari
hambatan dan kesulitan, namun dengan bimbingan, nasihat, dan saran beberapa
pihak, segala hambatan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan baik.
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini tentunya tidak lepas dari kekurangan,
baik secara kualitas maupun kuantitas materi yang disajikan. Semua ini didasarkan
karena keterbatasan saya. Saya menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini jauh dari
kata sempurna, sehingga dibutuhkan kritik dan saran yang membangun, untuk
kemajuan pendidikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan
manfaat bagi semua orang. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jatinangor, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................... i

Daftar Isi.................................................................................................................. ii

Daftar Tabel ........................................................................................................... iii

Daftar Gambar ........................................................................................................ iv

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) .......................................................... 3

2.2 Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) ................................................................. 5

2.3 Gejala Kerusakan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) pada Tanaman Cabai.. 8

2.4 Pengendalian Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) pada Tanaman Cabai


dengan Buah Tiruan dan Minyak Kelapa ............................................................ 9

BAB III ................................................................................................................. 13

KESIMPULAN ..................................................................................................... 13

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 14

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rata-rata jumlah kunjungan lalat buah pada buah cabai dan buah tiruan
pada uji semi-lapangan (Sumber : Hidayat et al, 2019) ……………... 10

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Morfologi tanaman cabai .................................................................... 3


Gambar 2. Siklus hidup B. dorsalis ...................................................................... 6
Gambar 3. Lalat buah B. dorsalis........................................................................... 7
Gambar 4. Ciri-ciri morfologi B. dorsalis.............................................................. 7
Gambar 5. Gejala serangan lalat buah B.dorsalis pada cabai……………………..9
Gambar 6. Contoh buah tiruan yang dikunjungi lalat buah B. dorsalis betina …12

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang memiliki
nilai ekonomis cukup tinggi, dan banyak dibutuhkan oleh masyarakat maupun
industri. Hal tersebut menjadikan komoditas cabai termasuk dalam komoditas
hortikultura yang mendapatkan prioritas pengembangan pemerintah (Saptana,
2018). Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan
bahan baku cabai (Harpenas dan Dermawan, 2009). Berdasarkan data FAOSTAT
(2019), produktivitas cabai di Indonesia pada tahun 2017 yaitu 7,60 ton/ha, tetapi
produktivitas tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas di
sejumlah negara lain seperti Mayalsia yang mencapai 9,65 ton/ha. Hal itu
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kondisi cuaca, teknik budidaya, serta
gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu OPT penting yang
menyerang tanaman cabai adalah lalat buah diantaranya Bactrocera dorsalis
(Kalshoven, 1981).
Lalat buah merupakan hama utama pada tanaman cabai. Kehilangan hasil
panen akibat serangan lalat buah dapat mencapai 60% (Hasyim et al, 2014). Adapun
menurut Jusmanto (2019), serangan lalat buah dapat menyebabkan kehilangan hasil
sebesar 80%, bahkan dapat mencapai 100% bila tidak dilakukan pengendalian
segera.
Terdapat beberapa pengendalian lalat buah yang telah dilakukan di Indonesia,
diantaranya adalah dengan pestisida sintetik, perangkap kuning dan atraktan metil-
eugenol (Hasyim et al, 2014). Pengendalian dengan pestisida sintetik dinilai kurang
efektif, karena dapat membunuh serangga yang berperan sebagai musuh alami
hama bagi lalat buah (Susanto, 2018), kemudian pengendalian dengan perangkap
kuning juga dapat menyebabkan musuh alami lalat buah ikut terperangkap
(Aryoudi, 2015). Pengendalian dengan metil-eugenol dinilai kurang efektif karena
hanya dapat mengendalikan lalat buah jantan saja, sedangkan lalat buah betina yang

1
menjadi permasalahan utama tidak dapat langsung dikendalikan (Iwahashi et al,
1997). Oleh karena itu, dibutuhkan teknik pengendalian lalat buah yang lebih
efektif dan ramah lingkungan. Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan
buah tiruan dan minyak kelapa. Konsepnya adalah dengan menggunakan buah
plastik berwarna kuning yang didalamnya berisi jus buah pisang dan minyak
kelapa. Warna kuning dan aroma jus buah pisang dapat menarik lalat buah betina,
sehingga dia dapat bertelur pada buah tiruan, sedangkan minyak kelapa dapat
menolak lalat buah untuk berkunjung pada buah cabai (Hidayat et al, 2019).

