Anda di halaman 1dari 21

Lembaga Amil Zakat Dalam Perspektif Islam dan Sistem Perundangan di

Indonesia

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Dalam Mata Kuliah Manajemen Zakat dan Wakaf

Dosen Pengampu : Dr. H. Edy Setyawan, Lc, MA

Oleh :

Kelompok 4

Ujang Aceng Riyadin

PROGRAM STUDI PERDATA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2019

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Marilah kita memuji dan bersyukur kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan kepada kita semua kenikmatan, sholawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW keluarga, sahabatnya dan
umatnya hingga akhir zaman.
Sehingga dapat menyelesaikan Makalah tugas daripada mata kuliah
Manajemen Zakat dan Wakaf, Kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam segi isi, penulisan, maupun
kata-kata yang digunakan. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Dan kami tetap tidak lupa
untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam
penyelesaian tugas makalah ini.
Akhirnya, meskipun dalam penyusunan makalah ini kami telah
mencurahkan seluruh kemampuan, namun kami sangat menyadari bahwa hasil
penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak guna perbaikan dimasa mendatang.

Cirebon, 10 April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... I
DAFTAR ISI ................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... III
B. Rumusan Masalah...................................................................................... III
C. Tujuan.......................................................................................................... IV

BAB II PEMBAHASAN
A. Amil Zakat.................................................................................................. 6
B. Peran dan Fungsi Amil Zakat................................................................... 16

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah pengelolaan zakat oleh amil zakat telah dicontohkan sejak zaman Kanjeng
Nabi Muhammad SAW, dan para penerus Risalahnya. Salah satu contohnya adalah ketika
Nabi Muhammad SAW mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman dan pada saat beliau menjadi
Gubernur Yaman, beliau memungut zakat dari rakyat dan disini beliau bertindak sebagai
amil zakat sebagaimana sabda Nabi Saw :
‘’Rasulullah sewaktu mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke negeri Yaman (yang
telah beragama Islam) bersabda : Engkau datang kepada kaum ahli kitab, ajaklah mereka
kepada syahadat, bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan
sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jika Mereka telah taat untuk itu,
beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan kepada mereka melakukan sholat lima waktu dalam
sehari semalaman. Jika mereka telah taat untuk itu , beritahukanlah kepada mereka bahwa
Allah mewajibkan mereka menzakati kekayaan mereka. Zakat itu diambil dari yang kaya
dan di bagi- bagikan kepada yang fakir-fakir. Jika mereka telah taat untuk itu,maka hati-
hatilah (jangan mengambil) yang baik-baik saja , bila kekayaan itu bernilai tinggi, sedang dan
rendah, maka zakatnya harus meliputi nilai-nilai itu. Hindari doanya orang yang madhlum
(teraniaya) karena diantara doa itu dengan Allah tidak terdinding (pasti dikabulkan). (HR
Bukhari).
Melihat pentingnya zakat dan bagaimana Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassallam
telah mencontohkan tata cara mengelolanya, dapat disadari bahwa pengelolaan zakat
bukanlah suatu hal yang mudah dan dapat dilakukan secara individual. Agar maksud dan
tujuan zakat, yakni pemerataan kesejahteraan, dapat terwujud, pengelolaan dan
pendistribusian zakat harus dilakukan secara melembaga dan terstuktur dengan baik. Hal
inilah yang kemudian menjadi dasar berdirinya berbagai organisasi pengelola zakat di
berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia terdiri atas Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZNas dibentuk oleh pemerintah di bawah
naungan Kementerian Agama RI, dan tersebar hampir di setiap tingkatan baik nasional,
provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan (Mahmudi, 2009:70).

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Amil Zakat dalam perspektif Islam dan Perundangan Indonesia?
2. Bagaimana peran dan fungsi amil zakat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami bagaimana amil zakat dalam perspektif Islam dan perundangan di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai peran dan fungsi amil zakat.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Amil Zakat
Amil zakat disebutkan di dalam Al-Quran sebagai pihak yang berhak menerima harta
zakat dengan nomor urut tiga, setelah fakir dan miskin. disebutkan di dalam Al-Qur’an
ketika Allah SWT menyebutkan siapa saja yang berhak atas harta zakat.
‫اب‬ ِّ ‫مؤ َلَّفَ ةِ قُل ُ وبُهُ مۡ وَفِي ٱ‬
ِ َ‫لرق‬ ُ ‫ين ع َل َ ۡيهَ ا وَ ۡٱل‬
َ ِ ‫مل‬ ِ َٰ‫ين وَ ۡٱلع‬
ِ ِ‫س ك‬ َ ‫ت ل ِ فُۡلقَ َرٓاءِ وَ ۡٱل‬
َٰ ‫م‬ ُ َٰ‫لص دَق‬
َّ ‫م ا ٱ‬
َ َّ ‫۞إِن‬
٦٠ ‫م‬ٞ ‫حكِي‬ َ ‫م‬ ٌ ‫ه عَلِي‬ُ َّ ‫ن ٱلل َّ ۗ ِه وَٱلل‬ َ ‫م‬ ِّ ‫ة‬ َ ‫سبِي ۖ ِل فَرِي‬
ٗ ‫ض‬ َّ ‫ن ٱل‬ َّ
ِ ‫يل ٱللهِ وَ ۡٱب‬ ِ ِ ‫سب‬
َ ‫ين َوفِي‬ ِ ِ‫وَ ۡٱلغَٰر‬
َ ‫م‬
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka
yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.1
Secara bahasa, istilah amil berasal dari kata ‘amila ya’malu ( ‫ل ـ يعمل‬88‫) عم‬, yang
bermakna mengerjakan atau melakukan sesuatu. Kata amil ( ‫ ) عا مل‬adalah isim fail yang
bermakna pelaku dari suatu pekerjaan. Maka kata amil bermakna orang yang mengerjakan
sesuatu. Sedangkan dari ulama fikih pengertian amil zakat adalah sebagai berikut :
Imam Syafi’i (w. 204 H) pernah menyebutkan :
‫ والعا ملون عليها من وال ه الوالي قبضها‬: ‫قال الشافي‬.
Imam Syafi’i berkata : Amil Zakat adalah orang yang diangkat oleh wali/penguasa
untuk mengumpulkan zakat2.
Sementara Ahmad Azhar Basyir mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan amil
zakat adalah:3 1) orang yang bekerja untuk memungut zakat dari para wajib zakat; 2) orang
yang membukukan hasil pemungutan zakat; 3) orang yang menyimpan harta zakat; dan 4)
orang yang membagikan kepada orang yang berhak menerimanya. Oleh karena itu , amil
zakat adalah orang yang bertanggung jawab melaksanakan segala sesuatu yang berkenaan
dengan zakat, mengumpulkan , membukukan, memelihara dan mendistribusikan zakat.

1
Hasbi Ashshiddiqi dkk, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Kementerian Agama RI, Jakarta:2005) hal.255
2
Al-Mawaradi, al-Hawi al-Kabir,hal.8/493
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat,(Yogyakarta:Majelis Pustaka Pimpinan Pusat
Muhammadiyah,1997),hlm.76

6
Berbeda dengan Ahmad Azhar Basyir, M. Quraish Shihab medefinisi amil Zakat
sebagai pengelola yakni orang yang mengumpulkan , mencari dan menetapkan siapa yang
wajar menerima zakat lalu membagikannya. Jadi yang jelas amil zakat adalah yang
melakukan pengelolaan terhadap zakat, baik mengumpulkan, menentukan siapa yang berhak,
mencari mereka yang berhak, maupun membagi dan mengantarkannya kepada mereka.4
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menguraikan bahwa kata (‘alaiha) dalam kalimat (wa al-
amilin ‘alaiha) memberi kesan bahwa para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan
sungguh-sungguh dan mengakibatkan keletihan. Hal ini karena kata (‘ala) mengandung
makna penugasan dan kemantapan atas sesuatu. Penggunaan rangkaian kedua kata itu untuk
menunjuk para pengelola, memberi kesan bahwa mereka berhak memperoleh bagian dari
zakat karena dua hal. Pertama, karena upaya mereka yang berat, dan kedua, karena upaya
tersebut mencakup kepentingan sedekah.5 Berdasarkan beberapa definisi diatas penulis dapat
merumuskan bahwa, definisi amil zakat adalah orang yang memungut atau mengumpulkan
harta, masyarakatnya bukan lagi berdasarkan pada kemantapan dan kelestarian, melainkan
perubahan serta konflik- konflik sosial.
Disini masyarakat dilihat sebagai suatu interkoneksi dimana sebagian warganya
mengalami tekanan oleh sementara warga lainnya. Perubahan dan konflik merupakan
kejadian yang umum dalam masyarakat modern6

1. Amil Zakat Perspektif Islam


Islam turun ke dunia sebagai, rahmatan lil ‘alamin. Salah satu misi Islam adalah
untuk mengentaskan kemiskinan. Ajaran zakat dalam Islam adalah simbol kepedulian
sosial terhadap kesenjangan ekonomi, perhatian atas fenomena kemiskinan, dan cita-cita
akan kesejahteraan umat. Melalui zakat, Islam tidak akan membiarkan kemiskinan
merajalela dan menjamur di atas pentas sejarah hidup manusia. Berikut ini adalah
gambaran historis bagaimana pengelolaan zakat sebagai salah satu ajaran Islam yang
bervisi pengentasan kemiskinan dijalankan dengan baik.
a. Zakat Pada Masa Nabi
Peradaban Islam adalah cermin kultural dari kalangan elit yang dibangun dengan
kekuatan-kekuatan ekonomi dan perubahan sosial. Peradaban Islam terbentuk berkat
4
M.Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; pesan, kesan,dan keserasian al-qur’an (Jakarta:Lentera
Hati.2002),hlm.629
5
Ibid.
6
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masayarkat (Bandung: Angkasa, t.t.), hlm. 49- 50.Lihat juga A. A. Miftah,
“Teori Diyani dan Qadha’i dalam Pembangunan Hukum Islam Kontemporer”dalam Innovatio journal of
religious innovation studies, Vol. 9, No. 2, 2010,hlm. 1

7
penaklukan bangsa Arab selama delapan tahun masa pertempuran. Nabi Muhammad saw.
berusaha meraih kekuasaan atas suku-suku dalam rangka menundukkan Mekah. Sejumlah
utusan dan duta dikirim ke seluruh penjuru Arabia. Sementara suku-suku bangkit untuk
menyampaikan kesetiaan, membayar zakat dan pajak, sebagai simbol keanggotaan dalam
komunitas muslim dan simbol menerima Muhammad sebagai Nabi dan Utusan Allah swt.7
Rasulullah saw. pernah mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa sahabat
‘Umar ibn al-Khattab, Ibnu Qais ‘Ubadah ibn Samit dan Mu‘az ibn Jabal sebagai ‘amil
zakat (pengumpul zakat) di tingkat daerah. Mereka bertanggung jawab membina berbagai
negeri guna mengingatkan para penduduknya tentang kewajiban zakat. Zakat
diperuntukkan untuk mengurangi kemiskinan dengan menolong mereka yang
membutuhkan.8 Pada masa Nabi Muhammad saw., ada lima jenis kekayaan yang
dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang dagangan, hasil pertanian (gandum dan padi)
dan buah-buahan, dan rikaz (barang temuan).9 Selain lima jenis harta yang wajib zakat di
atas, harta profesi dan jasa sesungguhnya sejak periode kepemimpinan Rasullah saw. juga
dikenakan wajib zakat.
Dalam bidang pengelolaan zakat Nabi Muhammad saw. memberikan contoh dan
petunjuk oprasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis tersebut dapat dilihat
pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari: (1) Katabah, petugas yang mencatat
para wajib zakat, (2) Hasabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat, (3) Jubah,
petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki, (4) Khazanah Petugas yang
menghimpun dan memelihara harta, dan (5) Qasamah, petugas yang menyalurkan zakat
pada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).10
b. Zakat Pada Masa Sahabat
Untuk mengetahui dengan lebih jelas pola operasional aplikasi dan implementasi zakat pada
masa sahabat dapat dilihat dalam periode-periode berikut ini:

Pertama, periode Abu Bakr as Siddiq ra.

Pengelolaan zakat pada masa Abu Bakr as-Siddiq ra. sedikit mengalami kendala.
Pasalnya, beberapa umat muslim menolak membayar zakat. Mereka meyakini bahwa
7
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000),
I/24. Periksa juga Karen Armstrong, Muhammad: A Biography of The Prophet (New York: Victor Gollance,
1991), h. 247
8
Amer al-Roubaie, “Dimensi Global Kemiskinan di Dunia Muslim: Sebuah Penilaian
Kuantitatif”. Islamika, Vol. 2, No.3 Desember 2005, h. 91.
9
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub,t.t.), I/182
10
Mustafa Edwin Nasution, et. al., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 214

8
zakat adalah pendapat personal Nabi saw.11 Menurut golongan ingkar zakat ini, zakat tidak
wajib ditunaikan pasca wafatnya Nabi saw. Pemahaman yang salah ini hanya terbatas di
kalangan suku-suku Arab Baduwi. Suku-suku Arab Baduwi ini menganggap pembayaran
zakat sebagai hukuman atau beban yang merugikan.

Kedua, periode ‘Umar ibn al-Khattab ra.

‘Umar ra. adalah salah satu sahabat Nabi saw.. Ia menetapkan suatu hukum
berdasarkan realitas sosial. Di antara ketetapan ‘Umar ra. adalah menghapus zakat bagi
golongan mu’allaf, enggan memungut sebagian ‘usyr (zakat tanaman) karena merupakan
ibadah pasti, mewajibkan kharraj (sewa tanah), menerapkan zakat kuda yang tidak pernah
terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. Tindakan ‘Umar ra. menghapus kewajiban zakat
pada mu’allaf.12 bukan berarti mengubah hukum agama dan mengenyampingkan ayat-ayat
al-Qur’an. Ia hanya mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang jelas berbeda
dari zaman Rasulullah saw. Sementara itu ‘Umar tetap membebankan kewajiban zakat dua
kali lipat terhadap orang- orang Nasrani Bani Taglab, hal ini disebut zakat muda‘afah.
Zakat muda‘afah itu adalah terdiri dari jizyah (cukai perlindungan)13 dan beban
tambahan. Jizyah sebagai imbangan kebebasan bela negara, kebebasan Hankamnas, yang
diwajibkan kepada warga negara muslim. Sedangkan beban tambahannya adalah sebagai
imbangan zakat yang diwajibkan secara khusus kepada umat Islam. Umar ra. tidak merasa
ada yang salah dalam menarik pajak atau jizyah dengan nama zakat dari orang-orang
Nasrani karena mereka tidak setuju dengan istilah jizyah tersebut.14
Ketiga, periode ‘Usman ibn ‘Affan ra.

Pengelolaan zakat pada masa ‘Usman dibagi menjadi dua macam: (1) Zakat al-amwal
az-zahirah (harta benda yang tampak), seperti binatang ternak dan hasil bumi, dan (2)
Zakat al- amwal al-batiniyah (harta benda yang tidak tampak atau tersembunyi), seperti
uang dan barang perniagaan. Zakat kategori pertama dikumpulkan oleh negara, sedangkan
yang kedua diserahkan kepada masing-masing individu yang berkewajiban mengeluarkan
zakatnya sendiri sebagai bentuk self assessment.

11
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali (Jakarta: Pustaka Firdaus 2002), h. 104
12
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), h. 184. Kasus
‘Umar menghapus bagian zakat bagi muallaf karena alasan Islam pada saat itu dalam kondisi ideal dan tidak
khawatir akan terjadi pemurtadan. Periksa Muh. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al- Qur’an (Jakarta:
Teraju, 2003), h. 146. Baca Muhammad Roy, Ushul Fikih Mazhab Aristoteles (Yogyakarta: Safiria Insanea
Press, 2004), h. 37
13
Mahayuddin Hj. Yahya, Sejarah Islam (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1995), h. 173
14
Sjechul Hadi Permono, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995),
h. 131. Lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press,1985), h. 110

9
Keempat, periode ‘Ali ibn Abi Talib ra.
Situasi politik pada masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib ra. berjalan
tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah. Akan tetapi, ‘Ali ibn Abi Talib ra.
tetap mencurahkan perhatiannya yang sangat serius dalam mengelola zakat. Ia melihat
bahwa zakat merupakan urat nadi kehidupan bagi pemerintahan dan agama. Ketika ‘Ali
ibn Abi Talib ra. bertemu dengan orang-orang fakir miskin dan para pengemis buta yang
beragama non-muslim (Nasrani), ia menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung
oleh Baitul Mal. Khalifah ‘Ali ibn Abi Talib ra, juga ikut terjun langsung dalam
mendistribusikan zakat kepada para mustahiq (delapan golongan yang berhak menerima
zakat).15
Harta kekayaan yang wajib zakat pada masa Khalifah ‘Ali ibn Abi Talibra. ini sangat
beragam. Jenis barang-barang yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan
jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat. 16
c. Zakat Pada Masa Tabiin
Amil zakat pada masa tabi‘in terekam dalam catatan sejarah Daulah Bani Umayyah,
yang berlangsung selama hampir 90 tahun (41-127H). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz
(717 M) adalah tokoh terkemuka yang patut dikenang sejarah, khususnya dalam hal
pengelolaan zakat. Di tangannya, pengelolaan zakat mengalami reformasi yang sangat
memukau. Semua jenis harta kekayaan wajib dikenai zakat. Pada masanya, sistem dan
manajemen zakat ditangani dengan amat profesional. Jenis harta dan kekayaan yang
dikenai wajib zakat semakin beragam.‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz adalah orang pertama yang
mewajibkan zakat dari harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil
jasa, termasuk gaji, honorarium, penghasilan berbagai profesi dan berbagai mal mustafad
lainnya. Sehingga pada masa kepemimpinannya, dana zakat melimpah ruah tersimpan di
Baitul Mal. Bahkan petugas amil zakat kesulitan mencari golongan fakir miskin yang
membutuhkan harta zakat.17 Beberapa faktor utama yang melatarbelakangi kesuksesan
manajemen dan pengelolaan zakat pada masa Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz. Pertama,
adanya kesadaran kolektif dan pemberdayaan Baitul Mal dengan optimal. Kedua,
komitmen tinggi seorang pemimpin dan didukung oleh kesadaran umat secara umum
untuk menciptakan kesejahteraan, solidaritas, dan pemberdayaan umat. Ketiga, kesadaran
di kalangan muzakki (pembayar zakat) yang relatif mapan secara ekonomis dan memiliki

15
Abdurrachman Qodir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah Dan Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),
h. 94
16
Abu Hamid Al-Gazali, Ihya’Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Ma‘rifa21h, t.t
17
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj, Mukhtar Yahya, cet. ke-8 (Jakarta: Mutiara, 1994), h. 144

10
loyalitas tinggi demi kepentingan umat. Keempat, adanya kepercayaan terhadap birokrasi
atau pengelola zakat yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.18
2. Amil Zakat dalam sistem perundangan di Indonesia
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, zakat kembali menjadi perhatian
para ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun ekonomi Indonesia. Hal
tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan
kebebasan menjalankan syariat agama (pasal 29), dan pasal 34 UUD 1945 yang
menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Kata-kata fakir
miskin yang dipergunakan dalam pasal tersebut jelas menunjukkan kepada mustah}iq
zakat (golongan yang berhak menerima zakat).
Masa Awal Kemerdekaan,
Pada tahun 1951 Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor:
A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Kementerian
Agama melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagian hasil pungutan zakat
berlangsung menurut hukum agama.19
Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan
Baitul Mal pada tahun 1964. Sayangnya, kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat
diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden.
Perhatian Pemerintah terhadap lembaga zakat ini mulai meningkat sekitar tahun 1968.
Saat itu diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4 tentang Pembentukan Badan
Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan)
di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/ kotamadya. Namun pada tahun tersebut, Menteri
Keuangan menjawab putusan Menteri Agama dengan menyatakan bahwa peraturan
mengenai Zakat tidak perlu dituangkan dalam Undang- undang, cukup dengan Peraturan
Menteri Agama saja. Karena ada respons demikian dari Menteri Keuangan, maka Menteri
Agama mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1968, yang berisi penundaan pelaksanaan
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 1968 di atas.20
Masa Orde Baru

18
Syarifuddin Abdullah, Zakat Profesi (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2003), h. 8-10.
19
Depag RI, Pedoman Zakat, (Jakarta: Badan Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, 2002), h. 284
20
Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung: Mizan, 1987), h. 36-37

11
Kepemimpinan Presiden Soeharto memberikan sedikit angin segar bagi umat Islam
dalam konteks penerapan zakat ini. Sesuai anjuran Presiden dalam pidatonya saat
memperingati Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968 maka dibentuklah
Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah
DKI Jaya. Sejak itulah, secara beruntun badan amil zakat terbentuk di berbagai wilayah
dan daerah seperti di Kalimantan Timur (1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974),
Aceh (1975), Sumatra Selatan dan Lampung (1975), Kalimantan Selatan (1977), dan
Sulawesi Selatan dan Nusa tenggara Barat (1985).21
Perkembangan zakat pada masa Orde Baru ini tidak sama di setiap daerahnya.
Sebagian masih pada tahapan konsep atau baru ada di tingkat kabupaten seperti Jawa
Timur. Atau ada pula yang hanya dilakukan oleh Kanwil Agama setempat. Karena itulah,
mekanisme penarikan dana oleh lembaga zakat ini bervariasi. Di Jawa Barat hanya terjadi
pengumpulan zakat fitrah saja. Di DKI Jaya terjadi pengumpulan zakat, ditambah dengan
infaq dan shadaqah. Dan di tempat-tempat lain masih meniru pola pada masa awal
penyebaran Islam, yakni menarik semua jenis harta yang wajib dizakati.
Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3
Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya
diatur dalam Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984
tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri
Agama 16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua
jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang
mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan dana zakat untuk
kegiatan pendidikan Islam dan lainnya. Pada tahun 1991 dikeluarkan Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang
Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti dengan
Instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan
Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun
1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah.22
Masa Reformasi
Terbentuknya Kabinet Reformasi memberikan peluang baru kepada umat Islam, yakni
kesempatan emas untuk kembali menggulirkan wacana RUU Pengelolaan Zakat yang
21
Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, h. 188-190
22
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang: UIN- Malang Press, 2008), h. 246

12
sudah 50 tahun lebih diperjuangkan. Komisi VII DPR-RI yang bertugas membahas RUU
tersebut. Penggodokan RUU memakan waktu yang sangat panjang, hal itu disebabkan
perbedaan visi dan misi antara pemerintah dan anggota DPR. Satu pihak menyetujui
apabila persoalan zakat diatur berdasarkan undang-undang. Sementara pihak lain tidak
menyetujui dan lebih mendorong supaya pengaturan zakat diserahkan kepada masyarakat.
Pada tahun 1999 Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
berusaha memajukan kesejahteraan sosial dan perekonomian bangsa, dengan menerbitkan
Undang-ndang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kemudian dikeluarkan
pula Keputusan Menteri Agama nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan
Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Semua undang-undang yang diterbitkan di atas bertujuan untuk menyempurnakan
sistem pengelolaan zakat. Seperti pada masa prakemerdekaan zakat sebagai sumber dana
perjuangan, maka pada era reformasi ini zakat diharapkan mampu mengangkat
keterpurukan ekonomi bangsa akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multidimensi yang
datang melanda. Bahkan sebagian pihak menilai bahwa terbentuknya undang-undang
pengelolaan zakat di Indonesia merupakan catatan yang patut dikenang oleh umat Islam
selama periode Presiden B.J. Habibie.
Pengelolaan Zakat dalam Undang-undang No. 38 Tahun 1999
Pelaksanaan zakat yang telah berlangsung selama ini di Indonesia dirasakan belum
terarah. Hal ini mendorong umat Islam melaksanakan pemungutan zakat dengan
sebaik-baiknya. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mewujudkannya, baik oleh badan-
badan resmi seperti Departemen Agama, Pemerintah Daerah, maupun oleh para pemimpin
Islam dan organisasi- organisasi Islam swasta.
Pengelolaan zakat yang bersifat nasional semakin intensif setelah diterbitkannya
Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang inilah
yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah (mulai dari pusat sampai daerah) wajib
memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat, yakni Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) untuk tingkat pusat, dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat
daerah. BAZNAS ini dibentuk berdasarkan Kepres No. 8/2001 tanggal 17 Januari 200123.

23
Ibid., h. 247

13
Secara garis besar undang-undang zakat di atas memuat aturan tentang pengelolaan
dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan profesional, serta dilakukan oleh
amil resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Secara periodik akan dikeluarkan jurnal,
sedangkan pengawasannya akan dilakukan oleh ulama, tokoh masyarakat dan pemerintah.
Apabila terjadi kelalaian dan kesalahan dalam pencatatan harta zakat, bisa dikenakan
sanksi bahkan dinilai sebagai tindakan pidana. Dengan demikian, pengelolaan harta zakat
dimungkinkan terhindar dari bentuk- bentuk penyelewengan yang tidak
bertanggungjawab.
Di dalam undang-undang zakat tersebut juga disebutkan jenis harta yang dikenai
zakat yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah saw., yakni hasil pendapatan dan
jasa. Jenis harta ini merupakan harta yang wajib dizakati sebagai sebuah penghasilan yang
baru dikenal di zaman modern. Zakat untuk hasil pendapat ini juga dikenal dengan sebutan
zakat profesi. Dengan kata lain, undang-undang tersebut merupakan sebuah terobosan
baru.
BAZNAS memiliki ruang lingkup berskala nasional yang meliputi Unit Pengumpul
Zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konsulat Jendral dan Badan Hukum Milik Swasta
berskala nasional. Sedangkan ruang lingkup kerja BASDA hanya meliputi propinsi
tersebut. Alhasil, pasca diterbitkannya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
maka pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah, yakni Badan Amil Zakat (BAZ) yang
dibentuk Pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas-ormas maupun
yayasan-yayasan.24
Hadirnya undang-undang di atas memberikan spirit baru. Pengelolaan zakat sudah
harus ditangani oleh Negara seperti yang pernah dipraktekkan pada masa awal Islam.
Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh negara, dan pemerintah bertindak
sebagai wakil dari golongan fakir miskin untuk memperoleh hak mereka yang ada pada
harta orang-orang kaya .
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Mu‘az ibn Jabal bahwa penguasalah
yang berwenang mengelola zakat. Baik secara langsung maupun melalui perwakilannya,
pemerintah bertugas mengumpulkan dan mebagi-bagikan zakat.
Terbentuknya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan

24
Ibid., h. 249-250.

14
dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor 115 setelah
ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011.
Lahirnya UU ini menggantikan UU sebelumnya bernomor 28 tahun 1999 yang sebelumnya
telah menjadi payung hukum bagi pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang No. 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 pasal. Tak lupa di
dalamnya juga tercantum ketententuan pidana dan ketentuan peralihan.25
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah untuk
mengdongkrak dayaguna dan hasil guna pengelolaan zakat, infaq dan sedekah di Indonesia.
Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung hukum UU No. 38 tahun 1999 dirasakan
kurang optimal dan memiliki kelemahan dalam menjawab permasalahan zakat di tanah air.
Selain itu pasal- pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan.26
Sementara Menteri Agama, Suryadharma Ali dalam sambutannya mengatakan, undang-
undang pada hakikatnya adalah hukum positif yang dilahirkan melalui proses politik yang
dibuat dalam rangka melaksanakan konstitusi, tetapi karena zakat adalah ketentuan agama
Islam maka undang-undang mengenai zakat harus tetap mengacu kepada ketentuan syariat
Islam. Oleh karena langkah penyempurnaan UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah sekarang ini merupakan hal yang
sangat tepat. Tidak saja dilihat dari kepentingan politik kenegaraan melainkan pula
kepentingan umat Islam.
Menurutnya, peran pemerintah yang dalam hal ini secara fungsional dilaksanakan
oleh kementerian agama akan berperan sebagai kementerian yang melakukan pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
Dengan demikian, pemerintah akan bertindak sebagai regulator dan BAZNAS serta LAZ
sebagai operator.
Pembaharuan hukum Islam dalam bentuk pengkodifikasian menjadi perundang-
udangan negara adalah bertujuan agar hukum Islam menjadi lebih fungsional dalam
kehidupan umat Islam. Begitu juga dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 23 tahun
2011. Semua pegiat zakat berharap, dengan adanya undang-undang ini ada perbaikan dari
semua sektor.27
B. Peran dan Fungsi Amil Zakat
25
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
26
Puji Kurniawan, Legislasi Undang-Undang Zakat, Jurnal Al-Risalah, volume 13 Nomor 1 Mei 2013 format
PDF, h. 101
27
Puji Kurniawan, Legislasi Undang-Undang Zakat…… h. 117.

15
Indonesia sebagai negara terbesar penduduk muslimnya di dunia mempunyai peluang
yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lewat zakat. Namun
demikian menurut penelitian yang dilakukan oleh Eri Sudewo bahwa secara umum zakat di
Indonesia belum banyak berdampak pada pe- ningkatan kualitas kehidupan kaum miskin.

Hal ini disebabkan karena pengelolaan zakat oleh lembaga amil zakat, baik Badan Amil
Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) kebanyakan masih menggunakan
manajemen tradisional. Oleh karena itu menurutnya untuk meningkatan kualitas kehidupan
kaum miskin, maka disarankan untuk meninggalkan 15 tradisi yang selama ini berkembang
di BAZ dan LAZ tersebut, kemudian menerapkan 4 prinsip dasar menggunakan prinsip 5 W
+ 1 H. Dalam persoalan how, dalam ibadah zakat pengaturannya diserahkan kepada
manusia. Sebab, sifat dan kebutuhan setiap manusia berbeda. Misalnya, ijab kabul atau pe-
nyerahan zakat dari muzakki dengan amil secara langsung tidak lagi banyak terjadi. Sebab,
melalui perkembangan teknologi muzakki dapat menyalurkan dananya melalui mesin ATM
atau transfer via bank. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan muzakki terhadap amil
meningkat, tanpa harus bertatap muka dengannya. Selain itu, kesalehan dalam ibadah zakat
merupakan keberhasilan membentuk suatu masyarakat yang saling membantu berdasarkan
kesadaran.
Kedua, prinsip moral. Dalam pengelolaan zakat, para ‘âmil dituntut memiliki sifat jujur,
amanah, siddiq, tanggung jawab, adil, kasih, gemar menolong, dan tabah. Menurut Sadewo,
kejujuran menjadi kata kunci utama, sebab pengelolaan zakat belum dikontrol oleh lembaga
resmi yang dapat memberikan sanksi, muzakki tidak tahu kemana zakatnya disalurkan,
masyarakat seolah tidak punya hak memantau pengelolaan zakat. Ketiga, prinsip lembaga.
Ada beberapa prinsip kelembagaan yang harus dimiliki oleh lembaga zakat agar bisa
dipercaya oleh donatur dan masyarakat, yaitu: figur yang tepat, non-politik, non-golongan,
independen, dan netral obyektif. Keempat, prinsip manajemen.

Pengelolaan zakat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 adalah kegiatan


perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian pengawasan dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Kegiatan-kegiatan tersebut, salah satunya
Lembaga Amil Zakat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Menurut Sudirman, Lembaga Amil Zakat merupakan institusi pengelola zakat yang
dibentuk oleh masyarakat sehingga tidak memiliki afiliasi dengan Badan Amil Zakat, 28 yang
28
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
164 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3885

16
notabene dibentuk atas prakarsa pemerintah. Secara yuridis, definisi LAZ dapat ditemukan
dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Lembaga amil zakat di- pandang sebagai institusi pengelolaan zakat yang
se- penuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat.29
Melalui definisi ini, peran yang dimainkan oleh LAZ turut berubah, yaitu sebagai
pembantu dalam pengelolaan zakat di Indonesia.

Perkembangan LAZ sebagai institusi pengelola zakat, infaq dan shadaqah di Indonesia, dapat
dibagi Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 Tahun 2000. Melalui Undang-Undang ini,
keberadaan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat,
yang terhimpun dalam berbagai organisasi masyarakat (ormas), yayasan, atau institusi
lainnya diakui dan mendapat perlindungan hukum, dengan catatan harus dikukuhkan terlebih
dahulu oleh pemerintah. Sebagaimana dalam Pasal 21 ayat
(1) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 Tentang
Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.

Lembaga Amil Zakat diakui oleh Undang-Undang sebagai bentuk partisipasi masyarakat
dalam penge- lolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah di Indonesia. Pasal 1 poin 1 Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta
pen- dayagunaan zakat. Berdasarkan ketentuan di atas terdapat tiga peran yang dimainkan
dalam penge- lolaan zakat, yaitu operator, pengawas dan regulator. Peran yang dimainkan
LAZ hanya sebagian kecil, yaitu sebagai operator. Sedangkan peran-peran yang lain
menjadi kewenangan pemerintah. Peran ini diatur dalam Pasal 8 yang menyatakan badan
amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.

Skema relasi BAZ dan LAZ dalam UU. 38 Tahun 1999

29
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Lembaran Negara Tahun 2011
Nomor 115

17
Skema relasi BAZ dan LAZ dalam UU. 21 Tahun 2011

18
LAZ dengan BAZ memiliki peran dan kedudukan yang sama, yaitu membantu
pemerintah mengelola zakat. Keduanya berdiri sendiri dalam melakukan aset zakat.
Keberadaan LAZ maupun BAZ harus mampu mewujudkan tujuan besar dilaksanakannya
penge- lolaan zakat, seperti meningkatkan kesadaran masya- rakat dalam penunaian zakat,
meningkatkan fungsi pranata keagamaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial, serta meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang baru,
membawa perubahan terhadap peran LAZ dalam menjalankan fungsi penge- lolaan zakat.
Pasal 17 yang menyatakan bahwa untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengum-
pulan dan pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Jika dalam Undang-Undang yang lama posisi keduanya dipandang sejajar dan seimbang
dalam men- jalankan fungsi pengelolaan zakat, dalam Undang- Undang yang baru ini peran
LAZ menjadi dikerdilkan dan diposisikan sebagai subordinat dari BAZ yang dibentuk oleh
pemerintah.
Baznas menjalankan empat fungsi, yaitu :
1. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
2. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
3. pengendalian pengumpulan , pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, dan
4. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Untuk terlaksananya tugas dan fungsi tersebut maka, Baz memiliki kewenangan ,
Menghimpun, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa, istilah amil berasal dari kata ‘amila ya’malu ( ‫ل ـ يعمل‬88‫) عم‬, yang
bermakna mengerjakan atau melakukan sesuatu. Kata amil ( ‫ ) عا مل‬adalah isim fail yang
bermakna pelaku dari suatu pekerjaan. Maka kata amil bermakna orang yang mengerjakan
sesuatu.
Oleh karena itu , amil zakat adalah orang yang bertanggung jawab melaksanakan
segala sesuatu yang berkenaan dengan zakat, mengumpulkan , membukukan, memelihara dan
mendistribusikan zakat.

19
Pengelolaan zakat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 adalah kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian pengawasan dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Kegiatan-kegiatan tersebut, salah satunya
Lembaga Amil Zakat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Baznas menjalankan empat fungsi, yaitu :
1. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
2. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
3. pengendalian pengumpulan , pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, dan
4. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat

Daftar Pustaka

Mustafa Edwin Nasution, et. al., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana,
2006
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang: UIN- Malang Press, 2008),
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
Puji Kurniawan, Legislasi Undang-Undang Zakat, Jurnal Al-Risalah, volume 13 Nomor 1
Mei 2013 format PDF, h. 101
Hasbi Ashshiddiqi dkk, Al-Qur’an dan Terjemahan, Kementerian Agama RI, Jakarta:2005)
Al-Mawaradi, al-Hawi al-Kabir,Dar Fikr, Mesir

20
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat,Yogyakarta:Majelis Pustaka Pimpinan Pusat
Muhammadiyah,1997
Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam,Bandung: Mizan,
1987
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali (Jakarta: Pustaka Firdaus
2002)
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 1994),

21

Anda mungkin juga menyukai