Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam dengan segala sumber-sumber ajarannya diyakini dapat


menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera baik lahir maupun batin. Di
dalamnya terdapat berbagai petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi
hidup ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Akibat dari
perkembangan zaman, agama dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi manusia
Kajian studi Islam sebagai disiplin ilmu sudah dimulai sejak lama, studi ini
mempunyai akar yang kokoh di kalangan sarjana muslim dalam tradisi
keilmuan tradisional. Mereka berupaya menginterpretasikan tentang Islam terus
berlanjut hingga sekarang. Dalam agama Islam ada dua inti dari segala sesuatu yaitu
sesuatu yang bersifat Ketuhanan atau ilahi yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.1 Untuk memahami sumber-sumber otentik ajaran Islam, maka diperlukan
berbagai pendekatan metodologi pemahaman Islam yang tepat, akurat dan
responsible. Dengan demikian diharapkan Islam sebagai sebuah sistem ajaran yang
bersumber pada al Qur`an dan Hadits dapat difahami secara komprehensif. 2 Beberapa
pendekatan yang lazim dipergunakan dalam studi Islam antara lain pendekatan
historis, pendekatan sosiologis, pendekatan hermeneutika dan lain sebagainya
termasuk pendekatan filsafat.3
Mengkaji Islam secara filsafat akan menjadikan segala sesuatu disandarkan
kepada konteks, baik berupa kebaikan sosial, local wisdom, social impact, rasionalitas
dan lain-lain, serta bersandar pada analisis rasio manusia yang akan bersifat relatif.
Kegiatan berfilsafat adalah kegiatan berpikir secara mendalam, dilakukan sedemikian
rupa hingga dicari sampai ke batas akal tidak sanggup lagi. Berpikir secara radikal,
sampai ke akar-akarnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa. Secara sistematik,
dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu, bersifat

1
M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam: Teori & Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2000), hlm. 8
2
Supiana, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Ditjen Pendis Kemenag RI, 2012), hlm. 73
3
Ibid,… hlm. 96

1
universal, tidak dibatasi hanya satu kepentingan kelompok tertentu, tetapi lebih
menyeluruh.4
Menggunakan filsafat dalam mengkaji Islam, merupakan pisau analisis untuk
membedah Islam secara mendalam, integral dan komprehensif untuk melahirkan
pemahaman dan pemikiran tentang Islam yang senantiasa shâlih fî kulli zamân wa al-
makân (relevan pada setiap waktu dan ruang) karena dengan pendekatan filsafat,
sumber-sumber otentik ajaran Islam digali dengan menggunakan akal, yang menjadi
alat tak terpisahkan dalam proses penggunaan metode ijtihad, tanpa lelah tak kunjung
henti.5
Dengan kajian filsafat ilmu seperti ontologis, epistemologis, dan aksiologi
maka kita dapat mengetahui suatu hakekat, sumber kebenaran dan kepatutan dari studi
Islam. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan usaha pengembangan keilmuan yang
sangat berguna dalam pengembangan studi Islam, karena dengan berbagai kajian
tersebutlah nantinya akan dapat dilihat tingkat validitas dari studi islam itu sendiri.
Sehingga berdasarkan pembahasan di atas maka penulis merumuskan rumusan
masalah tentang.
Bagaimana Pendekatan Filsafat dalam studi Islam?

4
Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy (Belmont California: Wadsworth Publishing
Company, 1984), hlm.16-19.
5
Husein Heriyanto, Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung : Mizan, 2011), hlm. 355.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Secara bahasa kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “Philosopia” yang
terdiri dari dua kata yaitu philos dan Sophia. Philos berarti “cinta” dalam arti yang
seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena keinginannya itu selalu berusaha mencapainya.
Sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”. Bijaksana berarti pandai artinya mengerti
dengan mendalam. Dengan demikian dari segi bahasa berdasarkan bahasa Yunani,
filsafat yaitu ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.6
Menurut Harun Nasution, sebagaimana dikutip Ramayulis, Perkataan filsafat
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu : (1) philein, dan (2)
sophos. Philein berarti cinta dan sophos berarti hikmah (wisdom). Perkataan
philosophio merupakan perkataan bahasa Yunani yang dipindahkan oleh orang-orang
Arab dan disesuaikan dengan tabi’at susunan kata-kata orang Arab, yaitu falsafah
pola : fa’lala dan fi’la yang kemudian menjadi kata kerja falsafa dan filsaf. Adapun
sebutan filsafat yang diucapkan dalam bahasa Indonesia kemungkinan besar
merupakan gabungan kata Arab falsafah dan bahasa Inggris philosophi yang
kemudian menjadi filsafat.7 Filsafat juga dapat diartikan mencari hakikat sesuatu,
berusaha mencari sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-
pengalaman manusia.8
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat berupaya menjelaskan
inti, hikmah atau hakikat mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang
bersifat lahiriah. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara
mendalam. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung,
akan tetapi merenung bukanlah melamun atau berfikir secara kebetulan, melainkan
dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik, dan universal.9 Rene Descartes
mengungkapkan filsafat adalah meditasi, yang artinya ada proses merenung dan

