Anda di halaman 1dari 13

MONITORING

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan


di Bagian Anestesiologi

Pembimbing:
Djoni Kusumah Pohan dr., Sp.An., M.Kes

Oleh:
Kelompok LVIII-C

Ervin Rizky Richardi 4151181444


Muhammad Danil H. D 4151181424
Lintang Pitarani 4151181448
Novia Kumala Beatrice 4151181478
Nadhilah Amaliah S 4151181497
Tazkia Aini 4151181503

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Monitoring anesthesia merupakan suatu standar aplikasi pemeliharaan
anestesi, monitoring menginterpretasikan data klinis yang tersedia untuk
membantu mengenali kegawatan yang terjadi sekarang, yang akan terjadi dan
kondisi sistem jaringan yang tidak menguntungkan. Dalam melakukan
pemantauan yang kompleks dibutuhkan keseimbangan antara pengetahuan dan
skill dalam bidang anestesi.
Monitoring tidak akan mencegah semua insiden yang merugikan selama
proses sebelum, saat dan setelah operasi, tetapi ada bukti substansial bahwa
monitoring dapat mengurangi risiko insiden yang merugikan baik dengan
mendeteksi konsekuensi dari kesalahan dan dengan memberikan peringatan dini
bahwa kondisi pasien memburuk. Rekam medis sebelum tindakan anestesi sangat
penting diketahui, apakah pasien berada dalam keadaan segar bugar atau sedang
menderita suatu penyakit sistemik.
Monitoring yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan terhadap
pasien, tetapi tidak dapat menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Kemajuan dalam
bidang teknologi dapat merubah monitoring standar dari waktu ke waktu.
Monitoring standar atau minimal yaitu stetoskop, manset tekanan darah, EKG,
oksimeter dan termometer. Sebelum mengerjakan anastesi, semua peralatan harus
diperiksa apakah bekerja cukup baik atau tidak. Monitoring rutin atau monitoring
standar pada pasien berbeda antara satu rumah sakit dan rumah sakit lainnya dan
tergantung banyak hal, misalnya apakah pembedahannya termasuk bedah ringan
cepat selesai pada pasien sehat, atau bedah sedang, dan bedah khusus (bedah
jantung, bedah otak atau bedah pada pasien dengan kelainan sistemik berat).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monitoring Sebelum Operasi


Monitoring sebelum opreasi dilakukan untuk memastikan keadaan pasien
sebelum dilakukan anestesi untuk mengetahui indikasi serta kontraindikasi
pemberian obat anestesi. Sebaiknya sebelum operasi pasien juga terlebih dahulu di
monitoring keadaaan psikologisnya.
1. Identitas Pasien : No.RM, tanggal masuk, nama, umur, alamat, pekerjaan,
ruangan, diagnosis, rencana operasi dan tanggal operasi.
2. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat penyakit lain misalnya: sistem kardiovaskular, sistem respirasi,
sistem saraf, sistem endokrin, sistem gastrointestinal, sitem gastrourinaria,
sitem hematologi, sistem imunologi, sistem musculoskeletal, dan sistem
dermatologi.
c. Terapi yang sedang dijalani
d. Kebiasaan, misalnya: merokok, kebiasaan memakai obat-obatan tertentu,
minuman beralkohol dan minum jamu-jamuan.
e. Riwayat operasi sebelumya
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, kesadaran, status gizi, tanda vital, berat badan dan tinggi
badan
b. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh seperti kepala, leher, thorax cor dan
pulmo, abdomen, serta ekstremitas
c. Tentukan kondisi psikis pasien
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin,
hasil pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, waktu perdarahan, golongan
darah, ekg dan foto thorax.
5. Tentukan klasifikasi sesuai ASA
Klasifikasi ASA dari status fisik
Kela Status fisik
s
ASA 1 Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit
sistemik
ASA 2 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang.
ASA 3 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai
penyebab tetapi tidak mengancam jiwa.
ASA 4 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong
lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien
akan meninggal.

