Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

FARMAKOTERAPI II (NYERI)

“Diajukan Untuk Memenuhi tugas Farmakoterapi II”

Dosen Pengampu :

Shinta Mayasari S.Farm.,M.Klin.,Apt

Disusun Oleh:

Anindita Abrianti (17040051)

Nabilla Hermawanti K.S (17040075)


Wahyu Febri (170400)

PROGRAM STUDI SI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER

YAYASAN PENDIDIKAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL

TAHUN 2019/2020

Jl.dr. Soebandi No. 99 Jember, Telp/Fax. (0331) 483536

E_mail : jstikesdr.soebandi@yahoo.comLaman: www.stikesdrsoebandi.ac.id


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanyalah dengan berkat dan
rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyususnan makalah yang berjudul “Nyeri”.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memenuhi tugas
Farmokoterapi II. Selain itu makalah ini diharapakan dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca dan untuk menambah pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan.
Dalam penulisan makalah ini terdapat banyak hambatan yang penulis hadapi, namun
berkat bantuan dan kerjasama dari teman-teman sehingga akhirnya, penulisan makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Minggu, 29 Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri merupakan yang keluhan paling sering diutarakan oleh pasien saat datang untuk
berobat. Penelitian yang dilakukan pada bulan Mei 2002 di Poli Rawat Jalan Saraf pada 14
rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan 4.456 orang (25% total kunjungan)
merupakan pasien dengan keluhan nyeri dengan 1.598 orang (35,86%) datang dengan keluhan
nyeri kepala dan 819 orang (18,37%) datang dengan keluhan nyeri punggung bawah.
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri timbul sebagai bentuk respon sensori
setelah menerima rangsangan nyeri. Nyeri dapat disebabkan karena adanya kerusakan jaringan
dalam tubuh sebagai akibat dari adanya cedera, kecelakaan, maupun tindakan medis seperti
operasi (Ratnasari, 2013). Nyeri merupakan masalah yang besar bagi kesehatan dunia, dimana
diperkirakan 1 dari 5 orang dewasa menderita nyeri dan 1 dari 10 orang dewasa didiagnosa
dengan nyeri kronis tiap tahunnya. Empat penyebab utama nyeri adalah kanker, osteo dan
reumatoid artritis, operasi dan trauma, serta masalah spinal (Goldberg & McGee, 2011).
Bagi dokter, nyeri adalah suatu masalah yang membingungkan. Selain itu nyeri merupakan
alasan tersering yang dikeluhkan pasien ketika berobat kedokter. Banyak institusi sekarang
menyebut nyeri sebagai tanda vital kelima (fifth vital sign), dan mengelompokkannya bersama
tandatanda klasik seprti : suhu, nadi, dan tekanan darah. Milton mengatakan “Pain is perfect
miserie, the worst / of evil. And excessive, overture / All patience”. Sudah menjadi kewajaran
bahwa manusia sejak awal berupaya sedemikian untuk mengerti tentang nyeri dan mencoba
mengatasinya (Bonica & Loeser, 2001).
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer,
perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan
penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat
empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Klasifikasi nyeri
dibedakan menjadi akut dan kronik berdasarkan waktu terjadinya serta dibedakan menjadi
nosiseptif dan neuropatik berdasarkan patofisiologinya. Nyeri yang tidak tertangani dengan baik
dapat menimbulkan disabilitas pada pasien. Nyeri dapat ditatalaksana dengan pemberian obat,
blokade saraf dengan lokal anestesi, serta radiofrekuensi. Salah satu obat yang digunakan secara
luas adalah acetaminophen sebagai analgesik dan antipiretik oral. Obat lainnya yang juga
digunakan dalam tatalaksana nyeri adalah antidepressant.
Antidepresan diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu older antidepressants dan newer
