1
Wahbah Az Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-illa’
Istri, LI’an, Zhihar, Masa Idah, Penerjemah Abdul Illayyieal-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani,
2011), 294.
2
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 2014), cet.5, 73.
3
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 63. Lihat juga pada Sayuti Thalib, Hukum
Kekeluargaan Indonesia, 73.
4
Para pemikir yang berusaha mengaitkan tradisi islam dengan konteks saat ini seringkali
mengkritik dan mereformasi pemahaman yang selama ini diyakini sebagai doktrin Islam, terutama
fikih yang cenderung patriarki. Lihat Heidah Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam.
Penerjemah M. Maufur , 53; Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,
249.
5
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249.
6
Teks diambil dari terjemahan Forum Kajian Kitab Kuning. Lihat, Sinta Nuriyah, dkk.,
Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, 12-13, dan 46. Pendapatnya ini
35
36
didasarkan pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, dalam Jami’ al-Shahih Sunan al-
Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, juz III, 466; Lihat, Muhammad bin Zayid ibn ‘Abd
Allah, Sunan Ibn Majah, tahqiq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, juz I, 591. Hadis nomor 1851;
Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249.
7
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249
8
Sinta Nuriyah, dkk., Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, 47.
Nawawi mendasarkan pendapatnya ini pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-
Nasai. Namun, menurut Abu Daud, Hadis ini dhaif. Lihat Sulaiman bin Ays’ats Abu Daud al-
Sijistani al-Azdy, Sunan Abu Daud (Beirut: Dar al-Fikr, tth), tahqiq Muhammad Muhyiuddin
Abdul Hamid, juz I, 522, hadis nomor 1664,
9
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 135; Lihat, Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga
Indonesia, 250.
10
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 135; Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
Keluarga Indonesia, 250.
37
maksiat, menjaganya baik diri atau hartanya, dan diberikan senyuman oleh
istri.11
Hal ini juga ditegaskan baik dalam Al-Qur’an12 maupun hadis Rasul.
Al-Qur’an menjelaskan mengenai kewajiban suami-istri yakni (a) saling
menghormati dan menjaga rahasia satu sama lain,13 (b) pergaulan dengan
cara yang makruf,14 (c) suami adalah kepala keluarga,15 (d) istri wajib
11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 250.
12
QS. An-Nisa [4]: 19,
….
Allah berfirman a)...... b)“Hai suami janganlah kamu mencari-cari kesalahan istri kamu
itu dengan maksud hendak mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan
kepadanya”. Kemudian c) “Hai suami, bergaulah kamu dengan istri kamu secara pergaulan yang
makruf (baik-baik). Lalu d) “Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu,
hendaklah kamu sadari bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan Allah
menjadikan sesuatu hal tersebut kebaikan yang banyak”. Lihat Mohd. Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam, Cet. V, 63.
13
Demikian pula kita temui pernyataan-pernyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri
yang saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh
Rasul dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Sabda Rasul “Bahwa sesungguhnya di
antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar), ialah
seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri itu, sedangkan oleh suami tadi
rahasia itu disiarkannya”. Begitupun seorang istri yang diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia
suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya kepada pihak lain; Lihat Sulaiman Rasyid, Fiqh
Islam, 365; Lihat pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 64.
14
Istilah makruf tersebut adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan itikad
baik dalam suatu kejujuran (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father), yang
biasa kita temui dalam istilah Hukum Perdata baik mengenai hubungan orang dengan orang
maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya benda (harta kekayaan).
Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah antara suami istri harus saling menghormati dan wajib
menjaga rahasia masing-masing, dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka
rahasia istrinya, demikian pula sebaliknya haram bagi si istri membuka rahasia suaminya. Dan
amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman Allah
dalam QS. An-Nisa [4] : 34 a) Mengenai musyrik, b) hak suami menghukum istri yang nusyuz,
lalu c) istri yang baik-baik ialah istri yang tunduk kepada Tuhan dan memelihara rumah tangganya
dan rahasia suami serta rahasia keluarganya; Sayuti Thalib, Kuliah Hukum Islam II pada Fakultas
Hukum UI Jakarta 1979/1980, 50; Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, 51; Lihat
pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 63-64.
15
Dalam hubungan suami istri, kita temui dalam QS. An-Nisa [4]: 34, secara garis
hukum: a)....., b)....., c)..., d) suami adalah kepala keluarga didasarkan kepada kelebihan tubuh
(fisik) yang diberikan Tuhan kepadanya dan berdasarkan ketentuan Tuhan bahwa suami
berkewajiban untuk membiayai kehidupan keluarga; Lihat Tim Penerjemah Departemen Agama,
Al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: PT Bumi Restu, 1978), 644; Lihat juga pada Mohd. Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam, 66.
38
16
Pengurusan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban
istri berdasarkan hadis Rasul yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, bahwa “Bahwa istri adalah
penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yang bersangkutan”; Sulaiman Rasyid, Fiqh
Islam, 367.; Lihat pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 66-67.
17
Kelebihan fisik laki-laki dari wanita dilihat dari kenyataan. Karena kelebihan fisik ini
maka suami diberi kewajiban untuk memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal untuk istri
dan anak-anaknya seperti ditegaskan Tuhan dalam QS. At-Talaq [65]: 6,
(a) berilah tempat istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu, (b)
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dari surat ini
terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan tempat tinggal dipakai cara semacam patrilokal.
Patrilokal disini adalah semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami
bukan berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah menjadi keluarga dari
keluarga suami. Menurut Hazairin, patrilokal dalam Islam ialah patrilokal dalam arti si iatri wajib
mengikuti suami. Jadi, perintah dalam surat tersebut ditujukan kepada suami untuk memberi
tempat tinggal kepada istri dan tempat tinggal itu bersama suami sendiri. Namun demikian
janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu memberatkan istrinya. Begitupun si istri harus
melihat kemampuan suami mengenai tempat tinggal ini. Jadi, sebaiknya haruslah persetujuan
kedua belah pihak antara suami dan istri. Lihat Tim Penerjemah Departemen Agama, Al-Qur’an
dan Terjemahan, 946; Lihat juga pada Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu
Analisis darim Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 67.
18
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), 68.
39
19
Kifayatul Akhyar, Karya Tqiyuddin Muhammad Al-Husni, Juz 2, 37. Lihat juga pada
Muhammad Ra’fat ‘Utsman, Fikih Khitbah dan Nikah (Depok: Fathan Media Prima, 2017), 127.
