Anda di halaman 1dari 54

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI YANG BERPROFESI SEBAGAI


WANITA KARIR PERSPEKTIF MUBĀDALAH

A. Hak dan Kewajiban Suami Istri


1. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Hukum Islam
Perkawinan dapat menimbulkan berbagai hak dan kewajiban antara
suami istri, sebagai pelaksanaan bagi prinsip keseimbangan, kesetaraan,
dan persamaan berbagai pihak yang melaksanakan akad.1 Dengan adanya
suatu perkawinan, maka seorang suami memperoleh berbagai hak
begitupun seorang wanita yang mengikatkan diri menjadi istri dalam suatu
perkawinan memperoleh berbagai hak pula.2 Di samping itu, mereka pun
memikul kewajiban-kewajiban sebagai implikasi perkawinan.3
Ahmad Tholabi Kharlie memaparkan terkait hak dan kewajiban
suami istri yang memiliki dua pandangan mengemuka.4 Pandangan yang
pertama merupakan pandangan tradisional seperti halnya yang ada dalam
kitab-kitab klasik, sementara pandangan kedua, lebih diwarnai oleh
kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang semakin hari semakin
mementingkan hak-hak perempuan.5 Salah satu contoh tentang konsepsi
perempuan yang terkategori dalam pandangan tradisional adalah
sebagaimana yang diuraikan Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya
‘Uqud al-Lujjayn. Dalam kitab ini dia menjelaskan secara gamblang
tentang hak dan kewajiban suami-istri dalam Islam.6

1
Wahbah Az Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-illa’
Istri, LI’an, Zhihar, Masa Idah, Penerjemah Abdul Illayyieal-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani,
2011), 294.
2
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 2014), cet.5, 73.
3
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 63. Lihat juga pada Sayuti Thalib, Hukum
Kekeluargaan Indonesia, 73.
4
Para pemikir yang berusaha mengaitkan tradisi islam dengan konteks saat ini seringkali
mengkritik dan mereformasi pemahaman yang selama ini diyakini sebagai doktrin Islam, terutama
fikih yang cenderung patriarki. Lihat Heidah Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam.
Penerjemah M. Maufur , 53; Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,
249.
5
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249.
6
Teks diambil dari terjemahan Forum Kajian Kitab Kuning. Lihat, Sinta Nuriyah, dkk.,
Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, 12-13, dan 46. Pendapatnya ini

35
36

Menurut Nawawi, kewajiban suami terhadap istrinya adalah berlaku


adil dalam mengatur waktu untuk para istri jika ia berpoligami, memberi
nafkah, dan lemah lembut dalam berbicara dengan mereka. Tak hanya itu,
suami pun wajib memberikan kasih sayang kepada istrinya. Tentu saja,
konsepsi yang diberikan oleh Nawawi ini bukan tanpa alasan.
Menurutnya, kewajiban ini muncul karena suami telah memberikan mahar
dan nafkah kepada istrinya, lalu perempuan pun pada hakikatnya lemah
dan membutuhkan perlindungan, serta perempuan yang telah bersuami,
maka dia telah terkurung dalam penjara suami.7
Adapun tentang kewajiban istri terhadap suami yang telah
disebutkan oleh Nawawi adalah menaati suami, melaksanakan kewajiban
ketika suami tidak berada di rumah, menjaga kehormatan, serta
memelihara rahasia dan harta suami sesuai dengan ketentuan Allah SWT.8
Selain itu, Sayyid Sabiq juga menguraikan tentang hak dan
kewajiban suami-istri.9 Kewajiban timbal balik antara suami istri, yaitu:
(1) saling memberikan kenikmatan (al-istimta’) satu sama lain dengan
pergaulan yang baik; (2) keharaman karena mushaharah; (3) adanya hak
saling mewarisi; (4) ketetapan nasab bagi anak-anak; (5) pergaulan yang
baik. Sedangkan hak yang melekat pada istri, terbagi atas dua hal:
Pertama, hak yang bersifat materi, yaitu mahar dan nafkah hidup; dan
kedua, hak yang bersifat imateri, misalnya hak untuk mendapatkan
keadilan di antara para istri jika suami tersebut melakukan poligami atau
hak istri untuk tidak dipaksa menikah.10 Sementara hak suami terhadap
istri menurutnya adalah ketaatan istri dalam hal yang tidak mengandung

didasarkan pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, dalam Jami’ al-Shahih Sunan al-
Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, juz III, 466; Lihat, Muhammad bin Zayid ibn ‘Abd
Allah, Sunan Ibn Majah, tahqiq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, juz I, 591. Hadis nomor 1851;
Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249.
7
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249
8
Sinta Nuriyah, dkk., Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, 47.
Nawawi mendasarkan pendapatnya ini pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-
Nasai. Namun, menurut Abu Daud, Hadis ini dhaif. Lihat Sulaiman bin Ays’ats Abu Daud al-
Sijistani al-Azdy, Sunan Abu Daud (Beirut: Dar al-Fikr, tth), tahqiq Muhammad Muhyiuddin
Abdul Hamid, juz I, 522, hadis nomor 1664,
9
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 135; Lihat, Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga
Indonesia, 250.
10
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 135; Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
Keluarga Indonesia, 250.
37

maksiat, menjaganya baik diri atau hartanya, dan diberikan senyuman oleh
istri.11
Hal ini juga ditegaskan baik dalam Al-Qur’an12 maupun hadis Rasul.
Al-Qur’an menjelaskan mengenai kewajiban suami-istri yakni (a) saling
menghormati dan menjaga rahasia satu sama lain,13 (b) pergaulan dengan
cara yang makruf,14 (c) suami adalah kepala keluarga,15 (d) istri wajib

11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 250.
12
QS. An-Nisa [4]: 19,
               ….

            
Allah berfirman a)...... b)“Hai suami janganlah kamu mencari-cari kesalahan istri kamu
itu dengan maksud hendak mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan
kepadanya”. Kemudian c) “Hai suami, bergaulah kamu dengan istri kamu secara pergaulan yang
makruf (baik-baik). Lalu d) “Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu,
hendaklah kamu sadari bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan Allah
menjadikan sesuatu hal tersebut kebaikan yang banyak”. Lihat Mohd. Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam, Cet. V, 63.
13
Demikian pula kita temui pernyataan-pernyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri
yang saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh
Rasul dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Sabda Rasul “Bahwa sesungguhnya di
antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar), ialah
seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri itu, sedangkan oleh suami tadi
rahasia itu disiarkannya”. Begitupun seorang istri yang diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia
suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya kepada pihak lain; Lihat Sulaiman Rasyid, Fiqh
Islam, 365; Lihat pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 64.
14
Istilah makruf tersebut adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan itikad
baik dalam suatu kejujuran (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father), yang
biasa kita temui dalam istilah Hukum Perdata baik mengenai hubungan orang dengan orang
maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya benda (harta kekayaan).
Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah antara suami istri harus saling menghormati dan wajib
menjaga rahasia masing-masing, dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka
rahasia istrinya, demikian pula sebaliknya haram bagi si istri membuka rahasia suaminya. Dan
amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman Allah
dalam QS. An-Nisa [4] : 34 a) Mengenai musyrik, b) hak suami menghukum istri yang nusyuz,
lalu c) istri yang baik-baik ialah istri yang tunduk kepada Tuhan dan memelihara rumah tangganya
dan rahasia suami serta rahasia keluarganya; Sayuti Thalib, Kuliah Hukum Islam II pada Fakultas
Hukum UI Jakarta 1979/1980, 50; Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, 51; Lihat
pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 63-64.
15
Dalam hubungan suami istri, kita temui dalam QS. An-Nisa [4]: 34, secara garis
hukum: a)....., b)....., c)..., d) suami adalah kepala keluarga didasarkan kepada kelebihan tubuh
(fisik) yang diberikan Tuhan kepadanya dan berdasarkan ketentuan Tuhan bahwa suami
berkewajiban untuk membiayai kehidupan keluarga; Lihat Tim Penerjemah Departemen Agama,
Al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: PT Bumi Restu, 1978), 644; Lihat juga pada Mohd. Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam, 66.
38

mengurus rumah tangga dan memelihara anak-anak,16 (e) suami wajib


dalam memberikan nafkah.17 Dan berikut merupakan hak-hak dan
kewajiban suami istri dalam hukum Islam pada umumnya:
a. Hak-hak Istri
Hak istri merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Hak-hak
istri pun terbagi menjadi dua macam hak yakni hak-hak materi dan
non-materi, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Hak-hak Materi
Hak istri terhadap suaminya seperti hak materi atau juga yang
dikenal sebagai hak kebendaan, seperti mahar dan nafkah,18
a) Mahar
Mahar atau dalam istilah lainnya mas kawin merupakan
salah satu hak yang harus diberikan suami kepada istrinya. Hal
ini sebagaimana yang juga disebutkan oleh ulama fikih bahwa
yang dimaksud dengan mahar adalah harta yang wajib

16
Pengurusan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban
istri berdasarkan hadis Rasul yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, bahwa “Bahwa istri adalah
penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yang bersangkutan”; Sulaiman Rasyid, Fiqh
Islam, 367.; Lihat pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 66-67.
17
Kelebihan fisik laki-laki dari wanita dilihat dari kenyataan. Karena kelebihan fisik ini
maka suami diberi kewajiban untuk memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal untuk istri
dan anak-anaknya seperti ditegaskan Tuhan dalam QS. At-Talaq [65]: 6,
         
(a) berilah tempat istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu, (b)
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dari surat ini
terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan tempat tinggal dipakai cara semacam patrilokal.
Patrilokal disini adalah semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami
bukan berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah menjadi keluarga dari
keluarga suami. Menurut Hazairin, patrilokal dalam Islam ialah patrilokal dalam arti si iatri wajib
mengikuti suami. Jadi, perintah dalam surat tersebut ditujukan kepada suami untuk memberi
tempat tinggal kepada istri dan tempat tinggal itu bersama suami sendiri. Namun demikian
janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu memberatkan istrinya. Begitupun si istri harus
melihat kemampuan suami mengenai tempat tinggal ini. Jadi, sebaiknya haruslah persetujuan
kedua belah pihak antara suami dan istri. Lihat Tim Penerjemah Departemen Agama, Al-Qur’an
dan Terjemahan, 946; Lihat juga pada Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu
Analisis darim Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 67.
18
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), 68.
39

diberikan oleh seorang lelaki kepada perempuan karena


pernikahan atau persetubuhan.19 Hal ini berdasarkan pada:

          

    


Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada
perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
yang penuh kerelaan..” (QS. An-Nisa [4]: 4).20
b) Nafkah
Menurut bahasa nafkah berasal dari kata Arab ”infaq”
artinya membelanjakan. Sementara nafakah berasal dari kata
nafakah, yang berarti nafkah barang yang dibelanjakan.21
Adapun secara terminologi terdapat beberapa rumusan.
Menurut Imam Syafi’i, nafkah adalah pemberian yang harus
dilakukan seorang suami untuk istrinya dengan ketentuan bila
suami termasuk golongan miskin maka ia hanya wajib memberi
nafkah satu mudd, bila termasuk golongan menengah, maka
wajib memberi nafkah 1,5 mudd, sebaliknya bila kondisinya
termasuk orang yang mampu maka mampu memberi nafkah 2
mudd.22
Menurut Sayyid Sabiq, nafkah itu seperti memenuhi
kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan
juga pengobatan istri jika ia seorang yang kaya.23
Sedangkan menurut Djamaan Nur, nafkah merupakan
sesuatu yang diberikan oleh seseorang suami kepada istri,

19
Kifayatul Akhyar, Karya Tqiyuddin Muhammad Al-Husni, Juz 2, 37. Lihat juga pada
Muhammad Ra’fat ‘Utsman, Fikih Khitbah dan Nikah (Depok: Fathan Media Prima, 2017), 127.
20
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Bandung:
Sygma Media Inovasi, 2014), 77.
21
Abdul bin Nuh, ed.an., Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an Mutiara, 1983), 254.
22
Al-imam abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5 (Jakarta: Faizan,
t.th), 95.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib, Juz 7 (Bandung: Al
Ma’arif, 1996), cet.12, 1273.
40

kerabat, dan kepada miliknya untuk memenuhi kebutuhan


pokok mereka yang berupa makanan, pakaian dan tempat
tinggal.24 Hal ini juga serupa dengan yang dinyatakan oleh
Zakiah Daradjat.25
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, yang dimaksud
dengan nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan
oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan
untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.26
Tak hanya itu, di dalam kitab Bidayatul Mujtahid pun
dijelaskan bahwasanya para ulama sepakat seorang istri berhak
untuk mendapatkan nafkah dan hak pakaian yang dibebankan
kepada suami. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:27

      


Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu (dari anak-anaknya) dengan cara
yang baik. (QS. Al-Baqarah [2]: 233).