6
Endang Saifuddin Anshori. Kuliah Islam; Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi. (Bandung: Pustaka
Sleman ITB 1980). hlm:13
7
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,
(Jakarta ; Kalam Mulia, 2009), hlm. 1
8
Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Hoboken, NJ: JA Macfadden-
Bartell Book, 1979), hlm. 25.
9
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 42

3
berfikir akan suatu hal. Dan ditegaskan pada adagium “cogito ergo sum”, saya berfikir
maka saya ada.10 Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa sehingga dicari
sampai batas bahwa akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya
sehingga tidak ada lagi yang tersisa, sistematis maksudnya adalah dilakukan secara
teratur dengan menggunakan metode berfikir tertentu, dan universal maksudnya tidak
dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.11
Dari pendapat di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pendekatan filosofis
(dalam arti sempit) dalam kajian studi Islam merupakan studi proses tentang
kependidikan yang didasari nilai-nilai ajaran Islam menurut konsep cinta terhadap
keberanian, ilmu, dan hikmah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan,
pendekatan filosofis (dalam arti praktis) dipahami sebagai pendekatan yang
penilaiannya berdasarkan akal (rasional). Ukuran benar dan salahnya ditentukan
dengan penilaian akal, dapat diterima oleh akal atau tidaknya.12

10
Stanley Rosen (ed.), The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to Kant, dalam
Rene Descartes, Meditation, New York: Random House Reference, 2003, hlm. 428-434.
11
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 43 dan Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam:
Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Perguruan Tinggi Islam, hlm. 87
12
Koko Abdul Kodir, Metodologi studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm.116

4
B. Cabang Filsafat Ilmu
1. Ontologi
Kata ontology berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada (yang
ada)”.13 Ontologi dalam bahasa Yunani: On = being, dan Logos = logic. Yang
berarti The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan).14 Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I menjelasakan,
bahwa ontologi berasal dari kata ontos (sesuatu yang berwujud). Ontologi adalah
teori/ilmu yang mempelajari tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi
tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi bedasar pada logika semata-mata. 15
Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini
dan bagaimana keadaan yang sebenarnya.16
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani dan rohani. Ontologi juga
berarti teori atau studi tentang wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh
realitas. Ontologi bersinonim dengan metafisika, yaitu studi filosofis untuk
menentukan sifat nyata yang asli (real nature)dari suatu benda umtuk menentukan
arti, struktur, dan prinsip benda tersebut.17
Ontologi merupakan bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan
bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan
tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha
mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam
semua bentuknya.18
Metafisika membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada,
mempersoalkan hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau oleh panca indera
karena tak terbentuk, berupa, berwaktu dan bertempat. Dengan mempelajari
hakikat kita dapat memperoleh pengetahuan dan dapat menjawab pertanyaan

13
Lihat Rodric Firth, Encyclopedia Internasional, (Phippines: Gloria Incorperation, 19720), hlm. 105
14
Lihat James K. Feibleman, Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed), Dictinary Philoshopy, (Totowa
New Jersey: Little Adam and Co., 1976), hlm. 219
15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, Cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 169
16
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hlm. 69
17
I Dewa Gede, dkk, Filsafat Ilmu Dari Pohon Pengetahuan sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum
(Malang: IKAPI, 2014), hlm. 29
18
Inu Kencana Syafii, Pengantar Filsafat, Cet. I (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 9

5
tentang apa hakekat ilmu itu. Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada
kajian yang bersifat empiris.19

2. Epistimologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani dari kata “epistem” yang berari
pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Sedangkan “logos” yang juga berarti
pengetahuan.20 Maka secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya
intelektual untuk menempatkan sesuatu pada kedudukan setepatnya. 21
Epistimologi juga dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan, dalam bahasa
Ingris digunakan istilah theory of knowledge.22
Epistemologi merupakan salah satu cabang dari filsafat ilmu yang
membicarakan tentang asal, sifat, karakter, dan jenis pengetahuan. Epistemologi
juga merupakan pembicaraan tentang hakikat dari ilmu pengetahuan, dasar-
dasarnya, ruang-lingkup, sumber-sumbernya, dan bagaimana
mempertanggungjawabkan kebenarannya. Pengetahuan itu diperoleh dengan
metode ilmiah, sedangkan metode ilmiah itu adalah cara yang dilakukan ilmu
dalam menyusun pengetahuan yang benar. Kebenaran itu sendiri diperoleh dengan
berbagai macam teori kebenaran yang diungkapkan sebagian tokoh dan perjalanan
sejarah.23
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut
mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan.
Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan
yaitu aliran:
a) Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber pengetahuan
manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa.

19
Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu,
Cet. IX (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm., 5
20
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan
(Yogyakarta: ArRuzz Media, 2014), hlm. 30
21
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016),
hlm. 63
22
Miska Muhammad Amin, Epistimologi Islam: Pengantar Filsafat Pengeahuan Islam, (Jakarta: UI-
Press, 1983), hlm. 1
23
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1994), hlm. 105

6
b) Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal
dari pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh
panca inderanya.
c) Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran
manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia
inklusif di dalamnya aliran-aliran:
a) Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah
gambaran yang baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang
baik tergambar kebenaran seperti sesungguhnya.
b) Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah
kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia
semuanya terletak di luar dirinya.24

3. Aksiologi
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari
kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos
artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat,
kriteria dan status metafisik dari nilai.25 Aksiologi sebagai cabang filsafat ialah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari
sudut pandangan kefilsafatan.26
Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung
kualitas-kualitas pengirisan didalam dirinya, sedangkan nilai instrumentalnya
ialah pisau yang baik adalah pisau yang dapat digunakan untuk mengiris, 27 jadi
dapat menyimpulkan bahwa nilai Instrinsik ialah nilai yang yang dikandung pisau
itu sendiri atau sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai

24
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hlm. 5

25
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 26

26
Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1986), hlm. 327
27
Ibid,, hlm. 328

7
sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna. Aksiologi terdiri dari
dua hal utama, yaitu:
a) Etika : bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang.
Semua prilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak
benar suatu prilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat, prilaku adalah
beretika baik atau beretika tidak baik.
b) Estetika : bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya
manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah pasangan
dikhotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara esensial adalah
pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada
suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan
kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap
berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :
a) Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan
kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh
kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung.
b) Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak
mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat
dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik.
c) Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian
alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.28

28
Anwar Hidayat, Ruang Lingkup Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi, (27 Januari
2019), https://plus.google.com/111276199303520579310, diakses pada tanggal 27 Oktober 2019

8
C. Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam

1. Wasiat Wajibah dalam Kajian Ontologi


Untuk membahas hakikat dari wasiat wajibah, terlebih dahulu kita harus
mengetahui pengertian dari wasiat wajibah itu sendiri. Wasiat wajibah merupakan
gabungan dari dua kata, wasiat dan wajibah. Kata wasiat secara bahasa di ambil
dari kata Washa yang artinya berwasiat, berpesan. Sedangkan Washiya Artinya
wasiat, pesan-pesan.29 Sedangkan orang yang berpesan berarti muushi (orang yang
berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk
dilaksanakan sesudah mati.30
Sebagian fuqaha mendifinsikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak
milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal. 31 Wasiat
yaitu menyerahkan pemilikan sesuatu kepada seseoranqg sesudah pemilik tersebut
meninggal dunia.32 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku II
Hukum Kewarisam Bab I Ketentuan Umum pasal 171 (f) Wasiat adalah
pemberian suatu benda dari si pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah si pewaris meninggal dunia.
Adapun kata wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapat imbuhan
ta’nis. Menurut Abdul Wahab Khalaf, wajib adalah suatu perbuatan mukalaf yang
diperintahkan syari dengan perintah wajib, perintah itu harus dilakukan dengan
sesuai dengan petunjuk kewajiban melakukannya. 33 Menurut Mardani, wasiat
wajibah merupakan tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai
aparat Negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang
yang telah meningggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu.34
Istilah wasiat wajibah tidak ditemukan dalam kitab fikih klasik, hanya
ditemukan pada kitab-kitab fikih kontemporer, terutama setelah diundangkan
wasiat wajibah di Mesir dan Negara-negara yang menerapkannya, termasuk
Indonesia setelah Kompilasi Hukum Islam pada tahun 1991 melalui Istruksi

