Anda di halaman 1dari 33

TINJAUAN PUSTAKA

Sleep Disorder

Diajukan sebagai salah satu tugas P3D Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

Pembimbing:
Irwanto Ichlas, dr., SpKJ-K

Disusun Oleh:

Sarah Nurulaini S (4151161558)


Farah (4151161559)
Mayank R ananta (4151161560)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
CIMAHI
2018

1
BAB 1
HIPERSOMNIA

Hipersomnia adalah istilah yang digunakan untuk perasaan kantuk pada siang
hari. Membedakan antara kelelahan (merasa lelah, lesu, dan kekurangan energi
atau dorongan) dan kantuk (kecenderungan untuk tidur) itu penting, terdapat
beberapa kuesioner yang dapat membantu untuk membedakan keduanya.
Hipersomnia atau rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari lazim dalam
populasi umum, dengan proporsi yang cukup besar untuk orang dewasa (37%)
dilaporkan bahwa mereka merasa sangat ngantuk pada siang hari yang
mengganggu aktivitas harian mereka untuk beberapa hari dalam satu bulan atau
lebih, dan 16% melaporkan bahwa hipersomnia tersebut mengganggu hari mereka
beberapa hari dalam satu minggu atau lebih (National Sleep Foundation 2002).
Angka ini meningkat pada remaja dan dewasa muda, kemungkinan terkait dengan
gaya hidup mereka.
Kekurangan tidur tanpa penyakit yang mendasari (insufficient sleep syndrome)
merupakan penyebab paling banyak dari kantuk di siang hari, setelah itu disusul
oleh depresi, kelainan neurologi, dan efek obat. Ketika hal tersebut terjadi sebagai
gejala dari primary sleep disorder, rasa kantuk mungkin berhubungan dengan:
a. Tidur malam yang terputus-putus (misalnya karena gangguan pernapasan,
movement disorder, atau parasomnia)
b. Fenomena gangguan tidur ke dalam awake state (misalnya narkolepsi)
c. Gangguan irama sirkadian (misalnya delayed sleep phase syndrome)
Penting untuk profesional kesehatan mengenal karakteristik dan penyebabnya

1.1 Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)


Ini adalah gangguan pernapasan paling umum yang meningkatkan kejadian
kantuk pada siang hari. Pada kelainan ini, kolapsnya saluran napas atas pada saat
tidur yang menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia (peningkatan karbondioksida)
yang mengaktifkan batang otak yang menyebabkan rangsangan dan
meningkatkan pernapasan dan memperbaiki masalah tersebut. Pasien biasanya
seorang yang berbadan besar dengan leher yang gemuk dan mendengkur keras,
hal tersebut membuat tidak nyaman pasangannya dan menyebabkan mereka
kekurangan tidur juga. Pada kasus yang berat, bahkan orang di sekitar kamar
penderita OSAS juga dapat terganggu dengan suara mendengkur yang
ditimbulkan.
Keadaan hipoksia/hiperkapnia ini dapat terjadi hingga ratusan kali setiap
malam, menyebabkan kehilangan tidur yang signifikan yang berdampak pada
kantuk di siang hari. Oleh karena itu, OSAS merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama yang menimbulkan efek besar pada kualitas hidup seseorang
dan pasangannya, serta meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas sampai dengan
11 kali lipat (George 2004). OSAS juga merupakan faktor independen untuk
penyakit kardiovaskuler.
1.1.1 Apa saja gejala OSAS?

2
 Gejala yang muncul biasanya kantuk di siang hari yang berlebihan
 Kadang-kadang pasangan tidur meminta rujukan karena khawatir tentang
gejala lain
 Dengkuran yang keras
 Terhentinya napas beberapa kali saat tidur di malam hari
 Napas dilanjutkan kembali dengan suara yang keras seperti megap-megap
(gasping), bergumam, atau gerakan yang keras
 Pasien biasanya tidak mengetahui tentang perilaku malam harinya tersebut
 OSAS dapat menyebabkan masalah pernikahan
 Kadang-kadang disertai mulut kering, sakit tenggorokan, atau sakit kepala
di pagi harinya
1.1.2 Seberapa umum OSAS terjadi?
Risiko OSAS meningkat pada laki-laki dengan obesitas, terutama individu
dengan upper-body obesity dan leher yang besar. Kejadian OSAS juga meningkat
pada pasien abnormalitas kraniofasial, Down’s syndrome, tonsil/adenoid yang
membesar, dan penyakit seperti PPOK dan stroke.
Prevalensi OSAS di Inggris meningkat sekitar 0,5% pada individu dengan
indeks masa tubuh (IMT) 25 kg/m2, dan pada populasi yang sama risiko OSAS
meningkat 1,5% pada individu dengan IMT 27 kg/m2. Pada penelitian di Amerika
Serikat yang menggunakan polisomnografi, didapatkan lebih dari lima periode
apnea perjam ditambah dengan kantuk di siang hari. Risiko meningkat 4% pada
laki-laki dan 2% pada perempuan dengan IMT 30 kg/m 2. Penelitian terakhir pada
2013 menggarisbawahi bahwa peningkatan angka obesitas berbanding lurus
dengan peningkatan risiko OSAS.
1.1.3 Apa penyebab OSAS?
Prinsip mekanismenya adalah saluran napas atas yang menyempit karena
faktor anatomi. Saat kita menarik napas, tekanan negatif akan membuatsaluran
napas atas cenderung lebih menyempit. Untuk mengkompensasinya, terdapat
refleks tekanan negatif oleh otot phasic yang memengaruhi jalan napas, terutama
muskulus genioglossus, yang bekerja dalam menjulurkan lidah. Otot ini
berkontraksi saat inspirasi untuk menegangkan jalan napas dan membuatnya
cenderung berkurang ukurannya. Terdapat pula otot tonic untuk memelihara tonus
sepanjang siklus pernapasan. Kedua aktivitas otot ini menurun saat tidur, karena
itu jalam napas lebih sempit ketika mengambi napas. Turbulensi di dalam faring
yang sempit menyebabkan dengkuran.
Penderita OSAS memiliki saluran napas yang lebih sempit, sehingga lebih
mungkin untuk kolaps. Diafragma terus menerus untuk menarik udara masuk,
namun tidak ada udara yang masuk ke saluran napas. Kadar oksigen dalam darah
menurun dan kadar karbondioksida meningkat, dan refleks autonomik via
intermedullary chemoreceptors menyebabkan alarm signal, yang menyebabkan
bangun. Oleh karena itu, tidur menjadi terputus-putus, gelisah, dan inadekuat,
mengarah ke kantuk di siang hari dan tidur siang, dan pada beberapa kasus dapat
tertidur di mobil dan menyebabkan kecelakaan.
1.1.4 Bagaimana kita dapat mendiagnosis dan melakukan tatalaksana OSAS?

3
OSAS didiagnosis dan diterapi oleh spesialis gangguan tidur dan oleh dokter
respirologi dengan minat khusus tentang tidur. Di beberapa negara, khususnya di
Inggris, pasien akan mendapat pemeriksaan di rumah sakit berupa overnight sleep
studies, termasuk pengukuran aliran udara, saturasi oksigen dalam darah, dan
usaha pernapasan, terkadang dilakukan juga polisomnografi lengkap termasuk
pemasangan EEG untuk mengetahui tahapan tidur.
Tatalaksana yang efektif yakni menurunkan berat badan. Faktanya, penelitian
yang dilakukan Peppard et al tahun 2000 menemukan peningkatan berat badan
10% akan menungkatkan 32% risiko OSAS dan penurunan berat badan 10% akan
menurunkan risiko OSAS sebanyak 26%. Meskipun begitu, menurunkan berat
badan sering kali sulit, dan tatalaksana yang paling umum digunakan yaitu
continous positive airway pressure (CPAP). Pasien menggunakan nasal mask
pada malam hari. Mesin membantu meniupkan udara agar faring tetap terbuka.
Aliran udara yang kontinyu ini mencegah jalan napas kolaps selama tidur.
Peningkatan kualitas tidur dan kualitas hidup dirasakan setelah penggunaan
beberapa malam.

1.2 Narkolepsi
Narkolepsi adalah gangguan mekanisme otak yang mengontrol tidur dan
berjalan, khususnya gangguan elemen fase tidur REM menuju terjaga. Narkolepsi
merupakan kondisi seumur hidup kronis yang memiliki konsekuensi berat untuk
pendidikan, pekerjaan, dan hubungan.
1.2.1 Apa gejala dari narkolepsi?
 Kantuk di siang hari, sering disertai serangan mendadak tidur (sleep
attack)
Merupakan keluhan paling umum pada narkolepsi. Dapat terjadi sendiri
maupun disertai gejala lain. Pasien merasa kantuk terus menerus, sangat
kuat, terkadang keinginan untuk tidur tak tertahankan. Sleep attack dapat
terjadi beberapa menit, tapi jarang lebih dari satu jam, dan dapat terjadi
lebih dari lima kali dalam sehari
 Katalepsi (kehilangan tonus otot skelet mendadak)
Pasien biasanya sadar saat serangan, biasanya terjadi kurang dari satu
menit namun terkadang terjadi beberapa menit. Saat kehilangan tonus otot
total, pasien dapat jatuh ke lantai, namun biasanya katalepsi parsial seperti
kepala mengangguk, rahang kendur, dan kelemahan lutut.
 Hipnagogik/halusinasi hipnopompik
Pengalaman seperti mimpi yang terjadi pada awal atau akhir tidur, baik
pada siang maupun malam hari. Pasien biasanya mengalami ini dalam
beberapa menit, bahkan sering kali mereka mengatakan sulit untuk
menentukan kenyataan atau mimpi
 Tidur malam yang terputus-putus
Parasomnia meningkatkan narkolepsi, khususnya sleep paralysis.
1.2.2 Seberapa umum narkolepsi terjadi?

