Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir Deterr PDF
Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir Deterr PDF
Dosen:
Dr. Arry Bainus, S.IP., M.A.
Wawan Budi Darmawan, S.IP., M.Si.
Nuraeni Suparman, S.IP., M.Hum.
Disusun oleh:
Syera Anggreini Buntara
Pendahuluan…………………………………………………………………………………...1
Sejarah Proliferasi Senjata Nuklir: Self-Help, Balance of Power, dan Security Dilemma.........1
Realisme: Senjata Nuklir sebagai Deterrence.............................................................................5
Liberalisme: Pengembangan Senjata Nuklir adalah Irasional.....................................................6
Neoliberalisme: Traktat Nonproliferasi Nuklir...........................................................................7
Konstruktivisme: Prinsip Nuclear Taboo...................................................................................8
Simpulan....................................................................................................................................11
Daftar Pustaka............................................................................................................................13
! i!
!
!
Pendahuluan
Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 merupakan salah satu peristiwa
dahsyat yang menggemparkan dunia. Hal ini dikarenakan dampak kerusakan dan korban
yang ditimbulkan oleh senjata nuklir sangat berlimpah. Sebagai salah satu dari kategori
Weapons of Mass Destruction (WMD), senjata nuklir memiliki potensi mematikan yang
luar biasa (Goldstein & Pevehouse, 2014: 209). Menurut data Manhattan Engineer
District’s, dari total populasi Hiroshima sebelum pengeboman sebanyak 255.000 orang,
sebanyak 66.000 orang meninggal dunia dan 69.000 orang terluka. Sedangkan total
populasi Nagasaki sebelum pengeboman adalah 195.000 orang dengan korban meninggal
dunia 39.000 orang dan korban terluka 25.000 orang (Atomic Archive, n.d.). Jumlah
korban tersebut belum mencakup orang-orang yang selamat tetapi mengalami dampak
penderitaan jangka panjang radiasi nuklir yang memengaruhi kesehatannya.
Sepanjang sejarah, peristiwa Hiroshima dan Nagasaki merupakan pertama kali dan
terakhir kalinya di mana senjata nuklir digunakan. Semenjak Pengeboman Hiroshima dan
Nagasaki hingga saat ini, belum ada negara-negara yang menggunakan senjata nuklirnya
untuk menyerang negara lain. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan negara-negara
tidak menggunakan senjata nuklirnya?
Esai ini akan menelaah sejarah proliferasi senjata nuklir melalui perspektif realisme dan
akan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan negara tidak menggunakan senjata
nuklirnya. Adapun analisis faktor-faktor tidak digunakannya senjata nuklir tersebut akan
dipaparkan oleh penulis dengan menggunakan perspektif realisme, liberalisme, dan
konstruktivisme.
! 1!
!
!
1945 di New Mexico. Dengan berhasilnya uji coba senjata nuklir ini, Amerika Serikat
menjadi negara pertama yang sukses mengembangkan senjata nuklir. Keberhasilan uji
coba senjata nuklir ini sekaligus menandai dimulainya era nuklir atau yang biasa disebut
dengan nuclear age (Petersen, 2012: 93; International Campaign to Abolish Nuclear
Weapons, n.d.).
Senjata nuklir yang berhasil dikembangkan saat uji coba tersebut digunakan Amerika
Serikat untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II dengan tujuan
agar membuat Jepang menyerah tanpa syarat. Ledakan Hiroshima dan Nagasaki ini
memunculkan kekhawatiran Uni Soviet bahwa Amerika Serikat mungkin akan
menyerang Uni Soviet dikarenakan persaingan ideologi antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Maka dari itu, pasca ledakan Hiroshima dan Nagasaki, Uni Soviet
mengalokasikan dana yang lebih pada program pengembangan senjata nuklirnya. Pada
tanggal 29 Agustus 1949, Uni Soviet berhasil melakukan uji coba pertama senjata
nuklirnya di Semipalatink, Kazakhstan. Dengan berhasilnya uji coba ini, Uni Soviet
menjadi negara kedua yang sukses mengembangkan senjata nuklir (International
Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.).