Selain itu, Nabi juga pernah ditanya oleh Hindun ra


terkait boleh tidaknya dalam mencuri harta suaminya,
(mengingat suaminya tak pernah memberi nafkah terhadapnya).
Lalu beliau pun menjawab: “Ambillah harta (milik suamimu)
untuk mencukupimu dan anakmu.”
Perihal kewajiban nafkah, mayoritas ulama sepakat atas
hal tersebut. Hanya saja, mereka berselisih pendapat tentang
empat masalah, yakni tentang waktu kewajiban memberi
nafkah, tentang besarannya, tentang orang yang berhak

24
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Toha Putra, cet. I, 1993), hlm. 101
25
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, 141
26
Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997), 1281
27
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, Penerjemah Imam
Ghazali dan Achmad Ma’ruf Asrori (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet.III, 518.
41

menerimanya, dan tentang orang yang wajib


28
mengeluarkannya.
Adapun terkait waktu kewajiban nafkah, Imam Malik
berpendapat bahwa suami tidak wajib memberi nafkah sampai
ia berhubungan badan dengan istri atau mengajak istrinya
untuk berhubungan badan dan saat itu istri termasuk kepada
perempuan yang bisa disetubuhi (sudah dewasa). Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i juga berkata meski suami belum
dewasa ia tetap wajib memberi nafkah jika istrinya adalah
orang dewasa. Sementara jika suaminya dewasa sedangkan istri
masih anak kecil maka Imam Syafi’i mempunyai dua qoul
(pendapat) yakni, pendapat pertama seperti qoul Imam Malik
dan pendapat kedua suami tetap harus membayar nafkah.
Alasan dari perbedaan pendapat mereka adalah karena
perbedaan alasan wajibnya nafkah. Apakah nafkah wajib
karena bisa berhubungan badan atau karena istri yang
waktunya tercurahkan untuk suami (sehingga meskipun tidak
bisa berhubungan badan, suami tetap wajib memberi nafkah)
seperti orang yang sedang ditinggal pergi atau sakit.29
Adapun terkait ukuran nafkah, menurut Imam Malik dan
Abu Hanifah tidak ada ukuran pasti dalam nafkah, hal tersebut
dikembalikan pada keadaan pasangan suami istri, dan tentu saja
menyesuaikan tempat, waktu dan keadaan. Sedang menurut
Imam Syafi’i nafkah itu memiliki ukuran pasti di mana bagi
suami yang kaya harus memberi makanan pokok dua mud,30
lalu jika suami miskin maka harus memberi nafkah satu mud,
sedangkan apabila suami merupakan orang-orang menengah,
maka nafkahnya adalah minimal 1,5 mud. Sebab perbedaan
pendapat mereka adalah perbedaan dalam memandang apakah

28
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, penerjemah Abdul Rasyad Shiddiq (Jakarta:
Akbarmedia, 2015), cet.5, 140.
29
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519.
30
Satu mud sama dengan kurang lebih 1,5 kg.
42

nafkah disamakan dengan membayar kafarah atau disamakan


dengan nafkah pakaian. Jika disamakan dengan kafarah maka
ukurannya pasti. Sedangkan nafkah pakaian seluruh ulama
sepakat tidak dibatasi (sesuai kebutuhan).31

2) Hak-hak Rohaniah atau Non Materi


Hak-hak rohaniah32 atau hak-hak non materi yang dimaksud
dalam hal ini adalah seperti hubungan baik atau mendapat
perlakuan yang baik dari suami,33 adil di antara para istri jika
suami memiliki istri lebih dari satu (berpoligami), tidak melakukan
tindakan yang membahayakan istri,34 suami melindungi istri dan
anak-anaknya dari segala sesuatu yang dapat mengancam jiwa dan
keselamatan sebagaimana suami berkewajiban memberi tempat
kediaman, lalu suami juga harus memenuhi kebutuhan sandang,
pangan, dan papan, dan berkewajiban untuk menggauli istrinya
dengan cara yang baik dan benar.35
Para ulama sepakat bahwa salah satu hak istri adalah
diperlakukan adil dalam mendapatkan jatah giliran jika ia
berpoligami. Alasannya karena Rasulullah selalu adil dalam
memberikan jatah giliran terhadap istri-istrinya.
Beliau juga pernah bersabda: jika seorang lelaki punya dua
istri kemudian dia condong (pilih kasih) terhadap salah satu
istrinya maka dia akan bangkit di hari kiamat dalam keadaan
condong (miring) sebelah badannya. Diriwayatkan juga: Jika
Rasulullah akan bepergian beliau selalu mengundi (siapa yang
akan beliau ajak pergi). Namun para ulama berbeda pendapat

31
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519-
520.
32
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
68.
33
Wahbah Az Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu, 294. Lihat juga pada Huzaenah Tahido
Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bandung: Ghalia Indonesia, 2010), 72.
34
Sulaiman Al Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah: Sayyid Sabiq (Jakarta: Beirut, 2017), cet-
3, 495.
35
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
68.
43

berapa lama suami boleh menetap di kediaman istri barunya, baik


istri baru tersebut gadis atau janda, dan apakah (waktu yang
dihabiskan bersama istri baru tersebut) dihitung sebagai jatah
giliran atau tidak. Imam Malik dan Syafi’i menyatakan bahwa
suami boleh menetap selama tujuh hari jika istri barunya adalah
gadis, tiga hari jika janda, dan tidak masuk hitungan jatah giliran
(sehingga tidak perlu mengqodho’ jatah istri yang lain). Imam Abi
Hanifah pun berpendapat, baik istri baru tersebut gadis ataupun
janda, maka hukumnya adalah sama. Waktu menetap pun masuk
hitungan jatah giliran jika ia punya istri lain.36
Hak-hak istri terhadap suami yang lain sebagaimana yang
dipaparkan oleh Syaikh Ibnu Fauzan bahwasanya suami tidak
berhak melarang kedua orang tua istrinya untuk mengunjungi
istrinya di rumah sang suami, kecuali jika ia khawatir dari kedua
orang tuanya itu mudarat yang dapat merusak sikap istrinya
terhadapnya karena kunjungan mereka, maka sang suami berhak
melarangnya.37

b. Hak-Hak Suami
Istri berkewajiban untuk melayani kebutuhan suaminya secara
lahir maupun batinnya, menjaga nama baik dan kehormatan suami
serta harta bendanya, dan mengabdi dengan taat pada ajaran agama dan
kepemimpinan suami sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban membiayai
semua kebutuhan rumah tangganya pun memiliki hak untuk mengatur
dengan baik terhadap masalah-masalah yang dialami oleh keluarganya
dengan cara bermusyawarah.38
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, dijelaskan bahwa hak suami
yang menjadi kewajiban istri adalah seperti menyusui dan mengurus

36
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519.
37
Khalid al-Husainan, Fikih Wanita: Menjawab 1001 Problematika Wanita (Jakarta:
Darul Haq, 2018), cet.x, 184.
38
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
68.
44

rumah, maka ulama juga berbeda pendapat. Sebagiannya, ada yang


mewajibkan istri menyusui anaknya dan sebagian lain mengatakan
bahwa istri tidak wajib menyusui. Ada juga yang berpendapat jika istri
orang biasa-biasa saja wajib menyusui dan jika istri termasuk orang
yang mulia (punya derajat tinggi) maka tidak wajib menyusui kecuali
jika anaknya tidak mau selain kepadanya. Dan pendapat ini adalah
pendapat masyhur Imam Malik. Sebab perbedaan pendapat ini berasal
dari pemahaman terhadap ayat radha’ (tentang menyusui) dalam Al-
Qur’an. Apakah ayat tersebut mewajibkan ibu menyusui atau hanya
menyuruh saja yang tak bersifat wajib. Yang menafsiri ayat tersebut
hanya perintah (non wajib), mengatakan bahwa menyusui bukan
kewajiban seorang ibu. Dan ulama yang menafsiri ayat tersebut
sebagai perintah wajib, maka wajib bagi ibu menyusui anaknya.
Adapun ulama yang membedakan antara perempuan biasa dan
perempuan mulia maka beliau melihat adat arab zaman dahulu.39

2. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Hukum Positif


a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)40
Di dalam KUH Perdata (BW) yang dahulu hanya berlaku
bagi golongan Eropa dan Timur Asing Cina tentang Hak-hak dan
Kewajiban suami dan istri diatut dalam bab kelima Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur tentang hak dan
kewajiban suami istri dalam pasal 103-118, yakni:41
Pasal 103
Suami dan istri, mereka harus setia-mensetiai, tolong-menolong,
dan bantu-membantu.42

39
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 525.
40
Tim Redaksi, Kitab Lengkap KUHPer, KUHAPer, KUHP, KUHAP, KUHD (Jakarta:
Penerbit Pustaka Setia, 2012), Cet.II, 34-36.
41
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2007), cet.3, 102.
42
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34.
45

Pasal 104
Suami dan istri, dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan, dan
hanya karena itu pun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian
bertimbal-balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak
mereka.43

Pasal 105
Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri. Sebagai
kepala berwajiblah ia, dengan tak mengurangi beberapa,
pengecualian teratur di bawah ini, akan memberi bantuan kepada
istrinya, atau menghadap untuknya di muka Hakim.
Setiap suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik
pribadi istrinya, kecuali kiranya tentang hal ini telah diperjanjikan
sebaliknya.
Ia harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah
yang baik, dan karenanya pun bertanggung jawab atas segala
kealpaan dalam pengurusan itu.
Ia tak diperbolehkan memindahtangankan, atau membebani harta
kekayaan tak bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan si istri.44

Pasal 106
Setiap istri harus tunduk patuh kepada suaminya.
Ia berwajib tinggal bersama dengan si suami dalam satu rumah,
dan berwajib pula mengikutinya barang di manapun si suami
memandang berguna, memusatkan tempat kediamannya.45
Pasal 107
Setiap suami berwajib menerima diri istrinya dalam rumah yang ia
diami.
Berwajiblah ia pula, melindunginya dan memberi padanya segala
apa yang perlu dan berpatutan dengan kedudukan dan
kemampuannya.46

43
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34.
44
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34.
45
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34-35.
46

Pasal 108
Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau
telah berpisahan dalam hal itu sekali pun, namun tak bolehlah ia
mengibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau
memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban,
melainkan dengan bantuan dalam akta atau dengan izin tertulis dari
suaminya.47
Seseorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk
membuat sesuatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian
sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu
pembayaran, atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang
tegas dari suaminya.48

Pasal 109
Terhadap segala perbuatan atau perjanjian yang dilakukan atau
diangkat setiap istri guna keperluan segala sesuatu berkenaan
dengan perbelanjaan rumah tangga yang biasa dan sehari-hari,
seperti pun terhadap segala pejanjian kerja yang diangkatnya
sebagai pihak majikan dan untuk keperluan rumah tangga pula,
terhadap kesemuanya itu undang-undang menganggap, bahwa
sudahlah si istri memperoleh izin yang dimaksudkan di atas dari
suaminya.49

Pasal 110
Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau
telah bepisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata
pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia
menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya.50

46
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
47
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
48
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
49
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
50
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
47

Pasal 111
Bantuan si suami kepada istrinya taklah perlu:
1e. apabila si istri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara
pidana;
2e. dalam sesuatu tuntutan akan perceraian perkawinan, akan
pemisahan meja dan ranjang atau akan pemisahan harta
kekayaan.51

Pasal 112
Jika si suami menolak memberi kuasa kepada istrinya, untuk
membuat suatu akta, atau menolak menghadap di muka Hakim,
maka bolehlah si istri meminta kepada Pengadilan Negeri tempat
tinggal mereka bersama, supaya dikuasakan untuk itu.52

Pasal 113
Seorang istri yang mana dengan izin yang tegas, atau izin secara
diam-diam dari suaminya, atas usaha sendiri melakukan sesuatu
mata pencaharian, boleh mengikat dirinya, dalam segala perjanjian
berkenaan dengan usaha itu, tanpa bantuan si suami.
Jika istri itu kawin dengan suaminya dengan persatuan harta
kekayaan, maka si suami pun terikatlah karena perjanjian-
perjanjian itu.53

Pasal 114
Apabila si suami menarik kembali izinnya, maka ia harus terang-
terangan mengumumkan penarikan kembali itu. Jika si suami,
disebabkan keadaan tak hadir, atau karena alasan-alasan lain
terhalang memberi bantuan kepada istrinya, atau terhalang
menguasakannya, atau jika ia mempunyai kepentingan yang
bertentangan, maka Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri
boleh mengizinkan kepada istri itu, untuk menghadap di muka

51
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
52
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
53
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
48

Hakim, mengangkat perjanjian-perjanjian, menyelenggarakan


54
pengurusan dan membuat segala akta lainnya.

Pasal 115
Suatu pemberian kuasa umum, pun jika ini dicantumkan dalam
perjanjian kawin, tak akan berlaku lebih daripada suatu penguasaan
untuk menyelenggarakan pengurusan atas harta kekayaan si istri
sendiri.55

Pasal 116
Kebatalan suatu perbuatan disebabkan ketiadaan kuasa, hanya
dapat dituntut oleh si istri, si suami atau para ahli waris mereka.56

Pasal 117
Apabila seorang istri, setelah perkawinannya dibubarkan, telah
melaksanakan seluruhnya, atau untuk sebagian, akan suatu
perjanjian, atau perbuatan yang telah ia angkat atau ia lakukan
tanpa penguasaan yang diharuskan, maka ia tak lagi berhak
menuntut pembatalan perjanjian atau perbuatan itu.57

Pasal 118
Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya.58

b. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Apabila KUH Perdata bertitik tolak dari hubungan perdata
suami istri semata, maka lain halnya dengan UU No. 1-1974.59
Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam UUP diatur dalam
Bab VI Pasal 30 sampai dengan Pasal 34.60

54
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
55
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
56
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
57
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
58
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36.
59
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, 102.
60
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, 22.
49

Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.61
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga;
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum;
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga;62

Pasal 32
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal
ini ditentukan oleh suami istri bersama;63

Pasal 33
Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain.64

Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya;
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baknya;
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.65

61
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
62
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
63
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
64
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 12.
65
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
50

c. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami istri dalam
Kompilasi Hukum Islam lebih sistematis dibandingkan dengan
UUP. Hal ini tentu dapat dimaklumi karena Kompilasi Hukum
Islam dirumuskan 17 tahun sejak UUP dikeluarkan. Sementara
dalam UUP pengaturan hak suami dan istri lebih bersifat umum. Di
bawah ini dikutip ketentuan-ketentuan yang lebih terperinci dari
Kompilasi Hukum Islam.66
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga;
(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum;67

Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama;
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya;
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya
dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa;
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biata rumah tangga, biaya perawatan, dan biata pengobatan
bagi istri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak;

66
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, 24.
67
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam (tt: Permata Press, tt), 25.
51

(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat


(4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin
sempurna dari istrinya;
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b;
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
istrinya nuzyuz;68
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan
anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah;
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau
iddah wafat;
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-
anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa
aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai
tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan
mengatur alat-alat rumah tangga;
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya;69

Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban
memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-
masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada
perjanjian perkawinan;70

68
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 25-26.
69
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 26-27.
70
Menurut Khazin Nasuha yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami adalah adil
dalam soal materi, adil dalam mebagi waktu, adil dalam memberi nafkah, yang berkaitan dengan
nafkah adalah sandang, pangan, dan papan, dan juga adil dalam memperlakukan keperluan
52

(2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
istrinya dalam satu tempat kediaman;71

