Anda di halaman 1dari 5

HAMBALANG MEMBUAT TERCENGANG

Nama M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang juga anggota DPR-RI, menjadi
terkenal di seantero negeri pada tahun 2011. Pasalnya, M. Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka
korupsi pembangunan Wisma Atlet Hambalang dan saat itu ia sudah membaca gelagat kurang baik
sehingga melarikan diri ke luar negeri. Dalam pelariannya Nazaruddin merekam video yang
membeberkan keterlibatannya serta sejumlah orang penting di Indonesia. Kasus ini kemudian menjadi
kejutan karena keterlibatan beberapa orang kader Partai Demokrat yang saat itu menjadi partai
penguasa. Wisma atlet Hambalang bermula dari rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Olahraga
Depdikbud untuk membangun Pusat Peningkatan Olahraga Nasional. Rencana pembangunan itu sesuai
dengan kebutuhan akan pusdiklat olahraga bertaraf internasional. Selain itu, pembangunan fasilitas ini
juga untuk menambah fasilitas olahraga selain yang terdapat di Ragunan. Tempat yang akan digunakan
sebagai pusat pelatihan direkomendasikan ada tiga wilayah, yaitu Hambalang Bogor, Desa Karang
Pawitan, dan Cariuk Bogor. Akhirnya, dipilihlah Hambalang. Pada tahun 2009, proyek di Ditjen
Kemendikbud dipindahkan ke Kementerian Pemuda dan Olahraga. Saat itu, Kemenpora dipegang oleh
Adhyaksa Dault. Kemenpora melanjutkan rencana pembangunan Pusat Peningkatan Olahraga Nasional
dengan disempurnakan pembangunannya, menjadi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah
Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Di samping itu, sebagai implementasi UU Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Namun, pembangunan tidak dapat dilaksanakan karena
persoalan sertifikasi tanah yang tidak kunjung selesai. Pergantian Menteri Olahraga dan Pemuda dari
Adhyaksa Dault ke tangan Andi Alifian Mallarangeng pun terjadi. Saat Andi Alifian Mallarangeng
menjabat sebagai Menpora, proyek Hambalang dilanjutkan kembali yang juga dilakukan dalam rangka
momentum Sea Games ke-26 di Jakarta. Pada 20 Januari 2010, sertifikat hak pakai nomor 60 terbit atas
nama Kemenpora dengan luas tanah 312.448 meter persegi. Pada 30 Desember 2010, terbit Keputusan
Bupati Bogor nomor 641/003.21/00910/BPT 2010 berisi Izin Mendirikan Bangunan untuk Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional atas nama Kemenpora di Desa Hambalang,
Kecamatan Citeureup, Bogor. Pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga
Nasional mulai dilaksanakan tahun 2010 dan direncanakan selesai tahun 2012. Untuk membangun
semua fasilitas dan prasarana sesuai dengan master plan yang telah disempurnakan, anggaran mencapai
Rp1,75 triliun. Termasuk bangunan sport science, asrama atlet senior, lapangan menembak, extreme
sport, panggung terbuka, dan voli pasir. Anggaran ini berdasarkan hasil perhitungan konsultan
perencana. Proyek Hambalang menjadi kasus korupsi yang mencuat berawal dari Rapat Kerja Menpora
dengan Komisi X DPR RI. Saat itu, Menpora mengajukan pencabutan bintang (anggaran Rp125 miliar).
Selain itu, ia mengusulkan peningkatan program penambahan sarana dan prasana pusat pelatihan
olahraga, dan lain-lain. Anggaran yang akan diajukan menjadi Rp1,75 triliun ditambah pembelian alat-
alat sebagai pelengkap proyek Hambalang, dibutuhkan dana Rp125 miliar. Dengan demikian, anggaran
yang diperlukan Rp2,5 triliun. Anggaran proyek pusat pelatihan olahraga yang semula Rp125 miliar,
membengkak menjadi Rp1,75 triliun, dan berubah lagi menjadi Rp2,5 triliun. Perubahan anggaran naik
secara fantastis. Proses perubahan anggaran ini tidak melalui tahapan-tahapan yang semestinya. Dalam
pembahasan proses perubahan megaproyek ini seharusnya mengikutsertakan seluruh anggota Komisi X
DPR RI. KPK mencium ketidakberesan dalam proyek ini karena lonjakan nilainya sangat fantastis
sehingga kemudian KPK melakukan penyelidikan dan menetapkan M. Nazaruddin sebagai tersangka.
Pelarian Nazaruddin di luar negeri sebagai buronan selama tiga bulan akhirnya terhenti di Kolombia. Ia
kemudian dideportasi ke Indonesia karena pelanggaran imigrasi. Pertanyaan besar yang menjadi teka-
teki ini mulai terjawab ketika Nazaruddin kembali ke Indonesia. Beberapa nama populer terseret dalam
kasus ini di antaranya Angelina Sondakh (anggota DPR-RI), Andi Alifian Malarangeng (Menpor), dan Anas
Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat dan anggota DPR-RI). Di dalamnya tersangkut juga pihak
swasta dari PT Dutasari Citralaras sebagai perusahaan subkontraktor proyek tersebut. Istri Nazaruddin,
Neneng Sri Wahyuni juga menjadi tersangka dalam kasus korupsi lain yang melibatkan Nazaruddin.
Dalam kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang, KPK telah memeriksa sekira 60 orang saksi untuk
penyelidikan dan banyak yang dinyatakan bersalah kemudian beberapa orang menjadi tersangka.

