Anda di halaman 1dari 17

“EVALUASI BIBIT ANAK UNGGAS DAN STANDAR MUTU BIBIT ”

MAKALAH TEKNOLOGI PENETASAN

Oleh :

Kelas B

Kelompok 3

INTAN IKLIMA 200110180066

LATHIFAH JASMINE 200110180140

MUHAMMAD HASNAN AZIEZ 200110180157

FIRDA NURUL AFIFAH 200110180223

RADEN MUHAMMAD DIFFARI RIYADI 200110180235

PRIMMA GRATAPRAWIRA 200110180302

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang

berjudul “Evaluasi Bibit Anak Unggas dan Standar Mutu Bibit”. Makalah ini juga

disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Penetasan. Studi Ilmu

Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk

kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Sumedang, 16 April 2020


DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................3
I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kualitas anak ayam merupakan faktor yang sangat penting agar kualitas ayam

tetap baik dalam setiap fase pemeliharaan.Kualitas anak ayam sangat mempengaruhi

kualitas saat ayam tersebut dewasa karena performa ayam dewasa yang jelek bukan

saja dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tetapi juga oleh kualitas anak ayam pada

saat diterima. Kualitas Anak ayam yang sejak awal kondisinya kurang baik akan

menyebabkan tingginya biaya biaya pengobatan terhadap ayam yang sakit dan

vaksinasi, inefisiensi pakan, keterlambatan pertumbuhan dan performa ayam secara

keseluruhan.

Kualitas anak ayam dapat diartikan sebagai anak ayam yang berkembang

dengan baik selama inkubasi sehingga dapat menunjukkan performa yang baik seperti

pertumbuhan berat badan harian, kualitas daging , kualitas telur atau kemampuan

daya hidup tinggi. Evaluasi kualitas ayam dapat mendeteksi masalah dan menyeleksi

anak ayam sehingga dapat meningkatkan keuntungan dalam penetasan dan

perusahaan. Evaluasi kualitas anak ayam bisa diukur dengan beberapa metode seperti

metode berdasarkan sifat nya.Pemilihan metode yang tergantung pada tujuan dari

evaluasi dan waktu yang tersedia. Makalah ini akan membahas tentang evaluasi

kualitas anak ayam (DOC) mulai dari metode yang digunakan,faktor yang

mempengaruhi kualitas anak ayam dan kriteria anak ayam berdasarkan SNI.
1.2 Identifikasi Masalah

1. Metode apa yang digunakan untuk menentukan kualiats anak ayam ?

2. Apa faktor yang mempengaruhi penentuan kualitas anak ayam ?

3. Bagaimana kriteria standar kualitas anak ayam broiler,layer,putuh dan itik

berdasarkan SNI ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui metode menentukan kualitas anak ayam (DOC) berdasarkan

sifat kualitatif dan kuantitatif.

2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penentuan kualitas

anak ayam (DOC).

3. Mengetahui kriteria standar kualitas anak ayam broiler, layer, puyuh dan itik

berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI).


II

PEMBAHASAN

2.1 Metode Evaluasi Anak Anak Ayam

Penilaian anak ayam dilakukan setelah anak ayam ditetaskan. Metode evaluasi

anak ayam dapat dilakukan dengan penilaian kualitatif (quality score) dan penilaian

kuantitatif (quantity score). Penilaian kualitas DOC menggunakan metode pasgar

atau tona skor, didasarkan pada kriteria morfologi. Sedangkan penilaian kuantitas

DOC dipertimbangkan dari kriteria kualitas numerik atau observasi.

Penilaian kualitas anak ayam dikakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Keadaan tali pusar

Keadaan pusar diamati dengan cara melihat apakah pusar anak ayam tertutup

dan bersih atau tidak. Pusar menjadi indikator penyerapan yolk berjalan sempurna

atau tidak. Apabila pusar tertutup sempurna dan bersih, menandakan bahwa yolk

selama proses penetasan terserap sempurna (Meijerhof, 2009).

b) Keadaan perut

Ukuran dan kelenturan perut menjadi indikator ukuran yolk sac yang tersisa

dalam perut. Perut anak ayam yang terasa keras dan besar menunjukkan yolk sac

yang tidak terserap sempurna pada tahap hatcher. (Meijerhof, 2009). Menurut Preeze