Pasal 83
(1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum
Islam.
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya;72

Pasal 84
(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83
ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;
(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku
kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya;
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah istri nusyuz;
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan atas bukti yang sah;73

B. Konsepsi Wanita Karir


Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan
sosial. Fenomena ini diklaim sebagai simbol equality (keadilan) antara
laki-laki dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan
menuntut keadilan dan persamaan hak di segala bidang.74

batiniah istri-istrinya. Dalam hal keadilan batinlah, menurut Khazin Nasuha tidak dituntut oleh
hukum Islam, karena masalahnya berada di luar kemampuan manusia, sebagaimana Rasulullah
SAW ynag lebih cenderung rasa cintanya kepada Aisyah dibandingkan dengan istri-istri lainnya.
Lihat pada Aulia Muthiah, Hukum Islam, 93.
71
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27.
72
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27.
73
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27-28.
74
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta:
Teraju, 2004), 160.
53

1. Pengertian Wanita Karir


Bedasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata wanita karir
merupakan kata yang terdiri dari kata wanita dan memiliki arti
perempuan dewasa. Sedangkan karir sendiri berasal dari arti kata
“karir” (Belanda) yang berarti jabatan dan pekerjaan yang memberikan
harapan untuk maju.75 Sementara menurut Peter dan Yeni dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kontemporer (1991) bahwa
kata karir selalu dihubungkan dengan tingkat atau jenis pekerjaan
seseorang. Adapun yang dimaksud dengan wanita karir adalah wanita-
wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha dan
perusahaan).76
Istilah “karir” atau career (Inggris) dalam definisi yang lain
dapat juga berarti “a job or profesiion for which one is trained and
which one intends to follow for part or whole of one’s life” (suatu
pekerjaan atau profesi, di mana seseorang perlu pelatihan untuk
melaksanakan tugasnya, dan berkeinginan untuk menekuninya dalam
kehidupannya). Oleh karena itu, dalam hemat lain, yang dimaksud
dengan wanita karir adalah wanita yang berkecimpung dalam kegiatan
profesi seperti bidang usaha, perkantoran, dan lain-lain, dengan
dilandasi oleh pendidikan dan keahlian, keterampilan, kejujuran dan
sebagainya yang menjajikan untuk kemajuan dan jenjang karir.77
Pada umumnya karir ditempuh oleh wanita di luar rumah,
sehingga wanita karir tergolong mereka yang bekerja di sektor publik
yang membutuhkan kemampuan serta keahlian tertentu juga telah
menempuh pendidikan tertentu.78

75
SC Utami Munandar, Wanita Karir: Tantangan dan Peluang: Wanita dalam
Maysarakat Indonesia, Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2001), 301. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir (Malang:
UB Press, 2017), 93.
76
Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta:
English Press, 1991), 1125. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir,
93.
77
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 93.
78
Siti Muri’ah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir (Semarang: Rasail Media
Group, 2011), 32-34. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 94.
54

Alifiulahtin pun memaparkan bahwa pengertian wanita karir


adalah wanita yang menekuni pekerjaan (profesi) yang menghasilkan
uang dan memungkinkannya untuk dapat berkembang, baik jabatan,
peran maupun kepribadiannya, ditekuni dalam waktu yang lama,
secara penuh (full time), demi mencapai prestasi tinggi yang berupa
gaji maupun status tertentu.79

2. Wanita Karir dalam Islam


Menurut Quraish Shihab, terdapat perbedaan antara pria dan
wanita, tidak pada bentuk fisiknya saja, tetapi juga dalam bidang
psikis. Perbedaan seperti pembagian kerja, hak, dan kewajiban, yang
ditetapkan agama terhadap masing-masing inilah yang menjadi dasar
lainnya. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak
menjadikan salah satu pihak bebas dari tuntunan dan tuntunan minimal
dari segi moral dalam membantu pasangannya.80 Menurutnya, Islam
membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai aktivitas, atau bekerja
dalam berbagai bidang di dalam ataupun di luar rumahnya. Cara
bekerjanya itu dapat dilakukan baik secara mandiri, bersama orang
lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta selama pekerjaan
tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, terhindar dari
dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan
lingkungannya. Seorang istri dapat melakukan hal tersebut selama
tugas pokoknya sebagai istri tidak terabaikan.81
Bekerja selain ibadah82 juga dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup secara jasmani maupun rohani. Islam mengatur
adanya kewajiban untuk bekerja sekaligus hak untuk mendapatkan

79
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
80
M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta:Lentera
Hati, 2014), cet.14, 648.
81
M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, 649.
82
QS. Al-Jumu’ah [62] : 10 “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi, dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung”. Lihat pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 94.
55

pekerjaan yang dapat berlaku baik kepada laki-laki maupun


perempuan. Sebagaimana QS. An-Nisa [4] : 29:83

         

     


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan batil (tidak benar),
kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka
sama suka di antara kamu” (QS. An-Nisa [4] : 29).84

Berdasarkan firman tersebut, maka setiap manusia dituntut


untuk dapat memperjuangkan kebutuhan hidupnya, agar mampu hidup
mandiri. Bahkan berdasarkan kitab Fikih, Jamaluddin Muhammad
Mahmud menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai
pembela dan penuntut dalam berbagai bidang, dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, perempuan juga
mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan tertinggi dalam
karirnya.85
Muhammad Quthb juga menyatakan bahwa perempuan pada
zaman Nabi pun bekerja, ketika kondisi menuntut mereka untuk
bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka
untuk bekerja melainkan karena Islam tidak cenderung mendorong
wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat
perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan
wanita tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada
yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya
tidak mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhannya.86
Secara hukum Islam, Qardhawi mengkategorikan hukum
perempuan bekerja di luar rumah atau aktivitas berkarir adalah jaiz
(dibolehkan), yang dapat dimaknai sunnah atau wajib karena tuntutan
(membutuhkan), misalnya pada seorang janda yang telah dicerai oleh

83
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 95.
84
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 83.
85
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 95.
86
M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, 649.
56

suaminya atau untuk membantu ekonomi suami maupun keluarga.


Dalam fikih Hambali yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir, juga
tidak ditemukan larangan perempuan bekerja (berkarir), selama ada
jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja merupakan hak
setiap orang, sehingga suami tidak berhak melarang istri bekerja
mencari nafkah disebabkan karena ia sakit, miskin atau sebab lain.87
Adapun menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Islam tidak
melarang wanita untuk bekerja dan berbisnis, karena Allah
mensyariatkan dan memerintahkan hamba-Nya untuk bekerja,
sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah [9] : 105:88

       

Artinya: Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat


pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang
mukmin” (QS. At-Taubah [9] : 10):89

3. Ciri-ciri Wanita Karir


Alifiulahtin dalam bukunya yang berjudul Wanita dan Gender,
menyatakan terkait ciri-ciri wanita karir yakni:90
a. Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah
ataupun ranah publik, untuk mencapai suatu kemajuan secara
ekonomi maupun sebagai aktualisasi dirinya;
b. Kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan professional yang
membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu atau sesuai
dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik, ekonomi,
pemerintahan, ilmu pengetahuan, pertahanan dan kemanan sosial,
budaya, pendidikan, maupun di bidang yang lainnya.
c. Bidang yang ditekuni merupakan pekerjaan yang sesuai dengan
keahlian atau kompetensinya, serta dapat mendatangkan materi

87
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 96.
88
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
89
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
90
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
57

atau mendapat imbalan uang untuk kemajuan dalam kehidupan,


pekerjaan maupun jabatannya.91

4. Syarat-syarat Wanita Karir dalam Islam


Pada dasarnya Islam tidak melarang wanita untuk bekerja,
dalam arti wanita boleh bekerja apabila memenuhi syarat-syaratnya,
serta tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syariat seperti:
a. Terbebas dari hal-hal yang akan menyebabkan masalah,
kemungkaran, membahayakan agama dan kehormatannya.
b. Pekerjaannya tidak menganggu kewajiban utamanya dalam urusan
rumah, karena mengurus rumah adalah kewajiban utama,
sedangkan pekerjaan di luar rumah bukan kewajiban baginya
(dibolehkan).
c. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib menaati suaminya.
d. Menerapkan adab-adab Islami.
e. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya92

C. Konsepsi Mubādalah
1. Pengertian Mubādalah
Mubādalah berasal dari kata Arab ‫ ُمبَا َدلَة‬dan suku kata “ba-da-

la” (‫ل‬-‫د‬-‫)ب‬, yang berarti mengganti, mengubah, dan menukar. Akar


kata ini pun digunakan Al-Qur’an sebanyak 44 kali dalam berbagai
bentuk kata dengan makna seputar hal tersebut. Sementara, kata
mubādalah sendiri merupakan bentuk kesalingan (mufā’alah) dan
kerja sama antar dua pihak (musyārakah) untuk makna tersebut, yang
berarti saling mengganti, saling mengubah, atau saling menukar satu
sama lain.93

91
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
92
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 98-99.
93
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender
dalam Islam (Yogyakarta: Diva Press, 2019), 59.
58

Baik kamus klasik94 maupun kamus modern,95 mengartikan


kata mubādalah dengan tukar menukar yang bersifat timbal balik
antara dua pihak. Dan di dalam kedua kamus tersebut, kata “bādala-
mubādalatan” digunakan ketika seseorang mengambil sesuatu dari
orang lain dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain. Kata ini
sering digunakan untuk hal-hal ataupun aktivitas pertukaran,
perdagangan, dan bisnis.96 Sedangkan dalam kamus modern lain,97
mubādalah diartikan sebagai muqābalah al-mitsl yang berarti
menghadapkan sesuatu dengan padanannya. Kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dengan beberapa makna seperti reciprocity,
reciprotation, repayment, requital, paying back, returning in kind or
degree. Sementara, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“kesalingan” (terjemahan dari mubādalah dan reciprocity) digunakan
untuk hal-hal yang menunjukkan makna timbal balik.98
Dari makna-makna tersebut maka istilah mubādalah akan
dikembangkan untuk sebuah perspektif dan pemahaman dalam relasi
tertentu antara dua pihak, yang mengandung nilai dan semangat
kemitraan, kerja sama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal,
baik digunakan untuk relasi antara manusia secara umum, negara dan
rakyat, majikan dan buruh, orang tua dan anak, guru dan murid,
maupun untuk mayoritas dan minoritas. Tak hanya itu, istilah
mubādalah juga digunakan antara laki-laki dengan laki-laki, antara
perempuan dengan perempuan, individu dengan individu, atau antara
masyarakat, baik skala lokal maupun global, bahkan antara generasi
manusia dalam bentuk komitmen dan tindakan untuk kelestarian
lingkungan, yang harus diperhatikan oleh orang-orang sekarang untuk
generasi yang jauh ke depan.99

94
Seperti Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur (w. 711/1311).
95
Seperti Al-Mu’jam al-Wasith.
96
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59.
97
Al-Mawrid, untuk Arab-Inggris, karya Dr. Rohi Baalbaki.
98
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59.
99
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59-60.
59

2. Dasar Hukum Mubādalah


a. Gagasan Mubādalah dalam Al-Qur’an
Dalam kosmologi Al-Qur’an, manusia adalah khalifah yang
amanahnya ada di pundak manusia dalam rangka menjaga,
merawat, dan melestarikan segala isinya. Hal ini ditujukan untuk
laki-laki dan perempuan, dan bukan salah satunya saja. Sehingga
dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan keduanya harus
bekerja sama, saling menopang, dan saling tolong menolong untuk
melakukan dan menghadirkan segala kebaikan untuk kemakmuran
bumi dan seisinya. Kesalingan ini pun menegaskan bahwa salah
satu jenis kelamin tidak diperkenankan melakukan kezhaliman
dengan mendominasi dan menghegemoni yang lain. Tidak
diperkenan juga ketika salah satu hanya melayani dan mengabdi
pada yang lain karena, hal-hal tersebut bertentangan dengan
amanah kekhalifahan yang diemban bersama, dan akan
menyulitkan tugas memakmurkan bumi jika tanpa kerja sama dan
tolong menolong.100 Berikut adalah ayat-ayat yang berkaitan
dengan mubādalah:101
1) Ayat-ayat yang menggunakan redaksi umum, yang
menginspirasikan kesalingan dan kerja sama dalam relasi
antara manusia seperti QS. Al-Hujurāt [49] : 13,102 QS. Al-
Mā’idah [5] : 2,103 QS. An-Nisa [4] : 1,104 QS. Al-Anfāl [8] :

100
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 60-82.
101
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 60-61.
102
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 61.
               

      


Artinya: “Wahai manusia, Kami telah ciptakan kalian semua dari laki-laki dan
perempuan, lalu Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling
mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa. Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dan Maha Mengerti.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13).
103
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 61.
           
Artinya: “…Saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan dan
janganlah saling tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan…” (QS. Al-Mā’idah [5] : 2)
60

72.105 Keempat ayat tersebut adalah contoh bagaimana relasi


kesalingan, kemitraan, dan kerja sama dianjurkan oleh al-
Qur’an. Dalam ayat pertama (QS. Al-Hujurāt [49] : 13),
terdapat kata “tā’arafū”, sebuah bentuk kata kesalingan
(mufā’alah) dan kerja sama (musyārakah) dari kata ‘arafa,
yang berarti saling mengenal satu sama lain. Artinya, satu
pihak mengenal pihak lain, dan begitu pun sebaliknya. Ayat
kedua (QS. Al-Mā’idah [5] : 2) juga menggunakan bentuk yang
sama, yaitu kesalingan, “ta’āwanū”, berarti; “saling tolong-
menolonglah kalian semua”. Ayat ketiga juga (QS. An-Nisa [4]
:1) menyebutkan kata “tasā’alūn”, yang menurut disiplin ilmu
sharaf disebut “musyārakah baina itsnain” atau kerja sama
antara dua pihak. Yang bermakna: saling meminta satu sama
lain. Sementara, ayat keempat (QS. Al-Anfāl [8] : 72) memiliki
frasa “ba’dhuhum awliyā’bā’dh” (satu sama lain adalah
penolong) yang juga memiliki makna kesalingan.106
2) Ayat-ayat yang lebih tegas menyebut laki-laki dan perempuan
dalam relasi kemitraan dan kerja sama adalah seperti:

104
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 62.
               