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui efektifitas
penggunaan buah tiruan dan minyak kelapa dalam mengendalikan serangan lalat
buah Bactrocera dorsalis betina pada tanaman cabai.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tanaman Cabai (Capsicum annum L.)


Cabai (Capsicum annum L.) adalah tanaman semusim yang berasal dari daerah
tropika dan subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan,
hingga tersebar ke daerah Amerika Latin. Budidaya cabai ditemukan pertama kali
di tapak galian sejarah Peru dan dalam sebuah gua yang terdapat di Tehuacanm,
Meksiko, berupa sisaan biji dengan umur lebih dari 5000 tahun SM. Adapun
penyebaran cabai dilakukan oleh para pedagang Spanyol dan Portugis ke seluruh
dunia termasuk negara-negara Asia, seperti Indonesia. (Harpenas dan Dermawan,
2009).
Cabai termasuk ke dalam genus capsicum, famili solanaceae, ordo solanales,
kelas dikotiledoneae, divisi spermatophyta, kingdom plantae (Kusandriani, 2005).
Cabai adalah tanaman setahun yang memiliki bentuk perdu dengan nama botani
Capsicum annum L. Sistem perakaran tanaman cabai yaitu agak menyebar, dengan
panjang sekitar 25-35 cm. Batang utamanya tegak dan pangkalnya berkayu.
Daunnya berbentuk hati, lonjong, dan agak bulat seperti telur dengan posisi
berseling-seling, ssedangkan benih cabai berbentuk cakram, memiliki panjang
sekitar 3-5 mm, berwana kuning hingga kecoklatan (Harpenas dan Dermawan,
2009).

Gambar 1. Morfologi tanaman cabai (Sumber : Kew, 2019)

3
Pada dataran rendah hingga menengah dengan ketinggian 0-800 m dpl dan
suhu sekitar 20-25ºC tanaman cabai dapat tumbuh secara optimal. Terbentuknya
bunga tanaman cabai ketika berumur 23-31 hari setelah tanam (HST). Adapun
pembentukan buah dimulai saat tanaman cabai berumur 29-40 HST, dan buah
masak membutuhkan waktu 34-40 hari setelah pembuahan. Selain itu, tanaman
cabai juga dapat tumbuh dan beradaptasi baik terhadap berbagai jenis tanah, mulai
dari tanah berpasir hingga tanah liat. Pada lahan bergambut, sebelum menanam
diperlukan adanya perlakuan khusus karena sifat tanah yang sedikit berbeda dengan
tanah lainnya. Adapun karakteristik tanah yang baik untuk pertanaman cabai yaitu
tanah lempung berpasir atau tanah ringan yang banyak mengandung bahan organik
dan unsur hara. Jika pH tanah kurang dari 5, maka akan terjadi penuruan hasil panen
cabai. Sedangkan jika pH 6-7, maka pertumbuhan cabai akan optimum (Harpenas
dan Dermawan, 2009).
Budidaya cabai dimulai dari pengolahan tanah meliputi pembersihan gulma,
penggemburan tanah, pemupukan dasar, hingga pembuatan bedengan. Penanaman
pada bedengan bertujuan agar tanaman tidak tergenang air. Bedengan dibuat
dengan lebar 1-2 meter dan tinggi 30 cm. Waktu penanaman cabai yang optimal
hendaknya dilakukan pada saat awal musim hujan, dengan menggunakan benih
yang unggul dan bersertifikat. Sebelum dilakukan penyemaian, sebaiknya benih
direndam terlebih dahulu dengan air hangat (50ºC) selama 1 jam. Hal tersebut
bertujuan untuk membebaskan hama atau penyakit yang menempel pada benih dan
mempercepat perkecambahan. Benih disebar secara merata pada bedeng semai, dan
siap untuk dipindahtanamkan setelah berusia 3-4 minggu setelah tanam. Sistem
penanaman cabai hendaknya dilakukan secara tumpangsari dengan tanaman
bawang merah atau kubis, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan
mengantisipasi terjadinya kegagalan panen akibat serangan hama/penyakit.
Sebelum bibit ditanam, dilakukan pemasangan mulsa terlebih dahulu (Sumarni dan
Muharam, 2005)
Penggunaan mulsa pada cabai bertujuan untuk memelihara struktur tanah tetap
gembur, memelihara kelembaban, menekan gulma, dan mengurangi erosi tanah.
Kemudian bibit ditanam pada lubang tanam yang telah disediakan, dan segera