(2007), keadaaan perut yang keras artinya masih terdapat banyak cadangan kuning

telur yang belum terserap sebagai cadangan nutrisi untuk bertahan hidup selama

beberapa hari ke depan. Hal tersebut dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.

c) Keadaan paruh
Paruh yang bersih dan daerah sekitar hidung bersih, menandakan anak ayam

memiliki kualitas baik. Apabila terdapat bintik merah dan kotor pada paruh,

menandakan anak ayam berkualitas rendah (Fasenko dkk., 2008). Kelembaban pada

fase hatcher sangat mempengaruhi kondisi paruh. Kelembaban yang terlalu rendah

menyebabkan paruh menjadi pipih dan lentur (Ningtyas dkk., 2013). Kelembaban

yang terlalu tinggi menyebabkan air yang berlebih dan terjadi penyumbatan pada

daerah sekitar hidung ayam, serta timbulnya kotoran pada daerah sekitar hidung

(Decuypere, 2007).

d) Keadaan kaki

Kaki anak ayam yang terlihat cacat berarti proses pembentukan tulang tidak

sempurna. Kelembaban relatif mempengaruhi proses metabolisme kalsium pada

embrio. Kelembaban tinggi menyebabkan perpindahan kalsium dari kerabang telur ke

tulang-tulangnya dalam perkembangan embrio akan lebih banyak. Menurut Unandar

(1996), kaki anak DOC yang baik memiliki ciri-ciri sisik kaki yang berwarna kuning

cerah dan kering.

e) Aktivitas

Posisikan anak ayam dalam posisi terbalik (terlentang). Hitung seberapa cepat

ayam dapat berbalik ke pada posisi semula (berdiri). Gerak refleks pada anak ayam

yang baru menetas dipengaruhi oleh proporsi tulang yang baik. Tulang yang baik

dihasilkan dari metabolisme Ca dari kerabang telur yang dipengaruhi pula oleh

kelembaban mesin tetas (Maatjens dkk., 2014). Menurut Preeze (2007), sirkulasi

udara selama fase 3 hari terakhir menentukan kelincahan aktivitas. Kelembaban yang

tinggi menyebabkan DOC menjadi gemuk dan basah, sehingga kesulitan untuk
bergerak. Rendahnya kelembaban mesin tetas membuat embrio menjadi lengket, dan

ketika menetas anak ayam yang dihasilkan menjadi kerdil, lemah dan pucat akibat

dehidrasi.

Penilaian kuantitas anak ayam dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a) Panjang tubuh

Pengukuran panjang tubuh DOD yang dapat menjadi alat untuk memprediksi

potensi pertumbuhan dan perkembangan. Panjang tubuh anak ayam yaitu dengan cara

mengukur panjang antara ujung paruh sampai jari kaki tengah (Decuypere, 2007).

b) Berat yolk sac

Berat yolk sac dapat dilihat dari penyerapan kuning telur yang lebih banyak

dan merupakan indikator itik yang berkualitas baik. Anak ayam setelah menetas

biasanya masih terdapat sisa kuning telur sebanyak lima gram, yang tersisa untuk

lima hari makan (Abbas, 2009). Bahan ini akan menjadi cadangan makanan bagi anak

ayam yang baru menetas (Noble dan Ogunyemi, 1989).

c) Bobot tetas

Faktor yang mempengaruhi bobot tetas adalah genetik, pakan, berat telur dan

lingkungan (Lasmini dan Heriyati, 1992). Induk dengan bobot tetas tinggi akan

menghasilkan telur dengan bobot tetas yang tinggi, begitu pula sebaliknya. North

(1984) menyatakan bahwa semakin besar bobot telur, maka bobot tetas yang

dihasilkan akan semakin besar. Menurut Wicaksono (2012), bobot tetas juga

dipengaruhi oleh suhu dan kelembapan mesin tetas. Stromberg (1975), menyatakan

bahwa, suhu di atas optimum lebih dari 36-37oC selama pengeraman menghasilkan
anak ayam yang lebih kecil disebabkan dehidrasi. Bobot tetas DOC sekitar 39-48

tergantung spesies dan keadaan (Krista dan Bagus, 2011)


2.2 Faktor yang mempengaruhi kualitas DOC :
Faktor sebelum penetasan :
1. Lama penyimpanan

Jika telur disimpan sampai 7 hari saat penetasan dapat menimbulkan

sedikit efek atau tidak ada sama sekali pada daya tetas. Namun, ketika

disimpan selama lebih dari 1 minggu, dapat menyebabkan kelainan embrio

dan meningkat kematian, yang menyebabkan penurunan daya tetas; apalagi,

waktu inkubasi tertunda ketika telur disimpan untuk waktu yang lama.