              
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan atas nama-Nya kamu saling berbagi dan saling menjaga hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. (QS. An-Nisa [4] : 1).
105
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 62.
             

  


Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, berjihad dengan harta
dan jiwa mereka di jalan Allah (kaum Muhajirin), dan orang-orang yang memberikan melindungi
dan menolong (kaum Anshar), mereka semua adalah penolong satu sama lain….” (QS. Al- Anfāl
[8] : 72).
106
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 62-63.
61

a) QS. At-Taubah [9] : 71,107 ayat ini adalah ayat yang paling
tegas dan jelas mengajarkan kesalingan antara laki-laki dan
perempuan. Yang satu adalah penolong, penopang,
penyayang, dan pendukung bagi yang lain. Berbagai kitab
tafsir klasik menjadi rujukan, baik dari mazhab tekstual (bi
al-ma’tsūr) maupun rasional (bi al-ra’yi), mengartikan
frasa ba’dhuhum awliyā’bā’dh dengan saling tolong-
menolong (tanāshur), saling menyayangi (tarāhum), saling
mencintai (tahābub), saling menopang (ta’ādhud). Yang
satu adalah wali108 bagi yang lain. Dengan makna
kesalingan dalam frasa ba’dhuhum awliyā’bā’dh, ini
menunjukkan adanya kesejajaran dan kesederajatan antara
satu dengan yang lain.109
b) QS. Ali’ Imran [3]:195,110 merujuk pada pernyataan al-
Qurthubi (w. 671/1273) dalam tafsirnya, Al-Jami’li Ahkam
al-Qur’an, dengan frasa “ba’dhuhum min ba’dh”, ayat ini

107
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 63.
           

               
Artinya: “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling
menolong, satu kepada yang lain; dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah [9] : 71).
108
Wali artinya adalah penolong, penanggung jawab, pengampu dan penguasa. Lihat
pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 64.
109
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 63-64.
110
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 64-65.
                  

             

             
Artinya: “Dan Tuhan mereka menjawab (kegelisahan) mereka,: "Aku sama sekali tidak
akan menyia-nyiakan setiup amal perbuatan kalian, baik laki-laki maupun perempuan, satu sama
lain adalah sama. Maka mereka yang berhijrah, dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka dan
disiksa karena memilih jalan-Ku, juga mereka yang berperang dan dibunuh (karena jalan-Ku),
akan Aku hapuskan dosa-dosa mereka dan Aku masukkan mereka ke surga yang penuh dengan
sungai yang mengalir, sebagai balasan dari Allah. Dan Allah memiliki sebaik-baik balasan". (QS.
Ali’ Imran [3] : 195).
62

tidak hanya mengajarkan prinsip kesalingan, tetapi juga


kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Dua ayat
tersebut menegaskan perspektif kesalingan dan kerja sama
antara laki-laki dan perempuan dengan sangat eksplisit,
tegas, dan jelas.
3) Ayat yang secara eksplisit mengajarkan prinsip kesalingan
antara laki-laki dan perempuan:
a) Tentang relasi rumah tangga secara umum terdapat pada
ayat QS. An-Nisa [4] : 19.111 Dalam ayat ini, secara bahasa,
sudah menggunakan bentuk kesalingan (shīghat mufā’alah)
dalam kalimat “Wa ‘āshirūhunna bi al-ma’rūf”. Sehingga
arti kalimat tersebut tidak sekadar “perlakukanlah istrimu
dengan baik”, tetapi “saling memperlakukan satu sama lain
dengan baik, suami kepada istri dan istri kepada suami”.
Jika terjemahan literal dari kalimat ini adalah “perlakukan
(wahai suami) istri-istrimu dengan baik”,112 maka
terjemahan resiprokalnya adalah “perlakukanlah
pasanganmu dengan baik”. Terjemahan yang kedua lebih
mencakup kedua jenis kelamin dan menyiratkan makna
timbal balik sekaligus kesederajatan. Dibandingkan yang
pertama, terjemahan kedua sesungguhnya lebih tepat jika
mengacu pada bentuk kalimat kesalingan (mufā’alah).
Sehingga ayat ini tidak hanya mengarah kepada laki-laki
111
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 66.
              
Artinya: “…..dan Perlakukanlan mereka (perempuan) dengan baik. Sekiranya kalian
tidak suka pada mereka, bisa jadi (pada) sesuatu yang tidak kalian sukai (dari mereka) itu, Allah
menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisa [4] : 19).
112
Terjemahan versi Kemenag atas QS. An-Nisa [4] : 19 secara lengkap adalah sebagai
berikut: “Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika
kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. Dalam terjemahan ini, kalimat “wa
‘āsyirūhunna” tidak diterjemahkan dengan kesalingan (shīghat musyārakah), secara struktur
bahasa adalah demikian. Seharusnya: “saling bergaullah satu sama lain”. Lihat pada Faqihuddin
Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67.
63

untuk memperlakukan istri dengan baik, tetapi juga kepada


istri untuk memperlakukan suami dengan baik pula.113
b) Tentang relasi seksual secara khusus antara suami istri
terdapat pada ayat QS. Al-Baqarah [2] : 187.114 Dalam frasa
“hunna libāsun lakum wa antum libāsun laḫunna”, juga
secara eksplisit menyebut bahwa istri adalah pakaian bagi
suami dan suami adalah pakaian bagi istri. Ini pernyataan
kesalingan yang paling eksplisit antara suami dan istri
dalam kehidupan rumah tangga. Memang, secara literal,
ayat ini ditujukan kepada laki-laki sebagai orang kedua
yang diajak bicara oleh ayat, sehingga kalimatnya adalah
“Mereka (istrimu) adalah pakaian bagi kamu dan kamu
adalah pakaian mereka”.115 Tetapi secara resiprokal, ia juga
bisa dibaca dengan membalik perempuan sebagai orang
kedua dan laki-laki sebagai objek pembicaraan. Sehingga,
ayat tersebut, jika ditujukan kepada perempuan, bisa
berarti: “Suamimu adalah pakaian bagi kamu dan kamu
adalah pakaian baginya.” Ayat ini adalah dasar yang paling
jelas dan kuat mengenai kesalingan antara suami dan istri.
Satu sama lain adalah pasangan dan bagaikan pakaian yang
melindungi, memberi kehangatan ketika dingin, dan
menghadirkan kesejukan ketika suasana panas.116
c) Terkait ketenangan dan cinta kasih sebagai tujuan dan
manfaat pernikahan terdapat pada QS. Ar-Rūm [30] : 21.117

113
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67.
114
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 66.
              
Artinya: “Dihalalkan bagi kalian pada malam Ramadhan untuk berhubungan intim
dengan istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi
mereka….” (QS. Al-Baqarah [2] : 187).
115
Terjemahan versi Kemenag atas kalimat “Hunna libāsun lakum wa antum libāsun
laḫunna” dalam QS. Al-Baqarah [2] : 187 adalah “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu
adalah pakaian bagi mereka”. Yang dimaksud “mereka” adalah istri, dan “kamu” adalah suami.
Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 68.
116
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67-68.
117
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 66-67.
64

Mengenai tujuan keharmonisan, ketenangan, dan cinta


kasih dalam kehidupan berumah tangga. Secara literal,
memang ayat ini juga mengajak pada laki-laki. Ia
mengingatkan mereka tentang tanda kebesaran Alah SWT
bahwa pernikahan itu bisa membawanya pada ketenangan
dan cinta kasih, melalui pasangan yang dinikahi mereka.
Tetapi frasa “baynakum” dalam ayat ini menegaskan
makna resiprokal, atau kesalingan antara suami dan istri.
Bisa dikatakan, frasa tersebut adalah pernyataan eksplisit
mengenai pentingnya kesalingan antara pasangan suami
istri dalam mengelola kehidupan rumah tangga demi
menggapai harapan-harapan tersebut (sakinnah, mawaddah,
rahmah). Secara eksplisit, ditegaskan dalam frasa
“baynakum” bahwa cinta kasih (mawaddah wa rahmah) itu
harus tumbuh di antara suami dan istri. Mereka berdua, dan
tidak cukup salah satu saja. Sehingga, jika suami berharap
memperoleh ketenangan dan cinta kasih dari istri, hal yang
sama juga diharapkan oleh istri dari suami. Itulah maksud
dari kata “baynakum” dalam ayat tersebut.118
4) Ayat-ayat yang menegaskan perspektif kesalingan antara laki-
laki dan perempuan adalah sebagai berikut:
a) QS. Al-Baqarah [2] : 233.119 ayat ini menjelaskan mengenai
komitmen untuk tidak saling menyakiti dalam mengurus

                

    


Artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya: Dia menciptakan pasangan-pasangan
(bagi kalian) dari jenis kalian sendiri, agar kalian memperoleh ketenteraman, dan Dia
menjadikan diantara kalian rasa cinta kasih. Sesungguhnya pada hal demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang berfikir.” (QS. Ar-Rūm [30] : 21).
118
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 68.
119
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 69.
                    

         


65

dan membesarkan anak. Berkorban dalam mengurus dan


membesarkan anak, dalam ayat ini, juga harus
memperhatikan kondisi ibu dan ayah anak tersebut.
Seorang Ibu, menurut ayat ini, begitu pun ayah, tidak boleh
menjadi cedera karena anak mereka. Karena itu, diperlukan
perencanaan, persiapan, kecermatan, kematangan, dan
kemampuan yang prima. Urusan ini juga harus melibatkan
kerelaan, kebersamaan, dan permufakatan antara kedua
orang tua. Kata “lā tudhārra”, secara struktur bahasa Arab,
juga adalah redaksi kesalingan (mufā’alah) dan kerja sama
(musyārakah). Artinya, di antara dua pihak hendaknya
“tidak saling menyakiti”. Bisa jadi antara suami dan istri,
bisa juga antara anak dan orang tua.120
b) QS. Al-Baqarah [2] : 232,121 ayat ini membicarakan
mengenai hak perempuan untuk tidak dipaksa membatalkan
pernikahan yang ia inginkan. Jika perempuan dan calon
mempelai laki-laki telah saling rela satu sama lain, keluarga
perempuan harus menghormati komitmen tersebut. Dalam
ayat ini juga ada frasa “tarādhaw baynahum” yang

Artinya: “Seseorang tidak dibebani kecuali (menurut) kesanggupannya (dan) janganlah


seorang ibu dibuat menderita kesengsaraan karena anaknya dan janganlah (pula) seorang ayah
(dibuat menderita) karena anaknya. Demikian juga bagi ahli waris. Jika mereka berdua hendak
menyapih atas kerelaan dan musyawarah mereka berdua, maka mereka tidaklah berdosa….” (QS.
Al-Baqarah [2] : 233).
120
Dalam ayat ini, ada frasa “taradhin baynahumā” dan “tasyāwurin”, yang secara
struktur bahasa menggunakan bentuk kesalingan (mufā’alah), yang berarti “saling rela” dan
“saling musyawarah” antara suami dan istri. “Saling rela” dan “saling musyawarah” antara suami
dan istri. “Saling rela” artinya satu sama lain hendaknya berupaya membuat pasangannya
mengerti, memahami, menerima, dan merelakan. Begitu pun dirinya (kepada pasangannya), juga
dituntut bisa mengerti, memahami, menerima, dan merelakan. Smeentara, “saling bermusyawarah”
mengindikasikan masing-masing pihak, antara suami dan istri, begitu juga ayah dan ibu. Pun, ayat
tersebut melarang kesalingan yang negative, yaitu “saling menyakiti” dan meganjurkan yang
positif, yaitu “saling merelakan” dan memberi pendapat”. Selain itu, ayat ini juga sangat prinsipil
dalam hal kesetaraan dan kesederajatan. Sebab, dalam sebuah pasangan, tidak mungkin masing-
masing bisa berpendapat dengan nyaman tanpa kesetaraan posisi dan kesederajatan relasi.
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 70.
121
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 69.
         
Artinya: “……maka janganlah kalian menghalangi mereka (perempuan) untuk menikahi
calon suami mereka, apabila mereka telah saling rela di antara mereka (perempuan dan calon
suaminya) dengan baik...” (QS. AL-Baqarah [2] : 232)
66

merupakan bentuk mufā’alah, yang artinya saling rela


antara perempuan yang akan menikah dengan calon suami
yang akan dinikahinya. Bisa juga antara para pihak yang
lain, seperti keluarga perempuan dan perempuan itu sendiri,
untuk berusaha saling rela satu sama lain. Ayat ini juga
adalah sumber inspirasi yang eksplisit mengenai kesalingan
dalam menjalin janji pernikahan.122
c) QS. An-Nisa [4] : 21,123 yang menggambarkan pernikahan
sebagai perjanjian yang kuat antara dua pihak, yang
keduanya telah disahkan untuk saling menikmati tubuh
mereka satu sama lain, membangun kehidupan bersama,
dan mewujudkan cita-cita bersama. Sekali lagi, frasa
“ba’dhukum ilā ba’dh” muncul dalam ayat ini, yang
menegaskan kesalingan satu sama lain, diminta untuk
menjaga kekokohan akad pernikahan. Sebab, masing-
masing menjadi utuh jika merasa menjadi bagian dari yang
lain.

b. Gagasan Mubādalah dalam Hadis


Ada berbagai teks hadis yang menjadi rujukan bagi prinsip
kesalingan antar sesama, terutama antara laki-laki dan perempuan.
Teks-teks hadis ini mengajarkan suatu nilai untuk saling mencintai,
saling menolong, saling menutup aib, dan tidak merugikan satu
sama lain. Meskipun sebagian besar adalah teks-teks yang bersifat
umum yang menagajarkan prinsip kesalingan dan kerja sama
dalam semua jenis relasi kemanusiaan, akan tetapi karena relasi
gender merupakan relasi yang paling dasar, maka sudah seharusnya
ia masuk dalam prinsip umum kesalingan tersebut. Selain itu, ada
122
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 71.
123
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 69.
           