4
disiram dengan air (Sumarni dan Muharam, 2005). Pemupukan susulan dilakukan
sebanyak 3 kali, yakni saat tanaman berumur 3, 6, dan 9 minggu setelah tanam
menggunakan pupuk urea (200-300 kg/ha), ZA (300-400 kg/ha) dan KCl (250-300
kg/ha), masing-masing sepertiga dosis. Pupuk susulan disebar di sekitar lubang
tanaman, kemudian ditutup dengan tanah (Hilman dan Suwandi, 1992).
Pengendalian OPT pada tanaman cabai hendaknya dilakukan dengan menggunakan
konsep PHT, dimana penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir yang
digunakan. Hama dan penyakit yang umum menyerang cabai adalah ulat grayak,
lalat buah, ulat tanah, trips, kutu daun, penyakit antraknosa, layu fusarium, dan
bercak ungu. Pemanenan buah cabai dapat dilakukan sebanyak 10-12 kali. Panen
pertama dilakukan saat cabai berumur 60-75 hari setelah tanam, dengan interval
pemanenan 3-7 hari (Sumarni dan Muharam, 2005).

2.2 Lalat Buah (Bactrocera dorsalis)


Pada tahun 1920 lalat buah masuk ke Indonesia dan dilaporkan telah
menyerang lebih dari seratus jenis tanaman hortikultura (Kalie, 1992). Bahkan
hama lalat buah saat ini telah menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia, yaitu
Sumatera, Jawa, Madura dan Kepulauan Riau (Siwi dan Hidayat, 2004). Lalat buah
adalah salah satu hama utama dan dapat memberikan efek negatif terhadap
budidaya tanaman buah-buahan maupun sayuran di dunia yang berakibat pada
kerugian (Valladares dan Salvo, 2001). Hama ini dapat menyerang buah tanaman,
sehingga menimbulkan kerugian yang besar. Menurut Drew dan Hancock (1994),
lalat buah termasuk ke dalam genus Bactrocera, famili tephritidae, ordo diptera,
kelas serangga, filum arthropoda, kingdom animalia, dengan nama latin B. dorsalis.
Siklus hidup lalat buah terdiri dari 4 fase metamorfosis, atau memiliki
perkembangan sempurna yang disebut dengan holometabola. Fase tersebut terdiri
dari telur, larva, pupa dan imago (Vijaysegaran dan Drew, 2006). Siklus hidup lalat
buah B. dorsalis tersaji pada gambar 2.

5
Gambar 2. Siklus hidup B. dorsalis (Sumber : Narayan, 2019)

a. Fase telur
Lalat buah umumnya memiliki telur berbentuk lonjong dengan warna putih
atau kekuningan dan memiliki panjang antara 0,3 mm - 0,8 mm dan lebar 0,22 mm.
Telur akan menetas menjadi larva setelah 2 hari diletakkan oleh induknya (Weems
et al, 2012).
b. Fase larva
Lalat buah memiliki larva yang berwarna putih kekuningan dengan panjang
sekitar 10 mm, yang tersusun atas cepal, thorax, dan abdomen (Santiatma et al,
2016). Larva tinggal dan mengambil makanan di dalam buah. Akan tetapi, setelah
mencapai instar 3 larva akan menjatuhkan diri ke tanah untuk membentuk pupa.
Larva instar 1 dan 2 berlangsung selama 1 hari, sedangkan intsar 3 berlangsung 2-
3 hari (Hasyim et al, 2014).
c. Fase pupa
Pada awalnya pupa berwarna putih, kemudian mengalami perubahan warna
menjadi kekuningan dan coklat kemerahan. Masa perkembangan pupa berlangsung
selama 4–10 hari, setelah itu pupa akan berubah menjadi imago. Pupa berada di
dalam tanah sekitar 2–3 cm di bawah permukaan tanah, perkembangan pupa
tergantung dengan kelembapan tanah, dan kelembapan tanah yang sesuai dengan
stadium pupa adalah 0-9 %. (Djatmiadi dan Djatnika, 2001)