Laju perkembangan embrio lebih lambat karena penyimpanan lebih

lama. Tapi fenomena ini tidak teramati pada beberapa embrio, yang

menunjukkan bahwa tidak semua embrio dipengaruhi oleh cara penyimpanan

yang sama (Fasenko et al., 2002). Tidak hanya pertumbuhan, namun

metabolisme embrio juga dapat dipengaruhi oleh waktu penyimpanan.

Kualitas DOC adalah hasil dari peristiwa yang terjadi selama

perkembangan embrio. Sudah jelas bahwa penyimpanan mempengaruhi

perkembangan embrio dalam berbagai aspek. Penyimpanan dalam durasi yang

lebih lama menghasilkan DOC berkualitas rendah (Boerjan, 2002; Fasenko et

al., 2002; Tona dkk., 2003) daripada telur yang disimpan untuk jangka waktu

yang lebih pendek.

2. Umur induk betina


Kejadian kualitas DOC abnormal lebih tinggi terjadi pada telur tetas

dari breeder tua (Tona dkk., 2001; Boerjan, 2002; Tona dkk., 2004). Telur

segar dari breeder muda memiliki kualitas albumen yang lebih baik, menetas

lebih baik, dan menghasilkan persentase yang lebih tinggi DOC berkualitas

tinggi , meskipun dengan bobot yang lebih rendah di hatch tapi tingkat

pertumbuhan posthatch lebih tinggi dibandingkan dengan breeder tua (Tona

dkk., 2004a).

Ada beberapa laporan yang menunjukkan perbedaan hormon dan

metabolit antara DOC yang berasal dari sebuah kawan broiler muda atau tua.

Christensen et al. (1996) menunjukkan bahwa fisiologi embrio kalkun yang

berasal dari peternak dari berbagai usia berbeda dalam hal konsentrasi

glikogen di jaringan, konsentrasi plasma glukosa darah, dan konsentrasi

hormone tiroid. Hasil Noble et al. (1986) dan Latour dkk. (1998)

menunjukkan bahwa, selain glukosa, lipid dan profil asam lemak dalam

embrio dipengaruhi oleh umur breeder broiler. Weytjens dkk. (1999)

melaporkan bahwa kemampuan termoregulasi dari ayam broiler yang berasal

dari kawanan muda atau tua juga berbeda.

Faktor saat penetasan :


1. Kelembaban

Kelembaban Inkubator adalah faktor pengendali untuk penguapan air

dari telur dan harus dikontrol dengan baik untuk pertumbuhan embrio yang

tepat. Susut berat telur tergantung pada kelembaban inkubator dan

konduktansi kulit telur, dan diketahui bahwa variasi alami tinggi konduktansi
ada di telur. Ini menyebabkan variasi dalam hilangnya massa telur dari 5

sampai 20% (optimal 11 sampai 13%) dalam kondisi standar. Salah satu

faktor yang mempengaruhi konduktansi kulit telur adalah umur breeder,

dengan meningkatnya konduktansi dengan usia(telur dari breeder yang lebih

tua harus membutuhkan kelembaban yang lebih tinggi selama inkubasi).