20
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Bandung:
Sygma Media Inovasi, 2014), 77.
21
Abdul bin Nuh, ed.an., Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an Mutiara, 1983), 254.
22
Al-imam abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5 (Jakarta: Faizan,
t.th), 95.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib, Juz 7 (Bandung: Al
Ma’arif, 1996), cet.12, 1273.
40
24
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Toha Putra, cet. I, 1993), hlm. 101
25
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, 141
26
Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997), 1281
27
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, Penerjemah Imam
Ghazali dan Achmad Ma’ruf Asrori (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet.III, 518.
41
28
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, penerjemah Abdul Rasyad Shiddiq (Jakarta:
Akbarmedia, 2015), cet.5, 140.
29
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519.
30
Satu mud sama dengan kurang lebih 1,5 kg.
42
31
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519-
520.
32
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
68.
33
Wahbah Az Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu, 294. Lihat juga pada Huzaenah Tahido
Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bandung: Ghalia Indonesia, 2010), 72.
34
Sulaiman Al Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah: Sayyid Sabiq (Jakarta: Beirut, 2017), cet-
3, 495.
35
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
68.
43
b. Hak-Hak Suami
Istri berkewajiban untuk melayani kebutuhan suaminya secara
lahir maupun batinnya, menjaga nama baik dan kehormatan suami
serta harta bendanya, dan mengabdi dengan taat pada ajaran agama dan
kepemimpinan suami sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban membiayai
semua kebutuhan rumah tangganya pun memiliki hak untuk mengatur
dengan baik terhadap masalah-masalah yang dialami oleh keluarganya
dengan cara bermusyawarah.38
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, dijelaskan bahwa hak suami
yang menjadi kewajiban istri adalah seperti menyusui dan mengurus
36
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519.
37
Khalid al-Husainan, Fikih Wanita: Menjawab 1001 Problematika Wanita (Jakarta:
Darul Haq, 2018), cet.x, 184.
38
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
68.
44
39
Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 525.
40
Tim Redaksi, Kitab Lengkap KUHPer, KUHAPer, KUHP, KUHAP, KUHD (Jakarta:
Penerbit Pustaka Setia, 2012), Cet.II, 34-36.
41
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2007), cet.3, 102.
42
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34.
45
Pasal 104
Suami dan istri, dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan, dan
hanya karena itu pun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian
bertimbal-balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak
mereka.43
Pasal 105
Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri. Sebagai
kepala berwajiblah ia, dengan tak mengurangi beberapa,
pengecualian teratur di bawah ini, akan memberi bantuan kepada
istrinya, atau menghadap untuknya di muka Hakim.
Setiap suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik
pribadi istrinya, kecuali kiranya tentang hal ini telah diperjanjikan
sebaliknya.
Ia harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah
yang baik, dan karenanya pun bertanggung jawab atas segala
kealpaan dalam pengurusan itu.
Ia tak diperbolehkan memindahtangankan, atau membebani harta
kekayaan tak bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan si istri.44
Pasal 106
Setiap istri harus tunduk patuh kepada suaminya.
Ia berwajib tinggal bersama dengan si suami dalam satu rumah,
dan berwajib pula mengikutinya barang di manapun si suami
memandang berguna, memusatkan tempat kediamannya.45
Pasal 107
Setiap suami berwajib menerima diri istrinya dalam rumah yang ia
diami.
Berwajiblah ia pula, melindunginya dan memberi padanya segala
apa yang perlu dan berpatutan dengan kedudukan dan
kemampuannya.46
43
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34.
44
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34.
45
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34-35.
46
Pasal 108
Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau
telah berpisahan dalam hal itu sekali pun, namun tak bolehlah ia
mengibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau
memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban,
melainkan dengan bantuan dalam akta atau dengan izin tertulis dari
suaminya.47
Seseorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk
membuat sesuatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian
sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu
pembayaran, atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang
tegas dari suaminya.48
Pasal 109
Terhadap segala perbuatan atau perjanjian yang dilakukan atau
diangkat setiap istri guna keperluan segala sesuatu berkenaan
dengan perbelanjaan rumah tangga yang biasa dan sehari-hari,
seperti pun terhadap segala pejanjian kerja yang diangkatnya
sebagai pihak majikan dan untuk keperluan rumah tangga pula,
terhadap kesemuanya itu undang-undang menganggap, bahwa
sudahlah si istri memperoleh izin yang dimaksudkan di atas dari
suaminya.49
Pasal 110
Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau
telah bepisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata
pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia
menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya.50
46
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
47
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
48
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
49
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
50
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
47
Pasal 111
Bantuan si suami kepada istrinya taklah perlu:
1e. apabila si istri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara
pidana;
2e. dalam sesuatu tuntutan akan perceraian perkawinan, akan
pemisahan meja dan ranjang atau akan pemisahan harta
kekayaan.51
Pasal 112
Jika si suami menolak memberi kuasa kepada istrinya, untuk
membuat suatu akta, atau menolak menghadap di muka Hakim,
maka bolehlah si istri meminta kepada Pengadilan Negeri tempat
tinggal mereka bersama, supaya dikuasakan untuk itu.52
Pasal 113
Seorang istri yang mana dengan izin yang tegas, atau izin secara
diam-diam dari suaminya, atas usaha sendiri melakukan sesuatu
mata pencaharian, boleh mengikat dirinya, dalam segala perjanjian
berkenaan dengan usaha itu, tanpa bantuan si suami.