Proliferasi senjata nuklir tidak berhenti sampai di sini. Setelah Uni Soviet, Inggris dan
Prancis juga turut mengembangkan senjata nuklir. Pengembangan senjata nuklir Inggris
dan Prancis didorong oleh dua alasan utama. Pertama, sebelum Uni Soviet berhasil
mengembangkan senjata nuklir, Inggris dan Prancis berada di bawah jaminan keamanan
nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat melalui NATO. Setelah Uni Soviet berhasil
mengembangkan senjata nuklir, Inggris dan Prancis merasa tidak aman berlindung di
bawah Amerika Serikat karena Amerika Serikat bukan lagi menjadi negara satu-satunya
yang memiliki senjata nuklir. Uni Soviet memiliki kapabilitas untuk menyaingi senjata
nuklir Amerika Serikat. Kedua, Prancis meragukan komitmen Amerika Serikat dalam
menjaga kepentingan keamanan Prancis. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat tidak
membantu Prancis dalam Pertempuran Dien Bien Phu pada tahun 1954 dan Krisis Suez
pada tahun 1956. Kedua alasan ini mendorong Inggris dan Prancis untuk tidak lagi
bergantung pada Amerika Serikat dan mengembangkan senjata nuklirnya sendiri
(Petersen, 2012: 97). Inggris berhasil mengembangkan senjata nuklir pertamanya pada 3
! 2!
!
!
Setelah Inggris dan Prancis, Tiongkok ikut mengembangkan senjata nuklir. Keputusan
Tiongkok untuk mengembangkan senjata nuklir didorong oleh keresahan Tiongkok
bahwa Amerika Serikat mungkin menyerang Tiongkok pasca Perang Korea yang terjadi
antara tahun 1950 sampai 1953. Tiongkok akhirnya berhasil melakukan uji coba senjata
nuklir pertamanya di Lop Nor, Provinsi Xinjiang, pada tahun 16 Oktober 1964.
Dikarenakan hubungan Tiongkok dan India kurang baik karena saat itu keduanya sedang
berselisih memperebutkan wilayah Arunachal Pradesh, maka untuk merespon Tiongkok
yang merupakan saingannya, India juga mengembangkan senjata nuklir. Di samping
alasan tersebut, India juga mengembangkan senjata nuklir untuk tujuan status dan prestise
agar India diakui oleh dunia sebagai emerging great power. India berhasil melakukan uji
coba senjata nuklir pada 18 Mei 1974. Menanggapi keberhasilan India, Pakistan yang
merupakan saingan India merasa tidak aman dan memutuskan untuk mengembangkan
senjata nuklir. Pakistan juga akhirnya berhasil mengembangkan senjata nuklir pada 1998.
(International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, n.d.).
Proliferasi nuklir dapat ditinjau dari sudut pandang realisme yang menekankan pada
konsep power dan prinsip 3S, yaitu statism, survival, dan self-help. Realisme percaya
bahwa power merupakan elemen terpenting yang harus dimiliki oleh negara agar dapat
menjamin keberlangsungan (survival) negaranya. Di tengah kondisi sistem internasional
yang anarki dan tidak menentu, negara harus berupaya meningkatkan power-nya.
Realisme klasik menggambarkan perilaku negara sebagai struggle for power
(Morgenthau, 1985). Senjata nuklir dianggap sebagai salah satu bentuk power sebuah
negara. Negara yang memiliki senjata nuklir dapat meningkatkan statusnya dalam sistem
internasional.
Amerika Serikat yang semula menjadi negara satu-satunya yang memiliki senjata nuklir
menikmati posisi di mana negara-negara berlindung di bawah Amerika Serikat. Namun,
ketika Uni Soviet mengembangkan senjata nuklir, Amerika Serikat tidak lagi menjadi
negara satu-satunya yang memiliki senjata nuklir. Kondisi ini memengaruhi status
! 3!