4
Prevalensi narkolepsi di populasi Eropa diperkirakan 3–4 penderita/10.000
penduduk. Onset dapat terjadi pada semua usia, namun paling sering terjadi pada
dekade kedua kehidupan. Riwayat keluarga berpengaruh kecil sekitar 1–2% saja.
1.2.3 Apa etiologi narkolepsi?
Penemuan dalam 10 tahun terakhir menerangkan bahwa peptida di otak yang
disebut orexins (juga dikenal sebagai hypocretins) memiliki peran utama pada
patogenesis narkolepsi. Neuron-neuron yang menyatukan orexin terdapat di
hipotalamus, tempat pengaturan sirkadian, dan aksonnya memproyeksikan banyak
batang otak dan otak tengah yang mengatur dorongan untuk tidur. Pelepasan
orexin dikaitkan dengan terjaga dan menstabilkan keadaan terjaga. Selama
beberapa dekade kita telah mengetahui bahwa beberapa jenis hewan juga
menunjukkan narkolepsi dan katapleksi, terutama beberapa anjing, Lebih banyak
lagi, mutasi pada gen orexin-1-reseptor tikus telah ditemukan yang terkait dengan
narkoleptik. Manusia dengan narkolepsi tidak memiliki mutasi reseptor ini, tetapi
telah ditemukan bahwa ada kekurangan orexin dalam cairan serebrospinal (CSS),
dan pada postmortem tampak sedikit atau tidak adanya sel orexin di hipotalamus.
Sejak onset penyakit ini memuncak pada masa remaja dan pasien memiliki tipe
HLA yang sama, ia berpikir bahwa penyebab kematian sel orexin mungkin
merupakan infeksi dimana respon imun terhadap agen yang menginfeksi bereaksi
silang dengan beberapa elemen dari neuron orexin, yang menyebabkan untuk
serangan autoimun pada sel-sel ini dan berujung kerusakan. Beberapa kelainan
neurologis lainnya - misalnya, chorea Sydenham - sama dengan asal-usul
autoimun, meskipun dalam kasus ini kerusakannya adalah neuron dopaminergik
di ganglia basalis.
1.2.4 Bagaimana mendiagnosis narkolepsi?
Narkolepsi biasanya dirawat oleh spesialis tidur atau oleh ahli saraf dengan
minat khusus pada gangguan tidur. Kombinasi kantuk di siang hari yang
berlebihan dan katapleksi yang tidak ambigu membuat diagnosis narkolepsi
sangat mungkin terjadi. Tanpa katapleksi diagnosis kurang pasti, dan oleh karena
itu penyelidikan yang diperlukan adalah Multiple Sleep Latency Test (MSLT),
yang selalu didahului oleh polysomnography. Dalam narkolepsi, disregulasi
kontrol REM berarti bahwa pasien-pasien ini akan jatuh dengan cepat ke dalam
tidur REM segera setelah tertidur (periode REM sleep-onset). Jika MSLT pendek
(menunjukkan peningkatan kantuk) dan ada periode REM sleep-onset dalam
setidaknya dua dari lima tes, maka diagnosis narkolepsi sangat mungkin.

1.2.5 Tatalaksana
Karena sifat narkolepsi yang seumur hidup dan mengganggu hidup, pasien
harus diberikan informasi tentang narkolepsi pada saat didiagnosis, dan informasi
ini juga perlu disampaikan pada keluarga, teman, guru, atasan di tempat kerja, dan
petugas kesehatan. Pasien perlu disarankan untuk mencoba mengusahakan tidur
malam yang cukup dan teratur. Tidur siang yang direncanakan terkadang berguna
dalam meningkatkan kinerja pasien, sehingga orang dengan narkolepsi sebaiknya
perlu diizinkan untuk tidur siang di tempat kerja atau sekolah.

5
Kantuk di siang hari biasanya diobati dengan obat modafinil atau stimulans
seperti dexamfetamine atau methylphenidate. Stimulans ini memiliki kelebihan
dibandingkan modafinil karena lebih mengurangi katapleksi, disebabkan karena
obat ini memiliki efek pada sistem 5HT. Namun, katapleksi biasanya diterapi
terpisah dengan campuran noradrenalin 5HT uptake blocker venlafaxine atau
clomipramine atau selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) contohnya
fluoxetine.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengobatan baru katapleksi telah
dikembangkan, yaitu dengan natrium oxybate. Obat ini bekerja dengan cara yang
berbeda, karena digunakan pada malam hari untuk mengobati gangguan
kontinyuitas tidur yang terganggu pada narkolepsi. Obat ini sulit digunakan,
karena memiliki waktu paruh yang sangat singkat, sehingga pasien harus bangun
di malam hari untuk mengambil dosis kedua. Namun obat ini memiliki efek yang
baik untuk mengkonsolidasi tidur REM dan meningkatkan slow-wave-sleep
(SWS) dan mengurangi kataplesksi dan kantuk di siang hari.
Tatalaksana perlu diawasi dengan hati-hati oleh spesialis, pada umumnya
pasien ini setidaknya memiliki waktu 6 bulan untuk hidup.
1.2.6 Narkolepsi pada anak-anak
 Gejala narkolepsi pada anak dan remaja terdapat setidaknya 1 dari 3 anak,
dapat terjadi sejak saat usia 2 tahun
 Rasa kantuk dapat dialami saat tidur sepanjang malam ataupun seringnya
tidur pada siang hari, dapat pula menyebabkan peningkatan aktivitas (hal
ini tidak terjadi pada pasien dewasa)
 Katapleksi, atau melemasnya otot tiba-tiba, terutama bentuk parsial. Dapat
salah diinterpretasikan sebagai cari perhatian. Kadang-kadang episode ini
dapat membingungkan, mirip dengan sinkop
 Anak-anak dengan narkolepsi mengalami gangguan dalam belajar, suasana
hati, perilaku di rumah/sekolah, sosial, dan aktivitas lain. Penderita juga
dapat mengalami kesulitan, malu, dan ejekan karena gejala narkolepsi
Tatalaksana pada anak sama dengan yang digunakan pada orang dewasa,
stimulans secara luas digunakan pada ank-anak dengan gangguan perhatian,
dan diketahui aman digunakan pada usia muda.

1.3 Penyebab Lain Kantuk di Siang Hari


1.3.1 Hipersomnia idiopatik
Suatu hipersomnia dikatakan hipersomnia idiopatik apabila gejala tidur yang
panjang atau pada malam hari yang berlebihan terjadi, namun tidak memenuhi
kriteria diagnosis untuk gangguan tidur yang primer, tidak memenuhi kriteria
diagnosis untuk gangguan tidur primer, tidak termasuk diagnosis psikiatri,
neurologi, maupun obat-obatan. Kondisi ini diduga adanya keterlibatan genetik.
Tatalaksana yang dilakukan tergantung beratnya gejala. Tatalaksana yang
digunakan biasanya sama dengan narkolepsi yakni stimulans/modafinil.
Meningkatkan kualitas tidur malam hari dapat dimulai dengan kebersihan tidur
atau dengan hipnoterapi terbukti dapat membantu.
1.3.2 Hipersomnia rekuren

6
Kleine-Levin Syndrome (KLS) merupakan penyakit langka yang memiliki
episode rekuren hipersomnia dan terkadang gangguan perilaku atau kognitif,
compulsive eating behaviour, dan terkadang hiperseksualitas. Di antara episode,
pasien cukup normal. Penyakit ini biasanya terjadi pada remaja laki-laki.
Sekitar 40% pasien dilaporkan terkena infeksi pada awal penyakit, tapi saat
agen infeksi diketahui (jarang), berbeda dari satu pasien dan pasien yang lainnya.
Meskipun begitu, narkolepsi pada KLS melibatkan proses autoimun. Durasi
penyakit diperkirakan sekitar 4–8 tahun, dan penelitian jangka panjang
melaporkan bahwa 25 pasien memiliki kesehatan yang baik setelah periode KLS.
Tatalaksana yang mengurangi rasa kantuk selama episode yakni amfetamin,
namun hanya 50% pasien menunjukkan perbaikan. Upaya untuk mengurangi
frekuensi/episode kurang berhasil hanya dengan lithium (untuk profilaksis)
terdapat efek pada 40% yang diterapi. Efek yang ditimbulkan oleh pengobatan ini
pada dewasa muda harus dilengkapi dengan edukasi mengenai kebiasaan tidur dan
menghindari aktivitas malam hari yang berlebihan.
1.3.3 Gangguan irama sirkadian
Gangguan irama sirkadian terjadi ketika pola tidur-bangun tidak selaras
dengan jadwal waktu yang diinginkan pasien atau pola normal masyarakat.
Gangguan ini menyebabkan orang mengantuk pada saat-saat ketika mereka ingin
terbangun.

1.3.4 Restless legs syndromes/periodic limb movement disorder


Gangguan gerakan ini dapat menyebabkan seringnya gairah tidur jika parah,
dan tidur terputus-putus seperti pada OSAS, berakibat kantuk di siang hari.

1.4 Kriteria Severitas Kantuk di Siang Hari


The American Sleep Disorders Association merekomendasikan kriteria
severitas kantuk di siang hari:

Tabel 1. Kriteria severitas kantuk di siang hari (daytime sleepiness) oleh The
American Sleep Disorders Association
Multiple Sleep
Penurunan nilai Latency Test
Severitas Contoh situasi Frekuensi
sosial/okupasional (MLST) terkait
(menit)
Menonton TV, membaca sambil
berbaring di ruangan yang sunyi,
Tidak setiap
Ringan atau menjadi penumpang di Ringan 10–15
hari
dalam kendaraan yang sedang
berjalan
Selama konser, film/pertunjukan
Sedang teater, pertemuan, atau Setiap hari Sedang 5–10
berkendara
Saat makan, pembicaraan tatap
Berat muka langsung, mengemudi, atau Setiap hari Berat <5
aktivitas fisik

7
BAB 2
PARASOMNIA

Kata kunci

 Parasomnia adalah perilaku tidak lazim yang terjadi selama tidur meliputi
tidur berjalan, teror malam, mimpi buruk, dan gangguan perilaku REM
(RBD).
 Hampir semua parasomnia diperparah oleh cemas dan juga berhubungan
dengan tingginya insidensi dari komorbit gangguan cemas dan depresi.
 Terapi obat parasomnia tergantung dari subtipenya. Teror malam dan tidur
berjalan bisa diterapi dengan benzodiazepin atau selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs).
 RBD sulit diterapi dengan obat anti depresan terutama SSRIs, tricyclic
antidepressants (TCAs) dan campuran reuptake inhibitors sering membuat
bertambah buruk.

Parasomnia adalah episode tidak lazim atau perilaku yang terjadi selama tidur
yang menganggu pasien atau lainnya. Klasifikasi dari gangguan ini dapat dengan
mudah dimengerti dari melihat munculnya tahapan tidur. Secara klinis
berhubungan dengan kemampuan penderita untuk mengingat yang telah terjadi.
Secara umum parasomnia bangkit dari non-rapid-eye-movement (non-REM)
dalam yang tidak dapat diingat dengan jelas oleh pasien. Serangan panik yang
terjadi selama malam adalah hal biasa, hal ini membingungkan definisi
parasomnia.

