Anda di halaman 1dari 30

PEDOMAN UMUM

Kepentingan Informatorium Nasional


Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan
berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau
farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-
pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Tidak kalah penting,
obat harus selalu digunakan secara benar agar memberikan manfaat klinik yang optimal.
Terlalu banyaknya jenis obat yang tersedia ternyata juga dapat memberikan masalah
tersendiri dalam praktek, terutama menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan
obat secara benar dan aman. Para pemberi pelayanan (provider) atau khususnya para
dokter (prescriber) harus selalu mengetahui secara rinci, obat yang dipakai dalam
pelayanan. Di banyak sistem pelayanan kesehatan, terutama di negara-negara berkembang,
informasi mengenai obat maupun pengobatan yang sampai ke para dokter seringkali lebih
banyak berasal dari produsen obat. Informasi ini seringkali cenderung mendorong
penggunaan obat yang diproduksi oleh masing-masing produsennya dan kurang obyektif.
Dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, mutlak diperlukan sumber informasi obat yang
netral, agar para dokter dapat memperoleh informasi yang obyektif setiap saat
memerlukannya. Salah satu bentuk informasi obat yang komprehensif adalah buku
informatorium nasional. Pada dasarnya, pengertian formatorium obat adalah kumpulan
informasi dari produk-produk obat yang telah diijinkan untuk digunakan dalam suatu sistem
pelayanan kesehatan.
Informatorium Obat Nasional Indonesia atau disingkat IONI, memuat informasi mengenai
produk-produk obat yang disetujui beredar di Indonesia. Sesuai ketentuan yang berlaku,
sebelum disetujui beredar di Indonesia, obat harus melalui penilaian khasiat, keamanan dan
mutu, sehingga obat yang beredar telah memenuhi 3 kriteria tersebut. Informasi tersebut
mencakup informasi mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik obat, indikasi dan cara
penggunaannya, keamanannya dan informasi lainnya. Pengembangan IONI tidak terlepas
dari prinsip kedokteran berdasarkan bukti (evidence-based medicine), dengan informasi
yang dicantumkan adalah yang paling banyak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang
berkaitan dengan kemanfaatan dan keamanan penggunaan obat. Informasi yang dimuat
dalam suatu informatorium merupakan informasi yang telah ditelaah secara cermat
berdasarkan data penelitian.
Kepentingan dan manfaat informatorium dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:

 Mencakup produk-produk obat yang telah mendapat izin edar (legal)


 Memuat informasi obat, terutama mengenai indikasi, penggunaan dan cara
penggunaan, serta informasi keamanan obat yang resmi disetujui (approved).
 Menghindari pemberian infomasi obat yang salah (tidak berimbang, bias, tidak
lengkap).
 Mendorong penggunaan obat yang efektif, aman dan rasional.
Penggolongan Obat
Terdapat tiga jenis golongan obat yaitu obat bebas, obat bebas terbatas dan obat keras.
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter.
Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi
berwarna hitam.

Lingkaran Hijau → tanda khusus obat bebas

Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa dengan resep
dokter, tapi disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran
berwarna biru dengan garis tepi hitam.

Lingkaran Biru → obat bebas terbatas

Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula
tanda peringatan untuk aturan pakai obat, karena hanya dengan takaran dan kemasan
tertentu, obat ini aman dipergunakan untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa
empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang terdiri dari 6 macam,
yaitu:
Obat Keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Ciri-cirinya adalah
bertanda lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah
yang menyentuh garis tepi. Obat ini hanya boleh dijual di apotik dan harus dengan resep
dokter pada saat membelinya.

Lingkaran merah,dengan huruf K di tengah → obat keras

Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA)


Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna
mengatasi masalah kesehatan yang ringan, dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat
meningkatkan pengobatan sendirisecara tepat, aman dan rasional. Melakukan pengobatan
sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai melalui bimbingan apoteker yang
disertai dengan informasi yang tepat sehingga menjamin penggunaan yang tepat dari obat
tersebut.
Peran apoteker di apotik dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta
pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan
pengobatan sendiri.
Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter,
namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan penggunaan obat DOWA
harus dengan bimbingan apoteker. Daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan
keputusan Menteri Kesehatan. Sampai saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan
diserahkan tanpa resep dokter.
Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam:
1. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/ MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib
Apotek berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1
2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/ Menkes / Per / X / 1993 tentang
DaftarObat Wajib Apotek No.2
3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat
Wajib Apotek No.3
Obat Esensial
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling diperlukan untuk pelayanan kesehatan,
mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia
pada unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan melalui Daftar Obat Esensial Nasional, Pedoman
Pengobatan, Formularium Rumah Sakit dan Informatorium Obat Nasional Indonesia.
Keempat komponen ini merupakan komponen yang saling terkait untuk mencapai
peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan penggunaan obat.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling
dibutuhkan dan yang diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi
dan tingkatnya.
Dari sisi medis, obat esensial sedikit banyak dapat dikaitkan dengan obat pilihan (drug of
choice). Dalam hal ini hanya obat yang terbukti memberikan manfaat klinik paling besar,
paling aman, paling ekonomis, dan paling sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan yang
ada yang dimasukkan sebagai obat esensial.
Tujuan kebijakan obat esensial adalah untuk meningkatkan ketepatan, keamanan,
kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna
dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas,
memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kriteria
obat esensial yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan juga telah diadopsi
di Indonesia adalah sebagai berikut:
• Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit risk ratio) yang paling menguntungkan pasien
• Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan hayati (bioavailability)
• Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
• Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan
fasilitas kesehatan
• Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
• Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak langsung
• Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,maka pilihan
diberikan kepada obat yang:
 Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
 Sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak menguntungkan
 Stabilitas yang paling baik
 Paling mudah diperoleh
 Obat yang telah dikenal
• Obat jadi kombinasi tetap, dengan kriteria sebagai berikut:
 Obat bermanfaat bagi pasien hanya bila dalam bentuk kombinasi tetap
 Kombinasi tetap terbukti memberikan khasiat dan keamanan lebih baik dibanding
masing-masing komponennya
 Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat
untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut.
 Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat dan keamanan
 Kombinasi antibakteri harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi atau
efek merugikan lain.
Di Indonesia, penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus di
semua unit pelayanan kesehatan.
Obat Generik
Obat yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai oleh
masing-masing produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan promosi untuk
masing-masing produknya, maka harga obat dengan nama dagang umumnya lebih mahal.
Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan untuk mengendalikan harga obat, di
mana obat dipasarkan dengan nama bahan aktifnya.
Agar para dokter dan masyarakat dapat menerima dan menggunakan obat generik,
diperlukan langkah-langkah pengendalian mutu secara ketat. Di Indonesia, kewajiban
menggunakan obat generik berlaku di unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah.
Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka
kebijakan tersebut mencakup komponen-komponen berikut:
• Produksi obat generik dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Produksi
dilakukan oleh produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan
kebutuhan akan obat generik dalam pelayanan kesehatan.
• Pengendalian mutu obat generik secara ketat.
• Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan sesuai dengan
Cara Distribusi Obat yang Baik
• Peresepan berdasarkan nama generik, bukan nama dagang.
• Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit-unit
pelayanan kesehatan.
• Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas
secara berkesinambungan.
• Pemantauan dan evaluasi berkala terhadap penggunaan obat generik.
Mutu obat generik tidak perlu diragukan mengingat setiap obat generik juga mendapat
perlakuan yang sama dalam hal evaluasi terhadap pemenuhan kriteria khasiat, keamanan
dan mutu obat. Namun, sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa penggunaan obat
generik mulai menurun. Untuk itu hasil dari pemeriksaan mutu dan informasi mengenai
obat generik harus selalu dikomunikasikan kepada pemberi pelayanan maupun ke
masyarakat luas.
Formularium Rumah Sakit
Bagi suatu rumah sakit, tidak mungkin untuk menyediakan semua jenis obat yang ada di
pasaran untuk pelayanan rumah sakit. Untuk itu dikembangkan kebijakan formularium
rumah sakit, yang pada dasarnya adalah merupakan upaya pemilihan obat di rumah sakit.
Setiap rumah sakit di negara maju dan juga dibanyak negara berkembang umumnya telah
menerapkan formularium rumah sakit. Formularium rumah sakit (FRS) pada hakekatnya
merupakan daftar produk obat yang telah disepakati untuk dipakai di rumah sakit yang
bersangkutan, beserta informasi yang relevan mengenai indikasi, cara penggunaan dan
informasi lain mengenai tiap produk. FRS yang telah disepakati di satu rumah sakit perlu
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh (commitment) dari pihak-pihak yang terkait,
meliputi:
• Pengelola obat menyediakan obat-obat di rumah sakit sesuai dengan FRS
• Dokter menggunakan obat-obat yang ada di FRS.
Formularium Rumah Sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/Komite Farmasi
dan Terapi (KFT) Rumah Sakit berdasarkan DOEN dan disempurnakan dengan
mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di
Rumah Sakit tersebut. Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman
pengobatan yang berlaku.
Mengingat pengembangan dan penerapan FRS adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan
melalui penggunaan obat yang aman, efektif, rasional dan juga dalam rangka efisiensi biaya
pengobatan, maka pengembangan FRS perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait di
rumah sakit, yakni pihak pengelola obat, manajemen rumah sakit, dan keahlian- keahlian
klinik yang ada. Keputusan untuk memasukkan suatu obat dalam FRS harus didasarkan atas
kesepakatan akan kriteria tertentu yang mencakup bukti, manfaat klinis obat, keamanan
obat, kesesuaian obat dengan pelayanan yang ada di rumah sakit dan biaya. Faktor-faktor
ini harus dikaji secara ilmiah dari sumber-sumber informasi ilmiah yang layak dipercaya.
Kajian tidak cukup hanya berdasarkan informasi yang diberikan oleh produsen obat.
FRS yang telah dikembangkan harus disosialisasikan di kalangan dokter, dan dalam
penerapannya harus dilakukan pemantauan secara berkesinambungan. Hasil pemantauan
dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Pedoman Pengobatan
Di banyak sistem pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang,
saat ini banyak dikembangkan dan dilaksanakan pedoman pelayanan termasuk pedoman
pengobatan dalam berbagai tingkat pelayanan. Unit-unit pelayanan kesehatan, baik di
tingkat primer, sekunder maupun tersier, membutuhkan suatu pedoman pengobatan yang
bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, keamanan maupun cost-effectiveness tindakan
farmakoterapi yang diberikan.
Kebutuhan pedoman pengobatan dilator-belakangi oleh banyaknya alternatif pengobatan
yang ada untuk setiap jenis penyakit dan juga adanya kebiasaan pengobatan yang sangat
beragam di antara para dokter berdasarkan pengalamannya masing-masing. Prinsip
kedokteran berdasarkan bukti (evidence based medicine) menuntut bahwa alternatif terapi
yang terbukti secara ilmiah paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai dan paling
ekonomis untuk pasien yang harus dipilih dan diberikan kepada pasien.
Agar pedoman pengobatan dapat memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya, maka
beberapa hal berikut perlu mendapatkan perhatian:
• Pedoman pengobatan dikembangkan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dan
handal.
• Pedoman pengobatan dikembangkan dengan melibatkan berbagai faktor dalam sistem
pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
• Pedoman pengobatan perlu disosialisasikan kepada para dokter.
• Perlu pemantauan ketaatan terhadap pedoman pengobatan melalui audit atau studi
penggunaan obat di unit-unit pelayanan kesehatan.
• Pedoman pengobatan memuat penyakit yang umum dijumpai di unit pelayanan
kesehatan.
• Pedoman pengobatan harus disesuaikan dengan sarana pelayanan dan pelaku
pelayanan yang ada.
• Mengembangkan pedoman pengobatan dan menyebarluaskannya ke unit-unit
pelayanan kesehatan saja tidak akan memberikan banyak dampak perubahan terhadap
kebiasaan penggunaan obat. Pedoman pengobatan perlu dipakai dan ditaati oleh para
dokter dalam pelaksanaan pelayanan dan secara berkala dilakukan pemeriksaan (audit)
dan pemantauan (monitoring) kebiasaan penggunaan obat. Hasil pemeriksaan dan
pemantauan ini perlu diumpanbalikkan kepada para dokter sebagai masukan yang
diharapkan akan meningkatkan mutu penggunaan obatnya.
• Masalah Dalam Penggunaan Obat
• Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak ekonomis
atau yang lebih populer, dengan istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi masalah
tersendiri dalam pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara
berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan, misalnya di rumah
sakit, puskesmas, praktek pribadi, maupun di masyarakat luas.
• Penggunaan obat yang tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak imbang dengan
manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat. Dengan kata lain,
penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika:
• Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru
• Pemilihan obat tidak tepat, artinya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling
bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis
• Cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi
pemberian dan lama pemberian
• Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaan-keadaan
yang tidak memungkinkan penggunaan suatu obat, atau mengharuskan penyesuaian
dosis (misalnya penggunaan aminoglikosida pada gangguan ginjal) atau keadaan yang
akan meningkatkan risiko efek samping obat
• Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien atau
keluarganya
• Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tidak
diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak
langsung.
Latar belakang penyebab terjadinya masalah penggunaan obat bersifat kompleks karena
berbagai faktor ikut berperan. Ini mencakup faktor yang berasal dari dokter, pasien, sistem
dan sarana pelayanan yang tidak memadai, dan dari kelemahan-kelemahan regulasi yang
ada. Tidak kalah pentingnya adalah faktor yang berasal dari promosi obat yang berlebihan
dan adanya informasi yang tidak benar mengenai manfaat dan keamanan suatu obat.
Masalah penggunaan obat tidak semata- mata berkaitan dengan kekurangan informasi dan
pengetahuan dari profesional kesehatan (dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya)
maupun pasien atau masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan kebiasaan yang sudah
mendalam, dan perilaku pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, semua profesional kesehatan harus
mewaspadai lima hal yang harus tepat dalam pemberian obat yaitu: “Tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat waktu pemberian”. Dalam manajemen
risiko, semua hal yang harus tepat ini diubah/ dibalik menjadi kategori medication error.
Beberapa masalah dalam pemberian obat yang dikategorikan sebagai medication error,
adalah sebagai berikut:
1. Memberikan obat yang salah yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak
diresepkan untuk pasien tersebut.
2. Kelebihan jumlah sediaan yang diberikan, yaitu apabila sediaan yang diberikan lebih
besar dari total jumlah sediaan pada saat diminta oleh dokter. Contoh: apabila
dokter meminta obat untuk diberikan hanya pada pagi hari namun pasien juga
menerima obat untuk digunakan pada sore hari.
3. Kesalahan dosis atau kesalahan kekuatan obat yaitu apabila pada sediaan yang
diberikan terdapat kesalahan jumlah dosis
4. Kesalahan rute pemberian yaitu apabila obat diberikan melalui rute yang berbeda
dengan yang seharusnya, termasuk juga sediaan yang diberikan pada tempat yang
salah. Contoh: obat seharusnya diteteskan pada telinga sebelah kanan tetapi
diteteskan pada telinga sebelah kiri.
5. Kesalahan waktu pemberian yaitu apabila waktu pemberian obat berbeda dari
seharusnya tanpa ada alasan yang kuat dan memberikan perbedaan efek yang cukup
signifikan.
6. Kesalahan bentuk sediaan yaitu apabila bentuk sediaan yang diberikan berbeda
dengan yang diminta oleh dokter Contoh: memberikan tablet padahal yang diminta
adalah suspensi
Contoh medication error yang berhubungan dengan singkatan dan simbol