Jika istri itu kawin dengan suaminya dengan persatuan harta
kekayaan, maka si suami pun terikatlah karena perjanjian-
perjanjian itu.53
Pasal 114
Apabila si suami menarik kembali izinnya, maka ia harus terang-
terangan mengumumkan penarikan kembali itu. Jika si suami,
disebabkan keadaan tak hadir, atau karena alasan-alasan lain
terhalang memberi bantuan kepada istrinya, atau terhalang
menguasakannya, atau jika ia mempunyai kepentingan yang
bertentangan, maka Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri
boleh mengizinkan kepada istri itu, untuk menghadap di muka
51
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
52
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
53
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
48
Pasal 115
Suatu pemberian kuasa umum, pun jika ini dicantumkan dalam
perjanjian kawin, tak akan berlaku lebih daripada suatu penguasaan
untuk menyelenggarakan pengurusan atas harta kekayaan si istri
sendiri.55
Pasal 116
Kebatalan suatu perbuatan disebabkan ketiadaan kuasa, hanya
dapat dituntut oleh si istri, si suami atau para ahli waris mereka.56
Pasal 117
Apabila seorang istri, setelah perkawinannya dibubarkan, telah
melaksanakan seluruhnya, atau untuk sebagian, akan suatu
perjanjian, atau perbuatan yang telah ia angkat atau ia lakukan
tanpa penguasaan yang diharuskan, maka ia tak lagi berhak
menuntut pembatalan perjanjian atau perbuatan itu.57
Pasal 118
Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya.58
54
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
55
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
56
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
57
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
58
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36.
59
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, 102.
60
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, 22.
49
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.61
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga;
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum;
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga;62
Pasal 32
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal
ini ditentukan oleh suami istri bersama;63
Pasal 33
Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain.64
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya;
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baknya;
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.65
61
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
62
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
63
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
64
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 12.
65
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
50
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama;
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya;
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya
dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa;
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biata rumah tangga, biaya perawatan, dan biata pengobatan
bagi istri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak;
66
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, 24.
67
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam (tt: Permata Press, tt), 25.
51
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban
memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-
masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada
perjanjian perkawinan;70
68
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 25-26.
69
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 26-27.
70
Menurut Khazin Nasuha yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami adalah adil
dalam soal materi, adil dalam mebagi waktu, adil dalam memberi nafkah, yang berkaitan dengan
nafkah adalah sandang, pangan, dan papan, dan juga adil dalam memperlakukan keperluan
52
(2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
istrinya dalam satu tempat kediaman;71
Pasal 83
(1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum
Islam.
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya;72
Pasal 84
(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83
ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;
(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku
kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya;
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah istri nusyuz;
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan atas bukti yang sah;73
batiniah istri-istrinya. Dalam hal keadilan batinlah, menurut Khazin Nasuha tidak dituntut oleh
hukum Islam, karena masalahnya berada di luar kemampuan manusia, sebagaimana Rasulullah
SAW ynag lebih cenderung rasa cintanya kepada Aisyah dibandingkan dengan istri-istri lainnya.
Lihat pada Aulia Muthiah, Hukum Islam, 93.
71
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27.
72
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27.
73
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27-28.
74
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta:
Teraju, 2004), 160.
53
75
SC Utami Munandar, Wanita Karir: Tantangan dan Peluang: Wanita dalam
Maysarakat Indonesia, Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2001), 301. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir (Malang:
UB Press, 2017), 93.
76
Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta:
English Press, 1991), 1125. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir,
93.
77
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 93.
78
Siti Muri’ah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir (Semarang: Rasail Media
Group, 2011), 32-34. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 94.
54
79
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
80
M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta:Lentera
Hati, 2014), cet.14, 648.
81
M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, 649.
82
QS. Al-Jumu’ah [62] : 10 “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi, dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung”. Lihat pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 94.
55
83
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 95.
84
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 83.
85
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 95.
86
M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, 649.
56
87
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 96.
88
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
89
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
90
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
57
C. Konsepsi Mubādalah
1. Pengertian Mubādalah
Mubādalah berasal dari kata Arab ُمبَا َدلَةdan suku kata “ba-da-
91
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
92
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 98-99.
93
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender
dalam Islam (Yogyakarta: Diva Press, 2019), 59.
58
94
Seperti Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur (w. 711/1311).
95
Seperti Al-Mu’jam al-Wasith.
96
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59.
97
Al-Mawrid, untuk Arab-Inggris, karya Dr. Rohi Baalbaki.
98
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59.
99
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59-60.
59
100
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 60-82.
101
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 60-61.
102
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 61.
104
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 62.
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan atas nama-Nya kamu saling berbagi dan saling menjaga hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. (QS. An-Nisa [4] : 1).
105
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 62.
a) QS. At-Taubah [9] : 71,107 ayat ini adalah ayat yang paling
tegas dan jelas mengajarkan kesalingan antara laki-laki dan
perempuan. Yang satu adalah penolong, penopang,
penyayang, dan pendukung bagi yang lain. Berbagai kitab
tafsir klasik menjadi rujukan, baik dari mazhab tekstual (bi
al-ma’tsūr) maupun rasional (bi al-ra’yi), mengartikan
frasa ba’dhuhum awliyā’bā’dh dengan saling tolong-
menolong (tanāshur), saling menyayangi (tarāhum), saling
mencintai (tahābub), saling menopang (ta’ādhud). Yang
satu adalah wali108 bagi yang lain. Dengan makna
kesalingan dalam frasa ba’dhuhum awliyā’bā’dh, ini
menunjukkan adanya kesejajaran dan kesederajatan antara
satu dengan yang lain.109
b) QS. Ali’ Imran [3]:195,110 merujuk pada pernyataan al-
Qurthubi (w. 671/1273) dalam tafsirnya, Al-Jami’li Ahkam
al-Qur’an, dengan frasa “ba’dhuhum min ba’dh”, ayat ini
107
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 63.
Artinya: “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling
menolong, satu kepada yang lain; dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah [9] : 71).
108
Wali artinya adalah penolong, penanggung jawab, pengampu dan penguasa. Lihat
pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 64.
109
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 63-64.
110
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 64-65.
Artinya: “Dan Tuhan mereka menjawab (kegelisahan) mereka,: "Aku sama sekali tidak
akan menyia-nyiakan setiup amal perbuatan kalian, baik laki-laki maupun perempuan, satu sama
lain adalah sama. Maka mereka yang berhijrah, dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka dan
disiksa karena memilih jalan-Ku, juga mereka yang berperang dan dibunuh (karena jalan-Ku),
akan Aku hapuskan dosa-dosa mereka dan Aku masukkan mereka ke surga yang penuh dengan
sungai yang mengalir, sebagai balasan dari Allah. Dan Allah memiliki sebaik-baik balasan". (QS.
Ali’ Imran [3] : 195).
62
113
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67.
114
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 66.
Artinya: “Dihalalkan bagi kalian pada malam Ramadhan untuk berhubungan intim
dengan istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi
mereka….” (QS. Al-Baqarah [2] : 187).