!
!
Amerika Serikat dalam sistem internasional. Sistem internasional yang awalnya unipolar
di mana Amerika Serikat menjadi hegemon mulai bergeser menjadi bipolar dengan
Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai great power.
Upaya setiap negara untuk mencapai balance of power demi menjamin keamanan negara
seringkali menimbulkan security dilemma. John H. Herz mendeskripsikan security
dilemma sebagai sebuah kondisi di mana upaya negara untuk meningkatkan kebutuhan
keamanan mereka, walaupun tidak berniat untuk mengancam negara lain, cenderung
menimbulkan peningkatan rasa ketidakamanan bagi negara lain karena setiap negara
menafsirkan tindakannya sendiri sebagai defensif dan menafsirkan langkah-langkah yang
diambil oleh negara lain sebagai ofensif atau berpotensi mengancam (Herz, 1951: 7).
Dalam konteks proliferasi nuklir, pengembangan senjata nuklir oleh Amerika Serikat
menimbulkan rasa tidak aman bagi Uni Soviet. Uni Soviet lalu berupaya mengimbangi
Amerika Serikat dengan ikut mengembangkan senjata nuklir juga. Pengembangan senjata
nuklir oleh Uni Soviet didasarkan akan tujuan untuk menjamin keamanan dan
keberlangsungan Uni Soviet. Namun, setiap peningkatan power, walaupun ditujukan
untuk keamanan negara sendiri atau defensif dan tidak ditujukan untuk menyerang negara
lain, akan tetap dianggap sebagai potensi ancaman bagi negara lain. Dalam hal ini, Inggris
! 4!
!
!
dan Prancis merasa pengembangan senjata nuklir oleh Uni Soviet sebagai potensi
ancaman terhadap keamanan negaranya sehingga Inggris dan Prancis juga
mengembangkan senjata nuklir.
Sesuai dengan pandangan neorealisme bahwa kondisi sistem internasional yang penuh
dengan ketidakpastian membuat negara-negara tidak dapat memprediksi perilaku negara
lain dan membuat negara menjadi saling tidak percaya terhadap negara lain (Baylis et al,
2008: 935). Oleh karena itu, untuk menjaga keamanan negara, negara harus self-help.
Pengembangan senjata nuklir oleh Inggris dan Prancis menandakan adanya upaya untuk
self-help. Sebelumnya, ketika Amerika Serikat merupakan pemilik senjata nuklir satu-
satunya di dunia, Inggris dan Prancis bergantung pada perlindungan yang diberikan oleh
Amerika Serikat melalui NATO. Namun, ketika Uni Soviet berhasil mengembangkan
senjata nuklir, Inggris dan Prancis merasa tidak aman. Ditambah lagi Prancis meragukan
komitmen Amerika Serikat yang berjanji akan membantu menjaga keamanan Prancis,
tetapi tidak terbukti karena Amerika Serikat tidak membantu Prancis dalam Pertempuran
Dien Bien Phu tahun 1954 dan Krisis Suez pada tahun 1956. Kedua faktor ini membuat
Inggris dan Prancis tersadar bahwa untuk menjunjung keamanan nasionalnya, mereka
tidak dapat bergantung pada negara lain.
! 5!
!
!
terlibat dalam perang tersebut (Petersen, 2012: 94). Doktrin MAD menjelaskan mengapa
Amerika Serikat dan Uni Soviet dapat tetap menjaga kondisi “damai” dengan tidak
menggunakan senjata nuklirnya pada saat Perang Dingin.
Namun, prinsip deterrence ini menuai kritik dari kaum liberalis dan konstruktivis.
Pertama, kritik dari kaum liberalis adalah memiliki senjata nuklir yang ditujukan untuk
deterrence bukanlah tindakan yang rasional. Selanjutnya liberalisme menjelaskan tentang
kemungkinan negara-negara bekerja sama untuk menggunakan nuklir hanya untuk tujuan
perdamaian melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan Traktat Nonproliferasi
Nuklir.