Singkata Maksud Error Rekomendas


n sebenarnya i
Nama
Obat    
Singkatan:
Mitosantro
MTX n
Metotreksat
Magnesiu
m Sulfat
MS (MgSO4)
Morfin Sulfat
Stemmed    
names:
 Jangan
Nitro drip menyingkat na
   Nitroglise ma obat
 Nitroprusid rin
   
Simbol  
1 (angka
1); contoh
lain
Memisahkan misalnya
dua dosis 25unit/10
atau untuk unit Tuliskan ‘per’
mengindikasi dibaca jangan menuli
kan per sebagai skan
110 unit simbolnya
/
Salah
dibaca
+ Tanda sebagai
  tambah angka 4 Tuliskan ‘dan’

Nilai      
desimal
Nol setelah 1 mg Salah Pencantuman
nilai dibaca angka “Nol”
desimal sebagai 1 setelah koma
(contoh 0 mg berbahaya
1.0 mg) karena dapat
disalah
artikan,
karena itu
jangan
digunakan

Singkatan istilah. Pada umumnya, istilah-istilah dari obat dan sediaan sebaiknya ditulis
secara lengkap. Misalnya penulisan sediaan injeksi antibiotik dengan kekuatan 1 gram
seringkali ditulis “1 g”. Hal ini sebaiknya ditulis secara lengkap yaitu “1 gram”.

Kekuatan dan kuantitas. Kekuatan atau kuantitas dari sediaan kapsul, tablet hisap, tablet,
dan lain-lain harus ditetapkan oleh dokter penulis resep.

Jika apoteker menerima resep yang tidak lengkap untuk suatu sediaan yang digunakan
secara sistemik dan berpendapat bahwa pasien tidak perlu kembali ke dokter, prosedur
seperti berikut ini dapat diterapkan:

a. Harus dilakukan usaha untuk menghubungi dokter penulis resep untuk memastikan
maksudnya.
b. Jika usaha yang dilakukan untuk menghubungi dokter penulis resep berhasil,
sesudah itu jika memungkinkan apoteker harus mengusahakan supaya kuantitas,
kekuatan yang dapat digunakan, dan dosis dapat disisipkan/disusulkan oleh penulis
resep pada resep yang tidak lengkap tersebut.
c. Selanjutnya, meskipun dokter penulis resep telah berhasil dihubungi, perlu
didokumentasikan secara tertulis pada resep bahwa dokter sudah dihubungi dan
tambahkan informasi mengenai kuantitas dan kekuatan yang dapat digunakan dari
sediaan yang tersedia, dan dosis sesuai indikasi. Catatan tersebut sebaiknya diberi
nama dan tanggal oleh apoteker.
d. Apabila dokter penulis resep tidak dapat dihubungi dan atau apoteker ragu-ragu
dalam mengambil keputusan, resep yang tidak lengkap tersebut sebaiknya
dikirimkan kembali kepada dokter penulis resep.

Eksipien/Bahan Tambahan

Bahan resmi, yang dibedakan dari sediaan resmi, tidak boleh mengandung bahan yang
ditambahkan, kecuali secara khusus diperkenankan dalam monografi. Apabila
diperkenankan, pada penandaan harus tertera nama dan jumlah bahan tambahan tersebut.
Kecuali dinyatakan lain dalam monografi atau dalam ketentuan umum Farmakope
Indonesia, bahan-bahan yang diperlukan seperti bahan dasar, penyalut, pewarna,
penyedap, pengawet, pemantap dan pembawa dapat ditambahkan ke dalam sediaan resmi
untuk meningkatkan stabilitas, manfaat atau penampilan maupun untuk memudahkan
pembuatan. Bahan tambahan tersebut dianggap tidak sesuai dan dilarang digunakan,
kecuali (a) bahan tersebut tidak membahayakan dalam jumlah yang digunakan, (b) tidak
melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk memberikan efek yang diharapkan, (c)
tidak mengurangi ketersediaan hayati, efek terapi atau keamanan dari sediaan resmi, (d)
tidak mengganggu dalam pengujian dan penetapan kadar.
Udara dalam wadah sediaan resmi dapat dikeluarkan atau diganti dengan karbondioksida,
helium, nitrogen atau gas lain yang sesuai. Gas tersebut harus dinyatakan pada etiket,
kecuali dinyatakan lain dalam monografi.

Sediaan yang dibuat baru

Suatu produk sebaiknya hanya dibuat baru apabila tidak ada produk tersebut yang beredar
di pasaran.

British Pharmacopoeia (BP) mengatur bahwa sediaan yang harus dibuat segar berarti bahwa
sediaan tersebut harus dibuat tidak lebih dari 24 jam sebelum sediaan tersebut digunakan.
Tujuan pengaturan agar suatu sediaan sebaiknya dibuat baru menunjukkan bahwa
perubahan/peruraian cenderung terjadi apabila sediaan tersebut disimpan selama lebih dari
4 minggu pada temperatur 15-250C.

