Anda di halaman 1dari 12

ADVERSE DRUG REACTION

(REAKSI OBAT YANG MERUGIKAN)


Chairul Effendi
Alergy Imunology Division Internal Department
Airlangga University
Medical Faculty
Dr. Soetomo Teaching Hospital

I. PENDAHULUAN
“Adverse drug reation” adalah reaksi obat yang tidak diinginkan dan dapat berbahaya
pada penderita yang mendapatkannya 1,2,3,4. Dibagi menjadi 2 tipe yaitu : tipe A yang
tergantung dosis dan dapat diperkirakan terjadinya dan tipe B yang tidak tergantung dosis dan
tidak dapat diperkirakan reaksi yang akan terjadi1,2,3,4. Frekwensi terbesar adalah tipe A sedang
tipe B hanya 10%. Dari semua kejadian “adverse drug reactioin”. Angka kejadian yang pasti
tidak diketahui hal ini karena karena jarang dilaporkan dan menurut meta analisis sekitar
6.5% sampai 6.8% penderita yang masuk rumah sakit mengalami reaksi ini1,3. Sekitar 0.32%
mengalami reaksi yang fatal dan menjadi penyebab kematian ke-4 sampai ke-6 di Amerika.
Pembahasan tipe B akan lebih luas pada makalah ini karena masih banyaknya “gaps”
pada pengetahuan tentang hal ini. Diperlukan pengetahuan yang lebih baik untuk membuat
diagnosis dan pengobatan yang tepat5.

II. EPIDEMIOLOGI
Hampir semua penderita pernah mengalami reaksi ini selama hidupnya dan
menyebabkan lebih lama tinggal dirumah sakit dan dengan biaya pengobatan yang lebih besar
juga menyebabkan kematian sekitar 106.000 pertahun4.
Semua obat dapat menimbulkan reaksi ini terutama tipe B. Dengan lebih
meningkatnya pengetahuan seorang dokter akan reaksi ini akan lebih menjarangkan frekwensi
terjadinya dan melindungi penderitanya dari reaksi obat yang tidak diinginkan ini4.

III. FAKTOR-FAKTOR RESIKO


Faktor resiko yang terpenting adalah : reaksi yang terjadi pada pemakaian obat yang
sama atau sejenis sebelumnya. Pemberian secara topikal dan parenteral lebih sering
memberikan sensitisasi. Dosis besar sekali pemberian lebih kurang memberikan sensitisasi
daripada pemberian lama dengan dosis yang berulang. Wanita insidensnya lebih tinggi 35%
terjadinya reaksi kulit dan dua kali lebih sering mengalami reaksi anafilaksis dengan media
kontras. Dewasa muda lebih sering terjadi daripada anak-anak dan orang tua. Atopi tidak
meningkatkan angka kejadian reaksi ini tetapi kalau terjadi gejala alerginya lebih berat.
Protein, peptid dengan berat molekul tinggi, obat-obatan yang membentuk hapten lebih sering
menimbulkan reaksi yang dimediasi oleh IgE. Polimorfisme genetik pada HLA merupakan
predisposisi terjadinya reaksi alergi obat. Infeksi virus seperti : HIV, Herpes dan EBV
mononusleosis menyebabkan meningkatnya frekwensi alergi obat. Pada penderita “cystic
fibrosis” lebih sering terjadi reaksi ini karena pemakaian antibiotika yang berulang3,4.

1
Pada tabel dibawah ini tercantum faktor-faktor resiko untuk terjadinya “adverse drug
reaction”.

Table 1. Risk factors for development of adverse drug reactions (dikutip dari 3).
Patient related
Age Young adults > infants/elderly
Sex Women > men
Genetic Atopy may predispose to more serious reactions
Genetic polymorphism
Concomitant disease HIV, infections with Herpes viruses (EBV, CMV and others), cystic fibrosis
(because of frequent antibioic use)
Immune status Previous drug reaction or previous positive skin test for drug
Drug related
Drug chemistry -lactam compounds, NMBA, radio-contrast media, NSAIDs are the most
frequently involved
High MW compounds/hapten-forming drugs are more immunogenic
Route Topical route >parenteral/oral
Dose Frequent or prolonged doses
NSAIDs, non-steroidal anti-inflammatory drugs ; NMBA, neuromuscular blocking agent.