antidepressants. Adapun yang termasuk ke dalam older antidepressants adalah Tricyclic
antidepressants (TCAs), sementara Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs), Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs), dan Selective Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs)
termasuk ke dalam golongan newer antidepressants.
Absorpsi acetaminophen dimulai dari traktus digestivus dan mencapai kadar plasma
puncak dalam 30-60 menit. Waktu paruh dicapai setelah 2-3 jam. Selanjutnya, obat ini
mengalami metabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Sebagian obat (80%) dikonjugasi dengan
asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu, obat ini mengalami
hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi tersebut dapat menyebabkan methemoglobinemia dan
hemolisis eritrosit. Eksresi acetaminophen melalui ginjal dalam bentuk terkonjugasi.
Akupresur merupakan salah satu teknik pengobatan tradisional Cina yang dapat
digunakan untuk menurunkan nyeri, mengobati penyakit dan cidera. Akupresur dilakukan
dengan memberikan tekanan fisik pada beberapa titik pada permukaaan tubuh yang merupakan
tempat sirkulasi energi dan keseimbangan pada kasus gejala nyeri. Teknik akupresur ini tidak
invasif, aman, dan efektif. Akupresur terbukti dapat mengurangi nyeri punggung,kepala,
osteoarthritis, otot, leher, nyeri pre-operasi dan postoperasi, mual muntah dan masalah tidur
(Yurdanur, 2012).
Ada beberapa teknik akupresur yang digunakan dalam menurunkan nyeri pada kelompok
intervensi yaitu sebagian besar akupresur dilakukan secara manual pada titik akupunktur tertentu
yaitu LI4 dan SP6 dimana kedua titik ini memiliki efek yang sangat besar dan sistemik jika
dibandingkan dengan titik akupunktur lainnya, beberapa jurnal spesifik menggunakan auricular
point acupressure (APA), collateral meridian acupressure therapy (CMAT) dan ada jurnal yang
menggunakan alat bantu seperti acupressure femi-band (gelang akupresur). Dari ke empat teknik
akupresur di atas semuanya memiliki prinsip dasar yang sama yaitu pemberian tekanan pada
titik-titik akupunktur yang ada dipermukaan tubuh. Beberapa jurnal membandingkan akupresur
dengan teknik penurun nyeri yang lain yaitu ice massage. Sedangkan untuk kelompok kontrol
menggunakan terapi standar yang biasa dilakukan atau plasebo. Lama tindakan akupresur
berdurasi antara 2 menit sampai 30 menit.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nyeri ?
2. Bagaimana patosifiologi pada nyeri ?
3. Bagaimana tata laksana terapi pada nyeri ?
4. Bagaimana evaluasi hasil terapi pada nyeri ?
C. Tujuan
1. Memahami tentang penyakit nyeri
2. Memahami patofiologi nyeri
3. Memahami tata laksana terapi pada nyeri
4. Memahami evaluasi hasil pada nyeri
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri timbul sebagai bentuk
respon sensori setelah menerima rangsangan nyeri. Nyeri dapat disebabkan karena
adanya kerusakan jaringan dalam tubuh sebagai akibat dari adanya cedera,
kecelakaan, maupun tindakan medis seperti operasi (Ratnasari, 2013). Nyeri
merupakan masalah yang besar bagi kesehatan dunia, dimana diperkirakan 1 dari 5
orang dewasa menderita nyeri dan 1 dari 10 orang dewasa didiagnosa dengan nyeri
kronis tiap tahunnya. Empat penyebab utama nyeri adalah kanker, osteo dan
reumatoid artritis, operasi dan trauma, serta masalah spinal (Goldberg & McGee,
2011).
Bagi dokter, nyeri adalah suatu masalah yang membingungkan. Selain itu nyeri
merupakan alasan tersering yang dikeluhkan pasien ketika berobat kedokter. Banyak
institusi sekarang menyebut nyeri sebagai tanda vital kelima (fifth vital sign), dan
mengelompokkannya bersama tandatanda klasik seprti : suhu, nadi, dan tekanan
darah. Milton mengatakan “Pain is perfect miserie, the worst / of evil. And excessive,