6
d. Fase imago
Lalat dewasa memiliki panjang tubuh sekitar 3,5–5 mm, yang berwarna hitam
kekuningan. Imago jantan dan betina lalat buah memiliki perbedaan yang terletak
pada bagian abdomen. Dimana pada ujung abdomen lalat buah jantan tidak terdapat
ovipositor, sedangkan pada ujung abdomen lalat betina terdapat ovipositor.
Ovipositor berfungsi untuk meletakkan telur (Hasyim et al, 2014).
Di Indonesia, kerugian paling besar akibat lalat buah terjadi pada tahun 2004,
yakni ditolaknya 13 komoditas holtikultura, seperti cabai, tomat, dan paprika di
pasar Taiwan. Kerugian tersebut mencapai U$ 3 juta (Tempo, 2003). Kelompok
lalat buah yang banyak menyerang komoditas hortikultura adalah dari spesies
Bractocera dorsalis (Kalshoven, 1981).

Gambar 3. Lalat buah B. dorsalis (Sumber: Verghese, 2014)

Torax Abdomen Sayap


Gambar 4. Ciri-ciri morfologi B. dorsalis (Sumber : Hidayat dan Siwi, 2004)

Lalat buah B. dorsalis memiliki torax tengah yang berwarna hitam, pita lateral
kuning pada mesonotum memanjang, dua rambut pada skutelum. Sayap hanya
mempunyai pita hitam pada garis costa dan garis anal, tidak mempunyai noda-noda
pada vena melintang. Bagian abdomen sebagian besar berwarna merah pucat
(coklat), terdapat pita hitam melintang pada tergit-2 dan tergit-3, dan pita hitam
sempit longitudinal membelah di tengah-tengah tergit. (Siwi dan Hidayat, 2004).
Kerusakan yang terjadi pada tanaman cabai akibat serangan B. dorsalis
berfluktuasi, serangan tertinggi terjadi pada saat tanaman berumur 60 – 75 hari.

7
Pada umumnya satu imago lalat buah dapat meletakkan sekitar 1-10 telur.
Kerusakan pada buah cabai akan meningkat jika populasi lalat buah tinggi
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah telur yang diletakkan (Herlinda,
2007). Larva B. dorsalis tidak hanya menyerang buah cabai yang sudah matang,
tapi juga menyerang buah yang masih setengah matang, Kehilangan hasil panen
cabai akibat B.dorsalis ini dapat mencapai 60 % (Hasyim et al, 2014).
Hal tersebut terjadi karena jumlah telur yang diletakkan lalat buah betina ikut
berpengaruh terhadap kerusakan pada tanaman cabai. Pada umumnya satu ekor
imago lalat buah dapat meletakkan sekitar 1-10 telur. Kerusakan pada buah cabai
akan meningkat jika populasi lalat buah tinggi menyebabkan terjadinya
peningkatan jumlah telur yang diletakkan (Herlinda, 2007).

2.3 Gejala Kerusakan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) pada Cabai


Lalat buah betina menyerang buah cabai dengan cara menusukkan
ovipositornya ke dalam buah cabai. Gejala serangan pada buah yang terserang lalat
buah, ditandai dengan adanya bekas tusukan ovipositor. Buah yang baru ditusuk
akan sulit dikenali karena hanya ditandai dengan titik hitam yang kecil sekali. Di
dalam daging buah telur lalat buah akan menetas menjadi larva. Larva lalat buah
akan memakan daging buah sehingga buah menjadi busuk, kemudian bekas tusukan
juga dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri
maupun cendawan, seingga akan muncul penyakit busuk buah (Hasyim et al, 2014).
Kehilangan hasil akibat dari serangan lalat buah dapat mencapai 60% (Hasyim
et al, 2014). Bahkan jika tidak dilakukan pengendalian segera dapat menyebabkan
kehilangan hasil sebesar 100%, karena buah busuk dan berguguran sebelum
waktunya (Jusmanto et al, 2019).