2.1 Parasomnia yang Timbul dari Fase non-REM


2.1.1 Teror malam (night terrors juga disebut sleep terrors)
2.1.1.1 Apa saja gejala dari teror malam ?

 Episode berulang bangun tiba-tiba, yang umumnya terjadi pada tiga


malam berturut-turut, biasanya disertai teriakan.
 Ketakutan dan tanda “otonomic arousal”.
 Tidak bisa membuat dirinya nyaman.
 Tidak bisa mengingat secara rinci
 Terbangun dari teror (jarang), bingung dan disorientasi, citra ingatan yang
samar biasanya tentang tercekik, terjebak atau ketakutan yang tidak
spesifik.
 Menyebabkan kesulitan yang signifikan.

8
Parasomnia Sleep Behaviour Responsive/oriente Recall
stage d
Sleep SWS Automatic no None
walking behaviour (e.g
walking
around house,
to toilet, to get
drink, etc)
Nights SWS Screaming, No None
terrors fearful,agitate ocassionally
d demeanour, recollection
and flight/fight of fear
behaviour
Nightmares REM During:none yes Recall of
After waking: frightening
fearful, dream,
agitated knows it was
demeanour a dream
REM REM During: Unresponsive but Recall of
behaviour violent quickly awakened clear
disorder complex action yes structure
with deram,
vocalization usually
After waking: active,
fearful,agitate violent, and
d demeanour unpleasant
Panic attack Transition Fearful, yes Full, as
from agitated daytime
awake to demeanour panic attack
sleep or
light to
deep sleep

Teror malam biasanya dimulai dengan berteriak atau menjerit. Penderita


bangun dari kasur dan terkadang diikuti dengan perilaku otomatis berhubungan
dengan ketakutan dan melarikan diri, seperti lari keluar kamar, lompat keluar
jendela, dan terkadang lari ke jalan, atau disertai perkelahian dengan diri sendiri,
benda, atau teman. Pada anak-anak perilaku ini umumnya bisa terjadi tetapi pada
dewasa dapat membahayakan penderia maupun teman tidur. Banyak laporan
dibeberapa literatur mengenai cedera yang parah (dan terkadang kematian) dapat
terjadi selama periode bangun dari tidur. Teror malam bisa menyebabkan
ketidakmampuan yang besar.

9
2.1.1.2 Seberapa sering teror malam ditemukan?
Teror malam biasa terjadi pada anak-anak, biasanya antara sekitar 30-40
persen memiliki episode ini. Puncak insidensi pada usia 2-3 tahun. Dibeberapa
kasus teror malam terjadi pada dewasa tetapi Sekitar 80% penderita dilaporkan
keluarga mengalami teror malam atau tidur berjalan tidak ada kaitan antara
prefalensi dengan jenis kelamin. Pasien dengan teror malam biasanya meningkat
insidensinya pada komorbit kelainan psikitri, gangguan cemas dan orang normal
yang sedang mengalami stress seperti jauh dari keluarga, baru memulai hubungan
dan menghadapi lingkungan baru.
2.1.1.3 Apa penyebab dari teror malam?
Penjelasan terbaik adalah penyangkalan mekanisme teror “incomplited
arousal from SWS”, selama fungsi kognitif mati mengikuti kumpulan perilaku
yang dikirim dari “subkortikal arousal” dan pusat cemas. Namun, kita tidak tau
apa yang menyebabkan “arousal”. Tingginya prefarensi dari tidur malam dan tidur
berjalan dapat ditemukan contohnya di Patagonia yang dipercaya memiliki kaitan
genetik. Pasien dengan teror malam tidak memiliki kemampuan untuk menopang
SWS sehingga “frightening arousal” muncul dari batang otak atau area limbik.
Mereka sering diporkan takut pada waktu tidur sebagai konsekuensi dari episode
selama tidur.
2.1.1.4 Bagaimana kita mendiagnosa dan mengobati teror malam?
Diagnosis umumnya dibuat oleh klinisi “sleep specialis”, tetapi untuk lebih
yakin diagnosisnya untuk direkam selama polisomnografi dengan perekam video.
Hal ini bisa dilakuakan “sleep Laboratori” atau di rumah penderita. Keduanya
sama-sama menggunakan perekam video dengan kamera infrared. Teror biasanya
terjadi setelah masuk kedalam episode SWS dan umumnyapada beberapa jam
pertama tidur ketika SWS maksimal. Untuk membedakan antara mimpi buruk
biasanya terjadi pada fase REM.
Faktor yang dapat diminimalisasi :

 Alkohol dapat meningkatkan resiko teror malam karena berkaitan dengan


SWS kecuali pada awal malam.
 Episode lebih berbahya ketika pasien tidur di lingkunngan berbeda.
Pasien yang memilih untuk tidak melakukan pengobatan setiap hari mungkin
akan mengguanakan obat ketika dibutuhkan saja. Pengobatan yang banyak yang
banyak terbukti adalah klonozepam, benzodiazepin dengan masa kerja yang lama
bekerja dengan menurunkan “arousal” dari tidur, sayangnya obat tersebut juga
memiliki efek samping mabuk pada siang hari. Paroksetin, sebuah anti depresan
yang meningkatkan fungsi serotonin juga terbukti efektif sejak pemakaian
pertama. Penejelasan mengenai aksi farmakologi langsung adalah meningkatkan
serotonin pada batang otak dan menurunkan jalur “arosual” pengobatan harus

10
diturunkan bertahap karena dapat menyebabkan “ribbon” setelah pemakaian
jangka panjang.

2.1.2 SLEEP WALKING (tidur berjalan)


2.1.2.1 Apa saja gejala dari tidur berjalan ?

 Perilaku otomatis pada malam dengan penderita yang tidak responsif pada
sekitar dan orang lain
 Biasanya berjalan disekitar
 Bisa termasuk perilaku lain seperti memakai pakaian, mencuci, membuat
teh, mengatur kepemilikan
Pada beberapa kasus, serangan dipicu karena ingin berkemih, dan penderita
mungkin meninggalkan kamar tidur untuk pergi ke toilet, berkemih sambil tidur,
kemudian kembali ke kamar tanpa mengingat kejadian pada hari berikutnya.
2.1.2.2 Seberapa sering tidur berjalan ?
Insidensi tidur berjalan tidak diketahui, tetapi mungkin dialami 15-20%
selama hidup. Pasien jarang ada yang mengobati kecuali melukai diri sendiri
ataupun orang lain. Pada kasus yang jarang, dekat dengan kematian telah
dilaporkan, contohnya satu penderita menemukan dirinya tertidur di tengah jurang
yang tinggi dengan tidak mengingat bagaimana bisa sampai ke sana, dan dia harus
diselamatkan menggunakan helikopter. Tidur berjalan mempunyai ciri yang sama
dengan teror malam dan tentunya keduanya mempunyai patologi yang serupa.
2.1.2.3 Bagaimana cara mengobati tidur berjalan?
Dengan meminimalisir faktor pencetus dan membuat lingkungan pasien aman
sangatlah penting. Serupa dengan teror malam, tidur jalan menunjukan tidak ada
kesadaran dunia luar, dan aksi akrab terhadap lingkungan baru sangatlah
berbahaya. Mudahnya keluarga perderita mengunci pintu hotel ketika liburan.
Terapi obat sama seperti teror malam.

2.1.3 CONFUSIONAL AROUSAL


Perilaku lain yang dapat timbul dari tidur yang dalam menunjukan samanya
ketidakresponan terhadap isyarat luar disebut confusional arausal. Dibarengi
dengan sebagian bertujuan seperti mencari atau mengani objek di kamar tidur.
Pada beberapa orang yang mengalami ini menyiapkan “arousal” dan makan
selama periode ini terjadi, karena ketidaksadrannya mereka sering makan yang
tidak diinginkan seperti mentega atau daging mentah, hal ini dapat berbahaya
(memakan isi asbak). Ini yang disebut dengan parasomnia dengan gangguan
makan saat tidur.

11
2.1.4 SLEEP BRUXISM
Sleep bruxism ini dikenal dengan “teeth grinding” yang biasanya berkunjung
ke dokter gigi karena erosi pada permukaan gigi atau nyeri rahang pada pagi hari
atau sakit kepala. Hal ini tidak seperti mengganggu penderitanya tetapi terkadang
suara yang dibuat cukup keras dan sering menganggu teman tidur. Tidak diketahui
sitem saraf pusat yang menyebabkan masalah ini. Demikian diketahui bahwa
“teeth grinding” terjadi selama periode stres. Tekanan pada rahang merupakan ciri
umum gangguan cemas “teeth grinding” yang tidak disadari selama siang hari
dihubungkan dengan obat yang membuat senang contohnya ekstesi. Terdapat
penelitian yang mengatakan kemungkinan ada kaitan pada jalur serotnim maupun
dopamin. Tatalaksananya biasanya menggunakan “oral splint appliances” untuk
menjaga gigi dari kerusakan terapi kognitif dan perilaku berfokus pada pengaturan
stres dan pengaturan gaya hidup mungkin dapat menguntungkan.

2.1.5 SLEEP STARTS AND SLEEP TALKING


“sleep starts” adalah tersentak yang biasanya terjadi pada tidur ringan,
kebanyakan selama bagian pertama malam. Umumnya diderita orang sehat dan
jarang merugikan. Jika parah atau hebat, biasanya terbangun dan berhubungan
dengan sensasi jatuh. Umumnya terlihat pada orang yang beraktivitas dekat
dengan waktu tidur, kemungkinan mereka terlalu lelah. Hal serupa, berbicara pada
saat tidur umumnya terjadi pada saat tidur ringan dan jarang memiliki akibat
langsung kepada pasien. Namun hal ini dapat membuat malu dan bisa menganggu
teman tidur.

2.1.6 HEAD-BANGING
“head-banging” atau gerakan lain seperti goyang sangat umum terjadi pada
anak-anak tetapi terkadang terjadi pada dewasa. Ini bukan merupakan gangguan
dari fase tidur non-REM, tetapi terjadi padasaat transisi antara terbangun dan fase
1 tidur, seringnya pada awal dari malam. Ini merupakan kasusu yang jarang tetapi
dapat menetap dan membuat orang lain yang tidur memar hingga kepala.
Tatalaksananya biasanya menjelaskan dan menyakinkan serta menajaga dengan
bantal disarankan.