Pada tabel berikut ini tercantum penyakit genetik yang dapat mempengaruhi metabolisme
obat.

Table 2. Drugs to avoid in genetic diseases affecting drug metabolism (dikutip dari 3).
Genetic disease Drugs to avoid
Malignant hyperpyrexia Volatile anaesthetic agents, suxamethonium
Glucose-6-phosphale- Dapsone (and other sulphones), nitrofurantoin, methylene blue,
dehydrogenase deficiency primaqume, quinolones, sulphonamides
Caution with: aspirin, chloroquine, menadione, quinidine, quinine
Porphyria Amphetamines, anabolic steroids, antidepressants, some
antihistamines, barbiturates, some benzodiazepines, cephalosporins,
some oral contraceptives, diuretics, ergot derivatives, gold salts,
hormone replacement therapy, progestogens, sulphonamides,
sulphonylureas
Pseudocholinesterase deficiency Suxamethonium
Slow acetylators Procainamide, hydralazine, sulphasalazine
TPMT (thiopurine S- Azathioprine (leading to marrow toxicity)
methyltransferase) deficiency

2
IV. KLASIFIKASI
“Adverse drug reaction” dibagi menjadi 2 tipe yaitu : tipe A angka kejadiannya 85%-
90% yang tergantung dosis dan dapat diramalkan. Termasuk didalam tipe ini adalah :
”overdosis obat”, efek samping dan interaksi obat1,2,3,4. Tipe B dimana tidak semua penderita
dapat menderita yang dibagi lagi menjadi : ”intolerance, Idiosyncrasy dan “drug allergy” 1,2,3,4.
“drug allergy” akan dibahas lebih rinci baik yang “IgE mediated”ataupun yang “non
IgE mediated”. Pada tabel dibawah ini klasifikasi berdasarkan Gell and Coombs,Pichler dan
Posadas.

Table 3. Investigation of drug allergy/hypersensitivity categorized by immunological mechanisms


(From Gell and Coombs, Pichler and Posadas and Pichler 2007) ( dikutip dari 3).
Reaction Mechanism Clinical features Investigation
Type I IgE-mediated, immediate reaction Urticaria*, angio-oedema*, anaphylaxis*, Skin prick testing
bronchospasm* Intradermal testing
Specific IgE testing
Drug provocation
Type II IgG/M-mediated cytotoxic reaction Anaemia, cytopenia, thrombocytopenia FBC/Coombs Test
Type III IgG/M-mediated immune complexes Vasculitis, lymphadenopathy, fever, C3, C4, ANA, ANCA, LFT,
arthropathy, rashes, serum sickness UEtE, histology, CXR
Type IVa Th1 cells activate monocyte/ Contact dermatitis, bullous exanthema Patch tests
macrophages via IFN-/ and TNF-
Type IVb Th2 cells drive eosinophilic inflammation Maculopapular and bullous rashes, etc. Patch tests
via IL-5, IL-4, IL-13, eotaxin
Type IVc CD4+/CD8+ cytotoxic T cells kill targets Contact dermatitis, maculopapular, Patch tests
via perform, granzyme B, FasL pustular and bullous exanthemata, etc.
Type IVd T cells recruit and activate neutrophils Pustular xanthemata Patch tests
via CXCL-8, GM-CSF
These may also be non-immunologically mediated. ANA, antinuclear antibody; ANCA, antineutrophil cytoplasmic antibody;
LFT, liver function test; U&E, urea and electrolytes; CXR, chest X-ray.

Ad.1. Tipe I (“IgE mediated”)


Antigen yang komplit dengan multivalen epitop seperti antibiotika akan berikatan
dengan IgE pada dinding “mast cell”. Kalau antigennya kecil yang disebut hapten
berikatan dahulu dengan protein untuk membentuk antigen yang komplit dengan
multipel epitop. Proses tersebut akan menyebabkan degranulasi dari “mast cell” dan
dillepaslah beberapa mediator seperti histamin dimana kemudian terjadi gejala-gejala
alergi pada penderita.Gejala klinik yang terjadi : urtikaria, angioedema, anafilaksis,
bronkhospasm dan hipotensi.