8
Gambar 5. Gejala serangan B. dorsalis pada buah cabai (Sumber : Herlinda et al, 2007)

2.4 Pengendalian Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) pada Tanaman Cabai


dengan Buah Tiruan dan Minyak Kelapa
Pengendalian lalat buah yang lebih efektif, dan ramah lingkungan dapat
dilakukan dengan menggunakan buah tiruan dan minyak kelapa. Konsepnya adalah
dengan menggunakan buah plastik berwarna kuning berdiameter 9 cm yang
didalamnya terdapat jus buah pisang matang (varietas Ambon) sebanyak 10 ml dan
formulasi minyak kelapa 1 %. Jus buah pisang dibuat dengan memadukan 200 gram
buah pisang dengan 1 liter air. Warna kuning dan aroma jus buah pisang dapat
menarik B. dorsalis betina untuk datang dan bertelur pada buah tiruan, sedangkan
minyak kelapa menggunakan konsentrasi 1% (Hidayat et al, 2019). Warna kuning
memiliki panjang gelombang berkisar 4.240 - 4.910 ampere, dimana panjang
gelombang tersebut merupakan kisaran yang dapat diterima oleh retina mata lalat
buah, yakni berkisar antara 2.540 - 6.000 ampere (Sunarno, 2011). Kemudian lalat
buah menyukai buah yang matang, bertekstur lunak, dan senyawa volatil yang
terdapat pada buah. Senyawa volatil terbentuk saat proses pematangan buah,
sehingga lalat buah lebih menyukai buah yang sudah matang (Siderhurst dan Jang,
2006).
Pada bagian atas buah tiruan dibuat lubang-lubang kecil secara merata
sebanyak 16 titik, sebagai tempat penetrasi telur lalat betina dan supaya aroma jus
buah pisang yang dihasilkan lebih kuat tercium keluar (Hidayat et al, 2019).
Lalat betina yang tertarik pada buah tiruan akan hinggap pada buah, lalu mulai
mencari tempat untuk melakukan penetrasi telur. Telur yang masuk pada buah

9
tiruan akan menghambat telur untuk berkembang, bahkan membuat telur mati,
sehingga dapat mencegah keturunan untuk menyelesaikan perkembangannya.
Penggunaan buah tiruan yang efektif untuk pengendalian lalat buah akan memiliki
dua keuntungan. Pertama, buah tiruan hanya bisa digantungkan dengan tali di
bawah kanopi tanaman atau diantara tanaman, sehingga tidak akan mengurangi
populasi tanaman utama. Kedua, pemeliharaan mudah, jika jumlah telur pada buah
tiruan sudah cukup banyak, maka jus buah yang ada di dalamnya tinggal diganti.
Penggantian jus buah bisa dilakukan sehari sekali, namun agar lebih hemat
sebaiknya menggunakan aroma buah pisang yang berasal dari minuman kemasan
(Hidayat et al, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian Hidayat et al, (2019) penggunaan kombinasi
antara minyak kelapa dengan buah tiruan terbukti lebih efektif dalam
mengendalikan serangan lalat buah betina pada tanaman cabai, dibanding dengan
menggunakan buah tiruan saja.

Tabel 1. Rata-rata jumlah kunjungan lalat buah pada buah cabai dan buah tiruan pada uji
semi-lapangan (Sumber : Hidayat et al, 2019)
Perlakuan Rata-rata Pengurangan Kunjungan lalat
jumlah kunjungan lalat buah pada buah
kunjungan lalat buah (%) buatan
buah pada buah
cabai
Minyak kelapa 1.21 ± 0.33 bc 71.8 -
(1%)
Buah tiruan 2.42 ± 0.34 cd 43.7 1.62 ± 0.18
Kombinasi (minyak 0.83 ± 0.30 ab 80.6 2.53 ± 0.28
kelapa + buah
tiruan)
Deltamethrin 0.5 0.14 ± 0.05 a 96.6 -
ml/L
Kontrol 4.30 ± 0.52 d - -

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa penggunaan kombinasi antara buah tiruan
dengan minyak kelapa dapat menghambat kunjungan lalat buah betina pada buah
cabai sebesar 80,6%, dalam pengujian semi lapangan. Pengamatan yang dilakukan
oleh Hidayat et al, (2019) dilakukan sebanyak lima kali dengan perlakuan yang