2.2 Parasomnia yang Bangkit dari Fase REM


2.2.1 Mimpi buruk
2.2.1.1 Apa saja gejala dari mimpi buruk ?

12
Hampir semua orang pernah mengalami mimpi buruk, mimipi yang
menyedihkan dapat timbul kembali. Kebanyakan orang mentolerir mimpi buruk
karena jarang dan biasanya tidak mengganggu. Namun, pasien mencari
pertolongan ketika mimpi sering atau karena terbangun. Mimpi buruk berbeda
dengan teror malamyang ketika terbangun pasien sadar, mereka mengetahui yang
mereka alami adalah mimpi buruk serta dapat menceritakan mimpinya. Seringnya
mengingat tentang mimpi pada saat siang hari dapat memicu munculnya mimpi
buruk pada malam harinya.pada beberapa gangguan pssikiatri seperti PTSD dan
depresi, mimpi buruk lebih sering terjadi. Pada PTSD, mimpi buruk biasanya
mengenai kejadian traumatik pasien. Hal ini dapat menjadi masalah bagi teman
tidur. Mimpi buruk pada PTSD dapat terjadi beberapa tahun setelah kejadian, ini
kemungkinan disebabkan kerusakan bertahap pada kontrol korteks inhibitor.
Prevalensi mimpi buruk tidak diketahui, karena orang yang mengalami mimpi
buruk jarang konsultasi ke doter, meskipun demikian mimpi buruk merupakan
gejala dalam mendiagnosis PTSD
2.2.1.2 Bagaimana cara mengobati mimpi buruk ?
Mimpi buruk bisa di terapi dengan teknik psikologi yang efektif. Pendekatan
terbaik adalah pada individu atau kelompok yang termasuk mencoba terbuka diri
serta mengubah pemikiran dari rasa takut menjadi nyaman terhadap hasilnya yang
mana hal ini juga sukses digunakan pada PTSD. Pertama, pasien membayangkan
hal hal yang membuat nyaman, dan kemudian mereka menuangkannya dalam
mimpi. Proses ini terus dilakukan selama menginginkan mimpi baru yang
membuat nyaman.

2.2.2 SLEEP PARALYSIS


2.2.2.1 apa saja gejala dari sleep paralysis ?

 Tidur berjalan (walaupun baru tidur sebentar) dengan rasa takut dan sulit
untuk bergerak
 Terkadang merasakan dada bermasalah
 Biasanya pasien sadar sepenuhnya, tetapi terkadang muncul dalam mimpi
(seperti dikerja dan ingin berteriak)
 Terkadang waspada keadaan dapat memburuk

2.2.2.2 Bagaimana umumnya sleep paralysis ?


Gangguan ini bisa dibatasi tau dihubungkan dengan narkolpeso. Prevalensi
sleep paralysis diperkirakan 3%. Hal ini meningkat sampai 20% pada pasien
dengan gangguan cemas (gangguan cemas menyeluruh, panik dan sosial fobia)
dan 59% warga Afrika Amerika memiliki gangguan panik.
2.2.2.3 Bagaimana terjadinya sleep paralysis ?
Hal ini tidak diketahui penyebabnya, tetapi mekanismenya adalah gangguan dari
atonia atau paralisi otot skeletal saat fase REM ketika pasien tersadar. Biasanya
terjadi setelah fase REM menuju akhir dari malam saat pasien akan bangun.

13
Perasaan terhadap paralysis bisa semakin memburuk ketika fase REM dibarengi
mimpi. Perasaan dada bermaslah dikarenakan otot intercostal pada saat respirasi.
Perasaan takut dan munculnya keparahan biasanya karena takut hantu (sering
pada perempuan).
2.2.2.4 Bagaimana mengobati sleep paralysis ?
Tatalaksana dengan gangguan panik menggunakan selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs) sering kali tidak mengehntikan sleep paralysis.
Beberapa individu, lingkaran setan terbentuk pada pecandu alkohol, ketakutan
akan paralysis menyebabkan insomnia sehingga mereka meminum alkohol untuk
mengobatinya. Hal ini dapat menyebabkan lebih paralasis dan lebih cemas
tidur,alkohol akan meningkatkan kecanduan, gejala putus alkohol, dan kerusakan
hati.
Fase paralisis berakhir ketika terdapat sensor dari limbik yang hasilnya berupa
pesan kepada “arousal sistem” yang mengunsi paralisis. Terkadang penderita
dapat menerima sinyal dari tema tidur dengan gerakan dan suara. Tidak ada terapi
farmakologi pada gangguan ini

2.2.3 REM behaviour disorder (RBD)


2.2.3.1 Apa saja gejala dari RBD ?
 Hebat, durasi singkat kebiasaan malam
 Sering terdapat beberapa episode dalam semalam
 Episode ini dapat membangunkan subyek
 Subyek tidak dapat mengingat mimpi
 Mimpi sangan jelas, keras, dan tidak diharapkan
Gangguan ini cirinya adalah beberapa episode menjerit dan secara tiba tiba
gerakan kasar. Bisa diikuti dengan mencengkram barang, memukul mukul tanpa
sadar, mencengkram erat teman tidur (terkadang pada leher), meninju, dan
lainnya. Tidak ada yang kewaspadaan oleh sekitar, sehingga pasien dapat dengan
mudah tersakiti oleh karena jatuh dari kasur atau terbentur peralatan. Pasien sering
terbangun, menjadi bingung dan diam beberapa detik dan kemudian tertekan serta
menyesal saat mengingat, contohnya ada orang sekitar yang terluka akibat
terserang dan mereka membalas dengan kasar.
2.3.3.2 seberapa sering RBD ?
Biasanya selalu terjadi pada pria, terjadi pada pria lebih dari 50 tahun dan
prevalensi meningkat sesuai usia. Pentingnya dari gangguan ini hubungan saat ini
atau penyakit parkinson mendatang, dan demensia Lewy Body. Berkembangnya
risiko penyakit pada pasien dengan RBD sekitar 45-85% saat ini follow up.
Prevalensi pada populsi umum tidak diketahui. Survei terhadap 4900 orang
berusia 15-100 tahun memberikan estimasi prevalensi RBD sekita 0,5%

14
2.2.3.3 Bagaimana mendiagnosis RBD dan mengobatinya ?
Diagnosis dibuat berdasarkan polisomnografi disertai perekaman yang baik,
menunjukan atonia selama fase REM.
Antidepresan seperti SSRIs, tricyclic, dan campuran reuptake inhibitor seperti
venlafaxine dapat memperburuk RBD. Bupropion mungkin tidak memiliki efek
seperti it,tetapi masih perlu untuk dibuktikan.
Membuat lingkungan tidur yang nyaman adalah yang utama. Beberapa
pasangan memilih untuk tidur terpisah, seringnya tidur beda kasur namun dalam
satu ruangan. RBD slit diterapi dengan obat, tetapi beberpa laporan terbukti
efektif menggunakan clonazepam, meskipun memiliki efek samping pada siang
hari dan pernafasan saat malam. Sedikit laporan lainnya tentang keuntungan dari
agomelatine, mealtonin, praipexole, dan clonidine.

15
BAB 3
GANGGUAN TIDUR IRAMA SIRKADIAN

Kata Kunci:
• Gangguan tidur irama sirkadian (CRSDs) adalah gangguan dari ritme
normal dimulai dari tidur hingga bangun, dan termasuk subtipe:
– jet lag
– sindrom fase tidur yang tertunda (delayed sleep phase
syndrome/DSPS)
– sindrom fase tidur lanjut (advanced sleep phase syndrome/ASPS)
– ritme tidur-bangun yang tidak teratur (irregular sleep-wake
rhythm)
– gangguan tidur shift-kerja (shift-work sleep disorder/SWSD)
• Jet lag adalah gangguan ritme sirkadian yang paling umum, dan
disebabkan oleh gangguan ritme sirkadian internal karena perjalanan cepat
melalui beberapa zona waktu
• Pemulihan dari jet lag dapat dibantu oleh modifikasi perilaku atau dengan
farmakologi seperti penggunaan melatonin.
• DSPS lebih umum ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Sedangkan
ASPS adalah sebuah kondisi yang jauh lebih langka dibandingkan DSPS
dan lebih banyak ditemukan pada dewasa setengah baya dan orang yang
lebih tua.
• Pasien dengan gangguan tidur shift-kerja sering mengenai usia paruh baya
setelah bertahun-tahun bekerja sampingan.

3.1 Gangguan tidur irama sirkadian (Gangguan penjadwalan tidur)


Gangguan tidur irama sirkadian adalah gangguan tidur dimana terjadi
ketidakcocokan antara ritme sirkadian dengan siklus tidur-bangun yang
diperlukan. Dengan demikian, tubuh tidak menghitung tidur yang dilakukan pada
waktu yang tidak sesuai dengan waktu tidur internal dan akan merasakan kantuk
yang berlebihan ketika kita diharuskan untuk tetap terjaga. Beberapa gangguan
sirkadian juga dapat disebabkan oleh gaya hidup setiap individu, termasuk
pekerjaan dan jadwal berpergian. Hal inilah yang dapat bertentangan dengan

16
waktu tidur internal seperti jetlag dan gangguan tidur shift-kerja. Beberapa lainnya
dapat disebabkan karena bawaan atau kebiasaan.
3.1.1 1 Jet lag
Gangguan ritme sirkadian paling umum adalah jet lag, dimana terjadi
sementara dan terjadi akibat ritme sirkadian internal belum tersinkronisasi dengan
lingkungan eksternal karena perjalanan cepat melalui beberapa zona waktu.
Gejala-gejala dari terjadinya jet lag dapat berupa kelelahan, rasa kantuk
pada siang hari, insomnia pada malam hari, perubahan suasana hati, kesulitan
berkonsentrasi, malaise umum, dan gangguan pada perut. Episode tiba-tiba
terdapat perasaan panas dan berkeringat dapat terjadi yang berkaitan dengan
keadaan yang tidak tenang atau aman. Bagi sebagian besar orang, jet lag lebih
buruk terjadi pada saat perjalanan ke arah timur karena ritme internal kita lebih
lama dari 24 jam, sehingga memperpanjang hari setelah perjalanan ke arah barat
dirasakan sedikit lebih mudah.
Gejala bersifat sementara dan harus disselesaikan ketika jam sirkadian
membentuk sinkronisasi dengna waktu lokal. Tingkat adaptasi kira-kira sekitar 1
hari per jam dari perbedaan waktu. Jadi setelah berpergian dari pantai timur AS ke
Inggris (dengan perbedaan waktu 5 jam) sinkronisasi ulang membutuhkan waktu
sekitar 5 hari. Proses pemulihan dari jet lag dapat dipercepat oleh beberapa
strategi sederhana. Setibanya di tujuan akhir, penting untuk mencoba
menyesuaikan diri dengan waktu setempat yaitu dengan makan ketika penduduk
setempat melakukannya, tetap berolahraga dan melakukan rutinitas seperti
biasanya.
Pendekatan farmakologis juga dapat dilakukan. Melatonin dapat
membantu meredakan gejala-gejala jet lag dengan dosis 0,5-5 mg yang diminum
saat mendekati waktu tidur lokal selama 4 hari. Penggunaan jangka pendek obat
hipnosis short-acting seperti zolpidem berguna untuk mengurangi gejala
insomnia, dan kafein dapat digunakan untuk meningkatkan kewaspadaan pada
siang hari.
3.1.2 Gangguan tidur shift-kerja (Shift-work sleep disorder/ SWSD)
Ada banyak orang yang senang bekerja pada malam hari atau bekerja shift
bergilir, namun beberapa diantaranya mengalami insomnia saat mencoba untuk
tidur pada malam harinya, setelah shift malam berakhir atau pada hari libur.
Orang lain mungkin mengalami kantuk berlebihan ketika diminta untuk bangun di
tempat kerja. Gejala-gejala ini mengarah ke suatu kondisi yang disebut gangguan
tidur shift-kerja.
Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dalam rutinitas bangun
tidur akan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien-pasien dengan gangguan
tidur shift-work lebih sering ditemukan pada usia pertengahan setelah bertahun-
tahun bekerja bebas karena sekarang mereka mendapati kesulitan untuk kembali