Kronologi Penindakan

Pada Januari 2010, Nazaruddin bertemu Angelina Sondakh (anggota Badan Anggaran dari Komisi X DPR
RI) di Nippon Kan Restaurant Hotel Sultan, Jakarta Selatan dan memperkenalkan Mindo Rosalina
Manulang selaku Marketing PT Anak Negeri. Nazaruddin meminta kepada Angelina Sondakh agar Mindo
Rosalina difasilitasi mendapatkan proyek-proyek di Kemenpora. Dalam kesempatan itu, Angelina
Sondakh pun bersedia membantu dan meminta Nazaruddin serta Mindo Rosalina untuk menghubungi
pihak Kemenpora. April 2010, di rumah Makan Arcadia di belakang Hotel Century, Jakarta Pusat,
Nazaruddin bersama dengan Mindo Rosalina bertemu dengan Wafid Muharam, selaku Sekretaris
Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora). Nazaruddin meminta Wafid Muharam agar
memfasilitasinya agar mendapatkan proyek pembangunan wisma atlet. Nazaruddin merekomendasikan
PT DGI Tbk., sebagai perusahaan yang akan mengerjakan proyekan tersebut. Atas permintaan tersebut,
Wafid Muharam bersedia melaksanakannya asalkan pimpinan dan teman-teman DPR menyetujui.
Nazaruddin menanggapi pernyataan Wafid dengan mengatakan, hal tersebut sudah ‘clear and clean’
dan telah disetujui oleh teman-teman Angota Komisi X DPR RI. Bahkan sebentar lagi anggarannya akan
turun dengan jumlah yang besar. Agustus 2010, Mindo Rosalina dan Mohamad El Idris (Manager
Marketing PT DGI) melakukan pertemuan dengan Rizal Abdullah selaku Ketua Komite Pembangunan
Wisma Atlet Palembang Sumatra Selatan. Mindo Rosalina dan Mohamad El Idris meminta kepada Rizal
Abdullah supaya PT DGI ditunjuk untuk mengerjakan pembangunan proyek tersebut. Pada tanggal 16
Agustus 2010, di kantor Kemenpora, saat pengurusan perjanjian kerja sama (MoU) antara Kemenpora
dengan Komite Pembangunan Wisma Atlet Provinsi Sumatra Selatan sebesar Rp199,6 miliar, Wafid
Muharam meminta Rizal Abdullah agar PT DGI dibantu menjadi pelaksana pekerjaan dalam proyek
tersebut. September–Desember 2010, di kantor Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Palembang,
Sumatra Selatan, Mohamad El Idris bersama Wawan Karmawan beberapa kali melakukan pertemuan
dengan Rizal Abdullah dan M. Arifin selaku Ketua Panitia Pelelangan Barang/Jasa Kegiatan
Pembangunan Wisma Atlet di Palembang, Sumatra Selatan untuk memberikan data perencanaan,
gambaran desain, data personel dan peralatan PT DGI sekaligus data perusahaan pendamping dalam
rangka melakukan pengaturan agar PT DGI mendapatkan proyek tersebut. Selanjutnya M. Arifin
membuat harga perkiraan sendiri (HPS) yang akan digunakan sebagai dokumen pelelangan dalam
proyek Pembangunan Wisma Atlet. Akhirnya, PT DGI dinyatakan sebagai pemenang dengan nilai kontrak
sebesar Rp191,6 miliar. Januari 2011, Nazaruddin memerintahkan kepada Mindo Rosalina untuk
menanyakan kepada Mohammad El Idris mengenai fee untuk pihak- pihak yang dianggap telah
membantu dan berjasa dalam memenangkan PT DGI sebagai pelaksana proyek. Akhirnya disepakati
adanya pemberian fee kepada Nazaruddin sebesar 13%, Gubernur Sumatra Selatan sebesar 2,5%,
Komite Pembangunan Wisma Atlet sebesar 2,5%, Panitia Pelelangan/Pengadaan 0,5%, Sesmenpora
sebesar 2%. Sedangkan Mindo Rosalina mendapatkan uang sebesar 0,2% dari nilai kontrak setelah
dikurangi Ppn dan Pph. Februari–April 2011, Mohamad El Idris menyerahkan cek senilai Rp4,7 miliar
kepada Nazaruddin melalui Yulianis dan Oktarina Furi (keduanya staf bagian keuangan PT Anak Negeri).
Penyerahan cek tersebut sebagai realisasi dari sebagian kesepakatan pemberian fee sebesar 13%.