115
Terjemahan versi Kemenag atas kalimat “Hunna libāsun lakum wa antum libāsun
laḫunna” dalam QS. Al-Baqarah [2] : 187 adalah “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu
adalah pakaian bagi mereka”. Yang dimaksud “mereka” adalah istri, dan “kamu” adalah suami.
Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 68.
116
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67-68.
117
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 66-67.
64
،ِار ِه َما ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ه ِ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل ل َِج َ ِّس َع ِن ال َن ِبي ٍ َعنْ أَ َن
: َوأَمَّا ِر َوا َي ُة أَحْ َم ُد، َما ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ِه م َِن ْال َخي ِْر:َو ِفي ِر َوا َي ِة ل َّن َسا ئِيَّ ِز َيادَ ًة
.اس َما ُيحِبُّ لِن ْفسِ ِه ِ الَ ي ُْؤمِنُ أَ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبُّ لِل َّن
ْصنننلَّى َُ َعل ْيننن ِه َو َسنننلَّ َم َعننننَ َ ِ ننل أَ َّنننن ُه َسنننل َ َل َر ُسنننو ُل ِ َعننننْ م َُذنننا ٍِ ْبن
ٍ ننن َج َبن
َ ْ َ َ أَ ْف
ُ
هللا َوتذْ مِن َل ِ ِِ فِني ُ
َ َ َوتن ْب ُ
ِ ُّنان أنْ تحِنب ِ اْل ْي َم
ِ ضن ُل ْ
َ ان قا َل أفَ ِ ْ ض ِل
ِ َاْل ْي َم
ُّناس َما ُتحِنب ِ هللا َقا َل َوأَنْ ُتحِبَّ لِل َّن
ِ ارسُو َل َ هللا َقا َل َو َم َاِا َي ِ ل َِسا َن َك فِي ِ ِْك ِر
َ لِ َن ْفسِ َك َو َت ْكرْ َه لَ ُه َم َما َت ْك َرهُ لِ َن ْفسِ َك َوأَنْ َتقُو َل َخيْرً ا أَ ْو َتسْ م
ُت
Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal Ra., ia bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang iman yang sempurna. Rasulullah
SAW menjawab, "Keimanan akan sempurna jika kamu
mencintai karena Allah dan membenci juga karena Allah, serta
menggunakan lidah kamu untuk mengingat Allah." Mu'adz
bertanya, Ada lagi, wahai Rasulullah? Dijawab, "Ketika kamu
mencintai sesuatu untuk manusia sebagaimana kanu mencintai
sesuatu itu untuk dirimu sendiri, kamu membenci sesuatu untuk
mereka sebagaimana kamu membenci sesuatu itu untuk dirimu
sendiri, dan menyatakan kebaikan atau diam." (Musnad Ahmad,
no. 22558 dan 22560).125
124
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 83.
125
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 83-84.
68
3. Prinsip Mubādalah
Prinsip mubādalah tentu saja tidak hanya digunakan untuk
mereka yang berpasangan saja. Prinsip tersebut juga dapat digunakan
bagi mereka yang memiliki relasi dengan orang lain seperti sebagai
suami dan istri atau sebaliknya, sebagai orang tua dan anak atau
sebaliknya, sebagai antaranggota keluarga, jika di dalam relasi
126
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 85.
127
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 83.
128
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 85.
69
129
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 85.
130
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 195.
131
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 200-202.
70
132
Sesuatu dikatakan prinsip adalah ajaran yang melampaui perbedaan jenis kelamin.
Misalnya, ajaran mengenai keimanan yang menjadi pondasi setiap amal, bahwa amal kebaikan
akan dibalas dengan pahala dan kebaikan tanpa melihat jenis kelamin, tentang keadilan yang harus
ditegakkan, tentang kemashlahatan dan kerahmatan yang harus ditebarkan. Bahwa kerja keras,
bersabar, bersyukur, ikhlas, dan tawakkal adalah baik dan diapresiasi oleh Islam. Ayat-ayat prinsip
ini, baik yang al-mabādi’ maupun yang al-qawā’id, harus selalu menjadi kesadaran awal sebelum
praktik interpretasi ayat-ayat yang lain yang bersifat parsial dilakukan. Kandungan dan pesan
utama dari teks-teks prinsip tersebut harus dipastikan masuk menjadi pondasi dalam proses
pemaknaan teks-teks yang parsial (al-juz’iyyāt). Untuk ayat-ayat yang bersifat prinsip, kita hanya
berhenti pada langkah pertama, yaitu menemukan gagasan-gagasan prinsip dalam teks yang
menjadi basis keseimbangan, kesalingan, dan keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Hanya
diperlukan penegasan-penegasan mengenai ke-subjek-an laki-laki dan perempuan. Lihat pada
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 200-201.
133
Langkah kedua ini, secara sederhana, bisa dilakukan dengan menghilangkan subjek
dan objek yang ada dalam teks. Lalu, predikat dalam teks menjadi makna atau gagasan yang akan
kita mubādalah-kan antara dua jenis kelamin. Jika ingin lebih mendalam, langkah ini bisa
dilakukan dengan bantuan metode-metode yang sudah ada dalam usul fiqh, seperti analogi hukum
(qiyās), pencarian kebaikan (istishān), pencarian kebaikan (istishlāh), atau metode-metode
pencarian dan penggalian makna suatu lafal (dalālat al-alfāzh). Atau lebih dalam lagi dengan teori
dan metode ‘tujuan-tujuan hukum Islam’ (maqāshid al-Syariah). Metode-metode ini digunakan
untuk menemukan makna yang terkandung di dalam teks, lalu mengaitkannya dengan semangat
prinsip-prinsip dari langkah pertama. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah,
201.
71
134
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 200-202.
135
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 208.
136
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 210.
72
137
Teks implisit mubādalah jenis kedua tersebut belum banyak dibahas dalam kitab-kitab
klasik. Untuk lebih mudahnya, kerja-kerja interpretasi pada teks implisit mubādalah jenis kedua
disebut dengan tabdīl (lit: mengganti), mengimbangi kerja jenis pertama dari teks implisit-
mubādalah yang sudah sering disebut sebagai metode taghlīb. Sebenarnya, merujuk pada akar
bahasa yang sudah disebut di awal tulisan, lebih tepatnya istilahnya adalah tabādul, bukan tabdīl.