overture / All patience”. Sudah menjadi kewajaran bahwa manusia sejak awal
berupaya sedemikian untuk mengerti tentang nyeri dan mencoba mengatasinya
(Bonica & Loeser, 2001).
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Klasifikasi nyeri dibedakan menjadi akut dan kronik
berdasarkan waktu terjadinya serta dibedakan menjadi nosiseptif dan neuropatik
berdasarkan patofisiologinya. Nyeri yang tidak tertangani dengan baik dapat
menimbulkan disabilitas pada pasien. Nyeri dapat ditatalaksana dengan pemberian
obat, blokade saraf dengan lokal anestesi, serta radiofrekuensi. Salah satu obat yang
digunakan secara luas adalah acetaminophen sebagai analgesik dan antipiretik oral.
Obat lainnya yang juga digunakan dalam tatalaksana nyeri adalah antidepressant.
Antidepresan diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu older antidepressants dan
newer antidepressants. Adapun yang termasuk ke dalam older antidepressants adalah
Tricyclic antidepressants (TCAs), sementara Monoamine Oxidase Inhibitors
(MAOIs), Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), dan Selective
Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs) termasuk ke dalam golongan newer
antidepressants.
Absorpsi acetaminophen dimulai dari traktus digestivus dan mencapai kadar
plasma puncak dalam 30-60 menit. Waktu paruh dicapai setelah 2-3 jam. Selanjutnya,
obat ini mengalami metabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Sebagian obat (80%)
dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat.
Selain itu, obat ini mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi tersebut dapat
menyebabkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Eksresi acetaminophen
melalui ginjal dalam bentuk terkonjugasi.
Akupresur merupakan salah satu teknik pengobatan tradisional Cina yang dapat
digunakan untuk menurunkan nyeri, mengobati penyakit dan cidera. Akupresur
dilakukan dengan memberikan tekanan fisik pada beberapa titik pada permukaaan
tubuh yang merupakan tempat sirkulasi energi dan keseimbangan pada kasus gejala
nyeri. Teknik akupresur ini tidak invasif, aman, dan efektif. Akupresur terbukti dapat
mengurangi nyeri punggung,kepala, osteoarthritis, otot, leher, nyeri pre-operasi dan
postoperasi, mual muntah dan masalah tidur (Yurdanur, 2012).
Ada beberapa teknik akupresur yang digunakan dalam menurunkan nyeri pada
kelompok intervensi yaitu sebagian besar akupresur dilakukan secara manual pada
titik akupunktur tertentu yaitu LI4 dan SP6 dimana kedua titik ini memiliki efek yang
sangat besar dan sistemik jika dibandingkan dengan titik akupunktur lainnya,
beberapa jurnal spesifik menggunakan auricular point acupressure (APA), collateral
meridian acupressure therapy (CMAT) dan ada jurnal yang menggunakan alat bantu
seperti acupressure femi-band (gelang akupresur). Dari ke empat teknik akupresur di
atas semuanya memiliki prinsip dasar yang sama yaitu pemberian tekanan pada titik-
titik akupunktur yang ada dipermukaan tubuh. Beberapa jurnal membandingkan
akupresur dengan teknik penurun nyeri yang lain yaitu ice massage. Sedangkan untuk
kelompok kontrol menggunakan terapi standar yang biasa dilakukan atau plasebo.
Lama tindakan akupresur berdurasi antara 2 menit sampai 30 menit.
B. Patofisiologi Nyeri
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi
maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang
mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K
+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada
beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan
peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien,
prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga
rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia
atau allodynia).

Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga


bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi
oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan
akumulasi K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor.
Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal,
tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor
terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen
terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga
menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung
jawab untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan
nyeri. (Silbernagl & Lang, 2000).
Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator.
Neurotransmitter mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati rongga sinaps antara
dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat pula
mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator dipercaya bekerja secra tidak langsung
dengan meningkatkan atau menurunkan efek partokular neurotransmitter. (Anas
Tamsuri, 2006) Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls
nyeri antara lain adalah:

1. Neurotransmiter
a. Substansi P (Peptida)
Ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptide eksitator) berfungsi untuk
menstranmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan dapat menyebabkan vasodilatasi
dan edema.
b. Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri.
c. Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dipercaya dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
2. Neuromodulator

a. Endorfin (morfin endogen)


Merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh. Diaktivasi oleh daya
stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal. Berfungsi
memberi efek analgesic.
b. Bradikinin
Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada daerah yang
mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan
stimulus nyeri.Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi
pelepasan prostaglandin.

C. Tatalaksana Terapi
Tujuan penatalaksanaan nyeri
1. Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri.
2. Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis
yang  persisten.
3. Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri.
4. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri.
5. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien
untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.
Prinsip penatalaksanaan terapi nyeri
Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke
yang paling kuat, tahapannya:
Tahap I : analgesik non-opiat : AINS
Tahap II : analgesik AINS + ajuvan (antidepresan)
Tahap III :analgesik opiat lemah + AINS + ajuvan
Tahap IV :analgesik opiat kuat + AINS + ajuvan
Contoh ajuvan : antidepresan, antikonvulsan, agonis β2, dll.
 Nyeri nosiseptif 
Pada nyeri nosiseptif timbul akibat stimulasi reseptor nyeri yang berasal dari
organ visceral atau somatik. Stimulus nyeri berkaitan dengan inflamasi jaringan,
deformasi mekanik, injuri yang sedang berlangsung atau destruksi. Oleh karena itu
penting untuk mencari dan mengobati   jaringan yang rusak atau yang mengalami
inflamasi sebagai penyebab nyeri. Sebagai contoh,   pasien datang dengan nyeri
nosiseptif akibat polymyalgia rheumatic maka diberikan kortikosteroid sistemik.
Akan tetapi, sementara mencari penyebab nyeri, tidak ada pendapat yang melarang
pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri. Nyeri nosisepsi ini sendiri dapat
berupa akut maupun kronik.
Beberapa literatur mengemukakan bahwa nyeri nosisepsi yang akut itu  berupa
kerusakan soft tissue, atau inflamasi. Hal ini lebih mudah ditangani, yaitu dapat
dengan menghilangkan penyebab nyeri itu sendiri misalnya seperti yang
dikemukakan diatas, yaitu dengan pemberian opioid misalnya morfin, sedangkan
yang non-opioid dapat berupa aspirin yang mekanisme kerjanya menginhibisi
sintesis prostaglandin dan AINS, parasetamol. Selain itu dapat juga diberikan
analgesia regional baik secara sederhana yaitu dengan blok saraf dan anestesi lokal,
maupun dengan teknologi tinggi berupa epidural infussion dan anastetik opioid lokal.
 Nyeri akut
Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri
dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya.
Istilah ³pukul dulu, urusan   belakang´ tampak cukup tepat untuk menggambarkan
prinsip tatalaksana nyeri akut. Prinsip  pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual
Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan
cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum
obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri.
 Nyeri kronik 
Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin
untuk  kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada
nyeri kronik  ditentukan oleh keparahan nyeri.
 Nyeri Neuropati
Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap OAINS dan
analgesik opioid, terapi utamanya: Tricyclic antidepressants (TCA's), anticonvulsants
dan systemic lokal anestesi.

TERAPI FARMAKOLOGIS
Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen(Tylenol) dan
OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan hingga
sedang, Golongan ini selain bersifat analgesia juga sebagai anti inflamasi dan
antipiretik serta anti pembekuan darah. Penyakit meradang yang kronik seperti
arthritis, dan nyeri akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia
dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor
asam arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme nosiseptor 
aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin.Golongan analgetik
nonopioid ini digunakan sebagai tambahan untuk menghindari efek samping opioid
berupa depresi napas. Efek samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus peptikum dan
menghambat agregasi  platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan
lumiracoxib) mengurangi resiko efek  samping tersebut.
Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat jalur COX-2. Tidak
terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk prostaglandin yang baik
´ yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi mukosa lambung dan
filtrasi glomerulus di ginjal. Contoh dari OAINS adalah : Asetosal, Acetaminophen,
Asam Mefenamat,COX-2 inhibitor,Ketorolak.
 Analgesik Opioid
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti
opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam   penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik
opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri  pascaoperasi dan nyeri terkait kanker.
Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri
berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.
Opioid digolongkan menjadi:
1. Agonis Mengaktifkan reseptor , contoh: Morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis, tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor, contoh: Nalokson, naltrekson.
3. Agonis-antagonis, contoh : Pentasosin, nalbufin,butarfanol, buprenorfin.
 Terapi adjuvats
1. Anti kejang Anti kejang seperti karbamazepin atau fenitoin terbukti efektif untuk
mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf.
2. Antidepressan Trisiklik  Seperti amitriptilin atau imipramin adalah analgetik yang
efektif untuk nyeri neuropati.
3. Diazepam Efektif untuk nyeri akibat kejang otot.
Pendekatan Nonfarmakologik 
Metode non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua
kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Terapi fisik
untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi
saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau dingin, olahraga).
Sedangkan, startegi kognitif-prilaku  bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk
mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan
(imagery), hypnosis, dan biofeedback.
 Metode Penghilang Nyeri
Biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan
anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs) untuk
nyeri sedang atau ringan. Metoda menghlangkan nyeri dengan cara sistemis (oral,
rectal, trans dermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau per infus).
Cara yang sering digunakan dan paling digemari adalah intramuskular opioid.
Metode regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg,
petidin 20- 60 mg, fentanil 25-100 ug) atau intra spinal opioid (untuk dewasa
morfin0,1-0,3 mg, petidin 10- 30 mg, fentanil 5-25 ug). Kadang-kadang digunakan
metoda infiltrasipada luka operasi sebelum pembedahan selesai misalnya pada
sirkumsisi atau pada luka apendektomi.