2.2 Monitoring selama operasi


2.2.1 Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan sirkulasi
sering terjadi selama anestesi. Denyut nadi sangat banyak dipengaruhi oleh
berbagai hal, sehingga relatif sangat kecil artinya yang berhubungan dengan dosis
obat-obat anestesi. Monitor terhadap nadi dapat dilakukan dengan cara palpasi
arteri radialis, brakialis, femoralis atau karotis. Palpasi dapat mengetahui
frekuensi, irama, dan kekuatan nadi. Selain di palpasi, dapat dilakukan auskultasi
dengan menempelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus melalui
esofagus. Cara palpasi dan cara auskultasi ini terbatas, karena kita tidak dapat
melakukan secara terus menerus.
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan elaktronik
seperti EKG atau oksimeter yang disebut dengan alarm. Pemasangan EKG untuk
mengetahui secara kontinyu frekuensi nadi, disritmia, iskemik jantung, gangguan
konduksi, abnormalitas elektrolit dan fungsi pacemaker.
2.2.2 Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan pada
setiap pasien selama anestesi. Selama operasi, peningkatan tekanan darah bisa
disebabkan karena overload cairan atau anestesi yang kurang dalam, sebaliknya
tekanan darah dapat turun misalnya apabila terjadi perdarahan.

2.2.2.1 Cara Tidak Langsung


Perlengkapan yang digunakan pada teknik tidak langsung antara lain, manset
(cuff), manometer dan stetoskop. Manset tidak boleh terlalu lebar ataupun terlalu
kecil, karena akan mempengaruhi nilai pembacaan tekanan darah. Kalau manset
terlalu kecil maka nilai tekanna darah yan terbaca akan lebih besar, begitu pula
sebaliknya. Diajukan lebar manset 2/3 panjang lengan atau 20% lebih besar dari
diameter lengan. Manometer air raksa merupakan patokan standar, tetapi dapat
pula digunakan manometer anaeroid, yang harus lebih dulu dikalibrasi dengan
manometer air raksa.
 Metode Palpasi
Kuff dipompakan sampai melampaui tekanan sistolik, kemudian sambil
meraba arteri radialis, kuff dikempeskan perlahan-lahan. Tekanan sistolik terbaca
saat arteri radialis terasa berdenyut. Teknik ini dapat dikombinasikan dengan
menggunakan monitor nadi.
 Metode Korotkoff (Auskulasi)
Teknik hampir sama dengan cara palpasi, tetapi ditambah penggunaan
stetoskop yang diletakan di sekitar arteri brachialis. Pada saat bunyi pertama
terdengar, manometer air raksa menunjukan tekanan sistol dan tekanan diastole
terlihat pada saat bunyi tersebut menghilang. Bunyi korotkoff biasanya sulit
didengarkan jika terjadi keadaan hipotensi atau vasokontriksi pembuluh darah
perifer.
 Oskilometer
Pulsasi arteri akan menyebabkan oskilasi pada tekanan kaf. Oskilasi ini kecil
apabila kaf dikembangkan diatas tekanan sistolik. Saat tekanan kaf turun sampai
tekanan sistolik, pulsasi akan dihantarkan ke seluruh kaf dan oskilasi akan
meningkat. Oskilasi maksimal terjadi saat mencapai tekanan arteri rerata, setelah
itu akan turun kembali. Monitor tekanan darah elektronik akan secara otomatis
mencatat perubahan gelombang oskilasi ini. Sampai saat ini, peralatan oskilometer
ini masih terus dikembangkan, dan di Amerika Serikat menjadi pilihan dalam
pemantauan tekanan darah noninvasive.