17
ke rutinitas yang seharusnya. Gangguan ini lebih banyak terlihat pada polisi dan
para perawat yang membutuhkan kerja malam dan dapat diperburuk dengan
mengubah keadaan keluarga atau banyaknya perubahan rotasi shift-kerja.
Pergeseran yang paling sulit untuk diatasi biasanya yang mulai bekerja pada jam 6
atau 7 pagi. Ini dapat diakibatkan oleh dua alasan. Pertama akibat tidur lebih awal
pada malam sebelumnya sebagai antisipasi dari shift pagi, dimana ini merupakan
merupakan kesalahan karena terdapat ‘zona terlarang’ pada tengah malam. Kedua
pada giliran kerja berikutnya, orang-orang yang melakukan tidur siang sebelum
bekerja untuk mengurangi ‘hutang tidur’.
3.1.2.1 Apa saja gejala dari Gangguan tidur shift-kerja (SWSD)?

 Tidur tidak nyenyak


 Kantuk yang berlebihan pada saat harus terjaga
 Insomnia ketika seseorang tidak bekerja
 Kurang tidur dapat menyebabkan gangguan kinerja di tempat kerja atau
saat mengemudi pulang
 Gejala dapat terus berlangsung pada hari libur
3.1.2.2 Seberapa umum SWSD?
Angka terbaru menunjukkan bahwa 25% orang dengan jam kerja diluar
jam standar yaitu jam 9 pagi hingga 5 sore pada hari kerja, 10% dari individu-
individu tersebut dapat terkena gangguan tidur shift-kerja. Namun hanya sedikit
dari para penderita yang menyadarinya, sehingga presentasi untuk bantuan sangat
jarang kecuali pekerjaan atau karir seseorang tersebut dibawah ancaman atau
menimbulkan nyawa terancam- sebagai contoh, seorang polisi yang tertidur ketika
berkendara saat kerja.
3.1.2.3 Apa penyebab dari SWSD?
Penyebabnya adalah kegagalan penyesuaian jam internal ke jadwal kerja,
sehingga pekerjaan yang dituntut ketika jam internal (dan terkadang proses
homeostatik juga) memberi sinyal bahwa sudah waktunya tidur, dan sebaliknya
tubuh dituntut untuk tidur ketika proses bangun sedang tinggi.
3.1.2.4 Bagaimana kita mendiagnosa dan mengobati SWSD?
Sebuah riwayat lengkap dan buku harian untuk beberapa pergeseran siklus
mungkin cukup, namun terkadang aktigrafi dapat mengungkapkan informasi
tentang adanya waktu tidur siang yang dapat digunakan sebagai dasar untuk saran.
Selain itu penjelasan dari faktor-faktor lain seperti penggunaan narkoba dan
alkohol, adanya depresi, dan gangguan tidur lainnya (misalnya: sleep apnea,
gangguan gerakan) juga sangat penting.
Ada dua tujuan pengobatan yang utama. Yang pertama yaitu untuk
menyinkronkan jam internal dengan jadwal kerja, dan ini biasanya berhasil pada
orang dengan shift kerja yang tetap. Membuat rutinitas tidur-bangun secara

18
teratur, mengatur cahaya di siang hari dan kegelapan di waktu tidur bersamaan
dengan penggunaan kafein dan alkohol yang masuk akal dapat menjadi
pendekatan utama pada saat terapi.

3.1.3 Sindrom fase tidur yang tertunda (Delayed sleep phase syndrome/ DSPS)
DSPS adalah waktu tidur yang tertunda akibat jadwal yang diinginkan atau
diterima secara sosial.
3.1.3.1 Apa saja gejala dari DSPS?

 Kesulitan untuk tidur sebelum pukul 2-3 pagi (atau terkadang setelahnya)
 Pada akhir pekan atau hari tanpa kerja/sekolah/kuliah, waktu bangun yang
lebih disukai adalah setelah pukul 10 pagi
 Sleep-onset insomnia dan kesulitan bangun pagi hari ketika harus bekerja
pukul 9 pagi hingga 5 sore
Oleh karena itu, pasien mempunyai gejala insomnia dan hipersomnia, dan
salah satu atau keduanya dapat menyebabkan disfungsi pada aktivitas di siang
hari.
3.1.3.2 Seberapa umum DSPS?
Prevalensi DSPS pada populasi umum adalah 0,1-0,2% dan mungkin
sekitar 10% pada remaja dan dewasa muda. Presentase paling umum yaitu pada
mahasiswa yang mengikuti kuliah pagi atau seminar sekali atau dua kali seminggu
dan cenderung tidak dapat tidur di malam sebelumnya. Biasanya mahasiswa yang
merasa terganggu dengan insomnianya mengalami kesulitan dengan
akademiknya.
3.1.3.3 Apa saja penyebab dari DSPS?
Penyebabnya bisa saja kombinasi dari genetik dan lingkungan. Terdapat
bukti bahwa polimorfisme tertentu dalam gen (misalnya periode [per]) biasanya
lebih umum pada individu dengan DSPS. Faktor lingkungan dan perilaku seperti
kurangnya cahaya pada pagi hari dan paparan cahaya yang terlalu lama di malam
hari dapat berkontribusi dan dapat menyebabkan delay pada pola yang sudah
terbentuk. Selain itu, mungkin saja terdapat gangguan pada mekanisme tidur
homeostatik, karena dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan
DSPS mengalami pemulihan tidur yang lebih buruk setelah kurang tidur.

3.1.3.4 Bagaimana kita mendiagnosa dan mengobati DSPS?


Penting untuk menentukan apakah jadwal tidur yang tertunda
menyebabkan gangguan atau tekanan pada siang hari yang signifikan. Meskipun
diagnosis dibuat terutama oleh riwayat pasien, menyimpan buku harian tidur

19
setidaknya selama 2 minggu adalah sesuatu yang penting. Aktigrafi juga sering
sangat berguna, yang setidaknya dilakukan selama 2 minggu sehingga data
termasuk dua kali akhir pekan dapat didapatkan, agar pola tidur-bangun dapat
dinilai dengan baik. Riwayat psikiatri, penggunaan obat-obatan dan alkohol
sangat penting untuk disingkirkan untuk menghilangkan penyebab lain dari
adanya perubahan tidur.
Terapinya tergantung dari tingkat keparahan gangguan yang dialami,
kepatuhan pasien dan kewajiban kerja atau sekolah mereka. Salah satu terapi yang
paling efektif adalah dengan paparan cahaya terang pada siang hari, kepatuhan
yang ketat terhadap rutinitas yang melibatkan bangun pada waktu yang disepakati,
katakan jam 8 pagi, lalu keluar atau dekat dengan jendela setidaknya selama satu
jam. Selain itu meredupkan cahaya pada waktu malam mendekati waktu tidur
yang diinginkan. Diikuti dengan tidak mengkonsumsi kafein dan alkohol secara
berlebihan, menghindari tidur siang dan mengurangi penggunaan komputer di
malam hari, dengan demikian diharapkan terdapat perbaikan pada waktu tidur
setelah 2 minggu.
Pasien DSPS sering memiliki kekambuhan dan bertahan lama pada
gangguan ini sehingga membutuhkan terapi jangka panjang pada masa
mendatang. DSPS dapat berdampak besar pada kehidupan dan pekerjaan sehingga
pasien harus berpikir dan berhati-hati dalam memilih jenis kehidupan dan
pekerjaan yang akan mereka jalani. Karier yang tidak cocok untuk orang dengan
kecenderungan ini adalah pekerjaan shift dan pekerjaan on-call (misalnya
dibagian kesehatan) atau pekerjaan lain yang melibatkan perubahan zona waktu
(misalnya industri penerbangan).
3.1.4 Sindrom fase tidur lanjutan (Advanced sleep phase syndrome/ ASPS)
ASPS adalah gangguan yang jauh lebih jarang dan jarang terlihat pada
anak muda.
3.1.4.1 Apa saja gejala dari ASPS?

 Kebiasaan tidur dan bangun 2-3 jam lebih awal dari yang diinginkan
 Sleep maintanance insomnia
 Terbangun terlalu pagi
 Rasa kantuk pada siang atau sore hari
3.1.4.2 Apa saja penyebab dari ASPS?
Sama seperti DSPS, penyebab dari ASPS belum benar-benar diketahui
namun faktor genetik dapat berpengaruh. Satu keluarga dengan gangguan ini
pernah dilaporkan, dan terdapat mutasi pada gen yang berhubungan dengan jam
pada kasus ini. Diperkirakan orang dengan ASPS memiliki ritme sirkadian yang
pendek atau kurang merespon terhadap cahaya.
3.1.4.3 Bagaimana kita mendiagnosa dan mengobati ASPS?