Ad.2. Tipe II
IgG dan IgM yang spesifik akan berikatan dengan antigen obat pada “cell membrane”
dengan adanya komplemen antigen-antibodi kompleks akan dibersihkan oleh monosit
atau makrofag sehingga akan menimbulkan kerusakan jaringan atau sel. Gejala klinik
adalah : hemolitik anemia karena obat dan trombositopenia.

Ad.3. Tipe III

3
Kompleks obat atau metabolitnya degan sedikit “antigen excess” berikatan dengan IgG
atau IgM dimana kompleks imun ini akan mengendap pada dinding pembuluh darah dan
terjadi kerusakan karena adanya aktifasi “complement cascade”.
Gejala klinik yang terjadi adalah: panas badan, urtikaria (“leucocytoclastic vasculitis”),
erythema multiforme, lymphadenopathy dan arthralgia yang timbul 1-3 minggu setelah
dosis terakhir obat yang diminum walaupun gejala dapat terjadi pada saat minum obat.
Obat-obatan yang menjadi penyebabnya dapat semua obat termasuk penisilin dan
sefalosporin.

Ad.4. Tipe IV
Reaksi terjadi karena terbentuknya limfosit T yang spesifik terhadap obat, biasanya
terjadi 2–3 setelah paparan. Gejala klinik yang terjadi : dermatitis kontak setelah
paparan topikal neomisin dan antihistamin; erupsi makulopapular karena antibiotika.

PSEUDOALLERGIC DRUG REACTION


Mekanisme yang terjadi tidak dapat diklasifikasikan pada klasifikasi Gell dan Coombs
tetapi manifestasinya sama, disebut juga reaksi anafilatoid. Gejala yang terjadi sama dengan
reaksi tipe I (“IgE mediated”) seperti : urtikaria, angioedema, spasme bronkhus dan kolaps
kardiovaskuler. Beberapa obat yang dapat menimbulkannya adalah: bahan kontras, opiat,
vancomisin, koloid expander dan aspirin (NSAID)1,2,3,4.

V. ETIOLOGI.
Beberapa obat sering menimbulkan “adverse drug reaction” terutama alergi seperti
tercantum pada tabel dibawah ini.

Table 4. Drugs causing adverse drug reactions commonly presenting to the allergy clinic (dikutip dari 3).
Penicillins and other P-lactams
Non-P-lactam antibiotics
Reactions during general anaesthesia due to
• Neuromuscular blockers
• Anaesthetic agents
• Latex (during general anaesthesia)
Local anaesthetics
Aspirin/NSAIDs
ACE inhibitors
Plasma expanders : gelatin, dextran
Others
• Insulin
• Heparin
• Opiates
• Vaccines
• Radio-contrast media
• Chlorhexidine
• Povidone iodine
• Corticosteroids
NSAIDs, non-steroidal anti-inflammatory drug.

VI. PATOGENESIS.

4
Pada tingkat seluler presentasi antigen ,sel yang terlibat dan sitokin masih belum jelas
benar. Proses obat oleh keratinosit memegang peranan penting terutama pada manifestasi
dikulit.
Beberapa obat seperti insulin dan chymopapain merupakan protein dengan molekul
yang besar sehingga dapat merupakan antigen yang langsung ditangkap oleh ”antigen
presenting cell”. Sebagian besar obat dengan molekul kecil sehingga tidak dapat langsung
ditangkap oleh APC tetapi melalui “haptenation” dengan ikatan kovalen dengan protein
serum atau permukaan sel.
Antibiotika yang mengandung “beta lactam” seperti penisilin adalah yang tersering
menimbulkan reaksi alergi yang “IgE mediated” seperti anafilaksis dan menimbulkan
kematian tertinggi. Komposisinya terdiri dari cincin beta lactam dan thiazolidine dimana
cincin beta lactam tidak stabil membentuk “penicilloyl determinant” yang merupakan antigen
utama (95%) untuk terjadinya alergi terhadap penisilin. Pada sefalosporin terdiri dari cincin
beta lactam dan dihydrothiazine sehingga tidak semua penderita yang alergi dengan penisilin
alergi juga dengan sefalosporin (8%).
Pada gambar dibawah ini tampak determinant major dan minor dari penisilin (4).