10
berbeda-beda. Tanaman cabai pada polybag yang berusia 10 minggu setelah tanam
dan sudah berbuah, dimasukkan pada kandang pengujian. Sebelum itu buah cabai
diberikan beberapa perlakuan. Pertama, buah disemprot dengan formulasi minyak
kelapa pada konsentrasi 1%, kemudian 10 lalat buah betina dilepaskan pada
kandang. Kedua, dengan menggunakan buah tiruan berwarna kuning yang
didalamnya sudah dimasukkan jus pisang. Buah tiruan digantung dengan seutas
benang yang menempel di bagian atas kandang. Setelah itu, lalat buah betina
dilepaskan di dalam kandang. Ketiga, menggunakan kombinasi antara minyak
kelapa dan buah tiruan. Perlakuan buah tiruan dilakukan secara bersama-sama
dengan minyak kelapa. Keempat, sebagai perbandingan, buah cabai disemprot
dengan insektisida sintetik (deltamethrin 25 g/L) pada konsentrasi 0,5 ml/L.
Kemudian untuk kontrol, buah cabai hanya disemprot air. Jumlah lalat buah betina
yang digunakan dalam setiap perlakuan adalah 10. Pengamatan dilakukan pada
kunjungan lalat buah, jumlah kunjungan lalat buah diamati selama dua jam pertama,
dan diamati kembali setiap interval 15 menit selama 24 jam/perlakuan.
Hasil dari pengamatan menunjukkan bahwa kombinasi antara buah tiruan
dengan minyak kelapa memiliki hambatan kunjungan lalat buah pada cabai paling
baik, yakni 80,6%. Sedangkan aplikasi terpisah dari minyak kelapa dan buah buatan
masing-masing menghasilkan hambatan sebesar 71,8% dan 43,7%. Penurunan
tertinggi kunjungan lalat buah pada buah cabai 96,6%, disebabkan oleh aplikasi
insektisida deltamethrin.
Lalat buah betina tidak menyukai minyak kelapa, terutama minyak kelapa yang
sudah dimurnikan kandungan volatilnya, sehingga minyak kelapa ini cenderung
memiliki efek penolak terhadap lalat buah betina. Sedangkan buah tiruan memiliki
kecenderungan untuk menarik lalat buah betina untuk datang dan bertelur, sehingga
bila keduanya dikombinasikan akan menciptakan manipulasi perilaku terpadu
(menolak dan menarik) yang mengarah pada serangan lalat buah yang lebih rendah
pada buah cabai (Foster dan Harris, 1997).

11
Gambar 6. Contoh buah tiruan yang dikunjungi lalat buah B.dorsalis betina (Sumber :
Hidayat et al, 2019)

12
BAB III
KESIMPULAN

Aplikasi penggunaan buah tiruan dan minyak kelapa dapat menurunkan


serangan lalat buah Bactrocera dorsalis betina pada tanaman cabai. Minyak kelapa
akan menolak lalat betina untuk berkunjung pada buah cabai, sedangkan buah
tiruan akan menarik lalat betina untuk berkunjung dan bertelur, sehingga setiap
telur yang masuk pada buah tiruan tidak akan dapat berkembang dan mati.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aryoudi, A., Mukhtar, I. P, dan Marheni. 2015. Interaksi Tropik Jenis Serangga di atas
Permukaan Tanah (Yellow Trap) dan Pada Permukaan Tanah (Pitfall Trap) pada
Tanaman Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) di Lapangan. Jurnal Online
Agroekoteknologi, 3(503) :1250 – 1258.
Chawda, Narayan. 2019. VNR Nursery: Fruit Fly. Diakses melalui
https://www.vnrnursery.in/fuit-fly/, pada 2 November 2019.
Djatmiadi, dan Djatnika. 2001. Petunjuk Teknis Surveilans Lalat Buah. Pusat
Teknik dan Metode Karantina Hewan dan Tumbuhan. Jakarta : Badan
Karantina Pertanian.
Drew, R. A. I., dan Hancock, D. L. 1994. The Bactrocera Dorsalis Complex of Fruit
Flies (Diptera:Tepritidae:Dacinae) in Asia. Bul of Entomol Res Supp (2) :
68.
FAOSTAT. 2019. Data Produktifitas Cabai di Indonesia dan Malaysia Tahun 2017.
Diakses melalui http://www.fao.org/faostat/en/#data, pada 5 Oktober 2019.
Foster, S. P., dan Harris, M. O. 1997. Behavioural Manipulation Methods For Insect
Pest Management. Annual Review of Entomology, 42, 123– 146.
Harpenas, A., dan Dermawan, R. 2011. Budidaya Cabai Unggul. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hasyim, A., Setiawati, W., dan Liferdi, L. 2014. Hortikultura Litbang: Teknologi
Pengendalian Hama Lalat Buah Pada Tanaman Cabai. Iptek hortikultura,
(10) : 20-25.
Herlinda, S., Mayasari, S., Adam, T., Pujiastuti, Y., dan Windusari, Y. 2007.
Populasi dan Serangan Lalat Buah Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera:
Tephritidae) serta Potensi Parasitoidnya Pada Pertanaman Cabai (Capsicum
annuum L.). Seminar Nasional dan Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah
Barat, Palembang.
Hidayat, Y., Rindy, F. F., Ahmad, F. R., Wawan, K., Endah, Y., Siska, R. 2019.
Combination of Edible Vegetable Oil and Artificial Fruit to Reduce
Bactrocera dorsalis Oviposition in Chilli Fruits. Journal of Applied
Entomology, 143 (2): 69-76
Hilman, dan Suwandi. 1992. Pengaruh Pupuk Nitrogen dan Triple Super Phosphate
pada Tanaman Cabai. Bul.Penel.Hort. 23(1) : 107-116.
Iwahashi, O., S. Subahar, and S. Sastrodihardjo. 1996. Attractiveness of Methyl
Eugenol to the Fruit Flies Bactrocera carambolae (Diptera: Tephrytidae) in
Indonesia. College of Agriculture, University of the Ryukyus, Japan.
Jusmanto, Nasir, B., dan Yunus, M. 2019. Daya Tarik Metil Eugenol Terhadap
Populasi Lalat Buah (Bactrocera Sp.) Pada Berbagai Ketinggian dan Warna
Perangkap Pada Pertanaman Cabai Merah. Agrotekbis, 7 (1) : 10-19.
Kalie, M. B. 1992. Mengatasi Buah Rontok, Busuk, dan Berulat. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Revised and transleted by
P.A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.