Kata air tanpa keterangan lain berarti merupakan air yang direbus dan air purifikasi yang
didinginkan.

Keamanan di rumah

Pasien harus diingatkan untuk menyimpan semua obat jauh dari jangkauan anak-anak.
Semua sediaan padat, cair oral dan eksternal harus diserahkan dalam wadah yang dapat
ditutup yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak kecuali jika:

 Kemasan asli obat tidak memungkinkan hal ini


 Pasien akan mengalami kesulitan dalam membuka kemasan yang tidak dapat dibuka
oleh anak-anak
 Adanya permintaan khusus supaya sediaan tersebut tidak diserahkan dalam
kemasan yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak
 Tidak tersedia kemasan yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak khususnya untuk
sediaan cair
 Semua pasien sebaiknya disarankan untuk membuang obat yang sudah tidak
terpakai.

Produk Komplemen

Dewasa ini, informasi mengenai obat herbal atau produk komplemen telah semakin banyak
ditemui. Namun, IONI hanya menyajikan informasi mengenai produk yang dikategorikan
sebagai obat. Referensi mengenai obat herbal atau produk komplemen beserta interaksi
obat herbal dengan obat dari bahan kimia antara lain dapat dilihat pada Buku
Informatorium Suplemen Makanan–Badan POM.

Obat dan Pengaruhnya Terhadap Kewaspadaan Saat Menjalankan Mesin

Tenaga kesehatan harus memberi informasi kepada pasien jika terapi yang diberikan dapat
mempengaruhi kemampuan dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pasien harus diberi
informasi bahwa selama minum obat seperti golongan sedatif, jangan menjalankan mesin
atau mengendarai kendaraan bermotor. Efek obat golongan sedatif dapat meningkat
dengan adanya alkohol, karena itu hindari minum obat ini bersama-sama dengan alkohol.

Nama Obat

Nama obat harus muncul pada etiket kecuali dokter menginstruksikan hal lain.

a. Kekuatan obat harus dinyatakan dalam kemasan/etiket, jika sediaan (bentuk tablet,
kapsul atau bentuk sediaan lain) memiliki berbagai kekuatan yang berbeda.

b. Jika dokter menginginkan ada keterangan seperti misalnya “tablet sedatif” pada
etiket obat, dokter harus menuliskannya pada resep

c. Nama obat dapat tidak ditulis jika terdapat beberapa kandungan obat (merupakan
kombinasi)

d. Nama obat yang ditulis pada etiket harus sama dengan nama obat yang tertulis pada
resep

Menjaga Keamanan dan Keabsahan Resep

Untuk menjamin validitas resep dan tidak disalahgunakan, disarankan agar:

• tidak meninggalkan blanko resep di meja praktek tanpa pengawasan

• tidak meninggalkan blanko resep di dalam mobil dan tampak dari luar

• jika tidak digunakan, sebaiknya blanko resep disimpan dalam tempat yang terkunci.

Jika terdapat keraguan terhadap keabsahan suatu resep, apoteker harus menghubungi
dokter penulis resep.

Keamanan dan Kesehatan

Dalam menangani zat kimia atau biologi yang memerlukan perhatian, agar diwaspadai
adanya kemungkinan reaksi alergi, memicu api atau ledakan, menimbulkan radiasi atau
keracunan. Senyawa-senyawa, seperti kortikosteroid, beberapa antimikroba, fenotiazin, dan
sitotoksik bersifat iritan (menimbulkan iritasi) dan sangat poten sehingga harus ditangani
dengan hati-hati. Hindari paparan pada kulit atau terhisap serbuknya.

Penggunaan Obat Rasional

Proses farmakoterapi

Pada waktu pasien berhadapan dengan dokter, seharusnya dilakukan proses konsultasi
secara lengkap untuk menentukan atau memperkirakan diagnosis dan memberikan
tindakan terapi setepat mungkin. Kerangka konsep proses konsultasi medis secara lengkap
mencakup proses berikut ini:

• Penggalian riwayat penyakit atau anamnesis. Kegiatan ini bertujuan untuk mencari
informasi mengenai gejala dan riwayat penyakit.

• Pemeriksaan pasien. Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan


perkusi. Pada beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan, misalnya
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan sebagainya, untuk mendukung
penegakan diagnosis penyakit.

• Penegakan diagnosis. Berdasarkan gejala dan tanda-tanda serta hasil pemeriksaan,


diagnosis penyakit ditegakkan. Diagnosis pasti tidak selalu dapat ditegakkan secara
langsung, sehingga diperlukan perawatan atau pengobatan yang bersifat sementara
sebelum diagnosis pasti ditegakkan.

• Pemberian terapi. Terapi dapat dilakukan dengan obat (farmakoterapi), bukan obat,
atau kombinasi keduanya. Tergantung pada penyakit atau masalah yang diderita oleh
pasien, terapi yang diperlukan mungkin istirahat total, fisioterapi, terapi bedah, pemberian
nutrisi, dan sebagainya. Jika diperlukan terapi obat, maka dipilih obat yang secara ilmiah
telah terbukti paling bermanfaat untuk kondisi penyakitnya, paling aman dan paling
ekonomis serta paling sesuai untuk pasien.

• Pemberian informasi. Pasien atau keluarganya perlu diberi penjelasan mengenai


penyakit yang dideritanya serta terapi yang diperlukan. Penjelasan ini akan meningkatkan
kepercayaan dan ketaatan pasien dalam menjalani pengobatan.

Karena proses konsultasi medis antara dokter dan pasien ini telah menjadi proses yang
rutin, seringkali hal ini justru kurang banyak diperhatikan dalam kenyataan praktek klinis.
Para dokter perlu diingatkan kembali akan pentingnya proses-proses ini sebelum
memutuskan untuk memberikan obat.

Prinsip farmakoterapi rasional


Agar tercapai tujuan pengobatan yang efektif, aman, dan ekonomis,
maka pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi
sebagai berikut:
 Indikasi tepat.
 Penilaian kondisi pasien tepat.
 Pemilihan obat tepat, yakni obat yang efektif, aman, ekonomis, dan
sesuai dengan kondisi pasien.
 Dosis dan cara pemberian obat secara tepat.
 Informasi untuk pasien secara tepat.
 Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat.
Komunikasi antara dokter dengan pasien

Komunikasi antara dokter dengan pasien memegang peran penting dalam farmakoterapi.
Mengenai komunikasi ini pasien akan memperoleh pengertian mengenai penyakit yang
dideritanya, tindakan pengobatan, obat yang diperlukan dan bagaimana menggunakannya.
Hal ini akan membantu meningkatkan ketaatan pasien dalam menggunakan obat secara
benar. Sayangnya komunikasi antara dokter dan pasiennya di unit-unit pelayanan kesehatan
di Indonesia relatif masih belum memadai. Di Puskesmas misalnya, kontak antara pasien
dengan dokter hanya berkisar rata-rata 3 menit, tidak cukup untuk memberikan informasi
secara lengkap kepada pasien. Saat ini, pasien mempunyai hak untuk mengetahui penyakit
yang dideritanya dan pengobatan yang akan diberikan kepadanya. Lebih dari itu, di banyak
sistem pelayanan pasien juga berhak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan tentang
pengobatan yang akan diterima, sesudah menerima penjelasan secara rinci tentang manfaat
dan risiko yang akan terjadi. Jelas bahwa dokter mempunyai kewajiban profesional untuk
memberikan penjelasan kepada pasiennya dengan pola komunikasi dua arah. Unsur-unsur
informasi yang perlu dikomunikasikan kepada pasien atau keluarganya seharusnya
mencakup hal-hal berikut:

• Informasi tentang penyakit. Ini mencakup informasi tentang penyebab, perjalanan


penyakit, kemungkinan komplikasi, dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
pencegahan dan penyembuhannya.

• Informasi tentang penanganan penyakit Informasi mengenai penanganan penyakit


tanpa obat atau dengan obat, tujuan penanganan, manfaat dan risiko masing- masing
alternatif terapi.

• Informasi tentang obat. Informasi ini mencakup jenis obatnya, manfaat klinik dan
efek terapi yang akan dirasakan, kemungkinan risiko efek samping dan gejalanya, dosis dan
cara penggunaannya. Pasien perlu diberi motivasi untuk menggunakan obat secara benar.

• Pesan untuk meningkatkan kepercayaan pasien. Penting untuk memberikan pesan


yang bersifat membangkitkan kepercayaan, agar pasien mantap dan percaya diri mengenai
proses penyembuhannya. Pesan ini harus diberikan secara memadai sesuai dengan kondisi
penyakit dan keadaan pasien dan lingkungannya.

• Informasi mengenai tindaklanjut. Informasi mengenai tindak lanjut, misalnya


pemeriksaan tambahan apa yang diperlukan, kapan harus diperiksa kembali (kontrol), dan
apa yang perlu dilakukan jika muncul gejala yang tidak diinginkan.

Dalam konsep pelayanan kesehatan modern saat ini, pasien bukan lagi dianggap sebagai
obyek keputusan terapi, tetapi juga subyek yang berhak untuk mengetahui serta ikut
memutuskan alternatif apa yang akan diberikan.

Penulisan Resep

Resep merupakan dokumen legal yang digunakan sebagai sarana komunikasi secara
profesional dari dokter kepada penyedia obat, agar penyedia obat memberikan obat kepada
pasien sesuai dengan kebutuhan medis yang telah ditentukan oleh dokter.
Resep harus ditulis secara jelas dan mudah dimengerti. Harus dihindari penulisan resep yang
menimbulkan ketidakjelasan, keraguan, atau salah pengertian mengenai nama obat serta
takaran yang harus diberikan. Menulis resep secara tidak jelas seperti yang sering terjadi
saat ini, merupakan kebiasaan yang tidak benar.