Kedua, kritik dari kaum konstruktivis adalah berkaitan dengan keefektifan prinsip
deterrence. Apakah prinsip deterrence benar-benar dapat menjelaskan mengapa sebuah
negara tidak menggunakan senjata nuklirnya? Esensi dari Teori Deterrence adalah
senjata nuklir tidak akan pernah digunakan di dunia di mana dua atau lebih negara
memiliki senjata nuklir (Waltz, 2003a: 16). Apabila benar demikian, maka ada
kemungkinan bahwa senjata nuklir akan digunakan untuk menyerang negara yang tidak
memiliki senjata nuklir karena negara yang diserang tidak akan dapat melakukan
pembalasan. Akan tetapi, pada kenyataannya, negara yang memiliki senjata nuklir tidak
menggunakan senjata nuklirnya untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata
nuklir. Hal ini dapat diamati pada peristiwa Perang Vietnam tahun 1955 sampai 1975,
Perang Teluk pada tahun 1991, perang di Afghanistan pada tahun 2002, dan perang di
Irak pada tahun 2003, di mana Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklirnya
dalam perang-perang tersebut. Terlebih lagi, apabila mengikuti logika prinsip deterrence,
maka negara yang tidak memiliki senjata nuklir tidak akan menyerang negara yang
memiliki senjata nuklir karena akan ada ancaman pembalasan oleh negara pemilik senjata
nuklir. Hal ini juga tidak terbukti pada saat Perang Korea yang terjadi antara tahun 1950
sampai 1953, di mana Tiongkok menyerang tentara Amerika Serikat (Tannenwald, 2008:
2-3). Oleh karena itu, muncul prinsip Nuclear Taboo yang menjelaskan mengapa negara
tidak menggunakan senjata nuklirnya.
! 6!
!
!
NPT adalah sebuah kesepakatan yang mencakup tiga pilar utama, yaitu: nonproliferasi,
penggunaan energi nuklir untuk tujuan perdamaian, dan perlucutan senjata nuklir. NPT
mulai ditandatangani pada tahun 1968 dan mulai beroperasi pada tahun 1970. Saat ini
negara anggota NPT adalah sebanyak 190 negara termasuk lima negara pemilik senjata
nuklir, yaitu Amerika Serikat, Russia, Inggris, Prancis, dan Tiongkok (British American
! 7!
!
!
Security Information Council, 2015). Sebelum adanya NPT, norma nonproliferasi tidak
memiliki platform yang signifikan untuk diaplikasikan. Dengan adanya NPT, norma
nonproliferasi dapat diaktivasi. Norma dalam perspektif neoliberalisme dipandang
sebagai standar perilaku yang didefinisikan dalam wujud hak dan kewajiban (Keohane,
1984: 57).
NPT merupakan suatu governance yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan agar
dapat mewujudkan collective security. 1 Untuk menciptakan keteraturan tersebut, NPT
memiliki norma dan menerapkan norma tersebut dengan cara memberikan hak dan
kewajiban bagi negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapons State/NWS) dan negara
yang tidak memiliki senjata nuklir (Non-Nuclear Weapons State/NNWS). NWS
berkewajiban untuk tidak menyebarkan informasi, pengetahuan, dan teknologi senjata
nuklir kepada NNWS serta bersedia mengurangi senjata nuklirnya. Sedangkan NNWS
berkewajiban untuk tidak menerima teknologi senjata nuklir dari NWS dan tidak
mengembangkan senjata nuklir. NWS dan NNWS memiliki hak untuk mengakses
teknologi atau energi nuklir hanya untuk tujuan perdamaian sipil (NTI, 2015).
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
1
Collective security adalah sebuah sistem untuk menjaga perdamaian melalui kumpulan negara-
negara yang berdaulat di mana negara-negara berjanji untuk membela satu sama lain dengan
prinsip an attack against one is an attack against all
(http://www.americanforeignrelations.com/A-D/Collective-Security.html)
! 8!