Gambar 1. Penicillin and penicillin determinants. (dikutip dari 4).

VII. GAMBARAN KLINIK.


Alergi obat dapat mengenai satu atau lebih organ dan kulit merupakan sasaran yang
paling sering terkena1,2,3,4. Pada tabel dibawah ini tercantum obat-obatan yang dapat
menimbulkan “adverse drug reaction “ baik secara imunologi dan non imunologi3.
Table 4. Clinical patterns of immunological and non-immunological adverse drug reactions
(dikutip dari 3).
Systemic reactions
Anaphylaxis Antibiotics, neuromuscular blockers, general anaesthetics, radio-contrast media,

5
recombinant proteins (e.g. omalizumab), intravenous B vitamins (e.g. thiamine), allergen
extracts
Serum sickness Antibiotics, allopurinol, thiazides, pyrazolones, vaccines, phenytoin
SLE-like Procainamide, hydralazine, isoniazid, minocycline, chlorpromazine, infliximab, etanercept,
-lactam antibiotics, propranolol, streptokinase, sulphonamides, NSAIDs
Sclerodenna-like Bleomycin
Microscopic polyangiitis Amphetamines
Drug rash with eosinophilia systemic Anticonvulsants (particularly carbamazepine, phenobarbitone and phenytoin), allopurinol,
symptoms (DRESS) also called drug sulphonamides, dapsone, minocycline, gold salts, strontium ranelate
hypersensitivity syndrome (DHS)
Toxic epidermal necrolysis (TEN) Antimicrobials: sulphonamides, nevirapine
Anticonvulsant agents, NSAIDs, allopurinol, corticosteroids, moxifloxacin
Stevens-Johnson syndrome (SJS) Antimicrobials: sulphonamides, nevirapine
Anticonvulsant agents, allopurinol, corticosteroids, carbamazepine, modafinil, NSAIDs
(especially piroxicam) highest risk early in the course of therapy, lamotrigine, phenytoin,
minocycline
Organ-specific reactions
Cutaneous
Urticaria/angio-oedema Antibiotics, recombinant proteins (e.g.omalizumab), ACE inhibitors, anticonvulsants, NSAIDs,
neuro-muscular blockers, salicylates, statins, narcotic analgesics, azole antifungals
Pemphigus foliaceus Penicillamine
Purpura NSAID, sulphonamides, allopurinol, carbamazepine, warfarin, corticosteroids, minocycline,
phenobarbitone
Maculopapular rash Ampicillin, other antibiotics and several other drugs
Contact dermatitis Topical antibiotics, topical antihistamines, corticosteroids, excipients (e.g. parabens)
Photodermatitis Griseofulvin, sulphonamides, tetracycline, amiodarone, isotretinoin, furosemide, all
antipsychotics, barbiturates, ACE-inhibitors, nifedipine, piroxicam
Acute generalized exanthematous Antibiotics (e.g. -lactam, macrolides, cephalosporins, tetracyclines), antimycotics (e.g.
pustulosis (AGEP) griseofulvin, nystatin, itraconazole), acetylsalicylic acid, paracetamol, allopurinol, calcium
channel blockers
Fixed drug eruption (FDE) Antimicrobial agents (e.g. sulphonamide and tetracycline antibiotics), NSAIDs (e.g.
ibuprofen), paracetamol, acetylsalicylic acid, sedatives (e.g. barbiturates, benzodia-
zepines), phenolphthalein, dapsone, hyoscine butylbromide, cytokines, chemo-
therapeutic agents, anticonvulsants, psychotropic agents, amide local anaesthetics
Erythema multiforme (EM) Carbamazepine, phenytoin, abacavir
Nephrogenic systemic fibrosis (NSF) Gadolinium-containing MRI contrast agents
Pulmonary
Asthma Aspirin/NSAIDs, -blockers, ACE inhibitors, opiates
Cough ACE inhibitors
Interstitial pneumonitis Bleomycin, methotrexate, cyclophosphamide, gold, penicillamine, nitrofurantoin, NSAIDs,
amiodarone, ACE inhibitors, p-blockers, phenytoin, granulocyte macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF)
Pulmonary eosinophilia NSAIDs, penicillin, minocycline, nitrofurantoin, metotrexate, sulphasalazine, amiodarone,
ACE inhibitors, p-blockers, phenytoin, bleomycin, sulphonamides, iodinated radio-
contrast media
Organizing pneumonia Bleomycin, methotrexate, cyclophosphamide, amiodarone, -blockers, carbamazepine
Hepatic
Cholestatic hepatitis Phenothiazines, carbamazepine, erythromycin, anti-tuberculous drugs
Hepato-cellular hepatitis Methyldopa, halothane, isoniazide, gold, allopurinol
Renal
Interstitial nephritis Methicillin, NSAIDs, sulphonamides, proton pump inhibitors
Membranous nephritis Gold, penicillamine, ACE inhibitors, NSAIDs, cyclosporin, gentamicin
Haematological
Haemolytic anaemia Penicillin, cephalosporins, mefenamic acid, methyldopa
Thrombocytopenia Heparin, quinine, sulphonamides, cephalosporins, thiazides, gold salts
Neutropenia Penicillin, cephalosporins, anticonvulsants, thiouracils, gold salts
Cardiac
Valvular disease Ergotamine, dopamine agonists (cabergoline, pergolide)
Musculo-skeletal/neurological
Polymyositis Thiouracils
Myasthenia gravis Penicillamine
Aseptic meningitis NSAIDs, antimicrobials, vaccines
Beberapa gejala klinik dikelompokan menjadi :
1. REAKSI SISTEMIK AKUT dan ANGIOEDEMA