Resep harus memuat unsur-unsur informasi mengenai pasien, pengobatan yang diberikan
dan nama dokter yang menulis resep. Informasi tentang pasien mencakup nama, jenis
kelamin, dan umur. Di beberapa unit pelayanan kesehatan di negara-negara tertentu,
diagnosis juga sering ditulis dalam resep. Ini memungkinkan dilakukan pengecekan ulang
terhadap jenis obat yang ditulis oleh dokter pada saat pemberi obat menyediakan obatnya.
Informasi tentang obat mencakup nama obat (seyogyanya nama generik, kecuali kalau
memang benar-benar diperlukan nama dagang), bentuk sediaan dan kekuatan sediaan, cara
dan aturan penggunaan, serta jumlah satuan yang diinginkan. Informasi mengenai dokter
mencakup nama dokter, alamat, keahlian, nomor ijin dokter atau ijin praktek. Beberapa
pesan khusus bila perlu ditulis secara jelas, misalnya diminum berapa jam sebelum makan,
diminum pada saat perut kosong dan sebagainya. Resep harus memuat tanda tangan dokter
secara resmi.

Pendidikan Berkelanjutan

Pendidikan berkelanjutan berperan penting dalam mengikuti kemajuan-kemajuan mutakhir


di bidang farmakoterapi, terutama jika dikaitkan dengan prinsip kedokteran berdasarkan
bukti (evidence based medicine). Kemajuan farmakoterapi dan penemuan obat-obat baru
sedemikian pesatnya, sehingga dokter harus selalu mengikuti kemajuan-kemajuan ini agar
dapat menelaah serta memilih secara kritis, obat yang layak digunakan dalam praktek.

Adalah sikap yang keliru untuk menerapkan begitu saja suatu obat yang baru tanpa
menelaah dan membandingkannya dengan pilihan utama yang sudah ada, dalam hal
manfaat klinis, keamanan, biaya dan kesesuaian dengan situasi dan kondisi pasien yang
harus menggunakan obat.

Para dokter juga harus dapat menelaah dan memilih alternatif sumber informasi maupun
media (misalnya kegiatan ilmiah) yang akan diikuti untuk pendidikan berkelanjutan. Banyak
media ilmiah yang sebenarnya merupakan ajang promosi obat baru, namun dikemas
sedemikian rupa sehingga pesannya tersamarkan. Organisasi-organisasi profesi sering
menyelenggarakan kegiatan pendidikan berkelanjutan, tetapi sayangnya juga seringkali
tidak dapat lepas dari beban promosi obat baru.

Dalam perkembangan pelayanan kedokteran di tingkat global ini, perlu dikembangkan suatu
mekanisme atau sistem pendidikan berkelanjutan yang benar-benar terakreditasi, bebas
dari pesan-pesan promosi produk teknologi kedokteran dan obat.

Penyerahan Obat ke Pasien

Penyerahan obat ke pasien oleh penyedia obat (dalam hal ini apoteker atau asisten
apoteker) berperan penting dalam upaya agar pasien mengerti dan menggunakan obat
secara benar seperti yang dianjurkan. Kekeliruan dalam penyediaan obat dan penyerahan
obat ke pasien sering mengakibatkan kerugian bagi pasien. Apoteker atau tenaga kesehatan
lain yang bertugas dalam penyediaan dan penyerahan obat adalah orang terakhir yang
berhubungan dengan pasien atau keluarganya, sebelum obat digunakan. Oleh karena itu
penting untuk selalu mengingat dan mengikuti proses penyediaan dan penyerahan obat
secara benar (Good Dispensing Practice). Proses penyediaan dan penyerahan obat ke pasien
mencakup kegiatan-kegiatan berikut:

• Membaca dan mengerti isi resep. Perlu diteliti keabsahan resep, asal resep, nama
obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan cara penggunaannya. Jika ada keraguan,
konsultasikan dengan kolega lain atau tanyakan kepada dokter pembuat resep.

• Menyediakan obat secara benar. Teliti ketersediaan obat, waktu kadaluwarsa, serta
cermati bentuk dan kekuatan sediaan.

• Menentukan jumlah obat. Menghitung jumlah tablet atau kapsul harus dilakukan
dalam cawan yang bersih. Pengukuran sediaan cair harus memakai alat pengukur yang
bersih, misalnya gelas ukur.

• Mengemas dan memberi etiket. Obat harus diserahkan ke pasien dengan kemasan
dan etiket berisi informasi yang lengkap dan tepat. Kemasan yang baik akan memberikan
kesan yang baik terhadap pelayanan yang diberikan. Informasi yang jelas dan lengkap akan
menghindari kekeliruan penggunaan. Informasi pada etiket harus lengkap memuat nama
obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis serta frekuensi dan cara penggunaan. Nama
pasien, tanggal serta identitas dan alamat apotik harus jelas. Nama obat sebaiknya tidak
ditutup dengan etiket yang diberikan oleh apotik, karena konsumen berhak atas informasi
obat yang dikonsumsinya.

• Menyerahkan obat dan memberikan informasi. Pada waktu menyerahkan obat ke


pasien atau keluarganya, informasi yang lengkap mengenai nama obat, kegunaan, efek yang
diinginkan, efek yang tidak diinginkan yang harus diwaspadai dan bagaimana
menghadapinya, dan juga efek yang tidak diinginkan namun tidak berbahaya, hal-hal yang
harusdiperhatikan serta cara penggunaan obat harus diberikan. Informasi mengenai obat ini
sebaiknya diberikan melalui proses konsultasi obat pada konsumen, yang memungkinkan
adanya komunikasi dua arah antara apoteker dan konsumen. Pada akhir proses konsultasi
ini, harus diyakini betul bahwa pasien menjadi tahu dan mengerti terhadap semua informasi
obat yang akan dikonsumsinya. Hal ini akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk
mengikuti anjuran pengobatan.

Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa di mana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena
interaksi ini. Akibat yang tidak dikehendaki dari peristiwa interaksi ini ada dua kemungkinan
yakni meningkatnya efek toksik atau efek samping obat atau berkurangnya efek klinis yang
diharapkan. Mekanisme interaksi dapat dibagi menjadi:

• Interaksi farmasetik

• Interaksi farmakokinetik, dan

• Interaksi farmakodinamik.

Interaksi farmasetik terjadi jika antara dua obat yang diberikan bersamaan tersebut terjadi
inkompabilitas atau terjadi reaksi langsung, yang umumnya di luar tubuh dan berakibat
berubahnya atau hilangnya efek farmakologis obat yang diberikan. Sebagai contoh,
pencampuran penisilin dan aminoglikosida akan menyebabkan hilangnya efek farmakologik
yang diharapkan.

Interaksi farmakokinetik terjadi jika perubahan efek obat terjadi dalam proses absorpsi,
distribusi obat dalam tubuh, metabolisme, atau dalam proses ekskresi di ginjal. Interaksi
dalam proses absorpsi terjadi jika absorpsi suatu obat dipengaruhi oleh obat lain. Misalnya,
absorpsi tetrasiklin berkurang bila diberikan bersamaan dengan logam berat seperti kalsium,
besi, magnesium atau aluminium, karena terjadi ikatan langsung antara molekul tetrasiklin
dan logam-logam tersebut sehingga tidak dapat diabsorpsi. Interaksi dalam proses distribusi
terjadi terutama bila obat-obat dengan ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat-obat
lain dengan ikatan protein yang lebih lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma.
Akibatnya kadar obat bebas yang tergusur ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala
konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan efek toksik. Sebagai contoh, peningkatan
efek toksik antikoagulan warfarin atau obat hipoglikemik (tolbutamid, klorpropamid) karena
pemberian bersama dengan fenilbutason, sulfa atau asetosal. Interaksi dalam proses
metabolisme terjadi kalau metabolisme suatu obat dipacu atau dihambat oleh obat lain. Ini
akan mengakibatkan menurunnya atau meningkatnya kadar obat, dengan segala akibatnya.
Obat-obat yang dikenal luas, sebagai pemacu metabolisme (enzyme inducer) termasuk
rifampisin dan obat-obat antiepilepsi. Sedangkan obat yang dikenal sebagai penghambat
metabolisme (enzyme inhibitor) misalnya simetidin, INH dan eritromisin. Obat-obat yang
mengalami metabolisme di hati dapat dipengaruhi oleh obat-obat ini. Kasus kegagalan
kontrasepsi sering dilaporkan pada pasien-pasien yang menggunakan kontrasepsi steroid
dan pada saat bersamaan menjalani pengobatan dengan rifampisin, oleh karena
menurunnya kadar steroid dalam darah. Interaksi dalam proses ekskresi terjadi kalau
ekskresi suatu obat (melalui ginjal) dipengaruhi oleh obat lain. Contoh yang populer adalah
penghambatan ekskresi penisilin oleh probenesid, berakibat meningkatnya kadar antibiotik
dalam darah. Interaksi ini justru dimanfaatkan untuk meningkatkan kadar penisilin dalam
darah.

Interaksi farmakodinamik terjadi di tingkat reseptor dan mengakibatkan berubahnya efek


salah satu obat, yang bersifat sinergis bila efeknya menguatkan, atau antagonis bila efeknya
saling mengurangi. Sebagai contoh adalah meningkatnya efek toksik glikosida jantung pada
keadaan hipokalemia. Dokter harus selalu waspada terhadap kemungkinan interaksi jika
memberikan dua obat atau lebih bersamaan apapun mekanismenya. Daftar interaksi yang
bermakna secara klinis dapat dilihat pada Lampiran 1.

Obat untuk Penggunaan Khusus

(Special Access Scheme / SAS)

Pemasukan obat jalur khusus merupakan mekanisme pemasukan obat dalam jumlah
terbatas untuk penggunaan terapi khusus yang dibutuhkan pasien, yang berdasarkan
justifikasi ilmiah Dokter Penanggung Jawab, pasien menderita penyakit mengancam jiwa
atau serius dan membutuhkan obat tersebut. Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1379.A/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Obat, Alat dan Makanan
Kesehatan Khusus, yang dimaksud dengan obat, alat dan makanan kesehatan khusus adalah
obat, alat dan makanan kesehatan yang belum mempunyai persetujuan izin edar di
Indonesia namun dibutuhkan pasien berdasarkan justifikasi dokter.
Permohonan pemasukan obat penggunaan khusus berdasarkan justifikasi dokter untuk
penggunaan pribadi dan keperluan donasi, dapat dilakukan oleh importir berdasarkan
permintaan Dokter Penanggung Jawab. Permohonan pemasukannya diajukan ke Direktur
Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI Berdasarkan
pertimbangan bahwa obat untuk uji klinik merupakan satu kesatuan dalam konsep quality
system uji klinik, obat penggunaan khusus yang tujuan penggunaanya untuk uji klinik dan
pengembangan produk berkaitan dengan registrasi obat maka permohonannya diajukan ke
Badan POM.