!
!
Prinsip Nuclear Taboo pertama kali diperkenalkan oleh Nina Tannenwald. Nuclear
Taboo menjelaskan mengapa senjata nuklir tidak digunakan dengan menggunakan
pendekatan moralitas. Ditinjau dari maknanya, kata taboo berarti bahwa ada larangan
yang sangat keras untuk menjaga orang-orang dari konsekuensi bahaya pelanggaran
tersebut. Berdasarkan prinsip Nuclear Taboo, negara-negara tidak menggunakan senjata
nuklir karena senjata nuklir termasuk kategori Weapons of Mass Destruction dan
distigmatisasi sebagai senjata penghancur massal yang imoral. Karena stigma ini, negara-
negara terikat oleh norma-norma bahwa negara yang beradab tidak akan menggunakan
senjata nuklir mengingat dampak penggunaan senjata tersebut yang sangat tidak
berperikemanusiaan (Sauer, 2015: 24-25).
Berbeda dengan pandangan realisme yang menganggap cara preventif untuk menjaga
negara agar tidak menggunakan senjata nuklirnya dengan prinsip deterrence, perspektif
konstruktivisme melalui prinsip Nuclear Taboo menjelaskan bahwa untuk membuat
negara tidak menggunakan senjata nuklirnya, perlu dibentuk norma yang medelegitimasi
senjata nuklir sehingga menimbulkan ketidaksetujuan moral di masyarakat terhadap
senjata nuklir. Konstruktivisme juga menekankan pentingnya institusionalisasi norma,
yaitu proses yang mengabsahkan sebuah norma sehingga norma dapat diinternalisasi.
Adapun contoh institusionalisasi norma Nuclear Taboo diwujudkan melalui perjanjian
multilateral, seperti NPT, dan juga Traktat regional yang mendukung NWZF, seperti
Traktat Bangkok, Traktat Pelindaba, dan traktat-traktat lainnya (UNODA, 2016).
! 9!
!
!
Sekilas prinsip ini terlihat sangat lemah dalam menjelaskan keputusan sebuah negara
untuk tidak menggunakan senjata nuklir. Namun, prinsip Nuclear Taboo memiliki dua
efek yang menjelaskan tidak digunakannya senjata nuklir, yaitu efek regulatif dan efek
konstitutif. Pertama, efek regulatif berupa norma yang memengaruhi pengambilan
kebijakan. Seseorang pengambil kebijakan harus mampu menjelaskan mengapa ia
mengambil kebijakan tersebut. Dalam konteks senjata nuklir, pengambil kebijakan harus
mampu menjelaskan mengapa ia memutuskan untuk menggunakan atau tidak
menggunakan senjata nuklir. Tekanan dari publik bahwa nuklir itu tabu berubah menjadi
keyakinan dalam masyarakat tentang apa yang benar dan apa yang salah – menggunakan
senjata nuklir adalah salah, dan tidak menggunakan senjata nuklir adalah benar –
sehingga menimbulkan kewajiban untuk berperilaku sesuai dengan norma. Maka dari itu,
seorang pengambil kebijakan memiliki beban moral untuk menjelaskan keputusannya
(Sauer, 2015: 26).
Kedua, efek konstitutif berupa identitas negara yang dibentuk melalui stigmatisasi senjata
nuklir. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dampak kerusakan akibat senjata
nuklir sangat dahsyat dan tidak berperikemanusiaan sehingga negara yang menggunakan
senjata nuklir dapat dianggap sebagai negara yang tidak beradab. Sebaliknya, negara yang
menaati norma nuklir tabu, memeroleh identitas sebagai negara yang beradab. Atas dasar
ini, negara berupaya untuk membentuk identitasnya (Sauer, 2015: 26; Wendt, 1992: 412-
415).
! 10!
!
!