Latar Belakang Pelaku Utama

Nama : Muhammad Nazaruddin Jenis kelamin : laki-laki Profesi : anggota DPR RI Institusi : Dewan
Perwakilan Rakyat RI Waktu kejadian perkara : 2010 Waktu : 2013 Area korupsi : Jakarta Jenis TPK :
penyuapan (menerima gratifikasi)

Jejaring Pelaku

Angelina Sondakh, anggota Badan Anggaran dari Komisi X DPR RI. Ia diperkenalkan dengan Mindo
Rosalina Manulang oleh Nazaruddin. 2. Mindo Rosalina Manulang, Marketing PT Anak Negeri. Ia
diperkenalkan kepada Angelina Sondakh dan Wafid Muharam (Sekretaris Menteri Pemuda dan
Olahraga) oleh Nazaruddin. 3. Mohamad El Idris, Manager Marketing PT DGI. Ia merupakan pemberi
gratifikasi kepada Nazaruddin. 4. Rizal Abdullah diminta mengerjakan pembangunan Wisma Atlet oleh
Mindo Rosalina dan Mohamad El Idris. 5. M. Arifin (Ketua Panitia Pelelangan Barang/Jasa Kegiatan
Pembangunan Wisma Atlet di Palembang) yang membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang akan
digunakan sebagai dokumen pelelangan dalam proyek pembangunan wisma atlet.

Kerugian Negara

Proyek Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Bogor,
Jawa Barat menjadi megaproyek setelah ditangani oleh Menpora Andi Alifian Mallarangeng. Awalnya,
anggaran yang diajukan kepada Komisi X DPR RI sebesar Rp125 miliar, membengkak menjadi Rp2,5
triliun. Teka-teki pembengkakan anggaran megaproyek Hambalang ini pun terungkap setelah
Muhammad Nazaruddin tertangkap KPK. Dengan tertangkapnya Nazaruddin, terungkap pula
keterlibatan pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Andi Alifian Mallarangeng. Selain itu,
terungkap pula keterlibatan Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum. Proyek P3SON Hambalang
beberapa kali dibahas di Komisi X DPR RI. Pada awalnya DPR menyetujui pencairan dana sebesar Rp125
miliar. Pada tahun 2010, Kementerian kembali mengajukan anggaran Rp625 miliar. Namun, DPR
menyetujui pencairan dana sebesar Rp150 miliar sehingga total dana Hambalang pada 2010 mencapai
Rp275 miliar. Tahun berikutnya, mengalir dana sebesar Rp475 miliar. Pada 2012, turun lagi Rp425 miliar.
Dana yang sudah dikeluarkan itu hanya untuk bujet konstruksi. Dari data diketahui, tercatat jumlah
kerugian negara dalam kasus megaproyek Hambalang mencapai Rp463,66 miliar.

Pengadilan Koruptor

KPK menetapkan Muhammad Nazaruddin sebagai tersangka atas dugaan perbuatan melawan hukum
dengan menerima gratifikasi dari proyek Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional
(P3SON) di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Dakwaan Pertama:

Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana;
Kedua:

Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Thun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana;

Ketiga:

Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Tuntutan

1) pidana penjara 7 (tujuh) tahun; 2) denda Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) subsider selama
6 (enam) bulan; dan 3) membayar biaya perkara Rp10.000.

Putusan

Pengadilan Negeri Nomor 69/Pld.B/TPK/2011/PN.JK.PST Tgl. 20 April 2012

1) Mengadili

2) pidana penjara 4 (empat) tahun dan 10 (sepuluh) tahun;


3) denda Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah); apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana
kurungan selama 4 (empat) bulan; dan 4) membayar biaya perkara Rp7.500.

Pengadilan Tinggi Nomor 31/Pld/TPK/2012/PT.DKI Tgl. 8 Agustus 2012

Mengadili - menerima putusan banding dari penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Penasihat Hukum Muhammad Nazaruddin; - menguatkan putusan banding dari putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 69/PID.B/ TPK/2011/PN.JKT.PST
tanggal 20 April 2012; dan - biaya perkara Rp2.500.

Mahkamah Agung Nomor 2223 K/Pld.Sus/2012 Tgl. 22 Januari 2013

Mengadili 1) pidana penjara 7 (tujuh) tahun; 2) denda Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Apabila
tidak dibayar, diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan; dan 3) biaya perkara Rp2.500.

https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2018/05/Kisah-korupsi-kita.pdf

Anda mungkin juga menyukai