29
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, 2010), hlm. 500
30
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, hlm. 215
31
Ibid., hlm. 215
32
Syaikh al-Aman Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, penerjemah
Abdul Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2015), hlm. 310
33
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 176
34
Mardabi, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hlm. 120

9
Presiden. Artinya wasiat wajibah tidak boleh diartikan secara harfiyah bahwa
wasiat itu hukumnya wajib sebagaimana dipahami dari petunjuk kata “kutiba”
pada QS. Al-Baqarah (2): 180, walaupun akhirnya ayat ini dijadikan dasar
berlakunya hukum tentang wasiat wajibah.
Pada Komplasi Hukum Islam, masalah wasiat wajibah diatur pada pasal
209 bab II yang mengatur tentang kewarisan. Dalam bab tersebut dinyatakan
bahwa orang tua angkat atau anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta orang tua angkat atau
anak angkat. Jadi hakikat wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam adalah
pemberian hak harta waris yang diberikan melalui wasiat wajibah yang di
tetapkan oleh aturan di dalam perundang-undangan bagi orang tua angkat atau
anak angkat. Penguasa atau Hakim sebagai aparat Negara mempunyai wewenang
untuk memaksa atau memberi putusan wasiat wajibah kepada orang-ornag
tertentu.
Wasiat wajibah merupakan hak mutlak pemilik harta yang akan
mewasiatkan hartanya karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (free choise)
dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap
haknya. Wasiat wajibah adalah Suatu wasiat yang diperuntukan kepada para ahli
waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang
wafat, karena adanya suatu halangan syara’.35

2. Wasiat Wajibah dalam kajian Epistemologi


Secara khusus ketentuan tentang wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad
para ulama dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah. Dari ayat inilah
tersimpulkan keberadaan wasiat yang bersifat wajibah dengan pernyataan bahwa
wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang juga
kewajiban tersebut masih tetap dan dapat diberlakukan.36 Namun, secara umum
ada beberapa legalitas yang mendukung dalam mendasari keberadaan wasiat
wajibah. Diantaranya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebagaimana yang akan
disampaikan berikut :
Dasar Legitimasi dari Al-Qur’an, yang terdapat dalam ayat-ayat berikut :
Q.S Al Baqarah : 180, berbunyi

35
Andi Syamsu Alam, op.cit., hlm.79
36
Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Op.Cit, hal. 163.

10
ِ ‫ُكتِب علَي ُكم إِ َذا حضر أَح َد ُكم الْموت إِ ْن َتر َك خيرا الْو ِصيَّةُ لِْلوالِ َدي ِن واأْل َ ْقربِني بِالْمعر‬
‫وف َحقًّا َعلَى‬ ُْ َ َ َ َ ْ َ َ ً ْ َ َ ُ ْ َ ُ َ ََ َ ْ ْ َ َ

َ ‫الْ ُمتَّق‬
‫ني‬ ِ

"Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan


tanda-tanda maut, jika dia meningggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma`ruf. Ini adalah
kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa."37
Q.S. An-Nisaa’ : 11
ِ ِ ِ
ِ ‫صي ِة يو‬
.......‫ص ْي بِ َهااَ ْو َديْن‬ ْ ُ ً ‫م ْن َب ْعد َو‬..........
……………..”Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya”.38
Q. S Al-Maaidah : 106

َ َ
‫ين‬
َ ‫ح‬ِ ‫ت‬ َ ‫م ۡٱل‬
ُ ‫م ۡو‬ ُ ُ ‫ح دَك‬ َ ‫ض َر أ‬ َ ‫ح‬ َ ‫ش هَٰدَةُ ب َ ۡنيِك ُ مۡ إِذ َا‬ َ ْ ‫من ُ وا‬َ ‫ين ءَا‬ َ ِ‫يَٰٓأيُّهَ ا ٱلَّذ‬
َ ۡ
َ ۡ‫م ۡنغَ ۡيرِك ُ مۡ إ ِ ۡنأنت ُ م‬
‫ض َر ۡبت ُ مۡ فِي‬ ِ ‫ان‬
ِ ‫خ َر‬ َ ‫ك اَوءَا‬ ُ ‫من‬ ِّ ‫ان ذ َوَا عَ ۡد ٖل‬ ِ َ‫ۡٱلو‬
ِ َ ‫صيَّةِ ٱثن‬
َ َۡ
‫ت‬ َ ‫ة ۡٱل‬
ِ ۚ ‫م ۡو‬ ُ َ ‫صيب‬ِ ‫م‬ ُّ ‫صب َ ۡتكُم‬َٰ ‫ض فَأ‬ِ ‫ٱلأ ۡر‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan
dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.39