Hersey yang berjudul Hiroshima diterbitkan di The New Yorker pada tanggal 31 Agustus
1946. Artikel Hersey seketika langsung diperbanyak dan dicetak ulang di berbagai media
dan disiarkan melalui radio. Artikel Hersey menggambarkan penderitaan yang dialami
oleh korban bom di Hiroshima. Artikel ini menjadi permulaan yang memberikan
pengetahuan tentang sisi moralitas senjata nuklir dan mengonstruksi individu bahwa
penggunaan senjata nuklir sangat tidak bermoral (Tannenwald, 2007: 92-93). Mengingat
dampak kerusakan yang timbul akibat senjata nuklir, selanjutnya norma tabu tersebut
diperkuat dengan adanya perjanjian atau peraturan yang membatasi pengembangan
senjata nuklir, salah satunya dengan Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT).
Dengan demikian, konstruksi yang dibentuk melalui norma Nuclear Taboo berhasil
memengaruhi individu dan negara dalam memandang sisi moralitas senjata nuklir
sehingga memengaruhi keputusan negara untuk tidak menggunakan senjata nuklir.
Simpulan
Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme memiliki perspektif yang berbeda terkait
mengapa negara tidak menggunakan senjata nuklir. Realisme lebih menekankan pada
prinsip deterrence, yaitu mencegah musuh untuk tidak menyerang dengan ancaman
pembalasan, dan prinsip mutually assured destruction, yaitu bahwa negara tidak akan
saling serang apabila sama-sama memiliki senjata nuklir karena serangan yang terjadi
antarnegara yang memiliki senjata nuklir akan menimbulkan kerusakan yang sama-sama
dahsyat bagi kedua pihak. Dengan demikian, realisme mendukung negara-negara untuk
mengembangkan senjata nuklir karena kepemilikan senjata nuklir justru mencegah
negara-negara untuk saling serang.
! 11!
!
!
! 12!
!
!
DAFTAR PUSTAKA
Dari buku
Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (2008). The Globalization of World Politics. Oxford:
Oxford University Press.
Dunne, T., Kurki, M., & Smith, S. (2011). International Relations Theories. Oxford:
Oxford University Press.
Goldstein, J.S. & Pevehouse, J.C. (2014). International Relations, Tenth Edition.
Madison: Pearson.
Herz, John H. (1951). Political Realism and Political Idealism. Cambridge: Cambridge
University Press.
Kegley, C.W. & Blanton, S.L. (2011). World Politics: Trend and Transformation.
Boston, MA: Wadsworth.
Keohane, R. O. (1984). After hegemony: cooperation and discord in the world political
economy. Chichester: Princeton University Press.
Morgenthau, H.J. & Thompson, K.W. (1985). Politics Among Nations: The Struggle for
Power and Peace. New York: Knopf.
Olson, L. (2010). Fiscal Year 2011 Defense Spending Request: Briefing Book.
Washington: The Center For Arms Control and Non-Proliferation.
Paul, T.V. (2009). The Tradition of Non-Use of Nuclear Weapons. Stanford: Stanford
University Press.
Petersen, B.C. (2012). The Nuclear Non-Proliferation Treaty. Cape Town: University
of Western Cape.
! 13!
!
!
Rose, K.D. (2001) One Nation Underground: The Fallout Shelter in American Culture.
New York: New York University Press.
Sauer, F. (2015). Atomic Anxiety: Deterrence, Taboo, and the Non-Use of US Nuclear
Weapons. New York: Palgrave Macmillan.
Waltz, K.N. (2003a). ‘More May Be Better’ in S.D. Sagan and K.N. Waltz (eds.) The
Spread of Nuclear Weapons. A Debate Renewed, 2nd Edition. New York: W.W.
Norton.
Weart, S.R. (1988). Nuclear Fear: A History of Images. Cambridge: Harvard University
Press.
! 14!
!
!
NTI. (2015). Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT). Diakses dari
http://www.nti.org/learn/treaties-and-regimes/treaty-on-the-non-proliferation-of-
nuclear-weapons/ pada 15 Juni 2016, pk. 09.00 WIB
! 15!