6
Pada sebagian besar penderita dengan alergi penisilin, relaksan otot, insulin dan hormon
lainnya mengalami gejala ini melalui “IgE mediated” sedang opiat, ”ACE inhibitors”,
NSAIDs, ”radio-contrast” dan “plasma expander” melalui “non-IgE-mediated”.
Pemberian secara parenteral sering menimbulkan reaksi yang berat seperti anafilaksis
dimana penisilin sebanyak 75% kasus3,4.

2. “CUTANEOUS REACTION”
Kurang lebih 30% dari semua reaksi terhdap obat manifestasinya reaksi pada kulit. Tipe
IV (“T cell mediated reaction”) karena antibiotika, antikonvulsan, obat anti TBC, ACE
inhibitors dan NSAIDs. Eritema multiforme yang berat seperti “stevens-Johnson
syndrome” dan apabila prosesnya lebih luas menjadi “toxic epidermal necrolisis” (dari 10
menjadi 30% kulit yang terkena), dimana mula-mula terasa seperti terbakar dan nyeri
tanpa rasa gatal diarea yang akan timbul lesi. “Fixed drug eruption” dan “acute
generalized exathematous pustulosis“ yang kadang sulit dibedakan dengan SJS atau TEN
tetapi jarang ditemukan reaksi sistemik dengan prognosis yang lebih baik. Petehiae dan
purpura dapat karena proses vaskulitis (tipe III)3,4.

3. “RESPIRATORY REACTION”
Edema larinks dan konstriksi bronkhus sering terjadi karena anafilaksis tetapi tidak semua
gejala pada penapasan disebabkan rekasi tipe I dapat juga melalui mekanisme kurangnya
hambatan pada siklooksigenase pada pemberian aspirin atau NSAIDs. Panas badan, rash
dan eosinofilia pada darah tepi terjadi pada ”pulmonary eosinophilia“3.

4. Hepatitis dapat karena obat-obatan anti TBC, phenothizin, carbamazepine atau


indometasin. Nefropati interstitial karena antibiotika beta lactam, metildopa, sulfonamid
dan NSAIDs. ”drug hypersensitivity syndrome” DRESS dapat disebabkan karena
pemberian antikonvulsan tetapi dapat karena pemberian : dapsone, minocycline,
sulphasalazine dan alupurinol2,3,4.

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis yang lengkap merupakan langkah awal untuk menegakan diagnosis yang
tepat, termasuk fomulasi, dosis, cara pemberian, waktu dan kapan timbul serta hilangnya
gejala. Juga anamnesis sangat penting apabila penderita mendapat beberapa obat-obatan. Pada
saat merujuk penderita harus dilaporkan secara lengkap obat yang dipergunakan 3. Pada tabel
dibawah ini tercantum semua anamnesis dari seorang penderita.