Tetapi, untuk mempermudah pemaknaan dan mengimbangi terminology yang sudah ada, maka
kata tabdīl lebih dipilih. Yang artinya: mengganti subjek dari yang laki-laki menjadi perempuan,
dan yang perempuan menjadi laki-laki. Proses penggatian ini bisa disebut tabdīl. Panjangnya
adalah tabdīl bi al-ināts (mengganti dengan perempuan untuk teks struktur laki-laki) dan tabdīl bi
al-dzukūr (mengganti dengan laki-laki untuk teks struktur perempuan). Lihat pada Faqihuddin
Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 210-211.
138
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 211-212.
139
Yang paling kuat adalah QS. At-Taubah [9] : 71, yang menegaskan mukmin laki-laki
dan perempuan, satu sama lain, adalah penolong dan penopang untuk kerja-kerja amar ma’ruf dan
nahi munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan segala kerja ketaatan kepada Allah SWT
dan ajaran Nabi Muhammad SAW. begitu juga teks eksplisit mengenai laki-laki dan perempuan
yang bersatu dan bersama dalam hal kerja-kerja kebaikan, hijrah, dan jihad perang (QS. Ali’Imran
[3] : 195). Teks-teks lain yang eksplisit dari jenis ini, khusus dalam relasi pasutri, adalah ayat-ayat
pilar pernikahan (QS. Al-Baqarah [2] : 187 dan 233; QS. An-Nisa [4] : 19; dan QS. Ar-Rūm [30] :
21). Ada juga teks-teks hadis, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, no.
238 dan 4923), Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, no 163), dan Ahmad (Musnad Ahmad, no. 26836 dan
27916). Teks-teks ini bisa disebut teks yang tashrīh al-Jinsayn wa al-musyārakah (eksplisit untuk
dua jenis kelamin dan kemitraan). Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 211-212.
140
Penyebutan ini menegaskan bahwa kedua jenis kelamin tersebut menjaid subjek dalam
teks, dan Karen aitu, seharusnya memberi inspirasi yang jelas bahwa semua teks lain juga
memasukkan kedua jenis kelamin sebagai subjek yang setara. Penetapan perempuan dan laki-laki
sebagai subjek teks adalah salah satu prinsip dalam mubādalah. Lihat Faqihuddin Abdul Kodir,
Qirā’ah Mubādalah, 212.
73
141
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 214.
142
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 369.
143
Hal ini ditujukan pada kedua belah pihak, di mana suami diminta berbuat baik pada
istri, dan istri juga diminta hal sama. Relasi ini menjadi pondasi bagi kedua hal berikutnya, dan
hal-hal lain menyangkut peran-peran marital sehari-hari. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
relasi ini harus yang menguatkan keduanya dan mendatangkan kebaikan. Ia bukan relasi yang
dominatif, salah satu kepada yang lain. Baik dengan alasan status sosial yang dimiliki, sumber
daya yang dibawa, atau sekadar jenis kelamin semata. Melainkan, itu adalah relasi berpasangan
(zawāj), kesalingan (mubādalah), kemitraan (mu'āwanah), dan kerja sama (musyārakah). Lihat
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 370.
144
Hak yang kedua, yaitu nafkah harta, diwajibkan kepada suami terhadap istri, sekalipun
dalam kondisi tertentu, istri juga diminta berkontribusi. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir,
Qirā’ah Mubādalah, 370.
145
Untuk hak yang ketiga, soal seks, fiqh lebih menekankan sebagai kewajiban istri
terhadap suami. Sekalipun fiqh juga menurunkan tuntunan-tuntunan agar suami melayani
kebutuhan seks istri untuk menjaga kehormatannya. Penjelasan fiqh seperti demikian, nafkah oleh
suami dan seks oleh istri, sesungguhnya relevan untuk berbagai budaya dunia dan tuntutan hormon
biologis yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Lihat Faqihuddin Abdul Kodir,
Qirā’ah Mubādalah, 370.
74
146
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 370.
147
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 371.
148
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 371.
75
Tentu saja, inspirasi QS. Al-Baqarah [2]: 233 dan QS. An-Nisa [4]:
34 menegaskan bahwa perempuan/istri memiliki hak lebih untuk dinafkahi
oleh laki-laki karena amanah reproduksi yang diemban perempuan dan
tidak dimiliki laki-laki. Jika amanah ini, terutama ketika sedang dialami
secara faktual, maka kewajiban nafkah menjadi niscaya ada di pundak
laki-laki. Sedangkan ketika amanah reproduksi ini tidak sedang dilakukan
perempuan, maka nafkah kembali menjadi kewajiban bersama sesuai
kemampuan masing-masing. Tentu saja kewajiban ini bisa
dimusyawarahkan bersama. Pada saat yang sama, ketika secara faktual
perempuan/istri bersedia bekerja mencari nafkah, maka suami juga harus
bersedia untuk ikut berperan maupun bertanggung jawab melakukan kerja-
kerja domestik di dalam rumah. Sehingga, beban rumah tangga dibagi
bersama, sebagaimana beban nafkah juga dipikul bersama berdasarkan
kemampuan dan kesempatan masing-masing.149
Dengan perspektif mubādalah ini, ayat-ayat yang berbicara
mengenai pencarian rezeki dan nafkah sudah seharusnya ditujukan kepada
laki-laki dan perempuan. Maka dalam hal ini, baik laki-laki maupun
perempuan, sama-sama dianjurkan Islam bekerja mencari rezeki untuk
memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga mereka. Sekalipun secara
bahasa Arab, ayat-ayat itu untuk laki-laki, tetapi sebagaimana ayat-ayat
lain, ayat dengan bentuk laki-laki juga diberlakukan bagi perempuan.
Maka, tidak ada alasan memberlakukan ayat-ayat rezeki dan nafkah hanya
untuk laki-laki semata. Begitu pun hadis-hadis yang mengapresiasi laki-
laki/suami yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
juga berlaku bagi perempuan/istri yang melakukan hal yang sama. Sebab,
prinsipnya adalah siapa yang berbuat, bekerja, dan memberi, maka dialah
yang memperoleh apresiasi atau pahala.150
149
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 371-372.
150
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 372.
76
Artinya: “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah
menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan
(sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS:
Ath-Thalāq [65]: 7) 154
151
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 554.
152
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 2.
153
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 45.
154
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 559.
77
155
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 37.