 Doppler Ultrasound
Prinsipnya adalah pulsasi dari dinding arteri atau pergerakan darah yang
melalui suatu transduser memancarkan satu gelombang ultrasonik. Mula-mula
kuff dipompa sampai melewati titik sistolik, kemudian perlahan-lahan
dikempeskan setelah melalui level sistolik dinding arteri berpulsasi yang
diteruskan melalui transduser. Penempatan probe harus tepat diatas arteri. Pada
metode Doppler, tekanan yang dapat di ukur hanya tekanan sistolik saja.

 Metode “flush”
Biasanya dilakukan pada bayi dan anak-anak. Lengan atas ditinggikan agar
darah turun, kemudian manset dipompakan sampai nadi tidak teraba. Perlahan-
lahan nadi dikempeskan lagisamapai lengan berwarna merah. Saat perubahan ini
menunjukan angka tekanan sistolik.
2.2.2.2 Cara Langsung
Indikasi pemantauan tekanan darah dengan menggunakan kateterisasi arteri
adalah tindakan anestesi dengan hipotensi buatan, antisipasi pembedahan dengan
perubahan tekanan darah yang cepat, tindakan pembedahan yang memerlukan
pemantauan tekanan darah dengan tepat secara cepat dan pemantauan analisis gas
darah secara berkala selama tindakan pembedahan. Tindakan kateterisasi arteri ini
kontraindikasi pada pembuluh darah yang tidak terdapat kolateral. Arteri yang
dapat dilakukan kateterisasi antara lain arteri radialis, arteri ulnaris, arteri
brakhialis, arteri femoralis, dan arteri aksilaris.
Hipertensi bisa disebabkan karena overload cairan atau anestesi yang kurang
dalam, sedangkan hipotensi terjadi bila perdarahan atau anestesi yang kurang
dalam. Ephedrin yang diencerkan dalam 5-10 ml persen salin dan diberikan dalam
bolus kecil (5-10 mg) hingga 30 mgIV, obat ini bisa diberikan untuk mengatasi
efek hipotensi terutama setelah anestesi spinal atau epidural.
Selain memperhatikan sistolik dan diastolik perlu juga diperhatikan Mean
Arterial Pressure (MAP). MAP dapat dihitung dengan rumus:

MAP= tek.diastolik + 1/3 (tek.sistolik-tek.diastolik)

