PENDAHULUAN
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philo dan sophia. Philo berarti
cinta dan sophia berarti hikmat (kebijakan) atau kebenaran. Jadi,
filsafat berarti cinta kebijakan atau kebenaran.
PEMBAHASAN
Dilihat dari segi bahasa, maka perkataan “filsafat” adalah bentuk kata Arab yang
berasal dari bahasa Yunani “philosophia”, yang merupakan kata majemuk. Philo berarti
suka atau cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan, jadi arti menurut namanya saja :
cinta kepada kebijaksanaan.
3
Ya’qub, Hamzah. 1991. FILSAFAT AGAMA Titik Temu Akal Dengan Wahyu. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya,
hlm. 2.
Tegasnya, Ketuhanan adalah suatu kebenaran yang logis yang dapat dibuktikan
melalui kaidah-kaidah logika. Dengan melihat adanya berbagai istilah yang
dipergunakan dalam masalah Ketuhanan ini dapatlah diketahui betapa besar perhatian
dan usaha manusia menyelidiki Ada dan Esa-Nya Tuhan. Demikianlah, maka penulis
W. Durrant mengemukakan: Dalam segala bangsa yang telah mempunyai kecerdasan
akal-fikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan dari zaman purba sampai zaman sekarang
ini, tidak jemu, tidak puas dan tidak henti-hentinya orang mencari-cari alasan-alasan
untuk menetapkan keadaan Allah dengan bukti-bukti yang cukup untuk budi dan
fikirannya.
Sesuatu ilmu dipelajari karena ada manfaatnya, Kian sadar seorang akan gunanya
kian sabar pula mempelajarinya. Demikianlah halnya dengan Filsafat Ketuhanan
sebagai suatu cabang filsafat mempunyai manfaat tertentu. Manfaat-manfaat itu antara
lain dapat mengetahui bukti-bukti adanya Tuhan menurut akal pikiran, mengetahui
sistim dan metode masing-masing ahli pikir (filosof) yang tunjang-menunjang
membuktikan adanya Tuhan dengan argumentasi logika. Berikut beberapa manfaat
yang didapat ketika kita mempelajari Filsafat Ketuhanan.
Dalam perspektif Juhaya S. Praja, baik agama maupun filsafat pada dasarnya
mempunyai kesamaan. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni mencapai
kebenaran yang sejati. Namun di balik kesamaan itu, terdapat pula sejumlah perbedaan
antara keduanya.
Walaupun antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan
kebenaran yang dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan
filsafat. Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda. Di satu pihak agama
beralatkan kepercayaan, di pihak lain filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan
potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukuran kebenaran, yaitu
akal manusia6.
5
Ya’qub, Hamzah. 1991. FILSAFAT AGAMA Titik Temu Akal Dengan Wahyu. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya,
hlm. 13-15.
6
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 16.
Bab ini akan memfokuskan tentang hubungan agama dan filsafat. Ada beberapa
paradigma yang disuguhkan tentang hubungan dan filsafat, di sini mencakup paradigma
parsialistik, subordinatif, dan integralistik. Tulisan ini akan mengambil posisi
paradigma integratif. Dengan alasan tersebut, di akhir bab akan dieksplorasi lebih dalam
mengenai paradigma integratif dari perspektif islam.
7
Zaprulkhan. 2013. FILSAFAT UMUM Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
hlm. 43-44
filsafat, secara menyeluruh(muthrodah). Sementara, ilmuwan-ilmuwan barat
berpandangan perbedaan antara agama dan filsafat adalah sebagai berikut:
1. Filsafat dianut manusia kelas elit, yaitu orang-orang yang mempunyai akal atau
kemampuan berpikir cemerlang. Sementara agama dianut oleh kelas rendah(grassroot),
masyarakat kebanyakan. Mereka mengatakan bahwa tidak heran jika pertumbuhan
agama, kehidupan pembawa agama dan kondisi-kondisi ketika buku-buku agama
dituliskan, tidak terlepas dari catatan-catatan suram. Filsafat tidak mengalami ini, malah
kebalikannya.
2. Agama diwarisi oleh manusia dari pendahulunya, sementara filsafat diperoleh dari
kegiatan berpikir dan perenungan, yang terkadang bertentangan dengan keyakinan yang
diwariskan.
3. Falsafah selalu berevolusi, sementara agama cenderung kepada stagnan, tidak
berkembang. Hal ini wajar karena penganut agama tidak akan mau mengubah
keyakinannya setiap hari atau “mempertanyakan” ulang imannya, lebih-lebih penganut
agama yang mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai wahyu Tuhan.
4. Agama tidak terlepas dari manifestasi sosial, berupa perayaan-perayaan, sebagai
tanda keterikatan penganutnya. Ide-ide agama juga butuh kepada bentuk ritual tertentu,
atau lambang-lambang tertentu, sebagai jalan bagi penganut
untuk merenew “perjanjian” keberagamaannya, yang selalu berpotensi untuk “terlupa”
karena kesibukan kehidupan duniawi. Sementera, filsafat tidak berhajat kepada ritual
atau perayaan seperti ini. Karena akidah filsafat selalu hadir dalam diri seorang filosuf
di hampir semua waktu dalam hidupnya. Filsafat juga tidak butuh kepada simbol
tertentu, karena akal tidak mewajibkan itu, dan kalau ternyata ditemui ada, maka itu
adalah sebuah penyimpangan dalam berfikir filsafat.
5. Agama hidup dan berkembang dengan naungan kekuatan atau kekuasaan, seperti
negara/kerajaan Filsafat hidup dalam alam bebas (tidak terikat)8.
B. Saran
https://www.academia.edu/34621919/BUKU_FILSAFAT_AGAMA_Prof
Ya’qub, Hamzah. 1991. FILSAFAT AGAMA Titik Temu Akal Dengan Wahyu. Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya, hlm. 1, 2, 9-10, 13-15
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 16.
Zaprulkhan. 2013. FILSAFAT UMUM Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, hlm. 43-44.
https://www.kompasiana.com/deny_goler/55123dd9a333115e56ba81aa/antara-filsafat-
dan-agama