78
Dari Abi Mas'ud Ra., dari Nabi Muhammad SAW, yang bersabda,
“Apabila seorang laki-laki menafkahkan (hartanya) kepada
keluarganya dengan ikhlas, maka hal itu akan dicatat sebagai
sedekah (berpahala).” (Shahih Bukhari, no. 55).160
156
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 374-375.
157
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 375.
158
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 375-376.
159
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 376.
160
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 376.
161
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 376.
79
nafkah lain di jalan Allah SWT dan akan dicatat sebagai sedekah di jalan
Allah SWT yang dibalas dengan pahala dan surga.162
Hal ini juga ditanyakan oleh istri Abdullah bin Mas'ud Ra yang
bekerja mencari nafkah untuk suami dan anak-anak. Ia bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang pahala yang didapat dari kerja dan nafkahnya ini.
Maka, Rasulullah SAW pun mendukung dan mengapresiasi kerja dan
nafkah yang diberikannya kepada keluarganya tersebut.163
Zainab Ra., istri Abdullah bin Mas'ud Ra., yakni Abi Mas'ud Ra.,
berkata, “Ketika sedang berada di masjid, aku melihat Nabi
Muhammad SAW dan beliau berkata, 'Sedekahlah walau dari
hiasan yang kalian miliki.” Zainab adalah orang yang menafkahi
Abdullah dan anak-anak yatim. Zainab berkata kepada Abdullah,
“Tanyakan kepada Rasulullah SAW apakah aku dapat pahala kalau
menafkahimu dan anak-anak yatimku yang ada di pangkuanku?”
Abdullah menjawab Zainab, “Kamu saja yang bertanya sendiri.”
"Maka aku (Zainab) mendekat menemui Rasulullah SAW. Aku
lihat, ada seorang perempuan dari Anshar yang juga punya
persoalan sama denganku berada di pintu. Lalu, aku lihat ada Bilal
datang lewat. Kami (kata Zainab) berkata (kepada Bilal), ”Tolong,
tanyakan kepada Nabi Muhammad SAW apakah aku akan dapat
pahala jika menafkahi suamiku dan anak-anak yatim di
pangkuanku, tapi jangan ceritakan tentang siapa kami.” Bilal
masuk dan menanyakan (seperti yang kami minta). Nabi
Muhammad SAW bertanya, “Siapa mereka?' Bilal menjawab,
‘Zainab.’ Nabi Muhammad SAW bertanya lagi, “Zainab yang
mana?' Dijawab, “Istri Abdullah.” Nabi Muhammad SAW
kemudian menjawab, “Ya, dia mendapatkan dua pahala, pahala
nafkah pada keluarga dan pahala sedekah.” (Shahih Bukhari, no.
1498).164
Secara gamblang, teks hadis ini bercerita tentang seorang istri yang
menjadi penopang ekonomi bagi keluarganya. Dalam riwayat yang lain,
disebutkan bahwa pekerjaan Zainab tersebut adalah home industri, seperti
membuat kerajinan tertentu di rumah dan menjualnya ke pasar. Dalam kata
lain, ia pun menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
kecukupan ekonomi keluarganya. Peran ini, seperti ditegaskan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam teks hadis tersebut, diapresiasi oleh Islam secara
baik. Baik laki-laki maupun perempuan, sama sekali tidak dihalangi untuk
162
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 377.
163
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 377.
164
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 378.
80
165
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 378-379.
166
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 379.
167
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 379.
81
karena acap kali secara sosial sudah memiliki kemampuan dan memiliki
harta untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Selain itu, juga karena
faktor reproduksi yang harus diemban oleh perempuan, sebagaimana yang
disinyalir dalam QS. Al-Baqarah [2]: 233.168
Dengan demikian, dalam tafsir mubādalah, QS. An-Nisa [4]: 34
tersebut, maka bukan sedang menegaskan kepemimpinan atau tanggung
jawab laki-laki terhadap perempuan, dengan basis jenis kelamin. Karena,
makna ini sama sekali tidak bisa mubādalah dan tidak sesuai dengan
prinsip Islam. Dalam Islam, seseorang tidak diberikan beban tanggung
jawab hanya karena memiliki jenis kelamin semata, tetapi juga karena
kemampuan dan pencapaian yang dimiliki. Maka, tafsir mubādalah
menegaskan bahwa ayat ini sedang berbicara mengenai tuntutan terhadap
mereka yang memiliki keutamaan (fadhl) dan harta (nafaqah) untuk
bertanggung jawab menopang mereka yang tidak mampu dan tidak
memiliki harta. Inilah gagasan utama dalam ayat tersebut. Gagasan yang
bersifat universal dan bisa di-mubādalah-kan. Laki-laki disebutkan secara
eksplisit karena kondisi riil saat ayat turun, dan juga kondisi umum sampai
saat ini, mereka memiliki harta dan mampu (menafkahi). Tetapi ayat ini,
secara substansi, sesungguhnya menyasar siapa yang memiliki harta untuk
menanggung anggota keluarga yang tidak memiliki harta.169
Memaknai kata “al-rijālu" dalam ayat tersebut secara tidak
eksklusif bagi para laki-laki sesungguhnya berlaku pada ayat-ayat lain.
Seperti, kata “rijālun” sebagai orang-orang yang suka bersuci (QS. At-
Taubah [9]: 108), atau orang-orang yang komitmen untuk selalu berdzikir
(QS. An-Nūr [24]: 37), dan orang-orang yang akan memperoleh sesuatu
yang dijanjikan Allah SWT. (QS. Al-Ahzab [33]: 23). Jikapun kata
“rijālun” diartikan sebagai para laki-laki, dalam ayat-ayat ini, maka ia
hanya sebagai contoh, karena perempuan yang bersuci, suka berdzikir, dan
memperoleh janji Allah SWT masuk dalam substansi ayat-ayat tersebut.
Pemaknaan seperti ini untuk ketiga ayat tersebut diterima oleh para ulama
klasik. Hanya perlu memberlakukan pemaknaan tersebut pada ayat tentang
168
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 380.
169
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 380.
82
nafkah suami/laki-laki (QS. An-Nisa [4]: 34). Sehingga, ayat ini juga
menyasar dan menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang harus
ikut bertanggung jawab jika memiliki kemampuan dan harta untuk
menafkahi.170
Sebagaimana juga ayat-ayat lain mengenai perintah dan anjuran
pemberian, infak, zakat, dan sedekah adalah menyasar mereka yang
mampu dan memiliki harta, bukan karena faktor jenis kelamin tertentu.