Untuk meminimalisir hilangnya massa telur, disarankan untuk mencocokkan

kelembaban inkubator dengan konduktansi kulit telur untuk menurunkan

angka kematian embrio dan peningkatan daya tetas. Hanya 1 laporan Meir dan

Ar (1987) menunjukkan bahwa penyesuaian RH dengan konduktansi kulit

telur mengakibatkan daya tetas kalkun yang lebih tinggi dengan peningkatan

kualitas anak ayam. Sebaliknya, karya F. Bamelis (Katholieke Universiteit

Leuven, data tidak dipublikasikan) menunjukkan bahwa ketika RH

disesuaikan untuk konduktansi kulit telur, tidak ada peningkatan yang

signifikan kualitas ayam diamati

2. Suhu
Suhu operasi optimal untuk ayam selama inkubasi berkisar antara 37-

38 ° C. Suhu inkubasi tidak hanya penting untuk perkembangan embrio dan

kesuksesan penetasan tetapi juga mempengaruhi kinerja posthatch.. Baru-baru

ini publikasi Lourens dkk. (2005) menunjukkan bahwa daya tetas tertinggi,

perkembangan embrio (embrio yang lebih tinggi panjang dan kuning bebas

berat badan embrio), dan kinerja posthatch didapatkan saat suhu kulit telur itu

dipertahankan pada 37,8 ° C secara konstan sepanjang inkubasi. Suhu


incubator yang terlalu tinggi harus dihindari untuk menghindari kematian dan

pertumbuhan posthatch yang lambat.


3. Pemutaran telur

Pemutaran telur untuk mengurangi malposisi, untuk mencegah adhesi

abnormal embrio ke membran shell, untuk mendorong penutupan lengkap dan

tepat waktu chorioallantois di kecil akhir telur, dan yang paling penting, yang

diperlukan untuk mencapai pemanfaatan albumen oleh embrio (Deeming,


2002;. Tona et al, 2005). Tona et al. (2003c) menemukan bahwa daya tetas

anak ayam lebih rendah untuk telur yang diputar selama 15 hari dibandingkan

dengan pemutaran selama 12 atau 18 hari (hari 15 adalah di periode

peningkatan hipotalamus-hipofisis fungsional adrenal axis).

4. Gas

Pada awal dan selama akhir inkubasi, konsentrasi yang lebih tinggi

dari CO2 merangsang penetasan telur (Buys et al., 1998), serta dengan faktor

endokrin yang terlibat dalam proses pipping dan menetas.

2.3 Standarisasi Kualitas Anakan Berdasarkan SNI


1. Itik Alabio

Persyaratan Kualitatif :

a. mulai atas kepala sampai punggung bulu berwarna coklat sampai hitam

b. di bagian samping kepala dan badan, bulu berwarna kuning

c. garis hitam horizontal mirip alis melintas mata

d. sayap berwarna kuning dengan warna hitam di bagian atas dan ujung

e. bulu ekor berwarna hitam


f. paruh berwarna kuning pada bagian atas terdapat bercak hitam

g. kaki berwarna kuning

h. Kondisi fisik : sehat, kaki normal dan dapat berdiri tegak, mata bersinar,

tampak segar dan aktif, tidak dehidrasi, tidak ada kelainan bentuk dan

tidak cacat fisik, sekitar pusar dan dubur kering dan pusar tertutup

Persyaratan Kuantitatif :

a. Bobot d.o.d per ekor minimum 37 gram

b. Tingkat kematian d.o.d maksimum 2 %.

2. Ayam Broiler

Persyaratan Kuantitatif :

a. Kondisi fisik sehat

b. kaki normal dan dapat berdiri tegak

c. paruh normal

d. tampak segar dan aktif

e. tidak dehidrasi

f. tidak ada kelainan bentuk dan tidak cacat fisik,

g. perut tidak kembung

h. sekitar pusar dan dubur kering serta pusar tertutup

i. warna bulu seragam sesuai dengan warna spesifikasinya

j. kondisi bulu kering dan mengembang.

Persyaratan Kualitatif :

a. Bobot kuri atau doc dipenetasan per ekor minimum 35 gram


3. Ayam Petelur

Persyaratan Kuantitatif :

a. kaki normal dan dapat berdiri tegak

b. paruh normal

c. tampak segar dan aktif, tidak dehidrasi

d. tidak ada kelainan bentuk dan tidak cacat fisik

e. perut tidak kembung

f. sekitar pusar dan dubur kering serta pusar tertutup

g. Warna bulu seragam sesuai dengan warna spesifikasinya

h. kondisi bulu kering dan mengembang. 4.2.2

Persyaratan Kualitatif :

a. Bobot kuri di penetasan minimum 33 gram

4. Puyuh

 berasal dari induk burung puyuh yang mempunyai kemampuan bertelur

antara 300-310 butir/ekor/tahun berasal dari induk dengan kemampuan

menghasilkan telur dengan berat antara 10-12gram/butir;

 berasal dari induk yang sehat dan tahan stres atau tidak mudah kaget;

 berat DOQ per ekor antara 7-8gram;

 kondisi fisik sehat, kaki normal, dan dapat berdiri tegak tampak segar dan

aktif, tidak dehidrasi, tidak ada kelainan bentuk dan tidak cacat fisik
 warna bulu seragam sesuai dengan warna galur (strain) dan kondisi bulu

kering; dan g.jaminan kematian DOQ maksimal 2%.