Contoh penatalaksanaan nyeri menggunakan: Acetaminophen

Acetaminophen (N-Acetyl-4-Aminophenol) memiliki efektivitas baik sebagai


antipiretik maupun analgesik yang banyak digunakan seluruh dunia. Acetaminophen
merupakan penghambat sintesis dan pengeluaran prostaglandin E (PGE) di otak
dengan melakukan blok pada cycloxygenase . Selanjutnya inhibisi pirogen endogen
di otak hingga efek analgetik dan antipiretik muncul. Efek analgesik acetaminophen
setara dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan-sedang.
Efek antiinflamasi obat ini sangat lemah sehingga penggunaannya terbatas sebagai
antireumatik. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung sangat minimal serta harga
yang murah membuat acetaminophen dipilih sebagai pengganti obat anti-inflamasi
non steroid (OAINS) untuk efek analgetik
Penggunaan acetaminophen dapat diindikasikan pada pasien dengan nyeri
akut, penanganan nyeri perioperatif, nyeri akibat trauma mayor dan minor, luka
bakar, low back pain, fibromialgia, neuropati perifer. Penggunaan acetaminophen
pada nyeri kepala biasa dipakai pada tension headache serta kombinasi dengan
salisilat dan kafein merupakan pilihan terapi pada pasien migrain. Absorpsi
acetaminophen dimulai dari traktus digestivus dan mencapai kadar plasma puncak
dalam 30-60 menit. Waktu paruh dicapai setelah 2-3 jam. Selanjutnya, obat ini
mengalami metabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Sebagian obat (80%)
dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat.
Selain itu, obat ini mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi tersebut dapat
menyebabkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Eksresi acetaminophen
melalui ginjal dalam bentuk terkonjugasi. Dosis konsumsi acetaminophen peroral
atau rektal pada orang dewasa yaitu 500 mg – 1.000 mg per kali pemberian dengan
jarak setiap 4-6 jam. Dosis maksimal harian acetaminophen tidak boleh melebihi
4.000 mg dan pada penggunaan dalam jangka waktu lama, dosis dikurangi menjadi
2.500mg/hari.
Efektivitas acetaminophen dosis normal sebagai analgetik setara dengan
OAINS, seperti 200mg celecoxib, 600-650mg aspirin, dan 200- 220mg naproxen.15
Penelitian menunjukkan psaien post-operatif yang mendapatkan
acetaminophen, konsumsi opioid berkurang hingga 30% pada 4 jam pertama dan
16% pada 6 jam selanjutnya dibandingkan dengan plasebo.