2.2.3 Respirasi
A. Tanpa Alat
Inspeksi dapat melihat gerakan dada-perut, lihat pergerakan napas dengan
inspeksi naik turunnya dada, kemudian hitung frekuensi selama 60 detik. Untuk
oksigenisasai warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah pada luka
bedah apakah kebiruan, pucat atau merah muda.
B. Dengan Alat
Respirasi dapat di monitoring dengan menggunakan stetoskop, kapnometri
dam pulse oxymetri. Suara pernapasan pada dada kanan dan kiri pasien dengan
menggunakan stetoskop. Kapnometri adalah alat non invasif untuk mengukur
kadar CO2 pada satu siklus respirasi di dalam sirkuit napas. Alat ini
menggambarkan kadar CO2 pada fase inspirasi dan eksiparasi serta menunjukkan
kadar CO2 pada akhir ekspirasi.
2.2.4 Monitoring Ginjal
Produksi urine menggambarkan fungsi sistem urogenital dan secara tidak
langsung menunjukkan keadaan curah jantung, volume intravaskular dan aliran
darah ke ginjal. Indikasi untuk dilakukan pemasangan kateter urine adalah pada
pasien jantung kongestif, gagal ginjal, atau pasien syok. Selain itu kateterisasi
urine merupakan tindakan yang rutin dilakukan pada pembedahan jantung, bedah
aorta atau pembuluh darah ginjal, kraniotomi, pembedahan dengan waktu lama
dan pembedahan yang kemungkinan memerlukan cairan yang banyak serta
pemberian obat diuretika selama pembedahan. Produksi dipengaruhi oleh obat
anestesi, tekanan arah, volume darah, hidrasi pasien dan faal ginjal. Jumlah urin
normal kira-kira 0,5-1 ml/KgBB/jam. Bila urin ditampung dengan kateter perlu
dijaga strerilitasnya agar tidak terinfeksi, karena kateter sering dipasang selama
beberapa hari.
2.2.5 Perdarahan Selama Pembedahan
Selama anestesi dan pembedahan kita harus mengawasi warna perdarahan,
apakah merah tua atau merah muda. Selain itu jumlah perdarahan harus dihitung
baik botol penghisap maupun dari kasa operasi yang mengandung darah.
Perhitungan perdarahan dari kasa yang di timbang, diperkirakan 1 gr darah
dianggap sama dengan 1 ml darah, dengan kesalahan 25%. Selain itu dapat pula
dilakukan dengan metode kalorimeter :
• Kadar hemoglobin harus diketahui
• Kasa yang mengandung darah dilarutkan ke dalam jumlah pelarut
Jumlah perdarah (ml)= Kalorimeter terbaca x Volume pelarut ( ml ).
Perdarahan akut dapat diatasi dengan kristaloid, koloid, plasma ekspander,
atau darah. Selain jumlah perdarahan, perlu diawasi juga warna perdarahan merah
tua atau merah muda.
2.2.6 Suhu
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu. Obat anestesi mendepresi pusat
pengatur suhu (susunan saraf pusat), sehingga mudah turun naik dengan suhu
lingkungan dan teknik anestesi yang diberikan. Monitoring suhu jarang dilakukan
selama pembedahan, kecuali pada bayi/anak-anak, pasien demam, dan teknik
anestesi dengan hipotermi buatan.
Pengukuran suhu sangat penting bagi anak terutama bayi, karena mudah
sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi, dan konduksi, dengan
konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, dan asidosis. Pengukuran suhu tubuh
dilakukan melalui:
1. Esofagus dengan sensornya setinggi atrium
2. Rektum lebih mudah, namun tidak begitu tepat karena letak lebih jauh dari
jantung dan otak. Selain itu, sisa sisa kotoran dalam rektum akan menggangu nilai
pengukuran.
3. Membran tympani. Suhu di tempat ini hampir sama denga suhu otak, dan tidak
banyak berbeda dari suhu esofagus.
4. Ketiak (aksila) lebih mudah. Tidak menggambarkan suhu yang tepat karena
terlalu banyak dipengaruhi oleh suhu sekitarnya.
2.2.7 Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah cukup baik atau
sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot sudah kembali normal.
2.2.8 Sistem Saraf
Pada pasien sehat dan sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau orientasi
terhadap personal, waktu, dan tempat baik. Pada saat pasien dalam keadaan sadar,
monitoring terhadap sistem saraf pusat dikerjakan dengan memeriksa respon pupil
terhadap cahaya, respons terhadap trauma, pembedahan, respons terhadap otot
apakah relaksasi cukup atau tidak.
2.2.9 Elektrokardiografi (EKG)
Selama tindakan anestesi EKG dipakai untuk pemantauan kejadian disritmia
kordis, iskemia miokard, perubahan elektrolit, henti jantung dan aktivitas alat
pacu jantung. Pada EKG, potensial listrik yang diukur adalah kecil, sehingga
artefak merupakan masalah yang sering timbul. Pergerakan dari pasien atau kabel
lead, penggunaan elektrokauter, 60-cycle interference dan elektroda yang
kualitasnya tidak baik akan dapat memberikan gambaran seperti disritmia.