14
Kew. 2019. Capsicum annum, Chilli. Diakses melalui
https://images.kew.org/botanical-art/edible-plants-botanical-art/capsicum-
annuum-chilli-10684690.html, pada 5 November 2019
Kusandriani, Y., dan A., Muharam. 2005. Produksi Benih Cabai. Panduan Teknis
PTT Cabai Merah No. 1. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 32 hal.
Saptana, Muslim, C., dan Sri, H., S. 2018. Manajemen Rantai Pasok Komoditas
Cabai Pada Agroekosistem Lahan Kering di Jawa Timur. Analisis
Kebijakan Pertanian, 16 (1): 19-41.
Siderhurst, M. and E. Jang. 2006. Female Based Attraction of Oriental Fruit Fly,
Bactrocera Dorsalis (Hendel), to a Blend of Host Fruit Volatiles From
Terminalia Catappa L. Journal of Chemical Ecology 32: 2513-2524.
Siwi, S. S., dan Hidayat, P. 2004. Taksonomi dan Bioekologi Bactrocera spp.
(Diptera: Tephritidae) di Indonesia. Bogor Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Sumarni, N. dan Muharam, A. 2005. Budidaya Tanaman Cabai. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran: Bandung.
Sunarno. 2011. Ketertarikan Serangga Hama Lalat Buah Terhadap Berbagai Papan
Perangkap Berwarna. Agroforestri 6(2): 129-134.
Susanto, A., Yadi, S., Tohidin, T., dan Mohammad, I. 2018. Keragaman Serangga
Hama pada Tanaman Asparagus (Asparagus officinalias L.) di Sentra
Budidaya Tanaman Agroduta Lembang Jawa Barat. Jurnal Agrikultura, 29
(1) : 48-54.
Tempo. 2003. Produk Hortikultura Indonesia Terancam Ditolak Taiwan. Diakses
melalui https://bisnis.tempo.co/read/29514/produk-hortikultura-indonesia-
terancam-ditolak-taiwan, pada 15 Oktober 2019
Valladares, G. dan A. Salvo. 2001. Community dynamics of leafminers (Diptera:
Agromyzidae) and their parasitoids (Hymenoptera) in a natural habitat from
Central Argentina. Acta Oecologica 22: 301-309.
Verghese, A., and Rashmi, M.A. 2014. Managing Post harvest Quality and Losses
in Horticultural Crops, Chapter: Insect Disinfection and Quarantine. Daya
Publishing House, Astral International Pvt. Ltd., Editors: K.L. Chadha, R.K.
Pal, pp.211 -230.
Vijaysegaran, S., dan Drew, R. A. I. 2006. Fruit Fly Spesies of Indonesia : Host
Range and Distribution. ICMPFF : Griffith University.
Weems, H.V., J.B. Heppner., J.L. Nation., dan T.R. Fasulo. 2012. Oriental Fruit
Fly, Bactrocera dorsalis (Hendel) (Insecta: Diptera:
Tephritidae).University of Florida.

15

Anda mungkin juga menyukai