20
Riwayat tidur, buku harian tidur dan mungkin aktigrafi dapat membantu
dalam membuat diagnosis. Lagi-lagi gangguan lain harus disingkirkan terutama
depresi. Terapi pengaturan cahaya pada saat bangun dan akan tidur juga dapat
diterapkan. Bukti mengenai penggunaan malatonin atau hipnotik tidak terlalu
terbukti.
3.1.5 Non-24-hour circadian rhythm disorder (free running)
3.1.5.1 Apa saja gejala-gejalanya?
Kunci diagnostik utama adalah peningkatan waktu tidur dan waktu bangun
yang semakin lambat setiap harinya. Hal ini sering dikaitkan dengan insomnia
dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda dan rasa kantuk pada siang hari.
Pasien biasanya mencoba untuk menjaga pola yang teratur, dimana
merupakan suatu kepuasan tersendiri ketika terjadi kesamaan antara irama internal
dengan dunia luar, dan dalam beberapa hari tidur mereka menjadi normal. Namun
ketika irama internal keluar dari fase tidur dan bangun maka gejala akan lebih
buruk lagi.
3.1.5.2 Seberapa sering free running ditemukan?
Kondisi ini jarang terjadi pada orang yang terlihat namun lebih umum
pada orang dengan kebutaan total (misalnya sejak lahir). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 50% dari orang buta memiliki ritme free running dan
gangguan tidur yang kronis.
3.1.5.3 Apa yang menyebabkan terjadinya free running?
Penyebab yang paling mungkin adalah karena berkurangnya persepsi
cahaya, sehingga ritme sirkadian tidak ke hari selama 24 jam. Tidak semua orang
buta memiliki masalah ini, dan hal ini dapat dijelaskan oleh preservasi reseptor
melanopsin di mata yang dapat memberikan sinyal ke jam hipotalamus secara
independen dari penglihatan. Melanopsin adalah fotopigment yang baru-baru ini
ditemukan yang memainkan peran utama dalam mengatur ritme sirkadian pada
tikus, dimana mengalahkan kekuatan gen yang membuatnya tidak sensitif
terhadap cahaya. Melanopsin ditemukan di mata manusia dan diyakini
memainkan peran yang serupa meskipun penelitian ini baru saja dimulai.
Walaupun pada orang buta tidak memiliki sarana input cahaya ke sistem otak
sirkadian, kebiasaan lain seperti rutinitas kerja dan aktivitas fisik kadang-kadang
dapat membantu memberikan stimulus yang cukup untuk mensinkronisasi waktu
sekitar dengan tubuh.
3.1.5.4. Bagaimana kita mendiagnosa dan mengobati free running?
Lagi-lagi diari tidur dan aktigrafi sangatlah dibutuhkan dan diberlukan
setidaknya selama 4 minggu berturut-turut untuk dapat menemukan pola yang
benar.

21
Pengobatan lebih difokuskan dengan memperhatikan rutinitas harian,
waktu tidur, dan aktivitas fisik serta aspek lain dari kebiasaan tidur yang baik.
Pada orang buta biasanya dikombinasikan dengan melatonin (2-4mg) yang
diberikan pada waktu tidur. Namun untuk sebagian orang, paparan langsung dari
sinar matahari dapat menjadi stimulus yang lebih kuat dibandingkan
menggunakan melatonin.
3.1.6Ritme tidur-bangun tidak beraturan (Irregular sleep-wake rhythm)

 Periode tidur tidak beraturan dari hari ke hari


 Terdapat waktu tidur siang sebelum waktu tidur yang panjang
Gangguan ini terjadi pada orang dengan demensia dan orang dengan
kerusakan otak seperti dalam ketidakmampuan belajar dan orang dengan
skizofrenia. Ini mungkin mencerminkan adanya defisit sentral dalam mekanisme
jam atau penurunan respon sistem. Pengobatan diutamakan pada perilaku dengan
penekanan pada peningkatan aktivitas di siang hari dan memaksimalkan paparan
cahaya terutama pada pagi hari dan menjaga waktu tidur yang ketat. Ini cukup
sulit karena membutuhkan pengasuh untuk mendampingi, dan terapi ini telah
terbukti efektif.

22
BAB 4
KELAINAN PSIKIATRI DAN GANGGUAN TIDUR

Gangguan tidur umum terjadi pada pasien dengan kelainan psikiatri termasuk
depresi, ansietas (post-traumatic stress disorder (PTSD), gangguan cemas
menyeluruh, dan gangguan panik), gangguan bipolar, skizofrenia, demensia, dan
penyalahgunaan zat. Insomnia merupakan keluhan paling umum yang berkaitan
dengan kelainan psikiatri, hal tersebut dapat memperburuk prognosis mania dan
depresi. Gangguan tidur pada kelainan psikiatri selengkapnya, dapat dilihat pada
tabel berikut:

Tabel. Gangguan tidur pada kelainan psikiatri


Kelainan Psikiatri Gangguan Tidur
Depresi  Insidensi tertinggi, sekitar 75%
memiliki insomnia
 Meningkat seiring peningkatan
mood, 5–10% mengalami
hipersomnia
Post-Traumatic Stress Disorder  Insomnia
(PTSD)  Parasomnia (mimpi buruk, night
terror, sleep walkimg)
Gangguan cemas menyeluruh Insomnia (20-30%)
Gangguan panik Serangan panik nokturnal
Skizofrenia  Insomnia
 Gangguan penjadwalan (‘free
running’)
Demensia  Insomnia
 Agitasi saat tidur (‘sundowning’)
 Gangguan penjadwalan (tidur di
siang hari)
Putus zat opioid atau alkohol  Umumnya insomnia
 Risiko tinggi untuk kekambuhan
 Penjadwalan tidur-bangun yang

23
tidak teratur/kacau

4.1 Depresi
Kesulitan tidur adalah gejala paling umum pada pasien depresi. Insomnia
sering kali menjadi penyebab pasien depresi datang ke dokter. Berikut hubungan
depresi dengan gangguan tidur:
a. Insomnia adalah keluhan yang umum pada pasien depresi yang
menyebabkan pasien datang ke dokter
b. Gangguan tidur dapat memprediksi hasil pengobatan
c. Manipulasi tidur meningkatkan mood
d. Sleep architecture abnormal dalam kasus depresi
e. Antidepresan mengubah sleep architecture dengan arah yang berlawanan
Terlepas dari ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh masalah tidur, masalah
tidur juga dapat dapat menyebabkan kelelahan, fungsi keseharian yang buruk
selama siang hari, dan kecelakaan, serta terkait dengan peningkatan risiko bunuh
diri. Sekitar 75% pasien depresi mengeluh setidaknya salah satu dari keluhan
berikut: kesulitan memulai tidur, tidur terputus-putus, mimpi yang mengganggu,
bangun terlampau pagi, berkurangnya jumlah tidur, tidak merasa segar di pagi
hari, dan merasa lelah. Secara objektif, sleep architecture yang terganggu pada
depresi dengan perubahan gerakan cepat (REM) onset latensi dan dalam distribusi
slow-wave sleep (SWS). Perubahan ini merupakan beberapa temuan yang paling
kuat dalam depresi dan telah dipelajari selama bertahun-tahun sebagai indikator
potensi respon terhadap pengobatan dan kekambuhan.
4.1.1 Perubahan Objektif Tidur pada Depresi
Studi polisomnografi depresi telah mengkonfirmasi sejumlah tanda gangguan
tidur pada kondisi ini (Benca et al 1992)
 Dibandingkan dengan kontrol normal, kontinuitas tidur dari subjek depresi
sering terganggu, dengan peningkatan kesadaran dan mengurangi efisiensi
tidur
 Sleep onset latency meningkat secara signifikan, dan total waktu tidur
berkurang.
 SWS dapat dikurangi. Khususnya pola normal dari aktivitas gelombang
lambat menurun dari yang pertama ke episode non-REM (NREM) terakhir
terganggu, dengan kebanyakan SWS terjadi di episode kedua pada pasien
depresi
 REM latensi sering dipersingkat, dan durasi periode REM pertama
meningkat
 Jumlah gerakan mata pada REM juga dapat meningkat.
Perubahan ini menunjukkan bahwa, pada depresi, ada gangguan baik dari
sirkadian dan aspek homeostatik tidur. Latensi REM yang singkat, penurunan
SWS, dan peningkatan kesadaran muncul pada 40-70% pasien rawat jalan yang
depresi. Perubahan ini diilustrasikan dalam hipnogram pasien.
4.1.2 Efek Terapi Antidepresan terhadap Tidur pada Pasien Depresi
Dari sudut pandang klinisi, persepsi subjektif tidur dari pasien lebih penting
daripada hasil polisomnografi. Secara umum, di sebagian besar studi tentang

24
keluhan tidur selama pengobatan antidepresan, pembanding tidur pada awal, dan
ada perbaikan selama beberapa minggu karena depresi meningkat. Ini terlihat
dengan terapi obat dan kognitif. Namun, kemampuan obat yang berbeda untuk
meningkatkan tidur di awal pengobatan sering penting untuk pasien, terutama jika
insomnia menyebabkan gangguan yang signifikan. Perbaikan awal gejala tidur
dapat mendorong pasien untuk melanjutkan dengan mediasi ke titik di mana efek
pengangkatan mood menjadi jelas. Antidepresan yang merupakan penyekat 5HT2,
seperti mirtazapine dan agomelatine (antagonis 5HT2 dan agonis reseptor
melatonin), dapat memperbaiki tidur subyektif dengan cepat dalam depresi.
Antidepresan trisiklik (TCA) seperti trimipramine dan doxepin juga dapat
digunakan, karena obat-obat ini anti histamin H1 yang poten, namun memiliki
lebih banyak efek samping seperti sedasi dan mulut kering.

4.2 Gangguan Bipolar


Gangguan bipolar adalah keadaan yang bergantung pada fase manik yang
biasanya didahului oleh durasi tidur yang singkat, ini dapat menjadi peringatan
dini yang berguna. Beberapa pasien juga memiliki durasi tidur yang lebih lama
dan peningkatan jumlah kantuk di siang hari selama fase depresi Perubahan tidur
objektif mirip dengan depresi unipolar.

4.3 Gangguan Cemas Menyeluruh


Sleep onset insomnia dialami sekitar 20–30% pasien dengan gangguan cemas
menyeluruh, dan terkadang gangguan tidur ini lah yung menjadi fokus utama
kecemasan. Pasien mungkin juga mengalami peningkatan bangun di malam hari
dan mengeluhkan kualitas tidur yang buruk. Ada beberapa abnormalitas obyektif
selain dari berkurangnya kelangsungan tidur. Beberapa penulis percaya bahwa
insomnia primer adalah varian gangguan cemas menyeluruh di mana fokus utama
kekhawatiran adalah tentang tidur dan pikiran terhadap tidurnya yang kurang.
Umumnya kualitas tidur pasien, membaik dengan pemberian antidepresan
seperti golongan SSRI. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) yang berfokus
pada tidur, seperti yang dilakukan pada pasien dengan insomnia primer, cukup
berguna pada kasus ini.