Narkotika dan Psikotropika

Narkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di
sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Peresepan obat golongan ini harus diberi tanda tangan, tanggal pemberian dan alamat
penulis resep obat (prescriber). Resep harus ditulis dengan tulisan tangan oleh dokter, yang
mencantumkan: nama dan alamat pasien, bentuk dan kekuatan obat yang diberikan, total
jumlah preparat atau jumlah unit dosis. Interval waktu pemberian harus dijelaskan, dan
tidak diperbolehkan penggunaan resep berulang.

Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Daftar Narkotika golongan I


dalam lampiran I telah ditambahkan sehingga menjadi sebagaimana tercantum pada
lampiran Permenkes RI Nomor 13 Tahun 2014. Obat yang termasuk narkotika golongan I
adalah tanaman Papaver somniferum L (kecuali bijinya), opium mentah, opium masak
(candu, jicing, jicingko), tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman ganja,
tetrahidrocannabinol, delta-9-tetrahydro-cannabinol, asetorfina, acetil-alfa-metilfentanil,
alfa-metilfentanil, alfa-metiltiofentanil, beta-hidroksifentanil, beta-hidroksi-3-metilfentanil,
desomorfina, etorfina, heroina, ketobemidona, 3-metilfentanil, 3- metiltiofentanil, MPPP,
para-fluorofentanil, PEPAP, tiofentanil, brolamfetamina (DOB), DET, DMA, DMHP, DMT,
DOET, etisiklidina (PCE), etriptamina, katinona, (+)-lisergida (LSD, LSD-25), MDMA,
meskalina, metkatinona, 4-metilaminoreks, MMDA, N-etil MDA, N-hidroksi MDA, paraheksil,
PMA, psilosina, psilotsin, psilosibina, rolisiklidina (PHP, PCPY), STP, DOM, tenamfetamina
(MDA), tenosiklidina (TCP), TMA, amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina,
fensiklidina (PCP), levamfetamina, levometamfetamina, meklokualon, metamfetamina,
metakualon, zipepprol, sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan
narkotik, 5-APB, 6-APB, 25B-NBOMe, 2-CB, 25C-NBOMe (2C-C-NBOMe), dimetilamfetamin
(DMA), DOC, etkatinona, JWH-018, MDPV, mefedron (4-MMC), metilon, 4-Metilkatinona,
MPHP, 251-NBOMe (2C-I-NBOMe), pentedrone, PMMA, XLR-11.

Narkotika golongan II adalah Afasetilmetadol, Alfameprodina, Alfametadol, Alfaprodina,


Alfentanil, Alilprodina, Anileridina, Benzetidin, Benzilmorfina, Betameprodina, Betametadol,
Betaprodina, Betasetilmetadol, Bezitramida, Dekstramoramida, Diampromida,
Dietiltiambutena, Difenoksilat, Difenoksin, Dihidromorfina, Dimetheptanol, Dimenoksadol,
Dimetiltiambutena, Dioksafetil butirat, Dipipanona, Drotebanol, Ekgonina, termasuk ester
dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina,

Etilmetiltiambutena, Etokseridina, Etonitazena, Furetidina, Hidrokodona, Hidroksipetidina,


Hidromorfinol, Hidromorfona, Isometadona, Fenadoksona, Fenampromida, Fenazosina,
Fenomorfan, Fenoperidina, Fentanil, Klonitazena, Kodoksima, Levofenasilmorfan,
Levomoramida, Levometorfan, Levorfanol, Metadona, Metadona intermediate, Metazosina,
Metildesorfina, Metildihidromorfina, Metopon, Mirofina, Moramida intermediate,
Morferidina, Morfina-N-oksida, Morfin metabromida dan turunan morfina nitrogen
pentafalent lainnya, termasuk bagian turunan Morfina-N-oksida, salah satunya Kodeina-N-
oksida, Morfina Nikomorfina, Norasimetadol, Norlevorfanol, Normetadona, Normorfina,
Norpipanona, Oksikodon, Oksimorfona, Petidina intermediat A, Petidina intermediat B,
Petidina intermediat C, Petidina, Piminodin, Piritramida, Proheptasina, Properidina,
Rasemetorfan, Rasemoramida, Rasemorfan, Sufentanil, Tebaina, Tebakon, Tilidina,
Trimeperidina, bentuk garam dari narkotika yang telah disebutkan tadi.

Narkotika golongan III adalah asetildihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokodeina,


etilmorfina, kodeina, nikodikodina, nikokodina, norkodeina, polkodina, propiram,
buprenorfina, garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut di atas, campuran atau
sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika, campuran atau sediaan difenoksilat
dengan bahan lain bukan narkotika.

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, obat-obat yang termasuk


golongan psikotropika golongan I adalah brolamfetamina, etisiklidina, etriptamina, katinon,
(+)-lisergida, metkatinon, psikosibina, rolisiklidina, tenamfetamina, tenosiklidina.
Psikotropika golongan II adalah amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina,
fensiklidina, levamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon, metilfenidat,
sekobarbital, zipepprol. Psikotropika golongan III adalah amobarbital, buprenorfina,
butalbital, glutetimida, katina, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital. Psikotropika
golongan IV adalah allobarbital, alprazolam, amfepramona, aminorex, barbital,
benzfetamina, bromazepam, brotizolam, delorazepam, diazepam, estazolam, etil
amfetamina, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamina, fendimetrazina,
fenobarbital, fenproporeks, fentermina, fludiazepam, flurazepam, halazepam,
haloksazolam, kamazepam, ketazolam, klobazam, kloksazolam, klonazepam, klorazepat,
klordiazepoksida, klotiazepam, lefetamina, loprazolam, lorazepam, lo rmetazepam,
mazindol, medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb, metilfenobarbital, metiprilon,
midazolam, nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazolam, pemolina,
pinazepam, pipradol, pirovalerona, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam,
triazolam, vinilbital.

Selain narkotika dan psikotropika, prekursor dan alat-alat yang potensial dapat
disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di
bawah pengawasan Pemerintah.

Reaksi Obat yang Merugikan


Pada beberapa obat dapat terjadi reaksi yang tidak diinginkan. Dokter dan apoteker sangat
perlu mendeteksi dan mencatat terjadinya reaksi ini. Kecurigaan adanya reaksi silang pada
bahan terapetik tertentu harus dilaporkan, meliputi obat (baik obat self medication maupun
diresepkan), produk darah, vaksin, media kontras, X-ray, material gigi atau bedak, alat-alat
intrauterin, produk herbal, dan cairan lensa kontak. Pelaporan ini mencakup semua reaksi
serius yang dicurigai, baik yang berakibat fatal, mengancam nyawa, menyebabkan
ketidakmampuan, menurunkan kapasitas hidup, ataupun memperlama perawatan di rumah
sakit.

Obat-Obat dan Vaksin yang Tersedia

Dokter, dokter gigi, coroners (penyidik penyebab kematian), apoteker dan perawat diminta
untuk melaporkan semua reaksi serius yang dicurigai termasuk yang fatal, mengancam
nyawa, melumpuhkan, atau mengakibatkan perpanjangan perawatan. Mereka harus
melaporkan meskipun efek sudah dikenal dengan baik. Contoh meliputi: anafilaksis,
gangguan darah, gangguan endokrin, efek terhadap kesuburan, pedarahan, kerusakan
ginjal, jaundice, kerusakan mata, efek pada sistim saraf pusat yang berat, reaksi pada kulit
yang parah, reaksi terhadap wanita hamil, dan interaksi obat lainnya.

Laporan efek samping yang serius diperlukan untuk membandingkan suatu obat dengan
obat lain dalam kelas terapi yang sama. Laporan overdosis (sengaja atau tidak sengaja)
dapat mempersulit penilaian dari efek samping obat yang tidak diinginkan, tetapi
merupakan informasi penting pada potensi toksik dari obat.

Untuk obat yang profil keamanannya sudah diketahui dengan baik tidak perlu dilaporkan,
efek samping yang bahayanya relatif kecil seperti mulut kering dengan anti depresan trisiklik
atau konstipasi dengan opioid tidak perlu dimasukan dalam pelaporan.

Masalah Khusus

Efek obat yang tertunda.

Beberapa reaksi (misalnya kanker, retinopati klorokuin, dan fibrosis retroperitoneal)


terjadi/muncul beberapa bulan atau tahun setelah pemberian. Bila ada kecurigaan harus
dilaporkan. Pada lansia, dokter perlu mengawasi terjadinya reaksi ini karena risikonya lebih
besar.

Jika bayi lahir dengan abnormalitas kongenital atau pada kasus abortus dengan malformasi,
dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan sebagai reaksi obat dan perlu mencatat
seluruh riwayat pengobatan selama hamil termasuk self medication.

Untuk anak diperlukan pemantauan khusus untuk mengidentifikasi dan melaporkan reaksi
yang tidak diinginkan, termasuk yang disebabkan oleh penggunaan obat-obat yang tidak
disetujui (off-label); semua reaksi yang dicurigai harus dilaporkan.

Pencegahan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan ini meliputi:

• Jangan gunakan obat jika indikasinya tidak jelas. Jika pasien dalam kondisi hamil,
jangan gunakan obat kecuali benar-benar dibutuhkan.
• Alergi dan idiosinkrasi merupakan sebab penting terjadinya reaksi ini. Pasien perlu
ditanyakan adanya riwayat reaksi sebelumnya.

• Tanyakan pada pasien apakah sedang mengkonsumsi obat lain, termasuk self
medication, karena bisa terjadi interaksi obat.

• Umur dan penyakit hati atau renal memperlambat metabolisme dan eksresi
sehingga dibutuhkan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan
variasi kecepatan metabolisme, khususnya isoniazid dan anti depresan.

• Resepkan obat sesedikit mungkin dan beri petunjuk yang jelas, terutama pada lanjut
usia dan pasien yang nampaknya sulit mengerti instruksi yang diberikan.

• Jika mungkin gunakan obat-obat yang sudah dikenal. Jika menggunakan obat baru,
harus diperingatkan terhadap efek samping atau kejadian yang tidak diharapkan.