Artinya: “Bagaimana kalian (tega) mengambilnya (pemberian kepada pasangan),
padahal kalian telah (menikah dan) berhubungan satu dengan yang lain dan mereka (perempuan)
telah melakukan perjanjian yang kuat (dengan kalian)”. (QS. An-Nisa [4] : 21).
67

juga satu teks bersifat khusus yang menegaskan pentingnya


kemitraan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Kemitraan ini
meniscayakan adanya kesalingan antara mereka. Beberapa teks
yang dimaksud adalah sebagai berikut:

،ِ‫ار ِه َما ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ه‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل ل َِج‬ َ ِّ‫س َع ِن ال َن ِبي‬ ٍ ‫َعنْ أَ َن‬
:‫ َوأَمَّا ِر َوا َي ُة أَحْ َم ُد‬،‫ َما ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ِه م َِن ْال َخي ِْر‬:‫َو ِفي ِر َوا َي ِة ل َّن َسا ئِيَّ ِز َيادَ ًة‬
.‫اس َما ُيحِبُّ لِن ْفسِ ِه‬ ِ ‫الَ ي ُْؤمِنُ أَ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبُّ لِل َّن‬

Diriwayatkan dari Anas Ra, dari Nabi Muhammad SAW, yang


bersabda, "Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu
sehingga mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia
mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri”. Dalam riwayat
Muslim, ada tambahan, "(atau beliau bersabda) untuk
tetangganya sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk
dirinya sendiri." Dalam riwayat Nasa'i, ada tambahan:
“sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk diriya sendiri
dari hal-hal yang baik." Sementara dalam riwayat Ahmad,
redaksinya berbunyi, "Tidaklah sempurna iman seseorang di
antara kamu kecuali mencintai sesuatu untuk orang lain iman
seseorang di antara kamu kecuali mencintai sebagaimana ia
mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri" (Shahih Bukhari
no. 13, Shahih Muslim no. 179, Sunan al-Tirmidzi no. 2705,
Sunan al-Nasai no. 5034, Sunan lbnu Majah no 69, dan
Musnad Ahmad no. 14083).124

ْ‫صنننلَّى َُ َعل ْيننن ِه َو َسنننلَّ َم َعنننن‬َ َ ِ ‫ننل أَ َّنننن ُه َسنننل َ َل َر ُسنننو ُل‬ ِ ‫َعننننْ م َُذنننا ٍِ ْبن‬
ٍ ‫ننن َج َبن‬
َ ْ َ َ ‫أَ ْف‬
ُ
‫هللا َوتذْ مِن َل‬ ِ ‫ِِ فِني‬ ُ
َ ‫َ َوتن ْب‬ ُ
ِ ُّ‫نان أنْ تحِنب‬ ِ ‫اْل ْي َم‬
ِ ‫ضن ُل‬ ْ
َ ‫ان قا َل أف‬َ ِ ْ ‫ض ِل‬
ِ ‫َاْل ْي َم‬
ُّ‫ناس َما ُتحِنب‬ ِ ‫هللا َقا َل َوأَنْ ُتحِبَّ لِل َّن‬
ِ ‫ارسُو َل‬ َ ‫هللا َقا َل َو َم َاِا َي‬ ِ ‫ل َِسا َن َك فِي ِ ِْك ِر‬
َ ‫لِ َن ْفسِ َك َو َت ْكرْ َه لَ ُه َم َما َت ْك َرهُ لِ َن ْفسِ َك َوأَنْ َتقُو َل َخيْرً ا أَ ْو َتسْ م‬
‫ُت‬
Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal Ra., ia bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang iman yang sempurna. Rasulullah
SAW menjawab, "Keimanan akan sempurna jika kamu
mencintai karena Allah dan membenci juga karena Allah, serta
menggunakan lidah kamu untuk mengingat Allah." Mu'adz
bertanya, Ada lagi, wahai Rasulullah? Dijawab, "Ketika kamu
mencintai sesuatu untuk manusia sebagaimana kanu mencintai
sesuatu itu untuk dirimu sendiri, kamu membenci sesuatu untuk
mereka sebagaimana kamu membenci sesuatu itu untuk dirimu
sendiri, dan menyatakan kebaikan atau diam." (Musnad Ahmad,
no. 22558 dan 22560).125

124
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 83.
125
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 83-84.
68

Hadis-hadis tersebut menegaskan perspektif mubādalah yang


menggunakan ungkapan-ungkapan sangat jelas mengenai prinsip
kesalingan sebagai bagian integral keislaman. Seperti hadis Anas
bin Malik Ra yang menegaskan ajaran kesalingan sebagai tolak
ukur keimanan. Jika dalam riwayat Bukhari dan Muslim
mengindikasikan kesalingan komunal sesama orang Islam (dalam
kata "akhihi), maka riwayat Ahmad menegaskan bahwa kesalingan
itu justru antar sesama manusia (dalam kata "al-nas). Adapun
dalam perspektif yang lebih luas, sebagaimana dikenalkan oleh KH
Ahmad Shiddiq dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984,
kata saudara memiliki makna yang luas, bisa mencakup saudara
kandung secara biologis, saudara keimanan (ukhuwah slamiyah),
saudara kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan saudara
kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Perluasan perspektif inilah
yang ditegaskan oleh hadis riwayat Ahmad tersebut.126
Kemudian dalam Mu'adz bin Jabal Ra juga menegaskan
ajaran kesalingan sebagai bagian dari keimanan, sebagaimana cinta
Allah SWT banyak berdzikir, dan berkata jujur.127
Kalimat-kalimat dari kedua teks hadis tersebut dapat disusun
dalam redaksi yang lebih sederhana. Yaitu: "bahwa seseorang akan
dianggap beriman jika sudah mencintai sesuatu untuk orang lain
sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri.128

3. Prinsip Mubādalah
Prinsip mubādalah tentu saja tidak hanya digunakan untuk
mereka yang berpasangan saja. Prinsip tersebut juga dapat digunakan
bagi mereka yang memiliki relasi dengan orang lain seperti sebagai
suami dan istri atau sebaliknya, sebagai orang tua dan anak atau
sebaliknya, sebagai antaranggota keluarga, jika di dalam relasi

126
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 85.
127
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 83.
128
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 85.
69

keluarga, bisa juga antaranggota komunitas, ataupun antarwarga


negara.129

4. Substansi Perspektif Mubādalah


Substansi dari perspektif mubādalah merupakan hal terkait
kemitraan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam
membangun relasi kehidupan, baik di rumah tangga maupun dalam
kehidupan publik yang lebih luas. Sekalipun hal ini sangat jelas dalam
teks-teks Islam, tetapi terkadang ia tidak terlihat secara ekspilisit dalam
banyak kasus di kehidupan nyata. Perspektif ini juga menawarkan
sebuah pemaknaan yang disebut dengan qirā’ah mubādalah, untuk
mempertegas prinsip kemitraan dan kerja sama antara laki-laki dan
perempuan baik dalam semua ayat, hadis, maupun teks-teks hukum
yang lain. Metode ini pun bekerja untuk memperjelas posisi
perempuan dan laki-laki sebagai subjek yang disapa oleh teks-teks
sumber dalam Islam.130

5. Cara Kerja Mubādalah


Ada tiga langkah bersifat kronologis yang harus ditempuh dalam
cara kerja metode mubādalah terhadap teks-teks sumber Islam.
Namun, apabila kesadaran pengetahuan terhadap langkah pertama
yang sudah cukup menguat dan melekat bagi sebagian orang, maka
dapat menempuh langsung kepada langkah yang kedua, atau bahkan ke
langkah ketiga. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:131
a. Menemukan dan menegaskan prinsip-prinsip ajaran Islam dari
teks-teks yang bersifat universal sebagai pondasi pemaknaan baik
prinsip yang bersifat umum melampau seluruh tema (al-mabādi’)
maupun yang bersifat khusus untuk tema tertentu (al-qawā’id).

129
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 85.
130
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 195.
131
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 200-202.
70

Prinsip-prinsip ini menjadi landasan inspirasi pemaknaan seluruh


rangkai metode mubādalah.132
b. Menemukan gagasan utama yang terekam dalam teks-teks yang
akan di interpretasikan. Dalam hal ini, teks-teks relasional yang
sudah menyebutkan peran laki-laki dan perempuan, kebanyakan
merupakan sesuatu yang bersifat implementatif, praktis, parsial,
dan hadir sebagai contoh pada ruang dan waktu tertentu bagi
prinsip-prinsip Islam. Karena teks relasional-implementatif, maka
perlu ditemukan makna atau gagasan utama yang bisa kohesif dan
korelatif dengan prinsip-prinsip yang ditegaskan oleh ayat-ayat
yang sudah ditemukan melalui langkah pertama.133
c. Menurunkan gagasan yang ditemukan dari teks (yang lahir dari
proses langkah kedua) kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan
dalam teks. Dengan demikian, teks tersebut tidak berhenti pada
satu jenis kelamin saja, tapi juga mencakup jenis kelamin lain.
Sehingga, metode mubādalah ini menegaskan bahwa teks untuk
laki-laki adalah juga untuk perempuan, dan teks untuk perempuan
adalah juga untuk laki-laki, selama telah menemukan makna atau
gagasan utama dari teks tersebut yang bisa mengaitkan dan berlaku

132
Sesuatu dikatakan prinsip adalah ajaran yang melampaui perbedaan jenis kelamin.
Misalnya, ajaran mengenai keimanan yang menjadi pondasi setiap amal, bahwa amal kebaikan
akan dibalas dengan pahala dan kebaikan tanpa melihat jenis kelamin, tentang keadilan yang harus
ditegakkan, tentang kemashlahatan dan kerahmatan yang harus ditebarkan. Bahwa kerja keras,
bersabar, bersyukur, ikhlas, dan tawakkal adalah baik dan diapresiasi oleh Islam. Ayat-ayat prinsip
ini, baik yang al-mabādi’ maupun yang al-qawā’id, harus selalu menjadi kesadaran awal sebelum
praktik interpretasi ayat-ayat yang lain yang bersifat parsial dilakukan. Kandungan dan pesan
utama dari teks-teks prinsip tersebut harus dipastikan masuk menjadi pondasi dalam proses
pemaknaan teks-teks yang parsial (al-juz’iyyāt). Untuk ayat-ayat yang bersifat prinsip, kita hanya
berhenti pada langkah pertama, yaitu menemukan gagasan-gagasan prinsip dalam teks yang
menjadi basis keseimbangan, kesalingan, dan keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Hanya
diperlukan penegasan-penegasan mengenai ke-subjek-an laki-laki dan perempuan. Lihat pada
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 200-201.
133
Langkah kedua ini, secara sederhana, bisa dilakukan dengan menghilangkan subjek
dan objek yang ada dalam teks. Lalu, predikat dalam teks menjadi makna atau gagasan yang akan
kita mubādalah-kan antara dua jenis kelamin. Jika ingin lebih mendalam, langkah ini bisa
dilakukan dengan bantuan metode-metode yang sudah ada dalam usul fiqh, seperti analogi hukum
(qiyās), pencarian kebaikan (istishān), pencarian kebaikan (istishlāh), atau metode-metode
pencarian dan penggalian makna suatu lafal (dalālat al-alfāzh). Atau lebih dalam lagi dengan teori
dan metode ‘tujuan-tujuan hukum Islam’ (maqāshid al-Syariah). Metode-metode ini digunakan
untuk menemukan makna yang terkandung di dalam teks, lalu mengaitkannya dengan semangat
prinsip-prinsip dari langkah pertama. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah,
201.
71

untuk keduanya. Makna utama ini harus selalu dikaitkan dengan


prinsip-prinsip dasar yang ada pada teks-teks yang ditemukan
melalui langkah pertama.134
Gambar 1.4
Diagram Alur Kerja Interpretasi Mubādalah135

Alur Kerja Interpretasi


Mubādalah
Menegaskan prinsip nilai dari Menemukan gagasan utama dari
Al-Qur’an dan hadis yang teks yang kita interpretasikan
menjadi pondasi pemaknaan yang nanti diteruskan pada
bagi teks-teks (ayat atau hadis) langkah ketiga, dengan
parsial yang akan kita mengaitkan juga pada prinsip
interpretasikan nilai hasil kerja langkah pertama

Mengaplikasikan gagasan utama tersebut


(hasil kerja langkah kedua) pada jenis
kelamin yang tidak disebutkan dalam teks

6. Skema Teks-Teks Mubādalah


Ada dua pencakupan suatu teks terhadap kedua jenis kelamin
sebagai gagasan mubādalah, yaitu pencakupan yang eksplisit
(manthūq) dan implisit (mafhūm). Teks yang gagasan mubādalah-nya
sudah eksplisit, tentu tidak memerlukan kerja interpretasi mubādalah,
tetapi justru menjadi inspirasi kerja interpretasi bagi teks yang
implisit.136 Adapun teks-teks yang gagasan mubādalah-nya masih
implisit terbagi menjadi dua yakni yang sudah ditafsirkan oleh ulama
klasik melalui kaidah taghlīb al-dzukur ‘alā al-ināts (struktur kalimat
laki-laki harus memasukkan jenis kelamin perempuan), dan yang
masih belum terdapat gagasan mubādalah sehingga perlu dilakukan
kerja-kerja interpretasi yang memasukkan jenis kelamin yang tidak
disebut secara eksplisit dalam teks. Artinya, teks-teks implisit

134
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 200-202.
135
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 208.
136
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 210.
72

mubādalah, ada yang sudah taghlīb (jenis kelamin perempuan masuk


di struktur laki-laki), dan ada yang belum (struktur laki-laki masih
ekslusif untuk laki-laki, dan struktur perempuan masih ekslusif untuk
perempuan).137 Adapun teks-teks eksplisit-mubādalah (manthūq)
terdiri dari tiga jenis, yaitu pertama, tashrīh al-jinsayn wa al-
musyārakah (eksplisit untuk dua jenis kelamin dan kemitraan),138 yang
merupakan teks-teks yang menyebut secara eksplisit laki-laki dan
perempuan, yang sekaligus berbicara mengenai kemitraan dan kerja
sama antara keduanya (tashrīh al-musyārakah).139 Kedua, tashrīh al-
jinsayn lā al-musyārakah (eksplisit untuk dua jenis kelamin, tetapi
tidak eksplisit dalam hal kemitraan keduanya), merupakan teks-teks
yang menyebut perempuan dan laki-laki secara eksplisit (al-jinsayn),
tetapi tidak berbicara mengenai kesalingan dan kerja sama secara
langsung antara mereka (lā al-musyārakah).140 Dan ketiga, tashrīh al-
musyārakah lā al-jinsayn (eksplisit dalam hal kemitraan, tetapi tidak
eksplisit menyebut dua jenis kelamin). Sekalipun tidak eksplisit