Dasar legitimasi dalam hadist

‫ ق ال رس ول اهلل "م ا ح ق ام رئ مس لم ل ه ش يء‬:‫عن ابن عم ر رض ي اهلل عن ه ق ال‬


"‫يريد ان يوصي فيه يبيت ليلتين اال ووصيته مكتوبة عنده‬

“Dari Ibnu Umar R.A berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada
hak bagi seseorang muslim yang memiliki sesuatu yang akan diwariskan
nya, melewati sampai dua malam, kecuali wafatnya tertulis disisinya.”40

37
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Depag RI, 1980), Juz. II, hal. 44
38
Ibid., Juz 4, hal. 117
39
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Depag RI, 1980) Juz 2, hal. 44
40
Abi Daud, Sunan Abi Daud dalam Al-Maktabah Asyamilah, Juz 3, hlm.112

11
‫ان اهلل قداعطي كل ذي حق حقه فال وصىةلوارث‬

“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang


memiliki hak akan hartanya. Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.”41

Dari dua legalitas ini, yaitu al-qur’an dan al-hadits, maka dapat di pahami
bahwa wasiat wajibah merupakan suatu ketentuan yang terlegitimasi dalam
pensifatan hukumnya. Karena kesemua dalil yang dikemukakan tadi mengarahkan
adanya ketentuan yang mengharuskan dalam pelaksanaan wasiat tersebut. Secara
umum, wasiat ini juga terlegitimasi oleh ijma’. 42 Walaupun yang dimaksudkan
adalah pensyari’atan wasiat bukan wasiat wajibah, namun hal ini juga ikut masuk
ke dalamnya yang memberikan adanya pemberlakuannya kepadanya.
Di Indonesia wasiat wajibah diatur dalam INPRES No. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 209 dijelaskan (1) Harta
peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan
193 tersebut di atas. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Wasiat wajibah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 209 KHI tersebut
berbeda dengan wasiat wajibah yang ada di negara-negara Islam lainnya. Yang
menjadi pertanyaan wasiat wajibah dalam Pasal 209 tersebut diambil dari mana.
Mengenai hal ini, M. Yahya Harahap menceritakan bahwa sewaktu wawancara
kepada kalangan ulama Indonesia pada saat pengumpulan data untuk penyusunan
KHI, tidak satu ulama pun yang dapat menerima penetapan status anak angkat
(termasuk tentunya orang-orang tua angkat) menjadi ahli waris.43 Hal ini dapat
dipahami karena masalah al-tabanni (adopsi) telah dikoreksi dan diluruskan oleh
Islam melalui peristiwa Zaid ibn Harisah, seorang hamba yang telah
dimerdekakan oleh Nabi saw. Para sahabat menganggap tindakan Nabi tersebut

41
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, Juz 2, hlm. 905
42
As-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, cet. I (Beirut: Dar al-Fikr, 197) Jilid 3, Juz II, hlm. 415
43
M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Peradilan Agama dan Kompilasi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, M. Mahfud MD., Sidik Tono, Dadan Muttaqien (ed.) (Yogyakarta:
UII Press, 1993), hlm. 188

12
seperti tradisi yang lazim berlaku dalam masyarakat jahiliyah, sehingga Zaid
dipanggil dengan sebutan Zaid ibn Muhammad. Dalam konteks inilah Islam
menghapuskan al-tabanni karena betapa pun anak kandunglah yang lebih tepat
untuk dapat mewarisi,44 sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah surat al-
Ahzab ayat 4 dan 5 yang artinya sebagai berikut:

َ َ ‫ل ٱ للَّه لِرج ل من قَ ۡلب ۡين في ج ۡوفهۦۚ وما جع‬


َ ‫م ٱ لَّٰٓـ ِٔي تُظَٰهِ ُرو‬
‫ن‬ ُ ُ ‫جك‬َ َٰ‫ل أ ۡزو‬ َ َ َ َ ِ ِ َ ِ ِ َ ِّ ٖ ُ َ ُ َ َ‫جع‬ َ ‫ما‬ َّ
َ َ
‫ل‬ُ ‫ه يَقُو‬ ِ ‫ل أ َۡد‬
ُ َّ ‫عيَٓاءَك ُ مۡ أ ۡنبَٓاءَك ُ ۡۚم ذَٰلِك ُ مۡ قَ ۡل ُوكُم بِأ ۡفوَٰهِك ُ ۡۖم وَٱ لل‬ َ َ‫جع‬ َ ‫ما‬َ َ‫مهَٰتِك ُ ۡۚم و‬
ُ
َّ ‫ن أ‬ ِۡ
َّ ُ‫منه‬
َ ‫سبِي‬
‫ل‬ َ ‫ۡٱل‬
َّ ‫حقَّ َوهُوَ ي َ ۡهدِي ٱ ل‬
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan
(yang benar).” (Q.S. al-Ahzab : 4).45

ۡ َ ٓ
ْ ُ َ ‫عند َ ٱلل َّ ۚ ِه فَإن ل َّ مۡ ت َ ۡعل‬
ِ ِّ ‫موٓا ءَابَٓاءَهُ مۡ فَإ ِ خوَٰنُك ُ مۡ فِي ٱ ل د‬
‫ين‬ ِ ِ ‫ط‬ُ ‫س‬ َ ‫ۡٱدعُوهُ مۡ أِل بَٓائِهِ مۡ هُوَ أ ۡق‬
ۡ َ
‫مد َ ۡتقُل ُ وبُك ُ ۡۚم‬ َّ ‫م ٓا أ ۡخط َ أتُم بِهِۦ وَلَٰكِن‬
َّ َ‫ما تَع‬ َ ‫حفِي‬ٞ ‫جن َ ا‬ ُ ۡ‫س عَل َ ۡيك ُ م‬
َ ‫م وَٰلِيك ُ ۡۚم وَل َ ۡي‬
َ َ‫و‬
‫ما‬
ً ‫حي‬
ِ ‫ُورا َّر‬ ُ َّ ‫ن ٱلل‬
ٗ ‫ه غَف‬ َ ‫وَكَا‬

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-


bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.S. al-Ahzab : 4)46

Berdasarkan ayat di atas. Dapat dipahami bahwa pengangkatan anak yang


motivasi dan tujuannya disamakan dengan anak kandung (mewarisi ayah angkat,
dan sebaliknya) tidak dibenarkan. Namun demikian, secara faktual hubungan anak
angkat dan ayah angkat tidak dapat dipungkiri secara hukum, sebagaimana terlihat
dalam Pasal 171 huruf h KHI yang menegaskan:
44
Hasanain Muhammad Mahluf, al-Mawaris fi al-Syari;ah al-Islamiyah, (Ttp.: Matba’ah al-Madani,
1976), hlm. 6
45
Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Depag RI, 1980), Juz 21
46
Ibid.,,

13
“Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari , biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
Apabila diperhatikan pasal di atas jelas hubungan hukum yang terjadi
antara orang tua angkat dan anak angkat hanya terbatas pada tanggung jawab yang
berkenaan dengan pembiayaan hidup sehari-hari, biaya pendidikan. Dengan kata
lain, jalinan hubungan hukum yang terjadi antara ayah angkat dengan anak
angkatnya, tidak mengakibatkan terwujudnya ikatan hubungan keperdataan yang
bersifat menyeluruh sehingga anak tersebut tidak mewarisi ayah angkatnya tetapi
menjadi ahli waris pada orang tua asal.

Penegasan tentang keberadaan anak angkat terhadap peninggalan orang tua


angkat atau sebaliknya ayah angkat terhadap harta peninggln anak angkatnya
dalam KHI melalui modifikasi wasiat wajibah menggunakan metode istihsan
(preferensi) –salah satu cara ijtihad istislahi—terobosan KHI ini didasari oleh
pertimbangan kemanusiaan dan keadilan serta keinginan untuk memilih alternatif
yang terbaik. Nilai-nilai positif yang dapat ditarik dari modifikasi hukum wasiat
wajibah adalah: Pertama, hak anak angkat untuk dapat menerima bagian harta
peninggalan ayah angkatnya demikian juga sebaliknya hak ayah angkat untuk
menerima bagian harta peninggalan anak angkatnya, statusnya semakin jelas,
hanya dapat diperoleh melalui lembaga wasiat wajibah. Hal ini mengandung
pengertian bahwa jalinan hubungan antara keduanya tidak saling mewarisi, juga
mengandung adanya kepastian hilangnya unsur usaha dari pemberi wasiat (anak
angkat atau ayah angkat), dan terbitnya unsur kewajiban tanpa tergantung
kerelaan pemberi wasiat dan persetujuan ahli waris.
Kedua, baik anak angkat maupun ayah angkat hanya memperoleh bagian
dari harta peninggalan anak angkat atau ayah angkat tidak melebihi 1/3 bagian
yang telah ditetapkan. Hal ini berarti telah menutup adanya kemungkinan anak
angkat mengklaim seluruh harta peninggalan orang tua angkatnya, begitu pula
sebaliknya. Keberadaan KHI menetapkan lembaga wasiat wajibah terhadap anak
angkat dan ayah angkat yang berbeda dengan lembaga wasiat wajibah yang
dikenal di negara-negara Islam lain dapat merangsang tumbuhnya pemahaman
yang antisipatif terhadap perkembangan kebutuhan hukum.
3. Wasiat Wajibah dalam kajian Aksiologi

14
Penerapan kaidah wasiat wajibah yang diatur KHI dilakukan dengan dua
alasan, yaitu alasan pertama adalah untuk mengisi kekosongan hukum.47
Argumentasi ini dibangun atas dasar bahwa wasiat wajibah merupakan sistem
pemberian wasiat yang diatur oleh negara dan memiliki dasar hukum melalui
KHI, namun di saat yang sama KHI tidak mengatur secara rinci tentang wasiat
wajibah itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, maka hakim menggunakan
aturan wasiat secara umum sebagai dasar putusan pemberian wasiat wajibah.48
Alasan yang kedua terkait penerapan kaidah hukum wasiat pada wasiat
wajibah adalah demi untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Pemberian wasiat wajibah khususnya kepada anak angkat maupun orang tua
angkat dapat mewujudkan keadilan terutama bila ada hubungan emosional yang
sangat kuat antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, sehingga akan
menjadi sangat tidak adil bila anak angkat tidak mendapatkan bagian atas harta
waris yang dimiliki oleh orang tua angkatnya.49
Demikian juga KHI telah mengatur hak anak angkat atas harta orang tua
angkatnya untuk memberikan nilai keadilan. Keadilan yang tertinggi adalah
keadilan yang bersumber dari nilai yang luhur (agama) untuk mencapai
kesejahteraan bersama, dan untuk itu keadilan harus ditegakkan. Dengan demikian
keadilan dalam kehidupan masyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan moral,
keadilan sosial dan keadilan hukum. Meskipun keadilan moral, sosial dan hukum
dapat dibedakan, tetapi dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga
keadilan tersebut sebenarnya bermuara pada pelaksanaan hak dan kewajiban
individu dalam pranata sosialnya. Al-Qur’an sendiri telah menetapkan bahwa
manusia itu mempunyai hak dan kewajiban yang berimbang antara sesama jenis
dan sesama manusia.50
Selain itu prinsip keadilan yang mesti dipenuhi yaitu prinsip kebebasan
(freedom), perdamaian (peace) kebersamaan (democracy) dan toleransi
(tolerance). Dengan demikian sejatinya keadilan merupakan nilai yang tidak dapat
ditawar-tawar karena hanya dengan keadilan terdapat jaminan perlindungan

47
Nugraheni dkk, Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah, (Mimbar Hukum Volume 22,
Nomor 2, Juni 2010), hlm. 316
48
Ibid,. hlm. 318
49
Nugraheni dkk, Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah, (Mimbar Hukum Volume 22,
Nomor 2, Juni 2010), hlm. 320
50
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 245

15
terhadap kepentingan individu sekaligus jaminan ketertiban sosial.51 Dalam
suasana yang adil tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama itu. Dan untuk menjamin keadilan itulah dibentuk aturan-aturan yang
adil.

51
Hamka, Al Akhlaqul Karimah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 5

16
Kesimpulan

Dengan kajian filsafat ilmu seperti ontologis, epistemologis, dan aksiologi


maka kita dapat mengetahui suatu hakekat, sumber kebenaran dan kepatutan dari studi
Islam. Dalam makalah ini pendekatan filsafat ilmu di gunakan untuk mencari hakekat
dari wasiat wajibah, dasar wasiat wajibah, serta nilai kepatutan dari wasiat wajibah.
Maka ada tiga poin yang akan pemakalah simpulkan:
1. Hakekat wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam
Hakikat wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian hak
harta waris yang diberikan melalui wasiat wajibah yang ditetapkan oleh aturan di
dalam perundang-undangan bagi orang tua angkat atau anak angkat. Penguasa
atau Hakim sebagai aparat Negara mempunyai wewenang untuk memaksa atau
memberi putusan wasiat wajibah kepada orang-ornag tertentu. Wasiat wajibah
merupakan suatu wasiat yang diperuntukan kepada para ahli waris atau kerabat
yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena
adanya suatu halangan syara’
2. Dasar di berlakukannya wasiat wajibah
Wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan ayat 180
surat Al-Baqarah. Dari ayat inilah tersimpulkan keberadaan wasiat yang bersifat
wajibah dengan pernyataan bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang
asalnya wajib, sampai sekarang juga kewajiban tersebut masih tetap dan dapat
diberlakukan. Al-Qur’an, Q.S Al Baqarah : 180, Q.S. An-Nisaa’ : 11 Q. S Al-
Maaidah : 106 serta Kompilasi Hukum Islam.
3. Nilai kepaputan dari wasiiat wajibah
Penerapan kaidah wasiat wajibah yang diatur KHI dilakukan dengan dua alasan,
yaitu alasan pertama adalah untuk mengisi kekosongan hukum. Alasan yang
kedua adalah demi untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Terutamanya keadilan moral, keadilan hukum, dan keadilan social serta
kemaslahatan anak angkat yang terhalang syarat menjadi ahli waris.

17
Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. Antologi Studi Islam: Teori & Metodologi. Yogyakarta:


Sunan Kalijaga Press, 2000.
ad-Dimasyqi Syaikh al-Aman Muhammad bin Abdurrahman. Fiqih Empat
Mazhab. penerjemah Abdul Zaki Alkaf, Bandung: Hasyimi, 2015.
Al Syaibany Omar Mohammad Al Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Hoboken,
NJ: JA Macfadden-Bartell Book, 1979.
Amin Miska Muhammad, Epistimologi Islam: Pengantar Filsafat Pengeahuan
Islam. Jakarta: UI-Press, 1983.
Anshori Endang Saifuddin, Kuliah Islam; Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi.
Bandung: Pustaka Sleman ITB 1980.
Anwar Rosihon, dkk, Pengantar Studi Islam: Disusun Berdasarkan Kurikulum
Terbaru Perguruan Tinggi Islam.
Arief Armai, Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pres, 2002.
As-Shiddieqi Hasbi, Fiqhul Mawaris Hukum-hukum Warisan dalam Syariat
Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. I, 1997.
Feibleman James K., Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed), Dictinary
Philoshopy, Totowa New Jersey: Little Adam and Co., 1976.
Firth, Rodric Encyclopedia Internasional, Phippines: Gloria Incorperation, 19720.
Gede I Dewa, dkk, Filsafat Ilmu Dari Pohon Pengetahuan sampai Karakter
Keilmuan Ilmu Hukum Malang: IKAPI, 2014.
Heriyanto Husein, Nalar Saintifik Peradaban Islam, Bandung : Mizan, 2011.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1998.
Khalaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.
Kodir Koko Abdul, Metodologi studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Latif Mukhtar, Orientasi ke Arah Filsafat Ilmu, Jakarta : Kencana, 2014.
Mardabi, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2014.
Margono Soejono Soe, Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1986.
Mustansyir Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001.
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
Para Tokohnya, Jakarta ; Kalam Mulia, 2009.
Rosen Stanley (ed.), The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato
to Kant, dalam Rene Descartes, Meditation, New York: Random
House Reference, 2003.
Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 14.
Suariasumantri Jujun, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu, Cet. IX; Jakarta: Gramedia, 1991.
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan, Yogyakarta: ArRuzz Media, 2014.
Supiana, Metodologi Studi Islam. Jakarta : DitjenPendisKemenag RI, 2012.
Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994.

18
Syafii Inu Kencana, Pengantar Filsafat, Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2004.
Woodhouse Mark B, A Preface to Philosophy, Belmont California: Wadsworth
Publishing Company, 1984.
Yunus Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2010.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2016.

19

Anda mungkin juga menyukai