4.4 PTSD (postraumatic stress disorder)


Memiliki insidensi tertinggi dari seluruh gangguan tidur sekitar 70 – 90
persen pasien dengan PTSD memiliki kesulitan untuk tertidur atau
mampertahankan tidurnya, dan mimpi buruk terjadi 20 – 70 persen. Parasomnia
seperti tidur barjalan atau teror malam lebih sering pada populasi umum dan baru
– baru ini tingginya insidensi dari gangguan pernafasan saat tidur dan gangguan
gerakan saat tidur juga dilaporkan.
Sebuah penelitian pada pasien yang selamat dari kecelakaan mobil, keluhan
tidur dirasakan satu bulan setelah trauma menduduki peringkat pertama PTSD di
tahun kemudian, merupakan prediksi gangguan tidur. Ukuran objektif pada
gangguan tidur adalah tidak tetap, tetapi banyak penelitian menunjukan
menurunnya efesiensi tidur. Terdapat kontroversi terhadap fase REM, beberapa

25
laporan menurunnya REM dan bebarapa lagi melaporkan peningkatan REM.
Namun beberapa menunjukan kecenderungan lebih banyak bangun pada episode
REM, dan hal ini dibarengi dengan pengurangan effesiensi tidur yang
menunjuakan waspada pada malam. Obat yang digunakan untuk gejala PTSD,
seperti SSRIs,trazodone dan mertazapine dapat menigkatkan tidur maupun mimpi
buruk. Baru-baru ini trdapat laporan yang mnenggembirakan bahwa
meningkatnya tidur setelah diterapi mengunakan prazosin, obat yang bekerja
sentral α1-adrenoreseptor antagonis, dan juga dengan buspirone, gabapentin,
tiagabin, yang membutuhkan konfirmasi. Bukti menunjukan bahwa
benzodiazepin, TCAs, dan monoamine oksidase inhibitors (MAOIs) tidak berguan
untuk tatalaksana PTSD yang biasanya terdapat gangguan tidur. Terapi perilaku
kognitif untuk terapi insomnia dan latihan pencintraan untuk mimpi buruk juga
menghasilkan keluaran yang yang baik.
4.5 Gangguan panik
Tidak ada hubungan yang spesifik antara gangguan panik dan gangguan tidur
kecuali pada pasien yang mengalami serangan panik di malam hari. Hampir 50%
pasien dengan gangguan panik setidaknya memiliki satu serangan panik pada
malam hari, dan 30% secara teratur mengalaminya. Pada kelompok ini takut
untuk tertidur menjadi suatu masalah dan memiliki onset insomnia. Serangan
panik malam hari tidak berbeda karakteristiknya dari serangan panik siang hari
pada pasien tertentu, ketika serangan tersebut terjadi pada saat polisomnografi
biasanya diikuti episode terbangun di antara tahap dua dan tahap tiga tidur yang
seharusnya pasien jatuh untuk tertidur yang dalam. Mereka dapat dengan jelas
mengingatnya, kita telah melihat beberapa pasien yang memiliki serangan panik
pada saat pasien tidur, pasien ini rata – rata memiliki tingkat kewaspadaan lebih
terhadap nadi dan atau respirasi. Pada orang sehat memiliki nadi yang lambat dan
respirasi yang cepat dangkal pada saat tidur sebagai pengaturan sistem otonom
saat tidur. Kemungkinan pasien memiliki kelainan sadar yang berbeda atau
kelainan sistem alaram yang bereaksi terhadap perubahan karbondioksida. Jadi,
sedikit peningkatan karbondioksida yang terjadi dapat mengaktifkan sistem
batang otak pada pasien yang rentan, dapat memicu serangan panik. Beberapa
bagian malam dengan serangan panik, pasien dengan gangguan panik tidak
menunjukan perbedaan pola tidur dari pengaturan sehat.

4.6 Skizofrenia
Pasien dengan skizofrenia dapat terjadi insomnia, kebayakan terjadi pada
gejala akut. Pasien dapat mengalami pemanjangan tidur atau berlebihan pada
siang hari, dan meskipun sudah sering dipikirkan diakibatkan oleh samping
antipsikosis, ini juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang baru diketahui
khusunya karena diregulasi sirkardian. Gangguan pada pasien skizofrenia secara
konsisten di deskripsikan sebagai kelainan irama sirkardian, seringnya pada tipe

26
siklus non-24h, dengan tertundanya periode tidur beberapa hari. Penyebabnya
tidak diketahui, tetapi diduga oleh beberapa “biological preturbations” pada otak
seperti penampakan rutin tidur-bangun yang hilang adalah normal bagi zeitgebers.
Dan beberapa kasus siklus “free-running” dapat berbahaya. Faktor lingkungan
mungkin juga berperan karena gaya hidup pasien dapat berpengaruh, contohnya
karena pasien banyak menggunakan waktu pada tempat yang redup di dalam
gedung atau rumah sakit, pasien tidak memiliki aktivitas pada umumnya, dan lain
– lain. Meskipun demikian mungkin saja pada penyakit akut, pasien skizofren
memiliki kurangnya sensifitas terhadap isyarat luar. Terapi menggunakan proses
lingkungan normal seperti lampu dan latihan dapat memberatkan pasien ini karena
motovasi untuk mengubah gaya hidup dan keikutsertaan pada program ini lemah.

4.7 Dementia
Meningkatnya usia pada seorang yang sehat dihubungkan dengan
meningkatnya jumlah orang terbangun pada malam hari, dan ini ditunjukan
dengan pada pasien demensia yang sering terdapat insomnia. Parahnya, pola 24-h
sleep-wake diisi dengan banyaknya tidur di waktu siang dan sedikit di waktu
malam. Tentu saja, tidur pada siang hari dapat mengurangi “S-process” pengantar
tidur pada malam hari menjadi buruk sehingga waktu tidur pada siang hari
menjadi lebih sering. Terdapat insidensi yang singnifikan gangguan kebiasaan
tidur fase REM pada pasien demensia dengan “Lewy bodies”, kemungkinan
dikaitkan dengan pentingnya peranan dari penipisan dopamin pada pasien
demensia. Tatalaksana utamanya berfokus pada strategi kebiasaan, dimana
terdapat perbaikan yang jelas pada kebiasaan sirkardian. Kejenuhan dan tidak
berkegiatan di siang hari, khususnya dengan penurunan atau redupnya cahaya,
membuat tidur di siang hari lebih disukai, seharusnya dihindari sejauh mungkin.
Memburuknya gejala pada pasien demensia saat sore hari dan malam hari
“sundowning” menjadi masalah utama, dan terkadang perilaku sulit diatur,
bingung dan kadang berhalusinasi diderita pasien yang sering bingung oleh hari-
harinya. Disebabkan oleh karena kerusakan progesif pada nuclei kolinergik seperti
nucleus basalis meynert yang mengatur gairah (arousal), yang tidak seharusnya
aktif pada pasien ini ketika korteks diatur untuk tidur. Penggunaan lampu yang
terang pada sore hari dilaporkan dapat membantu, seperti membentuk kebiasaan
tidur yang baik, banya beraktifitas dan sedikit tidur di siang hari. Obat kolinergik
(seperti donepezil dan rivastigmine) mungkin dapat berarti, kemungkinan
sementara waktu dapat memperbaiki tidak berfungsinya kolinergik.

27
4.8 Penyalah gunaan zat
4.8.1 Alcohol
Pada peminum yang tidak ketergantungan, alkohol bisa membuat tidur,
dengan mempersingkat waktu untuk tertidur (onset laten tidur) dan dengan
meningkatkan “deep restorative SWS sleep” di bagian pertama malam. Meski
demikian, hasilnya tidur di malam hari lebih baik tanpa alkohol. Pada peminum
yang berat dan ketergantungan, situasi terjadi sebaliknya yaitu tidur menjadi sulit
dimulai dan terganggu . Kemungkinan dikarenakan perubahan pada reseptor otak
seperti gamma-aminobutyric acid-A (GABA-A) dan glutamat. Pola yang sama
tetap terjadi walaupun sudah berhenti, terutama pada beberapa minggu, meskipun
demikian akan berespon pada terapi putus alkohol, yaitu benzodiazepin kerja
panjang. Pemakaian obat tersebut juga merupakan hal dilematik, karena bekerja
pada jalan yang serupa dengan alkohol yaitu pada reseptor GABA-A. Hal ini sama
saja seperti membiasakan pasien dengan alkohol seperti penyalahgunaan ataupun
disalahgunakan.
Pengalaman penderita insomnia, yang sulit untuk tidur, terbangun dan sulit
tidur kembali saat malam, dan bangun lebih awal pada pagi hari, umumnya
banyak ditemui pada pasien yang putus alkohol. Faktanya, sekitar 60% pasien
yang ketergantungan alkohol menderita insomnia sebelum mereka berhenti
minum, dan banyak yang mengobati diri mereka dengan meminum alkohol
tersebut agar tertidur. Sangat banyak pasien ketergantuan alkohol yang akhirnya
depresi karena insomnia.
Gangguan tidur bukan hanya menyedihkan tetapi juga diprediksi kambuh
pada pasien ketergantungan alkohol yang sudah berhenti minum. Pasien yang
memiliki insomnia ketika menjadi peminum biasanya dua kali lebih sering
kambuh daripada orang normal dengan insomnia. Gejala dari insomnia ini, pasien
yang putus alkohol sering memiliki “chaotic lifestyle”, yang terjadi selama
meminum dan butuh waktu lama menyesuaikan dengan pola biasanya.

4.8.2 detoksifikasi opioit


Selama fase akut dari gejala putus zat opioit terdapat insomnia yang parah.
Kemungkinan diakibatkan “massive rebound activation” pada “arousal system
brain”, khususnya proyeksi noradrenalin pada lokus coerulus pada korteks.
Alasannya masih belum jelas, tetapi kemungkinan terdapat interaksi terhadap
sistem neurotransmitter lain, masalah tidur berkepanjangan dan mungkin
memusingkan bagi orang yang putus zat methadone, terdapat beberapa bukti
bahwa insomnia tetap berlansung selama 6 bulan putus zat. Gangguan tidur ini
bisa menjadi faktor yang signifikan dalam memprediksi kekambuhan, namun
belum dipelajari dan dimengerti.