Baik laki-laki maupun perempuan, yang mampu dan memiliki harta,
terkena ayat-ayat ini. Ayat-ayat ini menjadi pondasi dalam memaknai
ayat-ayat nafkah dalam relasi suami-istri. Sehingga, pada tingkat praktis,
bisa suami yang mencari dan memberi nafkah, bisa juga istri, bisa juga
kedua-duanya secara bersama-sama. Tentu saja, kita tetap masih harus
memperhatikan kondisi perempuan yang memiliki amanah reproduksi
yang tidak dimiliki laki-laki. Sehingga, tuntutan nafkah didahulukan dan
lebih ditekankan kepada laki-laki. Tetapi secara prinsip, keduanya
memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal menanggung beban nafkah
keluarga, dan keduanya dituntut untuk saling bekerja sama dan tolong-
menolong.171
Hal yang sama, Islam juga memandang masalah seks dalam
kehidupan pernikahan adalah hak dan kewajiban yang timbal balik antara
suami dan istri. Al-Qur'an sendiri menggambarkan isu seks ini dengan
deskripsi yang sangat menarik, bahwa suami adalah pakaian istri dan istri
adalah pakaian suami (hunna libāsun lakum wa antum libāsun lahunna,
QS. Al-Baqarah [2]: 187). Ini adalah deskripsi yang mubādalah, di mana
seks dianggap seperti pakaian lang menutupi kebutuhan masing-masing
dan menghangatkan. Sehingga, setiap pihak antara suami dan istri
berkewajiban melayani sekaligus berhak atas layanan dari yang lain.
Deskripsi demikian sesuai dengan karakter akad pernikahan sebagai
perkongsian (musyārakah) bersama antara suami dan istri, dan sejalan
dengan lima pilar pernikahan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga
salah satu pihak tidak bisa dianggap paling berhak dalam hal seks, lalu
170
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 380-381.
171
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 381.
83
pihak yang lain di pihak yang harus selalu melayani, kapan pun dan di
mana pun. Tetapi, keduanya harus berpikir memenuhi pasangannya, dan
berhak dipenuhi darinya dalam relasi kemitraan dan kesalingan.172
Selanjutnya, yang diperlukan adalah komunikasi yang terbuka dan
setara untuk mewujudkan hak dan kewajiban yang resiprokal ini.
Komunikasi dan penyesuaian diperlukan karena kebutuhan masing-
masing, kapasitas, kualitas, dan kuantitasnya dalam hal seks bisa berbeda
satu sama lain. Sebagian besar laki-laki, misalnya, akibat tuntutan
hormonalnya, lebih mudah terangsang dengan hal-hal visual, lebih aktif,
dan lebih sering memulai. Sementara, sebagian besar perempuan, juga
pengaruh hormon yang ada di dalam tubuhnya, lebih mudah terangsang
oleh hal-hal emosional, memerlukan sentuhan lebih lama, perlu waktu, dan
lebih sering enggan memulai. Tentu saja, ini tidak mutlak berlaku pada
semua laki-laki dan semua perempuan. Tetapi, intinya, masing-masing
harus memahami diri dan pasangannya. Masing-masing berhak dipenuhi
kebutuhannya sesuai dengan kemampuan pasangannya. Pada saat yang
sama, masing-masing berkewajiban, sejauh kemampuannya, memenuhi
kebutuhan yang diinginkan pasangannya.173
Dalam semangat ini, kita mencoba memahami teks-teks hadis yang
berbicara mengenai kewajiban istri untuk memenuhi dan melayani
kebutuhan seks suami. Di samping teks-teks berbicara pada konteks umum
di mana laki-laki lebih asertif dalam hal seks, sehingga perempuan diminta
segera memenuhi, juga mengindikasikan secara mubādalah bahwa suami
juga harus memperhatikan secara saksama kebutuhan seks istri dan
memenuhinya. Nabi Muhammad SAW sendiri, dalam sebuah pernyataan
yang disampaikan kepada Jabir bin Abdillah Ra., menggunakan kata yang
resiprokal (mufā'alah), atau timbal balik. Yaitu, kata “al-mulā'abah”
untuk foreplay yang dilakukan secara aktif dari suami-istri, dan kata “al-
mudhahakah” untuk aktivitas yang menceriakan dari dan untuk keduanya
(Shahih Bukhari, no. 3003; Shahih Muslim, no. 3715 dan 4184; dan
Musnad Ahmad, no. 15244). Artinya, sesuai dengan prinsip mu'āsyarah bil
172
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 381-382.
173
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 382.
84
174
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 382-383.
175
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 383.
176
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 383-384.
85
atau di punggung unta (Musnad Ahmad, no. 16545 dan 24440). Ini hanya
contoh fantasi seks. Intinya, istri diminta mengenali dan memahami suami,
dan mempersiapkan diri untuknya. Lagi-lagi, hal ini karena dalam Islam,
bagi laki-laki yang didorong hormon testosteron, hanya istrinyalah yang
halal dan diperbolehkan memenuhi kebutuhan seksnya. Karena itu, istrilah
yang diminta memuaskan kebutuhan suaminya tersebut.177
Tentu saja, pemahaman ini tidak boleh berhenti sampai di sini saja.
Sebab, ini masih mengindikasikan ketidakseimbangan relasi, atau tidak
mubādalah. Di sini, istri hanya menjadi pemuas nafsu seks semata.
Sementara, tidak ada peran yang harus juga dimainkan suami untuk
kepuasan kebutuhan seks (atau yang lain) istri. Kondisi ini bisa
menimbulkan ketimpangan, dan bahkan kekerasan. Untuk itu, perlu
pendalaman makna teks tersebut dengan membawa perspektif dan metode
mubādalah. Sehingga, aktivitas seks itu sendiri bisa menjadi bagian yang
menyenangkan kedua belah pihak, dan menjadi sesuatu yang justru
memperkuat ikatan pernikahan, bukan malah merusak dan
mencederainya.178
Pertama, teks hadis menggunakan kata “da'ā” yang sejenis dengan
kata doa dan dakwah, yang berarti memohon dan mengajak, artinya, suami
dituntut pertama kali untuk mengekspresikan permintaannya kepada istri
dengan cara yang lembut dan menyenangkan. Bukan dengan perintah,
apalagi pemaksaan dan kekerasan. Dalam hal ini, suami juga harus pandai
memahami istri, mengondisikan diri sendiri, agar keinginannya mudah
dikabulkan sang istri. Karena itu, rayuan, kalimat jenaka, hadiah yang
membangkitkan, berpakaian indah, berparfum, foreplay yang cukup juga
dituntut dalam beberapa pernyataan ulama klasik untuk dilakukan suami
kepada istri. Sebagaimana tuntutan yang sama terhadap istri kepada
suaminya. Artinya, aktivitas seks sebisa mungkin dilakukan dengan riang
gembira, atau setidaknya tanpa paksaan, dan apalagi kekerasan.179
177
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 384.