Table 6. Essential information required when referring a patient with suspected drug allergy
(dikutip dari 3)
 Detailed description of reaction
Symptom sequence and duration
Treatment provided

7
Outcome
 Timing of symptoms in relation to drug administration
 Has the patient had the suspected drug before this course of treatment?
How long had the drug(s) been taken before onset of reaction?
When was/were the drug(s) stopped?
What was the effect?
 Witness description (patient, relative, doctor)
 Is there a photograph of the reaction?
 Illness for which suspected drug was being taken, i.e. underlying illness (this may be the
cause of the symptoms, rather than the drug)
 List of all drugs taken at the time of the reaction (including regular medication, 'over the
counter' and 'alternative' remedies)
 Previous history
Other drug reactions
Other allergies
Other illnesses

Sebagai tambahan pada anamnesis dilakukan pemeriksaan fisik lengkap untuk


mengetahui penyebab dari gejala tersebut3,4.
Pengukuran kadar tryptase serum sebagai mediator yang dikeluarkan “mast cell”
dapat membantu menegakkan diagnosis walaupun tidak dapat membedakan apakah terjadi
karena IgE atau non IgE mediated. Pengukurannya dilakukan segera atau 72 jam setelah
penderita meninggal karena anafilaksis.
Tes kulit dapat membantu menegakan diagnosis tetapi hanya dapat dipergunakan pada
alergi penisilin, relaksan otot dan carboplastin1,3. Pada tabel dibawah ini tercantum beberapa
aspek praktis tes kulit membantu menegakan diagnosis alergi obat.

Table 7. Skin tests (dikutip dari 3).


 Provide supportive evidence (with clinical history) for diagnosis (or exclusion) of IgE-mediated allergy
 Educational value, providing a visual illustration that may reinforce verbal advice to the patient
 Requires training, both for undertaking and interpretation of result
Practical aspects of SPT :
 Controls, positive (histamine) and negative (diluent), must be included
 A positive is a weal size of diameter of 3 mm or more greater than negative control surrounded by a
flare
 Should be read at 10-15 min
 Patients should have been offantihistamines for 3 days
 Oral corticosteroids do not (significantly) inhibit skin prick tests
 False-positive and false-negative skin tests are likely to occur especially with drugs not known to
cause IgE-mediated reactions or when the SPT concentrations are not validated
 Dermatographism may confound results
 Should not be performed in areas of severe eczema
 SPTs are more specific, safer, easier to interpret, but less sensitive than intradermal tests
SPT, skin prick test.
Bila penisilin diduga sebagai penyebabnya tes kulit dengan “penicilloyl polylysine”
(PPL) sebagai determinant major dan “penilloate”, benzyl penicilline sebagai minor
determinant dilakukan bersama-sama3,6,7.

8
Tes kulit yang sering dipergunakan untuk membantu menegakan diagnosis adalah:
“skin prick test”,”intradermal test” dan “path test”3,6,7.
Indikasi tes kulit yang dipergunakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Table 8. Diagnostic tests employed in the evaluation of drug allergies (dikutip dari 2)
Tests for Evaluating Drug Allergy
In Vivo Assessment of Gell and Coombs
Prick, intradermal skin tests IgE to agent Type I
Provocation (dose escalation) Tolerance All
Patch testing DTH Type IV
Biopsy Immunohistopathology Types III, IV
In Vitro Assessment of Cell and Coombs
RAST IgE in serum Type I
+
Leukocyte histamine release IgE Type I
Lymphocyte proliferation T-cell responsiveness Type IV
Lymphocyte cytokine production T-cell responsiveness Type IV
Lymphocyte cytotoxicity T-cell responsiveness Type IV
* Alternative: CD63 or CD202 marker expression on basophils using flow cytometry. DTH, delayed type
hypersensitivity; RAST, radioallergosorbent test.