• Jika kemungkinan terjadinya reaksi pada pasien cukup serius perlu untuk
memperingatkan pasien.

Pemantauan keamanan penggunaan obat dilakukan melalui program Monitoring Efek


Samping Obat (MESO) karena beberapa jenis efek samping yang tidak terdeteksi pada tahap
pengembangan obat dapat timbul setelah penggunaan obat secara luas pada jangka waktu
lama. Di Indonesia, Program MESO

dimulai sejak tahun 1975, dan dicanangkan pada tahun 1981. Tujuan utama program MESO
Nasional ini adalah mendeteksi sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat
yang tidak diinginkan yang terjadi di Indonesia, untuk mencegah kejadian efek samping
serupa secara luas. Dengan pelaksanaan MESO diharapkan akan diperoleh informasi baru
mengenai efek samping obat (ESO), tingkat kegawatan serta frekuensi kejadiannya, sehingga
dapat segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan.

Dalam program MESO Nasional, digunakan pelaporan secara sukarela (voluntary reporting)
bagi tenaga kesehatan dan wajib bagi industri farmasi. Pemilihan metode ini karena
merupakan sistem yang relatif sedikit membutuhkan biaya dan bila terlaksana dengan baik
cukup efektif untuk pengumpulan laporan ESO dari profesi kesehatan. Keuntungan lain dari
sistem ini adalah kemungkinan dapat menemukan ESO yang jarang terjadi, fatal atau gawat.
Disamping itu kualitas laporan ESO cukup objektif karena tidak dikaitkan dengan suatu
kewajiban atau biaya. Namun kelemahan sistem pelaporan secara sukarela ini adalah
bergantung pada peran aktif dokter, dokter gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lain, dan
tenaga kesehatan tersebut di Rumah Sakit pada khususnya sebagai sumber yang potensial
dalam pelaporan ESO.

Secara fungsional pusat MESO Nasional berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM).

Untuk pelaksanaan MESO, dibentuk Panitia MESO Nasional yang bertugas untuk menilai
laporan ESO yang diterima, menganalisis data hasil evaluasi, dan memberikan rekomendasi
tindak lanjut yang perlu dilakukan. Dalam penyelenggaraan MESO, Pusat MESO Nasional
bekerjasama dengan WHO Collaborating Center for International Drug Monitoring. Dalam
kerjasama ini, Pusat MESO Nasional secara teratur menerima informasi mengenai MESO
dari WHO dan juga memberikan masukan kepada WHO. Formulir laporan MESO tersedia di
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan

PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan. Selain MESO, Badan POM juga memonitor efek
samping obat tradisional; efek samping suplemen makanan dan efek samping kosmetik
dengan menggunakan Formulir Monitoring Efek Samping Obat Tradisional MESOT), Formulir
Monitoring Efek Samping Suplemen Makanan (MESOSM) dan Formulir Monitoring Efek
Samping Kosmetik (MESK)

Formulir laporan monitoring kategori produk tersebut di atas dapat diperoleh Direktorat
Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan
Makanan

Efek Samping Obat Pada Mulut

Kelainan pada mulut yang diinduksi obat mungkin disebabkan oleh tindakan lokal pada
mulut atau efek sistemik yang dapat menyebabkan perubahan pada mulut. Untuk efek
sistemik tersebut, rujukan segera ke dokter mungkin diperlukan.

Mukosa mulut

Sisa obat yang tertinggal dengan atau diaplikasikan langsung pada mukosa mulut terutama
dapat menyebabkan inflamasi atau ulserasi; perlu juga diingat kemungkinan terjadi alergi.

Tablet asetosal diijinkan untuk dilarutkan dalam sulkus untuk mengatasi sakit gigi dapat
membuat titik putih yang kemudian menjadi ulkus.

Zat tambahan, terutama minyak-minyak esensial, dapat menyebabkan kulit sensitif, tetapi
pembengkakan mukosa yang terjadi biasanya tidak terlalu nyata.

Pasien yang diberi obat sitotoksik mudah sekali terserang ulkus terutama pada mukosa oral,
misalnya metotreksat. Obat-obat lain yang menyebabkan ulkus meliputi emas, nikorandil,
AINS, pankreatin, penisilamin, dan proguanil. Kaptopril (dan penghambat ACE lainnya) dapat
menyebabkan stomatitis.

Berbagai bentuk eritema (termasuk sindrom Steven-Johnson) dapat terjadi setelah


penggunaan bermacam-macam obat, seperti

antibakteri, golongan sulfonamid, dan antikonvulsan; mukosa mulut dapat terjadi ulserasi
yang meluas, dengan lesi pada kulit dengan karakter khusus. Lesi mulut pada toxic
epidermal necrolysis (Lyell’s sindrom) telah dilaporkan terjadi pada obat-obat. Erupsi
lisenoid dikaitkan dengan penggunaan AINS, metildopa, klorokuin, antidiabetik oral, diuretik
tiazid, dan emas.

Kandidiasis dapat memperburuk pengobatan dengan antibakteri dan immunosuppresan dan


merupakan efek samping kadang terjadi pada pemberian kortikosteroid inhaler.

Gigi dan Rahang

Noda coklat pada gigi sering terjadi setelah penggunaan obat cuci mulut klorheksidin,
semprot atau gel, tetapi dengan mudah dihilangkan dengan polishing. Larutan garam besi
dapat menyebabkan pewarnaan hitam pada email gigi. Pewarnaan permukaan gigi
dilaporkan jarang pada penggunaan suspensi co-amoksiklav.

Pewarnaan yang menetap pada gigi umumnya disebabkan oleh tetrasiklin. Tetrasiklin
mempengaruhi gigi jika diberikan pada saat sekitar 4 bulan dalam kandungan sampai usia 12
tahun. Semua tetrasiklin dapat menyebabkan noda yang menetap, pewarnaan yang
mengganggu penampilan, warna berkisar dari kuning hingga abu-abu. Fluor yang tertelan
dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan florosis dental yang disertai bintik putih pada
enamel dan hipoplasia atau lubang. Suplementasi fluor kadang dapat menyebabkan bintik
putih ringan jika diberikan dosis yang terlalu besar pada usia anak. Perhitungkan juga jumlah
fluor yang terkandung dalam air minum. Ostenonekrosis pada rahang telah dilaporkan pada
pasien yang mendapat bisfosfonat secara intravena, tetapi jarang bila digunakan dengan
cara oral. Pada pembedahan gigi selama dan sesudah pengobatan, jika mungkin bifosfonat
harus dihindari. Lihat juga bab tentang bifosfonat.

Periodontium

Pertumbuhan gingival yang terlalu cepat (gingival hyperplasia) merupakan efek samping dari
fenitoin dan kadang-kadang akibat siklosporin atau nifedipin (dan beberapa antagonis
kalsium lain). Trombositopenia mungkin berkaitan dengan obat dan dapat menyebabkan
perdarahan pada daerah gusi, yang mungkin secara spontan atau akibat dari trauma ringan
(seperti sikat gigi).

Kelenjar Ludah

Umumnya efek obat berakibat pada kelenjar ludah yaitu mengurangi aliran (xerostomia).
Pasien dengan mulut kering yang menetap mungkin higienitas mulutnya kurang; hal ini
dapat berkembang menjadi karies gigi, dan infeksi pada mulut. (terutama kandidiasis).
Penggunaan yang berlebihan dari diuretik dapat juga mengakibatkan xerostomia. Banyak
obat yang mengakibatkan xerostomia, terutama antimuskarinik (antikolinergik),
antidepresan (termasuk antidepresan trisiklik, dan selective serotonin re-uptake inhibitors),
baklofen, bupropion, klonidin, opioid, dan tizanidin. Beberapa obat (seperti klozapin,
neostigmin) dapat meningkatkan produksi ludah tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali jika
pasien mengalami kesulitan menelan,

Rasa sakit pada kelenjar ludah telah dilaporkan pada pemberian beberapa antihipertensi
(seperti: klonidin, metildopa) dan alkaloid vinka. Bengkak pada kelenjar ludah dapat
diakibatkan oleh Iodida, obat antitiroid, fenotiazin, ritodrin dan sulfonamid.

Pengecap

Sensasi rasa dapat berkurang ketajamannya atau berubah. Obat yang mengakibatkan
sensasi rasa meliputi amiodaron, kaptopril (dan penghambat ACE lain), karbimazol, emas,
griseofulvin, garam litium, metronidazol, penisilamin, penindion, propafenon, terbinafin,
dan zopiklon.

Peresepan Pada Anak

Anak terutama neonatus mempunyai respons yang berbeda terhadap pemberian obat
dibandingkan dengan orang dewasa. Perhatian khusus perlu diberikan pada masa neonatus
(umur 0-30 hari) karena dosis harus selalu dihitung dengan cermat. Pada umur ini, risiko
efek toksik bertambah karena filtrasi ginjal yang belum efisien, defisiensi relatif enzim,
sensitivitas organ target yang berbeda, dan belum memadainya sistim detoksifikasi yang
menyebabkan lambatnya eksresi obat.

Jika memungkinkan, injeksi intramuskular harus dihindarkan karena menyebabkan rasa sakit
pada anak.

Seyogyanya obat yang diresepkan untuk anak memang obat yang mempunyai lisensi khusus
untuk anak, namun demikian anak sering membutuhkan obat yang tidak mempunyai lisensi
khusus.

Reaksi Obat yang Merugikan Pada Anak

Identifikasi dan pelaporan dari reaksi obat yang tidak diinginkan sangat penting mengingat:

• Kerja obat dan profil farmakokinetika obat pada anak (terutama yang masih sangat
muda) mungkin berbeda dengan orang dewasa.

• Obat tidak secara ekstensif diujikan pada anak sebelum diijinkan untuk beredar

• Banyak obat yang tidak secara khusus diindikasikan untuk anak.

• Formula yang sesuai mungkin tidak tersedia untuk dosis yang tepat yang
diperbolehkan bagi anak

• Sifat dan jenis penyakit dan efek samping yang tidak diinginkan mungkin berbeda
antara anak dan orang dewasa.

Meskipun sediaan bentuk cair terutama disediakan untuk anak, namun sediaan ini
mengandung gula yang mempercepat kerusakan gigi. Untuk terapi jangka panjang,
dianjurkan menggunakan sediaan obat yang tidak mengandung gula.