137
Teks implisit mubādalah jenis kedua tersebut belum banyak dibahas dalam kitab-kitab
klasik. Untuk lebih mudahnya, kerja-kerja interpretasi pada teks implisit mubādalah jenis kedua
disebut dengan tabdīl (lit: mengganti), mengimbangi kerja jenis pertama dari teks implisit-
mubādalah yang sudah sering disebut sebagai metode taghlīb. Sebenarnya, merujuk pada akar
bahasa yang sudah disebut di awal tulisan, lebih tepatnya istilahnya adalah tabādul, bukan tabdīl.
Tetapi, untuk mempermudah pemaknaan dan mengimbangi terminology yang sudah ada, maka
kata tabdīl lebih dipilih. Yang artinya: mengganti subjek dari yang laki-laki menjadi perempuan,
dan yang perempuan menjadi laki-laki. Proses penggatian ini bisa disebut tabdīl. Panjangnya
adalah tabdīl bi al-ināts (mengganti dengan perempuan untuk teks struktur laki-laki) dan tabdīl bi
al-dzukūr (mengganti dengan laki-laki untuk teks struktur perempuan). Lihat pada Faqihuddin
Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 210-211.
138
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 211-212.
139
Yang paling kuat adalah QS. At-Taubah [9] : 71, yang menegaskan mukmin laki-laki
dan perempuan, satu sama lain, adalah penolong dan penopang untuk kerja-kerja amar ma’ruf dan
nahi munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan segala kerja ketaatan kepada Allah SWT
dan ajaran Nabi Muhammad SAW. begitu juga teks eksplisit mengenai laki-laki dan perempuan
yang bersatu dan bersama dalam hal kerja-kerja kebaikan, hijrah, dan jihad perang (QS. Ali’Imran
[3] : 195). Teks-teks lain yang eksplisit dari jenis ini, khusus dalam relasi pasutri, adalah ayat-ayat
pilar pernikahan (QS. Al-Baqarah [2] : 187 dan 233; QS. An-Nisa [4] : 19; dan QS. Ar-Rūm [30] :
21). Ada juga teks-teks hadis, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, no.
238 dan 4923), Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, no 163), dan Ahmad (Musnad Ahmad, no. 26836 dan
27916). Teks-teks ini bisa disebut teks yang tashrīh al-Jinsayn wa al-musyārakah (eksplisit untuk
dua jenis kelamin dan kemitraan). Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 211-212.
140
Penyebutan ini menegaskan bahwa kedua jenis kelamin tersebut menjaid subjek dalam
teks, dan Karen aitu, seharusnya memberi inspirasi yang jelas bahwa semua teks lain juga
memasukkan kedua jenis kelamin sebagai subjek yang setara. Penetapan perempuan dan laki-laki
sebagai subjek teks adalah salah satu prinsip dalam mubādalah. Lihat Faqihuddin Abdul Kodir,
Qirā’ah Mubādalah, 212.
73

menyebut laki-laki dan perempuan, tetapi teks-teks jenis ketiga ini


secara eksplisit berbicara mengenai kerja sama, tolong-menolong, dan
kesalingan dalam mengelola kehidupan. Dengan merujuk pada teks
eksplisit jenis pertama dan kedua, maka teks jenis ketiga juga
semestinya mencakup isu relasi laki-laki dan perempuan, dan juga
menempatkan mereka berdua secara bersama-sama sebagai subjek
dalam teks.141

D. Hak dan Kewajiban Istri Perspektif Mubādalah


Dalam penjelasan fiqh klasik, sesungguhnya hak dan kewajiban
pasangan suami istri hanya bertumpu pada tiga hal,142 yaitu relasi yang
baik (mu'āsyarah bil ma'rūf),143 nafkah harta,144 dan layanan seks.145
Dalam konteks ini, acap kali dijelaskan bahwa kebutuhan terbesar laki-laki
adalah seks, sementara kebutuhan terbesar perempuan adalah perlindungan
melalui nafkah materi. Terutama, ketika perempuan harus melalui fase-
fase reproduksi, menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, dan
membesarkan anak, yang menuntut energi khusus. Sementara, laki-laki
tidak memiliki halangan reproduksi apa pun untuk bekerja menghasilkan
harta bagi pemenuhan kebutuhan keluarga. Sehingga, laki-laki dituntut
memberi nafkah, sementara perempuan tidak. Dalam konteks ini, QS. An-

141
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 214.
142
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 369.
143
Hal ini ditujukan pada kedua belah pihak, di mana suami diminta berbuat baik pada
istri, dan istri juga diminta hal sama. Relasi ini menjadi pondasi bagi kedua hal berikutnya, dan
hal-hal lain menyangkut peran-peran marital sehari-hari. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
relasi ini harus yang menguatkan keduanya dan mendatangkan kebaikan. Ia bukan relasi yang
dominatif, salah satu kepada yang lain. Baik dengan alasan status sosial yang dimiliki, sumber
daya yang dibawa, atau sekadar jenis kelamin semata. Melainkan, itu adalah relasi berpasangan
(zawāj), kesalingan (mubādalah), kemitraan (mu'āwanah), dan kerja sama (musyārakah). Lihat
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 370.
144
Hak yang kedua, yaitu nafkah harta, diwajibkan kepada suami terhadap istri, sekalipun
dalam kondisi tertentu, istri juga diminta berkontribusi. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir,
Qirā’ah Mubādalah, 370.
145
Untuk hak yang ketiga, soal seks, fiqh lebih menekankan sebagai kewajiban istri
terhadap suami. Sekalipun fiqh juga menurunkan tuntunan-tuntunan agar suami melayani
kebutuhan seks istri untuk menjaga kehormatannya. Penjelasan fiqh seperti demikian, nafkah oleh
suami dan seks oleh istri, sesungguhnya relevan untuk berbagai budaya dunia dan tuntutan hormon
biologis yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Lihat Faqihuddin Abdul Kodir,
Qirā’ah Mubādalah, 370.
74

Nisa [4]: 34 itu menjadi sangat relevan bahwa laki-laki/suami diberi


mandat tanggung jawab (qawwām) untuk menafkahi perempuan/istri.146
Namun tentu saja hal tersebut tidak berlaku secara mutlak. Sebab,
ada banyak kondisi, terutama saat ini, di mana perempuan mampu bekerja
sama persis dengan laki-laki, bahkan bisa pula menghasilkan harta yang
lebih banyak. Di sisi lain, perempuan juga sebagai manusia memiliki
kebutuhan seks yang harus dipenuhi sebagaimana laki-laki, sekalipun
intensitas dan ekspresinya berbeda atau dapat dikatakan lebih rendah dari
laki-laki, namun bisa juga sama untuk kalangan perempuan tertentu, atau
bahkan lebih tinggi. Untuk itu, fiqh melengkapi adagium “kewajiban
nafkah oleh laki-laki dan seks oleh perempuan” (al-nafaqah fi muqābalat
al-budh') dengan rumusan normatif seperti prinsip relasi mu'asyarah bil
ma'ruf, yakni saling berbuat baik antara suami/laki-laki dan
istri/perempuan. Maka, prinsip ini membuka fleksibilitas adagium
tersebut, sehingga perempuan juga bisa dituntut berkontribusi dalam hal
nafkah, sebagaimana laki-laki juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan
seks perempuan.147
Dalam perspektif mubādalah, baik nafkah maupun seks adalah hak
dan sekaligus kewajiban bersama. Dengan pilar zawāj dan mu'asyarah bil
ma'ruf, di mana segala kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab
bersama suami-istri, maka nafkah pun menjadi kewajiban bersama. Harta
yang dihasilkan berdua ataupun salah satunya merupakan milik bersama.
Suami tidak boleh memonopoli dengan menguasai seluruh harta yang
dihasilkannya atau oleh istrinya, begitu pun istri tidak boleh memonopoli
harta yang dihasilkannya maupun oleh suaminya. Harta keduanya, yang
dihasilkan selama dalam pernikahan, merupakan harta bersama yang
dikelola bersama untuk kemaslahatan keluarga. Pernyataan yang
berkembang “harta suami adalah harta istri, sementara harta istri adalah
harta istri” sama salahnya dalam perspektif mubādalah, dengan pernyataan
“harta suami semuanya adalah hak mutlak suami”.148

146
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 370.
147
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 371.
148
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 371.
75

Tentu saja, inspirasi QS. Al-Baqarah [2]: 233 dan QS. An-Nisa [4]:
34 menegaskan bahwa perempuan/istri memiliki hak lebih untuk dinafkahi
oleh laki-laki karena amanah reproduksi yang diemban perempuan dan
tidak dimiliki laki-laki. Jika amanah ini, terutama ketika sedang dialami
secara faktual, maka kewajiban nafkah menjadi niscaya ada di pundak
laki-laki. Sedangkan ketika amanah reproduksi ini tidak sedang dilakukan
perempuan, maka nafkah kembali menjadi kewajiban bersama sesuai
kemampuan masing-masing. Tentu saja kewajiban ini bisa
dimusyawarahkan bersama. Pada saat yang sama, ketika secara faktual
perempuan/istri bersedia bekerja mencari nafkah, maka suami juga harus
bersedia untuk ikut berperan maupun bertanggung jawab melakukan kerja-
kerja domestik di dalam rumah. Sehingga, beban rumah tangga dibagi
bersama, sebagaimana beban nafkah juga dipikul bersama berdasarkan
kemampuan dan kesempatan masing-masing.149
Dengan perspektif mubādalah ini, ayat-ayat yang berbicara
mengenai pencarian rezeki dan nafkah sudah seharusnya ditujukan kepada
laki-laki dan perempuan. Maka dalam hal ini, baik laki-laki maupun
perempuan, sama-sama dianjurkan Islam bekerja mencari rezeki untuk
memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga mereka. Sekalipun secara
bahasa Arab, ayat-ayat itu untuk laki-laki, tetapi sebagaimana ayat-ayat
lain, ayat dengan bentuk laki-laki juga diberlakukan bagi perempuan.
Maka, tidak ada alasan memberlakukan ayat-ayat rezeki dan nafkah hanya
untuk laki-laki semata. Begitu pun hadis-hadis yang mengapresiasi laki-
laki/suami yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
juga berlaku bagi perempuan/istri yang melakukan hal yang sama. Sebab,
prinsipnya adalah siapa yang berbuat, bekerja, dan memberi, maka dialah
yang memperoleh apresiasi atau pahala.150

149
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 371-372.
150
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 372.
76

          

    


Artinya: ”Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di
bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakf banyak
agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10).151

        


Artinya: “(Orang-orang bertakwa adalah) mereka yang beriman kepada
yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 3).152

          

           

        


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang
buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata (enggan)
terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha
Terpuji." (QS. Al-Baqarah [2]: 267) 153

               

            
Artinya: “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah
menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan
(sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS:
Ath-Thalāq [65]: 7) 154

151
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 554.
152
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 2.
153
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 45.
154
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 559.
77

            

            

             

            

           

        


Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan
kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka
dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya...” (QS. Al-Baqarah [2]: 233). 155

QS. Al-Jumu'ah [62]: 10 berbicara mengenai shalat dan anjuran


mencari rezeki, lalu dianjurkan pula untuk berbagi dan berinfak (QS. Al-
Baqarah [2]: 3 dan 267). Anjuran ini pun disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Orang yang kaya seharusnya memberi lebih banyak
daripada yang miskin, sesuai dengan yang telah dianugerahkan Allah
kepadanya (QS. Ath-Thalāq [65]: 7). Semua ayat ini, berlaku bagi laki-laki
dan perempuan. Dan ayat terakhir secara khusus meminta laki-laki sebagai
ayah untuk bertanggung jawab menafkahi anaknya (bayi) dan ibu yang
menyusuinya (QS Al-Baqarah [2]: 233). Dengan prinsip mubādalah, ayat
ini juga bisa berlaku bagi perempuan, jika yang bekerja dan memiliki harta
adalah perempuan/istri/ibu. Dalam konteks sekarang, hal ini dapat terjadi
apabila laki-laki sudah bekerja namun penghasilannya tidak mencukupi,
atau tidak mendapatkan pekerjaan, atau juga tidak mampu bekerja karena
sakit dan karena alasan-alasan yang lain. Anak dan rumah tangga pun,
pada prinsipnya dalam perspektif mubādalah, merupakan tanggung jawab
bersama. Baik suami dan istri, maupun ayah dan ibu, masing-masing bisa
berbagi peran secara bersama, feksibel, saling mengerti, saling mengisi,

155
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 37.
78

dan saling menguatkan dalam mengemban tugas dan amanah rumah


tangga.156 Adapula hadis-hadis seperti:
Abu Hurairah Ra. menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Satu dinar yang kamu keluarkan di jalan Allah, satu dinar yang
kamu keluarkan untuk seorang budak, satu dinar yang kamu
keluarkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang kamu keluarkan
untuk keluargamu, yang paling baik dari semua itu adalah yang
kamu keluarkan untuk keluargamu.” (Shahih Muslim, no. 2358).157

Tsauban al-Hasyimi Ra. menuturkan bahwa Rasulullah SAW


bersabda, “Sebaik-baik dinar (harta) yang dinafkahkan seseorang
adalah dinar ( harta) yang dinafkahkan seseorang untuk keluarga,
lalu dinar (harta) yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan
Allah Swt., lalu dinar (harta) yang dinafkahkan untuk teman-
temannya di jalan Allah Swt.” (Shahih Muslim, no. 2357).158

Sa'ad bin Abi Waqqash Ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW


bersabda, “Sesungguhnya, setiap kamu menafkahkan (memberikan)
sesuatu dengan berharap keridhaan Allah, kamu akan diberi
pahala, termasuk yang kamu berikan (suapan) ke mulut istrimu."
(Shahih Bukhari, no. 56).159