Pengukuran kadar IgE hanya dapat dilakukan pada beberapa obat dan dapat membantu
diagnosis kalau hasilnya positif3,4.
Tes provokasi hanya dilakukan apabila semua tes tidak dapat untuk menegakan
diagnosis dan dikerjakan oleh petugas yang terlatih serta kontraindikasi untuk beberapa
gejala seperti : SJS, TEN, DRESS dan EM. Harus ada “informed consent” dan obat-obatan
yang dapat mempengaruhi tes ini diperhatikan seperti : kortikosteroid, anihistamin dan
antidepersan3,4.

IX. TATALAKSANA
Anafilaksis harus segera diobati dengan tepat, beberapa petunjuk untuk dilaksanakan
adalah sbb.: hentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab, obati gejala yang terjadi, cegah
terjadinya reaksi silang, catat dengan teliti semua gejala dan terapi yang telah diberikan, kalau
mungkin berikan alternatif terapi dan kalau perlu dilakukan desensitisasi 2,3,4. Antihistamin
dapat dipergunakan pada reaksi tipe I. Kortikosteroid dapat diberikan pada urtikaria berat dan
exantem yang ekstensif, tetapi masih kontroversi untuk SJS dan TEN2. Pemberian cairan
intravena dan observsi semalam sebaiknya dilakukan pada anafilkasis dengan gangguan
kardiovaskuler1,2,4. Untuk lebih jelas tatalaksana alergi obat dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.

9
Drug allergy suspected

Consistent w/IgE Consistent w/non IgE


mediated allergy ? mediated allergy ?

Skin test available? Reaction serious/


High negative predictive value? Life-threatening?

Yes No Yes No

Test (+) Test (–) 1. Alternative medication 1. Alternative medication Alternative


2. Desensitization 2. Cautious graded challenge medication

1. Alternative medication Administer drug


2. Desensitization
GAMBAR 2. Management of drug reactions depends on whether or not the drug reaction was
IgE mediated (dikutip dari 4).

X. TATALAKSANA NON OBAT


Tatalaksana terpenting adalah: “patients education” diantaranya: tidak
mempergunakan lagi obat-obatan yang menimbulkan reaksi, sebaiknya memakai gelang atau
kalung dimana terdapat daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi dan jangan
memakai obat yang isinya tidak pasti1,2,3,4.

XI. PANDANGAN MASA DEPAN


Diperlukan kerja keras untuk menemukan tes-tes untuk mendiagnosis secara tepat
reaksi ini seperti tes minor determinant mixture untuk alergi penisilin; dengan
dipergunakannya “biologic agent” seperti monoclonal antibodi untuk pengobatan penyakit
autoimun, asma, alergi dan kanker menambah panjangnya daftar obat yang harus diawasi.
Diperlukan ketelitian para dokter untuk lebih waspada akan terjadinya alergi obat pada
penderitanya4.
Pada beberapa penelitian terakhir didapatkan bahwa sel T limfosit berperan pada
reaksi tipe IV dan juga langsung menimbulkan kerusakan jaringannya. CD8 T limfosit
ditemukan pada TEN setelah mendapat cotrimoxazole. Ditemukan p-i konsep yaitu interaksi
farmakologi obat dengan reseptor tanpa melalui “antigen presenting cell” yang sudah
ditemukan pada sulfametoxasol, lidocain, mepivacain, celecoxib, carbamacepin dan
quinolon1.
Alergi obat yang terjadi beberapa jam setelah minum obat mungkin disebabkan oleh
reaksi melalui sel T limfosit daripada “IgE mediated”.

XII. RINGKASAN
“adverse drug reaction” terjadi pada 6.5% - 6.8% penderita yang masuk rumah sakit;
dimana 15% tinggal lebih lama. Juga mempengaruhi kwalitas hidup,pengobatan yang