28
Terdapat perubahan dalam pola tidur selama detoksifikasi opioit, yang mana
sulit untuk dijelaskan kaitan dengan penggunaan banyak obat sebelumnya,
khususnya benzodiazepin, alkohol, dan kokain. Terdapat peningkatan terbangun
saat tidur dan menetap selama seminggu.

4.8.3 Tatalaksana gangguan tidur pada putus alkohol dan opioid


Tatalaksana harus berfokus pada strategi kognitif dan perilaku untuk
meningkatkan kebiasaan tidur dan mengurangi kecemasan akibat kurang tidur.
Terapi dengan obat mungkin tidak dianjurkan (kontraindikasi), tetapi pada
peminum alkohol dengan depresi terapi antidepresan (seperti: mirtazapin,
trazodon) adalah pilihan yang baik. Pada awal putus zat opiot, antihistamin
berhasil digunakan untuk meningkatkan onset tidur penderita insomnia, dan saat
ini Z-drug diberikan untuk periode singkat dalam mengatasi pasein dengan gejala
putus zat yang buruk. Penilaian ini tidak berarti bahwa penggunaan α2-
adrenoreseptor agonis seperti clonidine dan lofexidin untuk mengatasi putus zat
opioit juga meningkatkan tidur dengan mematikan sistem gairah (arousal system),
jadi penggunaan obat ini baik diberikan pada malam hari daripada siang.
4.8.4 Stimulan
Penggunaan kronis amfetamin dan stimulan lainnya dikaitkan dengan
pemendekan durasi tidur dan penekanan terhadap REM, disebabkan oleh karena
efek langsung obat yang melepaskan dopamin dan noradrealin ke otak. Perubahan
adaptasi homeostatis terjadi langsung di otak selama 2 minggu pertama pada
penghentian zat bahwa terjadi rebound dari adrenalin dan noradrenalin. Hal ini
ditunjukan dengan gejala klinis berupa ngantuk di siang hari,kelelahan, dan efek
nokturnal, khususnya meningkatnya fase REM, dengan laporan terkait mimpi
yang jelas atau tidak diinginkan.

29
BAB 5
Gangguan Tidur Terkait Gangguan Neurologis dan Medis

Kata Kunci:

 Gangguan tidur terkait dengan Restless Legs Syndrome (RLS), Periodic


Limb Movements Disorder (PLMD), penyakit Parkinson dan chronic
fatigue syndrome
 RLS memengaruhi sekitar 4% pria dan 5-6% wanita, dan meningkat
seiring bertambahnya usia
 Sekitar 80% pasien dengan RLS juga mengalami pergerakan kaki secara
periodik, namun hanya 30% pasien yang mengalami RLS
 Pasien dengan penyakit Parkinson mengalami berbagai keluhan tidur,
termasuk insomnia, gangguan perilaku tidur REM (REM sleep behaviour
disorder/ RBD), rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan dalam
beberapa kasus yang jarang dapat ditemukan serangan tidur mendadak
5.1 Restless legs syndrome (RLS)
RLS adalah gangguan yang ditandai dengan dorongan yang hampir tidak
tertahankan untuk bergerak, biasanya berhubungan dengan sensasi kaki yang tidak
menyenangkan, lebih buruk selama ketidakaktifan dan sering mengganggu tidur.
5.1.1 Apa saja gejala dari RLS?

 Keinginan untuk menggerakkan anggota tubuh, biasanya berhubungan


dengan parestesia
 Perasaan tidak enak, menggelitik, seperti cacing atau serangga yang
merangkak diatas kulit
 Sensasi yang menyakitkan, membakar, atau gatal
 Sensasi seperti air mengalir diatas kulit
 Terkadang tidak dapat terdeskripsikan
 Kegelisahan jika tidak bergerak
 Memburuk saat istirahat dan sebagian teringankan dengan aktivitas
 Lebih buruk pada sore atau malam hari
 Dapat menyebabkan insomnia atau bangun pada malam hari

5.1.2 Seberapa sering RLS ditemukan?

30
Sekitar 4% pria dan 5-6% wanita menderita RLS dan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Angka kejadian meningkat pada orang dengan gangguan
ginjal dan pada wanita hamil. Beberapa obat seperti antidepresan dan antihistamin
dapat mempresipitasi atau memperburuk RLS
5.1.3 Apa penyebab dari RLS?
Penyebabnya tidak diketahui, namun terdapat teori mengatakan bahwa
kemungkinan terdapat gangguan reseptor dopamin pada otak. Ketidaknormalan
kadar logam pada otak juga terlihat pada pasien ini, dengan kecenderungan kadar
logam yang rendah di basal ganglia otak.
5.1.4 Bagaimana kita mendiagnosa dan mengobati RLS?
Diagnosis hanya berdasarkan gejala klinis saja. Mengingat kondisi ini sulit
untuk diobati, biasanya ditangani oleh ahli saraf dan pengobatan untuk gangguan
tidurnya. Pengobatan nonfarmakologi harus meliputi pengurangan atau
pemberhentian obat-obatan yang dapat memperparah RLS, untuk beberapa pasien
mendinginkan kaki atau berolahraga dapat sedikit menolong. Beberapa obat yang
terbukti efektif untuk meningkatkan fungsi dopamin, seperti levodopa dan
dopamin agonis juga dapat digunakan dengan monitoring dosis yang ketat.
5.2 Period limb movement disorder (PLMD)
5.2.1 Apa saja gejala dari PLMD?

 Insomnia atau rasa kantuk yang berlebihan


 Gerakan ekstremitas yang berulang secara terus menerus, pada kaki
ditandai dengan ekstensi dari jempol kaki dan fleksi pergelangan kaki,
lutut dan pinggul
 Gerakan terjadi setiap 20-40 detik untuk periode menit atau jam
 Bisa dikaitkan dengan gairah
5.2.2 Seberapa sering PLMD ditemukan?
Prevalensi dari PLMD tidak diketahui. Sekitar 80% orang dengan RLS dapat
mempunyai periode bergerak pada tidurnya, namun hanya 30% dari orang dengan
pergerakan ekstremitas secara berulang mempunyai RLS. Dengan kata lain, 70%
dari PLMD pada tidurnya tidak menderita RLS. Pasien dengan PLMD sendiri
jarang datang ke klinik dengan keluhan gangguan tidurnya.
Pengobatannya sendiri sama dengan RLS.
5.3 Penyakit Parkinson (PD)
Pasien dengan penyakit Parkinson menderita berbagai gangguan tidur yang
tampaknya berhubungan dengan interaksi kompleks antara gangguan gerak,
kerusakan pada area otak yang mengontrol tidur dan pengobatan dopaminergik
(Arnulf 2006)

31
Masalah yang paling umum adalah kantuk yang berlebihan di siang hari, yang
dapat memengaruhi 20-50% pasien dengan penyakit Parkinson dan berhubungan
dengan tingkat keparahan, dosis levodopa yang lebih tinggi dan terkadang
dopamin agonis. Pengobatan dari keluhan ini cukup sulit, namun mengganti jenis
obat dopaminergik mungkin dapat mebantu. Sindroma apnea obstruktif pada saat
tidur harus disingkirkan. Insomnia dilaporkan pada sejumlah besar pasien dengan
penyakit Parkinson, terkadang terkait dengan nokturia, nyeri, maupun kesulitan
menemukan kenyamanan pada tempat tidur.
Insidensi gangguan perilaku tidur REM juga didapatkan cukup tinggi pada
penderita Parkinson. Salah satu penelitian terhadap 80 pasien Parkinson yang
ditindaklanjuti selama 8 tahun, ditemukan 5 pasien pada awal dan 27 pasien paten
di follow-up dengan RBD (Onofrj et al 2002).

5.4 Gangguan Tidur Pada Gangguan Medis Lainnya


Insidensi yang cukup signifikan terkait insomnia yang diakibatkan gangguan
medis cukup banyak. Rematoid artritis dan sindrom nyeri lainnya dimana nyeri
nokturnal dan gerakan yang terbatas sering menimbulkan bangun di tengah-
tengah tidur, dan beberapa menimbulkan rasa kantuk pada siang hari. Pasien
kanker yang memiliki insomnia terbukti merespon terhadap intervensi perilaku
untuk insomnia mereka. Pasien dengan dialisis juga terkadang mengeluhkan
gangguan tidur jika dilakukan pada malam hari, sehingga biasanya dilakukan pada
pagi atau siang hari.
Dikarenakan kurangnya tidur dapat memberikan dampak yang cukup besar
terhadap kualitas hidup seseorang, maka sangat penting menanyakan pasien
dengan penyakit kronis mengenai kualitas tidur mereka dan memperhatikan
apakah terdapat masalah yang mungkin dapat berpengaruh kepada keberhasilan
terapi yang sedang dijalani.
5.5 Sindrom Kelelahan Kronis (Chronic Fatigue Syndrome/CFS)
Ada beberapa laporan mengenai masalah tidur pasien dengan CFS, dimana
pasien mengeluhkan kualitas tidur yang buruk, rasa lelah pada siang hari, rasa
kelelahan, dan rasa kantuk terus menerus. Pada pasien tidak ditemukan kelainan
struktur, durasi tidur maupun adanya depresi. Namun pasien cenderung
menujukkan adanya peningkatan waktu di tempat tidur.
5.6 Fatal Familial Insomnia
Penyakit ini sangatlah langka, namun beberapa waktu lalu dilaporkan
penyakit atau dikenal sebagai insomnia progresif yang fatal dengan dysautonomia
atau degenerasi thalamic familial. Merupakan penyakit progresif yang dimulai
dengan insomnia dan menyebabkan dalam beberapa bulan terjadi kurang tidur
kemudian diikuti periode pingsan dengan pemberlakuan fungsi mimpi yang
dipertahankan ketika pasien sadar. Pada tahap akhir gangguan ada gangguan

32
motorik dan dapat berlanjut menjadi koma dan akhirnya kematian dengan onset
penyakit 6 sampai 12 bulan.
Penyakit ini disebabkan oleh kelainan protein prion, seperti pada penyakit
Creutzfeld-Jacob. Sangat jarang dan sebagian besar keluarga dengan pola
dominan autosomal, ditemukan pada 40 keluarga yang dikenal dari seluruh dunia
pada tahun 2011.
Dengan menggunakan electroencephalogram (EEG) menunjukkan bahwa ada
kehilangan fitur polisomnografi pada saat tidur, khususnya aktivitas gelombang
lambat dan spindel tidur. Studi pada pasien yang sudah meninggal
mengungkapkan adanya degenerasi dari inti talamic dan kelainan pada area otak
lainnya kurang konsisten.

33

Anda mungkin juga menyukai