Dari Abi Mas'ud Ra., dari Nabi Muhammad SAW, yang bersabda,
“Apabila seorang laki-laki menafkahkan (hartanya) kepada
keluarganya dengan ikhlas, maka hal itu akan dicatat sebagai
sedekah (berpahala).” (Shahih Bukhari, no. 55).160

Hadis-hadis ini, sekalipun menggunakan struktur bahasa laki-laki,


akan tetapi dengan perspektif mubādalah, maka ia juga berlaku untuk
perempuan yang bekerja dan memiliki harta, kemudian menafkahkan
hartanya untuk keluarganya, baik untuk anak-anaknya, suaminya, meupun
untuk anggota keluarga yang lain. Bekerja mencari nafkah, secara prinsip
dalam Islam, adalah hak perempuan, sebagaimana juga hak laki-laki.161
Begitu pun nafkah yang diberikan perempuan kepada keluarganya, seperti
telah disebutkan pada hadis-hadis tersebut, tentunya dengan pemahaman
mubādalah, termasuk bentuk amal nafkah yang utama dibanding dengan

156
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 374-375.
157
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 375.
158
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 375-376.
159
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 376.
160
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 376.
161
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 376.
79

nafkah lain di jalan Allah SWT dan akan dicatat sebagai sedekah di jalan
Allah SWT yang dibalas dengan pahala dan surga.162
Hal ini juga ditanyakan oleh istri Abdullah bin Mas'ud Ra yang
bekerja mencari nafkah untuk suami dan anak-anak. Ia bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang pahala yang didapat dari kerja dan nafkahnya ini.
Maka, Rasulullah SAW pun mendukung dan mengapresiasi kerja dan
nafkah yang diberikannya kepada keluarganya tersebut.163
Zainab Ra., istri Abdullah bin Mas'ud Ra., yakni Abi Mas'ud Ra.,
berkata, “Ketika sedang berada di masjid, aku melihat Nabi
Muhammad SAW dan beliau berkata, 'Sedekahlah walau dari
hiasan yang kalian miliki.” Zainab adalah orang yang menafkahi
Abdullah dan anak-anak yatim. Zainab berkata kepada Abdullah,
“Tanyakan kepada Rasulullah SAW apakah aku dapat pahala kalau
menafkahimu dan anak-anak yatimku yang ada di pangkuanku?”
Abdullah menjawab Zainab, “Kamu saja yang bertanya sendiri.”
"Maka aku (Zainab) mendekat menemui Rasulullah SAW. Aku
lihat, ada seorang perempuan dari Anshar yang juga punya
persoalan sama denganku berada di pintu. Lalu, aku lihat ada Bilal
datang lewat. Kami (kata Zainab) berkata (kepada Bilal), ”Tolong,
tanyakan kepada Nabi Muhammad SAW apakah aku akan dapat
pahala jika menafkahi suamiku dan anak-anak yatim di
pangkuanku, tapi jangan ceritakan tentang siapa kami.” Bilal
masuk dan menanyakan (seperti yang kami minta). Nabi
Muhammad SAW bertanya, “Siapa mereka?' Bilal menjawab,
‘Zainab.’ Nabi Muhammad SAW bertanya lagi, “Zainab yang
mana?' Dijawab, “Istri Abdullah.” Nabi Muhammad SAW
kemudian menjawab, “Ya, dia mendapatkan dua pahala, pahala
nafkah pada keluarga dan pahala sedekah.” (Shahih Bukhari, no.
1498).164

Secara gamblang, teks hadis ini bercerita tentang seorang istri yang
menjadi penopang ekonomi bagi keluarganya. Dalam riwayat yang lain,
disebutkan bahwa pekerjaan Zainab tersebut adalah home industri, seperti
membuat kerajinan tertentu di rumah dan menjualnya ke pasar. Dalam kata
lain, ia pun menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
kecukupan ekonomi keluarganya. Peran ini, seperti ditegaskan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam teks hadis tersebut, diapresiasi oleh Islam secara
baik. Baik laki-laki maupun perempuan, sama sekali tidak dihalangi untuk
162
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 377.
163
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 377.
164
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 378.
80

ikut terlibat memastikan keluarga secara ekonomi tercukupi dan


mandiri.165
Tentu saja, dalam hal ini tetap harus memperhatikan norma-norma
sosial, seperti pada saat lapangan dan kesempatan kerja lebih banyak
terbuka bagi laki-laki, dan waktu luang biologis (karena tidak mengalami
beban reproduksi) yang lebih banyak tersedia bagi mereka, serta dukungan
sosial yang cukup (seperti bagian waris lebih banyak), mereka harus
bertandang lebih dulu untuk bekerja dibanding perempuan, dan karena itu
mereka dituntut (lebih dulu) memberi nafkah kepada keluarganya, istri dan
anak-anaknya. Apalagi jika perempuan karena amanah reproduksi yang
sedang dijalaninya, memilih untuk tidak bekerja secara produktif di luar
rumah, maka laki-laki menjadi tulang punggung utama keluarga. Seperti
itulah makna kontekstual dari inspirasi qiwamah dan kewajiban nafkah
dalam QS. An-Nisa [4]: 34 dan QS. Al-Baqarah [2]: 233. Tetapi, secara
prinsip, perempuan juga berhak untuk bekerja secara produktif. Dan
karena itu, sebagai konsekuensinya, perempuan memiliki kewajiban dan
tanggung jawab, secara mubādalah, untuk menanggung beban keluarga.166

          

   


Artinya: “Para laki-laki (suami) itu bertanggung jawab terhadap para
perempuan (istri), ketika mereka memiliki kapasitas yang
diberikan oleh Allah Swt. kepada mereka dan (mampu)
menafkahi dari harta yang mereka miliki....” (QS. An-Nisa [4]:
34).167

Terjemahan tersebut merupakan tafsir literal yang belum di-


mubādalah-kan. Jika ingin di-mubādalah-kan, di mana perempuan dan
laki-laki bisa menjadi subjek, maka tafsirnya adalah mereka yang memiliki
keutamaan dari Allah SWT dan harta yang digenggam bertanggung jawab
untuk menafkahi keluarga. Laki-laki/suami, disebutkan di dalam ayat

165
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 378-379.
166
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 379.
167
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 379.
81

karena acap kali secara sosial sudah memiliki kemampuan dan memiliki
harta untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Selain itu, juga karena
faktor reproduksi yang harus diemban oleh perempuan, sebagaimana yang
disinyalir dalam QS. Al-Baqarah [2]: 233.168
Dengan demikian, dalam tafsir mubādalah, QS. An-Nisa [4]: 34
tersebut, maka bukan sedang menegaskan kepemimpinan atau tanggung
jawab laki-laki terhadap perempuan, dengan basis jenis kelamin. Karena,
makna ini sama sekali tidak bisa mubādalah dan tidak sesuai dengan
prinsip Islam. Dalam Islam, seseorang tidak diberikan beban tanggung
jawab hanya karena memiliki jenis kelamin semata, tetapi juga karena
kemampuan dan pencapaian yang dimiliki. Maka, tafsir mubādalah
menegaskan bahwa ayat ini sedang berbicara mengenai tuntutan terhadap
mereka yang memiliki keutamaan (fadhl) dan harta (nafaqah) untuk
bertanggung jawab menopang mereka yang tidak mampu dan tidak
memiliki harta. Inilah gagasan utama dalam ayat tersebut. Gagasan yang
bersifat universal dan bisa di-mubādalah-kan. Laki-laki disebutkan secara
eksplisit karena kondisi riil saat ayat turun, dan juga kondisi umum sampai
saat ini, mereka memiliki harta dan mampu (menafkahi). Tetapi ayat ini,
secara substansi, sesungguhnya menyasar siapa yang memiliki harta untuk
menanggung anggota keluarga yang tidak memiliki harta.169
Memaknai kata “al-rijālu" dalam ayat tersebut secara tidak
eksklusif bagi para laki-laki sesungguhnya berlaku pada ayat-ayat lain.
Seperti, kata “rijālun” sebagai orang-orang yang suka bersuci (QS. At-
Taubah [9]: 108), atau orang-orang yang komitmen untuk selalu berdzikir
(QS. An-Nūr [24]: 37), dan orang-orang yang akan memperoleh sesuatu
yang dijanjikan Allah SWT. (QS. Al-Ahzab [33]: 23). Jikapun kata
“rijālun” diartikan sebagai para laki-laki, dalam ayat-ayat ini, maka ia
hanya sebagai contoh, karena perempuan yang bersuci, suka berdzikir, dan
memperoleh janji Allah SWT masuk dalam substansi ayat-ayat tersebut.
Pemaknaan seperti ini untuk ketiga ayat tersebut diterima oleh para ulama
klasik. Hanya perlu memberlakukan pemaknaan tersebut pada ayat tentang
168
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 380.
169
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 380.
82

nafkah suami/laki-laki (QS. An-Nisa [4]: 34). Sehingga, ayat ini juga
menyasar dan menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang harus
ikut bertanggung jawab jika memiliki kemampuan dan harta untuk
menafkahi.170
Sebagaimana juga ayat-ayat lain mengenai perintah dan anjuran
pemberian, infak, zakat, dan sedekah adalah menyasar mereka yang
mampu dan memiliki harta, bukan karena faktor jenis kelamin tertentu.
Baik laki-laki maupun perempuan, yang mampu dan memiliki harta,
terkena ayat-ayat ini. Ayat-ayat ini menjadi pondasi dalam memaknai
ayat-ayat nafkah dalam relasi suami-istri. Sehingga, pada tingkat praktis,
bisa suami yang mencari dan memberi nafkah, bisa juga istri, bisa juga
kedua-duanya secara bersama-sama. Tentu saja, kita tetap masih harus
memperhatikan kondisi perempuan yang memiliki amanah reproduksi
yang tidak dimiliki laki-laki. Sehingga, tuntutan nafkah didahulukan dan
lebih ditekankan kepada laki-laki. Tetapi secara prinsip, keduanya
memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal menanggung beban nafkah
keluarga, dan keduanya dituntut untuk saling bekerja sama dan tolong-
menolong.171
Hal yang sama, Islam juga memandang masalah seks dalam
kehidupan pernikahan adalah hak dan kewajiban yang timbal balik antara
suami dan istri. Al-Qur'an sendiri menggambarkan isu seks ini dengan
deskripsi yang sangat menarik, bahwa suami adalah pakaian istri dan istri
adalah pakaian suami (hunna libāsun lakum wa antum libāsun lahunna,
QS. Al-Baqarah [2]: 187). Ini adalah deskripsi yang mubādalah, di mana
seks dianggap seperti pakaian lang menutupi kebutuhan masing-masing
dan menghangatkan. Sehingga, setiap pihak antara suami dan istri
berkewajiban melayani sekaligus berhak atas layanan dari yang lain.
Deskripsi demikian sesuai dengan karakter akad pernikahan sebagai
perkongsian (musyārakah) bersama antara suami dan istri, dan sejalan
dengan lima pilar pernikahan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga
salah satu pihak tidak bisa dianggap paling berhak dalam hal seks, lalu
170
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 380-381.
171
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 381.
83

pihak yang lain di pihak yang harus selalu melayani, kapan pun dan di
mana pun. Tetapi, keduanya harus berpikir memenuhi pasangannya, dan
berhak dipenuhi darinya dalam relasi kemitraan dan kesalingan.172
Selanjutnya, yang diperlukan adalah komunikasi yang terbuka dan
setara untuk mewujudkan hak dan kewajiban yang resiprokal ini.
Komunikasi dan penyesuaian diperlukan karena kebutuhan masing-
masing, kapasitas, kualitas, dan kuantitasnya dalam hal seks bisa berbeda
satu sama lain. Sebagian besar laki-laki, misalnya, akibat tuntutan
hormonalnya, lebih mudah terangsang dengan hal-hal visual, lebih aktif,
dan lebih sering memulai. Sementara, sebagian besar perempuan, juga
pengaruh hormon yang ada di dalam tubuhnya, lebih mudah terangsang
oleh hal-hal emosional, memerlukan sentuhan lebih lama, perlu waktu, dan
lebih sering enggan memulai. Tentu saja, ini tidak mutlak berlaku pada
semua laki-laki dan semua perempuan. Tetapi, intinya, masing-masing
harus memahami diri dan pasangannya. Masing-masing berhak dipenuhi
kebutuhannya sesuai dengan kemampuan pasangannya. Pada saat yang
sama, masing-masing berkewajiban, sejauh kemampuannya, memenuhi
kebutuhan yang diinginkan pasangannya.173
Dalam semangat ini, kita mencoba memahami teks-teks hadis yang
berbicara mengenai kewajiban istri untuk memenuhi dan melayani
kebutuhan seks suami. Di samping teks-teks berbicara pada konteks umum
di mana laki-laki lebih asertif dalam hal seks, sehingga perempuan diminta
segera memenuhi, juga mengindikasikan secara mubādalah bahwa suami
juga harus memperhatikan secara saksama kebutuhan seks istri dan
memenuhinya. Nabi Muhammad SAW sendiri, dalam sebuah pernyataan
yang disampaikan kepada Jabir bin Abdillah Ra., menggunakan kata yang
resiprokal (mufā'alah), atau timbal balik. Yaitu, kata “al-mulā'abah”
untuk foreplay yang dilakukan secara aktif dari suami-istri, dan kata “al-
mudhahakah” untuk aktivitas yang menceriakan dari dan untuk keduanya
(Shahih Bukhari, no. 3003; Shahih Muslim, no. 3715 dan 4184; dan
Musnad Ahmad, no. 15244). Artinya, sesuai dengan prinsip mu'āsyarah bil
172
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 381-382.
173
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 382.
84

ma'rūf yang bersifat resiprokal, pernyataan Nabi Muhammad SAW juga


menegaskan tentang pentingnya kesalingan dalam melakukan dan
menikmati seks antara suami dan istri.174
Abu Hurairah Ra. menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila seorang suami mengajak istrinya baik-baik untuk naik ke
ranjang (berhubungan intim), lalu ia menolak (tanpa alasan),
kemudian suaminya marah sepanjang malam, maka malaikat
melaknatnya sampai pagi." (Shahih Bukhari, no. 3273).175