Menetapkan kekuatan sediaan obat dalam bentuk kapsul atau tablet penting dilakukan
karena sebetulnya banyak anak yang bisa menelan kapsul atau tablet dan menyukai obat
dalam bentuk padat. Orang tua mempunyai peranan yang penting dalam membantu
menentukan sediaan yang tepat untuk anak. Apabila dibutuhkan resep obat berbentuk
sediaan cair yang diberikan secara oral kurang dari 5 ml, maka bisa diberikan bentuk sediaan
tetes yang diberikan secara oral. Pada pemberian sediaan tetes secara oral, hendaknya
orang tua anak diberi tambahan informasi untuk jangan menambahkan sediaan tersebut
pada susu atau makanan bayi/anak.

Apabila diberikan bersama dengan susu atau makanan bayi/anak, kemungkinan bisa terjadi
interaksi atau dosis yang diberikan berkurang karena anak tidak menghabiskan susu atau
makanan tersebut.

Orang tua harus diperingatkan agar menjauhkan semua obat dari jangkauan anak.

Dosis untuk Anak

Perhitungan Dosis
Umumnya dosis untuk anak-anak diukur berdasarkan berat badan (karena itu dibutuhkan
perkalian dengan berat badan dalam kilogram untuk menentukan dosis anak); kadang dosis
ditentukan berdasarkan luas permukaan tubuh (dalam m2). Metoda di atas lebih baik
digunakan dibandingkan dengan menghitung dosis untuk anak berdasarkan dosis yang
digunakan untuk orang dewasa.

Pada umumnya dosis tersebut tidak boleh melebihi dosis maksimum orang dewasa.
Misalnya: jika dosis ditentukan 8 mg/kg (maksimum 300 mg), seorang anak dengan berat 10
kg, dosis yang diberikan 80 mg, tetapi jika berat anak 40 kg dosis yang diberikan 300 mg
(bukan 320 mg).

Anak mungkin memerlukan dosis per kilogram yang lebih besar dibandingkan dengan orang
dewasa karena kecepatan metabolismenya lebih tinggi. Beberapa masalah yang perlu
dipertimbangkan antara lain, anak yang gemuk akan mendapat dosis yang terlalu besar,
untuk itu dosis harus diperhitungkan berdasarkan berat ideal dan dikaitkan dengan tinggi
badan dan umur. Penghitungan berdasarkan luas permukaan tubuh lebih akurat
dibandingkan dengan berat badan karena fenomena fisiologis tubuh lebih dekat
berhubungan dengan luas permukaan tubuh. Rata-rata luas permukaan tubuh pada orang
dewasa dengan berat badan 70 kg adalah 1,8 m2. Untuk anak-anak rumus yang bisa
digunakan adalah:

Luas permukaan tubuh pasien (m2) x dosis dewasa

1,8

Metode persentase dari dosis dewasa digunakan untuk menghitung dosis obat yang
memiliki cakupan terapi yang lebar antara dosis terapetik dan dosis toksik. Hati-hati dengan
penggunaan obat baru yang mempunyai potensi toksik.

Frekuensi Dosis

Umumnya antibakteri diberikan dalam waktu tertentu dalam beberapa hari. Untuk
menghindari anak bangun pada malam hari diberikan beberapa fleksibilitas. Misalnya dosis
malam hari diberikan pada saat mau tidur.

Peresepan Pada Kehamilan

Penggunaan obat selama masa kehamilan dapat menimbulkan efek yang membahayakan
bagi janin. Hal ini penting untuk diingat ketika meresepkan obat untuk wanita dan laki-laki
usia subur. Selama masa trimester pertama kehamilan, obat dapat menyebabkan
malformasi kongenital (teratogenesis), dan risiko terbesar berada pada minggu ketiga
sampai dengan minggu ke sebelas kehamilan. Selama trimester ke dua dan ke tiga
kehamilan, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungsional janin
atau dapat berefek toksik pada organ janin. Obat yang diberikan sesaat sebelum atau
selama persalinan dapat menyebabkan efek samping yang merugikan terhadap proses
persalinan atau pada bayi yang baru dilahirkan.

Pada Lampiran 4: Kehamilan dicantumkan daftar obat yang:

• Mungkin memiliki efek yang membahayakan terhadap kehamilan dan angka dalam
kurung menunjukkan trimester yang berisiko.
• Belum diketahui bahayanya terhadap kehamilan.

Daftar ini disusun berdasarkan data penggunaan obat pada manusia, tetapi juga mencakup
data uji pada hewan untuk beberapa obat yang jika tidak dicantumkan bisa menyesatkan.

Obat hanya boleh diresepkan pada masa kehamilan jika manfaat bagi ibu lebih besar
daripada risiko pada janin dan jika mungkin semua obat harus dihindari selama trimester
pertama. Obat yang sudah secara luas digunakan pada kehamilan dan biasanya aman harus
lebih dipilih dibandingkan obat baru atau obat yang belum diuji coba, tetapi dengan
menggunakan dosis efektif terendah. Beberapa obat telah diketahui bersifat teratogenik
pada manusia.

Namun tidak diragukan lagi bahwa tidak ada obat yang aman jika diberikan pada awal
kehamilan. Prosedur screening (USG) merupakan cara yang dapat dilakukan untuk
mengetahui risiko cacat yang mungkin terjadi.

Bila obat tidak ada dalam daftar tidak berarti obat tersebut aman digunakan pada
kehamilan.

Peresepan Pada Laktasi

Pemberian beberapa obat (seperti ergotamin) kepada ibu menyusui dapat menimbulkan
efek yang membahayakan bagi bayi, sedangkan pemberian obat lain (seperti digoksin)
hanya memberikan efek yang ringan. Beberapa obat menghambat laktasi (seperti
bromokriptin, kontrasepsi oral mengandung estrogen).

Toksisitas pada bayi dapat terjadi jika obat masuk ke dalam ASI dengan jumlah yang
bermakna secara farmakologis. Pada beberapa obat, kadar dalam ASI dapat melebihi kadar
di dalam plasma ibu sehingga dosis terapetik pada ibu dapat menyebabkan toksik pada bayi.
Beberapa obat dapat menghambat refleks mengisap pada bayi (seperti fenobarbital). Secara
teoritis, obat di dalam ASI dapat menyebabkan hipersensivitas pada bayi, meskipun dalam
kadar sangat rendah untuk menghasilkan efek farmakologis. Pada Lampiran 5: Menyusui,
dicantumkan daftar obat yang:

• harus digunakan dengan perhatian atau yang dikontraindikasikan pada wanita


menyusui dengan pertimbangan di atas

• berdasarkan bukti terkini dapat diberikan selama menyusui karena terdistribusi


dalam ASI dalam jumlah yang sangat kecil untuk dapat menimbulkan efek yang
membahayakan bayi

• belum diketahui menimbulkan efek yang membahayakan bayi, meskipun


terdistribusi dalam ASI dalam jumlah yang bermakna.

Banyak obat yang belum memiliki cukup bukti yang dapat dijadikan acuan, karena itu
disarankan hanya obat-obat essensial saja yang diberikan pada wanita menyusui.
Dikarenakan kurangnya informasi tersebut, daftar pada lampiran tersebut hanya sebagai
panduan; apabila obat tidak terdapat dalam daftar bukan berarti obat tersebut aman untuk
digunakan pada wanita menyusui.

Peresepan Pada Lansia


Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk anatomi, fisiologi,
psikologi dan sosiologi. Karena itu terapi pengobatan pada pasien lansia secara signifikan
berbeda dari pasien pada usia muda. Dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan
yang digunakan sebelumnya juga mempengaruhi terapi pengobatan. Keputusan terapi
untuk pasien lansia sedapat mungkin didasarkan pada hasil uji klinik yang secara khusus
didesain untuk pasien lansia.

Peresepan yang Tepat

Pasien lansia memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda. Penyakit
yang beragam dan kerumitan regimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada
pasien lansia. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan dalam
mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti menggunakan obat dengan indikasi
yang salah, menggunakan obat dengan dosis yang tidak tepat atau menghentikan
penggunaan obat.

Pada pasien lansia keseimbangan antara manfaat pemberian dengan bahaya yang mungkin
timbul dari beberapa obat-obatan dapat berubah. Oleh karena itu, obat untuk pasien lansia
harus ditinjau secara berkala dan obat-obatan yang tidak bermanfaat harus dihentikan.

Untuk mengatasi gejala seperti sakit kepala, sulit tidur dan pusing lebih tepat menggunakan
pendekatan non farmakologikal, bila hal ini berhubungan dengan tekanan sosial seperti
menjanda, kesepian dan diusir/dikucilkan keluarga.

Pada beberapa kasus pemberian obat-obat profilaksis mungkin tidak tepat jika obat-obat
tersebut dapat menyebabkan komplikasi dengan pengobatan yang sedang dijalani atau
menyebabkan efek samping yang sebenarnya bisa dihindari, terutama pada pasien lansia
dengan prognosis atau kondisi kesehatan yang buruk. Bagaimanapun, pasien lansia tidak
dapat mengesampingkan obat-obatan yang dapat membantu mereka, seperti antikoagulan
atau obat anti platelet untuk fibrilasi atrial, antihipertensi, statin, dan obat untuk
osteoporosis.

Bentuk Sediaan

Pasien lansia yang lemah sulit untuk menelan tablet; jika tertinggal di mulut, dapat
menyebabkan ulserasi. Karena itu mereka harus selalu menelan tablet atau kapsul dengan
menggunakan banyak cairan sambil berdiri untuk menghindari kemungkinan ulserasi
esofageal. Jika memungkinkan akan sangat membantu bila dapat berdiskusi dengan pasien
untuk kemungkinan pemberian obat dalam bentuk cairan.

Karakteristik Pasien Lansia

Pada pasien yang sangat tua, manifestasi dari ketuaan secara normal dapat meyebabkan
kesalahan dalam mendefinisikan penyakit dan dapat mengantarkan pada peresepan yang
tidak tepat. Biasanya, usia berhubungan dengan melemahnya otot dan kesulitan untuk
menjaga keseimbangan tetapi hal ini jangan selalu dikaitkan dengan penyakit saraf.
Gangguan seperti pusing tidak ada hubungan dengan hipotensi postural atau postprandial
sehingga tidak selalu ditolong dengan menggunakan obat.