2.3 Monitoring Setelah Operasi


2.3.1 Kesadaran
Pemanjangan pemulihan kesadaran, merupakan salah satu penyulit yang
sering dihadapi di ruang pulih. Banyak faktor yang terlibat dalam penyulit ini.
Apabila hal ini terjadi diusahakan memantau tanda vital yang lain dan
mempertahankan fungsinya agartetap adekuat. Disamping itu pasien belum sadar
tidak merasakan adanya tekanan, jepitan atau rangsangan pada anggota gerak,
mata atau pada kulitnya sehingga mudah mengalami cedera, oleh karena itu posisi
pasien diatur sedemikian rupa, mata ditutup dengan plester atau kasa yang basah
sehingga terhindar dari cedera sekunder selama durasi operasi.
Pasien pasca anestesia tanda lambat bangun yaitu yang terjadi bila
ketidaksadaran selama 60–90 menit setelah anestesi umum. Hal ini bisa
diakibatkan sisa obat anestesi, sedatif, obat analgetik, penderita dengan kegagalan
organ (disfusi hati, ginjal, hipoproteinemia).
2.3.2 Tekanan darah
Pengukuran tekanan darah merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan pada
setiap pasien selama anestesi. Tekanan darah dapat diukur secara manual atau
otomatis dengan manset yang harus tepat ukurannya, karena terlalu lebar
menghasilkan nilai lebih rendah dan terlalu sempit menghasilkan nilai lebih
tinggi. Tekanan sistolik diastolic diketahui dengam cara auskultasi, palpasi,
sedangkan tekanan arteri rata-rata diketahui secara langsung dengan monitor
tekanan darah elektronik atau dengan menghitungnya yaitu: 1/3 (tekanan sistolik –
tekanan diastolik) atau tekanan diastolic + 1/3 (tekanan sistolik – tekanan
diastolik). Selama operasi, peningkatan tekanan darah bisa disebabkan karena
overload cairan atau anestesi yang kurang dalam, sebaliknya tekanan darah dapat
turun misalnya apabila terjadi perdarahan.
usia Frekuensi nadi Tekanan Tekanan
(permenit) Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Prematur 150 ± 20 50 ± 3 30 ± 2
Cukup bulan 133 ± 18 67 ± 3 42 ± 4
6 bulan 120 ± 20 89 ± 29 60 ± 10
12 bulan 120 ± 20 96 ± 30 66 ± 25
2 tahun 105 ± 25 99 ± 25 64 ± 25
5 tahun 90 ± 10 94 ± 14 55 ± 9
12 tahun 70 ± 17 109 ± 16 58 ± 9
Dewasa 65 ± 8 120 ± 10 80 ± 10