Hadis ini menjelaskan bahwa istri harus melayani kebutuhan seks


suami dan tidak menolak ajakannya jika tanpa alasan, seperti sakit, lelah,
atau alasan lain yang rasional. Sebab, dalam Islam, hanya pernikahanlah
yang membolehkan hubungan seks. Sehingga, tujuan utama sebagian besar
laki-laki menikah, di samping karena dorongan hormon testosteron dalam
tubuhnya, adalah seks. Jika suami tidak memperolehnya dari sang istri,
maka ia tidak memperolehnya sama sekali dari mana pun secara halal.
Sehingga, kehadiran istri di sampingnya dirasakan percuma dan dorongan
hormonalnya tidak terpenuhi. Ini bisa memicu stres, marah, dan tidak
menutup kemungkinan terjadi cekcok serta menyulut pertengkaran.
Sesuatu yang jauh dari tujuan pernikahan untuk dapat ketenangan dan
kasih sayang. Laknat, yang digambarkan hadis tersebut, secara bahasa
berarti dijauhkan dari kondisi kasih-sayang. Pas sekali dengan kondisi
ketika laki-laki ditolak secara mentah-mentah kebutuhannya untuk
memperoleh seks dari istrinya.176
Perempuan atau istri, dipahami dari semangat tekstual hadis ini,
harus mampu memahami kebutuhan seks suami, mengondisikan dirinya
sehingga dapat melayani sang suami dengan baik dan menyenangkan.
Karena itu, dalam berbagai teks fikih, istri dituntut berhias diri, berdandan
sebaik mungkin, dan memakai parfum untuk memuaskan dahaga seksual
suami. Istri juga dituntut memahami dan memenuhi fantasi seksual suami.
Sehingga, disebutkan dalam sebuah teks-teks hadis yang lain, ia juga harus
memenuhi keinginan suami yang meminta berhubungan intim di dapur

174
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 382-383.
175
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 383.
176
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 383-384.
85

atau di punggung unta (Musnad Ahmad, no. 16545 dan 24440). Ini hanya
contoh fantasi seks. Intinya, istri diminta mengenali dan memahami suami,
dan mempersiapkan diri untuknya. Lagi-lagi, hal ini karena dalam Islam,
bagi laki-laki yang didorong hormon testosteron, hanya istrinyalah yang
halal dan diperbolehkan memenuhi kebutuhan seksnya. Karena itu, istrilah
yang diminta memuaskan kebutuhan suaminya tersebut.177
Tentu saja, pemahaman ini tidak boleh berhenti sampai di sini saja.
Sebab, ini masih mengindikasikan ketidakseimbangan relasi, atau tidak
mubādalah. Di sini, istri hanya menjadi pemuas nafsu seks semata.
Sementara, tidak ada peran yang harus juga dimainkan suami untuk
kepuasan kebutuhan seks (atau yang lain) istri. Kondisi ini bisa
menimbulkan ketimpangan, dan bahkan kekerasan. Untuk itu, perlu
pendalaman makna teks tersebut dengan membawa perspektif dan metode
mubādalah. Sehingga, aktivitas seks itu sendiri bisa menjadi bagian yang
menyenangkan kedua belah pihak, dan menjadi sesuatu yang justru
memperkuat ikatan pernikahan, bukan malah merusak dan
mencederainya.178
Pertama, teks hadis menggunakan kata “da'ā” yang sejenis dengan
kata doa dan dakwah, yang berarti memohon dan mengajak, artinya, suami
dituntut pertama kali untuk mengekspresikan permintaannya kepada istri
dengan cara yang lembut dan menyenangkan. Bukan dengan perintah,
apalagi pemaksaan dan kekerasan. Dalam hal ini, suami juga harus pandai
memahami istri, mengondisikan diri sendiri, agar keinginannya mudah
dikabulkan sang istri. Karena itu, rayuan, kalimat jenaka, hadiah yang
membangkitkan, berpakaian indah, berparfum, foreplay yang cukup juga
dituntut dalam beberapa pernyataan ulama klasik untuk dilakukan suami
kepada istri. Sebagaimana tuntutan yang sama terhadap istri kepada
suaminya. Artinya, aktivitas seks sebisa mungkin dilakukan dengan riang
gembira, atau setidaknya tanpa paksaan, dan apalagi kekerasan.179

177
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 384.
178
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 384.
179
Sahabat Ibnu Abbas Ra. menyatakan tentang pentingnya suami berdandan dan berhias
untuk memuaskan istrinya. Begitu pun lbnu al-Qayyim al-Jauziyah, dalam kitab Zad al-Ma'ad fi
Hady Khayr al-‘Ibad (juz 4, hlm. 231), menyatakan bahwa segala jenis foreplay itu penting
86

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW pernah


menganalogikan aktivitas seks sebagai “sedekah yang berpahala" (Shahih
Muslim, no. 2376). Sementara, adab dalam sedekah, seperti digariskan al-
Qur'an, tidak boleh dilakukan dengan cara yang menyakitkan. Perkataan
yang baik, lembut, dan menyenangkan, menurut al-Qur'an, justru jauh
lebih baik daripada sedekah yang menyakitkan (QS. Al-Baqarah [2]: 262-
263). Dengan demikian, aktivitas seks antara suami dan istri sama sekali
tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan atau menimbulkan kesakitan,
cedera, dan bahaya. Segala kesakitan dan bahaya (dharar), dalam Islam,
sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW adalah haram dan
harus dijauhkan (Sunan Ibnu Majah, no. 2431) dalam aktivitas apa pun,
termasuk dalam relasi suami-istri yang pondasinya adalah justru saling
berbuat baik (mu'āsyarah bil ma'rūf).180
Kedua, metode mubādalah meniscayakan pemaknaan hadis ini
berlaku juga bagi perempuan sebagai subjek utama, di mana laki-laki juga
dituntut memuaskan kebutuhan seks istri, dan bisa dilaknat jika menolak
permintaannya. Sebab, muara dari teks ini' dalam perspektif mubādalah,
adalah memuaskan kebutuhan seks pasangan, istri kepada suami dan
suami kepada istri. Lagi-lagi, karena dalam Islam, seks hanya dihalalkan
dalam ikatan pernikahan jika istri tidak memperolehnya dari suami, maka
ia pun tidak akan memperoleh sama sekali. Dan pernikahan, dalam hal ini,
menjadi percuma bagi perempuan. Sekalipun hormon seks perempuan
lebih rumit dibanding laki-laki, karena bekerja bersama untuk memastikan
fungsi siklus reproduksi (menstruasi, hamil, dan menyusui) dapat berjalan
dengan lancar, tetapi ia juga memiliki libido seks yang juga dipicu oleh
hormon testosteron. Tentu saja, laki-laki dalam hal ini dituntut berupaya
keras agar mampu memahami dengan baik, bersabar melayani, dan
memuaskan hasrat seks istri.181

dilakukan oleh laki-laki kepada istrinya. untuk meningkatkan rangsangan sebelum hubungan seks.
Lihat Faqihuddin Abdul Kadir, Manba' al-Sa'adah fi Usus Husn al-Mu'asyarah wa Ahammiyat al-
Ta'awun wa al-Musyarakah fi al-Hayda al-Zawjiyah (Cirebon: ISIF. 2011), 39. Lihat juga pada
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 385.
180
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 385.
181
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 386.
87

Intinya, dalam perspektif mubādalah, sebagaimana literal teks


hadis menuntut istri untuk melayani kebutuhan dan fantasi seks suami,
makna resiprokal hadis juga menuntut suami untuk melakukan hal yang
sama, memahami kebutuhan seks istri dan melayaninya. Yang lebih luas
dari itu, jika istri dituntut untuk memperhatikan dan melayani kebutuhan
seks suami yang didorong oleh hormon testoteronnya, suami juga dituntut
untuk empati terhadap istri yang bisa jadi lelah dan tidak mood, sedang
emosional menjelang menstruasi, atau sakit akibat hamil dan melahirkan,
atau terbebani dengan dampak aktivitas seks terhadap organ
reproduksinya. Saling melayani kebutuhan masing-masing dan saling
memahami adalah puncak mubādalah dari teks hadis tersebut. Hubungan
seks hanyalah salah satu ekspresi dari kesalingan ini. Hubungan seks
suami-istri tentu saja tidak melulu berupa intercourse (jima'), karena ada
banyak aktivitas seks lain yang variatif yang bisa menyenangkan, selama
dilakukan tanpa paksaan dan untuk kebahagiaan bersama. Dalam Islam,
hanya dua hal yang dilarang, yaitu intercourse saat menstruasi dan anal
seks. Selain itu, variasi apa pun dihalalkan antara suami dan istri.182

182
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 386-387. Karena hak perempuan atas
kenikmatan seks ini, maka khitan perempuan sebaiknya dihentikan karena akan menghalanginya
dari hak tersebut. Pernyataan “jika laki-laki disunnahkan khitan, maka perempuan pun sama
dianjurkan” adalah ungkapan mubādalah yang keliru. Sebab, substansi khitan laki-laki dan khitan
perempuan berbeda. Khitan laki-laki, dengan memotong ujung kulit yang menutupi kepala
kemaluan, adalah untuk membuatnya lebih bersih, mudah dibersihkan, sekaligus mudah
terangsang dan bisa menikmati hubungan intim secara lebih maksimal. Sayyid Sabiq, Fiqh as-
Sunnah (Kairo: Dar al-Fikr, 1997), juz 1, 36. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah
Mubādalah, 387. Sementara, untuk khitan perempuan, justru memotong ujung klitoris yang
memiliki fungsi yang sama dengan penis, merasakan sensasi kenikmatan hubungan intim. Di
dalam klitoris, tidak ada kulit yang menutupi dan tidak ada yang perlu dibersihkan sama sekali.
Memotong klitoris, walau kecil sekali atau sekadar melukai saja, justru akan menyulitkan
perempuan ketika dewasa untuk menikmati seks. K.H. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, hlm.
52. Lihat juga pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 386-387. Jadi, poin mubādalah
dalam khitan adalah isu kesehatan dan kenikmatan seks. Karena laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama untuk memperoleh kesehatan dan kenikmatan seks, maka laki laki sebaiknya
dikhitan dan perempuan sebaiknya tidak dikhitan. Tetapi, ketika khitan nyata-nyata
mengakibatkan kerusakan anatomi tubuh perempuan, sehingga tidak lagi mampu menikmati seks
secara maksimal, bahkan sebagian praktik bisa membawa pada kematian dan trauma yang
berkepanjangan, maka khitan bisa menjadi haram dan harus dihentikan. Sekalipun pandangan
ulama fiqh klasik banyak yang membolehkan, tetapi sebagian besar ijtihad ulama kontemporer,
terutama yang dari al-Azhar Mesir, mengharamkan khitan perempuan. Sebab, khitan dianggap
bukan bagian dari agama, tetapi bagian dari adat istiadat yang dulu dibolehkan karena belum
ditemukan secara medis relasinya dengan dampak buruk terhadap kesehatan perempuan.
Sekarang, setelah ditemukan secara nyata dampak tersebut, para ulama memandangnya sebagai
sesuatu Yang harus ditinggalkan. Beberapa ulama klasik-seperti Ibnu al-Mundzir, Ibnu Hajar
88

Dalam konteks menguatkan hubungan suami-istri, aktivitas seks


hanyalah salah satu dari ekspresi untuk menguatkan relasi marital dan
mengisinya dengan hal-hal yang menyenangkan. Sebab, kehidupan
perkawinan tidak melulu berisi aktivitas seks. Ada banyak hal yang dapat
memperkuat ikatan kasih sayang di dalam relasi pasutri. Sehingga, yang
lebih prinsip, dalam perspektif mubādalah, adalah bagaimana relasi pasutri
itu terus diperkuat satu sama lain, antara suami dan istri, dengan berbagai
bahasa dan ekspresi kasih sayang, sehingga ikatan pernikahan semakin
kokoh, menyenangkan dan membahagiakan. Nafkah dan seks, sekalipun
yang utama, hanyalah salah satu bagian dari ekspresi kasih sayang untuk
penguatan relasi marital pasangan suami-istri.183

al'Asqallani, dan ash-Shan’ani, serta beberapa ulama kontemporer seperti Sayyid Sabiq, Mahmud
Syaltut, Jamal al-Banna, dan Muhammad ash-Shabbagh menganggap tidak ada satu pun hadis
tentang khitan perempuan yang bisa menjadi dasar hukum (Musnad Ahmad, no. 21050; dan Sunan
Abu Dawud, no. 5273). Karena jalur periwayatnya lemah, bahkan Abu Dawud sendiri memberinya
status dha'if atau lemah. Karena itu, seperti fatwa Syekh Muhammad Syaltut pada tahun 1995,
khitan perempuan adalah bagian dari adat istiadat yang harus tunduk pada kaidah “segala sesuatu
yang merusak dan melukai tubuh adalah haram”. Keputusan ini diikuti oleh banyak ulama dunia,
seperti Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Sayyid Sabiq,
Syekh Ali Jum'ah, Muhammad Salim al-‘Awwa, dan Jamal al-Banna. Pada tahun 2007, Majelis
Fatwa Mesir, secara resmi, mengeluarkan fatwa haram bagi khitan perempuan. Logika yang
dibangun adalah soal hak perempuan untuk memiliki tubuh yang sehat dan dapat menikmati
hubungan seks dalam kehidupan pernikahannya. Selain itu, juga adanya kekhawatiran ancaman
kesehatan tubuh dan keselamatan jiwa akibat praktik khitan perempuan. Lihat pembahasannya
dalam Mahmud Syaltut, Al-Fatawa (t.tp.: Dar al-Qalam, t.t.), 333; Sayyid Sabiq, Fiqh, juz 1, 25-
26; K.H. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, 49-65; K.H. Husein Muhammad, Ijtihad Kyai
Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (Jakarta: Rahima, 2011), 535-111; dan Jamal al-
Banna, Jawaz Imamat al-Mar'ah aI-Rijal wa Maqalat Ukhra (Kairo: Dar asy-Syuruq, 2011), 162-
167. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 387-388.
183
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 388-389.

Anda mungkin juga menyukai