Pengobatan Sendiri
Seperti halnya pada pasien dengan usia lebih muda, pengobatan sendiri dengan produk
obat bebas (OB) atau obat bebas terbatas (OBT) atau mengkonsumsi obat yang diresepkan
untuk penyakit-penyakit sebelumnya (atau bahkan mengkonsumsi obat dari orang lain)
dapat menambah komplikasi. Diskusi dengan pasien dan keluarganya atau lebih baik
kunjungan ke rumah mungkin diperlukan untuk menetapkan apa yang sebaiknya diberikan
pada pasien lansia.

Sensitivitas

Akibat penuaan pada sistem saraf menyebabkan melemahnya kepekaan pada banyak obat
yang biasa digunakan, seperti analgesik opioid, benzodiazepin, antipsikotik dan obat
antiparkinson, di mana semua harus digunakan dengan hati-hati. Begitu juga, organ-organ
yang lain akan makin peka terhadap efek obat seperti obat antihipertensi dan AINS.

Farmakokinetik

Efek yang paling penting dari lansia adalah berkurangnya klirens ginjal. Banyak pasien lansia
akan mengalami perlambatan ekskresi obat, dan makin rentan terhadap obat nefrotoksik.
Penyakit akut dapat menyebabkan penurunan klirens ginjal secara cepat, terutama bila
disertai dehidrasi. Demikian juga metabolisme beberapa obat dapat menurun pada pasien
lansia. Perubahan farmakokinetik dapat ditandai dengan meningkatnya kadar obat dalam
jaringan pada pasien lansia, terutama pada pasien yang lemah sehingga memerlukan
pengurangan dosis. Obat-obatan dengan indeks terapetik sempit harus diberikan dengan
pengurangan dosis, contohnya adalah digoksin dan aminoglikosida dan pengurangan dosis
sebanyak 50% sebagai dosis awal dianjurkan pada banyak kasus. Penyesuaian dosis dapat
tidak diperlukan untuk obat dengan indeks terapetik yang luas, contoh: penisilin.
Bagaimanapun, profesi kesehatan harus waspada terhadap obat-obat yang potensial
menimbulkan masalah pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Farmakodinamik

Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan umur
seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik lansia lebih kompleks dibanding
farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit dikuantifikasi; di samping
itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang ada harus dalam keadaan bebas
pengaruh efek perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh
degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau
jumlah reseptornya berkurang.

Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada lansia dengan
beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:

Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah
akibat perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya
sintesis faktor-faktor pembekuan pada lansia.

Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik yang berarti.
Hal ini menunjukkan bahwa pada lansia sensitivitas terhadap nitrazepam memang
meningkat. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada
pasien lansia memerlukan dosis yang lebih kecil dibandingkan pasien dewasa muda, selain
itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat dibandingkan pada usia dewasa muda.
Triazolam: pemberian obat ini pada warga lansia dapat mengakibatkan postural sway- nya
bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda.

Sensitivitas obat yang berkurang pada lansia juga terlihat pada pemakaian obat propranolol.
Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada usia 50 – 65 tahun
ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25 – 30 tahun. Efek tersebut
adalah pada reseptor β1; efek pada reseptor β2 yakni pelepasan insulin dan vasodilatasi
akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat.

Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor


intraselular.

Efek yang Tidak Diinginkan

Pada pasien lansia efek obat yang tidak diinginkan sering tersamarkan dan biasanya tidak
spesifik. Kebingungan seringkali merupakan gejala yang timbul (yang disebabkan oleh
hampir semua obat-obat yang biasa digunakan). Manifestasi lain yang biasa terjadi adalah
konstipasi (untuk obat antimuskarinik dan beberapa transkuiliser), hipotensi postural dan
terjatuh (untuk diuretik dan beberapa psikotropik)

Hipnotik

Banyak psikotik dengan waktu paruh yang panjang menyebabkan efek hangover seperti
mengantuk, sempoyongan, bahkan cacian dan kebingungan. Hipnotik dengan waktu paruh
pendek dapat digunakan, walaupun juga dapat meyebabkan masalah (bagian 4.1.1).
Penjelasan singkat mengenai hipnotik kadang-kadang berguna untuk membantu pasien
dengan penyakit akut atau kegawatan yang lain, tetapi setiap upaya harus dibuat untuk
menghindari ketergantungan. Benzodiazepin mengurangi keseimbangan, yang dapat
mengakibatkan terjatuh.

Diuretik

Diuretik diresepkan pada pasien lansia dan tidak boleh digunakan dalam jangka waktu lama
untuk mengatasi udema gravitasional yang biasanya memberikan respon terhadap
meningkatkan pergerakan, mengangkat kaki dan menggunakan support stocking. Pemberian
diuretik untuk beberapa hari dapat mempercepat pengecilan udem tetapi jarang
memerlukan terapi yang berlanjut.

AINS

Pendarahan yang terkait dengan asetosal dan golongan AINS lain lebih sering terjadi pada
lansia yang dapat berakibat serius atau fatal. AINS juga menimbulkan efek yang
membahayakan bagi pasien penyakit jantung atau gagal ginjal sehingga menempatkan
pasien lansia ini memiliki risiko khusus. Karena pasien lansia makin peka terhadap efek
samping AINS, maka dibuat beberapa anjuran sebagai berikut:

• Untuk osteoartritis, lesi pada jaringan lunak dan nyeri pada punggung, pertama coba
lakukan langkah-langkah seperti pengurangan berat badan (jika mengalami obesitas),
hangatkan, olahraga dan gunakan tongkat untuk berjalan
• Untuk osteoartritis, lesi jaringan lunak, nyeri pada punggung dan nyeri karena artritis
rematoid, pertama kali gunakan parasetamol yang biasanya cukup untuk mengurangi nyeri.

• Alternatif lain, gunakan AINS dosis rendah (misalnya dapat diberikan ibuprofen
sampai 1,2 g sehari)

• Untuk mengurangi nyeri yang tidak dapat diatasi oleh obat lain, dapat diberikan
parasetamol dosis penuh ditambah AINS dosis rendah

• Jika diperlukan, dosis AINS dapat ditingkatkan atau berikan analgesik opioid bersama
parasetamol

• Jangan berikan 2 macam obat golongan AINS secara bersamaan

Jika pengobatan dengan AINS perlu dilanjutkan, lihat saran untuk profilaksis AINS yang
menyebabkan ulkus peptikum pada bagian 1.3.

Obat Lain

Obat lain yang biasanya menyebabkan efek yang tidak diinginkan adalah obat antiparkinson,
antihipertensi, psikotropik dan digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dengan
usia sangat lanjut adalah 125 mcg sehari (62,5 mcg pada pasien dengan penyakit ginjal);
dosis yang lebih rendah seringkali tidak mencukupi tetapi biasanya terjadi toksisitas pada
pemberian 250 mcg sehari.

Obat yang menyebabkan gangguan pada darah lebih jauh lebih sering terjadi pada lansia.
Begitu juga obat yang dapat menyebabkan depresi sumsum tulang belakang (misalnya
kotrimoksasol, mianserin) harus dihindarkan kecuali tidak ada alternatif lain yang tersedia.
Pada umumnya pasien lansia memerlukan dosis pemeliharaan warfarin yang rendah
dibandingkan dengan dewasa muda; dengan kemungkinan pendarahan yang mungkin
terjadi cenderung lebih serius.

Pedoman

Selalu pertimbangkan bahwa obat memang benar-benar diindikasikan

Pembatasan. Sebaiknya obat yang diberikan terbatas saja dengan efek obat pada pasien
lansia sudah diketahui dengan pasti.

Penurunan Dosis. Umumnya dosis untuk pasien lansia lebih rendah dibandingkan untuk
pasien dengan usia yang lebih muda. Dosis biasanya dimulai dari 50% dosis dewasa.
Pemakaian beberapa obat (misalnya antidiabetik kerja panjang seperti glibenklamid dan
klorpropamid) harus dihindari sama sekali.

Pengkajian secara berkala. Secara berkala buat kajian terhadap resep obat yang diberikan
berulang. Berdasarkan pemantauan kemajuan klinis, beberapa pasien dapat dihentikan
pemberian beberapa obatnya. Bila fungsi ginjal menurun kemungkinan diperlukan
pengurangan dosis beberapa obat.

Sederhanakan Regimen. Pengobatan dengan regimen yang sederhana akan menguntungkan


bagi pasien lansia. Hanya obat dengan indikasi jelas yang diresepkan dan apabila
memungkinkan diberikan 1 atau 2 kali sehari. Regimen yang interval dosisnya
membingungkan harus dihindari.

Terangkan Dengan Jelas. Tulis instruksi secara lengkap pada setiap resep (termasuk
pengulangan resep) jadi kemasan harus diberi label dengan petunjuk lengkap. Hindari
keterangan ”seperti petunjuk”. Kemasan yang mudah rusak oleh anak-anak mungkin tidak
sesuai.

Pengulangan dan Pemusnahan. Beritahukan pasien apa yang harus dilakukan bila obat
sudah habis, dan juga bagaimana menyingkirkan obat apabila tidak diperlukan lagi.
Resepkan dengan jumlah yang sesuai. Apabila petunjuk ini diikuti diharapkan banyak lansia
akan mampu mengatasi masalah terkait obat yang digunakan. Jika instruksi ini tidak diikuti
maka perlu diikut sertakan pihak ketiga (biasanya keluarga atau teman) untuk membantu.

Peresepan Pada Terapi Paliatif

Terapi paliatif adalah terapi pada pasien yang tidak responsif dengan terapi kuratif.
Tujuannya adalah mengurangi nyeri dan gejala yang lain, mengurangi masalah psikologis,
sosial dan spiritual, serta yang paling penting meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluarganya. Pemantauan gejala dan apa yang diperlukan pasien dilakukan oleh tim
multidisiplin. Jumlah obat diusahakan sesedikit mungkin. Preparat oral biasanya lebih
memuaskan. Namun bila terjadi mual, muntah, sakit menelan, lemah, dan koma dibutuhkan
pemberian parenteral.

Anda mungkin juga menyukai