10
lama,pemeriksaan yang tidak perlu serta kematian.Sensitisasi lebih sering terjadi pada
pemakaian topikal,lama dan sering. Atopi bukan merupakan faktor resiko tetai gejala yang
didapatkan lebih berat. HIV dan virus Herpes serta “cystic fibrosis” menyebabkan
meningkatnya angka kejadian alergi obat.
Anamnesis yang lengkap termasuk informasi obat serta waktu antara paparan dan
reaksi dapat untuk menegakan diagnosis secara tepat.
Tes tusuk kulit dan “intradermal test” dapat dipergunakan sebagai sarana diagnosis
pada alergi obat yang “IgE mediated”.
Tes kulit untuk “immediate hypersensitivity” tidak dapat dipergunakan untuk reaksi
tipe III dan IV tetapi dapat dengan “patch tests”.
Pemeriksaan kadar tryptase serum sebaiknya dikerjakan 2 – 24 jam setelah terjadinya
anafilaksis.
Tes provokasi dikerjakan apabila pemeriksaan lainnya tidak dapat menegakan
diagnosis dan jangan dilakukan pada penderita yang mengalami reaksi yang membahayakan
jiwa.
Apabila tidak didapatkan obat alternatif untuk pengobatan, desensitisasi dapat
dilakukan.
Pencegahan penting untuk tindakan kedepan supaya penderita tidak mengalami lagi
alergi obat dengan edukasi dan pemakaian gelang atau kalung yang ada informasi tentang
obat-obatan yang dapat membahayakannya.

XIII. SUMMARY
Adverse drug reaction account approximately 6.5% - 6.8% of all hospital admissions.
Up to 15% of in patients have a hospital stay prolonged. ADRs affect quality of life, delayed
treatment, unnecessary investigation or even death.
Topical and particularly cutaneous route of administration and prolonged or frequent
doses are more likely to lead to sensitization. Atopy is not a risk factor for the majority of
allergic drug reaction but may lead to more severe reaction. Some infections such as Herpes
virus, HIVincrease the likelihood of drug reaction and repeated use of antibiotics in diseases
such as cystic fibrosis is associated with more frequent reaction.
A detailed history is required for an accurate diagnosis of druag induced reaction. Skin
prick test (SPT) and intradermal test provide evidence of IgE mediated. Skin testing for
immediate hypersensitivity is not indicated for type III reaction or for T cell mediated
reactions including severe cutaneous reactions suh as Stevens-Johnson symdrome (SJS) toxic
epidermal necrolysis (TEN) and drug rash with eosinophilia and systemic symptom (DRESS).
Patch tests can be helpful for T cell mediated hypersesitivity.
Serial blood samples for serum tryptase should be taken at 2-24 hours after onset of
anaphylaxis. Drug challenge should only be considered after other investigation have been
exhausted and the diagnosis remains in doubt. It is not usually advisable to carry out
provocation testing if the reaction has resulted in life threatening reaction.
If there are no suitable alternatives, drug desensitization maybe possible for course of
treatment.
Prevention of future reactions is essential part of patient management.

XIV. DAFTAR PUSTAKA

11
1. Tam, S. Drug Allergy. In : Allergy and Asthma; practical diagnosis and management. Eds.
Mahmoudi M. The McGraw-Hill companies USA. 2008 pp 236–246.
2. Adkinson NF, Friedmann PS and Pongracic JA. Drug Allergy. In : Allergy. 3 th eds.
Holgate ST, Church MK and Lichtenstein LM. Mosby elsevier, China. 2006 pp 157–166.
3. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, Youlten LJF, Dugue P, Friedmann PS, English JS,
Huber PAJ and Nasser SM. BSACI guidelines for the management of drug allergy. Clin.
Exp. All. 2008; 39: 43 – 61.
4. Fisher L and Craig TJ. Management of patiet with drug allergy. In : Managing the allegic
patient. Eds. Krouse LH, Derebery MJ, and Chadwick SJ. Saunders Elsevier.China. 2008.
pp 273–298.
5. Bousquet PJ, Demoly P and Romano A. Drug allergy and hypersensitivity : still a hot
topic. Allergy. 2009; 64: 179–182.
6. Blanca M, Romano A, Torres MJ, Fernandez J, Mayorga C, Rodriguez J, Demoly P,
Bousquet PJ, Merk HF, Sanz ML, Ott H, Markovic MA. Update on the evalution of
hypersensitivity reactions to betalactams. Allergy. 2009;64:183 – 193.
7. Romano A, Rouanet LB, Viola M, Gaeta F, Demoly P and Bousquet PJ. Benzylpenicllin
skin testing is still impotant in diagnosing immediate hypersensivity reactions to
pennicillins. Allergy. 2009; 64:249–253.

--oo0oo--

12

Anda mungkin juga menyukai