2.3.3 Denyut Jantung


Denyut jantung normal berkisar 55-120x/menit (tergantung usia) dengan
irama yang teratur. Sebab-sebab gangguan irama jantung :
1) Takikardia, disebabkan oleh hipoksia, hipovolumia, akibat obat
simpatomimetik, demam, dan nyeri.
2) Brakikardia, disebabkan oleh blok subarakhnoid, hipoksia (pada bayi) dan
reflek vagal.
3) Distrimia (diketahui dengan EKG), paling sering disebabkan karena
hipoksia.
Penanggualangannya adalah memperbaiki ventilasi dan oksigenasi. Apabila
sangat mengganggu dapat diberikan obat anti disritmia seperti lidokain.
2.3.4 Respirasi
Obat anestesi dapat menyebabkan depresi pernafasan sehingga harus waspada
terhadap pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah. Salah satu
obstruksi jalan napas akibat aspirasi muntah, akumulasi sekresi mukosa di faring
atau bengkaknya spasme laring. Tindakan untuk mempertahankan jalan nafas bisa
dilakukan dengan cara mengatur posisi kepala dan apabila terdapat aspirasi bisa
dilakukan suction.
2.3.5 Suhu tubuh
Penyulit hipotermi pasca bedah, tidak bisa dihindari terutama pada pasien
bayi/anak dan usia tua. Beberapa penyebab hipotermi di kamar operasi adalah
suhu kamar operasi yang dingin, penggunaan desinfektan, cairan infus dan
transfusi darah, cairan pencuci rongga-rongga pada daerah operasi, kondisi pasien
(bayi dan orang tua), penggunaan halotan sebagai obat anestesia. Usaha-usaha
untuk meghangatkan kembali diruang pulih adalah dengan cara pada bayi, segera
dimasukkan dalam inkubator, pasang selimut penghangat, lakukan penyinaran
dengan lampu.
2.3.6 Fungsi ginjal
Perhatikan produksi urin, terutama pada pasien yang dicurigai risiko tinggi
gagal ginjal akut pasca bedah/anestesia. Pada keadaan normal produksi urin
mencapai >0,5 cc/KgBB/jam, bila terjadi oliguria atau anuria, segera dicari
penyebabnya, apakah pre renal, renal atau salurannya.
2.3.7 Fungsi saluran cerna
Setelah pembedahan kemungkinan terjadi regurgitasi atau muntah, terutama
pada kasus bedah akut, senantiasa harus diantisipasi. Untuk mengatisipasi hal ini,
pencegahan regurgitasi/muntah lebih penting artinya daripada menangani kejadian
tersebut. Tindakan untuk monitoring saluran cerna dapat dilakukan dengan
memeriksa bising usus, memperhatikan asupan nutrisi yang masuk, dan aktivitas
fisik yang dapat merangsang terjadinya peristaltik.
2.3.8 Aktivitas motorik
Pemulihan aktivitas motorik pada penggunaan obat pelumpuh otot,
berhubungan erat dengan fungsi respirasi. Bila masih ada efek sisa pelumpuh otot,
pasien mengalami hipoventilasi dan aktivitas motorik yang lain juga belum
kembali normal. Petunjuk yang sangat sederhana untuk menilai pemulihan otot
adalah menilai kemampuan pasien untuk membuka mata atau kemampuan untuk
menggerakkan anggota gerak terutama pada pasien menjelang sadar.
2.3.9 Masalah nyeri
Trauma akibat luka operasi sudah pasti akan menimbulkan nyeri. Hal ini
harus disadari sejak awal dan bila pasien mengeluh rasa nyeri atau ada tanda-
tanda pasien menderita nyeri, segera berikan analgetika.
2.3.10 Posisi
Posisi pasien perlu diatur di tempat tidur ruang pulih. Hal ini perlu
diperhatikan untuk mencegah kemungkinan sumbatan jalan napas, pada pasien
belum sadar, tertindihnya/terjepitnya satu bagian anggota tubuh, terjadinya
dislokasi sendi-sendi anggota gerak, hipotensi, pada pasien dengan analgesia
regional, gangguan kelancaran aliran infus. Posisi pasien diatur sedemikian rupa
tergantung kebutuhan sehingga nyaman dan aman bagi pasien, antara lain posisi
miring stabil pada pasien operasi tonsil, ekstensi kepala, pada pasien yang belum
sadar, posisi terlentang dengan elevansi kedua tungkai dan bahu pada pasien blok
spinal dan bedah otak.
BAB III
KESIMPULAN

1. Monitoring Preoperasi yang dilakukan adalah melakukan anamnesis


tentang identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit lain, riwayat
terapi, kebiasaan dan riwayat operasi sebelumnya. Kemudian dapat
dilakukan pemeriksaan fisik dimulai dari keadaan umum, kesadaran, tanda
vital, dan pemeriksaan head to toe. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah, elektrokardiografi dan foto thorax.
2. Monitoring selama operasi bisa dilakukan dengan alat ataupun tanpa alat.
Selama operasi yang dimonitoring adalah nadi, tekanan darah, respirasi,
suhu, monitoring ginjal, EKG, blokade muskular, sistem saraf dan
perdarahan selama pembedahan.
3. Monitoring post operasi dimulai dari kesadaran, tekanan darah, nadi,
respirasi, suhu, fungsi ginjal, fungsi saluran penceranaa, aktivitas motorik,
nyeri dan posisi.

Anda mungkin juga menyukai