178
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 384.
179
Sahabat Ibnu Abbas Ra. menyatakan tentang pentingnya suami berdandan dan berhias
untuk memuaskan istrinya. Begitu pun lbnu al-Qayyim al-Jauziyah, dalam kitab Zad al-Ma'ad fi
Hady Khayr al-‘Ibad (juz 4, hlm. 231), menyatakan bahwa segala jenis foreplay itu penting
86
dilakukan oleh laki-laki kepada istrinya. untuk meningkatkan rangsangan sebelum hubungan seks.
Lihat Faqihuddin Abdul Kadir, Manba' al-Sa'adah fi Usus Husn al-Mu'asyarah wa Ahammiyat al-
Ta'awun wa al-Musyarakah fi al-Hayda al-Zawjiyah (Cirebon: ISIF. 2011), 39. Lihat juga pada
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 385.
180
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 385.
181
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 386.
87
182
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 386-387. Karena hak perempuan atas
kenikmatan seks ini, maka khitan perempuan sebaiknya dihentikan karena akan menghalanginya
dari hak tersebut. Pernyataan “jika laki-laki disunnahkan khitan, maka perempuan pun sama
dianjurkan” adalah ungkapan mubādalah yang keliru. Sebab, substansi khitan laki-laki dan khitan
perempuan berbeda. Khitan laki-laki, dengan memotong ujung kulit yang menutupi kepala
kemaluan, adalah untuk membuatnya lebih bersih, mudah dibersihkan, sekaligus mudah
terangsang dan bisa menikmati hubungan intim secara lebih maksimal. Sayyid Sabiq, Fiqh as-
Sunnah (Kairo: Dar al-Fikr, 1997), juz 1, 36. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah
Mubādalah, 387. Sementara, untuk khitan perempuan, justru memotong ujung klitoris yang
memiliki fungsi yang sama dengan penis, merasakan sensasi kenikmatan hubungan intim. Di
dalam klitoris, tidak ada kulit yang menutupi dan tidak ada yang perlu dibersihkan sama sekali.
Memotong klitoris, walau kecil sekali atau sekadar melukai saja, justru akan menyulitkan
perempuan ketika dewasa untuk menikmati seks. K.H. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, hlm.
52. Lihat juga pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 386-387. Jadi, poin mubādalah
dalam khitan adalah isu kesehatan dan kenikmatan seks. Karena laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama untuk memperoleh kesehatan dan kenikmatan seks, maka laki laki sebaiknya
dikhitan dan perempuan sebaiknya tidak dikhitan. Tetapi, ketika khitan nyata-nyata
mengakibatkan kerusakan anatomi tubuh perempuan, sehingga tidak lagi mampu menikmati seks
secara maksimal, bahkan sebagian praktik bisa membawa pada kematian dan trauma yang
berkepanjangan, maka khitan bisa menjadi haram dan harus dihentikan. Sekalipun pandangan
ulama fiqh klasik banyak yang membolehkan, tetapi sebagian besar ijtihad ulama kontemporer,
terutama yang dari al-Azhar Mesir, mengharamkan khitan perempuan. Sebab, khitan dianggap
bukan bagian dari agama, tetapi bagian dari adat istiadat yang dulu dibolehkan karena belum
ditemukan secara medis relasinya dengan dampak buruk terhadap kesehatan perempuan.
Sekarang, setelah ditemukan secara nyata dampak tersebut, para ulama memandangnya sebagai
sesuatu Yang harus ditinggalkan. Beberapa ulama klasik-seperti Ibnu al-Mundzir, Ibnu Hajar
88
al'Asqallani, dan ash-Shan’ani, serta beberapa ulama kontemporer seperti Sayyid Sabiq, Mahmud
Syaltut, Jamal al-Banna, dan Muhammad ash-Shabbagh menganggap tidak ada satu pun hadis
tentang khitan perempuan yang bisa menjadi dasar hukum (Musnad Ahmad, no. 21050; dan Sunan
Abu Dawud, no. 5273). Karena jalur periwayatnya lemah, bahkan Abu Dawud sendiri memberinya
status dha'if atau lemah. Karena itu, seperti fatwa Syekh Muhammad Syaltut pada tahun 1995,
khitan perempuan adalah bagian dari adat istiadat yang harus tunduk pada kaidah “segala sesuatu
yang merusak dan melukai tubuh adalah haram”. Keputusan ini diikuti oleh banyak ulama dunia,
seperti Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Sayyid Sabiq,
Syekh Ali Jum'ah, Muhammad Salim al-‘Awwa, dan Jamal al-Banna. Pada tahun 2007, Majelis
Fatwa Mesir, secara resmi, mengeluarkan fatwa haram bagi khitan perempuan. Logika yang
dibangun adalah soal hak perempuan untuk memiliki tubuh yang sehat dan dapat menikmati
hubungan seks dalam kehidupan pernikahannya. Selain itu, juga adanya kekhawatiran ancaman
kesehatan tubuh dan keselamatan jiwa akibat praktik khitan perempuan. Lihat pembahasannya
dalam Mahmud Syaltut, Al-Fatawa (t.tp.: Dar al-Qalam, t.t.), 333; Sayyid Sabiq, Fiqh, juz 1, 25-
26; K.H. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, 49-65; K.H. Husein Muhammad, Ijtihad Kyai
Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (Jakarta: Rahima, 2011), 535-111; dan Jamal al-
Banna, Jawaz Imamat al-Mar'ah aI-Rijal wa Maqalat Ukhra (Kairo: Dar asy-Syuruq, 2011), 162-
167. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 387-388.
183
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 388-389.