III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1) Metode evaluasi anak ayam dilakukan dengan penilaian kualitatif

dan penilaian kuantitatif. Penilaian kualitas menggunakan metode

pasgar atau tona skor sedangkan penilaian kuantitas dinilai dari

kriteria kualitas numerik atau observasi

2) Faktor yang mempengaruhi kualitas anak ayam di bagi menjadi dua

yaitu faktor sebelum penetasan dan faktor saatpenetasam. Faktor

sebelum penetasan ada lama penyimpanan dan umur induk

sedangkan faktor saat penetasan ada kelembaban ,suhu,pemutar telur

dan gas.

3) Kriteria kualitas anak ayam broiler,layer,itik dan puyuh berdasarkan

Standar Nasional Indonesia (SNI) memiliki dua persyaratan yaitu

persyaratan kuantitatif dan persyaratan kualitatif


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, M. Hafil. 2009. Fisiologi Pertumbuhan Ternak. Andalas University Press.


Padang

Decuypere, E. and V. Bruggeman, 2007. The endocrine interface of environmental


and egg factors affecting chick quality. Poultry Science, 86.1037-1042.

Fasenko, G. M., and E. E. O’Dea. 2008. Evaluating Broiler Growth and Mortality in
Chicks with Minor Nevel Conditions at Hatching. Poult. Sci. 87: 594-597.

Krista, Bambang dan Agus Harianto. 2011. Petunjuk Praktis Pembesaran Ayam
Kampung Pedaging. PT Agromedia Pustaka. Jakarta

Lasmini, A. dan E. Heriyati. 1992. Pengaruh Berat Telur terhadap Fertilitas, Daya
Tetas dan BObot Tetas DOC. Posiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-
hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ciawi. Bogor.

Maatjens, C. M., I. A. M. Reijrink, R. Molenaar, C. W. van der Pol, B. Kemp, dan H.


van den Brand. 2014. Temperature and CO2 During The Hatching Phase. I.
Effect of Chick Quality and Organ Development. Poultry Science 93 : 645-
654.

Meijerhof, R. 2009. The influence of incubation on chick quality and broiler


performance. Pages 167–170 in 20th Annual Australian Poultry Science
Symposium. 9–11 February 2009. Sydney, NSW, Australia

Ningtyas, M. S., Ismoyowati, Ibnu H. S. 2013. Pengaruh Temperatur Terhadap Daya


Tetas Dan Hasil Tetas Telur Itik (Anas plathyrinchos). Jurnal Ilmiah
Peternakan 1(1):347- 352 Fakultas Peternakan Universitas Jendral
Soedirman, Purwokerto.

Noble, R. C. and D. Ogunyemi. 1989. Lipid changes in the residual yolk and liver of
the chick immediately after hatching. Biol. Neonate 56:228–236.

North, M. O. 1984. Breeder management. In commercial chicken production manual.


The Avi. Publishing Company. Inc. Westport, Connecticut. J. 2. 240-243,
298-321 pp.
Preeze, J.H.2007. The Effect of Different Incubation Temoeratures on Chick Quality.
Thesis M.Phill Departement of Poultry Science, University of Stellenbosch.
South Africa.

Stromberg, J. and L. Stromberg. 1975. A Guide to Better Hatching. Stromberg


Publishing Company, Pine River, Minnesota.

Unandar, T. 1997. Menguak Misteri Ayam Kerdil. Poultry Indonesia.

Wicaksono, D. 2012. Perbandingan Fertilitas, Susut Tetas, Daya Tetas, dan Bobot
Tetas Ayam Kampung pada Peternakan Kombinasi. Skripsi. Jurusan
Peternakan. Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai