Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HAK-HAK YANG DIMILIKI SEORANG WARGA NEGARA ASING


TERHADAP RUMAH SUSUN YANG ADA DI INDONESIA MENURUT
PASAL 42 UUPA

Oleh :

MUHAMMAD DHIYA’ UL HAQ

MAGISTER KENOTARIATAN
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hak-hak yang dimiliki seorang
warga negara asing terhadap rumah susun yang ada di Indonesia menurut Pasal 42 ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Dr. H. Moh.
Muhibbin, S.H., M.Hum. selaku Dosen Mata kuliah Hukum Pemukiman Magister Kenotariatan
Pascasarjana Universitas Islam Malang yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Hukum Pemukiman pada umumnya dan Hak-hak yang dimiliki seorang
warga negara asing terhadap rumah susun yang ada di Indonesia khususnya. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Malang, 31 Maret 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin meningkat
dan dirasakan kurang, mengingat jumlah perumahan yang tersedia tidak berimbang dengan
jumlah kebutuhan dari orang yang memerlukan rumah tempat tinggal. Kebutuhan akan rumah
tempat tinggal tidak hanya bagi Warga Negara Indonesia tetapi juga bagi Warga Negara
Asing yang berada di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang bagaimana
kebutuhan ini dapat dipenuhi ,yakni hak atas tanah untuk perumahan, termasuk di dalamnya
tata cara dan syarat-syarat pemberian hak atas tanah bagi orang asing atau badan hukum
asing.  Bangunan atau konstruksi apapun, termasuk yang berfungsi sebagai tempat tinggal,
baik itu rumah tinggal atau apartemen (dalam hukum positif kita didefinisikan sebagai satuan
rumah susun) tidak dapat dilepaskan dari tanah dimana bangunan atau konstruksi tersebut
dibangun. Penggunaan Rumah sebagai tempat kegiatan usaha adalah tempat segala kegiatan
administrasi dan operasional dari suatu badan usaha berjalan secara aktif. Agar tertib hukum
maka diperlukan perangkat hukum yang mengaturnya guna menghindari penggunaan rumah
yang tidak sesuai dengan izin peruntukannya, pembatasan kepemilikan rumah tempat tinggal,
perbuatan hukum berupa jual beli, hibah, warisan, pembebanan jaminan hutang atas rumah
tempat tinggal oleh pihak pemilik tanah dan atau atas rumah diatasnya kepada pihak lain,
terutama apabila berkenaan dengan kepemilikan atau peralihan hak dari dan untuk warga
negara asing atau badan hukum asing di Indonesia.
Kebijakan mengenai orang-orang asing dan badan hukum asing di bidang pertanahan yang
berlaku saat ini adalah :
1. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.
2. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA).
3. Undang-undang No 1 Tahun 2011 (UU Perumahan dan Kawasan Permukiman).
4. Undang-undang No. 20 Tahun 2011 (UU Rumah Susun).
5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1999.
6. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha, dan Hak Pakai atas Tanah.
7. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tampat Tinggal
atau Tempat Hunian Bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah hak-hak apa saja yang dimiliki
seorang Warga Negara Asing terhadap Rumah Susun yang ada di Indonesia menurut Pasal 42
UUPA?

1.3. Tujuan Masalah


Supaya dapat mengetahui hak-hak apa saja yang dimiliki seorang Warga Negara
Asing terhadap Rumah Susun yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Rumah Susun


Dalam UU No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun memberikan pengertian, rumah
susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang
terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Unit rumah susun yang tujuan utamanya
digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum disebut Satuan Rumah Susun (SRS). Sebidang tanah hak atau
tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah
yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
mendirikan bangunan merupakan tanah bersama. Bagian-bagian yang dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah disebut satuan rumah susun (SRS). SRS harus mempuyai sarana
penghubung ke jalan umum, tanpa mengganggu dan tidak boleh melalui SRS yang lain.
Sedangkan hak milik SRS disebut dengan hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS),
yang bersifat perorangan dan terpisah. Selain pemilikan atas SRS tertentu, HMSRS yang
meliputi juga hak pemilikan apa yang di atas disebut tadi bagian bersama, tanah bersama dan
benda bersama. Semua merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dengan
pemilikan SRS yang bersangkutan.
Bagian bersama adalah bagian-bagian dari rumah susun yang dimiliki bersama secara
tidak terpisah oleh semua pemilik SRS dan diperuntukan pemakaian bersama, seperti lift,
tangga, lorong, pondasi, atap bangunan dan lain-lain. Tanah bersama adalah sebidang tanah
tertentu di atas mana bangunan rumah susun yang bersangkutan berdiri, yang sudah pasti
status hak, batas-batas dan luasnya. Tanah ini seperti halnya bagian bersama, juga merupakan
hak bersama semua pemilik SRS dalam bangunan Rumah susun yang bersangkutan. Benda
bersama adalah benda-benda dan bangunan-bangunan yang bukan merupakan bagian dari
bangunan gedung rumah susun yang bersangkutan, tetapi berada diatas tanah bersama dan
diperuntukkan untuk pemakaian bersama. Seperti tempat ibadah, lapangan parkir, pertamanan
dan sebagainya.
Hak atas bagian bersama, tanah bersama dan benda bersama masing-masing
didasarkan atas luas atau nilai SRS yang bersangkutan, pada waktu diperoleh pemiliknya
untuk pertama kali, yaitu yang disebut nilai perbandingan proposional. Selain itu sertifikat
HMSRS merupakan alat bukti pemilikan SRS, sekaligus juga alat bukti pemilikan hak
bersama atas tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan sebesar
nilai perbandingan proposional.

2.2. Masalah Hukum dan Pengaturannya


Masalah hukum yang sering timbul dalam hal rumah susun adalah, apabila pemilik
SRS ingin menggunakan sebagian bagian dari gedung atau bangunan rumah susun tersebut.
Oleh itu perlu terdapat hukum yang mengatur tentang hal ini dan rumah susun itu sendiri,
sebelum adanya UU Rumah susun terdapat beberapa peraturan menteri dalam negeri yaitu
PMDN no. 14 tahun 1975 tentang pendaftaran atas tanah kepunyaan bersama dan pemilkan
bagian-bagian bangunan yang ada di tasanya serta penerbitan sertifikatnya. PMDN No. 4
Tahun 1977 tentang penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah mengenai hak atas tanah
yang dipunyai bersama dan pemilikan bagian-bagian yang ada di atasnya. PMDN No. 10
Tahun 1983 tentang tata cara permohonan dan pemberian izin penerbitan sertifikat hak atas
tanah kepunyaan bersama yang disertai dengan pemilikan secara terpisah bagian-bagian pada
bangunan bertingkat.

2.3. Hak Pakai Bagi Negara Asing Dalam UUPA


Dampak dari globalisasi perdagangan menyebabkan semakin terbukanya bagi pihak
asing, terutama pelaku bisnis asing, dalam penguasan dan pemanfaatan tanah di Indonesia.
Dalam kegiatan ekonomi, terdapat tiga pelaku usaha yang memiliki akses sumber daya modal
dan akses politik berbeda-beda, yaitu Pemerintah, swasta dan mayarakat. Dalam hal ini,
kedudukan pihak masyarakat dengan swasta tidak seimbang, serta adanya kebijakan
pemerintah yang bersifat bias terhadap kepentingan masyarakat kecil, menyebabkan pihak
swasta akan lebih mudah memperoleh tanah-tanah untuk pembangunan perumahan dan
industri dengan mengorbankan kepentingan masyarakat kecil, sedangkan pada sisi lain,
sangat sulit bagi masyaakat kecil untuk memperoleh persetujuan mengerjakan tanah-tanah
bekas perkebunan atau kehutanan yang telah ditelantarkan untuk mendapatkan pengakuan
haknya secara de yure. Kebutuhan akan rumah bagi orang perorangan atau badan, baik
untuk tempat tinggal maupun untuk tempat usaha, menjadi kebutuhan yang paling dirasakan
mendesak untuk dipenuhi. Kebutuhan ini bukan saja bagi warga negara Indonesia tetapi juga
menjadi kebutuhan warga negara asing dan badan hukum asing yang berada atau bekerja atau
membuka kegiatan usahanya di Indonesia.
Pada prinsipnya UUPA secara tegas melarang warga negara asing atau badan hukum
asing untuk memiliki hak-hak atas tanah, sebagai pencerminan dari asas nasionalitas yang
dianut didalamnya. Terdapat hubungan yang erat antara status kewarganegaran Indonesia
dengan hak-hak atas tanah dalam UUPA, hanya warga negara Indonesia yang mempunyai
hak milik atas tanah Demikian juga dengan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna
bangunan, hak guna usaha.
Dalam UUPA tidak memperjelas siapa saja yang termasuk warga negara asing oleh
sebab itu kita akan melihat ketentuan pada dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut, juga tidak
merumuskan secara jelas yang dimaksud dengan pengertian warga negara asing atau orang
asing, hanya dapat disimpulkan secara negatif pada pasal 7, berbunyi sebagai berikut : “
Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”. Jadi
yang menjadi ukuran untuk menentukan Warga Negara Indonesia dan orang asing adalah
orang yang bukan Warga Negara Indonesia. Hal itu berarti orang yang tidak termasuk pada
pasal 2, 4, 5, 7, adalah bukan Warga Negara Indonesia atau disebut sebagai orang asing.
Menurut pasal 2, bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara. Kemudian pada penjelasan pasal 2 dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “orang-orang bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi Warga
Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas
kehendak sendiri. Dengan demikian yang menjadi ukuran untuk menentukan Warga Negara
Indonesia yang berasal dari bangsa Indonesia asli adalah berdasarkan tempat kelahiran dan
kehendak orang itu hanya menerima satu kewarganegaraan, yaitu Warga Negara Indonesia.
Sedangkan mengenai orang-orang bangsa lain tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal
tersebut, hanya diisyaratkan apabila ada orang asing yang akan menjadi Warga Negara
Indonesia harus menurut persyaratan dan pengesahan oleh undang-undang.
Pada pasal 4 ditentukan siapa saja yang menjadi Warga Negara Indonesia, adalah :
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/ atau
perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-
undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga
Negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing
dan ibu Warga Negara Indonesia.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara
asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
f. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia.
g. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara
Indonesia.
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya
dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas)
tahun atau belum kawin.
i. Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak
jelas statusi kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j. anak yang baru lahir ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama
ayah ibunya tidak diketahui.
k. Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia apabila ayah ibunya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l. Anak yang lahir di luar wilayah Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.Anak
dari seorang ayah dan ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Sehubungan dengan rumusan pasal 1 huruf (a) mengenai “ orang yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan/ atau perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan
negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia” ,
meliputi apa saja peraturan perundang-undangan dan perjanjian Pemerintah Republik
Indonesia dengan negara lain yang mengatur dan menetapkan seseorang telah menjadi
Warga Negara Indonesia sebelum UU No. 12 Tahun 2006 diberlakukan, tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai itu. Dengan demikian yang dimaksudkan pada pasal 2
tersebut adalah orang-orang yang telah menjadi Warga Negara Indonesia menurut undang-
undang kewarganegaraan yang lama dan atau perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
negara lain mengenai kewarganegaraan, sepanjang orang itu tidak pindah kewarganegaraan,
masih diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Mengenai status anak Warga Negara Indonesia di luar perkawinan sah dan anak angkat
Warga Negara Indonesia yang diangkat orang asing, mereka tetap diakui sebagai Warga
Negara Indonesia sesuai syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5, berbunyi sebagai
berikut :
1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah , belum
berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya
yang berkewargannegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima ) tahun diangkat secara
sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.
Namun UUPA masih memberikan hak penguasaan tanah atau memunggut hasil dari
tanah berupa hak pakai kepada warga negara asing atau badan hukum asing yang berada di
Indonesia, seperti diatur pada pasal 41 dan 42 UUPA, yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP
No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas
Tanah. Dari ketentuan pada pasal 41 dan 42 itu, hak pakai merupakan hak-hak untuk
mengunakan dan memunggut hasil dari tanah yang bukan miliknya. Tanah yang berstatus
hak pakai dapat berasal dari negara atau hak milik orang lain. Hak pakai diberikan untuk
jangka waktu tertentu selama pemanfaatan fungsi tanah itu atau pemberian dengan cuma-
cuma, dengan pembayaran berupa uang atau jasa kepada pemilik tanah. Hak pakai ini dapat
diberikan kepada orang asing atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Badan
hukum yang diberikan hak pakai harus didirikan menurut hukum Indonesia atau mempunyai
perwakilan di Indonesia (bilamana badan hukum asing). Alasan pemberian hak pakai pada
orang asing atau badan hukum asing, karena hak ini bersifat terbatas atau memberi
kewenangan terbatas pada pemiliknya Selain itu, pasal 43 menentukan hak pakai yang
berasal dari tanah negara, hanya dapat dialihkan pada pihak lain dengan ijin dari pejabat yang
berwenang. Hak pakai yang berasal dari tanah hak milik, untuk pengalihan haknya harus
berdasarkan perjanjian yang diperbolehkan untuk itu.
Pada PP No. 40 Tahun 1996, ditambah lagi pihak-pihak yang dapat memperoleh hak
pakai, yaitu departemen, lembaga pemerintah departemen dan non departemen; badan-badan
keagamaan dan sosial; serta perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Hak pakai juga dapat diberikan dari tanah hak pengelolaan. Mengenai jangka waktu
pemberian hak pakai adalah 25 tahun. Perpanjangan dan pembaharuan hak pakai adalah
 Hak pakai yang berasal dari tanah negara, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20
tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu 25 tahun.
 Hak pakai yang berasal dari hak pengelolaan, perpanjangan dan pembaharun haknya atas
usul pemegang haknya.
 Hak pakai yang berasal dari hak milik, tidak dapat diperpanjang tetapi dapat diperbaharui
sesuai kesepakatan antara pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik.
Dengan demikian UUPA dan peraturan pelaksanannya, tidak menentukan secara jelas
bentuk-bentuk kegiatan usaha atau peruntukan dari pengunaan hak pakai. Pengunaan,
penguasaan dan pemanfaatan hak pakai tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dan jiwa
UUPA, harus sesuai dengan ijin pemberiannya atau kesepakatan dalam perjanjian yang
dibuat untuk itu. Oleh sebab itu, pihak pemerintah atau swasta dapat membangun perumahan
diatas tanah hak pakai, untuk kemudian diperjualbelikan kepada masyarakat luas, termasuk
apabila pembelinya berasal dari warga negara asing. Demikian juga, pihak warga negara
asing yang memperoleh hak pakai, dapat mengunakannya untuk mendirikan bangunan
perumahan atau kegiatan usaha sesuai ijin pemberian dari hak itu atau menurut kesepakatan
dari perjanjian kedua belah pihak.

2.4. Sistem Pembangunan Rumah Susun


Pembangunan rumah susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang
layak bagi rakyat, dengan meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah yang terbatas.
Dalam pembangunannya diperhatikan antara lain kepastian hukum dalam penguasaan dan
keamanan dalam pemanfaatannya. Pembangunan Rumah Susun diselenggarakan oleh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha milik daerah, Koperasi, badan usaha milik swasta
yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan swadaya masyarakat.
Penyelenggaran Pembangunan Rumah Susun (PPRS) harus memenuhi syarat sebagai
subyek hak atas tanah, di mana rumah susun yang bersangkutan dibangun. Rumah susun
hanya dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan hak pakai yang
diberikan oleh Negara serta hak pengelolaan. Lokasi tanah tempat pembangunan ditunjuk
oleh kepala kantor pertanahan kotamadya/Kabupaten, berdasarkan Rencana Umum/Detail
tata Ruang Daerah tingkat II yang bersangkutan.
PPRS dalam mendirikan rumah susun wajib mempunyai izin medirikan bangunan
(IMB) dari pemerintah tingkat II yang bersangkutan, untuk memiliki IMB wajib
menyerahkan :
1. Sertifikat hak atas tanah dari tanah di atas mana akan dibangun bangunan gedung atas
nama PPRS.
2. Rencana Tapak, yaitu rencana tata letak bangunan yang akan dibangun.
3. Gambar rencana arsitektur, yang memuat denah dan potongan serta pertelaannya yang
menunjukkan dengan jelas batasan vertical dan horizontal dari tiap SRS serat
lokasianya.
4. Gambar rencana struktur dan perhitungannya.
5. Gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas begian-bagian bersama, tanah
bersama dan benda bersama.
6. Gambar rencana Jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran
pembuangan air limbah dan lain-lain.

2.4. Hak dan Kewajiban Pemilik SRS


Hak pemilik SRS adakah sebagai berikut :
1. Pemilik SRS berhak menghuni SRS yang dimilkinya serta menggunakan bagian
bersama, tanah bersama dan benda bersama sesuai dengan peruntukannya.
2. Ia juga berhak menyewakan SRS yang dimilkinya kepada pihak lain, asal tidak
melebihi jangka waktu berlakunya hak atas tanah bersama yang bersangkutan.
3. HMSRS dapat beralih karena Pewarisan.
4. Juga dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui jual beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan dalam perusahaan atau legaat.
Adapun kewajiban pemilik SRS sebagai berikut :
1. Para pemilik SRS atau penghuninya berkewajiban membentuk apa yang disebut
Perhimpunan penghuni. Perhimpunan Penghuni merupakan badan hukum, yang
bertugas mengurus kepentingan bersama para pemilik SRS dan penghuninya.
Perhimpunan Penghuni tersebut dapat menunjuk atau membentuk suatu badan
pengelola, yang bertugas melaksanakan pemeliharaan dan pengopersian peralatan
yang merupakan milik bersama.
2. Pembiayaan kegiatan perhimpunan penghuni dan badan pengelola ditanggung
bersama oleh pemilik SRS dan para penghuni, masing-masing sebesar imbangan
menurut nilai perbandingan proposionalnya.
3. Jika jangka waktu hak atas tanah bersama berakhir, para pemilik SRS berkewajiban
untuk bersama-sama mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu atau
pembaharuan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas bangunan yang bersangkutan.

2.5. Persyaratan tentang kepemilikan / Penghunian Rumah Susun


Pemilik rumah susun dan satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai
pemegang hak atas tanahnya, maka rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai,
satuan-satuan rumah susunnya dapat dimiliki oleh selain perseorangan dan badan hukum
Indonesia, juga dapat dimiliki oleh orang asing. Orang asing hanya dapat memiliki satuan
rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Orang asing ini dari segi kehadirannya
di Indonesia dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu: 1.) Orang asing yang bertempat tinggal
di Indonesia secara menetap (penduduk Indonesia) dibuktikan dengan izin tinggal tetap; 2.)
Orang asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap melainkan hanya sewaktu-waktu
berada di Indonesia, dibuktikan dengan izin kunjungan atau izin keimigrasian. Alternatif
pemecahan permasalahan (solusi) bagi WNA untuk dapat Menguasai Satuan Rumah Susun
dalam prakteknya adalah :
a) Sewa Menyewa
Konsep sewa menyewa jangka panjang (long term lease) yang dipraktekkan
oleh beberapa pemilik satuan rumah susun (pengembang) dan pada dasarnya konsep
ini juga tidak mengalihkan kepemilikan. Diatur dalam Pasal 52 Undang-undang No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan  Kawasan Permukiman Pemukiman.
b) Sewa menyewa dengan kemungkinan konversi menjadi jual beli (Convertible
Lease)
Konsep dasar dari transaksi ini adalah sepenuhnya berpedoman kepada
Perjanjian Sewa Menyewa biasa, namun dengan beberapa kondisi antara lain :
a. Harga sewa diperhitungkan sebagai cicilan harga pembelian apabila konversi
sewa menjadi konsep pemilikan dimungkinkan dikemudian hari
b. Penyewa diberikan hak yang penuh untuk menghuni apartemen termasuk
pengurusan penghunian
c. Mengalihkan hak sewa/sub lease kepada pihak ketiga dan lain sebagainya.
c) Nominee / Trustee Arrangement
Konsep Trustee/Nominee arrangement mekanismenya diatur bahwa pemilik
SRS (diluar tanah Hak Pakai), adalah tetap seorang WNI atau badan hukum
Indonesia.  Bagaimana si WNI atau badan hukum menjadi pemilik, maka hal inilah
yang kita coba tarik kepada konsep nominee/trustee. Biasanya terjadi hubungan
peminjaman uang oleh pihak WNA kepada Pihak Indonesia, dimana pembiayaan
yang diterima oleh pihak Indonesia dari pihak asing semata-mata akan digunakan
olehnya untuk membeli SRS.
Sebagai jaminan hutang tersebut, maka pihak Indonesia akan menjaminkan
hak milik SRS tersebut (misalnya dengan Hak Tanggungan) untuk kepentingan pihak
asing.  Dan selanjutnya si pihak asing berdasarkan misalnya kuasa untuk menghuni
SRS tersebut dan melakukan tindakan hukum lain atas unit SRS tersebut.  Dapat juga
atas dasar sewa menyewa dengan pembayaran yang sangat minim yang seolah-olah
merupakan “ongkos pakai nama” pihak WNI.
Konsep ini sebenarnya dapat dikatakan, tidak bertentangan dengan hukum
perjanjian secara umum, karena tidak ada unsur pemindahan hak milik dari WNI
kepada WNA secara langsung.  Transaksi antara kreditur asing dengan debitur
nasional dengan jaminan hak tanggungan adalah suatu transaksi di dunia bisnis. 
Tanah yang merupakan aset dari debitur nasional dapat di jaminkan dengan hak
tanggungan kepada kreditur asing.
Namun demikian, terdapat unsur yang mungkin dapat diperdebatkan yaitu
adalah tentang maksud dan tujuan dari pembiayaan pihak asing terhadap pihak
indonesia yang sebenarnya adalah upaya untuk menghindar dari larangan ketentuan
UUPA pasal 26 ayat (2) (ada unsur pengalihan secara tidak langsung).Singkatnya
dapat dikategorikan sebagai suatu penyelundupan hukum dan kalau sampai masalah
ini menjadi sengketa di kemudian hari, kecil kemungkinan si WNA akan diberikan
perlindungan hukum. 
            Dalam Pasal 1 PP No. 41/1996 ditentukan persyaratan yang wajib dipenuhi
bagi pemilikan rumah oleh orang asing, yaitu :
1. Menurut ketentuan ayat (1) :
a. Orang asing yang bersangkutan harus berkedudukan di Indonesia;
b. Rumah yang dimiliki itu adalah untuk tempat tinggal atau hunian;
c. Keberadaan rumah tersebut di atas tanah yang bersangkutan harus
dilandasi hak atas tanah tertentu, yang sebagaimana telah kita ketahui
dapat berupa Hak Pakai atau Hak Sewa untuk Bangunan.
2. Menurut Ketentuan ayat (2)
Kehadiran orang asing yang bersangkutan di Indonesia harus
memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Dalam Penjelasan Umum
dinyatakan bahwa salah satu masalah “yang memerlukan kejelasan dalam
kaitannya dengan kemungkinan pemilikan rumah hunian oleh orang asing di
Indonesia” adalah “yang berkenaan dengan arahan bahwa orang asing
tersebut harus berkedudukan di Indonesia”.  Dinyatakan selanjutnya bahwa
arahan tersebut “dewasa ini dan untuk masa-masa yang akan datang perlu
diperjelas dan dijabarkan lebih lanjut secara yang bijaksana”. Dalam
penjelasan umum dinyatakan bahwa pengertian “berkedudukan” itu “tidak
perlu harus diartikan sama dengan tempat kediaman atau domisili”.
Permenag No. 7/1996 menyatakan bahwa :
(1) Orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan
nasional dapat memiliki sebuah rumah tinggal atau hunian dalam bentuk rumah
dengan hak atas tanah tertentu atau satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah
Hak Pakai atas tanah Negara.
(2)  Orang asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang asing yang
memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan
investasi untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia.
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KaBPN tertanggal 8 Oktober 1996
Nomor 110-2871 hal.2 butir 2, menjelaskan sebagai berikut :
1) Mengenai orang asing yang dapat mempunyai rumah di Indonesia
Orang asing yang dapat memiliki rumah di Indonesia adalah orang asing yang
kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional, yaitu
memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan investasinya
untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia.
2) Orang asing ini dari segi kehadirannya
Di Indonesia dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu :
I. Orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia secara menetap (penduduk
Indonesia), dan
II. Orang asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap melainkan hanya
sewaktu-waktu berada di Indonesia.
Perbedaan dalam 2 golongan tersebut berhubung dengan dokumen yang harus
ditunjukannya pada waktu melakukan perbuatan hukum memperoleh rumah, sebagai
berikut :
a. Bagi orang asing penetap : Izin Tinggal Tetap.
b. Bagi orang asing lainnya : Izin Kunjungan atau Izin Keimigrasian lainnya
berbentuk tanda yang diterakan pada paspor atau dokumen keimigrasian lainnya
yang dimiliki oleh orang asing yang bersangkutan.
Rumah tempat tinggal atau tempat hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing
menurut Pasal 2 PP No. 41 Thn. 1996 adalah :
a. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah:
I. Hak Pakai atas Tanah Negara.
II. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah
b. Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah
Negara.
Penjelasan Pasal 39 huruf e PP No. 40/1996 : “Orang asing yang dianggap
berkedudukan di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya di Indonesia
memberikan manfaat bagi pembangunan nasional”. Cara memperoleh rumah tersebut
sebagai berikut :
a) Membeli hak pakai atas tanah negara atau hak pakai atas tanah hak milik dari
pemegang hak pakai yang bersangkutan beserta rumah yang ada di atasnya, atau
membeli hak pakai atas tanah negara atau atas tanah hak milik dan kemudian
membangun rumah di atasnya
b) Orang asing dapat pula memperoleh hak pakai atas tanah hak milik atau hak sewa
untuk bangunan atau persetujuan penggunaan tanah dalam bentuk lain dari
pemegang hak milik
c) Dalam hal rumah hunian atau tempat tinggal yang akan dipunyai oleh orang asing
berbentuk satuan rumah susun, maka orang asing yang bersangkutan harus
membeli hak milik atas satuan rumah susun yang dibangun di atas hak pakai atas
tanah negara
Pembatasan pemilikan rumah/satuan rumah susun oleh orang asing :
a) Rumah/satuan rumah susun harus dihuni sendiri
b) Harus dihuni selama sekurang-kurangnya 30 hari kumulatif dalam satu tahun
kalender
c) Rumah dapat disewakan melalui perusahaan Indonesia berdasarkan perjanjian
antara orang asing sebagai pemilik rumah dengan perusahaan tersebut.
BAB III
KESIMPULAN

Ada batasan-batasan bagi orang asing untuk dapat memiliki hunian tempat tinggal
terutama hunian rumah susun. Rumah susun dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna
bangunan atau hak pakai atas tanah Negara dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak
pengelolaan seperti yang diatur dalam pasal 17  Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun (UURS). Hal kepemilikan satuan rumah susun yang diatur dalam pasal 46
UURS, menyebutkan bahwa Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak milik atas sarusun
yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.
Hal ini menyebutkan bahwa satuan rumah susun dapat dimiliki oleh perseorangan
atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Maksud dari hak
atas tanah adalah hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), seperti hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai, dan sebagainya. Hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh
orang asing dan/atau badan hukum asing adalah hak pakai.
Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA, hak pakai adalah: Hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini (UUPA). Jangka
waktu Hak Pakai atas tanah negara adalah dua puluh lima (25) tahun, dan dapat diperpanjang
lagi dua puluh lima (25) tahun atau diberikan jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang ditentukan dalam pasal tersebut di atas. Jangka
waktu Hak Pakai diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dasar hukum
pengaturan kepemilikan satuan rumah susun oleh orang asing yang berkedudukan di
Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Atau
Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
Dalam Pasal 1 PP No. 41 Tahun 1996 diatur bahwa orang asing yang berkedudukan di
Indonesia yang dapat memiliki sebuah hunian adalah orang asing yang kehadirannya di
Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing dan/atau badan
hukum asing yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia hanya dapat memiliki satuan
rumah susun di Indonesia yang dibangun di atas hak pakai atas tanah negara, seperti yang
diatur dalam Pasal 2 butir (2) PP No. 41 Tahun 1996. Orang asing dan/atau badan hukum
asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki satuan rumah susun yang dibangun di
atas tanah dengan status hak pakai atas tanah Negara dengan syarat dan jangka waktu tertentu
sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas. Selain persyaratan tersebut, terdapat satu
persyaratan lagi yang diatur oleh peraturan turunan PP No. 41/1996, yaitu Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (“Peraturan MNA/BPN
7/1996”). Pasal 2 ayat (2) Peraturan MNA/BPN 7/1996 berbunyi: “Rumah yang dapat
dibangun atau dibeli dan satuan rumah susun yang dapat dibeli oleh orang asing dengan
hak atas tanah adalah rumah atau satuan rumah susun yang tidak termasuk klasifikasi
rumah sederhana atau rumah sangat sederhana.”
Kriteria rumah sederhana (RS) atau rumah sangat sederhana (RSS) menurut Pasal 1
huruf d Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 15 Tahun
1997 antara lain:
a) harga perolehan tanah dan rumah tidak lebih dari pada Rp 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah),
b) luas tanah tidak lebih dari pada 200 M2, di daerah perkotaan dan tidak lebih dari pada
400 M2, untuk di luar daerah perkotaan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa WNA dapat memiliki hak atas
satuan rumah susun (HMSRS) hanya apabila tanah tempat bangunan rumah susun itu berdiri
berstatus sebagai hak pakai atas tanah negara sebagaimana yang diatur dalam PP 41/1996.
Syarat lain yang juga perlu diperhatikan oleh WNA sebelum memiliki HMSRS adalah bahwa
kriteria satuan rumah susun yang dapat dibeli WNA adalah tidak termasuk klasifikasi yang
terdapat dalam Peraturan MNA/BPN 7/1996 seperti yang telah duraikan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang
- Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA).
- Undang-undang No 1 Tahun 2011 (UU Perumahan dan Kawasan Permukiman).
- Undang-undang No. 20 Tahun 2011 (UU Rumah Susun).
- Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1999.
- Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna -   
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tampat Tinggal
atau Tempat Hunian Bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Buku
- Kallo, Erwin, Panduan Hukum untuk pemilik / Penghuni Rumah Susun
(Kondominium, Apartemen dan Rusunami), Minerva Athena Pressindo, Jakarta,
Tahun 2009.
- Sumardjono, Maria S.W, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah beserta
Bangunan Bagi WNA dan Badan Hukum Asing, Kompas Media Nusantara, Jakarta,
Tahun 2007.

Anda mungkin juga menyukai