D. Evaluasi Hasil Terapi


Secara garis besar dalam tatalaksana terapi untuk nyeri harus dimulai dari
analgesic yang ringan sampai kuat dan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa tahapan,
seperti berikut :
Tahap I : analgesik non-opiat : AINS
Tahap II : analgesik AINS + ajuvan (antidepresan)
Tahap III : analgesik opiat lemah + AINS + ajuvan
Tahap IV : analgesik opiat kuat + AINS + ajuvan
Contoh ajuvan : antidepresan, antikonvulsan, agonis β2, dll.
Dimana pemberian terapi pada kasus nyeri tergantung dari sumber nyeri tersebut
berasal. Seperti :
1. Nyeri nosiseptif 
Diberikan kortikosteroid apabila pasien nyeri nosiseptif akibat polymyalgia
rheumatic. Nyeri ini bisa berupa akut maupun kronik. Beberapa literatur
mengemukakan bahwa nyeri nosisepsi yang akut itu  berupa kerusakan soft tissue,
atau inflamasi. Hal ini lebih mudah ditangani, yaitu dapat dengan menghilangkan
penyebab nyeri itu sendiri misalnya seperti yang dikemukakan diatas, yaitu dengan
pemberian opioid misalnya morfin, sedangkan yang non-opioid dapat berupa aspirin
yang mekanisme kerjanya menginhibisi sintesis prostaglandin dan AINS,
parasetamol.
2. Nyeri akut
Prinsip  pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10)
yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal.
Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan
mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Karena pada kasus ini
dibutuhkan obat dengan efek terapi yang cepat.
3. Nyeri kronik 
Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin
untuk  kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada
nyeri kronik  ditentukan oleh keparahan nyeri.
4. Nyeri Neuropati
Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap OAINS dan
analgesik opioid, terapi utamanya: Tricyclic antidepressants (TCA's), anticonvulsants
dan systemic lokal anestesi.
TERAPI FARMAKOLOGIS
Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen(Tylenol)
dan OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan hingga
sedang, Golongan ini selain bersifat analgesia juga sebagai anti inflamasi dan
antipiretik serta anti pembekuan darah. Contoh dari OAINS adalah : Asetosal,
Acetaminophen, Asam Mefenamat,COX-2 inhibitor,Ketorolak.
a. Analgesik Opioid
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti
opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam   penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik
opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri  pascaoperasi dan nyeri terkait kanker.
Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri
berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.
Opioid digolongkan menjadi:
1. Agonis Mengaktifkan reseptor , contoh: Morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis, tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor , contoh: Nalokson, naltrekson.
3. Agonis-antagonis, contoh : Pentasosin, nalbufin,butarfanol, buprenorfin.
b. Terapi adjuvats
1. Anti kejang Anti kejang seperti karbamazepin atau fenitoin terbukti efektif untuk
mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf.
2. Antidepressan Trisiklik  Seperti amitriptilin atau imipramin adalah analgetik yang
efektif untuk nyeri neuropati.
3. Diazepam Efektif untuk nyeri akibat kejang otot.
Pendekatan Nonfarmakologik 
Metode non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua
kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Terapi fisik
untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi
saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau dingin, olahraga).
Sedangkan, startegi kognitif-prilaku  bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk
mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan
(imagery), hypnosis, dan biofeedback.
a. Metode Penghilang Nyeri
Biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan
anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs) untuk
nyeri sedang atau ringan. Metoda menghlangkan nyeri dengan cara sistemis (oral,
rectal, trans dermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau per infus).
Cara yang sering digunakan dan paling digemari adalah intramuskular opioid.
Metode regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg,
petidin 20- 60 mg, fentanil 25-100 ug) atau intra spinal opioid (untuk dewasa
morfin0,1-0,3 mg, petidin 10- 30 mg, fentanil 5-25 ug). Kadang-kadang digunakan
metoda infiltrasipada luka operasi sebelum pembedahan selesai misalnya pada
sirkumsisi atau pada luka apendektomi.

Evaluasi terapi berdasarkan contoh :


Contoh penatalaksanaan nyeri menggunakan: Acetaminophen
Acetaminophen akan menghambat sintesis dan pengeluaran prostaglandin E
(PGE) di otak dengan melakukan blok pada cycloxygenase . Selanjutnya pada
inhibisi pirogen endogen di otak sehingga efek analgetik dan antipiretik muncul.
Efek analgesik acetaminophen setara dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan-sedang. Efek antiinflamasi obat ini sangat lemah sehingga
penggunaannya terbatas sebagai antireumatik. Efek iritasi, erosi dan perdarahan
lambung sangat minimal serta harga yang murah membuat acetaminophen dipilih
sebagai pengganti obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk efek analgetik.
Penggunaan acetaminophen dapat diindikasikan pada pasien dengan nyeri akut,
penanganan nyeri perioperatif, nyeri akibat trauma mayor dan minor, luka bakar, low
back pain, fibromialgia, neuropati perifer. Penggunaan acetaminophen pada nyeri
kepala biasa dipakai pada tension headache serta kombinasi dengan salisilat dan
kafein yang merupakan pilihan terapi pada pasien migrain. Absorpsi acetaminophen
dimulai dari traktus digestivus dan mencapai kadar plasma puncak dalam 30-60
menit. Waktu paruh dicapai setelah 2-3 jam. Selanjutnya, obat ini mengalami
metabolisme oleh enzim mikrosom hepar.
Eksresi acetaminophen melalui ginjal dalam bentuk terkonjugasi. Dosis
konsumsi acetaminophen peroral atau rektal pada orang dewasa yaitu 500 mg –
1.000 mg per kali pemberian dengan jarak setiap 4-6 jam. Dosis maksimal harian
acetaminophen tidak boleh melebihi 4.000 mg dan pada penggunaan dalam jangka
waktu lama, dosis dikurangi menjadi 2.500mg/hari.
Efektivitas acetaminophen dosis normal sebagai analgetik setara dengan
OAINS, seperti 200mg celecoxib, 600-650mg aspirin, dan 200- 220mg naproxen.15
Penelitian menunjukkan psaien post-operatif yang mendapatkan acetaminophen,
konsumsi opioid berkurang hingga 30% pada 4 jam pertama dan 16% pada 6 jam
selanjutnya dibandingkan dengan plasebo.
SUMBER LITERATUR :

Anda mungkin juga menyukai